JOKO ADRIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Adopsi SRI
(System of Rice Intensification) dan Dampaknya Terhadap Efisiensi Usahatani Padi di
Kabupaten Solok Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain pada tesis ini telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan pada daftar pustaka di bagian akhir tesis.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Joko Adrianto
NIM H453130181
RINGKASAN
JOKO ADRIANTO. Analisis Adopsi SRI (System of Rice Intensification) dan
Dampaknya Terhadap Efisiensi Usahatani Padi di Kabupaten Solok Selatan.
(HARIANTO sebagai ketua, M PARULIAN HUTAGAOL sebagai Anggota
Komisi Pembimbing).
The agricultural sector, especially rice crops in South Solok District has a
very important role in generating income, and through the application of
technology SRI (System of Rice Intensification) in rice farming is expected to
increase production and income of rice farmers. Field school program of SRI
routinely performed, but the application of the SRI program is still very low and
limited so the impact on the level of production and farm income that is not in
accordance with the target to be achieved. The implication rice productivity is not
much increased. Therefore it is necessary to know about the socio-economic
factors that affect productivity, revenue and efficiency of rice farming in South
Solok.
This study aims to: (1) identify the factors that influence technology
adoption SRI on rice farming in South Solok, (2) analyze the effect of the
application of SRI on the production of rice farming in South Solok, (3) analyze
the effect of the application of SRI on efficiency and determine the factors that
influence the inefficiency of rice farming, and (4) analyze the effect of the
application of SRI on the income of rice farmers in South Solok. This research
was conducted in rice production centers in South Solok namely Sungai Pagu.
Number of farmer respondents taken as many as 90 people were divided into
Farmers who apply SRI as many as 60 people and farmers who do not apply SRI
as many as 30 people. The approach used is a function of probit regression,
analysis of farming and stochastic frontier function with Maximum Likelihood
Estimation (MLE).
The results showed that the factors that affect the adoption of SRI
technology is land, long a member of farmer groups and frequency extension.
While the factors that affect rice production SRI and without SRI in South Solok
is land, ponska, urea, organic fertilizer and labor. The variables that have the
highest elasticity is land, meaning that rice production is very responsive to the
use of land. Rice farming SRI and without SRI in South Solok technically
efficient but not efficiency allocative and economy with an average value of
efficiency of each is 0.88, 0.41, 0.36 on rice farmers SRI and 0.89, 0.42, 0.37 in
the rice farmers of without SRI, Socio-economic factors affecting technical
inefficiency SRI rice is the number of family members and the without SRI
farming is the number of family members, the status of the land and farming
status. R/C ratio at SRI rice farming is higher than the without SRI rice farming
with its value respectively 3.53 and 2.05.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS ADOPSI SRI (SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION) DAN DAMPAKNYA TERHADAP
EFISIENSI USAHATANI PADI DI KABUPATEN SOLOK
SELATAN
JOKO ADRIANTO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Alla Asmara, SPt MSi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga Tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian adalah
tentang efisiensi usahatani dengan judul Analisis Adopsi SRI (System of Rice
Intensification) dan Dampaknya Terhadap Efisiensi Usahatani Padi di Kabupaten
Solok Selatan. Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dari tugas belajar pada
Program Magister Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak atas bantuan dan
dukungan sehingga tesis ini dapat terselesaikan yaitu kepada:
1. Dr Ir Harianto, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Prof Dr M.
Parulian Hutagaol, MS sebagai Anggota Pembimbing yang selalu meluangkan
waktunya untuk memberikan koreksi dan telah membimbing dengan baik
serta memberikan banyak masukan demi kesempurnaan tesis ini.
2. Dr Alla Asmara, SPt, M.Si selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Harianto, MS
selaku penguji wakil komisi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas
semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada
penulis.
3. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh
pendidikan.
4. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian
Bogor atas segala ilmu yang diberikan selama proses perkuliahan dan Insya
Allah ilmu yang telah diberikan akan menjadi bekal dan diamalkan oleh
penulis. Begitu juga kepada Kepala Tata Usaha Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian beserta staff atas pelayanan akademik dan kemahasiswaan.
5. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan
Program Magister di IPB.
6. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada keluarga yaitu orang tua
penulis Bapak Jumpriadi Datuk Rajo Bandaro dan Ibu Erni Yanthi, dan adikku
Jesi Afrianti, S.Pd dan Athree Vadel J atas doa, semangat dan kasih sayang
yang tak terhingga.
7. Sahabatku Ahmad Zainudin, Ahmad Fanani, Gita Vinanda, Moh. Ibrahim,
Nuni Anggraini, Rini Desfaryani, Stevana Astra Jaya, Pebriani Komba yang
sudah menjadi sahabat, memberikan dukungan serta semangat dan menjadi
keluarga di Bogor.
8. Teman-teman Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) khususnya S2
angkatan 2013 dan juga kepada teman-teman S3 EPN 2013 yang telah berbagi
ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti kuliah.
Semoga tesis ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi terutama menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya dan yang
memerlukannya untuk kepentingan yang lebih baik.
Joko Adrianto
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan penelitian 6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Usahatani 6
Budidaya Padi SRI 7
Metode SRI (System of Rice Intensification) 8
Teknik Budidaya Usahatani Padi Metode SRI 9
Persiapan Benih 9
Pengolahan Tanah 9
Pemupukan 9
Pemeliharaan 9
Penelitian Terdahulu 10
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Teknologi
pada Usahatani 10
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Pada
Usahatani 10
4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian 26
Jenis dan Sumber data 26
Metode Penentuan Sampel 26
Metode Analisis Data 27
Penentuan Faktor yang Mempengaruhi Penerapan
Program SRI (System of Rice Intensification) 27
Analisis Pendapatan Petani Padi 27
Penentuan Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam
Fungsi Produksi Usahatani 28
Penentuan Tingkat Efisiensi dan Faktor-Faktor yang
Berpengaruh Terhadap Efisiensi dan Inefisiensi
Usahatani Padi 29
Analisis Efisiensi Teknis 29
Analisis Efek Inefisiensi Teknis 29
Analisis Efisiensi Ekonomi 30
Analisis Efisiensi Alokatif 32
DAFTAR PUSTAKA 66
LAMPIRAN 70
RIWAYAT HIDUP 87
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan salah satu leading sector dalam perekonomian
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan cukup tingginya kontribusi sektor pertanian
terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia yang mencapai 14.43
persen, satu tingkat dibawah sektor industri pengolahan yakni sebesar 23.69
persen pada tahun 2013. Selain dalam pembentukan PDB, sektor pertanian juga
berperan penerimaan devisa, penyerapan tenaga kerja, penyedia bahan baku
industri dan penyedia pangan (BPS 2014a).
Salah satu strategi pembangunan yang dipandang efektif untuk memecahkan
masalah kemiskinan di negara-negara berkembang ialah pembangunan pertanian
(agriculture development). Secara teoritis telah teruji bahwa pentingnya
pembangunan pertanian dalam tataran kebijakan, namun sering terjadi kesalahan
implementasi kebijakan pada negara-negara berkembang sehingga sektor
pertanian terabaikan dan mengalami jebakan kemiskinan (WDR 2008).
Pembangunan pertanian dihadapkan pada permasalahan pokok yang terkait
dengan pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan
produksinya. Disisi lain, Permintaan pangan sejalan dengan pertumbuhan
penduduk, pertumbuhan industri pangan, daya beli masyarakat dan perubahan
selera menyebabkan kebutuhan pangan nasional meningkat.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia dengan laju
pertumbuhan 1.49 persen per tahun dan di iringi dengan besarnya konsumsi beras
per kapita sebesar 135.01Kg/kapita/tahun maka kebutuhan bahan pangan beras di
Indonesia dimasa akan datang semakin meningkat (Direktorat Pangan dan
Pertanian 2013). Untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan beras tersebut,
maka harus di imbangi dengan peningkatan produksi beras secara nasional. Pada
tahun 2013 produksi padi nasional mengalami peningkatan produksi sebesar 3.22
persen, namun pada tahun 2014 produksi padi diperkirakan turun menjadi 1.98
persen (BPS 2014b).
