Anda di halaman 1dari 17

Nama : Putri Divayani Anggraini Rizky

NIM : 220502110078
Tugas : Me-resume tentang UU PPH dan Perhitungan serta Studi Kasus PBB P2 dan P3

I. Ketentuan Umum
Pada pasal 1, Pajak penghasilan dikenakan kepada subjek pajak berdasarkan
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. atau dapat pula dikenai
pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya
dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam
Undang-Undang ini adalah tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun
buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi
jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
II. Subjek Pajak
Pada pasal 2, yang menjadi subjek pajak, yaitu orang pribadi (serta warisan yang
belum terbagi yang mana itu menjadi satu kesatuan menggantikan yang berhak), badan,
serta BUT (Bentuk Usaha Tetap). Subjek pajak sendiri terbagi menjadi dua yaitu subjek
pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri
menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib
Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri
baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah
memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP).
Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
III. Objek Pajak
Pada pasal 4, Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, termasuk:
a. gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
e. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
Penghasilan yang dapat dikenai pajak:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, bunga atau diskonto surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan di pasar
uang, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif, dan transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estat, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya, termasuk penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu
Yang dikecualikan Objek Pajak yaitu :
a. Bantuan untuk sumbangan termasuk zakat, infak dan sedekah dll
b. hibah
c. warisan
d. harta yang termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan
e. penggantia atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dakam bentuk natura dan/atau kenikmatan, seperti makanan, bahan makanan
dll.
Pada pasal 7, adapun penghasilan yang tidak kena pajak per tahun diberikan paling
sedikit:

a. Rp54.000.000 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi


b. Rp4.5000.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
c. Rp54.000.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami
d. Rp4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda
dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyakk 3 orang untuk setiap keluarga.

WP orang probadi yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai PPh atas
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp.500.000.000 dalam 1 tahun.

Pada pasal 9, untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :

a. Pembagian laba dengan nama dalam bentuk apapun seoerti dividen, asuransi, dll
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota
c. Pembentuk atau pemupuk dan cabangan

Pada pasal 11, Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut:

Kelompok Harta Masa Tarif penyusutan


Berwujud sebagaimana dimaksud
Manfaat
dalam

Ayat (1) Ayat (2)

1. Bukan
Bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
2. Bangunan 20 Tahun 5%
Permanen

Tidak 10 Tahun 10%


Permanen

Pada pasal 11A, Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud
dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha,
hak pakai, dan muhibah (goodwill)

• Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha
tertentu
• Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai
berikut:

Kelompok Tak Harta Masa Tarif Amortisasi


Berwujud berdasarkan metode
Manfaat

Garis Saldo
Lurus Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

IV. Cara Menghitung Pajak


Pada pasal 17, Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


s.d Rp.60 Juta 5%
>Rp 60 Juta – Rp 250 Juta 15%
>Rp 250 Juta – Rp 500 Juta 25%
>Rp 500 Juta – Rp 5 Miliar 30%
>Rp 5 Miliar 35%
• Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 22% (dua puluh dua
persen) yang mulai berlaku pada tahun pajak 2022.
• Wajib Pajak badan dalam negeri:
1. berbentuk perseroan terbuka;
2. dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek
di Indonesia paling sedikit 40% (empat puluh persen); dan
3. memenuhi persyaratan tertentu, dapat memperoleh tarif sebesar 3% (tiga persen)
lebih rendah dari tarif sudah ditentukan.

V. Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan


Pada pasal 21, Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
• pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau
bukan pegawai;
• bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
• dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apa pun dalam rangka pension, Dll.

Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua
puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pada pasal 22, Menteri Keuangan dapat menetapkan:

• bendahara pemerintah untuk memungut Pajak sehubungan dengan pembayaran atas


penyerahan barang;
• badan‐badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain;

• Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah.
Terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi
100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pada pasal 23, Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam
bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib
Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan:

a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:


1. dividen
2. bunga
3. royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan
b. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan

Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif
pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang sudah ditetapkan

Pada pasal 25, Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran


pajak bagi:

a. Wajib Pajak baru;


b. bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk
bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol
koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.

Pada pasal 26, Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib
Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Dll
• Tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
membayarkan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang
• Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto.
• Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia.

VI. Perhitungan Pajak Pada Akhir Tahun


Pada pasal 28, Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang
terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa:
a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha
di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan
penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Dll.
Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang‐undangan di bidang
perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang.
Pada pasal 28A, apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah
dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan
dengan utang pajak berikut sanksi‐sanksinya. Hal‐hal yang harus menjadi pertimbangan
sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah:
a. kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terutang;
b. keabsahan bukti‐bukti pungutan dan bukti‐bukti potongan pajak serta bukti
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
Pada pasal 29, apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun Pajak ternyata lebih
besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan
pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan disampaikan.

