Anda di halaman 1dari 51

KAJIAN TEORI PEMBELAJARAN KOOPERATIF:

Disarikan oleh: Drs,Sri Wasono Widodo, M.Pd.

Landasan Teoritis: (Kagan, 2009:5.2)


Pembelajaran Kooperative didasarkan atas 8 Teori Pembelajaran (Kagan hal.4.2)
1. Cooperative Learning Theory
2. Classic Learning Theory
3. Social Learning Theories
4. Brain-Based Learning Theory
5. Motivation Theories
6. Individual Differences Theories
7. Expectation Theory
8. The Power of the Situation

1. Teori Pembelajaran Kooperatif,


Dalam teori pembelajaran kooperatif, ada 4 prinsip utama pembelajaran yang
disingkat PIES.
P= Positive interdependence (saling bergantung secara positif), yaitu kerjasama
saling mendukung diantara Siswa, menciptakan kesenangan untuk mencapai tujuan
bersama, menambah frekuensi dan kualitas peer tutoring. (Ingat: di sini setiap
individu maupun kelompok mendapat tugas yang berbeda).
I = Individual accountability (akuntabiliyas individual), yang secara dramatis
menambah patisipasi Siswa dan motivasi untuk berprestasi.
E= Equal Participation (partisipasi setara): Guru menciptakan suasana setiap
individu beraprtisipasi.
S = Simultaneous Interaction (Interaksi simultan). Kapasitas partisipasi setiap siswa
dan efisiensi Guru dalam mengajar dan mengelola kelas akan senantiasa meningkat
dibandingkan sintaks pembelajaran sekuensial/tradisional.

2. Classic Learning Theory:


teori ini memiliki 4 dimensi yaitu: Reinforcement, Correction Opportunities, Practice
Opportunities, dan Transference.
Reinforcement atau dukungan (Kagan, 2009:4.3): ketika suatu perilaku diikuti oleh
reward (hadiah), ada kecenderungan perilaku tersebut diulang. Kekuatan dari hadiah
tersebut bergantung pada seberapa cepat hadiah mengikuti perilaku, seberapa
sering diberikan, dan manfaat dari hadiah tersebut. Sebagai contoh, bila Saya
mengatakan kepada Anda bahwa Saya akan memberikan hadiah sebesar Rp.1.000
kepada Anda bila membaca tulisan Saya ini, maka Anda tidak akan termotivasi,
namun bila Saya mengatakan Akan memberikan pada Anda Rp.10.000 per sub bab
maka Anda akan mengenyampingkan pekerjaan Anda dan membaca tulisan Saya
ini. Dalam hal ini Saya mengubah dari reinforcement (motivasi) yang tertunda
menjadi motivasi segera, dari motivasi sekali menjadi motivasi berulang, dan dari
hadiah yang tidak menimbulkan hasrat menjadi hadiah yang menimbulkan hasrat
tinggi. Pembelajaran kooperatif secara dramatis menambah percepatan munculnya
motivasi, frekuensinya, dan hasrat untuk mencapai hadiah itu.
Correction Opportunities/kesempatan koreksi (Kagan,2009:4.4)
Kapan siswa mengetahui bahwa dirinya berhasil memecahkan masalah? Yaitu
ketika ia menyelesaikan serangkaian kegiatan pemecahan masalah secara tidak
benar, ataukah ketika mareka ulangi proses dari awal ketika terjadi kesalahan?
Pembelajaran kooperatif mentransformasi dinamika kesempatan untuk koreksi sama
dengan bagaimana pembelajaran tersebut mentransformasi dukungan. Dalam
pembelajaran kooperatif koreksi dilakukan sesegera mungkin, secara berulang,
secara setara, berbasis kelompok, dan lebih bersifat suportif bukan evaluatif.
Practice Opportunities/kesempatan mempraktekkan (Kagan,2009:4.5)
Dalam pembelajaran tradisional, siswa menjawab pertanyaan guru satu kali untuk
satu pertanyaan guru. Hal ini menyebabkan kesempatan untuk mempraktikkan
sangaat kecil. Guru berbicara dua kali per sekali anak berbicara, pertama
melontarkan pertanyaan dan kedua memberikan umpan balik, Karena guru
berbicara dua kali ketika siswa berbicara sekali, berarti guru berbicara 60% dari
pembicaraan semua orang di kelas tersebut. Dalam pembelajaran kooperatif hal ini
tidak terjadi karena adanya prinsip interaksi simultan.
Transference/transformasi (Kagan,2009:4.6)
Seperti apa seharusnya pembelajaran dilaksanakan? Kita tentu menginginkan siswa
mempelajari suatu keterampilan dalam ruang kelas apa yang nantinya akan mereka
praktekkan dalam kehidupan nyata di masa depan. Sebagai misal, Kita tentu
menginginkan siswa mempelajari interaksi sosial pada situasi yang sebenarnya
dengan rekan-rekan terdekatnya, dengan anak-anaknya, dan dengan rekan tim
tempat bekerja. Keterampilan sosial juga mencakup kemampuan mendengarkan
dengan rasa hormat opini yang berbeda dengan dirinya, kepedulian, saling berbagi,
saling membantu, dan mengkomunikasikannya dengan jelas. Bagaimana
mekanisme atau cara kerja keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar akan
diaplikasikan (ditransformasikan) pada situasi sebenarnya di masa depan
bergantung pada beberapa variabel yang dideskripsikan dalam transference theory.
Kapasitas dari apa yang ditransformasikan bergantung pada kesamaan situasi saat
keterampilan diterima dan situasi di masa depan itu. Dalam kelas tradisional siswa
duduk dalam deretan yang rapi dan bekerja sendiri. Cara seperti ini pasti berbeda
dengan situasi nyata dunia kerja, dan sangat berbeda pula dengan situasi interaksi
sosial di masyarakat. Sehingga di kelas tradisional, meskipun Kita mengajarkan
pentingnya keterampilan keterampilan sosial, akan kecil peluang kemungkinan
keterampilan itu ditransformasikan dalam interaksi sosial dalam masyarakat yang
sebenarnya. Sebaliknya, tim kooperatif merupakan situasi interaksi sosial, sehingga
situasi penerimaan keterampilan tersebut lebih mirip situasi ketika siswa
mengaplikasikan keterampilan sosial yang dipelajarinya tersebut. Alasan rasional
seperti ini semakin kuat mengingat pada saat ini para pekerja muda bekerja dalam
tim. Riset di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 75% lapangan
pekerjaan baru dilakukan dalam tim, dan kecenderungan ini meningkat setiap
tahunnya. Tidak ada seorang pun yang secara individual bisa membuat pesawat
terbang atau mendesain komputer. Bertambahnya kompleksitas tugas-tugas di
berbagai lapangan kerja mendorong situasi interdependensi di tempat kerja.
Pelajaran sains, matematika, dan bahkan mengarang sekarang ini membutuhkan
kerja tim. Dengan demikian, jika Kita menginginkan para siswa mentransfer
keterampilan yang mereka pelajari di sekolah pada situasi yang akan mereka
temukan di kehidupan nyatanya ketika dewasa, Kita perlu menciptakan sintaks
pembelajaran yang menugaskan mereka bekerja dalam tim sesering mungkin.
Pembelajaran kooperatif akan berjalan dengan baik karena mengurangi
kesenjangan situasi transformasi tersebut. Ketika pembelajaran kooperatif
berlangsung, para siswa mempelajari keterampilan sosial seperti yang mereka
butuhkan dalam kehidupan nyata—dan mereka mempelajari itu dalam situasi yang
sama dengan yang akan mereka jumpai kelak
3. Social Learning Theories / Teori Belajar Sosial (Kagan,2009:4.7)
Ada dua macam teori belajar sosial yang agak berbeda satu sama lain, dan masing-
masing mampu menjelaskan bagaimana cara kerja pembelajaran kooperatif. Kita
akan mengeksplorasi keduanya secara berurutan.
Social Learning Theory 1: The Power of Modeling (Kekuatan Pemodelan)
Belajar bukanlah semata-mata fungsi dari reward dan punishment yang Kita terima.
Albert Bandura mengartikulasikan teori belajar sosial yang fokus pada pentingnya
belajar melalui pengamatan. Kita saling melihat satu sama lain. Jika teman sukses,
Kita akan mengerjakan apa yang ia kerjakan. Kita bisa melihat seorang anak
menirukan gerak gerik orang dewasa atau orang dewasa sosial. memahami hal ini
sebagai bentuk dari belajar sosial. Orang tua kadang menirukan perilaku anaknya
yang sesungguhnya anaknya itu pun meniru perilaku tersebut dari orang tuanya itu
tanpa disadari (meskipun orang tua tersebut tidak senang perilaku tersebut dan
bersikeras tidak pernah memberikan contoh perilaku itu), berarti ia menyadari
kekuatan dari belajar sosial. Seorang guru memberikan instruksi verbal tentang
prosedur yang kompleks dan tidak berhasil, namun ternyata sukses setelah ia
mendemonstrasikan prosedur tersebut, berarti ia menyadari kekuatan belajar melalui
pemodelan. Siswa akan cepat paham ketika prosedur didemonstrasikan, dan tidak
paham bila prosedur hanya dijelaskan. Kita mengamati dan meniru orang lain. Siapa
yang Kita tiru? Teori belajar sosial menunjukkan bahwa Kita lebih cenderung meniru
model yang kuat, sukses, dan Kita kagumi, khususnya orang yang Kita rasa terkait
dengan Kita atau punya hubungan dengan Kita. Ketika Kita melihat seseorang
sedang beraksi, neuron yang sama di otak Kita menyala seolah-olah Kitalah yang
beraksi. Kita sesungguhnya mempraktekkan apa yang Kita amati.
Mengapa belajar melalui mengamati dan pemodelan begitu penting untuk
memahami perolehan belajar melalui pembelajaran kooperatif? Ketika Kita
melaksanakan pembelajaran kooperatif, Kita menginginkan siswa dengan
kemampuan rendah bisa menyamai atau bahkan melampaui siswa dengan
kemampuan di atasnya dalam satu tim. Kedekatan dengan seseorang hanyalah
permulaan. Teori belajar sosial menunjukkan bahwa Kita sering mentransformasi
kesuksesan seseorang, sehingga menambah peluang siswa berkemampuan rendah
akan mentransformasikan pengalaman siswa berkemampuan lebih tinggi. Lebih jauh
lagi, teori belajar sosial menunjukkan Kita sering mentransformasikan pengalaman
seseorang yang memiliki kesamaan dengan Kita. Kegiatan dinamika kelompok
biasanya didesain agar siswa dengan kesamaan identitas dikelompokkan dalam
satu tim, dan meningkatkan ikatan tim sehingga memperbesar peluang pemodelan.
Pembelajaran kooperatif memiliki kekuatan besar dalam pembelajaran—
pemodelan.
Social Learning Theory 2:
The Power of Mediation
Lev Semenovich Vygotsky menawarkan teori sosial tyang lain, bukan didasarkan
atas imitasi namun lebih pada mediasi. Kita belajar melalui diajar. Sejelas ini,
merupakan penjelasan yang amat gamblang terhadap pembelajaran kooperatif.
Vygotsky menemukan cara yang teramat penting dalam konseptualisasi belajar.
Teorinya memperjelas kesuksesan belajar terjadi ketika pembelajaran terjadi pada
Zone of Proximal Development (ZPD) atau Zona Kedekatan Perkembangan.

Konsep ZPD lebih mudah dipahami dengan gambar di atas. Garis abu-abu
menggambarkan tingkat kesulitan tugas yang diberikan guru. Semakin ke kanan,
semakin sulit tugas yang diberikan dan sebaliknya. Setiap siswa memiliki area di
sebelah kiri di mana tugas yang diberikan termasuk kategori mudah yang bisa
dikerjakannya sendiri. Pembelajaran di sini tidak diperlukan karena siswa sudah tahu
cara mengerjakan tugas tersebut. Jika kita geser ke kanan, Kita sampai pada area di
mana siswa tidak bisa mengerjakan tugas sendiri, namun bisa dilakukannya dengan
coaching, bantuan, pembelajaran dan tutoring, di mana semua it disebut mediation
(mediasi). Mediation dalam ZPD dengan demikian amat bermanfaat. Bergerak
semakin ke kanan akan sampai pada area di mana tugas sedemikian sulit, sehingga
siswa tidak bisa lagi mengerjakan meskipun dengan mediasi. Di sini pembelajaran
menjadi tidak berguna karena siswa belum siap mengerjakan tugas yang
sedemikian sulit. Sebagai contoh, Saya tidak akan dapat memecahkan masalah
tentang hukum relativitas meski bagaimanapun pintarnya Anda mengajar Saya—
Saya tidak punya prasyarat pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan.
Vygotsky menyebut daerah tengah , di mana pembelajaran bermanfaat, dengan
istilah ZPD. Teori Vygotsky ini memberikan sumbangan penting dalam memberikan
definisi pembelajaran. Siswa dapat memecahkan sendiri masalah yang sebelumnya
hanya bisa diatasinya dengan bantuan.
.
4. Brain-Based Learning Theory (Kagan,2009:4.13)
Studi tentang otak manusia pada saat ini sudah sedemikian maju sehingga Kita bisa
mengatakan dengan pasti bagaimana cara mengajar yang baik untuk otak dan yang
tidak baik. Ketika Kita mengajar dengan yang dapat diterima sehingga otak bisa
belajar paling baik, mengajar menjadi lebih mudah dan lebih menyenangkan, siswa
memperhatikan dengan penuh ketertarikan, mereka memperoleh hasil belajar yang
baik, lebih menyenangi pelajaran dan gurunya. Mengajar dengan cara yang
demikian ibarat berenang searah arus. Ada beberapa cara membandingkan
bagaimana pembelajaran kooperatif lebih baik dalam mengorganisasi kelas agar
otak mampu belajar yang terbaik dibandingkan pembelajaran tradisional. Semua
pakar Brain-Based Learning menyarankan implementasi pembelajaran kooperatif.
Ada lima prinsip utama dari Brain-Based Learning yang terkait dengan
pembelajaran kooperatif yaitu safety, nourishment, social interaction, emotion, and
information processing.
5. Motivation Theories (Kagan,2009:4.13)
Apa yang mendorong Kita melakukan sesuatu? Apa yang ,memotivasi Kita? Banyak
teori tentang motivasi, antara lain Teori Hirarkhi Kebutuhan Maslow, Teori Flow dari
Csikzentmihalyl, Teori Optimism Helplessness dari Seligman, dan model ASK IF dari
Hunter. Semua teori tersebut memperkuat pendapat bahwa pembelajaran kooperatif
memberikan hasil yang positif. Kita overview empat teori motivasi.

