Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

ILMU PENYAKIT SATWA AKUATIK

PENYAKIT WSS (WHITE SPOT SYNDROME) PADA UDANG

OLEH:

M VICKY INDRA PRADICTA

060911071

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2012

1
DAFTAR ISI
1. Bab I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
1.3. Tujuan ................................................................................................. 3
2. Bab II Pembahasan
2.1. Udang .................................................................................................. 4
2.2. WSSV .................................................................................................. 5
2.3. Epidemiologi WSS.... ............................................................................. 5
2.4. Cara Penularan ..................................................................................... 6
2.5. Gejala Penyakit ..................................................................................... 7
2.6. Patogenesa .............................................................................................. 8
2.7. Patologi Anatomi ................................................................................... 9
2.8. Pencegahan ............................................................................................ 10
2.9. Pengobatan ............................................................................................. 11
3. Bab III Penutup
3.1. Kesimpulan ........................................................................................... 12
3.2. Saran ..................................................................................................... 13
4. DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Usaha pemeliharaan udang putih di Indonesia sangat menjanjikan
karena didukung oleh lahan pertambakan yang cukup luas. Semakin luas
lahan pertambakan yang dimanfaatkan akan memunculkan perubahan
lingkungan yang cukup drastis , maka akan menimbulkan pengaruh buruk
dangan munculnya berbagai macam penyakit (Sumardi, 2007). Selain itu,
udang masih merupakan primadona dari sektor perikanan dan merupakan
penyumbang devisa terbesar dari sektor non migas, sehingga banyak dibuka
lahan pertambakan tanpa memperhatikan daya dukung lahan. Akibatnya
dampak yang ditimbulkan juga semakin banyak antara lain menurunnya
kualitas lingkungan yang berpengaruh terhadap hewan kultivan yang
dipelihara karena penyakit yang mengiringi juga semakin banyak (Nur dan
Budi, 2008). Beberapa jenis penyakit yang dapat menyerang udang pada
budidaya air payau antara lain parasit, bakteri, dan virus (Cheng, dkk., 2002;
Yanto, 2006). Salah satu penyakit yang disebkan oleh virus yang sangat
membahayakan adalah penyakit WSSV (White Spot Syndrome Virus)
(Sumardi, dkk, 2008).
WSSV merupakan penyakit yang disebabkan virus. Penyakit ini
merupakan salah satu penyakit yang menimbulkan permasalahan yang sangat
serius bagi budidaya udang di dunia. WSSV adalah virus yang sangat
mematikan dengan rentang inang yang luas. Penyakit ini mengakibatkan
kematian sangat tinggi pada udang dan kerugian pada industri budidaya udang
di berbagai negara di Asia dan Amerika Latin. Salah satu factor yang
menentukan penularan WSSV di tambak adalah inang perantara/ vektor yang
umumnya berupa makro invertebrate, seperti kepiting.

3
1.2.Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimanakah morfologi udang?
1.2.2. Apakah itu penyakit WSSV ?
1.2.3. Bagaimana epidemiologi penyakit WSSV ?
1.2.4. Bagaimanakah cara penularan penyakit WSSV ?
1.2.5. Bagiamanakah gejala penyakit WSSV ?
1.2.6. Bagaimanakah patogenesa penyakit WSSV ?
1.2.7. Bagaimanakah patologi anatomi penyakit WSSV pada udang ?
1.2.8. Bagaimanakah cara pencegahan penyakit WSSV ?
1.2.9. Bagaimanakah cara pengobatan penyakit WSSV ?