VII. Ketentuan Lain-Lain


Pada pasal 31A, kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di
bidang‐bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas
tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
penanaman yang dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang
berlaku menetapkan lebih rendah.
Pada pasal 31C, Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam
negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan
imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib
Pajak terdaftar.
Pada pasal 31E, Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai
dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah).
Pada pasal 32B, ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau diskonto
Obligasi Negara yang diperdagangkan di negara lain berdasarkan perjanjian perlakuan
timbal balik dengan negara lain tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

VIIA. Pendelegasian Kewenangan

Ketentuan lebih lanjut mengenai:

a. penghasilan berupa keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan yang dikecualikan dari objek pajak karena diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4.
b. penghitungan amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (2) dan ayat
(2a);
c. pembentukan dan/atau pelaksanaan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang
perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A, Dll.

VIII. Ketentuan Peralihan


Pada pasal 33, Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 30 Juni
1984 serta yang berakhir antara tanggal 30 Juni 1984 dan tanggal 31 Desember 1984 dapat
memilih cara menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan dalam Ordonansi Pajak
Perseroan 1925 atau Ordonansi Pajak Pendapatan 1944.
Fasilitas perpajakan yang telah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember
1983, yang:
a. jangka waktunya terbatas, dapat dinikmati oleh Wajib Pajak yang bersangkutan sampai
selesai;
b. jangka waktunya tidak ditentukan, dapat dinikmati sampai dengan tahun pajak sebelum
tahun pajak 1984
Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan
minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan
kontrak karya dan kontrak bagi hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya undang‐
undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan‐ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan
1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua
peraturan pelaksanaannya.
Pada pasal 33A, Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni
1995 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang‐ undang Nomor 7 Tahun 1983.
Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan dan telah mendapat keputusan
tentang saat mulai berproduksi sebelum tanggal 1 Januari 1995, maka fasilitas perpajakan
dimaksud dapat dinikmati sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan.
Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas
bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil,
kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku
pada saat berlakunya Undang‐undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam
kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan
tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.

IX. Ketentuan Penutup


Pada pasal 35, Hal‐hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan
Undang‐Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. (Pada pasal II, UU ini mulai
berlaku pada tanggal 1 januari 1992).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991. (Pada pasal II, Undang-undang ini dapat
disebut “Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan
1984”. Serta pasal III, menyatakan bahwa UU ini mulai berlaku pada tanggal 1
januari 1995).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. (Pada pasal II, Undang-
undang ini dapat disebut “Undang-Undang Perubahan Ketiga Undang-undang
Pajak Penghasilan 1984”. Serta pada pasal III, Undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2001).
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. (UU ini mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2009).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
Menjadi Undang-Undang (UU ini diundangkan pada tanggal 18 Mei 2020)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU ini diundangkan
pada tanggal 2 November 2020).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Pada pasal 17:
1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mulai berlaku pada Tahun
Pajak 2022. (Editorial Note: Ketentuan Pemberlakuan Undang-Undang
Pajak Penghasilan)
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku pada
tanggal 1 April 2022. (Editorial Note: Ketentuan Pemberlakuan
Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah)
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mulai berlaku pada
tanggal 1 April 2022, yang pertama kali dikenakan terhadap badan yang
bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan tarif
Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen
(CO2e) atau satuan yang setara. (Editorial Note: Ketentuan
Pemberlakuan Undang-Undang Pajak Karbon).

 PBB P2 dan P3 serta Cara Perhitungan dan Studi Kasusnya

 PBB P2 (Perdesaan dan Perkotaan)


1. Dasar Hukum
UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (DPRD)
(Tergantung Peraturan Bupati dan Peraturan Daerah (Kota/Kabupaten) masing-
masing.
2. Objek Pajak

Bumi dan/atau bangunan yang dimiliki,dikuasai, dan/atau dimanfaatkan


oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Objek PBB P2 disesuaikan
dengan sektornya merupakan bumi dan bangunan di wilayah perkotaan dan
pedesaan. Contohnya seperti sawah, rumah, apartemen, hotel, rumah susun, pabrik
tanah kosong dan yang lain sebagainya. Berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU PDRD,
ada besaran tarif yang ditetapkan untuk PBB P2 ini yaitu maksimal sebesar
0,3%. Namun, baru- baru ini telah diubah mengacu pada Pasal 41 UU HKPD,
Besarnya tarif PBB P2 paling tinggi ditetapkan sebesar 0,5%. Sementara itu, tarif
PBB P2 yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah
dibandingkan dengan tarif untuk lahan yang lainnya yang ditetapkan terlebih
dahulu dengan Perda masing-masing daerah. Sedangkan bagi objek pajak lainnya
seperti pedesaan dan perkotaan dapat dilihat dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP),
yaitu: 40% (empat puluh persen) untuk nilai lebih dari Rp 1.000.000.000 (satu
miliar rupiah), sedangkan 20% (dua puluh persen) untuk nilai kurang dari Rp
1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