Teori Hierarchy of Needs dari Maslow (Kagan,2009:4.13)


Abraham Maslow dalam teorinya mengungkapkan bahwa Kita berusaha memenuhi
kekurangan Kita sebelum berupaya memenuhi kebutuhan Kita yang senantiasa
meningkat. Secara kasat mata sudah jelas, ketika Kita lapar maka segera mencari
makanan, bukan belajar kalkulus ataupun memainkan drama. Menurut Maslow
hierarkhi kebutuhan manusia mulai dari yang paling rendah sampai yang paling
tinggi yaitu (1) kebutuhan fisik (lapar,rasa nyaman)—(2) keselamatan/keamanan
(lepas dari bahaya, menghindari kekerasan)—-(3) dihormati (merasa kompeten,
mendapat pengakuan)—(4) keberterimaan/cinta (merasa menjadi bagian, diterima,
saling peduli—(5) aktualisasi diri (memperoleh pengetahuan,tampil cantik).
Kita fokus ke kebutuhan yang rendah terlebih dahulu. Bagaimana teori ini
menjelaskan hasil positif dari pembelajaran kooperatif? Jika seorang siswa merasa
tidak aman (1) dan bukan bagian dari tim, maka energinya akan terkuras untuk
menutup kekurangannya tersebut sehingga belum bisa berupaya memenuhi
kebutuhannya untuk memahami suatu pengetahuan. Kita sering mengamati
terutama di sekolah menengah ketika kebutuhan untuk diterima dalam kelompok
menjadi amat penting. Para siswa sedemikian sibuk mencari statusnya dalam
kelompoknya sehingga ia tidak punya waktu lagi untuk konsentrasi ke belajar. Ketika
Kita mengimplementasikan pembelajaran kooperatif, kebutuhan akan keamanan (2)
sudah tercukupi melalui norma yang disepakati (misal bisa menyatakan tidak setuju
dengan cara sopan). Ketika kebutuhan akan keamanan terpenuhi siswa akan punya
energi untuk naik ke jenjang kebutuhan berikutnya yaitu dihormati, keberterimaan
dan aktualisasi diri.
6. Individual Differences Theories/ Teori Perbedaan Individual (4.17)
Ada beberapa teori perbedaan individual. Dalam teori ini diasumsikan siswa memiliki
keragaman dalam tipe kognitif, tipe kecerdasan, tipe belajar, dan tipe kepribadian.
Karena siswa punya pemikiran yang beragam dan punya cara belajar yang berbeda-
beda, satu cara mengajar mungkin cocok untuk beberapa siswa namun kurang
sesuai untuk beberapa siswa lain. Penganekaragaman gaya mengajar
memyebabkan keragaman tipe siswa terakomodasi dalam mengakses kurikulum.
Dalam kelas yang didiferensiasi, guru memulai pempelajaran dari tempat siswa
berada, bukan di depan kurikulum. Kelas semacam ini mengakomodasi premise
bahwa para pembelajar berbeda dalam banyak hal. Dengan demikian, kelas
tersebut menerima premise dan bertindak sesuai premise bahwa guru harus siap
membelajarkan siswa melalui moda pembelajaran yang berbeda-beda, dengan
memenuhi ketertarikan yang beragam, dan dengan menggunakan berbagai gaya
mengajar yang sesuai dengan kompleksitas materi ajar. Ada dua pendekatan dalam
diferensiasi gaya mengajar: i) mengajar siswa yang berbeda dengan cara yang
berbeda; dan 2) mengajar semua siswa dengan berbagai cara. Kedua pendekatan
tersebut tidaklah sepenuhnya saling bertentangan—Kita dapat mengajar siswa
dengan banyak cara dan juga melakukan asesmen dan memenuhi kebutuhan
individual siswa dengan mengajar mereka secara berbeda sesuai hasil asesmen
tersebut. Cara seperti ini memang berpotensi gagal. Sebagain contoh, jika hasil
asesmen menyatakan Tony lemah dalam bahasa verbal namun kuat dalam
kecerdasan visual, Kita harus mengakomodasi pengembangan kemampuan
visualnya. Jika Kita melakukan itu, maka Kita akan gagal mengembangkan
kecerdasan bahasa verbal yang dibutuhkan untuk pengembangan dirinya. Memang
hal ini banyak diperdebatkan, namun kebanyakan pakar lebih cenderung pada
pendapat bahwa akan lebih baik mengajar semua siswa dengan berbagai cara
daripada mengajar di setiap kelompok berbeda menggunakan cara berbeda.
7. Expectation Theory/Teori Ekspektasi (4.20)
Dalam penelitian klasik tentang dampak ekspektasi terhadap prestasi. Robert
Rosenthal dan Leonore Jacobson mengadakan tes kecerdasan pada siswa di
sekolah dasar secara massif. Dalam penelitian itu, diinformasikan ke para guru
bahwa di samping tes IQ peneliti juga menyelenggarakan “Tes dari Harvard
mengukur Perubahan Prestasi”—suatu tes yang mengungkap “academic spurters”
untuk mengetahui siswa mana yang prestasinya “menanjak” tahun depan.
Sesungguhnya, tes tersebut tidak pernah dilaksanakan. Para peneliti hanya
menginginkan memanipulasi ekspektasi para guru. Para peneliti secara acak
memilih dua puluh persen siswa dari setiap kelas—tanpa memandang berapapun
hasil tes kecerdasan—dan memberitahukan gurunya bahwa hasil tes kecerdasan
yang dilaksanakan menunjukkan siswa dalam daftar merupakan siswa yang akan
membuat progres kecerdasan di atass rata-rata tahun ini. Pada akhir tahun, para
peneliti datang kembali dan melakukan tes kecerdasan pada semua siswa tersebut.
Hasilnya: siswa yang secara acak diberi label “menanjak” memperoleh peningkatan
skor yang signifikan dibandingkan siswa yang tanpa label. Peningkatan lebih tinggi
terjadi pada kelompok siswa yang paling muda. Lebih jauh lagi, asesmen subyektif
yang dilakukan gurunya, seperti kemampuan membaca, menunjukkan hasil yang
sama dan para guru tersebut mengungkapkan bahwa siswa yang “spesial” tersebut
berperilaku lebih baik, rasa ingin tahunya lebih tinggi, memiliki lebih besar peluang
ke depan untuk sukses, dan lebih bersahabat dibanding rekan-rekannya yang
“kurang spesial”. Hasil penelitian ini telah diulang berkali kali di banyak sekolah, lab,
klinik, dan dalam suasana kehidupan sehari hari. Penelitian tersebut berkesimpulan
kekuatan ekspektasi—untuk mahasiswa Akademi Angkatan Udara dalam aljabar,
dan untuk tim bowling—apapun kelompok yang diteliti, apa yang kita harap itulah
yang kita dapat. Mengapa harapan Kita bisa terpenuhi? Ekspektasi
terkomunikasikan dalam banyak cara, sehingga mempengaruhi motivasi dan
prestasi. Guru yang tidak berharap banyak pada siswa tertentu, akan memberikan
tugas yang kurang menantang pada siswa tersebut. Komunikasi non verbal-nya
tentu akan berbeda. Kita tidak dapat mengubah namun dapat mengkomunikasikan
harapan Kita. Harapan tersebut bukan hanya Kita komunikasikan ke siswa, namun
juga ke kelompoknya,sehingga menyebabkan perlakuaan berbeda. Lebih penting
lagi, citra diri siswa ditransformasikan: Kita naik atau turun prestasi bergantung citra
diri Kita. Siswa yang percaya bahwa ia “dapat” akan berupaya ekstra dalam
menghadapi tantangan, dan sebaliknya siswa yang “tidak dapat” akan menyerah.
Bagaimana dampak ekspektasi menjelaskan outcome positif dari pembelajaran
kooperatif? Salah satu penjelasan yang banyak dikutip dari hasil penelitian adalah
siswa yang berprestasi paling rendah akan berkembang baik. Ketika hal ini
dikomunikasikan ke guru, ekspektasi guru berubah. Hal ini meningkatkan hasil
belajar siswa tersebut. Pembelajaran kooperatif didasarkan atas premis bahwa
semua siswa dapat berprestasi apabila mendapatkan perlakuan dan dukungan yang
sesuai. Kita membelajarkan siswa untuk saling memberikan dukungan, “Kamu bisa”.
Pada perkembangan selanjutnya, ekspektasi ini diinternalisasikan, dan mengubah
citra diri dan siswa pun mulai bangkit pada ekspektasi yang lebih tinggi.
Penghargaan, selebrasi, dan sikap “Kita bisa” secara inheren dalam pembelajaran
kooperatif, semuanya akan mendukung dan ditransformasi menjadi ekspektasi yang
lebih tinggi. Meningkatkan ekspektasi diri berarti meningkatkan hasil belajar. “Jika
Anda berpikir Anda bisa atau Anda tidak bisa, maka Anda benar”, demikian pesan
Henry Ford
8. The Power of the Situation/Kekuatan Situasi (4.21)
. Temuan utama dalam penelitian psikologi sosial adalah apa yang disebut
dengan the power of the situation. Kita berupaya secara maksimal bergantung pada
variabel situasi. Temuan ini membantah kecenderungan umum yang berpendapat
bahwa keberhasilan ditentukan variabel personal. Ketika Kita melihat seseorang
bekerjasama atau berkompetisi, Kita cenderung mengatribusikan perilaku itu
sebagai variabel personal. “Si Fulan orangnya kooperatif, Si Fulanah orangnya tidak
kooperatif”. Namun hasil penelitian Psikologi Sosial mengungkapkan persepsi
semacam itu bergantung pada situasi, yang lebih bersifat individual, Perilaku lebih
merupakan fungsi dari situasi, bukan kepribadian.

Ada 7 karakteristik kunci dalam Pembelajaran Kooperatif:


• Key 1. Structures atau sintaks pembelajaran (hal.5.2)
• Key 2. Teams atau pembentukan kelompok (hal. 5.4)
• Key 3. Management atau pengelolaan kelas (5.6)
• Key 4. Classbuilding atau dinamika kelas (hal.5.6)
• Key 5. Teambuilding atau dinamika kelompok (hal. 5.7)
• Key 6. Social Skills atau keterampilan sosial. (hal.5.8)
• Key 7. Basic Principles atau prinsip-prinsip dasar (PIES) hal 5.9

Karakteristik Kunci 1 : Sintaks pembelajaran (Kagan, 2009:5.2)


Sintaks pembelajaran adalah bagaimana cara guru mengorganisasi kelas sehingga
senantiasa terjaga interaksi. Sintaks pembelajaran menjelaskan hubungan timbal
balik antara Guru, Siswa dan materi ajar —dengan kata lain bagaimana interaksi itu
disusun dalam sintaks pembelajaran.
Numbered Heads Together, Showdown, RallyCoach, dan Timed Pair Share
merupakan sedikit dari sintaks pembelajaran yang dikembangkan oleh Kagan.
Sintaks pembelajaran menggambarkan hubungan timbal balik antara Guru, Siswa
dan Materi Ajar. Ciri khas Sintaks pembelajaran Pembelajaran Kooperatif adalah
adanya interaksi siswa dengan siswa yang menjadi bagian integral dari proses
pembelajaran.
Dalam Numbered Heads Together misalnya, setelah Siswa menulis respon jawaban
mereka atas pertanyaan Guru, Siswa berdiskusi menyamakan perepsi (disitilahkan
dengan put their heads together) untuk memperbaiki jawaban mereka. Dalam
RallyCoach, setiap pasangan secara bergiliran meng-coaching satu sama lain untuk
memecahkan masalah yang diajukan.
Jadi, Sintaks pembelajaran cooperative learning merupakan sekuen pembelajaran
secara berulang yang mengorganisasikan interaksi antar siswa dengan siswa yang
menjadi prinsip mendasar dari pembelajaran kooperatif.
Sintaks pembelajaran dapat diimplementasikan secara berulang pada konten materi
berbeda, sehingga akan menciptakan aktivitas dan pengalaman belajar baru. Dalam
hal ini, sintaks pembelajaran pembelajaran kooperatif disebut bebas konten, artinya
bisa digunakan untuk berbagai macam konten materi ajar. Jika Anda menganggap
metode ceramah bebas konten sehingga bisa digunakan untuk mengajar apa saja,
demikian pula dengan pembelajaran kooperatif.
Karakteristik sintaks pembelajaran pembelajaran kooperatif dengan sintaks
pembelajaran pendekatan lain adalah pada implementasi prinsip dasar dari
pembelajaran kooperatif yaitu PIES yang akan dideskripsikan pada bagian
berikutnya.
Ada berapa macam sintaks pembelajaran menurut Kagan? Ada sekitar 200 sintaks
pembelajaran, yang di dalam buku ini disajikan 12 macam saja.

Ringkasan 7 karakteristik Pembelajaran Kooperatif


Key 1. Structures How to use cooperative learning instructional strategies
Key 2. Teams How and when to form and re-form the various types of teams
. Key 3. Management How to manage the cooperative classroom
Key 4. Classbuilding How to create a caring, cooperative community of learners
Key 5. Teambuilding How to develop powerful learning teams
Key 6. Social Skills How to develop students’ ability to cooperate
Key 7. Basic Principles (PIES) How to use the proven principles of cooperative learning

Mengapa demikian banyak sintaks pembelajaran? Ketika Kita mengimplementasikan


interaksi Siswa dengan Siswa, Kita membuka dunia yang baru kemungkinan
pembelajaran yang menyenangkan. Setiap sintaks pembelajaran dirancang agar
supaya siswa dapat memperoleh tujuan pembelajaran yang diinginkan. Ada sintaks
pembelajaran khusus yang didesain untuk teambuilding, untuk classbuilfing, ada
yang agar supata siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dasar, ada
yang untuk memperoleh keterampilan berpikir.
Dengan sedemikian banyaknya sintaks pembelajaran, darimana Saya memulai?
Mulailah dari yang sederhana taitu RallyRobin. Eksplorasi dan praktekkan
RallyRobin pada beberapa point berbeda dalam pembelajaran Anda. Lalu gunakan
untuk konten materi yang berbeda. Ketika Anda dan siswa Anda merasa senang,
kenali sintaks pembelajaran yang lain. Lama-lama Anda akan mengenal banyak
ragam sintaks pembelajaran. Maka saat itulah Anda akan merasa senang mengajar
dibanding sebelumnya!.

