Anda di halaman 1dari 8

Landasan Hukum UU No.

36 Th 2008 PPh
Pengertian Badan sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha

Jenis-Jenis Badan : perseroan terbatas (PT), perseroan komanditer (CV), perseroan lainnya,
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun dan sebagainya.

PENGUKURAN ASSET

Pengeluaran yang didak boleh dibebankan Sekaligus Pasal 9 Ayat (2) UU PPh 

Merupakan Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan


yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan dikapitalisasi saat pengeluaran,
untuk kemudian dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

• Perolehan yang dipengaruhi hubungan istimewa.

• Tukar menukar harta.

• Perolehan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,


atau pengambilalihan usaha, kecuali  ditentukan lain oleh Menkeu.

• Pengalihan selain dalam bentuk sumbangan keagamaan yang bersifat wajib kepada
lembaga yang dibentuk atau disahkan pemerintah; atau hibah kepada keluarga dalam
garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
sesuai ketentuan Menkeu.

• Pengalihan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.

Berlaku nilai sesuai nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang
ditetapkan Dirjen Pajak, untuk:

• Pengalihan dalam bentuk sumbangan keagamaan yang bersifat wajib kepada lembaga
yang dibentuk atau disahkan pemerintah; atau hibah kepada keluarga dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial sesuai
ketentuan Menkeu.

• Warisan.
Tarif Penyusutan dan Amortisasi Pasal 11 Ayat (6),
dan (7); serta Pasal 11A Ayat (2) UU PPh

PSAK 60. 16 Revisi 2007 menyatakan bahwa aset tetap adalah aset berwujud yang
diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang
digunakan dalam operasi perusahaan tidak dimaksudkan untuk dijual kembali dalam
rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaatlebih dari satu tahun.

Tarif Penyusutan dan Amortisasi Pasal 11 Ayat (6), dan (7); serta Pasal 11A Ayat
(2) UU PPh

Kelompok Aset Masa Tarif Penyusutan Tarif Penyusutan


Manfaat
(Metode Garis (Metode Saldo Menurun
Lurus) Berganda)
Aset Berwujud Selain
Bangunan dan Aset Tak
Berwujud
Kelompok I 4 Tahun 25% 50%
Kelompok II 8 Tahun 12,5% 25%
Kelompok III 16 Tahun 6,25% 12,5%
Kelompok IV 20 Tahun 5% 10%
Bangunan
Non Permanen 10 Tahun 10% -
Permanen 20 Tahun 5% -
· Kelompok I              : Contohnya  Sepeda motor, sepeda dan becak. Atau

  Alat perlengkapan khusus (tools) bagi industri/jasa   

  Yang bersangkutan.

· Kelompok II             : Mobil, bus, truk, speed boat dan sejenisnya.

· Kelompok III           : Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk.

· Kelompok IV           : Mesin berat untuk konstruksi, Kapal penumpang,

   kapal barang dan sejenisnya.

Ketentuan Khusus Atas Penyusutan


-  Penyusutan tidak boleh dilakukan atas aset yang tidak dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Atas aset ini, keuntungan
pengalihannya merupakan objek pajak, akan tetapi kerugian pengalihannya tidak
dapat dibebankan sebagai biaya.

-  Aset berupa tanah tidak dikenai penyusutan.

-  Atas aset yang dilakukan revaluasi, maka paska revaluasi dilakukan perubahan
beban penyusutan sesuai dengan nilah hasil revaluasi.

-  Penyusutan aset bagi sektor industri tertentu dapat dikenai ketentuan berbeda, di
antaranya dapat diberikan fasilitas percepatan pengakuan beban penyusutan, diatur
oleh ketentuan Menkeu.

Ada tiga klasifikasi tarif yang berlaku bagi badan usaha yang penghasilan brutonya
berbeda-beda. Pertama adalah bagi badan usaha yang penghasilan bruto (peredaran
brutonya) di bawah Rp4.8 Miliar.

Kedua adalah bagi badan usaha yang penghasilan bruto atau (peredaran brutonya) di
atas Rp4.8 Miliar dan kurang dari Rp50 Miliar.

Ketiga adalah bagi badan usaha yang penghasilan bruto (gross income-nya) lebih dari
Rp50 Miliar.

Bila peredaran bruto (omzet) atau 'gross income' usaha Anda di bawah Rp4.8 Miliar, maka
tarif pajaknya adalah 0,5% dari Jumlah Peredaran Bruto (omzet). (Jumlah seluruh total
penjualan / pendapatan sebelum dikurangi biaya/beban X 0,5%). Tarif ini mulai
diberlakukan per 1 Juli 2018.

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp.
50.000.000.000,- (lima puluh milyar) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar
50% (lima puluh persen) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,- (empat milyar delapan ratus juta
rupiah).
Bila 'gross income' di atas Rp50 Miliar, maka tarif pajaknya adalah 25% dari Penghasilan
Kena Pajak. (Penghasilan Kena Pajak = Pendapatan/Penjualan – Biaya/Beban Operasional
dikoreksi fiskal +/-).

Contoh Soal
SOAL ILUSTRASI :

PT. Universal merupakan unit BUT yang dimiliki oleh suatu perusahaan asing yang
bergerak di bidang manufaktur barang – barang kerajinan. Di tahun 2012, PT. Universal
mencatatkan peredaran bruto sebesar Rp 25.000.000.000,00 serta total biaya operasi dan
non operasi sesuai laporan finansial sebesar Rp 16.500.000.000,00. Atas pemeriksaan
ulang, nilai tersebut perlu mendapatkan koreksi fiskal positif senilai Rp 500.000.000,00.
Jika penghasilan BUT seluruhnya dikirimkan kepada perusahaan induk, berapakah PPh 26
yang seharusnya dipotong terhadap penghasilan PT. Universal? Bagaimana PT. Universal
melakukan penjurnalan?