3. Subjek Pajak

Orang Pribadi atau Badan yang dapat mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas Bangunan. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

4. Cara Perhitungan
Mengacu pada PMK No. 67/PMK.03/2021, NJOPTKP merupakan batas untuk
nilai jual objek pajak yang tidak kena pajak. Untuk dapat mengetahui berapa
besaran PBB yang terutang, kita terlebih dahulu harus dikurangkan dengan
NJOPTKP. Sesuai PMK No. 23/PMK.03/2014 untuk NJOPTKP ditetapkan
sebesar Rp12 juta. pada pasal 77 ayat (4) & (5) UU PDRD, ditetapkan paling
rendah untuk besaran NJOPTKP yakni sebesar Rp10 juta untuk setiap wajib
pajak, Selain itu terdapat pula NJOP, NJOPTKP besarannya juga diatur dan
ditetapkan dengan peraturan pada daerah masing-masing. Bisa disimpulkan
bahwa rumus untuk mencari jumlah PBB P2 yang terutang yaitu sebagai
berikut: PBB P2 Terutang = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif x (NJOP –
NJOPTKP).
5. Studi Kasus
Diketahui Yona memiliki objek pajak di kota Tangerang. Objek pajak milik Yona
antara lain:
Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp300.000,00/m2; Bangunan seluas 400
m2 dengan nilai jual Rp350.000,00/m2; Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual
Rp50.000,00/m2; Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan
nilai jual Rp175.000,00/ m2. Jika tarif PBB-P2 berlaku di kota Tangerang sebesar
0,2% untuk NJOP nilainya Rp 1 miliar. NJOP sebesar 0,3% diatas Rp 1 miliar.
Berapa PBB-P2 yang harus dibayar Yona setiap tahun?
Jawab:
NJOP Bumi = 8 x Rp 300.000
NJOP Bumi = Rp 240.000.00 NJOP Bangunan
a. Rumah dan garasi = 400 x Rp 350.000
Rumah dan garasi = Rp 140.000.000
b. Taman = 200 x Rp 50.000
Taman = Rp 10.000.00
c. Pagar = 120 x 1,5 x Rp 175.000
Pagar = Rp 31.500.000
 Total nilai NJOP Bangunan = Rp 140.000 + Rp 10.000.000 + 31.500.000
Total nilai NJOP Bangunan = Rp 181.500.000
 Nilai jual objek pajak tidak kena pajak = Rp 181.500.000 - Rp 10.000.00
Nilai jual objek pajak tidak kena pajak = Rp 171.500.000
 Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota T 0,2%
PBB terutang = 0,2% x Rp 411.500.00 PBB terutang = Rp 823.000
 PBB P3 (Perhutanan, Perkebunan, Pertambangan)
1. Objek Pajak
hal ini diatur melalui Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186/PMK.03/2019
(PMK-186/2019). Objek PBB P3 dibagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu:

