Anda di halaman 1dari 22

Tugas Kelompok

Pajak Penghasilan Umum+ Pajak Penghasilan 21

Kelompok 2 : Tasia Veronica 2018031091


Heri Nadeak 2018031
Fajar Aprianto 2018031
Clivf Jonathan 2018031009

Mata Kuliah : Perpajakan I


Nama Dosen : Dr. Hamilah, S.E., Ak., M.M.
Waktu Kuliah : Selasa, 07.50 – 10.20

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI Y.A.I

JL. KRAMAT RAYA NO. 98 JAKARTA PUSAT, INDONESIA

2018
A. Pajak penghasilan (pph)

Pajak penghasilan adalah “pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak”. Undang-undang no. 7 tahun tentang pajak
penghasilan (pph) berlaku sejak 1 januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali
mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan undang-undang nomor 36 tahun 2008.
Undang-undang pajak penghasilan (pph) mengatur pengenaan pajah penghasilan terhadap
subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak.
Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek
pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam undang-undang pph disebut wajib
pajak. Wajib pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila
kewajiban pajaknya subjeknya dimulai atau berakhir pada tahun pajak. Undang-undang pph
menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung
kepada surat ketetapan pajak.

Berikut ini perkembangan undang-undang pajak penghasilan di indonesia:


 Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan merupakan undang-
undang pertama yang dibuat tentang pajak penghasilan.
 Undang-undang nomor 7 tahun 1991 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7
tahun 1983 tentang pajak penghasilan
 Undang-undang nomor 10 tahun 1994 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7
tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang
nomor 7 tahun 1991
 Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas undang-undang
nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Undang-undang pajak penghasilan ini
dapat dsebut sebagai undang-undang perubahan ketiga atas undang-undang pajak
penghasilan tahun 1984.
 Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas undang-undang
nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan.
B. Bentuk usaha tetap

Pengertian bentuk usaha tetap (but) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di indonesia, orang pribadi yang berada di indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di indonesia. Batasan 183 hari dalam 12 bulan adalah apabila antara
indonesia dan negara asal perusahaan tersebut tidak memiliki tax treaty atau p3b (persetujuan
penghindaran pajak berganda). Akan tetapi apabila antara indonesia dengan negara asal
perusahaan tersebut terdapat tax treaty atau p3b, maka batasan sebagai but sesuai perjanjian
tersebut.
Bentuk usaha tetap (but) dapat berupa :
• Tempat kedudukan manajemen
• Cabang perusahaan
• Kantor perwakilan
• Gedung kantor
• Pabrik
• Bengkel
• Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran untuk
pertambangan
• Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
• Proyek konstruksi/instalasi/perakitan
• Pemberian jasa yang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan
• Agen yang kedudukannya tidak bebas
• Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi luar negeri yang menerima premi atau
menanggung resiko di indonesia

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di indonesia.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar indonesia dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima
pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di indonesia melalui pegawai, perwakilan
atau agennya di indonesia. Menanggung risiko di indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang
mengakibatkan risiko tersebut terjadi di indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak
tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di indonesia.

C. Pencatatan penyusutan dan amortisasi

Penyusutan
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau
perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak
guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan
dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta
tersebut.

Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam
bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan
sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas. Penyusutan dimulai pada bulan
dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan,
penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. Dengan persetujuan

Direktur jenderal pajak, wajib pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan
harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada
bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan. Apabila wajib pajak melakukan penilaian
kembali aktiva, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian
kembali aktiva tersebut.
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan
sebagai berikut:

Tabel tarif dan masa manfaat penyusutan fiskal


Kelompok harta Masa Tarif - metode garis Tarif - metode saldo
berwujud manfaat lurus menurun
I. Bukan bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
Ii. Bangunan
Tidak permanen 10 tahun 10%
Permanen 20 tahun 5%

