Anda di halaman 1dari 26

KONSEP DAN PENGKAJIAN DEPRESI PADA LANSIA BERDASARKAN

HAMILTON ANXIETY RATING SCALE


Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Gerontik

Disusun Oleh:
1. Duwi Iryani (A11701409)
2. Abdulah (A11701511)
3. Aenalia Ikrima F. (A11701513)
4. Aji Utomo (A11701514)
5. Alfian Dwi S. (A11701515)
6. Andi Rahmawan (A11701516)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2019

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas limpahan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehinggan makalah
ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-ide sehingga makalah ini bisa tersusun
dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Gombong, 29 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………. i
Kata Pengantar ………………………………………………………………… ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………. iii
BAB I Pendahuluan

1.1 Pendahuluan …………………………………………………………… 1


1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………... 2
1.3 Tujuan …………………………………………………………………. 3
BAB II Landasan Teori

2.1 Konsep Lansia ………………………………………………………… 4


2.2 Konsep Depresi ……………………………………………………….. 9
2.3 Pengkajian Depresi Pada Lansia Berdasarkan Hamilton Anxiety
Rating Scale………………………………………………………………. 14
BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan …………………………………………………………... 17


3.2 Saran …………………………………………………………………. 17
Daftar Pustaka ……………………………………………………………….. 18
Lampiran Jurnal ……………………………………………………………... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap orang mengalami proses perkembangan dalam kehidupannya, baik
secara fisik maupun psikologis. Perkembangan yang terjadi tersebut akan
membawa perubahan bahkan dapat menyebabkan munculnya
masalah.Berkurangnya interaksi sosial lansia dapat menyebabkan perasaan
terisolir, perasaan tidak berguna sehingga lansia menyendiri atau mengalami
isolasi sosial, dan menyatakan bahwa seseorang yang menginjak lansia akan
semakin meningkat perasaan isolasinya dan kondisi ini rentan terhadap depresi
(Kaplan dan Saddock,2012).
Lansia mengalami banyak perubahan, kemunduran baik secara fisik,
biologis maupun mentalnya dan hal ini tidak terlepas dari masalah ekonomi,
social dan budaya, sehingga perlu adanya peran serta keluarga dan adanya peran
social dalam penanganannya. Menurunnya fungsi berbagai organ lansia
menjadi rentang terhadap penyakit yang bersifat akut atau kronis. Ada
kecenderungan terjadi penyakit degeneratif penyakit metabolik, gangguan
psikososial dan penyakit infeksi meningkat (Nugroho, 2013).
Pertambahan umur lansia dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara
fisik, mental serta perubahan kondisi sosial yang dapat mengakibatkan
penurunan pada peran-peran sosialnya. Selain itu, dapat menurunkan derajat
kesehatan dan dianggap sebagai individu yang tidak mampu. Hal ini akan
mengakibatkan lansia secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan teman
sekitar sehingga dapat mempengaruhi interaksi sosial. Dengan bertambah
lanjutnya usia dan ditambah dengan kondisi fisik menurun dan kemiskinan,
lanjut usia secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya, tidak bisa mengikuti
kegitan misalnya senam dan perkumpulan lansia. Keadaan ini mengakibatkan
interaksi sosial lansia menurun baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga
sering lanjut usia mengalami kehilangan ganda yaitu, kehilangan peran,
hambatan kontak sosial dan berkurangnya komitmen.
Dilihat dari besaran masalahnya, depresi menunjukkan prevalensi yang
tinggi pada setiap kasusnya. Di Indonesia kejadian depresi mayor berkisar 3%
hingga 15%, dan meningkat sebanyak dua kali setelah usia 70-85 tahun.
Sementara depresi minor pada lansia memiliki prevalensi 4% hingga 13%, dan
gangguan distimik terjadi sekitar 2% pada lansia. Insiden depresi paling rendah
dialami oleh lansia yang menetap di masyarakat dan paling tinggi pada lansia
yang tinggal dipanti wredha. Prevalensi depresi lansia di pelayanan kesehatan
primer sebesar 5-71%, dan depresi lansia yang mendapatkan asuhan rumah
sebesar 13,5%. Kejadian depresi di ruang akut geriatrik sebe sar 76,3% dengan

