Anda di halaman 1dari 13

PEREKONOMIAN INDONESIA

Oleh:

Desak Putu Ratna Dewi 1707531006

Ni Luh Sari Wagiswari 1707531070

Gusti Ayu Ratrini 1707531106

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2019/2020
6.1 ANALISA INDEKS DAN PERKEMBANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Para ekonom membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan. Kedua ukuran tersebut
adalah distribusi ukuran, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima
masing-masing orang dan distribusi Fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor
produksi. Dari dua jenis distribusi pendapatan ini kemudian dihitung indicator untuk
menunjukan distribusi pendapatan masyarakat.

6.1.1 Distribusi Pendapatan Ukuran


Distribusi pendapatan perorangan atau distribusi ukuran pendapatan. Ukuran ini secara
langsung menghitung jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau
rumah tangga. Cara mendapatan pendapatan itu tidak dimasalahkan, yang perlu
diperhatikan disini adalah banyaknya pendapatan yang diterima seseorang, tidak
peduli dari mana sumbenya, entah itu berasal dari gaji atau berasal dari sumber lain
seperti bunga tabungan, laba, hasil sewa, hadiah ataupun warisan. Lokasi sumber
pendapatan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang pendapatan yang menjadi
sumber pendapatan (pertanian, manufaktur, perdagangan, jasa) juga diabaikan.
Biasanya, populasi dibagi menjadi lima kelompok atau kuintil (quintiles) atau sepuluh
kelompok yang disebut desil (decile) sesuai dengan tingkat pendapatan yang
diperoleh, kemudian menetapkan beberapan proporsi yang diterima oleh maing-
masing kelompok dari pendapatan nasional total.
Dalam contoh tabel disajikan, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20
individu (atau lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut
kemudian diurutkan berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah
(0,8 unit), hingga yang tertinggi (15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan
nasional yang merupakan penjumlahan dari pendapatan semua individu adalah 100
unit, seperti tampak pada kolom 2 dalam tabel tersebut. Dalam kolom 3, segenap
rumah tangga digolong-golongkan menjadi 5 kelompok yang masing-masing terdiri
dari 4 individu atau rumah tangga. Kuintil pertama menunjukkan 20 persen populasi
terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5 persen (dalam hal
ini adalah 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu 5-8)
menerima 9 persen dari pendapatan total. Dengan kata lain, 40 persen populasi
terendah (kuintil 1 dan 2) hanya menerima 14 persen dari pendapatan total, sedangkan
20 persen teratas (kuintil ke lima) dari populasi menerima 51 persen dari pendapatan
total.
pendapatan / orang
Individu Pangsa (%) kuintil Pangsa (%) Desil
(unit uang)
1 0,8
2 1,0 1,8
3 1,4
4 1,8 5 3,2
5 1,9
6 2,0 3,9
7 2,4
8 2,7 9 5,1
9 2,8
10 3,0 5,8
11 3,4
12 3,8 13 7,2
13 4,2
14 4,8 9,0
15 5,9
16 7,1 22 13,0
17 10,5
18 12,0 22,5
19 13,5
20 15,0 51 28,5
Total pendapatan nasional 100 100 100
Catatan: Ukuran ketimpangan = jumlah pendapatan dari 40 persen rumah tangga
termiskin dibagi dengan jumlah pendapatan dari 20 persen rumah tangga terkaya =
14/51 = 0,28.

Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran,
yakni :