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan
dalam bidang usaha tertentu diatur dengan peraturan menteri keuangan.
Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta atau penarikan harta karena sebab lainnya,
maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual
atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada
tahun terjadinya penarikan harta tersebut.
Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan
pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan direktur jenderal pajak jumlah sebesar
kerugian dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagai bantuan, sumbangan, zakat,
hibah dan/atau warisan yang diakui berdasarkan perundang-undangan perpajakan, yang berupa
harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta
berwujud sesuai dengan masa manfaat diatur dengan peraturan menteri keuangan.
Amortisasi

Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah
(goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang
sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung
dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan
pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu
yang diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri keuangan. Untuk menghitung amortisasi,
masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:

Masa manfaat dan tarif amortisasi


Kelompok harta tak Masa Tarif amortisasi - Tarif amortisasi - saldo
berwujud manfaat garis lurus menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 20 tahun 5% 10%

Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan
pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi. Amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan
produksi.

Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain dengan menggunakan
metode satuan produksi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil
alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan
menggunakan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi. Apabila terjadi pengalihan harta
tak berwujud atau hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, muhibah (goodwill), hak
pengusahaan hutan, hak di bidang penambangan minyak dan gas bumi dan hak pengusahaan
sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang
diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan
tersebut.

Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagai bantuan, sumbangan, zakat,
hibah dan/atau warisan yang diakui berdasarkan perundang-undangan perpajakan, yang berupa
harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

PT Agri Jaya pada bulan Juli 2009 membeli sebuah alat pertanian yang mempunyai masa
manfaat 4 tahun seharga Rp 1.000.000,00. Penghitungan penyusutan atas harta tersebut adalah
sebagai berikut:

Alternatif I : Metode Garis Lurus:

 Penyusutan tahun 2009


6/12 x 25% x Rp 1.000.000,00 = Rp 125.000,00
 Penyusutan tahun 2010:
25% x Rp 1.000.000,00 = Rp 250.000,00
 Penyusutan tahun 2011:

25% x Rp 1.000.000,00 = Rp 250.000,00

 Penyusutan tahun 2012:

25% x Rp 1.000.000,00 = Rp 250.000,00

 Penyusutan tahun 2013:

Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 125.000,00


Alternatif II Metode Saldo Menurun

 Penyusutan tahun 2009 :

= 6/12 x 50% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000

 Penyusutan tahun 2010 :

= 50% x (Rp 1.000.000 – Rp 250.000)

= 50% x Rp 750.000 = Rp 375.000

 Penyusutan tahun 2011 :


= 50% x (Rp 750.000 – Rp 375.000)
= 50% x Rp 375.000 = Rp 187.500
 Penyusutan tahun 2012 :
= 50% x (Rp 375.000 –Rp 187.500)
= 50% x Rp 187.500 = Rp 93.750
 Penyusutan tahun 2013 :
Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 93. 750

D. Proses revaluasi
Revaluasi aktiva tetap merupakan frasa yang tidak asing pada kisaran tahun 2015 hingga 2016.
Hal ini dikarenakan paket kebijakan ekonomi yang disusun oleh pemerintah yang diterbitkan
pada masa tersebut dengan tujuan menjaga stabilitas ekonomi. Secara garis besar penilaian
kembali aktiva tetap bermanfaat untuk mengurangi tarif pph untuk wajib pajak yang
mengajukan permohonan penilaian kembali.

Wajib pajak bisa mendapatkan keringanan tarif pph, mulai dari 3% hingga 6%, jika
mengajukan permohonan penilaian kembali aktiva tetap pada periode 20 oktober 2015 hingga 1
desember 2016. Nantinya keringanan tarif akan menyesuaikan kapan permohonan tersebut
diajukan. Namun demikian, syarat utama yang harus dipenuhi adalah pelunasan pajak
penghasilan yang bersifat final yang diajukan.