Karakteristik Kunci 2 : Pembentukan Tim (Kagan, 2009:5.3)


Mengapa Tim? Suatu kelompok bisa beranggotakan berapa saja, dan tidak
membutuhkan kepemilikan identitas ataupun tidak perlu berlangsung sepanjang
waktu. Tim kooperatif, sebaliknya, memiliki identitas yang kuat, identitas yang positif,
dan berlangsung lebih lama dibanding kelompok. Mitra dalam tim (teammate)
mengenal dengan baik dan bisa saling menerima, serta saling memberikan
dukungan. Kemampuan untuk membentuk berbagai ragam tim kooperatif
merupakan kunci kedua bagi Guru untuk sukses dalam mengimplementasikan
pembelajaran kooperatif.
Ada berapa macam tipe Tim Kooperatif? Ada 4 macam yaitu: 1) heterogen,
2) homogen, 3) random, dan 4) memilih siswa.
Tim heterogen dengan kata lain adalah tim campuran. Tim heterogen merupakan
cerminan dari kelas. Jika memungkinkan, buatlah tim yang heterogen terdiri dari
siswa dengan kompetensi rendah, sedang dan tinggi, laki-laki dan perempuan,
keragaman etnis dan bahasa. Heterogenitas level kompetensi akan memaksimalkan
peer tutoring positif, dan dapat membantu guru dalam mengelola kelas. Keberadaan
siswa dengan kompetensi tinggi dalam tim, penyampaian dan penerimaan materi
baru akan lebih mudah dilakukan. Pembauran etnis dalam tim akan memperbaiki
hubungan antar siswa. Rasional heterogenitas adalah sederhana. Jika setiap orang
dalam tim memiliki pengetahuan dan keterampilan yang persis sama, mereka tidak
akan bisa belajar satu sama lain.
Tim yang homogen dibentuk berdasarkan karakteristik yang sama. Tim yang
homogen bisa dibentuk berdasarkan level kompetensi yang sama untuk diferensiasi
pembelajaran atau kurikulum. Atau juga bisa untuk kepentingan sebagai tim bahasa.
Dalam kelas bilingual atau multilingual di mana beberapa siswa belum fasih
berbahasa Inggris, membuat tim homogen secara tidak permanen memungkinkan
siswa yang belum fasih tersebut untuk mengakses kurikulum dalam bahasa ibunya.
Tim homogen bisa juga dibentuk karena persamaan minat. Siswa yang sama-sama
berminat meneliti dan menyajikan temuannya tentang fauna hutan tropis bisa
membentuk satu tim. Siswa yang sama-sama berminat meneliti dan menyajikan
temuannya tentang flora hutan tropis bisa membentuk satu tim yang lain lagi. Tim
homogen dengan persamaan minat memiliki keuntungan memberi kebebasan luas
kepada siswa untuk menyalurkan minatnya. Percepatan pembelajaran dan belajar
siswa akan terjadi ketika siswa memiliki minat terjadap materi ajar.
Tim yang random: tim random dibentuk dengan cara diacak atau diundi. Sebagai
misal, siswa disuruh berhitung bilangan 1 sampai dengan bilangan berapa jumlah
tim mau dibentuk. Tim random memiliki efek yang besar untuk membuat suasana
yang menyenangkan dan mempromosikan classbuilding (Kagan,2009:5.4).

Tim pilihan siswa. Kadang-kadang diperlukan kelompok yang didasarkan atas


pilihan siswa sendiri. Tim pilihan siswa dapat digunakan untuk kelas permulaan. .
Pemilihan didasarkan atas kesenanagan dan variasi. Bisa juga diambil cara
silahkan memilih bekerjasama dengan temannya yang disenangi. Bekerjasama
dengan teman yang disenangi tentu menyenangkan dan bisa saling percaya.
Kedekatan ini akan meningkatkan produktivitas lingkungan kelas. Pengelompokan
semacam ini juga mempermudah keputusan kelompok karena persamaan
ketertarikan dan perspektif.

Karakteristik Kunci 3 : Pengelolaan Kelas Kooperatif (Kagan,


2009:5.6)
Pengelolaan kelas yang bagaimana yang sesuai karakteristik kelas kooperatif?
Pengelolaan kelas yang efisien di mana terdapat beberapa tim di dalamnya,
mungkin membutuhkan keterampilan guru yang tidak ada dalam kelas tradisional.
Beberapa keterampilan yang dibutuhkan antara lain:
Mengelola suara ribut di kelas. Pembelajaran kooperatif memacu interaksi siswa
dengan siswa, suara yang ribut akan terjadi apabila kelas tidak dikelola dengan baik.
Kita harus mengatur dan menjaga sinyal yang efektif untuk secara cepat membuat
semua siswa tenang dan fokus ke Kita. Kita juga membutuhkan prosedur untuk
memantau suara dan untuk menjaga agar tidak terjadi eskalasi suara yang
berlebihan. (Misal: Tepuk Diiiaaaam, tepuk sekali lalu semua siswa bilang ssssst
sambil jari telunjuk menutup mulut).
Pengaturan tempat duduk. Kelas kooperatif diatur sedemikian rupa untuk
memfasilitiasi kerja sejumlah tim yang ada. Para siswa cukup dekat untuk
mendiskusikan topik yang ditugaskan dalam rekan se tim sehingga semua anggota
tim dapat dengan mudah menaruh kedua tangan di selembar kertas semacam
plano. Namun pengaturan tempat duduk tersebut juga harus mempertimbangkan
agar semua siswa dapat dengan nyaman mengalihkan pandangan ke Guru dan
papan tulis
Pengelolaan Material. Dalam pembelajaran kooperatif semua tim saling berbagi
material, sehingga Guru membutuhkan wadah atau packing material tersebut.
Pikirkan bagaimana cara mengumpulkan dan membagikan semua material dari dan
ke semua tim.
Pemberian arahan. Pemberian tugas tim tentu lebih kompleks dibandingkan tugas
individual. Pembedaan tugas tim mengharuskan pembedaan peran dan tanggung
jawab anggota tim. Kita membutuhkan metode pemberian arahan yang efektif,
termasuk modeling dari Guru itu sendiri, untuk meyakinkan tim memahami tujuannya
dan setiap anggota tim memahami perannya masing-masing dalam penyelesaian
tugas dari Guru.
Pemecahan masalah tim. Ada potensi masalah ketika Kita menempatkan siswa
secara bersama dalam suatu tim, terutama ketika para siswa belum punya
pengalaman belajar secara kooperatif pada kelas sebelumnya. Kita membutuhkan
prosedur preventif untuk mencegah terjadinya konflik yang mungkin sewaktu-waktu
bisa muncul.
(Catatan: Pada Bab 8 Kagan memberikan alternatif berbagai strategi pengelolaan
kelas, namun tidak mungkin Saya menerjemahkan semuanya. Pengelolaan kelas
dapat menyesuaikan ide dan kreativitas Guru).

Karakteristik Kunci 4 : Dinamika Kelas Kooperatif (Kagan, 2009:5.7)


Apa yang dimaksud dengan dinamika kelompok? Dinamika kelas merupakan
proses di mana kelas penuh dengan individual dengan beragam latar belakang, dan
pengalaman, menjadi komunitas pembelajar aktif yang saling peduli. Dinamika kelas
yang demikian menyebabkan lingkungan belajar yang hidup dan menyenanagkan, di
mana siswa saling peduli satu sama lain. Dinamika kelompok yang demikian
menyebabkan perasaan “Kelas Kita” di mana semua siswa merasa menjadi bagian
integral di dalamnya dan menyenangi belajar bersama.
Mengapa perlu membuat dinamika kelas? Pada kebanyakan pendidik, rasional
perlunya menciptakan kelas kooperatif yang saling peduli sudah menjadi
pengalaman pribadi. Pada sebagian pendidik lain yang setuju akan selalu
memanfaatkan kesempatan untuk menciptakan konteks sosial yang dapat
membentuk karakter, seperti saling menghormati, saling peduli, ramah, dan bisa
bekerjasama. Namun ada juga pendidik yang mempertanyakan “Apa pentingnya
menciptakan suasana kelas yang menyenangkan?” Dan bahkan ada yang
menyatakan, “Jika Anda mencari kesenangan datanglah ke pesta.” Banyak
penelitian tentang otak yang mengindikasikan bahwa mengurangi ancaman dalam
kelas akan mengoptimalkan atmosfer kelas yang mampu meningkatkan
produktivitas pembelajaran.
Bagaimana membuat dinamika kelas? Cara paling mudah untuk menciptakan
dinamika kelas adalah melalui aktivitas dan sintaks pembelajaran. Aktivitas dinamika
kelas adalah keseluruhan aktivitas kelas inklusi (atau kelas yang membaur, semua
siswa menjadi bagian dari kelas tersebut). Semua siswa berinteraksi dengan rekas
se kelasnya, semua siswa beranjak dari tempat duduknya dan bekerja dengan
teman se kelasnya, yang biasanya bukan rekan se-timnya. (Kagan mendeskripsikan
lebih rinci tentang hal ini di Bab 9). Cara lain untuk mewujudkan dinamika kelas
adalah melalui sintaks pembelajaran yang akan dideskripsikan pada bagian
berikutnya. Dengan dua cara ini siswa merasa saling memiliki dan bagian dari kelas.
Apakah dinamika kelompok tidak mengurangi suasana akademis? Berpikir
tentang dinamika kelompok merupakan suatu investasi.Kita menggunakan beberapa
saat sebagai investasi menciptakan lingkungan belajar positif sehingga proses
belajar lebih produktif. Namun tidak semua dinamika kelas mengurangi waktu
pembelajaran. Semua sintaks pembelajaran dapat diberdayakan sehingga siswa
dapat berinteraksi dengan siswa lain dengan cara positif dalam arti tetap fokus pada
tujuan pembelajaran. Sebagai contoh dalam sintaks Quiz-Quiz-Trade sebagai
dinamika kelas di mana siswa saling berinteraksi dengan rekan sekelasnya, namun
tetap fokus pada konten akademis. Interaksi dengan rekan dan penguasaan konten
akademis dapat berjalan secara simultan.

Karakteristik Kunci 5 : Dinamika Kelompok Kooperatif (Kagan,


2009:5.7)
Apa perbedaan dinamika kelas dengan dinamika kelompok? Dinamika kelas
mempromosikan lingkungan kelas yang mendukung pembelajaran. Dinamika kelas
memungkinkan siswa memahami dan mempercayai rekan kelasnya. Dinamika
kelompok memiliki cara kerja yang sama dengan dinamika kelas namun untuk
lingkup yang lebih kecil yaitu kelompok. Melalui dinamika kelompok, rekan se tim
akan terbentuk, menciptakan identitas tim, menyebabkan saling memberi dukungan,
menghargai perbedaan individual, dan mengembangkan hubungan timbal balik yang
sinergis.
Apakah dibutuhkan dinamika kelompok, padahal sudah ada dinamika kelas?
Dalam kelas kooperatif, kerja tim adalah norma. Pada level tim inilah dinamika kelas
diimplementasikan secara lebih spesifik. Mayoritas interaksi kooperatif justru dalam
tim. Jika para siswa tidak menyenangi rekan timnya atau tidak ingin bekerja dalam
tim itu, maka berarti terjadi masalah dan akan terjadi hasil belajar yang kurang
optimal. Bagaimana bisa seorang siswa meminta bantuan atau menawarkan
bantuan pada siswa lain yang tidak disukainya? Jika rekan tim saling memahami,
saling menyukai, dan saling mempercayai, bukan saja mereka akan bisa
bekerjasama dengan baik, namun mereka akan memperoleh hasil belajar ekstra
untuk mampu meyakinkan semua anggota tim memahami konten materi dan
bagaimana cara memecahkan masalah. Dinamika kelas akan menciptakan rasa
saling percaya, saling menyukai, dan saling peduli yang tulus diantara sesama
anggota tim.
Bagaimana cara kerja dinamika kelompok? Penelitian dalam Psikologi telah
membuktikan keterkaitan antara kedekatan fisik dan persahabatan. Temuan dalam
penelitian itu menunjukkan bahwa kedekatan secara fisik mempererat persahabatan.
Fenomena ini sering terjadi di mana tetangga menjadi sahabat. Penjelasannya
sederhana. Kedekatan secara fisik akan memicu adanya interaksi, yang akan
menimbulkan rasa saling mengenal dan menemukan kesamaan. Jika Kita sering
melakukan kontak, Kita akan cenderung berinteraksi. Jika Kita berinteraksi, Kita
akan cenderung saling berbagi ketertarikan. Kita akan tertarik kepada orang yang
dekat, berinteraksi dan berbagi ketertarikan.
Menempatkan tim berdekatan secara fisik dapat menyebabkan interaksi dan saling
menyenangi, namun belum cukup membuat kelompok yang produktif. Kita tentu
menghendaki semua anggota tim secara tulus peduli pada kontribusi masing-masing
terhadap keberhasilan tim. Kita tentu ingin tim yang mampu membangkitkan
kekuatan sinergis yang memunculkan banyak gagasan yang saling mendukung satu
sama lain. Kita menginginkan tim di mana siswa dapat berargumentasi dalam sudut
pandangnya, bisa dengan sopan berargumentasi tidak setuju, dan bisa mencapai
konsensus. Kita tentu ingin agar setiap siswa punya kesempatan kadang menjadi
pemimpin kadang menjadi pengikut.
Dinamika kelompok merupakan katalis yang mempercepat proses interaksi dalam
menemukan tujuan bersama dan ketertarikan bersama, memperkuat ikatan diantara
anggota tim.
Bagaimana Kita menciptakan tim pembelajar efektif? (hal 5.8). Kagan
mendeskripsikannya secara lebih rinci pada bab 10.
Karakteristik Kunci 6 : Keterampilan Sosial (Kagan, 2009:5.8)
Keterampilan sosial apa saja yang bisa dilatihkan dalam pembelajaran
kooperatif? Ada beberapa keterampilan sosial yang dibutuhkan sekaligus bisa
dilatihkan dalam kegiatan tim kooperatif. Kita sebagai Guru harus memahaminya
sehingga bisa memberikan bantuan yang dibutuhkan. Kita harus memahami
bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Namun tidak semua siswa harus menjadi
pemimpin kelompok. Siswa tidak perlu malu-malu berpartisipasi, namun jangan
terlalu keras bersuara dan terlalu asertif sehingga mendominasi tim. Siswa harus
memahami bagaimana memotivasi ketika performa tim menurun. Siswa harus
mendengarkan anggota tim untuk memahami perspektif tim. Siswa harus memahami
untuk menerima dengan legowo ketika gagasannya tidak dipilih oleh tim. Siswa
harus tahu kapan gilirannya tiba untuk berpartisipasi, bisa menyatakan tidak setuju
dengan sopan, memecahkan konflik, dan mencapai konsesnsus. Jadi memang
banyak keterampilan sosial yang dilatihkan dalam tim yang baik. Keterampilan
seperti inilah yang amat dibutuhkan dalam dunia kerja yang sebenarnya nanti, pada
kehidupan berkeluarga nantinya, dan untuk relasi sosial positif lainnya.
Keterampilan Sosial dan Pendidikan Karakter
Siswa membutuhkan berbagai macam keterampilan sosial untuk dapat sukses
dalam pembelajaran kooperatif dan untuk kehidupan nanti. Berikut beberapa
keterampilan yang bisa dilatihkan pada setiap kelas pembelajaran kooperatif.
• Active listening (penyimak aktif)
• Appreciating others (menghargai orang lain)
• Asking for help (meminta ataupun menawarkan bantuan)
• Building on others’ ideas (menyampaikan gagasan ke orang lain)
• Caring (peduli)
• Conflict resolution skills (keterampilan mencairkan konflik)
• Consensus seeking (mencari konsensus)
• Cooperation (bekerjasama)
• Diversity skills (keterampilan menghargai keragaman)
• Encouraging others (menyemangati orang lain)
• Helping (membantu)
• Leadership skills (keterampilan memimpin)
• Patience (sabar)
• Perspective-taking (memahami perspektif tim)
• Respect (menghormati)
• Responsibility (tanggung jawab)
• Sharing (berbagi)