Jawaban         :

            Peredaran bruto                                           Rp 25.000.000.000

            Biaya operasi dan non operasi                  (Rp 16.500.000.000)

            Koreksi fiskal positif                                   Rp      500.000.000

            Penghasilan Kena Pajak                             Rp  9.000.000.000,-

Bagian PKP terkena keringanan tarif pasal 31E

            = 4.800.000.000/ 25.000.000.000 * 9.000.000.000

            = Rp 1.728.000.000

PPh badan atas penghasilan BUT

            = 50% x 25% x 1.728.000.000 + 25% x (9.000.000.000 -  1.728.000.000)

            = 12,5% x 1.728.000.000     + 25% x 7.272.000.000

            = 216.000.000 +   1.818.000.000

            = Rp 2.034.000.000

 
Penghasilan sebelum pajak                       Rp 9.000.000.000

            PPh badan                                     (Rp 2.034.000.000)

            Penghasilan setelah pajak              Rp 6.966.000.000,-

PPh 26 atas penghasilan setelah pajak     (Jika Perusahaan Asing dan tidak ada P3B-
Perjanjian penghindaran pajak berganda antar Negara)

            = 20% x 9.000.000.000

            = Rp 1.800.000.000,-

Jurnal

            Income Summary                 6.966.000.000

                        Laba Ditahan                                               6.966.000.000

            

              Beban pajak                          2.034.000.000

                        Utang PPh 29                                                2.034.000.000

                

           Beban Pajak                          1.800.000.000

                       Utang PPh 26                                                1.800.000.000

Tambahan Materi dan Contoh Kasus


Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
PPN, Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain. Adapun dijelaskan  pada  Pasal 8 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
dan Pelunasan pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, ketergantungan atau keterikatan
dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan usaha,
pekerjaan, atau kepemilikan atau penguasaan, yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.Penjelasan terkait Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
adalah sebagai berikut:
1.    Berkenaan dengan usaha

Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha antara


Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila terdapat
transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak. Transaksi yang bersifat rutin antara
kedua belah pihak adalah berupa pembelian, penjualan, atau pemberian imbalan lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2.    Berkenaan dengan pekerjaan

Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan antara


Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila terdapat hubungan
yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara langsung atau
tidak langsung antara kedua pihak tersebut. Contoh hubungan berkenaan dengan
pekerjaan adalah sebagai berikut:

a)            Tuan Andi merupakan direktur PT XYZ dan Tuan Banu merupakan pegawai PT
XYZ. Dalam hal ini, antara PT XYZ dengan Tuan Andi dan/atau Tuan Banu terdapat
hubungan pekerjaan langsung. Jika Tuan Andi dan/atau Tuan Banu menerima bantuan
atau sumbangan dari PT XYZ atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan tersebut
merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima karena antara PT XYZ dengan
Tuan Andi dan/atau Tuan Banu mempunyai hubungan pekerjaan langsung.

3.    Berkenaan kepemilikan atau penyertaan modal

Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau


penguasaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila
terdapat kepemilikan atau penyertaan modal; atau adanya penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi. Selain itu, hubungan istimewa di antara Wajib
Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Berikut penjelasan mengenai penyebab Hubungan istimewa :

a)         Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak
atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT
A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima
puluh persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung
mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal
demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT
A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D
dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga
terjadi antara orang pribadi dan badan.

Harga perolehan dan pengalihan harta dalam Undang-undang Pajak Penghasilan

Harga perolehan dan pengalihan harta mempengaruhi besarnya penghasilan yang


diperoleh wajib pajak. Pasal 10 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang
penentuan harga perolehan dan pengalihan harta, serta nilai pemakaian persediaan. Ada
beberapa cara dalam perolehan dan pengalihan harta, yaitu sebagai berikut:

1.    Jual Beli

Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak
dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah
jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat
hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.

Contoh kasus

CV L menjual mobil kepada CV H dengan harga Rp110.000.000,-, tetapi harga pasar wajar
dari mobil tersebut adalah Rp150.000.000,-. Nilai buku mobil tersebut bagi CV L adalah
Rp90.000.000,-

Jika antara CV L dan CV H ada hubungan istimewa, harga penjualan adalah harga pasar
wajar sebesar Rp150.000.000,-, sehingga keuntungan yang diperoleh oleh CV L sebesar
Rp40.000.000,-
2.    Tukar Menukar

Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar‐menukar harta adalah jumlah
yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.

Contoh kasus

CV L menukarkan Mobil merk Cayla (Nilai Buku Rp100.000.000,-; Harga Pasar


Rp150.000.000,-) dengan Mobil merk Toyota (Nilai Buku Rp80.000.000,-; Harga Pasar
Rp150.000.000,-) milik CV H. Dari transaksi tersebut, CV L memperoleh keuntungan
sebesar Rp50.000.000,- dan CV H memperoleh keuntungan sebesar Rp70.000.000,-.

Sehingga harga perolehan Mobil merk Cayla dan Mobil merk Toyota dari pertukaran
tersebut adalah sebesar harga pasarnya, yaitu Rp150.000.000,-

3.    Likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau


pengambilalihan usaha

Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah
jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali
ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan

Contoh kasus

PT B menggabungkan usaha dengan PT S. Pada saat penggabungan, Mobil yang dimiliki


PT B memiliki nilai buku Rp150.000.000,-, sedangkan harga pasarnya adalah
Rp175.000.000,-. Maka PT B memperoleh keuntungan sebesar Rp25.000.000,-.

Anda mungkin juga menyukai