Menurut Irawan (2005), melambatnya laju pertumbuhan produksi padi
nasional disebabkan oleh adanya kompetisi dalam penggunaan lahan, perubahan
iklim yang ekstrim, degradasi sumberdaya pertanian, terbatasnya dukungan
infrastruktur pertanian serta tidak adanya terobosan teknologi padi secara
signifikan. Arifin (2004) juga mengemukakan bahwa setelah terjadinya
swasembada beras pada tahun 1984, perkembangan produksi padi menjadi lambat
dan lebih banyak ditentukan oleh luas panen, karena relatif tidak adanya terobosan
teknologi baru dibidang produksi.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan yang
dikeluarkan dari tahun 1950-an hingga saat ini untuk memenuhi permintaan akan
kebutuhan beras dalam rangka mencapai swasembada pangan khususnya beras.
Pada tahun 1960-an Indonesia menerapkan sistem revolusi hijau, konsep revolusi
hijau mampu mengatasi permasalahan permintaan dan ketersediaan beras yang
diakibatkan oleh pertambahan penduduk. Gerakan revolusi hijau menghantarkan
Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan, tetapi hanya
mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 - 1989. Revolusi hijau
mendasarkan diri pada empat pilar penting : penyediaan air melalui sistem irigasi,
2
pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat
serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan
tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi ini terjadi peningkatan hasil
tanaman pangan berlipat ganda sehingga akan meningkatkan produksi padi
nasional. Namun revolusi hijau mendapat kritikan sejalan dengan meningkatnya
kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang parah sebagai akibat dari peningkatan penggunaan bahan baku
kimia. Revolusi hijau dianggap gagal dalam memenuhi kebutuhan pangan secara
terlanjutkan dan ramah terhadap lingkungan. Kondisi tersebut melahirkan inovasi
melalui intensifikasi pertanian ramah lingkungan untuk meningkatkan produksi
padi.
Pengalaman selama ini peningkatan produksi padi merupakan faktor utama
bagi peningkatan produksi beras nasional. Upaya untuk meningkatkan produksi
padi, petani padi dihadapkan pada dinamika lingkungan dan berbagai kebijakan
pemerintah seperti pembangunan dan pengembangan jaringan irigasi, subsidi
pupuk dan bibit serta kebijakan alih fungsi lahan, dan juga petani padi dihadapkan
pada tingkat efisiensi yang dicapai oleh petani, sebagaimana variasi antar daerah
sangat diperlukan sebagai tolak ukur dalam penyusunan perencanaan program
peningkatan efisiensi usahatani padi tersebut.
Upaya lanjut yang dilakukan pemerintah untuk pencapaian swasembada
beras nasional dan dalam rangka untuk mengatasi lambatnya laju pertumbuhan
produksi padi nasional yaitu melalui program revitalisasi pertanian. Revitalisasi
pertanian yang dicanangkan pemerintah pada tahun 2005 antara lain bertujuan
untuk meningkatkan produksi padi menuju swasembada beras dalam upaya
mendukung ketahanan pangan nasional. Program peningkatan produksi padi terus
dilakukan melalui kebijakan pemerintah yang tentunya harus didukung oleh
teknologi inovasi yang dapat mendongkrak produksi padi yang diharapkan
mampu memperbaiki stabilitas serta meningkatkan produksi padi nasional. Dua
dari tiga kebijakan utama pemerintah dalam penerapan program tersebut adalah
intensifikasi pertanian dan penerapan teknologi usahatani (termasuk program
pemuliaan tanaman) serta ekstensifikasi pertanian (pembukaan lahan baru). Upaya
peningkatan produksi padi dapat dilakukan salah satunya melalui upaya
intensifikasi untuk menghasilkan produksi yang optimal. Intensifikasi dilakukan
dengan memperbaiki teknologi anjuran untuk meningkatkan produktivitas lahan,
sehingga akan mendukung dihasillkannya produksi yang tinggi. Saat ini, upaya
intensifikasi telah mengalami perkembangan yang sangat berarti, melalui teknik
intensifikasi (The System of Rice Intensification / SRI) dapat meningkatkan
produktivitas lahan serta produksi padi.