Karakteristik Kunci 7 : Prinsip-Prinsip Dasar (Kagan, 2009:5.9)


Apa yang dimaksud dengan Prinsip PIES?
Ada empat prinsip utama yang sangat fundamental dalam pembelajaran kooperatif
yang disingkat dengan PIES: Positive Interdependence, Individual Accountability,
Equal Participation dan Simultaneous Interaction. Empat prinsip utama ini diturunkan
dari teori tentang pembelajaran kooperatif, berdasarkan bukti-bukti nyata dari best
practice pembelajaran kooperatif, dan hasil berbagai penelitian tentang
pembelajaran kooperatif. Ketika keempat prinsip ini berlangsung, semua siswa akan
kooperatif, mengambil tanggung jawab belajar masing-masing, memberikan
dorongan pada semua anggota lain, aktif terlibat dalam kegiatan belajar, sering
berpartisipasi secara setara, dan mempercepat pencapaian akademisnya. Empat
prinsip utama tersebut menjadi esensi pembelajaran kooperatif. PIES menjadi
pembeda antara pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran tipe lain dan
menjadi fundamental dalam pembelajaran kooperatif.
1) Positive Interdependence.
Positive interdependence terdiri dari dua konsep: 1) positive dan 2)
Interdependence.
a) Positive Correlation (korelasi positif). Jika dua siswa memiliki korelasi outcome
positif, berarti sukses seorang siswa terkait sukses siswa lain. Amatilah gambar dua
pendaki gunung sedang memanajat tebing bersama. Ketika salah satu menemukan
pegangan yang kokoh, dia akan menarik pendaki yang lain. Ketika outcome siswa
secara positif berkorelasi, siswa akan saling memperhatikan dalam sudut pandang
yang sama, dan saling menyemangati dan membantu satu sama lain. Jika misalnya
Saya mengetahui pekerjaan baik Anda bisa membantu Saya, Saya akan berharap
Anda bisa mengerjakannya dengan baik, sehingga Saya akan menyemangati dan
mendukung pekerjaan Anda. Ketika semua anggota tim dan semua siswa dalam
kelas mengetahui outcome semua anggota tim berkorelasi satu sama lain, suatu
energi untuk mencapai tujuan bersama akan bangkit. Norma kelompok akan
mendukung pencapaian tujuan bersama, dan tim akan menjadi komunitas
pembelajar yang efektif, saling membantu satu sama lain.
Suatu korelasi positif dari beberapa outcome pembelajaran akan membentuk kelas
kooperatif. Kebalikan dari korelasi positif antara beberapa outcome pembelajaran
adalah korelasi negatif. Sukses seorang siswa akan menurunkan outcome sukses
siswa lain. Jika Kita membuat korelasi negatif diantara outcome para siswa, maka
siswa tidak akan saling membantu satu sama lain. Sebagai contoh, ketika Kita
membuat suatu curva, siswa mengetahui hanya siswa tertentu yang menduduki
puncak dengan jumlah terbatas. Para siswa memahami bahwa jika teman kelasnya
mencapai puncak curva, siswa tersebut akan mengurangi peluangnya untuk sukses.
Mereka tidak akan berani membantu rekan kelasnya dan bahkan berharap rekan
kelasnya mengalami kegagalan. Suatu korelasi negatif dapat pula terjadi karena
strategi pembelajaran yang Kita gunakan. Sebagai misal, jika seorang guru
menggunakan cara tradisional dalam memberikan pertanyaan yaitu satu pertanyaan
ditujukan untuk seorang siswa saja, secara tidak sengaja guru memposisikan siswa
saling berhadapan.Ketika seorang siswa berharap untuk ditanya, pada saat
bersamaan ia berharap pula siswa lain tidak ditanya. Lebih jauh lagi, ketika seorang
siswa ditanya, siswa lain berharap jawaban temannya tersebut salah. Kegagalan
seorang siswa menjadi satu satunya cara bagi siswa lain untuk mencapai tujuan—
ditanya guru dan memenangkan approve guru bahwa jawabannya benar dan
mendapat pengakuan dari teman kelasnya. Suatu korelasi negatif antara beberapa
outcome menciptakan suatu kelas kompetitif. Ada kemungkinan ketiga yaitu tanpa
korelasi. Jika setiap siswa bekerja secara individual, dan pencapaian siswa secara
individual tidak berkorelasi dengan pencapaian siswa lain, berarti tidak terdapat
korelasi. Jika korelasi positif menyebabkan pembelajaran kooperatif dan korelasi
negatif menyebabkan kompetisi, maka tanpa korelasi akan menyebabkan orientasi
individualistik—Setiap siswa akan berkutat pada pencapaiannya sendiri dan relatif
tidak berbeda dengan pencapaian rekannya yang lain. Pembelajaran tanpa korelasi
akan kelas yang individualistik.
b) Interdependence (Interdependensi). Bayangkan dua anak muda yang akan
membuat skateboard. Salah satu punya papan, dan satunya memiliki roda. Hanya
bila bekerjasama mereka berdua bisa mencapai tujuan bersama. Interdependensi
berarti semua siswa saling bergantung satu sama lain. Mereka semua akan
bergantung pada teman timnya. Jika tidak mungkin mencapai tujuan atau sukses
pada tugas tanpa bantuan rekan lain, berarti terjadi interdependensi yang kuat.
Bentuk yang paling kuat dari interdependensi terjadi ketika kontribusi dari setiap
anggota tim dibutuhkan untuk sukses keseluruhan tim—setiap anggota harus
mengerjakan bagiannya masing-masing. . Ketika semua siswa saling bergantung
satu sama lain, mereka semua sadar bahwa sukses dirinya bergantung pada sukses
yang lain. Persepsi interdependensi ini menciptakan ikatan dalam tim dan kelas.
Setiap siswa mengetahui, saya tidak bisa mengerjakan sendiri, tapi kita dapat
mengerjakannya bersama. Dengan demikian interdependensi merupakan faktor
kunci terjadinya pembelajaran kooperatif dan menjadi kebiasaan yang
menguntungkan untuk pencapaian tujuan pembelajaran.
Interdependensi (Saling Bergantung) Positif Menghasilkan Terjadinya Proses
Kooperatif.
Interdependensi positif dapat menciptakan perilaku kooperatif dan meningkatkan
hasil belajar (Kagan, 2009:5.9). Jika terjadi korelasi positif antara hasil belajar Saya
dan Anda, Saya akan membantu Anda dan menyemangati Anda untuk mengerjakan
tugas dengan baikt—prestasi Anda adalah prestasi Saya. Jika Kita
berinterdependensi, tidak seorangpun diantara Kita dapat mengerjakan tugas
sendirian, Kita hanya dapat mengerjakannya jika bersama-sama, sehingga Kita
bekerfasama. Dengan melakukan positif interdependensi, Kita saling peduli,
membuat komunitas kooperatif dan meningkatkan hasil belajar melalui proses yang
benar..
2) Tanggung jawab Individual
Metode pembelajaran kooperatif, yang tidak membuat teman tim akuntabel terhadap
hasil belajarnya maupun kontribusinya sendiri, tidak akan menningkatkan hasil
belajar. Jika evaluasi tidak didasarkan pada kinerja individu, Cooperative learning
methods. Jika Saya anggota tim yang mendapatkan satu tugas dari grup, dan tidak
ada tanggung jawab siapa mengerjakan apa, Saya tampaknya akan mengerjakan
hal yang ala kadarnya bergantung pada motivasi dan kemampuan Saya. Jika Saya
siswa yang pintar, bermotivasi tinggi, Saya akan memutuskan untuk mengerjakan
sendiri semua tugas kelompok dengan cara terbaik. Sebaliknya, bila Saya seorang
siswa dengan kemampuan rendah, tidak punya motivasi, Saya akan
mempersilahkan rekan tim yang berprestasi dan motivasi tinggi untuk mengerjakan
tugas kelompok dengan baik, sehingga semuanya biar dia kerjakan sendiri. Pada
akhirnya, Saya akan bermalas-malasan atau bahkan masa bodoh dan tidak
tertolong lagi. Jika terdapat tanggung jawab individual, semuanya akan berubah.
Tanggung jawab individual akan terjadi apabila masing-masing siswa mengerjakan
tugas berbeda untuk kepentingan kelompok. Jika terdapat tanggung jawab
individual, Sebagai contoh, dalam Numbered Heads Together (NGT), setiap siswa
harus menuliskan jawaban terbaiknya dengan caranya sendiri dan menunjukkannya
pada rekan timnya sebelum mereka coaching dan menjadi tutor satu sama lain
(dalam buku Kagan hal seperti ini disebut put they head together). Selanjutnya, pada
setiap sesi, salah satu anggota yang terpilih secara random diberi tugas untuk
berbagi jawaban timnya ke pleno kelas dan guru. Dengan demikian, semua siswa
secara individual bertanggungjawab (akuntabel), pada setiap sesi mereka harus
presentasi di depan rekan timnya, dan pada beberapa kesempatan ia presentasi di
depan pleno kelas dan guru. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa belajar dalam
tim. Namun bukan berarti ia bisa bersembunyi dalam timnya. Jika Kita sebagai guru
menginginkan hasil belajar optimal untuk semua siswa, maka setiap siswa tersebut
harus secara reguler memiliki tanggung jawab terhadap kontribusinya dalam
kegiatan pembelajaran. .
3) Partisipasi yang Merata.
Jika siswa secara aktif berpartisipasi, ia akan memproses konten, dan terlibat
intensif dalam pembelajaran. Jika ia tidak berpartisipasi, hasil pembelajaran tidak
dijamin. Fakta sederhana ini menjelaskan terjadinya disparitas hasil pembelajaran
siswa keseluruhan, atau bahkan terjadi disparitas hasil belajar secara nasional di
semua negara. Pembelajaran di kelas tradisional merupakan contoh nyata dari
partisipasi yang tidak merata ini. Guru melontarkan pertanyaan dan siswa secara
sukarela mengangkat telunjuk jarinya, berkompetisi mendapatkan peluang
memberikan jawaban. Siapakah yang mengangkat telunjuk jari? Tentu siswa dengan
kemampuan tinggi. Interaksi kelas lebih sering terjadi antara guru dengan siswa
berkemampuan tinggi, yang jumlahnya tidak seberapa. . Dengan demikian, banyak
siswa yang perlu ditingkatkan partisipasinya. Siapa yang tidak memberikan
jawaban? Siswa yang berkemampuan rendah. Siswa yang minoritas. Siswa yang
kehidupan ekonominya pas-pasan. Siswa berkebutuhan khusus. Siswa yang
sesungguhnya lebih membutuhan untuk dapat dimasukkan dalam proses
pembelajaran justru dibiarkan menarik diri dari partisipasi dalam proses
pembelajaran. Mereka akan bersembunyi. Pemerataan partisipasi merupakan salah
satu prinsip pembelajaran kooperatif yang mengobati penyakit di atas. Pemerataan
partisipasi berarti partisipasi bukanlah sukarela. Setiap siswa harus berpartisipasi
secara setara. Daripada menunjuk salah satu siswa menjawab pertanyaan, lebih
baik guru mengatakan, “Andi, katakan pada Rudi (teman sebangku Andi) apa
jawaban dari pertanyaan Saya tadi, dan Kamu Budi, jelaskan pada Herman (teman
sebangku Budi)” demikian seterusnya. Pada pertanyaan berikutnya, guru
mengatakan: “Rudi, katakan Andi ...dst.”. Apapun sintaks pembelajaran kooperatif
yang digunakan, setiap orang harus berpartisipasi. Tidak boleh seorang siswa pun
yang tertinggal (Kagan, 2009:5.11). Berbagai hasil penelitian tentang pembelajaran
kooperatif menemukan bahwa peningkatan hasil belajar yang lebih tinggi justru
terjadi pada siswa berkemampuan rendah. Prinsip partisipasi setara akan bersinergi
dengan prinsip tanggung jawab individual dalam mengurangi disparitas pencapaian
hasil belajar. Setiap siswa memiliki tanggung jawab berpartisipasi di depan teman
sekelas dan guru. Siswa yang sebelumnya dikarenakan sesuatu hal kurang terlibat
dalam proses pembelajaran akan merasa beruntung dibawa kembali membaur dan
berpartisipasi secara setara dalam proses pembelajaran. Setiap siswa harus
berpartisipasi, sehingga setiap siswa belajar. Ketika partisipasi setara dilaksanakan
sesuai prosedur, pembelajaran koopertif bisa mengurangi disparitas hasil belajar. .
.
4) Interaksi secara Simultan
Dalam pembelajaran kooperatif, bukan hanya siswa berpartisipasi secara setara,
namun siswa juga berpartisipasi lebih kontinyu. Mengapa? Karena banyak siswa
berpartisipasi secara bersamaan, dengan kata lain terjadi interaksi secara simultan
(Kagan, 2009:5.11). Interaksi simultan merupakan keunggulan utama pembelajaran
kooperatif dibandingkan pembelajaran tradisional. Dalam sintaks pembelajaran
tradisional, hanya satu orang yang berbicara (biasanya guru), atau kadang-kadang
seorang siswa bila guru bertanya kepadanya. Hal ini adalah sintaks sekuensial.
Setiap siswa berpartisipasi secara bergiliran, satu mendapatkan giliran setelah yang
lain secara sekuensial. Secara matematis, struktur sekuensial merupakan
kekurangan karena cara ini memberikan waktu yang sangat sedikit bagi setiap siswa
untuk berpartisipasi aktif. Mari Kita berbicara lebih empiris. Dalam penelitian
berskala besar, John Goodlad mengungkapkan rata-rata percakapan di kelas 80%
dikuasai guru, sehingga hanya menyisakan 20% percakapan yang dilakukan siswa.
Sekilas, tampak tidak menjadi masalah ketika dalam waktu 50 menit siswa diberi
waktu selama 10 untuk berpartisipasi aktif. Namun bila Kita cermati, waktu 10 menit
tersebut dibagi secara sekuensial untuk 30 siswa, maka seorang siswa hanya
memiliki waktu sepertiga menit. Maka tidak mengherankan bila pembelajaran
tradisional menjemukan. Seorang siswa hanya diberikan waktu 20 detik untuk
berpartisipasi secara bergiliran!. Sisanya, mereka harus mendengarkan
pembicaraan orang lain, terutama gurunya,selama 49 menit 40 deik!. Hal sebaliknya
terjadi pada kelas yang mengimplementasikan prinsip partisipasi simultan. Di
samping dalam pembelajaran kooperatif guru tidak pernah mengambil 40 dari 50
menit untuk berbicara, namun sekedar membandingkan, semisal siswa hanya
memiliki 10 menit kesempatan berbicara. Jika Kita meninggalkan sintaks sekuensial
dan mengimplementasikan sintaks simultan, ambil contoh model pembelajaran
Timed Pair Share, maka partisipasi aktif tidak hanya terjadi pada satu siswa pada
saat tertentu saja. Selama pembelajaran Timed Pair Share, pada saat tertentu
tersebut separuh jumlah siswa berbicara. Dengan demikian, rata-rata waktu
berbicara siswa bukan hanya 20 detik, namun lima menit penuh. Hal ini berarti 15
kali lebih besar dalam produktivitas bahasa tentang konten materi dibanding kelas
sekuensial. Lebih jauh, lima menit tersebut juga jauh lebih aktif daripada di kelas
tradisional, karena setiap siswa jauh lebih intensif terlibat ketika seseorang berbicara
langsung kepadanya darpada mereka memalingkan mukanya untuk menghadap
posisi guru. Esensinya, dalam kondisi yang sama, kerja berpasangan lebih bagus
dibandingkan kerja per tim, kerja per tim lebih bagus dibandingkan kerja kelas, dan
tim yang kecil lebih bagus dibandingkan kerja tim yang besar. .
Jika dalam sintaks mengimplementasikan PIES, mengapa Kita perlu
memperdalam PIES?
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, seorang guru akan sukses
mengimplementasikan pembelajaran kooperatif dengan mempraktekkan sintaks
yang berprinsip PIES. Namun mengapa Kita masih perlu memperdalam prinsip
PIES? mmm. Pemahaman yang mendalam tentang prinsip PIES sangat penting
bagi guru yang sudah berpengalaman mengimplementasikan pembelajaran
kooperatif untuk memodifikasi sintaks yang dikembangkan Kagan,
menciptakan sendiri sintaks pembelajaran berpendekatan kooperatif,
mengevaluasi keefektivan pembelajaran kooperatif, atau bahkan mendesain
projek dan aktivitas pembelajaran kooperatif mandiri.

