Anda di halaman 1dari 9

PENYUSUTAN , AMORTISASI DAN KOREKSI FISKAL

Pendahuluan

Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan, penyusutan (depresiasi) merupakan konsep


alokasi harga perolehan harta tetap berwujud, sedangkan amortisasi merupakan konsep alokasi
harga perolehan harta tetap tdk berwujud.

PENYUSUTAN

Untuk menghitung besarnya penyusutan harta tetap berwujud dibagi menjadi dua golongan,
yaitu:

1. Harta berwujud yang bukan berupa bangunan


2. Harta berwujud yang berupa bangunan

Harta berwujud yang bukan bangunan tdd 4 kelompok yaitu:

1. Kelompok 1 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
4 tahun.
2. Kelompok 2 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
8 tahun.
3. Kelompok 3 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
16 tahun.
4. Kelompok 4 : kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat
20 tahun.

Harta berwujud yang bukan bangunan tdd 4 kelompok yaitu:

1. Permanen : masa manfaat 20 tahun


2. Tidak Permanen : bangunan yang bersifat sementara . terbuat dari bahan yang tidak
tahan lama atau bangunan yang dapat di pindah-pindahkan. Masa manfaat tidak
lebih dari 10 tahun.

METODE DAN TARIF PENYUSUTAN


Metode penyusutan yang dipergunakan adalah:
a. Metode garis lurus (straight line method) : diperkenankan dipergunakan untuk semua
kelompok harta tetap berwujud.
b. Metode saldo menurun (declining balance method) : diperkenankan digunakan untuk
kelompok harta berwujud bukan bangunan saja.

Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu metode untuk melakukan penyusutan.

Tabel berikut menggambarkan pengelompokan harta berwujud. Metode dan tarif


penyusutanya:

Kelompok Harta Masa Tarif - Metode garis Tarif -  Metode Saldo


Berwujud Manfaat Lurus Menurun
I. Bukan Bangunan      
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan
Tidak Permanen 10 tahun 10% -
Permanen 20 tahun 5% -

 Untuk menghitung penyusutan fiskal, setiap aktiva tetap harus dikelompokkan. Hal
ini diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 96/PMK.03/2009
tentang Jenis-Jenis Harta yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan
Bangunan untuk Keperluan Penyusutan.

SAAT DIMULAINYA PENYUSUTAN

Saat penyusutan dapat dimulai pada:

1. Bulan dilakukanya pengeluaran.


2. Untuk harta yang masih dalam pengerjaan, penyusutanya dimulai pada bulan
pengerjaan harta tsb selesai.
3. Dengan izin DIrektur Jenderal Pajak. Penyusutan dapat dimulai pada bulan harta
berwujud mulai digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
atau pada bulan harta tsb mulai menghasilkan.

CONTOH PENGHITUNGAN PENYUSUTAN

Contoh 1:

PT. Nusantara mengeluarkan dana sebesar Rp. 150.000.000 untuk pembangunan sebuah
Gedung, pembangunan dimulai sejak tanggal 10 Agustus 2015. Gedung tersebut selesai
dibangun dan langusung di gunakan pada bulan Mei 2016. Penyusutan atas bangunan tersebut
dimulai sejak bulan Mei 2016.
Contoh 2:

PT. Sarimadu yang bergerak dalam bidang perkebunan tebu membeli tractor pada bulan maret
2016. Perkebunan tsb mulai memanen hasilnya pada bulan Juni 2018. Dengan persetujuan
Dirjen Pajak, penyusutan tractor dapat dilakukan mulai bulan Juni 2018.

Contoh 3:

PT. Jaya pada bulan Juli 2014 membeli sebuah alat pertanian yang mempunyai masa manfaat 4
tahun seharga Rp. 1.000.000. Perhitungan penyusutan atas harta tersebut adalah sbb:

Alternatif 1 : Metode Garis Lurus

Penyusutan tahun 2014:


6/12 x 25% x Rp. 1.000.000 = Rp. 125.000 (Ket : 6 = 6 bulan )
Penyusutan tahun 2015:
25% Rp. 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 2016:
25% Rp. 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 2017 :
25% Rp. 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 2018 :
Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 125.000

Alternatif 2 : Metode Saldo Menurun

Penyusutan tahun 2014:


6/12 x 50% x Rp. 1.000.000 = Rp. 250.000
Penyusutan tahun 2015:
50% X (1.000.000 – Rp. 250.000)
50% x Rp. 750,000 = Rp. 375.000
Penyusutan tahun 2016:
50% x (Rp. 750,000 – Rp. 375.000)
50% x Rp. 375.000 = Rp. 187.500
Penyusutan tahun 2017:
50% X (Rp. 375.000 - Rp. 187.500)
50% x Rp. 187.500 = Rp. 93.750
Penyusutan tahun 2018 :
Sisanya disusutkan sekaligus = Rp. 93.750
Nilai sisa buku : (Rp. 1.000.000 – Rp. 250.000 – Rp. 375.000 – Rp. 187.500 – Rp.
93.750 = Rp. 93.750.
AMORTISASI

Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainya termasuk biaya perpanjangan hak
guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwiil) yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun di amortisasikan dengan metode garis lurus dan metode saldo
menurun. Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu metode untuk melakukan
amortisasi.