Revaluasi aktiva tetap dilakukan oleh kantor jasa penilai publik (kjpp) atau ahli penilai yang
telah mendapat izin dari pemerintah. Nilai aktiva tetap yang ditetapkan harus mengacu pada
nilai pasar atau nilai wajar dari aktiva tetap yang berlaku tersebut. Wajib pajak juga
diperbolehkan untuk melakukan penilaian aktiva tetap ini, dengan syarat perhitungan yang
nantinya diberikan pada djp harus tetap ditinjau oleh kjpp.

Wajib pajak yang mengajukan permohonan


Jika dilihat, terdapat beberapa jenis wajib pajak yang diperbolehkan mengajukan penilaian
kembali aktiva tetap yang telah dibahas sebelumnya, yaitu:
 Wajib pajak badan
 Wajib pajak bentuk usaha tetap
 Wajib pajak orang pribadi yang melakukan pembukuan
 Wajib pajak yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa
inggris dan mata uang dollar amerika serikat
 Wajib pajak yang pada saat penetapan penilaian kembali nilai aktiva tetap oleh kjpp
belum melewati waktu 5 tahun terhitung sejak peniaian kembali aktiva tetap terakhir
(berdasarkan peraturan menteri keuangan nomor 79/pmk.03/2008).

Objek pajak atas revaluasi aktiva tetap


Untuk objek pajak yang dimaksud pada bahasan ini sendiri bisa dilakukan pada beberapa pajak,
yaitu:
 Sebagian atau seluruh aktiva tetap berwujud.
 Objek pajak yang terletak atau berada di indonesia.
 Objek pajak yang dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan.
 Objek pajak yang memiliki manfaat lebih dari 1 tahun.
Prosedur pengajuan permohonan
Ketika melakukan pengajuan permohonan revaluasi aktiva tetap yang dilakukan dengan
menggunakan hasil penilaian kembali berdasar nilai pasar, maka wajib pajak harus
melampirkan beberapa dokumen, diantaranya:

 Permohonan tertulis (ke kepala kanwil djp lewat kpp)


 Berkas bukti pelunasan pph atas penilaian kembali aktiva tetap
 Daftar aktiva tetap hasil penilaian kembali
 Salinan surat izin usaha kjpp atau ahli penilai yang telah dilegalisir oleh instansi
pemerintah berwenang
 Laporan penilai aktiva tetap oleh kjpp atau ahli penilai
 Laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum revaluasi dilakukan
Permohonan penilaian kembali aktiva tetap bagi wajib pajak yang belum melakukan penilaian
kembali aktiva tetap yang diajukan dengan menggunakan perkiraan nilai pasar atau nilai wajar
aktiva tetap menurut wajib pajak, harus melampirkan dokumen berikut:
 Permohonan tertulis (kepada kanwil djp lewat kpp)
 Berkas bukti pelunasan pph atas perkiraan penilain kembali aktiva tetap
 Daftar aktiva tetap yang akan dinilai kembali serta perkiraan nilainya

Selain berkas di atas, berikut berkas tambahan yang juga diperlukan oleh wajib pajak:
 Bukti pelunasan pph atas penilaian kembali aktiva tetap dalam hal terjadi kekurangan
pembayaran pajak terutang
 Daftar aktiva tetap hasil penilaian kembali
 Salinan surat izin usaha kjpp atau ahli penilai yang dilegalisir oleh instansi pemerintah
terkait
 Laporan penilaian aktiva tetap oleh kjpp atau ahli penilai
 Laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum penilain kembali aktiva tetap
Penilaian kembali dengan selisih perhitungan
Ada kalanya perhitungan yang dilakukan oleh wajib pajak dan kjpp atau ahli penilai memiliki
selisih karena satu dan lain hal. Jika hal ini terjadi, sebenarnya wajib pajak tidak perlu bingung.
Terdapat prosedur yang bisa digunakan.