1
proporsi yang mengalami depresi ringan sebesar 44,1%, depresi sedang
18%, depresi berat 10,8%, dan depresi sangat berat sebanyak 3,2% (Djaali &
Sappaile, 2013).
Salah satu gangguan kesehatan yang dapat muncul pada lansia
adalahgangguan mental. Gangguan mental yang sering muncul pada masa ini
adalah depresi, gangguan kognitif dan fobia. Sejumlah faktor resiko psikososial
juga mengakibatkan lansia kepada gangguan mental. Faktor resiko tersebut
adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya ekonomi, kematian teman atau
sanak saudaranya, penurunan kesehatan, peningkatan isoslasi karena hilangnya
interaksi sosial, keterbatasan finansial dan penurunan fungsi kognitif (Bongsoe,
2013).
Depresi cenderung mengarah pada kondisi yang tidak baik, karena potensi
diri dari lingkungan kurang adekuat untuk mengembalikan ke kondisi yang
semula. Gangguan yang menimbulkan gejala depresi diantaranya kurangnya
interaksi sosial, seperti komunikasi dan kurang berbaur. Saat berkumpul
bersama yang lain hanya diam saja tidak ada pembicaraan sama sekali ada juga
yang berkomunikasi tetapi jarang, karena lansia memiliki karakter yang
berbeda-beda. Diantaranya cenderung diam, menyendiri, melamun, melakukan
kegiatan menyulam, mendengarkan radio dan lain-lain. Di samping itu
dukungan sosial merupakan faktor psikososial lainnya yang memicu lansia
menjadi depresi. Kehilangan dukungan sosial yang disebabkan oleh
berkurangnya interaksi sosial ataupun adanya konflik dengan keluarga/teman
dekat dapat menimbulkan perasaan kesepian pada lansia, kurang percaya diri,
kurang motivasi hidup dan ketakutan dalam menghadapi kematiannya sendiri
dan akhirnya akan menyebabkan depresi (Ratna ike, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa definisi dari lansia?
b) Apa saja proses menua pada lansia?
c) Apa definisi dari depresi?
d) Apa saja factor penyebab depresi pada lansia?
e) Apa saja gejala depresi pada lansia?
f) Bagaimana cara pengkajian depresi pada lansia menurut Hamilton Anxiety
Rating Scale?

2
1.3 Tujuan
a) Untuk mengetahui dan memahami apa definisi dari lansia.
b) Untuk mengetahui apa saja proses menua pada lansia.
c) Untuk mengetahui apa definisi depresi.
d) Untuk mengetahui factor penyebab depresi pada lansia.
e) Untuk mengetahui gejala depresi pada lansia.
f) Untuk mengetahui cara pengkajian depresi pada lansia berdasarkan
Hamilton Anxiety Rating Scale.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Lansia


2.1.1 Pengertian Lansia
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses yang mengubah seorang
dewasa sehat menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian
besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap
berbagai penyakit dan kematian (Setiati, Harimurti, & R, 2009).
Lansia atau usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus kehidupan
manusia dan hal tersebut merupakan bagian dari proses kehidupan yang
tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu (Prasetya,
2010).
Tahap usia lanjut menurut teori Erik Erikson tahun 1963 merupakan
tahap integrity versus despair, yakni individu yang sukses dalam
melampauin tahap ini akan dapat mencapai integritas diri (integrity),
lanjut usia menerima berbagai perubahan yang terjadi dengan tulus,
mampu beradaptasi dengan keterbatasan yang dimilikinya, bertambah
bijak menyikapi proses kehidupan yang dialaminya. Sebaliknya mereka
yang gagal maka akan melewati tahap ini dengan keputusasaan
(despair), lanjut usia mengalami kondisi penuh stres, rasa penolakan,
marah dan putus asa terhadap kenyataan yang dihadapinya (Setiati et al.,
2009).
Proses menua atau aging adalah proses alami pada semua makhluk
hidup. Laslett menyatakan bahwa menjadi tua (aging) merupakan proses
perubahan biologis secara terus menerus yang dialami manusia pada
semua tingkatan umur dan waktu, sedangkan usia lanjut (old age) adalah
istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut (Suardiman, 2011:
1).