Tabel berikiyt menggambarkan pengelompokan harta tak berwujud, metode dan tarif
amortisasinya

Masa Manfaat dan Tarif Amortisasi


Kelompok Harta Tak Tarif Amortisasi - Garis Tarif Amortisasi -
Masa Manfaat
Berwujud Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

Kelompok, metode, tarif amortisasi diatas berlaku juga untuk :

1. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan.
Pengeluaran ini dapat juga dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran.
2. Pengeluaran dilakukan sebelum operasi komersial, yang mempunyai manfaaf lebih dari satu
tahun. Pengeluaran ini di kapitalisasikan kemudian diamortisasikan sesuai table di atas.
Suatu hal yang harus di perhatikan adalah bahwa biaya operasional yang bersifat rutin, ex:
biaya listrik telp, gaji pegawai, dan biaya kantor lainya , tidak boleh dikapitalisasikan tetapi di
bebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.

CONTOH PENGHITUNGAN AMORTISASI


Contoh 4 :
PT. Jaya tanggal 4 Januari 2014 mengeluarkan uang sebanyak Rp. 100.000.000 untuk
memperoleh hak lisensi dari Phonexcycle Ltd. Selama 4 tahun untuk memproduksi sepeda
Phoenix. Perhitungan amortisasi atas hak lisensi tsb adalah sbb :
(nb : hak liesensi masuk kedalam

Alternatif 1 : metode Garis Lurus.


Amortisasi tahun 2014:
25% Rp. 100.000.000 = Rp. 25.000.000
Amortisasi tahun 2015:
25% Rp. 100.000.000 = Rp. 25.000.000
Amortisasi tahun 2016:
25% Rp. 100.000.000 = Rp. 25.000.000
Amortisasi tahun 2017:
25% Rp. 100.000.000 = Rp. 25.000.000

Alternatif 2 : Metode saldo menurun.


Amortisasi tahun 2014:
50% Rp. 100.000.000 = Rp. 50.000.000
Amortisasi tahun 2015:
50% x (Rp. 100.000.000 - Rp. 50.000.000) = Rp. 25.000.000
Amortisasi tahun 2016:
50% Rp. (Rp. 50.000.000 - Rp. 25.000.000) = Rp. 12.500.000
Amortisasi tahun 2017:
Diamortisasikan sekaligus : Rp. 100.000.000 – 50.000.000 – 25.000.000 – 12.500.00
= Rp. 12.500.000
REKONSILIASI FISKAL
Konsep Dasar Rekonsiliasi Fiskal
Dalam setiap tahun pajak, laporan keuangan yang disusun oleh wajib pajak orang
pribadi dan badan yang menjalankan usaha biasanya harus disesuaikan dengan
peraturan fiskal. Hal itu wajib dilakukan ketika laporan keuangan tersebut dijadikan
sebagai dasar untuk membuat surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan
(PPh). Penyesuaian ini lebih dikenal dengan istilah rekonsiliasi fiskal atau koreksi fiskal.

Pertanyaan mendasarnya, mengapa diperlukan proses rekonsiliasi fiskal untuk


menghitung pajak terutang? Secara umum, standar laporan keuangan perusahaan yang
berlaku di Indonesia saat ini mengacu pada standar akuntansi keuangan (SAK), yang
tidak selalu sesuai atau selaras dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Oleh sebab,
itu diperlukan rekonsiliasi fiskal untuk menyelaraskan keduanya.

Konsep Dasar
Secara konsep, Indonesia adalah negara yang menganut adanya sistem practically
formal dependence antara standar akuntansi komersial dan standar akuntansi pajak.
Artinya, tidak ada perbedaan sistem antara standar akuntansi perpajakan dan akuntansi
komersial (Essers dan Russo, 2009). Atau dengan kata lain, selama suatu transaksi atau
peristiwa keuangan tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundang-undangan
perpajakan, maka pembukuannya harus mengikuti akuntansi komersial atau SAK yang
ada.

Walau demikian, dalam hal terdapat suatu peraturan perundang-undangan di bidang


perpajakan yang secara khusus mengatur tata cara pembukuan atas suatu transaksi
atau peristiwa, maka tata caranya mengikuti standar akuntansi perpajakan.

Hal ini ditunjukkan melalui Penjelasan Pasal 28 Ayat (7) UU Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mengatur bahwa pembukuan sekurang-kurangnya
terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang sebagai
berikut:

“....pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di
Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan
perundang-undangan perpajakan menentukan lain.”

Perlu dipahami, seringkali terjadi pemahaman yang keliru bahwa wajib pajak harus
melakukan dua laporan keuangan, yaitu laporan keuangan secara komersial dan
laporan keuangan secara pajak. Sesuai pasal di atas, dapat ditegaskan bahwa pada
dasarnya wajib pajak hanya perlu membuat satu laporan keuangan berdasarkan sistem
komersial, namun khusus untuk penghitungan pajak terutang, diperlukan penyesuaian
kembali berdasarkan laporan keuangan komersial yang telah dibuat.