1.3.Tujuan
1.3.1. Mengetahui morfologi udang secara umum.
1.3.2. Mengetahui apa itu penyakit WSSV.
1.3.3. Mengetahui epidemiologi penyakit WSSV.
1.3.4. Mengetahui cara penularan penyakit WSSV.
1.3.5. Mengetahui gejala penyakit WSSV.
1.3.6. Mengetahui patogenesa penyakit WSSV.
1.3.7. Mengetahui patologi anatomi penyakit WSSV pada udang.
1.3.8. Mengetahui cara pencegahan penyakit WSSV.
1.3.9. Mengetahui cara pengobatan penyakit WSSV.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Morfologi Udang


Jumlah udang di perairan seluruh dunia diperkirakan sebanyak 343
spesies yang potensial secara komersil. Dari jumlah itu 110 spesies termasuk
didalam famili Penaidae. Udang digolongkan kedalam filum Arthropoda dan
merupakan filum terbesar dalam Kingdom Animalia.
Adapun klasifikasi udang sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustaceae
Sub kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Palaemonoidae
Penaeidae
Genus : Macrobranchium
Caridina
Penaeus
Metapenaeus

Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala
dan bagian badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut
cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8
ruas di bagian dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-tiap
ruas (segmen) mempunyai sepasang anggota badan (kaki renang) yang
beruas-ruas pula. Pada ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan
satu telson yang berbentuk runcing.

5
Gambar 1. Morfologi Udang
Keterangan:
a = alat pembantu rahang g = kaki jalan
b = kerucut kepala h = kaki renang
c = mata i = anus
d = cangkang kepala j = telson
e = sungut kecil k = ekor kipas
f = sungut besar
Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau carapace. Bagian
depan meruncing dan melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk
kepala atau rostrum. Pada bagian atas rostrum terdapat 7 gerigi dan bagian
bawahnya 3 gerigi untuk P. monodon. Bagian kepala lainnya adalah:
a. Sepasang mata majemuk (mata facet) bertangkai dan dapat digerakkan.
b. Mulut terletak pada bagian bawah kepala dengan rahang (mandibula) yang
kuat.

6
c. Sepasang sungut besar atau antena.
d. Dua pasang sungut kecil atau antennula.
e. Sepasang sirip kepala (scophocerit).
f. Sepasang alat pembantu rahang (maxilliped).
g. Lima pasang kaki jalan (periopoda), kaki jalan pertama, kedua dan ketiga
bercapit yang dinamakan chela.
h. Pada bagian dalam terdapat hepatopankreas, jantung dan insang.

Bagian badan dan perut (abdomen) tertutup oleh 6 ruas, yang satu
sama lainnya dihubungkan oleh selaput tipis. Ada lima pasang kaki renang
(pleopoda) yang melekat pada ruas pertama sampai dengan ruas kelima,
sedangkan pada ruas keenam, kaki renang mengalami perubahan bentuk
menjadi ekor kipas (uropoda). Di antara ekor kipas terdapat ekor yang
meruncing pada bagian ujungnya yang disebut telson. Organ dalam yang bisa
diamati adalah usus (intestine) yang bermuara pada anus yang terletak pada
ujung ruas keenam.

2.2. WSSV
White Spot Syndrome Virus atau yang biasa dikenal dengan penyakit
bercak putih ini pertama kali dilaporkan tahun 1992 menyerang udang
Penaeus japonicas di bagian Timur Laut Taiwan, kemudian sejak tahun 1993
menyebar dan selanjutnya menginfeksi udang P. monodon dan P. penicillatus
(Supriyadi.,dkk, 2005). Agen penyebab adalah virus WSSV, memiliki DNA
double-stranded (dsDNA), selain itu bersamaan dengan ICTV membentuk
genus baru, Whispovirus, dan family Nimaviridae (Mayo, 2002). Ukuran
virion besar (80-120 X 250-380 nm), memiliki bentuk elips dan memiliki
trilaminar envelope (Wang, et al. 1995; Durand et al. 1997; Inouye et al. 1994,
1996; Kanchanaphum et al. 1998; Van Hulten, et al. 2001).