2.1.2 Teori Mengenai Proses Menua


Berbagai penelitian eksperimental dibidang gerontologi dasar
selama 20 tahun terakhir ini berhasil memunculkan teori baru mengenai
proses menua. Beberapa teori tentang penuan yang dapat diterima saat
ini, antara lain:

1. Teori biologis proses penuaan

a. Teori radikal bebas


Teori radikal bebas pertama kali diperkenalkan oleh
Denham Harman pada tahun 1956, yang menyatakan bahwa

4
proses menua adalah proses yang normal, merupakan akibat
kerusakan jaringan oleh radikal bebas (Setiati et al., 2009).
Radikal bebas adalah senyawa kimia yang berisi
elektron tidak berpasangan. Karena elektronnya tidak
berpasangan, secara kimiawi radikal bebas akan mencari
pasangan elektron lain dengan bereaksi dengan substansi lain
terutama protein dan lemak tidak jenuh. Sebagai contoh,
karena membran sel mengandung sejumlah lemak, ia dapat
bereaksi dengan radikal bebas sehingga membran sel
mengalami perubahan. Akibat perubahan pada struktur
membran tersebut membrane sel menjadi lebih permeabel
terhadap beberapa substansi dan memungkinkan substansi
tersebut melewati membran secara bebas. Struktur didalam sel
seperti mitokondria dan lisosom juga diselimuti oleh membran
yang mengandung lemak, sehingga mudah diganggu oleh
radikal bebas (Setiati et al., 2009).
Sebenarnya tubuh diberi kekuatan untuk melawan
radikal bebas berupa antioksidan yang diproduksi oleh tubuh
sendiri, namun antioksidan tersebut tidak dapat melindungi
tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas tersebut (Setiati et
al., 2009).
b. Teori imunologis
Menurut Potter dan Perry (2006) dalam (Marta, 2012)
penurunan atau perubahan dalam keefektifan sistem imun
berperan dalam penuaan. Tubuh kehilangan kemampuan
untuk membedakan proteinnya sendiri dengan protein asing
sehingga sistem imun menyerang dan menghancurkan
jaringannya sendiri pada kecepatan yang meningkat secara
bertahap. Disfungsi sistem imun ini menjadi faktor dalam
perkembangan penyakit kronis seperti kanker, diabetes, dan
penyakit kardiovaskular, serta infeksi.

c. Teori DNA repair


Teori ini dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka
menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola laju perbaikan
(repair) kerusakan DNA yang diinduksi oleh sinar ultraviolet
(UV) pada berbagai fibroblas yang dikultur. Fibroblas pada
spesies yang mempunyai umur maksimum terpanjang
menunjukkan laju DNA repair terbesar dan korelasi ini dapat
ditunjukkan pada berbagai mamalia dan primata (Setiati et al.,
2009).

5
d. Teori genetika
Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan
terutama di pengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak
lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut teori
genetika adalah suatu proses yang secara tidak sadar
diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu mengubah sel
atau struktur jaringan. Dengan kata lain, perubahan rentang
hidup dan Panjang usia ditentukan sebelumnya (Stanley &
Beare, 2006 dalam Putri, 2013).

e. Teori wear-and-tear
Teori wear-and- tear (dipakai dan rusak) mengusulkan
bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat
merusak sintensis DNA, sehingga mendorong malfungsi organ
tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan
mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal. Sebagai
contoh adalah radikal bebas, radikal bebas dengan cepat
dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi normal
(Stanley & Beare, 2006 dalam Putri, 2013).

2. Teori psikososial proses penuaan


a. Teori disengagment
Teori disengagment (teori pemutusan hubungan),
menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari peran
masyarakat dan tanggung jawabnya. Proses penarikan diri ini
dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting
untuk fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh.
Lansia dikatakan bahagia apabila kontak social berkurang dan
tanggung jawab telah diambil oleh generasi lebih muda
(Stanley & Beare, 2006 dalam Putri, 2013).
b. Teori aktivitas
Teori ini menegaskan bahwa kelanjutan aktivitas
dewasa tengah penting untuk keberhasilan penuaan. Menurut
Lemon et al (1972) dalam (Marta, 2012) orang tua yang aktif
secara sosial lebih cendrung menyesuaikan diri terhadap
penuaan dengan baik.