Macam-macam Pembelajaran Kooperatif Klasik


Pendekatan Pembelajaran Kooperatif Klasik (Classic Approaches to Cooperative Learning)
NO PENDEKATAN (halaman...)
Jigsaw Designs
Original Jigsaw Aronson 17.2
Jigsaw II Slavin 17.2
Kagan Jigsaw Variations
• Within-Team Jigsaw
• Pairs
• Team Jigsaw
• Partner Expert
Group Jigsaw
• Double Expert
Group Jigsaw
• Workstation Jigsaw
• Leapfrog Jigsaw
Kagan 17.3–17.4
Controversy Jigsaw Coelho & Winn-Bell Olsen 17.5
Jigsaw Problem Solving Lawrence Hall of Science 17.5
Partners Kagan 17.7
Cooperative Investigations
Group Investigation Thelen, Sharan & Sharan 17.8
Co-op Co-op Kagan 17.9
Co-op Jigsaw Kagan 17.13
Complex Instruction Cohen 17.16
Mastery Designs
Color-Coded
Co-op Cards Kagan 17.17
STAD Slavin 17.20
TGT DeVries & Edwards 17.21
TAI Slavin, Leavey & Madden 17.21
CIRC Madden, Slavin & Stevens 17.21
Co-op Centers Kagan, Olsen & McClay 17.22
Learning Together
Learning Together Johnson & Johnson 17.22

Original Jigsaw/Jigsaw I (Kagan, 2009:17.2) ★★★ (untuk semua materi)


Pembelajaran dengan teknik jigsaw pertama kali dikembangkan di lab pelatihan
nasional (AS). Setiap partisipan diberi informasi yang dibutuhkan untuk
memecahkan suatu masalah, sehingga mereka harus bekerjasama agar bisa
berhasil. Elliot Aronson dan asosiasinya merupakan orang pertama yang
mengaplikasikan konsep Jigsaw dalam kelas. Mengimplementasikan original jigsaw
di beberapa sekolah berbeda, dan dalam upaya memperbaiki relasi etnis, mereka
membentuk tim dengan ras bervariasi, dan kemudian menulis kembali materi ajar
sedemikian rupa sehingga setiap siswa dalam tim hanya mengakses satu macam
materi ajar saja, namun setiap siswa mendapatkan penilaian yang sama. Dengan
demikian, siswa berhasil hanya bila bekerjasama. Bekerjasama, siswa menjadi
akrab satu sama lain dan relasi antar etnis dapat diperbaiki.

Jigsaw II ★★★ (untuk semua materi)


Meskipun original jigsaw berhasil, namun dirasa kurang praktis. Guru tidak punya
waktu menulis kembali kurikulum/materi ajar menjadi bagian-bagian untuk
memberikan setiap siswa akses materi yang eksklusif. Robert Slavin dan
asosiasinya mengatasi masalah tersebut dengan mengembangkan Jigsaw II. Dalam
model yang baru ini setiap siswa dalam setiap kelompok diberi tugas mendalami
topik tertentu dari materi ajar yang sudah ada, dan kemudian berkumpul dalam
kelompok ahli untuk mendalami tersebut. Kegiatan dilanjutkan dengan kembalinya
setiap siswa ke kelompok semula untuk mengimbaskan materi ajar yang telah
didalami masing-masing. babonnya. Akhirnya, semua siswa mengerjakan penilaian
dari materi keseluruhan. Peningkatan nilai dihitung, nilai tim diperoleh dari rata-rata
peningkatan nilai yang diperoleh semua anggota timnya.

Variasi Jigsaw yang dikembangkan oleh Kagan (Kagan,2009:17.3)


Within-Team Jigsaw
Teknik ini merupakan variasi jigsaw yang paling sederhana. Siswa tidak pernah
menggunakan timnya. Setiap siswa dalam tim In the simplest of all the Jigsaw
variations, students never leave their teams. Each student on the team is given a
different poem or
a different section of the text to read and analyze. They then use RoundRobin to
each teach the others what they have learned.
Within-Team Jigsaw becomes more powerful if the individual work and sharing time
is structured. For example, all students receive a four page worksheet packet, one
page for each expert topic. During the individual work, students fill out their own
expert topic questions; during the sharing time, the expert teaches from her/his page
while the teammates take notes on that page of their packet.

Pairs (Berpasangan) ★★★ (untuk semua materi)


Kelas dibagi menjadi dua. Separuh duduk di sebelah kiri, separuh duduk di sebelah
kanan. Separuh kelas diberi materi untuk didalami (permasalahan matematika, karya
sastra, sejarah dsb. untuk dibaca dan dianalisis). Separuh yang lain diberi materi
yang berbeda. Ketika selesai pendalaman, setiap siswa mencari pasangan seorang
siswa lain dan mereka saling coaching apa yang telah dipelajari. Siswa didorong
untuk memberi dan meminta bantuan yang diperlukan rekannya. Sebaiknya
dipersiapkan lembar kerja dengan warna kertas yang berbeda, sehingga sekilas
tampak siswa mana mendapat tugas topik apa.

Team Jigsaw
In Team Jigsaw, each team becomes an expert on a topic, and then individuals from
that team each teach another team. For example, in a classroom with eight teams, a
textbook chapter might be divided into four parts. Teams 1 and 2 are
assigned Part 1; Teams 3 and 4 are assigned Part 2, and so on. After the teams
have mastered their portion, the teacher calls for students with Part 1 to stand. In our
example, Teams 1 and 2 stand up. Each student on these two teams is an “Expert”
on Part 1. Next, each Expert from Teams 1 and 2 goes to a different team to teach
the expert content. After teaching, Experts return
to their seats. The process is repeated so that each expert topic is covered. One
caution: There must be at least as many
Experts as teams to teach. For example, you can’t have just 3 experts and 5 teams
to teach. As you divide the content, make sure you have at least as many Experts on
each part as teams. When there are more Experts than teams to teach, some
Experts pair up to team teach. For example, with eight Experts and only six teams to
teach, four teams will be taught by one Expert and two teams will have Expert pairs.
Partner Expert Group Jigsaw
Partner Expert Group Jigsaw begins like traditional Jigsaw: The curriculum is
divided into four parts. Students are in teams of four and each is assigned one
expert topic. Each student is assigned a same-topic partner from another team, and
the partners work together to master the topic. The pairs then pair up with another
pair with the same topic to check for agreement and mastery. The partners prepare
and practice their presentations. Finally each Expert returns to his/her team and
each in turn presents and tutors his/her teammates on the content.
Advantages of Partner Expert Group Jigsaw:
1. Pair work in the expert groups doubles the active engagement.
2. Students can be assigned to a partner taking into consideration language fluency,
ability level, and social skills.
3. Students practice their presentations and receive feedback before presenting to
their teammates.
Double Expert Group Jigsaw
In the traditional Jigsaw, students each went to one large expert group. With eight
teams in the class, that meant there were eight students in each expert group.
Expert groups of eight result in low levels of active engagement. The solution:
Double Expert Group Jigsaw. Double Expert Groups means there are two expert
groups for each topic. Now, instead of eight students in an expert group, there are
only four, doubling the active engagement. With two expert groups on each topic,
there is the added advantage of including a time to have “experts consult.” That is,
each student pairs up with an Expert from the other same-topic expert group to
check for completeness and accuracy before returning to their original teams to
teach their teammates.
Workstation Jigsaw
Rather than forming expert groups as in the original Jigsaw, each student on a team
may go to a different workstation to learn, returning to their teammates to report on
what they have learned. For example, one Expert may view a filmstrip, another may
work with instructional cards, a third may do an experiment, and a
fourth may go to an Internet link. Or if students all have access to the Internet, each
may explore a different informational Web site. Workstation Jigsaw breaks the
traditional set that textbooks should be the primary source of information.
Workstations can be integrated into more traditional Jigsaw formats. For example,
one or two students may become experts at workstations while others turn to more
traditional written materials.
Leapfrog Jigsaw
Many projects are best completed in a sequence of steps. Many of these sequential
step projects can be taught with Leapfrog Jigsaw.6 Student #1 teaches a skill to
teammates who are each working on their own version of the project. Then Student
#2 teaches a skill, which is applied to the project, and so on until the project is
complete. For example, in teaching very young students how to make and
test a Möbius strip, the first child learns how to rule a straight line on paper and
teaches that to teammates. The second expert shows his teammates how
to cut along the line. The third student models how to twist and tape the strip. The
last student shows teammates how to test the Möbius strip to determine if it really
has only one side. Very young students can be taught one step at a time from the
teacher, and then go back to their teams to teach their teammates. For
management, the students need a coloring task or some other sponge activity to
keep productively occupied while the teacher is teaching each expert.
Older students can learn skills in expert groups and then go back and teach them to
teammates, one at a time, to lead each other through a project.
Additional Jigsaw Variations Controversy Jigsaw
Elizabeth Coelho and Judy Winn-Bell Olsen developed a powerful Jigsaw variation
to have students view issues from different perspectives.All four Experts are given
information representing different sides of an issue. For example, a Developer wants
to cut down some trees to build homes in a very picturesque area by a lake.
Homebuilders are eager to take advantage of the opportunity. Real Estate agents
hope to make the sales. But the representative from the Environmental Protection
Agency sees the trees as a forest to protect because of the resident species. In their
expert groups the Developer, Homebuilder, Real Estate Agent, and EPA Rep are
all given information to make their case. They return to their teams to see if they can
formulate a solution to which they can all agree. Powerful topics, along with their
resources, are available for Controversy Jigsaw.7
Jigsaw Problem Solving
The Lawrence Hall of Science, a public science center on the University of
California–Berkeley, developed cooperative logic and math activities published in a
series of books.8 This problemsolving approach is a simple form of Jigsaw for
solving problems. Thus, we have dubbed the underlying structure, Jigsaw Problem
Solving. Jigsaw Problem Solving works like this: Students work in teams of four,
and each student receives one of the four clues to solve the team problem. Everyone
must share the information on their clue card because the team can only reach a
solution by connecting the information from all clues.
Managing Jigsaw
Dealing with Absences. If students meet in expert groups one day and report back to
their teams on another, there are two types of absences we need to deal with:
absences when students become experts, and absences when a member is to share
her/his expertise. Both have the same easy solution: If an Expert is absent when it is
time to report or if the Expert was absent when the expert group met, when it is time
for that Expert to report to her/his team, we simply have the team sit with another
team when that Expert topic is presented.
Jigsaw Twins.
If we have a number of very low achieving students or a number of students limited
in language ability, Jigsaw Twins offers a powerful solution. We don’t want very weak
students or students very limited in language ability to be the primary or sole source
of a quarter of the information to their teammates. The solution: Create five-person
teams and have thehighest and lowest ability students go as twins to the expert
group and return to team teach their teammates. One caution: We either need
to teach the high achiever in the twin pairs ways to include their partner in the
teaching process or structure for engagement and participation by both twins by
using turn-taking, roles, or the division of labor.
Differentiated Expert Groups.
In some situations, it can be worthwhile to assign a very difficult topic to Expert
Group 1, and to assign the highest achiever in each team to that expert
topic and/or to assign the least difficult topic to Expert Group 4 and to assign the
lowest ability student to that topic. Jigsaw lends itself to four levels of differentiation,
if desired. A caution, of course, is in order: Students know when any form of tracking
has taken place, and if done too often or in an overt way, the low students begin
to internalize lower expectations and a lower self-concept.
Jigsaw Worksheet Packets.
In my experience, the single most important determinant of the success or failure of
Jigsaw is the quality of interaction in the expert groups and the quality of the
interaction when the Experts return to their teams to teach their teammates.
Students are not born teachers, and telling is not teaching. Unstructured interaction
in the expert groups and in the teams is a prescription for failure. A powerful antidote
is the Jigsaw Worksheet Packet combined with clear steps for interaction during
the time Experts share with each other, and later when they tutor their teammates.
A Jigsaw Worksheet Packet contains four different worksheets, one on each of the
four Jigsaw topics. Each student is assigned one topic. Before they go to their
unique expert groups, they can preview the entire packet to get the big picture of
what they will be learning about. Next, team mates go to their unique expert groups
to master the content and fill in their respective worksheets. The typical sequence of
work in the expert groups is as follows: 1) Experts put their pencils in a pencil cup in
the center of the table. 2) One Expert reads the first question. (This is a rotating
role.) 3) Experts discuss their answers and/or turn to resources to find an answer. 4)
When they have reached consensus on the best answer, they take up their pencils
and each write the answer on their own worksheet in their own words. This
sequence minimizes the tendency for Expert Group Meetings to degenerate into low
level dictation with high achievers telling low achievers word for word what to write.
When the Experts return to their teams, they have a worksheet completed that helps
them teach the content to their teammate. The Experts teach and tutor their
teammates in a scripted set of steps: 1) Teammates have their pencils down while
the Expert explains the answer. 2) Teammates then ask questions for clarification. 3)
When all questions have been answered, Teammates pick up their pencils and fill in
their own worksheet in their own words. 4) The Expert then teaches the next
question. When the worksheet packets have all been filled out, the Expert
quizzes the students with their worksheet packets closed, to make sure all students
understand and can answer the questions. Depending on the content, the Expert
may engage in coaching using sample problems. The quality of the worksheets in
the packets and the structured interaction within the groups determines the quality of
learning in expert groups and also the quality of teaching by the Experts.
A good worksheet includes the target learning objectives, as well as questions
across the levels of thinking. Team Worksheets. An additional step that
can be added to many forms of Jigsaw is the Team Worksheet.9 After students have
completed the expert presentations, they are given a team worksheet. The team
worksheet includes questions that demand students integrate and synthesize
material from each of the four expert presentations. Well constructed team
worksheets push students to integrate their learning with questions like “How does X
presented by Expert 1 explain Y presented by Expert 3?” or “Create a review
question that can only be answered using information presented by two or more
Experts.”
Partners (Kagan, 17.7)
Partners is like Jigsaw, but in pairs. Student partners work together to master some
content and then to present it to another pair. The box on the previous page
summarizes the ten steps of Partners. Partners lessons can be quite elaborate with
time for students to do independent research in preparation for their presentation, or
Partners lessons can be quite simple as when each pair reads and interprets a
different poem. Partners lends itself to a wide range of content: Different sides of a
controversial issue, different experiments to conduct, different problems to solve,
different inventions to describe, different characters to analyze.
Steps of Partners (Kagan, 17.6)
1. Partners are formed within teams. Often the high and low achievers are partners,
as are the two middle achievers.
2. Class divides: partners sit together. Topic 1 partners are all on one side of the
class; Topic 2 partners on the other. (We have pairs physically move so they can
consult with same-topic partners in Step 5.)
3. Topics are assigned and/or materials distributed. Topic may be different sides of
debate (e.g., pro or con on capital punishment). Materials may consist of reading
and a worksheet to stimulate higher-level thinking.
4. Students master topics. Students may master materials given, or may do
independent research. For example, research the arguments pro or con on an
issue.
5. Partners consult with same-topic partners. Partners consult with like-topic
partners sitting next to them, checking for correctness, and completeness.
6. Partners prepare to present & tutor. Partners analyze critical features and decide
on a teaching strategy. Students are encouraged to make visuals and other
teaching aids. Partners must evaluate what is important to teach and how to
determine if learning has occurred in their teammates.
7. Teams reunite; partners present. Partners work as a team, dividing the labor as
they teach the other pair in their team. For Partners Debate, each side presents
their arguments on the issue.
8. Partners tutor. After presenting the skill or information, partners check for
understanding and tutor their teammates.
9. Individual assessment. An individual quiz, essay, or a structure (Showdown)
assesses individual mastery.
10. Team processing. Teammates reflect back over the process: How did we do as
teachers? As learners? How could we do better next time? What social skills did
we use? Which should we use more next time?