Ketika terjadi selisih dimana penilaian kembali yang dilakukan kjpp lebih tinggi, maka selisih
perhitungannya akan dihitung dengan tarif pada periode selanjutnya. Misal penilaian kembali
dilakukan pada periode tarif 3%, kemudian terdapat selisih ketika dilakukan peninjauan oleh
kjpp, maka kelebihan tersebut dikenakan pajak 4%.

Sebaliknya, jika penilaian yang dilakukan kjpp dan wajib pajak terjadi selisih namun lebih
kecil, maka jumlah selisihnya akan dikalikan tarif pajak yang berlaku pada periode tersebut.
Hasil akhir dari perhitungan kemudian dapat menjadi insentif yang diklaim oleh wajib pajak
sebagai pajak tidak terutang.

E. Pajak penghasilan pasal 21

Subek pajak pph pasal 21


Uu pph secara umum menyebutkan penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan yang dikenai pph pasal 21. Penghasilan dimaksud bisa berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan, uang pensiun, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh.

Dalam per-16/pj/2016, penerima penghasilan yang dipotong pph pasal 21 adalah orang pribadi
dengan status sebagai subjek pajak dalam negeri.
Penerima penghasilan yang dipotong pajak penghasilan pasal 21 adalah orang pribadi yang
merupakan:
 Pegawai;
 Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
 Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pemberian jasa;
 Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai
tetap pada perusahaan yang sama;
 Mantan pegawai;
 Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.

Subjek pajak orang pribadi bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pemberian jasa meliputi:
 Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
 Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
 Olahragawan;
 Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
 Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
 Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitiaan;
 Agen iklan;
 Pengawas atau pengelola proyek;
 Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
 Petugas penjaja barang dagangan;
 Petugas dinas luar asuransi;
 Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya.

Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan


keikutsertaannya dalam suatu kegiatan bisa merupakan:
 Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
 Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
 Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
 Peserta pendidikan dan pelatihan;
 Peserta kegiatan lainnya.

Pengecualian subjek pph pasal 21


Bukan subjek pph pasal 21 dan/atau pph pasal 26 tidak termasuk dalam pengertian penerima
penghasilan yang dipotong pph pasal 21 dan/atau pph pasal 26 adalah:
 Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara indonesia dan di indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik
 Pejabat perwakilan organisasi internasional, yang telah ditetapkan oleh menteri
keuangan, dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak menjalankan usaha
atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari indonesia.

Objek pajak pph pasal 21


Per-16/pj/2016 menjabarkan penghasilan yang dipotong pajak penghasilan pasal 21 sebagai
berikut:
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur;
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya;
 Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka
waktu 2 tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
 Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
 Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan jasa yang dilakukan;
 Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun,
dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
 Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima
atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
 Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai;
 Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
menteri keuangan.

Pengecualian objek pph pasal 21


Bukan objek pph pasal 21 tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong pph
pasal 21 adalah:
 Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa;
 Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh wajib pajak atau pemerintah;
 Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh menteri keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada
badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
 Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di indonesia yang diterima oleh orang
pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
 Beasiswa, yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan.

Ketentuan umum pph pasal 21


1. Pemotong pph pasal 21 dan penerima penghasilan yang dipotong pph pasal 21
mendaftarkan diri ke kantor pelayanan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
2. Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai wajib membuat surat
pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada
saat mulai menjadi subjek pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan ptkp dan wajib
menyerahkannya kepada pemotong pph pasal pada saat mulai bekerja atau mulai
pensiun.
3. Pemotong pph pasal 21 wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan
pph pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan kalender, dan membuat bukti
pemotongan pph pasal 21.
4. Pemotong pph pasal 21 wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan pph pasal
21 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan pph
pasal 21 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau
kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan pph pasal 21 untuk
setiap bulan kalender tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan
yang bersangkutan nihil.
6. Jika dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas pph pasal 21 yang
terutang oleh pemotong pph pasal 21 kelebihan penyetoran tersebut dapat
diperhitungkan dengan pph pasal yang terutang pada bulan berikutnya melalui surat
pemberitahuan masa pph pasal 21.
7. Bagi wajib pajak yang tidak memiliki npwp dikenakan tarif 20% lebih tinggi.
Tarif pph pasal 21
Sesuai dengan pasal 17 ayat 1, undang-undang no. 36 tahun 2008, tarif pajak penghasilan
pribadi perhitungannya dengan menggunakan tarif progresif sebagai berikut:

Penghasilan netto kena pajak Tarif pajak


Sampai dengan 50 juta 5%
50 juta sampai dengan 250 juta 15%
250 juta sampai dengan 500 juta 25%
Diatas 500 juta 30%

F. Perbedaan pemotong dan pemungut


Dalam sistem perpajakan di indonesia dikenal konsep pemotongan dan pemungutan pajak atau
biasa disebut dengan pajak potput (withholding tax). Sistem withholding tax merupakan salah
satu sistem administrasi perpajakan yang banyak diterapkan di banyak negara.

Hal itu terjadi karena sistem withholding tax memiliki beberapa keunggulan di
antaranya withholding taxes mencoba meringankan beban wajib pajak karena pajak
dipotong/dipungut dan dibayarkan ke kas negara saat penghasilan belum diterima. Sistem ini
sejalan dengan salah satu dari the four maxim dari adam smith yaitu asas convenience of
payment.

Meskipun, dari sisi lain, sebagian orang berpendapat sistem ini dapat juga menambah beban
bagi pihak pemotong/pemungut pajak karena beban administrasi yang harusnya ditanggung
oleh otoritas pajak dialihkan kepada wajib pajak selaku pemotong/pemungut pajak.
Pemotongan pph pasal 21
Dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan, anda perlu mengetahui siapa saja
pemotong pph pasal 21, siapa saja penerima penghasilan yang dipotong pph pasal 21, apa saja
hak dan kewajiban pihak pemotong dan yang dipotong pph pasal 21, bagaimana mekanisme
pemotongan, dan cara pelaporan pph pasal 21.

Pemotongan pph pasal 21 terdiri dari:


1. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan sehubungan dengan
pekerjaan/jasa yang dilakukan oleh pegawai/ bukan pegawai .
2. Bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan
sehubungan dengan pekerjaan/jabatan, jasa dan kegiatan.
3. Dana pensiun, badan penyelenggara jamsostek, dan badan lain yang membayar uang
pensiun dan tht/jaminan hari tua.
4. Perusahaan, badan, but yang membayar honorarium sebagai imbalan sehubungan
dengan kegiatan dan jasa termasuk jasa tenaga ahli dengan status wajib pajak dalam
negeri yang melakukan pekerjaan bebas
5. Persh, badan, but yang membayar honorarium sebagai imbalan sehubungan dengan
kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh objek pajak dengan status wajib pajak luar negeri
6. Yayasan,lembaga kepanitiaan,asosiasi sebagai pembayar gaji, upah sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan objek pajak
7. Perusahaan, badan, but yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada
peserta pendidikan,pelatihan dan pemagangan
8. Penyelenggara kegiatan ( termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi
internal, perkumpulan, objek pajak serta lembaga lainnya yang melakukan kegiatan)
yang membayar honorarium,hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada
wpop dalam negri berkenaan suatu kegiatan

Pemungutan pph pasal 22


Bendahara dan badan-badan yang memungut pph pasal 22 sebesar 1,5% dari pembelian adalah:
1. Bank devisa dan direktorat jenderal bea dan cukai (djbc) atas objek pph pasal 22 impor
barang.
2. Bendahara pemerintah dan kuasa pengguna anggaran (kpa) sebagai pemungut pajak
pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang.
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (up).
4. Kuasa pengguna anggaran (kpa) atau pejabat penerbit surat perintah membayar yang
diberikan delegasi oleh kuasa pengguna anggaran (kpa), berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme
pembayaran langsung (ls).
5. Badan usaha milik negara (bumn), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan.
6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan.