6
2.1.3 Perubahan Pada Lanjut Usia
Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua
merupakan akibat dari kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss).
Lansia mengalami perubahan-perubahan fisik (biologis) diantaranya
perubahan sel, system persarafan, sistem pendengaran, sistem
penglihatan, sistem kardiovaskuler, system pengaturan suhu tubuh,
sistem respirasi, sistem gastrointestinal, system genitourinari, sistem
endokrin, sistem muskuloskeletal, disertai juga dengan perubahan-
perubahan mental menyangkut perubahan ingatan atau memori
(Setiatiet al., 2009).

1. Perubahan pada Sistem Sensoris


Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan
terdapat keengganan untuk bersosialisasi karena kemunduran dari
fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indra yang dimiliki seperti
penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan
merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensori (Maramis,
2009).
2. Perubahan pada Sistem Integumen
Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling
jelas diatas tonjolan-tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah
dan permukaan dorsalis tangan dan kaki. Penipisan ini
menyebabkan vena-vena tampak lebih menonjol. Poliferasi
abnormal pada sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi
pada area tubuh yang terpajan sinar matahari, biasanya
permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah. Sedikit kolagen
yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat penurunan
jaringan elastik, mengakibatkan penampilan yang lebih keriput.
Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar eksokrin lebih sedikit
dan penurunan aktivitas kelenjar eksokrin dan kelenjar sebasea.
Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, disertai
penurunan cairan tubuh total, menimbulkan penurunan turgor
kulit. Massa lemak bebas berkurang 6,3% berat badan perdekade
dengan penambahan massa lemak 2% per dekade. Massa air
berkurang sebesar 2,5% per dekade (Setiati et al., 2009)
3. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya
aktivitas, gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan
bertambahnya usia, perusakan dan pembentukan tulang
melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen
pada wanita, vitamin D dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang
trabekulae menjadi lebih berongga, mikro arsitektur berubah dan

7
sering patah baik akibat benturan ringan maupun spontan (Setiati
et al., 2009).

2.1.4 Penilaian Pada Lanjut Usia


Secara garis besar penilaian ada lansia meliputi penilaian kondisi
medis, fungsional, psikologis dan status sosial. Penilaian pada lansia
bertujuan untuk menentukan kemampuan medis, psikologis dan
fungsional dari orang tua yang lemah dalam rangka untuk
mengembangkan rencana yang terpadu untuk pengobatan dan tindak
lanjut jangka panjang (Rakel et al, 2011).

1. Penilaian Kondisi Medis Penilaian medis pada lansia meliputi


penilaian
Riwayat penyakit dahulu maupun riwayat penyakit sekarang
dan mengevaluasi status gizi lansia. Penilaian terhadap riwayat
penyakit lansia yang terdahulu diharapkan dapat mempermudah
untuk mengetahui factor risiko yang dapat menyebabkan
penurunan kondisi medis lansia dimasa sekarang. Secara garis
besar terdapat empat faktor risiko yang dapat menurunkan kondisi
medis lansia dimasa tuanya dan harus menjadi focus penilaian
kondisi medis, yaitu usia dari lansia, gangguan fungsi kognitif,
gangguan fungsi dasar dan gangguan mobilitas. Keempat faktor
risiko tersebut dapat menimbulkan sindrom geriatri, diantaranya
ulkus, inkontinensia, peningkatan terjadinya jatuh pada lansia,
penurunan fungsi dan penurunan kesadaran (delirium) (Rakel et al,
2011).

2. Penilaian Fungsional Lansia Penilaian fungsional pada lansia


terfokuskan
Pada penilaian kemampuan lansia dalam menjalankan
aktivitas sehari hari serta berfungsi untuk mengetahui faktor risiko
yang menyebabkan jatuhnya lansia. Terdapat beberapa penilaian
dasar ADLs diantaranya adalah penilaian dalam kemampuan
makan, berpakaian, mandi, berpindah tempat serta kemampuan
dalam buang air kecil dan buang air besar. Selain instrument ADLs,
terdapat juga instrumen lain yang bisa menilai kemampuan lansia
dalam menjalankan aktivitas, yaitu instrumen Katz. Penilaian
instrument Katz terdiri dari penilaian kemampuan berbelanja,
mengatur keuangan, mengemudi, menggunakan telfon,
membersihkan rumah, mencuci dan mengatasi kondisi medis
(Rakel et al, 2011).