Partners Content Examples


Sastra
The two pairs on each team read different short stories by the same author. When
they return to their teams, first they teach each other the content, then they discuss
similarities and differences between the two stories and how the author revealed
herself/himself in each. Or, assign two authors with different styles, or two poems by
the same author.
Social Studies
One pair researches autobiographical information, the other the accomplishments of
the person. After sharing the information, they discuss how historical
accomplishments have their roots in personal experience. Or, partners simply work
on different parts of a chapter, with the emphasis on sharing information and ideas.
Science
Each pair conducts a different experiment on a related topic; they then describe their
results and discuss what conclusions the results together support. Or, one pair
studies the life of a scientist and the other studies her/his contributions.
Math
Each pair learns how to solve a certain kind of problem. They then teach the other
pair. Or, each pair conducts and presents a class survey on a different topic. They
present and analyze their data in different ways.

Cooperative Investigations
Magic happens when teams engage in intrinsically interesting investigations.
Learning becomes far more relevant and exciting when students work together first
to understand a concept, then team up to apply their knowledge to create a project
or presentation. With cooperative investigations, the class becomes an investigative
community. When we unleash the powers of cooperation and curiosity, sometimes
all we have to do is get out of the way!
Macam-macam Cooperative Investigations
• Group Investigation
• Co-op Co-op
• Co-op Jigsaw Experts Present
• Co-op Jigsaw Team Projects
• Complex Instruction
Indeed, inquiry coupled with cooperative projects is a powerful force for in-depth
learning. We communicate a powerful message to studentswhen the outcome of the
inquiry rests in the hands of the investigating students. True inquiry is not a canned
exploration, leading to an outcome predetermined by the teacher. When students
are unfettered and allowed to follow theirown interests, they bring their own strengths
to light and there is no limit to their creativity, innovation, and ability to create
meaningful projects and learning.
Case in point: Let us explore an example of authentic cooperation.10 In Lee
County, Florida, a mixed group of gifted and at-risk students gathered to work
individually and collectively on environmental topics of their choice. They were
enrolled in grades 10 through 12 and were given each Monday to meet and attempt
to accomplish their chosen inquiry. After several sessions, the students decided to
cooperate collectively in a single effort. They chose to try to save a pristine cypress
swamp that was destined for destruction by
developers and a projected highway. Once the decision was made, they enrolled the
assistance of scientists, politicians, conservation groups, the park authority, garden
clubs, school officials, the sheriff ’s department, and dozens of other groups. They
created highly accurate maps, conducted a plant and wildlife census, and took their
results to present at city council and county commissioners meetings. They led field
trips by the dozens into the swamp and spoke before and lobbied developers
ceaselessly. Finally, their efforts got the proposal on a referendum ballot. They then
canvassed residents of the county and helped convince people to increase their own
taxes by voting yes on the swamp. The results were totally unprecedented,
as the vote passed by the largest margin in the history of Lee County. Today
the Six-Mile Cyprus is a wildlife sanctuary in the midst of one of the
fastest growing communities in the nation.
Of course, not all cooperative investigation shave such dramatic effects, but almost
without exception, they result in important, multifaceted learning. Cooperative
investigations embody the democratic, cooperative philosophy of John Dewey:
The way is, first, for the teacher to be intelligently aware of the capacities, needs,
and past experiences of those under instruction and, secondly, to allow the
suggestion made to develop into a plan and project by means of the further
suggestions contributed and organized into a whole by the members of the group.
The plan, in other words, is a cooperative enterprise, not a dictation. The teacher’s
suggestion is not a mold for a cast-iron result but is a starting point to be developed
into a plan through contributions from the experience of all engaged in the learning
process. The development occurs through reciprocal give-andtake, the teacher
taking but not being afraid also to give. The essential point is that the
purpose grow and take shape through the process of social intelligence. …what we
have been struggling with in the microcosm of the classroom is part and parcel of the
struggle for survival of the society of men on earth. We are, whether we
like it or not, increasingly interdependent with all other men, and our survival is
going to be decided by our ability, together, to develop a sense of common cause
that expresses and reflects our common human aspirations. This sense
of common cause will have to emerge from our experience in working together, and
the quality of these experiences will in turn depend upon our ability to kindle and
capture the flame of individual inspiration and insight. Life in these times is a social
process of inquiry, of seeking to establish a way of life to which all can contribute, in
which all can participate, and through which each may achieve self-realization
simultaneously as a member of the emerging common society and of the human
species. And the extent to which our boys and girls shall be effective in this quest is
being decided right now by the quality of inquiry in the classroom.

Group Investigation (Kagan, 17.9) ★(untuk semua materi)

Group investigation merupakan salah satu teknik strategi pembelajaran kooperatif di


mana siswa belajar dalam kelompok kecil untuk “investigasi” topik tertentu. Group
Investigation pertama kali dikembangkan oleh Herbert Thelen, didasarkan atas
keprihatinan untuk memacu rasa percaya diri siswa nelalui proses inkuiri bermakna
sebagai anggota masyarakat yang inklusif dan interdependen.
Ditulis setengah abad lalu, gagasan Thelen futuristik: Ia berwawasan ke depan akan
kebutuhan siswa untuk dapat bekerja secara independen maupun interdependen,
untuk lebih menonjolkan pengembangan rasa keingintahuan dibandingkan
penguasaan materi yang diberikan guru. Visi Thelen dari Group Investigation adalah
menstimulasi hasrat siswa untuk asyik dalam inkuiri.
Thelen menyusun langkah langkah untuk proses inkuiri. Langkah-langkah ini
kemudian diadaptasi dan dikembangkan oleh Yael dan Shlomo Sharan yang melatih
guru menggunakan teknik Group Investigation dan melakukan penelitian terhadap
hasilnya. Mereka kemudian mengkonseptualisasikan Group Investigation sebagai
bentuk pengembangan dari pembelajaran kooperatif, yang bisa diimplementasikan
untuk siswa agar memiliki keterampilan dalam bekerjasama. “Investigasi dalam
kelompok memacu siswa untuk mengerahkan keterampilan interpersonal dan
studinya yang dibutuhkan juga dalam pembelajaran kooperatif tipe lain dan
menerapkannya untuk tujuan pembelajaran yang berbeda. Group Investigation
didesain untuk memberikan bekal pada siswa pengalaman belajar yang luas dan
beragam. Hal ini berbeda dengan STAD, TGT, Color- Coded Co-op Cards, dan
Jigsaw yang lebih berorientasi pada tujuan pembelajaran menguasai fakta dan
keterampilan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hasil riset menunjukkan bahwa
Group Investigation sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan kognitif tingkat
tinggi.
Basic Features of Group Investigation (Kagan,17.9)
Ada beberapa fitur dasar dalam Group Investigation.
Fitur 1, Investigasi. Kelas akan menjadi “komunitas peneliti,” dan setiap siswa
merupakan investigator permasalahan atau topik pembelajaran kelas.
Fitur 2, Interaksi. Para siswa berinteraksi dalam kelompok kecil selama tahapan
investigasi.
Fitur 3. Interpretasi. Siswa menginterpretasikan temuannya berdasarkan informasi
yang mereka kumpulkan dari berbagai sumber.
Fitur 4. Motivasi intrinsik. Siswa secara intrinsik termotivasi oleh peran aktifnya
dalam tugas dan keingin tahuan alaminya terhadap materi ajar.
Stages of GI
Siswa selama proses pembelajaran Group Investigation melalui sembilan tahapan
secara berurutan.
Tahap 1. Mengidentifikasi topik dan mengorganisasi siswa ke dalam kelompok
peneliti. Di sini harus ada keseimbangan akan kebutuhan mengorganisasi siswa
secara heterogen dan kebutuhan untuk mengijinkan siswa memilih topik inkuiri..
Tahap 2. Merencanakan penugasan. Anggota grup atau pasangan menentukan
subtopik investigasi. Kelompok memutuskan apa dan bagaiman cara belajarnya.
Mereka juga menentukan tujuan belajarnya.
Tahap 3. Pelaksanaan investigasi. Di sini perlu ditekankan agar setiap siswa
berkomunikasi secara multilateral yaitu dalam berinteraksi dengan kolaborator, guru,
kelompok lain, atau bahkan narasumber dari luar. Mereka memperoleh informasi,
menganalisa dan menganalisis data, serta menarik kesimpulan.
Tahap 4. Mempersiapkan laporan akhir. Para siswa mempersiapkan laporan hasil
kerja, suatu proses ataupun ikhtisar. Siswa mengorganisasi, menyusun abstraksi,
dan membuat sintesa informasi. Kelompok menentukan konten dan format
presentasi mereka; steering committee yang terdiri dari perwakilan setiap kelompok
mengkoordinasikan hasil kerja semua kelompok.
Tahap 5. Mempresentasikan laporan akhir. Pameran, sketsa, debat, presentasi
power point, dan jenis laporan lain yang disepakati semua anggota kelompok.
Tahap 6. Evaluasi. Asesmen berupa High Order Thinking (HOT) perlu ditekankan di
sini, termasuk aplikasi, sintesis, dan penalaran. Guru dan siswa bisa berkolaborasi
dalam evaluasi yaitu membuat alat evaluasinya.

Co-op Co-op (Kagan:2009,17.9) ★★★ (untuk semua materi)


