RMK Sap 6
RMK Sap 6
Oleh:
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2019/2020
6.1 ANALISA INDEKS DAN PERKEMBANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Para ekonom membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan. Kedua ukuran tersebut
adalah distribusi ukuran, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima
masing-masing orang dan distribusi Fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor
produksi. Dari dua jenis distribusi pendapatan ini kemudian dihitung indicator untuk
menunjukan distribusi pendapatan masyarakat.
Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran,
yakni :
1. Rasio Kutnezs
Rasio Kutnezs adalah salah satu alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan
bantuan distribusi ukuran, yakni rasio jumlah pendapatan dari 40 persen orang
(rumah tangga) termiskin dibagi dengan jumlah pendapatan dari 20 persen orang
(rumah tangga) terkaya. Nilainya bervariasi dari nol sampai satu, makin besar
makin merata atau makin mendekati satu makin timpang distribusinya.
2. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz adalah alat ukur lain mengenai tingkat ketimpangan pendapatan
dengan menggunakan distribusi ukuran yang menunjukan hubungan kuantitatif
actual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total
yang benar-benar mereka terima selama misalnya satu tahun. Masing – masing
sumbu berakhir pada titik 100 persen, sehingga dia berbentuk bujur sangkar. Satu
garis diagonal ditarik dari titik nol paa sudut kiri bawah menuju ke sudut kanan atas
yang menunjukan pemerataan sempurna dan makin jauh kurva Lorenz dari garis
diagonal ini makin timpang pembagian pendapatan. Kasus ekstrem dari
ketidakmerataan sempurna (yaitu apabila hanya seorang saja yang menerima
seluruh pendapatan nasional, sementara orang-orang lainnya sama sekali tidak
menerima pendapatan), akan diperlihatkan oleh Kurva Lorenz yang berhimpit
dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan sumbu vertikal sebelah kanan.
3. Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat
Koefisien Gini adalah alat ukur lain mengenai tingkat ketimpangan pendapatan
dengan bantuan distribusi ukuran yang dengan menggunakan rumus tertentu,
mempunyai nilai dari nol sampai satu. Koefisen Gini untuk Negara-negara yang
derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk
Negara-negara yang distribusi pendapatannya yang relative merata, angkanya
berkisar antara 0,20 hingga 0,35.
Relevansi teori fungsional menjadi kurang tajam karena tidak memperhitungkan pentingnya
peranan dan pengaruh kekuatan-kekuatan diluar pasar yang menentukan harga faktor-faktor
produksi.
6.3 KEBIJAKAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Beberapa pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk memperbaiki distribusi pendapatan
dan juga untuk memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihan yaitu:
1. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan khusus
dirancang untuk mengubah harga-harga relative faktor produksi. Kebijakaan ini dapat
berupa:
a. Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional dan
regional.
b. Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah
dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan penawaran.
Misalnya, pemberian kemudahan prosedur investasi, keringanan pajak bagi
pengusaha, subsidi tingkat bunga (tingkat bunga yang lebih rendah untuk investasi),
penetapan kurs valuta asing yang terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk bagi impor
barang-barang modal. Semua kebijaksanaan ini mengakibatkan harga modal terlalu
murah, yang akibat akhirnya para pengusaha akan memilih teknologi produksi yang
padat modal, sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih buruk dan jumlah orang
miskin akan bertambah. Penghapusan distorsi harga faktor produksi sangat
bermanfaat dan penyesuaian harga memungkinkan satu Negara meraih pemerataan
pendapatan sekaligus memperbaiki taraf hidup kaum miskin.
2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini akan
sangat tergantung pada distribusi kepemilikan asset (sumber daya atau faktor produksi) di
antara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah, modal financial
seperti saham dan juga obligasi, serta sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan dan
kesehatan yang lebih baik. Hal ini dilaksanakan melalui UUPA (Undang-undang Pokok
Agraria) 1960, yang membatasi jumlah kepemilikan tanah pertanian. Pajak deviden
obligasi dan pajak terhadap hasil (bagian laba) saham, berbagai jenis bea siswa dan
bantuan sekolah samapai perguruan tinggi, wajib belajar, dan asuransi kesehatan bagi
masyarakat miskin. Akan tetapi kebijakan-kebijakan pemerataan dan pengentasan
kemiskinan ini sering memerlukan kebijaksanaan pelengkap, tanpa kebijaksanaan
pelengkap tersebut kebijaksanaan pemerataan dan pengentasan dan kemiskinan tidak bisa
berjalan seperti yang diharapkan.
3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Salah satu
contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan badan
yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan merupakan pajak property perorangan
dan perusahaan yang bersifat progresif, dan biasanya dikenakan kepada mereka yang
kaya raya. Banyaknya kebijaksanaan progresif berubah secara ajaib menjadi pajak yang
regresif dalam pelaksanaannya.
4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa publik.
Transfer langsung dilakukan melalui BLT (bantuan langsung tunai) kepada orang miskin
yang berhak untuk menerima.