8
3. Penilaian Psikologi Penilaian yang dilakukan terkait
permasalahn psikologi
Adalah penilaian terhadap gangguan fungsi kognitif dan
penilaian terkait depresi pada lansia. Instrumen yang digunakan
dalam menilai kemampuan fungsi kognitif lansia bisa
menggunakan MMSE (Mini Mental Score Examination) atau
dengan menggunakan instrumen MoCA (Montreal Cognitive
Assesment). Untuk mendeteksi adanya gangguan depresi pada
lansia, instrumen yang biasanya digunakan adalah Geriatric
Depression Scale-15 (GDS-15) (Rakel et al, 2011).

4. Penilaian Fungsi Sosial, Keadaan dan dukungan lingkungan


Merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan atau
dinilai pada seseorang yang memasuki usia lanjut. Penilaian
terhadap lingkungan dapat menjadi tolak ukur dalam mengevaluasi
potensial hazard. Penilaian fungsi sosial juga terdiri dari penilaian
stresor finansial dan penilaian terhadap kekhawatirandari keluarga
atau seseorang yang menemani lansia (Rakel et al, 2011).

2.2 Konsep Depresi


2.2.1 Pengertian Depresi
Depresi adalah gangguan mental umum yang dimanifestasikan
berupa kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau
rendah diri, susah tidur atau tidak ada nafsu makan, energi yang rendah
dan kurang konsentrasi. Depresi sering terjadi sebagai proses dari
penuaan, dan hal itu sangat umum pada lansia (Kleisiaris et.al., 2013).
Depresi merupakan perasaan murung, kehilangan gairah untuk
melakukan hal-hal yang biasa dilakukannya dan tidak dapat
mengekspresikan kegembiraan. Biasanya terjadi pada awal sampai
pertengahan usia dewasa. Dapat terjadi sekali, dapat terjadi sering kali,
dapat sebentar, dapat selama hidup, dapat bertahap, dan dapat
mendadak berat (Sarwono, 2010).
Depresi ditandai oleh perasaan sedih secara terus-menerus dan
suasana hati yang buruk berhubungan dengan hilangnya minat dalam
aktivitas dan ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan. Ada fitur
biologis sering dikaitkan perubahan signifikan dalam nafsu makan dan
berat badan, gangguan tidur, kelelahan dan kurang konsentrasi.
Prevalensi yang dilaporkan pada populasi lanjut usia berkisar dari 0,8%
untuk depresi berat sampai 26% untuk gangguan afektif dan neurosis
(Kleisiaris et.al., 2013).

9
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya,
serta keinginan bunuh diri (Kaplan HI, Sadock BJ, 2010
Menurut Isaacs (2001) dalam (Prasetya, 2010) depresi juga dapat
diartikan sebagai keadaan emosional yang diartikan dengan kesedihan,
berkecil hati, perasaan bersalah, penurunan harga diri,
ketidakberdayaan dan keputusasaan. Berdasarkan penjelasan diatas
dapat disimpulkan bahwa depresi pada lanjut usia adalah suatu bentuk
gangguan alam perasaan yang bersifat patologis yang ditandai dengan
perasaan sedih, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, perasaan
kosong, perasaan tertekan, menderita, mudah marah, gangguan makan,
sulit tidur dan kecemasan.
Depresi merupakan gangguan psikologis yang paling umum terjadi
pada tahun-tahun terakhir kehidupan individu. Depresi pada lanjut usia
muncul dalam bentuk keluhan fisik seperti insomnia, kehilangan nafsu
makan, masalah pencernaan, dan sakit kepala. Gejala depresi yang
sebenarnya pada lanjut usia sulit dideteksi. Depresi merupakan kondisi
yang membuat lanjut usia putus asa, kenyataan yang menyedihkan
karena kehidupan nampak suram dan diliputi banyak tantangan. Lanjut
usia yang depresi biasanya lebih menunjukkan keluhan fisik daripada
keluhan emosi. Keluhan fisik akibat depresi kurang mudah untuk
dikenali sehingga hal tersebut menyebabkan keterlambatan dalam
penanganannya dalam hal deteksi dini (Suardiman, 2011: 127).