Co-op Co-op didasarkan atas asumsi bahwa memiliki pengalaman baru, mengikuti
keingintahuan seseorang dan memodifikasi konsepsi orang tersebut terhadap
dirinya dan dunia, dan berbagi pengalaman tersebut—khususnya dengan
sahabatnya—secara pribadi memuaskan. Tidak ada reward ekstrinsik yang
dibutuhkan untuk memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pembelajaran. Asumsi ini
menjadi bentuk penting dalam pembelajaran.
Struktur Co-op Co-op mengkomunikasikan pada siswa bahwa Kita menghargai
interes (ketertarikan) dan kemampuannya. Kita memberi penghargaan, melepaskan,
dan memperkaya kecerdasandan keingintahuan alami mereka. Siswa menjadi
bertanggung jawab dalam belajar dan saling berbagi apa yang telah mereka pelajari.
Struktur ini mempersiapkan siswa agar mampu berpartisipasi dalam masyarakat
demoktatis.
Esensi dari Co-op Co-op adalah membelajarkan siswa bekerja bersama dalam
kelompok kecil, pertama mengembangkan pemahaman diri mereka sendiri dan
dunia, dan kemudian memberikan peluang pada mereka untuk nernagi pengalaman
baru mereka pada kelompoknya. Setiap siswa berkontribusi pada sukses timnya,
dan setiap timnya berkontribusi pada sukses siswa sekelasnya. Mereka
bekerjasama dalam tim sehingga tim tersebut bekolaborasi dengan tim lain untuk
mencapai tujuan kelas. Maka struktur ini disebut Co-op Co-op. Metode ini sederhana
dan fleksibel. Kita bisa memilih berbagai cara untuk mengaplikasikan pendekatan ini
sesuai kondisi kelas. Namun demikian inklusi 10 elemen berikut memperbesar
peluang keberhasilan dalam pelaksanaannya.
Langkah-langkah Pembelajaran dalam Co-op Co-op (Kagan,2009:17.11)
Langkah 1. Diskusi klasikal secara student-centered. Setelah menganatarkan topik,
serangkaian pengantar dalam bentuk bacaan, ceramah, demonstrasi, atau
pemberian pengalaman yang menjadi prasyarat, diskusi ini sangat membantu
menstimulasi dan membangkitkan keingintahuan. Tujuan diskusi ini lebih pada
mengarahkan siswa untuk meningkatkan partisipasi dalam pembelajaran, membuka
dan menstimulasi keingintahuan terhadap topik, dan bukan mengarah ke
pemahaman topik itu sendiri. Diskusi seharusnya mengarah ke persamaan persepsi
antara guru dan siswa tentang apa yang akan dan mereka pelajari dan pengalaman
belajar apa yang akan mereka peroleh. Dalam Co-op Co-op, pembelajaran bukan
dipandang sebagai progres menuju tujuan yang telah dikemukakan oleh guru di awal
kegiatan; namun lebih sebagai proses yang mengalir disebabkan energi dari rasa
ketertarikan siswa.
Langkah pertama Co-op Co-op ini dianggap berhasil bila mampu membawa siswa
menemukan apa yang mereka harap untuk dieksplorasi lebih jauh tentang topiknya
sejalan dengan proses pembelajaran. Mereka menjadi lebih termotivasi secara
intrinsik dan menumbuhkan kontrol internal dalam belajar. Alasan kedua dari tahap
diskusi pengantar ini adalah mengkondisikan siswa melihat proses belajarnya sendiri
bermanfaat bagi rekan seluruh kelasnya. Ketika siswa mendengarkan ekspresi
rekan-rekannya dalam mengungkap apa yang mereka ingin ketahui, siswa tersebut
menemukan bahwa dirinya menjadi faktor penentu keberhasilan timnya, dan bahwa
pengetahuan baru bukan hanya bisa memuaskan keingintahuan dirinya namun
ternyata juga bermanfaat membantu rekannya.
Langkah 2. Pemebentukan tim. Tim bisa dibentuk guru atau siswa memilih tim
sendiri, tergantung tujuan pembelajaran.
Langkah 3. Dinamika kelompok dan pembentukan sikap kooperatif. Jika siswa
dalam satu kelompok belum pernah bekerjasama sebelumnya, kegiatan dinamika
kelompok ini dibutuhkan sehingga rasa keterikaatan sebagai tim semakin kokoh dan
muncul rasa saling percaya. Jumlah tim maupun tipe dinamika kelompok
menyesuaikan kondisi kelas. Proses Co-op Co-op belum berhasil bila semua
anggota tim merasa bahwa ia adalah “Kita” dan memiliki pengalaman belajar
keterampilan mendengarkan dan berkomunikasi. Dinamika kelompok dan
pengembangan keterampilan tidak bisa ditempuh dalam sekali kegiatan namun
proses yang bertumbuh terus menerus.
Langkah 4. Seleksi topik masing-masing tim. Tim bisa memilih topik masing-masing.
Siswa diingatkan (melalui papan tulis, tayangan PPt ataupun handout) apa topik
kelas secara keseluruhan yang paling menarik. Diberikan penekanan bahwa tim
harus bekerjasama sepenuhnya dalam memenuhi tujuan pembelajaran kelas jika
mereka memilih topik yang berhubungan dengan ketertarikan kelas. Tim didorong
untuk mendiskusikandalam tim beragam topik sehingga tim dapat memilih topik yang
paling menarik, sehingga dapat menyumbangkan ketertarikan seluruh kelas.
Ketika setiap tim mendiskusikan ketertarikannya dan mulai memilih topik, guru
berkeliling dan bertindak sebagai fasilitator. Jika ada dua tim memilih topik yang
sama, difasilitasi untuk berkompromi, dengan cara membagi topik tersebut atau
salah satu tim mengalah mengambil topik yang lain. Jika ada topik yang terlewatkan
padahal esensial, difasilitasi bagaimana solusinya. Ketika langkah keempat ini
berhasil, setiap tim akan merasa nyaman dengan topik masing-masing. Guru
memfasilitasi semangat persatuan kelas itu, dengan menekankan bagaimana
pentingnya topik terpilih dalam berkontribusi menuju tercapainya tujuan
pembelajaran.
Langkah 5. Seleksi Subtopik. Sejalan dengan keseluruhan kelas membagi topik
untuk setiap tim, setiap tim juga membagi topik menjadi subtopik untuk setiap
anggotanya. Setiap siswa memilih subtopik, atau setiap siswa memilih salah satu
aspek dari topik tim. Ada kemungkinan terjadi overlap subtopik, anggota dalam tim
saling berbagi referensi dan sumber. Setiap subtopik harus memberikan kontribusi
unik pada tim. Ketika siswa memilih subtopik, keterlibatan guru diperlukan untuk
memberikan persetujuan, karena ada kemungkinan subtopik tidak sesuai dengan
tingkat kompetensi siswa tersebut. Atau mungkin sulit menemukan referensi topik
tersebut. Pada tahap ini sangat dimungkinkan kontribusi siswa tertentu lebih besar
dibandingkan siswa lain karena perbedaan kemampuan dan tingkat kompetensinya.
Namun semua anggota harus menyumbangkan kontribusinya. Jika subtopik bisa
dipilih dengan baik, setiap siswa akan memberikan kontribusi unik pada hasil kerja
tim.
Langkah 6. Persiapan subtopik. Setiap siswa secara individual mengerjakan tugas
subtopiknya. Setiap siswa mentadari tanggung jawabnya terhadap subtopik masing-
masing, dan tim bergantung padanya untuk mengerjakan subtopik yang penting
untuk keberhasilan tim. Tahap persiapan subtopik tentu berbeda-beda satu sama
lain, bergantung pada karakteristik subtopik tersebut. Sebagai contoh, persiapan
mungkin dalam bentuk membaca referensi di perpustakaan, memperoleh data dari
interviu atau dari eksperimen, projek individual, atau aktiviyas ekspresi seperti
menulis pantun, syair lagu, mengarang fiksi ataupun melukis. Kegiatan ini akan
meningkatkan ketertarikan siswa karena siswa menyadari ia akan berbagi hasil
kerjanya dengan rekan timnya dan berkontribusi untuk presentasi tim dan
pengetahuan siswa seluruh kelas.
Langkah 7 (Kagan, 17.12) Presentasi subtopik. Setelah semua siswa selesai
mengerjakan subtopiknya, secara bergiliran mempresentasikannya di depan tim.
Setiap anggota tim memiliki waktu khusus untuk presentasi tersebut. Setiap anggota
tim berdiri saat mempresentasikan subtopiknya. Mengikuti presentasi subtopik, tim
mendiskusikan topik tim secara keseluruhan. Setiap anggota tim menyadari,
subtopiknya ibarat potongan jigsaw puzzle, yang harus diletakkan kembali ke
gambaran keseluruhan demi kesuksesan tim dalam panel kelas nanti. Dalam proses
interaksi dengan kelompoknya tentang topik yang menyangkut kepentingan umum,
banyak pembelajaran penting bisa diperoleh. Selama presentasi subtopik,
pembagian tugas akan mendorong rekan tim memberi catatan, mengkritik, yang lain
mendukung, dan ada pula yang menggabungkan atau membedakan dengan
subtopik dirinya. Mungkin diperlukan alokasi waktu khusus untuk merespon umpan
balik: siswa membuat laporan ulang, melakukan pendalaman lagi, atau merevisi
hasil kerjanya. Anggota tim didorong untuk mengetahui permasalahan apa yang
belum terpecahkan terkait subtopik masing-masing anggota.
Langkah 8. Persiapan presentasi tim. Tim mendiskusikan dan mengintegrasikan
semua materi yang telah disajikan dalam kemasan subtopik sebagai langkah
persiapan presentasi tim. Agar bisa bersinergi, harus ada aktivitas mensintesakan
dan mengintegrasikan subtopik-subtopik yang ada; dalam proses integrasi
presentasi tim menjadi lebih dari sekedar kumpulan subtopik. Keseluruhan harus
melebihi jumlah per bagian. Presentasi panel tim, di mana setiap anggota tim
melaporkan hasil kerja final subtopiknya, harus didorong: hal ini dapat
menggambarkan pencapaian sintesis kooperatif.Bentuk presentasi menyesuaikan
materi ajar. Misal, jika satu kelompok tidak bisa mencapai konsensus, presentasi
bisa dalam bentuk debat. Harus didorong munculnya non ceramah seperti debat,
video, Power-Point, Presentasi, display, demonstrasi, sudut belajar, sketsa dsb.
Penggunaan papan tulis, OHP, media audiovisual, dan handout sangat dianjurkan.
Pada saat anggota presentasi, diinformasikan bahwa selama waktu yang
disediakan, waktu adalah miliknya. Dengan alasan ini, tim dapat mengatur posisi
tempat duduk atau dibebaskan menggunakan segala sumber dan sarana yang ada
jika memang presentasi menjadi lebih menarik dan informatif. Selanjutnya tim latihan
presentasi untuk memperoleh umpan balik sebelum presentasi tim di forum kelas.
Untuk kesuksesan masing-masing, tim bisa meminta masukan atau bantuan tim lain
atau sebaliknya jika memang bisa membantu kesuksesan tim tersebut.
Langkah 9. Presentasi Tim. Selama presentasi, tim mengontrol kelas. Mereka
bertanggung jawab terhadap waktu, tempat, dan semua sarana yang tersedia untuk
dapat mereka pergunakan; tim didorong untuk secara maksimal memanfaatkan
seluruh sarana yang ada di kelas.Tim menunjuk anggota dari tim lain sebagai timer.
Sang timer membawa kartu bertuliskan “kurang 5 menit”, kurang 3 menit atau
kurang 1 menit, atau “waktu habis” sesuai kebutuhan. Tim yang presentasi
menyediakan waktu untuk menerima pertanyaan, komentar, masukan ataupun
umpan balik. Peran guru adalah mencermati presentasi, mengarahkan sesi diskusi
dan meinginterviu tim sehingga tim lain dapat mempelajari apa yang
dipresentasikan. Penting untuk dikondisikan bahwa ketika satu tim presentasi, tim
yang lain harus mengikuti dengan seksama. Selama interviu pasca-presentasi, guru
mengungkapkan strategi yang lebih jitu bila ada kegiatan serupa ke depan.
Langkah 10. Refleksi dan Evaluasi. Siswa melakukan refleksi atas keterampilan
sosial apa yang ia peroleh sehingga memperbaiki keterampilan interpersonalnya dan
relasinya dengan rekan-rekannya. Refleksi dilakukan dengan cara guru memberikan
pertanyaan selama kegiatan pembelajaran berlangsung, seperti “Bagaimana peran
Anda dalam kegiatan ini?”. Kagan memberikan contoh pertanyaan refleksi berbagai
level kelas di Bab 13. (termasuk contoh instrumen, mulai halaman 13.16. sedangkan
contoh topik proyek mulai hal. 13.22)
Refleksi, evaluasi, dan perencanaan yang menggunakan keterampilan sosial
bukanlah kegiatan tunggal dalam Co-op Co-op, namun bisa berlangsung beberapa
kali sejalan dengan proses pembelajaran.Tak kalah penting adalah refleksi siswa
terhadap projek dan presentasinya dalam kacamata perbaikan ke depan. Sebagai
misal, siswa merefleksi sejauh mana projek dan presentasinya bisa berhasil,
menganalisis penampilan sendiri dan kontribusinya terhadap tim, menganalisis
penampilan dan kontribusi teman setim, serta penampilan dan kontribusi tim untuk
keberhasilan kelas secara keseluruhan. Pada Bab 13 (mulai halaman 13.22) tentang
Cooperative Project & Presentation Kagan memberikan contoh format refleksi
proses pembelajaran untuk berbagai level. Evaluasi dan umpan balik dari audien
dan guru memberikan siswa masukan bagaiman projek dan presentasinya bisa
diterima kelompok lain. Umpan balik dapat dalam bentuk diskusi kelas pasca
presentasi atau melalui format umpan balik yang diisi audien. Guru juga memberikan
umpan balik individual mulai dari ketika setiap siswa menulis subtopiknya sampai
presentasinya. Dalam spirit mengambil keputusan, siswa dapat berpartisipasi dalam
meenentukan bagaimana bentuk format umpan balik dan evaluasinya.
Penjadwalan Co-op Co-op
Projek Co-op Co-op dapat dijadwalkan mulai dari durasi satu kali tatap muka
maupun dalam kurun waktu yang lebih lama. Untuk pembelajaran Co-op Co-op
sekali tatap muka, 10 sampai 15 menit untuk persiapan presentasi, presentasi 5
menit dst. Pembelajaran Co-op Co-op selama beberapa kali pertemuan akan lebih
efektif. Pembelajaran Co-op Co-op selama 10 kali tatap muka dengan titik kulminasi
presentasi juga efektif. Pembelajaran Co-op Co-op yang berlangsung selama catur
wulan atau satu semester sangat menarik karena memungkinkan siswa
memperluas, memperkuat, dan mengintegrasikan pengetahuannya yang diperoleh
dalam kurun waktu tersebut. Penerimaan pengetahuan diperoleh melalui berbagai
cara ketika siswa menyadari ketika informasi yang ia dapatkan akan digunakn untuk
presentasi dalam tim maupun presentasi kelas. Dalam hal ini ada dua pilihan format
Co-op Co-op. Format pertama struktur sepenuhnya dibuat guru, dengan kelemahan
kurang mengakomodasi kebutuhan siswa, dan format kedua dengan struktur yang
agak luwes sehingga lebih mampu meningkatkan tanggung jawab siswa dalam
belajarnya.
. Based.

Co-op Jigsaw (Kagan,2009:17.13) ★★★ (untuk semua materi)

Ada dua macam Co-op Jigsaw: Co-op Jigsaw Experts Present dan Co-op Jigsaw
Team Projects. Keduanya mengkombinasikan elemen-elemen Co-op Co-op dan
Jigsaw, dengan maksud menggenggam dua dunia: Kita menginspirasi inkuiri kreatif
dan berbagi diantara siswa via Co-op Co-op, namun pada saat yang sama via
Jigsaw meyakinkan siswa menguasai informasi penting yang telah dikaji ulang.

Co-op Jigsaw Experts Present ★★★ (untuk semua materi)


Versi ini dikembangkan oleh Chris Harrison, seorang guru pada Chaparral Middle
School di Diamond Bar, California. Dalam Co-op Jigsaw, sebagaimana dalam
Jigsaw, setiap tim menjadi ahli terlebih dahulu pada topik yang ditugaskan,
berdiskusi ahli dari kelompok lain pada topik yang sama. Dengan demikian para
ahli menguasai informasi tentang topik. Sebagai tim ahli, mereka membuat
presentasi untuk seluruh kelas. Co-op Jigsaw Experts Present tidak berhenti di sini.
Ketika siswa kembali ke kelompok asal, mereka berdiskusi mengintegrasikan
informasi menjadi suatu informasi utuh hasil kerja tim.