7
Gambar Virus WSSV
White Spot Syndrom Virus (WSSV) berbentuk batang bergaris,
bersampul, non occluded. Nukleokapsid disusun oleh formasi cincin
berbentuk subunit-subunit yang berporos dalam bentuk seri-seri dan hamper
perpendicular terhadap poros longitudinal dari kapsid. Nukleokapsid tertutup
dan melngkar pada salah satu ujungnya dan persegi pada salah satu ujung
lainnya. Virion yang lengkap memiliki kisaran ukuran dari 82-120 nm X 270-
330 nm. Virion berisi double-stranded DNA yang panjangnya 190-200
kilobases.
Baculovirus dibagi 3 kelompok : virus polyhidrosis nuclear (A), virus
granulosis (B) dan virus non occluded (C). Berdasarkan morfologi, ukuran,
patologi seluler dan kandungan asam nukleat, keberadaan virus akan termasuk
kelompok C dari family baculoviridae. WSSV secara umum dimasukkan pada
genus non occluded baculovirus, subfamily nudibaculovirinae dan family
baculoviridae.
Nama-nama lain dari virus WSSV berdasarkan penyebab jenis inang,
tanda klinis dan lokasi geografi saat ditemukan yaitu : Rod-shaped Nuclear
Virus of Penaeus japanicus (RV-PJ); Jepang, Baculoviral Hypodermal and
Haematopoietic Necrosis Virus (HHNBV) dan Shrimp Explosive Epidermic
Disease (SEED) atau China Virus Disease; China.

8
Penyakit bintik putih (WSSV) merupakan penyakit yang sangat
berbahaya dapat menyebabkan mortalitas tinggi (70-100%) dalam 2-7 hari.
WSSV ini menginfeksi semua spesies penaeid dan crustaceae lainnya
termasuk kepiting dan copepod. Beberapa spesies tidak mati akibat penyakit
tetapi menjadi carier dan menyebar sebagai pathogen. Selain itu virus WSSV
merupakan virus penyebab utama berbagai kasus kematian udang yang hingga
kini belum dapat diatasi secara tuntas (Tenriulo, 2010).

2.3. Epidemiologi WSSV


Dalam perkembangan budidaya udang, masalah kegagalan produksi
pertama terjadi di Taiwan pada tahun 1987-1989 disebabkan terjadinya
degradasi lingkungan serta meningkatnya wabah penyakit infeksius terutama
bakteri dan virus. Masalah kegagalan produksi kedua terjadi di Cina sebagai
akibat munculnya penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada tahun
1992. Produksi menurun dari 207.000 ton pada tahun 1992 menjadi 64.000
ton pada tahun 1993-1994. Masalah yang sama juga terjadi di Thailand,
Filipina dan Indonesia oleh penyakit Yellow Head Virus (YHV) dan WSSV
pada awal 1990-an.

Gambar lokasi outbreak WSSV


Penyakit WSSV pertama kali ditemukan di Taiwan pada tahun 1992
yang menyebabkan kematian masal pada udang windu (Penaeus monodon),

9
udang kuruma (P.japonicus), udang ekor kuning (P.penicillatus) dan udang
greasyback (Metapanaeus ensis) (Yanto, 2006). WSSV juga dilaporkan di
Korea 1993 dan penyebaran penyakit ini hingga Thailand 1994. Sejak WSSV
pertama kali terjadi 1992, penyakit ini menyebar hingga ke seluruh negara
Asia. WSSV juga menyebar luas ke seluruh dunia, tidak hanya Asia tetapi
juga USA (Oseko, 2010).
Kejadian WSSV pada udang tidak hanya melanda Asia namun juga
dunia. Sejak januari 1999, WSSV terdeteksi pada jaringan udang di
Guatemala, Honduras, Nicaragua dan Panama. Hal ini menyebabkan kerugian
ekonomi yang sangat luas, rata-rata kerugian hingga 1 juta dollar. Di USA
mengalami penurunan produksi udang 50-95 % akibat penyakit WSSV.