2.2.2 Teori-Teori Yang Berhubungan Dengan Depresi Pada Lanjut Usia


Menurut (Setiati et al., 2009) terdapat beberapa teori yang
berhubungan dengan terjadinya depresi pada lansia:
a. Teori neurobiologi yang menyebutkan bahwa faktor genetik
berperan. Kemungkinan depresi yang terjadi pada saudara kembar
monozigot adalah 60-80% sedangkan pada saudara kembar
heterozigot 25-35%.
b. Freud dan Karl Abraham berpendapat bahwa pada proses
berkabung akibat hilangnya obyek cinta seperti orang maupun
obyek abstrak dapat terintrojeksikan kedalam individu sehingga
menyatu atau merupakan bagian dari individu itu. Obyek cinta
yang hilang bisa berupa kebugaran yang tidak muda lagi,
kemunduran kondisi fisik akibat berbagai kondisi multipatoogi,
kehilangan fungsi seksual, dan lain-lain. Seligman berpendapat
bahwa terdapat hubungan antara kehilangan yang tidak

10
terhindarkan akibat proses menua dan kondisi multipatologi tadi
dengan sensasi passive helpesness yang sering terjadi pada usia
lanjut (Setiati et al., 2009).
c. Dalam teori Erik Erikson, kepribadian berkembang dan terus
tumbuh dengan perjalanan kehidupan. Perkembangan ini melalui
beberapa tahap psikososial seperti melalui konflik-konflik yang
terselesaikan oleh individu tersebut yang dipengaruhi oleh
maturitas kepribadian pada fase perkembangan sebelumnya,
dukungan lingkungan terdekatnya dan tekanan hidup yang
dihadapinya. Erikson menyebutkan adanya krisis integrity versus
despair yaitu individu yang sukses melampaui tahapan tadi akan
dapat beradaptasi dengan baik, menerima segala perubahan yang
terjadi dengan tulus dan memandang kehidupan dengan rasa damai
dan bijaksana. Penelitian akhir-akhir ini juga mengatakan bahwa
konflik integrity versus despair berhasil baik pada usia lanjut yang
lebih muda dibanding usia lanjut yang tua (Setiati et al., 2009).
d. Teori Heinz Kohut menekankan pada aspek hilangnya rasa
kecintaan pada diri sendiri akibat proses penuaan ditambah dengan
rasa harga diri dan kepuasan diri yang kurang dukungan sosial yang
tidak terpenuhi akan menyebabkan usia lanjut tidak mampu
memelihara dan mempertahankan rasa harga diri mereka sering
merasa tegang dan takut, cemas, murung, kecewa dan tidak merasa
sejahtera diusia senja (Setiati et al., 2009)

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Depresi Pada Lanjut Usia.


Menurut (Kaplan HI, Sadock BJ, 2010), ada faktor-faktor yang
menjadi penyebab depresi, didapat secara buatan yang dibagi menjadi
faktor biologi, factor genetik dan faktor psikososial.
a) Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neurotransmiter
yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan
epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi dan
pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang
rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa
norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan HI,
Sadock BJ, 2010). Selain itu aktivitas dopamin pada depresi
adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang
menurunkan konsentrasi dopamin seperti respirin dan penyakit
dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson
biasanya disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan

11
konsentrasi dopamin seperti tyrosin, amphetamine dan
bupropion dapat menurunkan gejala depresi (Kaplan HI, Sadock
BJ, 2010).
b) Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka
resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu
yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3
kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan
sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar
monozigot (Davies, 1999 dalam Kaplan HI, Sadock BJ, 2010)
c) Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab
depresi adalah kehilangan objek yang dicintai (Kaplan HI,
Sadock BJ, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang
diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia
yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor
psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya
otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan
kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial dan
penurunan fungsi kognitif (Kaplan HI, Sadock BJ, 2010).
Sedangkan menurut Kane (1999) dalam (Kaplan HI, Sadock
BJ, 2010), faktor psikososial meliputi penurunan percaya
diri,kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan
jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit
fisik. Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi
peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian,
psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan
dukungan sosial.
Menurut Amir (2005) dalam (Marta, 2012) faktor risiko
terjadinya depresi pada lansia terbagi atas faktor internal dan
eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor biologis (usia, jenis
kelamin, riwayat keluarga), faktor fisik (riwayat penyakit yang
pernah diderita) dan faktor psikologis (kepribadian lansia dan
kognitif). Faktor eksternal yaitu sosial, meliputi status
perkawinan, pekerjaan, stresor sosial dan dukungan sosial.
Dukungan sosial terdiri dari empat komponen, yaitu: jaringan
sosial, interaksi sosial, dukungan social yang didapat, dukungan
keluarga (dukungan instrumental).