6.4 KEMISKINAN DALAM ASPEK DATA DAN KEBIJAKAN
Kemiskinan adalah penduduk miskin yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil
minimum tertentu atau di bawah garis kemiskinan internasional. Kemiskinan absolut dapat
dan memang terjadi dimana-mana, di Jakarta, di Bali, di Nusa Penida, di Medan walaupun
kadarnya berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya.
1. Mengukur Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka atau hitungan per-kepala (headcount). H
untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di bawah garis
kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap sebagai bagian
dari populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala, H/N. Garis kemiskinan
ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga kita dapat menelusuri
kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang
waktu. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah standar hidup minimum di
mana seseorang hidup dalam kesengsaraan absolut manusia, yaitu ketika kesehatan
seseorang sangat buruk.
Beberapa ekonom mencoba mengalkulasikan indikator jurang kemiskinan (proverty gap)
yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih
di bawah. Pada peraga di bawah ini, meskipun negara A dan B, 50% penduduknya sama-
sama berada di bawah garis kemiskinan, namun jurang kemiskinan di A ternyata lebih
lebar daripada yang ada di negara B. Dengan demikian negara A harus berusaha lebih
keras guna memerangi kemiskinan absolut penduduknya.
Kekurangan pendapatan total atau jurang kemiskinan total (total poverty gap=TPG) dari
kaum miskin didefinisikan sebagai :
TPG adalah jumlah uang per hari yang diperlukan untuk mengangkat perekonomian
untuk mengangkat perekonomian setiap orang miskin di negara itu sampai pada standar
pendapatan minimum yang telah ditentukan. Jika dihitung atas dasar per kapita,
kekurangan pendapatan rata-rata, atau jurang kemiskinan rata-ratanya, (average poverty
gap) adalah :
APG=TPG/H
Indeks kemiskinan yang terkenal yang memenuhi ke empat kriteria di atas adalah indeks
Sen dan bentuk tertentu dari Indeks Poster-Greer-Thornbeck (FGT) yang sering
disebut sebagai kelas Pα dari ukuran kemiskinan. Pα dapat ditulis sbb :
𝐻
1 (𝑌𝑝 − 𝑌𝑖)𝛼
𝑃𝛼 = ∑
𝑁 𝑌𝑝
𝑖=1
Dimana Yi adalah pendapatan dari orang miskin yang ke i, Yp adalah garis kemiskinan
dan N adalah jumlah penduduk. Indeks Pα mempunyai bentuk yang berbeda-beda
tergantung pada nilai α. Jika α=0, maka pembilangnya sama dengan H dan ia menjadi
sama rasio headcount H/N. Jika α = 1 maka akan diperoleh jurang kemiskinan yang
dinormalisasi. Jika α = 2 ukuran yang dihasilkan adalah
Dimana NPG = APG/Yp, CVp = koefisien variasi pendapatan antar kaum miskin. Rumus
P2 ini berisi ukuran CVp dan memenuhi empat kriteria kemiskinan diatas.
Tabel 5.4
Penduduk Miskin
Tahun Jumlah (juta
% dari jumlah penduduk orang)
1976 40,08 54,2
1978 33,31 47,2
1980 28,56 42,3
1981 26,85 40,6
1984 21,64 35
1987 17,42 30
1990 15,08 27,2
1993 13,67 25,9
1996 11,34 22,5
1998 20,3 49,5
1999 23 48,5
Table 5.5
Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) Jumlah
Persentase
Non Penduduk
Daerah/ tahun Bahan penduduk
Bahan Jumlah miskin
makanan miskin
makanan (juta)
Perkotaan
2005 103 992 46 807 150 799 12,4 11,37
2006 126 527 48 797 175 324 14,29 13,36
2007 132 258 55 683 187 941 13,56 12,52
Pedesaan
2005 84 014 33 245 117 259 22,7 19,51
2006 103 180 28 076 131 256 24,76 21,9
2007 116 265 30 572 146 837 23,61 20,37
Kota + Desa
2005 91 072 38 036 129 108 35,1 15,97
2006 114 619 38 228 152 847 39,05 17,75
2007 123 992 42 704 166 696 37,17 16,58
Dari tabel 5.4 ternyata bahwa pembangunan ekonomi telah menurunkan persentase
penduduk miskin dari lebih dari 40% dari jumlah penduduk (sekitar 54 juta orang) pada
tahun 1976 menjadi sekitarr 11,34% dari jumlah penduduk (sekitar 22,5 juta orang) pada
tahun 1996, untuk kemudian sebagai akibat dari krisis ekonomi meningkat menjadi
sekitar 23% dari jumlah penduduk (sekitar 49 juta orang) pada tahun 1999. Setelah itu
terus mengalami penurunan sehingga menjadi 16% dari jumlah penduduk (sekitar 37 juta
orang) pada tahun 2007 (tabel 5.5). Dapat dikatakan bahwa persentase yang cukup tinggi
dari seluruh penduduk Indonesia (16-18%) masih berada di bawah garis kemiskinan dan
merupakan tugas yang berat bagi pemerintah sekarang kalau kita perhatikan kutipan pada
awal bab ini bahwa urusan yang belum terselesaikan pada abad 21 adalah pemberantasan
kemiskinan atau masalah kemiskinan menjadi tujuan pembangunan milenium dewasa ini
di Indonesia.