1. Rasio Kutnezs
Rasio Kutnezs adalah salah satu alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan
bantuan distribusi ukuran, yakni rasio jumlah pendapatan dari 40 persen orang
(rumah tangga) termiskin dibagi dengan jumlah pendapatan dari 20 persen orang
(rumah tangga) terkaya. Nilainya bervariasi dari nol sampai satu, makin besar
makin merata atau makin mendekati satu makin timpang distribusinya.
2. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz adalah alat ukur lain mengenai tingkat ketimpangan pendapatan
dengan menggunakan distribusi ukuran yang menunjukan hubungan kuantitatif
actual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total
yang benar-benar mereka terima selama misalnya satu tahun. Masing – masing
sumbu berakhir pada titik 100 persen, sehingga dia berbentuk bujur sangkar. Satu
garis diagonal ditarik dari titik nol paa sudut kiri bawah menuju ke sudut kanan atas
yang menunjukan pemerataan sempurna dan makin jauh kurva Lorenz dari garis
diagonal ini makin timpang pembagian pendapatan. Kasus ekstrem dari
ketidakmerataan sempurna (yaitu apabila hanya seorang saja yang menerima
seluruh pendapatan nasional, sementara orang-orang lainnya sama sekali tidak
menerima pendapatan), akan diperlihatkan oleh Kurva Lorenz yang berhimpit
dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan sumbu vertikal sebelah kanan.
3. Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat

Koefisien Gini adalah alat ukur lain mengenai tingkat ketimpangan pendapatan
dengan bantuan distribusi ukuran yang dengan menggunakan rumus tertentu,
mempunyai nilai dari nol sampai satu. Koefisen Gini untuk Negara-negara yang
derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk
Negara-negara yang distribusi pendapatannya yang relative merata, angkanya
berkisar antara 0,20 hingga 0,35.

6.2 DISTRIBUSI FUNGSIONAL


Ukuran ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-
masing factor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan
fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan presentase pendapatan tenaga kerja secara
keseluruhan, bukan sebagai unit usaha atau factor produksi yang terpisah secara individual,
dan membandingkannya dengan presentasi pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk
sewa, bunga, dan laba. Sebagai contoh, penawaran dan permintaan terhadap tenaga kerja
diasumsikan akan menentukan tingkat upah. Lalu, bila upah ini dikalikan dengan seluruh
tenaga kerja yang tersedia di pasar, maka akan didapat jumlah keseluruhan pembayaran
upah, yang terkadang disebut dengan istilah tersendiri, yakni total pengeluaran upah (total
wage bill).
Gambar diatas memberikan ilustrasi sederhana tentang teori distribusi tradisional mengenai
pendapatan fungsional. Dalam gambar tersebut, diasumsikan bahwa terdapat dua factor
produksi, yaitu modal yang persediaannya dianggap tetap, dan tenaga kerja yang merupakan
datu-satunya factor produksi variable. Berdasarkan asumsi pasar yang kompetitif,
permintaan terhadap tenaga kerja akan ditentukan oleh produksi marjinal terhadap tenaga
kerja yang bersangkutan (yang artinya tambahan tenaga kerja akan terus direkrut sampai ke
satu titik dimana nilai produksi marjinalnya sama dengan upah riil mereka). Artinya,
semakin lama jumlah tenaga kerja yang diminta akan semakin sedikit. Kurva permintaan
terhadap tenaga kerja dengan kemiringan yang negative itu diperlihatkan oleh garis D L.
Kemudian jika dipadukan dengan kurva penawaran tenaga kerja tradisional noeklasik yang
mempunyai kemiringan positif, yakni SL , maka akan diperoleh tingkat upah ekuilibrium
sebesar WE dan tingkat ekuilibrium tenaga kerja sebesar LE. output nasional total diwakili
oleh luas bidang ORELE. Pendapatan nasional tersebut dibagi menjadi dua yaitu OWE ELE
untuk tenaga kerja dalam bentuk upah, dan sisanya WERE, yang merupakan laba si pemilik
(imbalan yang diperoleh oleh pemilik modal). Pendapatan didistribusikan menurut
‘Fungsinya’, sehingga tenaga kerja menerima upah, pemilik tanah menerima sewa, dan
pemilik modal menerima laba. Ini merupakan sebuah teori yang rapi dan logis, karena setiap
factor menerima pembayaran atau pendapatan sesuai dengan kontribusi mereka pada output
nasional, tidak lebih dan tidak kurang.