12
2.2.4 Gejala Depresi
Secara umum sembilan gejala yang mencirikan seseorang
mengalami depresi utama (biasanya muncul minimal 5 gejala pada
waktu dua minggu yaitu:
a. Perubahan suasana hati depresi pada sebagian besar waktu
dalam sehari,
b. Kurangnya minat atau kesenangan pada sebagian semua atau
sebagian aktivitas,
c. Berkurangnya atau meningkatnya berat badan secara signifikan
atau penurunan minat makan,
d. Kesulitan tidur atau tidur terlalu banyak,
e. Agitasi psikomotor atau kemunduran dalam psikomotorik,
f. Kelelahan atau kehilangan energy,
g. Perasaan tidak berharga atau bersalah yang tidak tepat atau
berlebihan,
h. Permasalahan dalam proses berfikir, berkonsentrasi, atau
membuat keputusan,
i. Pikiran berulang tentang kematian dan bunuh diri (Katona,
2012: 22).

13
2.3 Pengkajian Depresi Pada Lansia Berdasarkan Hamilton Anxiety Rating
Scale
HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY (HARS)
Nomor Responden :
Nama Responden :
Tanggal Pemeriksaan :

Daftar Pertanyaan

No Pertanyaan 0 1 2 3 4
1. Perasaan Ansietas
- Cemas
- Firasat Buruk
- Takut Akan Pikiran Sendiri
- Mudah Tersinggung
2. Ketegangan
- Merasa Tegang
- Lesu
- Tak Bisa Istirahat Tenang
- Mudah Terkejut
- Mudah Menangis
- Gemetar
- Gelisah
3. Ketakutan
- Pada Gelap
- Pada Orang Asing
- Ditinggal Sendiri
- Pada Binatang Besar
- Pada Keramaian Lalu Lintas
- Pada Kerumunan Orang Banyak
4. Gangguan Tidur
- Sukar Masuk Tidur
- Terbangun Malam Hari
- Tidak Nyenyak
- Bangun dengan Lesu
- Banyak Mimpi-Mimpi
- Mimpi Buruk
- Mimpi Menakutkan

14
5. Gangguan Kecerdasan
- Sukar Konsentrasi
- Daya Ingat Buru
6. Perasaan Depresi
- Hilangnya Minat
- Berkurangnya Kesenangan Pada Hobi
- Sedih
- Bangun Dini Hari
- Perasaan Berubah-Ubah Sepanjang Hari
7. Gejala Somatik (Otot)
- Sakit dan Nyeri di Otot-Otot
- Kaku
- Kedutan Otot
- Gigi Gemerutuk
- Suara Tidak Stabil
8. Gejala Somatik (Sensorik)
- Tinitus
- Penglihatan Kabur
- Muka Merah atau Pucat
- Merasa Lemah
- Perasaan ditusuk-Tusuk
9. Gejala Kardiovaskuler
- Takikardia
- Berdebar
- Nyeri di Dada
- Denyut Nadi Mengeras
- Perasaan Lesu/Lemas Seperti Mau Pingsan
- Detak Jantung Menghilang (Berhenti Sekejap)
10. Gejala Respiratori
- Rasa Tertekan atau Sempit Di Dada
- Perasaan Tercekik
- Sering Menarik Napas
- Napas Pendek/Sesak
11. Gejala Gastrointestinal
- Sulit Menelan
- Perut Melilit
- Gangguan Pencernaan
- Nyeri Sebelum dan Sesudah Makan
- Perasaan Terbakar di Perut
- Rasa Penuh atau Kembung
- Mual
- Muntah