Co-op Jigsaw Team Projects ★★★ (untuk semua materi)


Ketika Kagan bereksperimen dengan Co-op Jigsaw, Ia membuat Co-op Jigsaw
Team Projects. Pada versi baru ini, setiap tim diberi tugas atau memilih topik ahli.
Sebagai misal “Musim”, setiap tim mendapatkan tugas berbeda yaitu menjadi ahli
untuk salah satu dari: Musim Gugur, Musim Dingin, Musim Semi dan Musim Panas.
Tidak seperti versi Co-op Jigsaw Experts Present, ahli tidak melaporkan ke kelas,
namun mereka kembali ke kelompok asal untuk mengaplikasikan kepakarannya
menyusun projek dari tim yang unik yang diturunkan dari kepakaran semua anggota
tim, Melanjutkan contoh “Musim” di atas, Tim 1 mendapat tugas mendalami topik
“Pakaian”, Tim 2 mendalami topik “Makanan”, Tim 3 mendalami topik “Cuaca”, dan
seterusnya. Selanjutnya, tim “Pakaian” mempresentasikan hasil diskusinya tentang
bagaiman cara berpakaian berubah sesuai musim. Tim Cuaca membuat poster
tentang bagaimana cuaca setiap musim, demikian seterusnya. Co-op Jigsaw Team
Projects amat fleksibel, dan dapat diimplementasikan hampir pada semua subjek.
(Pada buku Kagan, ada beberapa contoh di halaman 17.14 -17.15).

Complex Instruction (Kagan,2009:17.14) ★ (khusus Mapel Bahasa Inggris)


Complex Instruction merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang
dikembangkan oleh Elizabeth Cohen dan koleganya di Stanford University. Fokus
utama dari teknik ini adalah pengembangan keterampilan berbahasa Inggris melalui
penugasan projek yang menuntut penggunaan bahasa secara intensif dalam
berinteraksi. (Karena untuk materi khusus, guru bahasa Inggris bisa mengeksplorasi
di halaman 17.14).

Student Team Learning


Dr. Robert Slavin dan koleganya dari Johns Hopkins University di Baltimore
Maryland mengembangkan Student Team Learning, tang mencakup empat teknik:
Student Teams Achievement Division (STAD), Teams- Games-Tournaments (TGT),
Team Accelerated Instruction (TAI), dan Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC). (Namun karena CIRC merupakan teknik yang khusus untuk
pembelajaran bahasa, di pelatihan ini tidak Kita bahas).

STAD: Student Teams Achievement Divisions


(Kagan, 17.20) ★★ (Lebih cocok untuk penguasaan konsep abstrak, fakta, dan informasi)

STAD telah melalui berbagai riset yang intensif. Teknik ini sesuai untuk penguasaan
fakta, konsep dan informasi. Riset terhadap STAD juga menunjukkan dampak yang
positif terhadap relasi antar etnis dan berbagai hal terkait perkembangan sikap
sosial. Implementasi STAD mencakup eksistensi tim yang cukup lama (misal enam
minggu) dan sistem penskoran tim, yang memacu siswa menguasai berbagai level
kompetensi.Deskripsi STAD berikut ini sudah diijinkan oleh Robert E. Slavin namun
hanya dengan sedikit perubahan (Kagan,2009:17.20).
STAD terdiri dari lima komponen yang terkait erat satu sama lain: Presentasi kelas,
kegiatan tim, kuis, skoring peningkatan prestasi individual, dan laporan performa tim.
Berikut rinciannya:
1. Presentasi kelas. Materi untuk STAD terlebih dahulu diperkenalkan di presentasi
kelas ini. Biasanya bentuknya ceramah oleh guru, namun tetap lebih bagus jika
memakai tayangan yang dilengkapi dengan audio visual.Presentasi kelas dalam
STAD berbeda dengan presentasi lain hanya dalam hal harus fokus pada unit
STAD. Dengan demikian, siswa harus memusatkan seluruh perhatiannya selama
kegiatan presentasi kelas karena akan membantu ia dalam tahapan kuis, dan skor
individualnya akan menentukan skor timnya.
2. Kegiatan tim. Setiap tim terdiri dari empat sampai lima siswa yang
merepresentasikan berbagai capaian akademis, jenis kelamin, ras atau etnis.Fungsi
utama dari kegiatan tim adalah mempersiapkan anggotanya untuk berprestasi
maksimal dalam tahap kuis. Setelah tahap presentasi kelas oleh guru, tim bertemu
untuk memperdalam materi diktat atau bahan ajar lain.Diktat bisa dibuat guru.
Seringkali, cara belajar siswa saling bertukar dan bertanya jawab kuis sampai
mereka benar-benar menguasai konten materi, atau mengerjakan pemecahan
masalah bersama dan melakukan koreksi bila ada anggota tim yang miskonsep. Tim
ini merupakan fitur utama dalam STAD. Pada setiap point, perlu ditekankan pada
setiap anggota tim untuk mengerahkan kemampuan terbaik tim untuk membantu
anggotanya. Tim memberikan bantuan meningkatkan capaian akademis semua
anggotanya, dan tim memfasilitasi rasa saling percaya dan saling menghormati yang
menjadi amat penting dan ikut menentukan outcome berupa relasi dalam kelompok,
rasa percaya diri, dan saling menerima seluruh rekannya.
3. Kuis. Setelah satu periode presentasi guru dan satu periode kegiatan siswa, siswa
mengerjakan kuis individual.Kuis berupa soal sesuai konten materi yang harus
dijawab siswa secara individual. Tujuannya adalah untuk mengukur capaian
pengetahuan siswa selama presentasi kelas dan kegiatan kelompok. Siswa dilarang
membantu siswa lain selama kuis. Hal ini untuk meyakinkan bahwa siswa
bertanggung jawab terhadap diri masing-masing dalam memahami konten materi.
4. Skoring peningkatan capaian individual. Setiap siswa menerima skor peningkatan
capaian setiap minggu, mengindikasikan seberapa baik performa mereka
dibandingkan biasanya.
5. Laporan performa Tim. Setiap minggu, tim menerima laporan berupa angka
peningkatan skor dari semua anggota tim. Laporan ini merupakan sarana utama
untuk memberi pengharagaan pada tim maupun pada anggotanya untuk performa
mereka. Setiap minggu, guru mempersiapkan lembaran untuk mengumumkan skor
setiap tim. Lembaran juga menginformasikan siswa mana yang menunjukkan
peningkatan tertinggi atau membuat laporan terbaik, dan angka capaian kumulatif
kelompok. Di samping bentuk lembaran, Guru juga bisa menggunakan papan
buletin, bingkisan hadiah, parcel atau bentuk hadiah lain untuk menekankan bahwa
performa terbaik amatlah penting dalam kehidupan.

TGT: Teams-Games-Tournaments ★★★ (untuk semua materi)

TGT merupakan teknik pembelajaaran paling awal dari Johns Hopkins University,
dan dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwards. TGT identik dengan
STAD dengan perbedaan pada penggunaan game turnamen akademis
menggantikan kuis, dan penskoran peningkatan tim diganti akumulasi capaian
penilaian autentik. Detail TGT tidak dideskripsikan (dalam buku Kagan) karena hasil
penelitian Saya (Kagan) teknik ini menyebabkan dampak negatif pada siswa
minoritas sebagai konsekuensi kompetisi turnamen yang ketat. Meskipun siswa tidak
diberitahu turnamen mana yang untuk siswa berkemampuan tinggi dan turnamen
mana untuk siwa berkemampuan rendah, namun siswa dengan sendirinya tahu, dan
bentuk tracking dalam kelas kemungkinan menyebabkan rasa percaya diri turun.
Inilah elemen kritis yang membedaakan TGT dengan STAD.

TAI: Team Accelerated Instruction


Dalam matematika, sering terjadi kasus siswa yang berbeda butuh mengerjakan
tugas yang berbeda, dan progres siswa berbeda-beda pula. Team Accelerated
Instruction (TAI) didesain untuk memungkinkan setiap siswa membuat kemajuan
yang sesuai dengan kemampuannya, mengerjakan tugas yang sesuai keterampilan
yang ia butuhkan. Pada saat yang sama, setiap siswa merupakan bagian dari tim,
mendukung dan peduli pada kemajuan tim. TAI didesain oleh Slavin, Leavey, dan
Madden untuk mengkombinasikan pembelajaran kooperatif dan individual. Selagi
siswa mendalami modul pembelajaran individual yang didesain secara hati-hati
disesuaikan dengan kemampuannya, ia memperoleh skor yang disumbangkan untuk
timnya. Tidak seperti program individual yang lain, siswa dalam TAI mengerjakan
tugas rutin. TAI menggunakan tim yang heterogen dan penghargaan tim, sangat
mirip dengan STAD. Dalam TAI terdapat beberapa kali peer tutoring (anggota tim
kembali ke timnya untuk saling membantu rekan setim). Namun karena modul
didesain untuk kepentingan belajar secara individual dan karena anggota tim
biasanya belajar dalam kecepatan yang berbeda-beda, interaksi kooperatif menjadi
minimal. Ada juga modul pembelajaran yang sama diterima semua siswa sebagai
satu kelompok, namun itu dilaksanakan bila kelompok-kelompok tersebut memiliki
kemampuan akademis yang sama.

. Based.

CIRC: Cooperative Integrated Reading and Composition (Kagan,

17.21) ★ (khusus Mapel Bahasa Inggris)


CIRC was developed by Madden, Slavin, and Stevens.26 The program represents a
bold attempt to apply the principles of cooperative learning and other research to the
areas of reading, writing, spelling, and English language mechanics.In CIRC, all of
these skills are integrated so that instruction in each reinforces the others. The
approach also incorporates training in metacognitive strategies for comprehension,
retention, and thinking skills. The class is divided into two reading levels: a
“code/meaning” group that receives instruction in phonic decoding skills, vocabulary,
and comprehension; and a “meaning” group that has adequate decoding skills and
receives instruction on vocabulary, comprehension, and inference. Sometimes the
“meaning” group is subdivided into two levels. Students are assigned to 4–5 member
teams. They are assigned in pairs to teams so that they have a partner on their
reading level to work with during the reading activities. The team, thus, usually
has both “code/meaning” and “meaning” ability pairs within it; the work of all
members contributes to a team score and team recognition. Students work in their
teams to assess mastery of vocabulary, decoding, and content presented
in each basal story. Materials are prepared to accompany specific commercial
basals. There are written pretests and final tests for each unit, and an oral reading
list for each story. The study of reading and writing is integrated. For example, when
students are studying quotation marks, they write dialogues. A peer editing approach
is used to facilitate writing for revision and evaluation of writing.

Learning Together (Kagan, 17.22) ★


The Learning Together model can be applied to have students master facts and
skills, or it can be used to have students engage in cooperative investigations. It
differs from the other approaches to cooperative learning in that it is a principles
based approach. Teachers are trained in five principles, and then they make specific
decisions to design lessons that incorporate those principles.
Learning Together is David and Roger Johnson’s cooperative learning model.27 The
Johnsons were Morton Deutsch’s students at the University of Minnesota. They
refined his teaching and testing, and applied it to the classroom. The focus of the
Learning Together model is to teach principles fundamental to cooperative learning
so that [teachers may create cooperative learning lessons in any subject area and
any grade level. The five principles in the Learning Together model are Positive
Interdependence, Face-to-Face Interaction, Individual Accountability, Interpersonal
Skills, and Group Processing. Each lesson has specified academic and social skills
objectives. The Johnsons have emphasized the following principles in establishing
cooperative learning: Shared Leadership; Shared Responsibility; Direct Instruction
of Task Related and Social Relationship Skills; Teacher Observation and
Intervention (including structured observation and feedback on specific academic
and social skills); and Group Processing.In Learning Together, teachers follow 18
steps, divided into five main types, as follows:
1. Specifying Objectives
Specifying Academic and Collaborative Skill Objectives (1).
Both the academic and cooperative skill objectives are specified before each lesson
begins.
2. Making Decisions
Deciding on Group Size (2).
Depending on the objectives and the nature of the learning task, cooperative groups
range in size from 2–6 members.
Assigning Students to Groups (3).
Decisions are made regarding homogeneous or heterogeneous ability grouping;
separating or grouping non–task-oriented and task-oriented students; allowing
student input into grouping; and length of time before reassignment.
Arranging the Room (4).
Members of each group sit in a circle and are close enough to communicate without
disrupting the other learning groups.
Planning Materials (5).
Materials are distributed in carefully planned ways to communicate the assignment is
a joint effort.
Assigning Roles (6).
Interdependence may be arranged though the assignment of complementary and
interconnecting roles to group members. For
example, one student may be assigned the role of “the praiser”, another “the
checker.”
3. Communicating the Task, Goal Structure, and Learning Activity
Explaining the Academic Task (7).
Teachers set the task so that students are clear about the assignment; explain the
objectives of the lesson; relate the concepts; define relevant concepts; explain
procedures, and give examples; and ask specific questions to check students’
understanding of the assignment.
Structuring Positive Goal Interdependence (8).
The group goal is emphasized, and it is made clear that students must work
collaboratively to reach the group goal.
Structuring Individual Accountability (9).
There is frequent assessment of the level of performance of each group member.
Thus, students know which members need encouragement and help.
Structuring Intergroup Cooperation (10).
Positive outcomes found within cooperative
groups are extended throughout the whole class by structuring intergroup
cooperation.
Explaining Criteria for Success (11).
Teachers explain at the beginning of the lesson clear criteria by which the students’
academic work will be evaluated.
Specifying Desired Behaviors (12).
Teachers also define cooperative work by specifying the behaviors that are
appropriate and desirable within the learning groups.
4. Monitoring and Intervening
Monitoring Students’ Behavior (13).
After group work begins, teachers spend most of their time observing group
members to determine what problems they are having in completing the assignment
and working collaboratively.
Providing Task Assistance (14).
Teachers clarify instructions, review procedures and strategies for completing
the assignment, answer questions, and teach task skills as necessary.
Teaching Collaborative Skills (15).
Teachers also intervene to suggest more effective procedures for working together.
Providing Closure (16).
Teachers summarize the major points of a lesson, ask students to recall ideas, and
answer final questions
5. Evaluating and Processing
Evaluating Students’ Learning (17).
Whatever the product of the lesson, it is always evaluated by a criteria-referenced
system. Group members
also receive feedback on how effectively they collaborated.
Assessing How Well the Group is Functioning (18).
Even if class time is limited, some time should be spent talking about how well the
groups did, which things were done well, and which could be improved.

Beberapa Sintaks Pembelajaran Kooperatif Modern (Kagan,


2009:5.7)

1 AllWrite Consensus
2 AllWrite RoundRobin
3 Carousel Feedback
4 Fan-N-Pick
5 Find Someone Who
6 Find-the-Fiction
7 Flashcard Game
8 Inside-Outside Circle
9 Jot Thoughts
10 Match Mine
11 Mix-Freeze-Group
12 Mix-Pair-Share
13 Numbered Heads Together
14 One Stray
15 Pairs Compare
16 Pass-N-Praise
17 Poems for Two Voices
18 Quiz-Quiz-Trade
19 RallyCoach
20 RallyRobin
21 RallyTable
22 RoundRobin
23 RoundTable
24 RoundTable Consensus
25 Showdown
26 Simultaneous RoundTable
27 Spend-A-Buck
28 StandUp–HandUp–PairUp
29 Stir-the-Class
30 Talking Chips
31 Team Stand-N-Share
32 Telephone
33 Think-Write-RoundRobin
34 Three-Step Interview
35 Timed Pair Share
36 Traveling Heads Together

Anda mungkin juga menyukai