Relevansi teori fungsional menjadi kurang tajam karena tidak memperhitungkan pentingnya
peranan dan pengaruh kekuatan-kekuatan diluar pasar yang menentukan harga faktor-faktor
produksi.
6.3 KEBIJAKAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Beberapa pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk memperbaiki distribusi pendapatan
dan juga untuk memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihan yaitu:
1. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan khusus
dirancang untuk mengubah harga-harga relative faktor produksi. Kebijakaan ini dapat
berupa:
a. Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional dan
regional.
b. Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah
dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan penawaran.
Misalnya, pemberian kemudahan prosedur investasi, keringanan pajak bagi
pengusaha, subsidi tingkat bunga (tingkat bunga yang lebih rendah untuk investasi),
penetapan kurs valuta asing yang terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk bagi impor
barang-barang modal. Semua kebijaksanaan ini mengakibatkan harga modal terlalu
murah, yang akibat akhirnya para pengusaha akan memilih teknologi produksi yang
padat modal, sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih buruk dan jumlah orang
miskin akan bertambah. Penghapusan distorsi harga faktor produksi sangat
bermanfaat dan penyesuaian harga memungkinkan satu Negara meraih pemerataan
pendapatan sekaligus memperbaiki taraf hidup kaum miskin.
2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini akan
sangat tergantung pada distribusi kepemilikan asset (sumber daya atau faktor produksi) di
antara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah, modal financial
seperti saham dan juga obligasi, serta sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan dan
kesehatan yang lebih baik. Hal ini dilaksanakan melalui UUPA (Undang-undang Pokok
Agraria) 1960, yang membatasi jumlah kepemilikan tanah pertanian. Pajak deviden
obligasi dan pajak terhadap hasil (bagian laba) saham, berbagai jenis bea siswa dan
bantuan sekolah samapai perguruan tinggi, wajib belajar, dan asuransi kesehatan bagi
masyarakat miskin. Akan tetapi kebijakan-kebijakan pemerataan dan pengentasan
kemiskinan ini sering memerlukan kebijaksanaan pelengkap, tanpa kebijaksanaan
pelengkap tersebut kebijaksanaan pemerataan dan pengentasan dan kemiskinan tidak bisa
berjalan seperti yang diharapkan.
3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Salah satu
contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan badan
yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan merupakan pajak property perorangan
dan perusahaan yang bersifat progresif, dan biasanya dikenakan kepada mereka yang
kaya raya. Banyaknya kebijaksanaan progresif berubah secara ajaib menjadi pajak yang
regresif dalam pelaksanaannya.
4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa publik.
Transfer langsung dilakukan melalui BLT (bantuan langsung tunai) kepada orang miskin
yang berhak untuk menerima.
6.4 KEMISKINAN DALAM ASPEK DATA DAN KEBIJAKAN
Kemiskinan adalah penduduk miskin yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil
minimum tertentu atau di bawah garis kemiskinan internasional. Kemiskinan absolut dapat
dan memang terjadi dimana-mana, di Jakarta, di Bali, di Nusa Penida, di Medan walaupun
kadarnya berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya.
1. Mengukur Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka atau hitungan per-kepala (headcount). H
untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di bawah garis
kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap sebagai bagian
dari populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala, H/N. Garis kemiskinan
ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga kita dapat menelusuri
kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang
waktu. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah standar hidup minimum di
mana seseorang hidup dalam kesengsaraan absolut manusia, yaitu ketika kesehatan
seseorang sangat buruk.
Beberapa ekonom mencoba mengalkulasikan indikator jurang kemiskinan (proverty gap)
yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih
di bawah. Pada peraga di bawah ini, meskipun negara A dan B, 50% penduduknya sama-
sama berada di bawah garis kemiskinan, namun jurang kemiskinan di A ternyata lebih
lebar daripada yang ada di negara B. Dengan demikian negara A harus berusaha lebih
keras guna memerangi kemiskinan absolut penduduknya.
Kekurangan pendapatan total atau jurang kemiskinan total (total poverty gap=TPG) dari
kaum miskin didefinisikan sebagai :

𝑇𝑃𝐺 = ∑(𝑌𝑝 − 𝑌𝑖)