Penghitungan Laba Komersial Vs Fiskal


Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak karena terdapat perbedaan perhitungan
antara laba menurut komersial atau akuntansi dengan laba menurut perpajakan.
Laporan keuangan komersial ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan
finansial dari sektor swasta, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk
menghitung pajak.

Dengan demikian, rekonsiliasi fiskal dapat diartikan sebagai usaha mencocokan


perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial dengan perbedaan yang
terdapat dalam laporan keuangan fiskal yang disusun berdasarkan UU perpajakan.
Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos penghasilan dan pos-pos biaya laporan
keuangan komersial, antara lain:

 rekonsiliasi terhadap penghasilan yang dikenakan PPh final;


 rekonsiliasi terhadap penghasilan yang bukan merupakan objek pajak;
 wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang
penghasilan bruto;
 wajib pajak menggunakan metode pencatatan yang berbeda dengan ketentuan
pajak; dan
 wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya untuk mendapatkan pendapatan yang telah
dikenakan PPh fnal dan pendapatan yang dikenakan PPh non final.

Atas pos-pos penghasilan dan biaya di atas dilakukan rekonsiliasi fiskal yang pada
umumnya mengacu pada Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh.
Namun, terdapat pula ketentuan perpajakan lain (UU PPh dan aturan turunannya) yang
dapat menjadi acuan dalam melakukan rekonsiliasi fiskal.*

Jenis Koreksi Fiskal


Secara umum, rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak karena terdapat perbedaan
perhitungan antara laba menurut komersial atau akuntansi dengan laba menurut
perpajakan. Laporan keuangan komersial ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan
keadaan finansial dari sektor swasta, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih
ditujukan untuk menghitung pajak.

Perbedaan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal berdasarkan


pembebanannya dapat dibedakan dua macam, yaitu beda tetap (permanent differences)
dan beda waktu (timing differences). Selain itu dapat juga diklasifikasi menjadi dua jenis,
yaitu koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif.
Beda Tetap dan Beda Waktu

Beda tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang
sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan
dengan laba kena pajak.

Dengan kata lain, dalam beda tetap ini, penghasilan dan biaya yang diakui dalam
penghitungan laba neto untuk akuntansi komersial, tidak diakui dalam penghitungan
akuntansi pajak.

Contohnya penghasilan yang menimbulkan beda tetap adalah hibah, sumbangan, dan
penghasilan bunga deposito. Adapun contoh biaya yang menimbulkan beda tetap adalah
biaya sanksi perpajakan, entertaintment (tanpa daftar nominatif), pengeluaran yang
tidak ada kaitannya dengan kegiatan perusahaan.

Beda waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara
artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak.

Dalam beda waktu ini, penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat ini oleh akuntansi
komersial atau sebaliknya, tidak dapat diakui sekaligus oleh akuntansi pajak, biasanya
karena perbedaan metode pengakuan. Contoh penghasilan yang menimbulkan beda
waktu adalah pendapatan laba selisih kurs. Sementara untuk contoh biayanya adalah
biaya penyusutan dan biaya sewa.

Koreksi Fiskal Positif dan Negatif

Secara sederhana, koreksi fiskal positif akan menyebabkan laba kena pajak akan
bertambah atau dengan kata lain menyebabkan penambahan PPh terutang. Jadi, koreksi
positif akan menambahkan pendapatan dan mengurangi atau mengeluarkan biaya-
biaya yang sekiranya harus diakui secara fiskal.

Secara rinci, koreksi positif umumnya disebabkan oleh biaya-biaya yang tidak
diperkenankan oleh pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh. Biaya-biaya
tersebut di antaranya:

 Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau


orang yang menjadi tanggungannya.
 Dana cadangan.
 Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
 Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
 Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan.
 Pajak penghasilan.
 Gaji yang dibayarkan kepada pemilik.
 Sanksi administrasi.
 Selisih penyusutan/amortisasi komersial di atas penyusutan/amortisasi fiskal.
 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
dikenakan PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
 Penyesuaian fiskal positif lain yang tidak berasal dari hal-hal yang telah
disebutkan di atas.

Sebaliknya, koreksi negatif akan menyebabkan laba kena pajak berkurang atau
pengurangan PPh terutang. Hal ini disebabkan oleh pendapatan komersil yang lebih
tinggi daripada pendapatan fiskal dan biaya-biaya komersil yang lebih kecil daripada
biaya-biaya fiskal.

Penyebab dari adanya koreksi negatif sendiri di antaranya adalah penghasilan yang
dikenakan PPh final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak tetapi termasuk
dalam peredaran usaha (PPh Pasal 4 ayat (2)), selisih penyusutan/amortisasi komersial
komersial di bawah penyusutan/amortisasi fiskal, dan penyesuaian fiskal negatif lain.

Anda mungkin juga menyukai