2.4. Cara Penularan WSSV


Secara alami udang akan terserang WSSV melalui proses pemangsaan
atau kanibalisme antar sesamanya. Dalam kondisi udang stress dan lemah
akibat perubahan lingkungan akan mempermudah serangan penyakit terhadap
udang. Dan kondisi ini akan lebih buruk akibatnya penanganan yang
diberikan salah. Virus akan menyerang kondisi udang lemah. Dengan
demikian perlu diusahakan agar udang memiliki daya tahan tubuh yang kuat.
Selain itu adanya kanibalisme mempercepat penularan penyakit ini. Karena
udang yang lemah dan sakit akibat bintik putih akan dimangsa temannya yang
akhirnya terjadilah kontaminasi virus secara beruntun (Rahayu, 2002).
Penularan penyakit terjadi hanya melalui perantara karier (pembawa
bibit penyakit) berupa jambret (Mesopodopsis sp.), udang liar, kepiting,
rajungan dan benih udang windu yang ditebar sudah terkontaminasi di
pembenihan. Bangkai udang terinfeksi oleh SEMBV apabila dimakan oleh
udang sehat dapat mengakibatkan terjadinya penularan virus.

Beberapa faktor pemicu timbulnya penyakit adalah

10
 Blooming fitoplankton kemudian mengalami kematian secara
mendadak.

 Kadar oksigen rendah.

 Terjadi fluktuasi pH harian yang besar.

 Rendahnya temperatur air.

 Turun hujan secara mendadak.

 Pengelolaan pakan yang kurang baik.

2.5. Gejala Klinis WSSV


Gejala klinis dari penyakit ini adalah terdapat bintik putih di carapace
dan segmen abdomen, hepatopankreas mengembang dan berwarna kuning,
organ intestine dan abdomen kosong dan warna tubuh udang menjadi
kemerahan. Udang yang telah terserang penyakit tersebut70-90% akan mati
(Afsharnasab.,et al, 2009).

Gambar gejala klinis udang terinfeksi WSSV


2.6. Patogenitas WSSV
Pada awalnya gejala white spot berupa bintik putih di kulit. Namun,
bintik ini berkembang semakin banyak diikuti pula dengan melebarnya bintik
tersebut membentuk bercak. Batas bintik-bintik putih atau tambalan agak

11
putih yang mengelilingi kutikula terlihat pertama kali pada karapas dengan
segmen abdominal ke5 dan ke-6 dan kemudian menyebar keseluruh tubuh.
Pada udang yang terinfeksi, batas selnyatidak jelas karena terjadi
peluruhan atau rusak. Sementara dengan bantuan mikroskop lapisan inti sel
berupa titik-titik berwarna hitam pekat dan inti sel akan membengka sehingga
menekan cairan sel sampai melebihi elastisitas dinding sel yang akhirnya sel
pecah. target SEMBV yakni organ hemolim, tangkai mata dan insang
(Rahayu, 2002).

Gambar Eosinofilik Hipertofi dan Inklusi bodies pada Organ Hepatopankreas, Usus dan Insang
Udang yang terserang WSSV

2.7. Diagnosis WSSV


Banyak metode diagnosis WSSV yang telah dilaporkan. Salah satu
metode yaitu pengamatan menggunakan mikroskop gelap-terang merupakan

12
metode yang sederhana, mudah, dan cepat untuk mendeteksi penyakit ini.
Kelebihan metode ini dalam diagnosis tidak memerlukan peralatan yang
spesifik dan mahal dan hanya membutuhkan mikroskop gelap-terang. Namun,
metode ini hanya untuk kasus Kuruma prawn, sehingga masih membutuhkan
uji untuk WSSV pada black tiger prawn.
Kemudian metode yang kedua menggunakan PCR. Metode ini cukup
sering digunakan untuk deteksi WSSV. Kelebihan metode ini adalah
diagnosis yang akurat spesifik terhadap genom virus.