𝑖=1

TPG adalah jumlah uang per hari yang diperlukan untuk mengangkat perekonomian
untuk mengangkat perekonomian setiap orang miskin di negara itu sampai pada standar
pendapatan minimum yang telah ditentukan. Jika dihitung atas dasar per kapita,
kekurangan pendapatan rata-rata, atau jurang kemiskinan rata-ratanya, (average poverty
gap) adalah :

APG=TPG/H

Ukuran kekurangan pendapatan dalam hubungannya dengan garis kemiskinan dapat


diukur menggunakan jurang kemiskinan yang dinormalisasi (normalized poverty gap =
NPG) = APG/Yp sebagai ukuran kekurangan pendapatan, ukuran ini berkisar antara nol
dan satu, sehingga ukuran ini bermanfaat jika kita menginginkan ukuran jurang tanpa
unit, agar perbandingan antar negara atau antar waktu lebih baik.

Ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yaitu :


1. Anonimitas dan indepedensi : ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada
siapa yang miskin atau apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang
banyak atau sedikit
2. Monotonisitas : jika anda memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada di
bawah garis kemiskinan, jika semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan
yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Jika ukuran kemiskinan
selalu lebih rendah setelah pemberian transfer tersebut, sifat ini disebut monotonitas
yang kuat (strong monotonicity).
3. Sensitivitas distribusional : jika anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke
orang kaya, maka akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin.

Indeks kemiskinan yang terkenal yang memenuhi ke empat kriteria di atas adalah indeks
Sen dan bentuk tertentu dari Indeks Poster-Greer-Thornbeck (FGT) yang sering
disebut sebagai kelas Pα dari ukuran kemiskinan. Pα dapat ditulis sbb :

𝐻
1 (𝑌𝑝 − 𝑌𝑖)𝛼
𝑃𝛼 = ∑
𝑁 𝑌𝑝
𝑖=1

Dimana Yi adalah pendapatan dari orang miskin yang ke i, Yp adalah garis kemiskinan
dan N adalah jumlah penduduk. Indeks Pα mempunyai bentuk yang berbeda-beda
tergantung pada nilai α. Jika α=0, maka pembilangnya sama dengan H dan ia menjadi
sama rasio headcount H/N. Jika α = 1 maka akan diperoleh jurang kemiskinan yang
dinormalisasi. Jika α = 2 ukuran yang dihasilkan adalah

P2 = (H/N) {NPG2 + (1 – NPG)2 (CVp)2}

Dimana NPG = APG/Yp, CVp = koefisien variasi pendapatan antar kaum miskin. Rumus
P2 ini berisi ukuran CVp dan memenuhi empat kriteria kemiskinan diatas.

2. Cakupan Kemiskinan Absolut


Jumlah dan persentase penduduk miskin untuk 1976-1999, dan garis kemiskinan di
Indonesia untuk tahun 2005 sampai dengan 2007 disajikan dalam dua tabel berikut

Tabel 5.4
Penduduk Miskin
Tahun Jumlah (juta
% dari jumlah penduduk orang)
1976 40,08 54,2
1978 33,31 47,2
1980 28,56 42,3
1981 26,85 40,6
1984 21,64 35
1987 17,42 30
1990 15,08 27,2
1993 13,67 25,9
1996 11,34 22,5
1998 20,3 49,5
1999 23 48,5
Table 5.5
Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) Jumlah
Persentase
Non Penduduk
Daerah/ tahun Bahan penduduk
Bahan Jumlah miskin
makanan miskin
makanan (juta)
Perkotaan
2005 103 992 46 807 150 799 12,4 11,37
2006 126 527 48 797 175 324 14,29 13,36
2007 132 258 55 683 187 941 13,56 12,52
Pedesaan
2005 84 014 33 245 117 259 22,7 19,51
2006 103 180 28 076 131 256 24,76 21,9
2007 116 265 30 572 146 837 23,61 20,37
Kota + Desa
2005 91 072 38 036 129 108 35,1 15,97
2006 114 619 38 228 152 847 39,05 17,75
2007 123 992 42 704 166 696 37,17 16,58
Dari tabel 5.4 ternyata bahwa pembangunan ekonomi telah menurunkan persentase
penduduk miskin dari lebih dari 40% dari jumlah penduduk (sekitar 54 juta orang) pada
tahun 1976 menjadi sekitarr 11,34% dari jumlah penduduk (sekitar 22,5 juta orang) pada
tahun 1996, untuk kemudian sebagai akibat dari krisis ekonomi meningkat menjadi
sekitar 23% dari jumlah penduduk (sekitar 49 juta orang) pada tahun 1999. Setelah itu
terus mengalami penurunan sehingga menjadi 16% dari jumlah penduduk (sekitar 37 juta
orang) pada tahun 2007 (tabel 5.5). Dapat dikatakan bahwa persentase yang cukup tinggi
dari seluruh penduduk Indonesia (16-18%) masih berada di bawah garis kemiskinan dan
merupakan tugas yang berat bagi pemerintah sekarang kalau kita perhatikan kutipan pada
awal bab ini bahwa urusan yang belum terselesaikan pada abad 21 adalah pemberantasan
kemiskinan atau masalah kemiskinan menjadi tujuan pembangunan milenium dewasa ini
di Indonesia.