15
- Buang Air Besar Lembek
- Kehilangan Berat Badan - Sukar Buang Air Besar
(Konstipasi)
12. Gejala Urogenital
- Sering Buang Air Kecil
- Tidak Dapat Menahan Air Seni
- Amenorrhoe
- Menorrhagia
- Menjadi Dingin (Frigid)
- Ejakulasi Praecocks
- Ereksi Hilang
- Impotensi
13. Gejala Otonom
- Mulut Kering
- Muka Merah
- Mudah Berkeringat
- Pusing, Sakit Kepala
- Bulu-Bulu Berdiri
14. Tingkah Laku Pada Wawancara
- Gelisah
- Tidak Tenang
- Jari Gemetar
- Kerut Kening
- Muka Tegang
- Tonus Otot Meningkat
- Napas Pendek dan Cepat
- Muka Merah
Jumlah Score

Skor : Total Skor :


0 = Tidak ada ≤ 14 = Tidak ada kecemasan
1 = Ringan
2 = Sedang 14 – 20 = Kecemasan ringan
3 = Berat 21 – 27 = Kecemasan sedang
4 = Berat sekali
28 – 41 = Kecemasan berat
42 – 56 = Kecemasan berat sekali

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat kami simpulkan bahwa hal yang
menyebabkan terjadinya depresi pada lansia menurut Teori Heinz Kohut,
karena aspek hilangnya rasa kecintaan pada diri sendiri akibat proses
penuaan ditambah dengan rasa harga diri dan kepuasan diri yang kurang
dukungan sosial yang tidak terpenuhi akan menyebabkan usia lanjut tidak
mampu memelihara dan mempertahankan rasa harga diri mereka sering
merasa tegang dan takut, cemas, murung, kecewa dan tidak merasa sejahtera
diusia senja (Setiati et al., 2009). Selain itu, ada beberapa factor yang
menyebabkan depresi pada lansia diantaranya factor biologi, factor genetic,
dan factor psikososial.
Pengkajian depresi pada lansia penting untuk dilakukan guna
mengetahui tingkat depresi dan cara menangani pasien lansia yang
mengalami depresi. Sehingga setelah dilakukan perawatan pada lansia yang
mengalami depresi harapannya dapat mengurangi tingkat depresi pada
lansia.

3.2 Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalh ini akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang
perlu penulis perbaiki. Hal ini karena masih minimnya pengetahuan penulis.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
penulis harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA
Djaali,N.A., & Sappaile, N. (2013). A systematic review: Group counselling for
older people with depression. International Seminar on Quality and
Affordable Education, 2. 455-462.
Klieisiaris, C., Maniou,M., Papathanasiou,L., Sfiniadaki,A., Collaku,E.,
Koutsoumpa,C., & Sarafis,P.(2013). The prevalence of depressive symptoms
in an elderly population and their relation to life situation in home care.
Health Science Journal, (7).417-423.
Kartono, Kartini. 2010. Patologi Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan. Jakarta:
CV Rajawali.
Kaplan, H.I. & Sadock, B.J. (2010). Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Maramis, W. F., & Maramis, A. A. (2010). Catatan ilmu kedokteran jiwa edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press
Marta, OFD 2012, ‘Determinan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna
Wredha Budi Mulia 4 Jakarta Selatan’, Skripsi, Universitas Indonesia,
Depok.
Nugroho, Wahjudi. (2014). Keperawatan Gerontikdan Geriatrik (edisi 3). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Prasetiyo,W. H., Pramantara, I. D. P., & Budiningsih, R. D. (2012). Pengaruh hasil
skrining berdasarkan metode Mini Nutritional Assessment (MNA) terhadap
lama rawat inap dan status pulang pasien lansia di rumah sakit umum pusat
dr. sardjito yogyakarta. Tesis, Universitas Gadjah Mada.
Sarwono, Sarlito w. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Setiati Siti, Harimurti Kuntjoro, Govinda RA. (2009). Proses menua dan
implikasinya. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V, Jilid 1. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Suardiman, Siti Supartini. 2011. Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

18
Lampiran Jurnal

19
20
21
22
23

Anda mungkin juga menyukai