Pendahuluan
PENYUSUTAN
Untuk menghitung besarnya penyusutan harta tetap berwujud dibagi menjadi dua golongan,
yaitu:
1. Kelompok 1 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
4 tahun.
2. Kelompok 2 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
8 tahun.
3. Kelompok 3 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
16 tahun.
4. Kelompok 4 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
20 tahun.
Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu metode untuk melakukan penyusutan.
Untuk menghitung penyusutan fiskal, setiap aktiva tetap harus dikelompokkan. Hal
ini diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 96/PMK.03/2009
tentang Jenis-Jenis Harta yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan
Bangunan untuk Keperluan Penyusutan.
Contoh 1:
PT. Nusantara mengeluarkan dana sebesar Rp. 150.000.000 untuk pembangunan sebuah
Gedung, pembangunan dimulai sejak tanggal 10 Agustus 2015. Gedung tersebut selesai
dibangun dan langusung di gunakan pada bulan Mei 2016. Penyusutan atas bangunan tersebut
dimulai sejak bulan Mei 2016.
Contoh 2:
PT. Sarimadu yang bergerak dalam bidang perkebunan tebu membeli tractor pada bulan maret
2016. Perkebunan tsb mulai memanen hasilnya pada bulan Juni 2018. Dengan persetujuan
Dirjen Pajak, penyusutan tractor dapat dilakukan mulai bulan Juni 2018.
Contoh 3:
PT. Jaya pada bulan Juli 2014 membeli sebuah alat pertanian yang mempunyai masa manfaat 4
tahun seharga Rp. 1.000.000. Perhitungan penyusutan atas harta tersebut adalah sbb:
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainya termasuk biaya perpanjangan hak
guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwiil) yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun di amortisasikan dengan metode garis lurus dan metode saldo
menurun. Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu metode untuk melakukan
amortisasi.
Tabel berikiyt menggambarkan pengelompokan harta tak berwujud, metode dan tarif
amortisasinya
1. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan.
Pengeluaran ini dapat juga dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran.
2. Pengeluaran dilakukan sebelum operasi komersial, yang mempunyai manfaaf lebih dari satu
tahun. Pengeluaran ini di kapitalisasikan kemudian diamortisasikan sesuai table di atas.
Suatu hal yang harus di perhatikan adalah bahwa biaya operasional yang bersifat rutin, ex:
biaya listrik telp, gaji pegawai, dan biaya kantor lainya , tidak boleh dikapitalisasikan tetapi di
bebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Konsep Dasar
Secara konsep, Indonesia adalah negara yang menganut adanya sistem practically
formal dependence antara standar akuntansi komersial dan standar akuntansi pajak.
Artinya, tidak ada perbedaan sistem antara standar akuntansi perpajakan dan akuntansi
komersial (Essers dan Russo, 2009). Atau dengan kata lain, selama suatu transaksi atau
peristiwa keuangan tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundang-undangan
perpajakan, maka pembukuannya harus mengikuti akuntansi komersial atau SAK yang
ada.
Hal ini ditunjukkan melalui Penjelasan Pasal 28 Ayat (7) UU Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mengatur bahwa pembukuan sekurang-kurangnya
terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang sebagai
berikut:
“....pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di
Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan
perundang-undangan perpajakan menentukan lain.”
Perlu dipahami, seringkali terjadi pemahaman yang keliru bahwa wajib pajak harus
melakukan dua laporan keuangan, yaitu laporan keuangan secara komersial dan
laporan keuangan secara pajak. Sesuai pasal di atas, dapat ditegaskan bahwa pada
dasarnya wajib pajak hanya perlu membuat satu laporan keuangan berdasarkan sistem
komersial, namun khusus untuk penghitungan pajak terutang, diperlukan penyesuaian
kembali berdasarkan laporan keuangan komersial yang telah dibuat.
Atas pos-pos penghasilan dan biaya di atas dilakukan rekonsiliasi fiskal yang pada
umumnya mengacu pada Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh.
Namun, terdapat pula ketentuan perpajakan lain (UU PPh dan aturan turunannya) yang
dapat menjadi acuan dalam melakukan rekonsiliasi fiskal.*
Beda tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang
sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan
dengan laba kena pajak.
Dengan kata lain, dalam beda tetap ini, penghasilan dan biaya yang diakui dalam
penghitungan laba neto untuk akuntansi komersial, tidak diakui dalam penghitungan
akuntansi pajak.
Contohnya penghasilan yang menimbulkan beda tetap adalah hibah, sumbangan, dan
penghasilan bunga deposito. Adapun contoh biaya yang menimbulkan beda tetap adalah
biaya sanksi perpajakan, entertaintment (tanpa daftar nominatif), pengeluaran yang
tidak ada kaitannya dengan kegiatan perusahaan.
Beda waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara
artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak.
Dalam beda waktu ini, penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat ini oleh akuntansi
komersial atau sebaliknya, tidak dapat diakui sekaligus oleh akuntansi pajak, biasanya
karena perbedaan metode pengakuan. Contoh penghasilan yang menimbulkan beda
waktu adalah pendapatan laba selisih kurs. Sementara untuk contoh biayanya adalah
biaya penyusutan dan biaya sewa.
Secara sederhana, koreksi fiskal positif akan menyebabkan laba kena pajak akan
bertambah atau dengan kata lain menyebabkan penambahan PPh terutang. Jadi, koreksi
positif akan menambahkan pendapatan dan mengurangi atau mengeluarkan biaya-
biaya yang sekiranya harus diakui secara fiskal.
Secara rinci, koreksi positif umumnya disebabkan oleh biaya-biaya yang tidak
diperkenankan oleh pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh. Biaya-biaya
tersebut di antaranya:
Sebaliknya, koreksi negatif akan menyebabkan laba kena pajak berkurang atau
pengurangan PPh terutang. Hal ini disebabkan oleh pendapatan komersil yang lebih
tinggi daripada pendapatan fiskal dan biaya-biaya komersil yang lebih kecil daripada
biaya-biaya fiskal.
Penyebab dari adanya koreksi negatif sendiri di antaranya adalah penghasilan yang
dikenakan PPh final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak tetapi termasuk
dalam peredaran usaha (PPh Pasal 4 ayat (2)), selisih penyusutan/amortisasi komersial
komersial di bawah penyusutan/amortisasi fiskal, dan penyesuaian fiskal negatif lain.