3. Pertumbuhan dan Kemiskinan


Terdapat lima alasan mengapa kebijaksanaan yang ditujukan untuk mengurangi
kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan.
Pertama, kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin
tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan
anaknya, dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter, mempunyai
banyak anak sebagai sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti. Faktor-faktor ini
secara bersama-sama menyebabkan pertumbuhan per kapita lebih kecil daripada jika
distribusi pendapatan lebih merata.
Kedua, akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru, menyaksikan
fakta bahwa tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh negara-negara yang sekarang
sudah maju, kaum kaya di negara-negara miskin sekarang tidak dikenal karen hematnya
atau hasrat mereka untuk menabung atau menginvestasikan bagian yang besar dari
pendapatan mereka di dalam perekonomian negara mereka sendiri.
Ketiga, pendapatan yang redah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh golongan
miskin, yang tercermin dari kesehatan gizi, dan pendidikan yang rendah, dapat
menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya secara langsung maupun tidak
langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat. Strategi yang ditujukan untuk
meningkatkan pendapatan dan standar hidup golongan miskin tidak saja akan
memperbaiki kesejahteraan mereka, akan tetapi juga akan meningkatkan produktivitas
dan pendapatan seluruh ekonomi.
Keempat, peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan
permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanan dan pakaian
secara menyeluruh, sementara golongan kaya cenderung membelanjakan sebagian besar
pendapatannya untuk barang-barang mewah impor. Meningkatkan permintaan untuk
barang-barang buatan lokal memberikan rangsangan yang lebih besar kepada produksi
lokal, memperbesar kesempatan kerja lokal, dan menumbuhkan investasi lokal.
Permintaan seperti ini akan menciptakan kondisi bagi pertumbuhan ekonomi yang cepat
dan partisipasi rakyat banyak di dalam pertumbuhan itu.
Kelima, penurunan kemiskinan secara massal dapat menstimulasi ekspansi ekonomi yang
lebih sehat karena merupakan insentif materi ekspansi dan prikologis yang kuat bagi
meluasnya partipasipasi publik dalam proses pembangunan. Sebaliknya, lebarnya
kesenjangan pendapatan dan kemiskinan absolut dapat menjadi pendorong negatif materi
dan psikologis yang sama kuatnya terhadap kemajuan ekonomi. Kondisi terakhir bahkan
dapat menciptakan penolakan masyarakat luas terhadap kemajuan dan ketidaksabaran
terhadap laju pembangunan atau terhadap kegagalan untuk mengubah kondisi material
mereka.
Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan penanggulangan
kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan. Golongan miskin dapat
berpartisipasi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan dan jika mereka dapat
melaksanakan hal tersebut, penurunan tingkat kemiskinan yang cepat akan konsisten
dengan pertumbuhan yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

Nehen, I Ketut. Perekonomian Indonesia. 2012. Denpasar: Udayana University Press.

Anda mungkin juga menyukai