a) Objek pajak PBB Sektor Perkebunan meliputi bumi dan/atau bangunan yang
berada di kawasan perkebunan. Objek pajak PBB Sektor Perhutanan meliputi
bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perhutanan.
b) Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi meliputi bumi
dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan minyak dan/ atau
gas bumi.
c) Objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi
meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan
untuk pengusahaan panas bumi.
d) Objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara meliputi bumi
dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan mineral atau
batubara. Objek pajak PBB Sektor Lainnya meliputi bumi dan/atau bangunan
selain objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor
Perhutanan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,
objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, atau
objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, yang berada di
wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi laut
pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, atau perairan di dalam Batas Landas Kontinen Indonesia dan selain
objek PBB Perdesaan dan Perkotaan.
2. Tarif, NJOPTKP dan NJKP
berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
23/PMK.03/2014 NJOPTKP untuk PBB-P3 ditetapkan sebesar Rp12 juta. Dalam
dasar perhitungan PBB-P2 tidak ada unsur nilai jual kena pajak (NJKP) yang
merupakan suatu persentase tertentu dari nilai jual objek pajak (NJOP). Sementara
itu, dalam perhitungan dasar PBB-P3 mengenal adanya NJKP.
Merujuk Pasal 6 ayat (3) UU PBB, NJKP ditentukan serendah-rendahnya 20%
dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP. Berdasarkan Pasal 1 PP No. 25 Tahun 2002
ditetapkan objek pajak PBB sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar
40 % dari NJOP. Sementara itu, untuk objek pajak sektor lainnya NJKP ditetapkan
40% dari NJOP apabila NJOP-nya mencapai Rp1 miliar atau lebih. Untuk objek
pajak sektor lainnya dengan NJOP di bawah Rp1 miliar NJKP ditetapkan 20%.
3. Cara Perhitungan
PBB
=Tarif x Dasar Pengenaan Pajak
=Tarif x NJKP
=Tarif x (40% x (NJOP-NJOPTKP))
*Persentase NJKP 40% untuk PBB P3
Berdasarkan pada Pasal 6 ayat (3) UU PBB, NJKP ditentukan paling rendah
20% dan paling tinggi 100% dari NJOP. Untuk PBB-P3, yang masuk pada sektor
perkebunan, kehutanan, dan pertambangan (P3) sebesar 40% dari Nilai Jual Objel
Pajak (NJOP). Untuk objek pajak sektor lainnya, NJKP ditetapkan sebesar 40% apabila
NJOP mencapai Rp1 miliar atau lebih. Bila objek pajak lainnya memiliki NJOP
4. Studi Kasus
PT. Jayana Jaya, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit didaerah Sumatera Utara
memiliki/menguasai/mendapat manfaat dari tanah dan bangunan dengan rincian
sebagai berikut :
A. Nilai Tanah:
1. Areal Kebun:
a. Usia tanaman 2 tahun: 100 Ha, Nilai Dasar Tanah (NDT) = Rp5.000,-/M2.
b. SIT (TBM2): Rp57.415.215,- per Ha
c. Tanaman sudah menghasilkan: 300 Ha, NDT = Rp5.000,-/M2. SIT (TM1):
Rp71.428.571,- per Ha
2. Areal emplasemen:
a. Kantor: 0,5 Ha, NDT = Rp20.000,-/M2
b. Gudang: 1 Ha, NDT = Rp15.000,-/M2
c. Pabrik: 2 Ha, NDT = Rp15.000,-/M2 B. Bangunan:
a. Kantor: 500 M2, Nilai Bangunan = Rp1.000.000,-/M2
b. Gudang: 1.000 M2, Nilai Bangunan = Rp800.000,-/M2
c. Pabrik: 4.000 M2, Nilai Bangunan = Rp700.000,-/M2
Hitung PBB atas perkebunan tersebut dengan NJOPTKP sebesar Rp20 juta.
Jawaban:
A. Nilai Tanah: 1. Areal Kebun:
a. Usia tanaman 2 tahun: 100 x 10.000 x Rp5.000 = Rp 5.000.000.000,- SIT (TBM2):
100 x Rp57.415.215,- = Rp 5.741.521.500,-
b. Tanaman sudah menghasilkan: 300 x 10.000 x Rp5.000 = Rp 15.000.000.000,- SIT
(TM1): 300 x Rp71.428.571,- = Rp 21.428.571.300,- 2.
Areal Emplasemen:
a. Kantor: 0,5 x 10.000 x Rp20.000,- = Rp 100.000.000,-
b. Gudang: 1 x 10.000 x Rp15.000,- = Rp 150.000.000,-
c. Pabrik: 2 x 10.000 x Rp15.000,- = Rp 300.000.000,-
Nilai Tanah (1 + 2) = Rp 42.619.092.800,-
Nilai Tanah/M2 = Rp 42.619.092.800/8.035.000 = Rp 5.303,12/M2
Hasil konversi: Kelas 166 = Rp 5.300,-/M2
NJOP Tanah seluruhnya = 8.035.000 x Rp 5.300 = Rp 42.611.550.000,-
B. Nilai Bangunan:
a. Kantor: 500 x Rp 1.000.000,- = Rp 500.000.000,-
b. Gudang: 1.000 x Rp 800.000,- = Rp 800.000.000,-
c. Pabrik: 4.000 x Rp 700.000,- = Rp 2.800.000.000,-
Nilai Bangunan seluruhnya = Rp 4.100.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = Rp 4.100.000.000/5.500 = Rp 745.454,55
Hasil konversi:
Kelas 067 = Rp 750.000,-/M2 NJOP
Bangunan seluruhnya = 5.500 x Rp 750.000,- = Rp 4.125.000.000,-
NJOP Tanah dan Bangunan seluruhnya = Rp 46.736.550.000,-
NJOPTKP = Rp 20.000.000,-
NJOP untuk perhitungan PBB = Rp 46.716.550.000,- PBB = 0,5% x 40% x Rp
46.716.550.000,- = Rp 93.433.100,

Anda mungkin juga menyukai