a) Pengamatan menggunakan mikroskop gelap-terang


Metode ini menggunakan sampel hemolymph yang diambil
dari udang yang terinfeksi WSSV. Partikel kecil dan terang pada
sampel hemolymph mengindikasikan udang berpenyakit. Partikel
tersebut kemungkinan menyebabkan partikel dari WSSV
mengaglutinasi. Dari hasi tersebut, hemolymph didiagnosis
menggunakan pengamatan mikroskop gelap-terang. Di lain sisi, hasil
dari metode ini kurang akurat karena sulit membedakan antara partikel
WSSV dan debu.
b) Metode diagnosis menggunakan PCR
Sampel DNA yang telah diekstrak dari otot udang yang
terinfeksi WSSV, di dilusi hingga 10-9 dan larutan dilusi tersebut
kemudian diterapkan di PCR.

2.8. Cara Pencegahan WSSV


Penggunaan desinfektan sebagian besar sebagai pencegahan terhadap
virus yang pathogen. Inaktifasi virus dapat menggunakan bahan kimia, seperti
formalin dan sodium hipoclorit. Konsentrasi formalin yang digunakan yakni
0-1% (V/V). larutan formalin tersebutdicampur dengan cairan virus dan
direaksikan bersamaan selama 10 menit (Oseko, 2010). Invaktivasi virus

13
dapat dilakukan dengan menggunakan radiasi ultraviolet, virus yang telah
diinaktivasi dapat meningkatkan ketahanan udang windu terhadap WSSV
(Angelica, 2004).

Pengendalian penyakit dapat dilakukan hanya dengan cara :

 Melakukan penebaran benih yang diketahui bebas virus, melalui


pengecekan dengan PCR.
 Jangan menggunakan benih yang berasal dari satu induk untuk ditebar
pada beberapa petak, karena dikhawatirkan membawa bibit penyakit.
 Benih yang sudah diketahui bebas virus dengan PCR, harus dicuci
dengan 200 ppm formalin : benih dimasukkan kedalam wadah
silinder/conical volume 500-1000 ml dengan kepadatan 500 ekor/liter,
diberi aerasi dan dimasukkan formalin 100-200 ml dan dibiarkan selama
30 menit, aerasi dihentikan kemudian air diputar, benih yang mengendap
disipon dan dibuang karena benih tersebut kemungkinan masih
membawa virus , sedangkan yang sehat langsung ditebar.
 Air untuk pemeliharaan danreservoir harus sudah diperlakukan dengan
30 ppm kaporit atau krustasid untuk membunuh karier kemudian diaerasi
selama 1 minggu.
 Hindarkan penyebab ster, untuk itu maka pergantian air harus dilakukan
secara rutin.
 Jaga kadar oksigen terlarut (DO) >3 ppm.
 Pengelolaan pakan harus diperhatikan , hindari pemberian pakan secara
berlebihan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan.
 Hindari pemeliharaan udang pada musim bediding (suhu air terlalu
rendah).
 Hindarkan pemberian pakan dengan segar, karena dikhawatirkan
membawa virus.

14
 Apabila terjadi fluktuasi pH yang besar (>0,5 unit) dalam satu hari,
berikan kaptan (kalsium karbonat) untuk meningkatkan alkalinitas air
dengan dosis hingga 300 kg/Ha.
 Pemberian pupuk harus dilakukan di petak reservoir untuk mencagah
terjadinya blooming di petak pemeliharaan.
 Apabila terjadi udang kehilangan nafsu makan, dapat ditambahkan
dengan atraktan berupa ikan rucah dengan rasio 1 kg. Ikan rucah untuk
setiap 5 kg pelet.
 Pemberian peptidoglukan (PG) dengan dosis 0,2 mg/kg. Biomass udang
dapat meningkatkan ketahanan tubuh udang.
 Lakukan penyiponan untuk mengambil lumpur dasar pada umur 3 bulan
setalah tebar.
 Apabila terjadi wabah di tambak tetangga tunda pengambilan air dari
saluran umum, karena dikhawatirkan dapat tertulari oleh virus.
 Apabila terjadi wabah kematian udang yang serius, segera dilakukan
pemanenan terutama apabila udang sudah layak untuk dijual.