G. Formulir a1

Formulir 1721 a1 adalah bukti pemotongan pajak yang digunakan oleh wajib pajak orang
pribadi berstatus pegawai/pensiunan. Formulir tersebut wajib diberikan oleh pemotong
pajak/bendahara instansi terkait dan akan digunakan untuk pelaporan spt tahunan orang pribadi
yang menerima penghasilan.

Pada dasarnya, formulir bukti potong untuk karyawan terbagi menjadi dua, yakni formulir 1721
a1 dan formulir 1721 a2. Bedanya, jika formulir 1721 a1 diserahkan kepada karyawan/pegawai
dengan kriteria di atas, formulir 1721 a2 diberikan kepada pegawai negeri sipil (pns), anggota
tentara nasional indonesia (tni), anggota polisi republik indonesia (polri), dan/atau
pensiunannya.

Bukti potong atau formulir 1721 a1 dan 1721 a2 merupakan dokumen berharga bagi setiap
wajib pajak. Fungsi dari formulir 1721 a1 adalah sebagai kredit pajak, dapat juga digunakan
untuk mengawasi pajak yang sudah dipotong oleh pemberi kerja.
Biasanya, bukti potong formulir 1721 a1 dilampirkan saat wajib pajak menyampaikan spt
tahunan pph. Fungsinya adalah sebagai proses pengecekan kebenaran dari potongan pajak yang
telah dibayarkan.

Lalu, jika pekerja tidak menerima bukti potong dari pemberi kerja, pekerja bisa memintanya
langsung kepada bagian keuangan perusahaan yang menaunginya. Selain itu, jika anda
memiliki penghasilan lainnya yang masuk dalam kategori kena pajak, maka anda juga berhak
meminta bukti potong tersebut.
Kapan form 1721 a1 digunakan?
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, formulir 1721 a1 harus dibuat oleh pemberi kerja,
kemudian diberikan kepada karyawan/pegawai sebelum akhir periode pelaporan pajak.

Misalnya, pada periode penerimaan penghasilan januari-desember, maka bukti potong pph
pasal 21, formulir 1721 a1 tersebut diberikan pada minggu akhir desember atau paling telat
pada januari tahun berikutnya.

Begitu pun jika periode penerimaan penghasilan kurang dari 1 tahun. Misalnya, periode
penerimaan penghasilan januari-juni, maka bukti pemotongan pph pasal 21 formulir 1721 a1
diberikan pada akhir juni atau pada juli.

Ketentuan proses pembuatan form 1721 a1

Sedangkan, untuk proses pembuatan bukti pemotongan pph pasal 21 formulir 1721 a1 sebagai
berikut:
1. Formulir 1721 a1 hanya diberikan untuk pegawai tetap saja, sedangkan untuk pegawai
tidak tetap dan bukan pegawai tidak dibuatkan.
2. Formulir 1721 a1 merupakan bukti pemotongan pph pasal 21 untuk 1 tahun pajak atau
selama pegawai tetap bekerja pada pemberi pajak selama tahun pajak.
3. Formulir 1721 a1 akan digunakan oleh pegawai tetap dalam melaporkan spt tahunan
pph orang pribadi.

Berdasarkan peraturan direktur jenderal pajak nomor per – 16/pj/2016 tentang pedoman teknis
tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan pasal 21 dan/atau pajak
penghasilan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi, pemberi
kerja membuat bukti potong formulir 1721 a1 paling lama 1 bulan setelah tahun kalender
berakhir.
Pada dasarnya, ketentuan mengenai proses pembuatan bukti potong di atas tidak hanya berlaku
untuk formulir 1721 a1 saja, melainkan berlaku juga untuk formulir 1721 a2.
contoh formulir 1721 a1

Anda mungkin juga menyukai