2.9. Cara Pengobatan WSSV


Upaya pengobatan sarnpai saat ini belum berhasil karena belum
diteinukan bahan kimia atau antibiotik yang secara efektif dapat ~nembunuh
virus White Spot. Upaya untuk inengatasi serangan virus dapat dilakukan
dengan cara merangsang respon imun melalui vaksinasi.

15
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
WSS (White Spot Syndrome) merupakan penyakit bercak putih yang
biasa terjadi pada udang. Penyakit ini disebabkan oleh virus WSSV.
Penularan penyakit ini melalui infeksi udang yang terserang WSSV. Adapun
gejala klinis udang yang terinfeksi adalah terdapat bintik putih di carapace dan
segmen abdomen. Pencegahan penyakit ini melalui pemberian desinfektan
namun untuk pengobatan hingga saat ini belum ada obat yang efektif
mengobati penyakit ini.

3.2 Saran
Dengan belum ditemukannya obat yang efektif untuk mengobati
penyakit WSSV, maka disarankan untuk meneliti dan menemukan obat yang
efektif untuk WSSV agar penyebaran penyakit udang ini tidak meluas.

16
DAFTAR PUSTAKA

Afsharnasab, M.,et al. 2009. Prevalence of White Spot Syndrome Virus (WSSV) in
the Cultured Shrimp Penaeus indicus along The Coast of Bushehr Province.
Iranian Fisheries Research Organization, Theran: Iran.

Agelica, Grace. 2004. Efek Radiasi Ultraviolet (30, 45 dan 60 Menit Dengan Jarak 20
cm) Terhadap Patogenitas Virus White Spot Pada Udang Windu (Penaeus
monodon Fabr.). Institut Pertanian Bogor.

Nur, E.M, Budi, S. 2008. Skrining Induk Udang Windu Dengan Analisis PCR Dalam
Rangka Menunjang Program NSBC. Bul. Tek. Lit. Akuakultur Vol. 7 No. 1
Tahun 2008.

Nur, E.M dan Budi, S. 2008. Pemberian Ekstrak Khamir Untuk Kekebalan Terhadap
Serangan Penyakit Bercak Putih Viral Pada Udang. Bul. Tek. Lit.
Akuakultur Vol. 7. No. 2.Tahun 2008.

Oseko, Norihisa. 2010. Occurrence and Prevention of White Spot Syndrome (WSSV)
in Malaysia. National Research Institute of Aquaculture.

Rahayu, Juli. R. 2002. Uji Patogenitas Virus Penyebab White Spot pada Udang
Windu (Penaeus monodon Fab.) Secara Perendaman dalam Konsentrasi
100µg/,l da 200µg/ml Selama 240 menit. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan: Institut Pertanian Bogor.

Sumardi, dkk. 2008. Pengaruh Perubahan Suhu terhadap Virulensi White Spot
Syndrome (WSSV) Pada Udang Putih Litopenaeus vannamei. Prosiding
Seminar Nasional Sain dan Teknologi II, Universitas Lampung 17-18
November 2008.

Supriyadi, H.,dkk. 2005. Prevalensi Infeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV)
Pada Induk Udang Windu (Penaeus monodon) Hasil Tangkapan dari Alam.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 11 Nomor 5 tahun 2005: hal
2.

Tenriulo, A.,dkk. 2010. Analisis Ekspresi Gen Antivirus PmAV Pada Udang Windu,
Penaeus monodon yang Ditantang Dengan WSSV. Prosiding Forum Inovasi
Teknologi Akuakultur.

17
Yanto, Hendy. 2006. Diagnosa dan Identifikasi Penyakit Udang Asal Tambak
Intensif dan Panti Benih di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Sains &
Teknologi, Vol. 7, No. 1: 17-32.

18

Anda mungkin juga menyukai