Konsep SRI (System of Rice Intensification) merupakan salah satu solusi
dalam rangka meningkatkan produksi beras Indonesia dengan tetap
memperhatikan keseimbangan lingkungan. Apabila lahan usahatani padi sistem
konvensional dikonversi menjadi lahan pertanian dengan sistem usahatani padi
SRI, potensi produksi beras Indonesia akan mengalami peningkatan karena
meningkatnya produktivitas padi nasional. Metode SRI merupakan teknologi
budidaya alternatif yang berpeluang besar untuk dapat meningkatkan
produktivitas padi sawah di Indonesia, dimana metode ini terdapat perubahan
dalam manajemen tanaman, tanah, air dan hara. Hal ini mengindikasikan bahwa
potensi peningkatan produktivitas padi untuk mencapai swasembada beras masih
3
berpeluang besar. Metode SRI mulai di uji dan diterapkan pada kawasan asia,
pada tahun 1991 termasuk di Indonesia. Metode SRI diarahkan untuk
memperbaiki kembali keadaan kesuburan tanah dan produktivitas padi akibat
kejenuhan penggunaan pupuk dan pestisida kimia, hal ini terbukti dengan hasil
yang cukup positif yaitu padi yang dihasilkan sekitar delapan ton per hektar, lebih
tinggi jika dibandingkan dengan hasil rata-rata nasional (Pirngadi 2009). Metode
SRI dikenal efisien karena prinsip penerapannya, yaitu tanam tunggal dan
pengairan yang relatif sedikit sehingga meminimalisir biaya pengadaan input
usahatani.
Penerapan metode SRI diharapkan mampu menciptakan kondisi sinergi
yang dinamis yakni penambahan suatu faktor berperan bagi perbaikan faktor lain,
dan faktor kedua juga berperan bagi faktor utama. Dalam hal tanaman padi, akar
yang tumbuh dengan baik akan dapat menyokong pertumbuhan anakan dan daun
lebih banyak, sehingga akan memberikan produksi gabah yang lebih tinggi.
Kontinuitas ketersediaan gabah erat kaitannya dengan usaha pencapaian
swasembada beras. Salah satu upaya peningkatan ketersediaan gabah secara
kontinuitas adalah dengan penerapan metode SRI pada padi sawah, sehingga perlu
dilakukan penelitian penerapan metode SRI diberbagai daerah di Indonesia
khususnya di Kabupaten Solok Selatan.
Perumusan Masalah
Peningkatan produksi padi bisa dilakukan melalui peningkatan produktivitas
dan perluasan areal. Namun demikian peningkatan luas areal sudah sulit
dilakukan karena ketersediaan sumberdaya lahan yang tidak elastis dan
memerlukan pengorbanan yang sangat besar. Sehingga salah satu strategi
pemerintah dalam rangka pencapaian swasembada beras dapat dicapai dengan
menerapkan program teknologi SRI pada budidaya usahatani padi. Penerapan
program teknologi SRI diharapkan dapat mempercepat upaya peningkatan
produksi menuju swasembada. Penerapan SRI pada usahatani padi telah banyak
dilakukan di wilayah Indonesia. Uji coba teknik SRI pertama kali dilaksanakan
oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat
menghasilkan padi rata-rata 8.2 ton/ha (Uphoff 2002). Hasil penelitian Pusat
Penelitian Pertanian di Puyung NTB, metode SRI memberikan hasil rata-rata 9
ton/ha (Sato 2007). Produktivitas usahatani padi berbasis SRI mencapai 8 ton/ha
di Kabupaten Lima Puluh Kota (Djinis et al. 2008), 10.8 ton/ha di Kota Padang
(Anwar et al. 2009), 9.6 ton/ha di Kabupaten Sleman (Darmadji 2011), dan di
kawasan Indonesia timur mencapai 7.4 ton/ha (Sato 2007). Penerapan SRI pada
usahatani padi juga telah dilakukan di Kabupaten Solok Selatan.
Menurut Wardana et al. (2005), teknologi SRI bisa menjadi pilihan
teknologi yang menarik dalam usahatani padi karena ada efisiensi penggunaan
input benih dan penghematan air serta mendorong penggunaan pupuk organik.
Dengan demikian bisa menjaga kesuburan tanah dan mengurangi ketergantungan
pada pupuk anorganik. Dalam penerapan SRI ada beberapa komponen penting
yaitu: (1) bibit dipindah lapangan lebih awal, yakni pada saat bibit berumur 8-15
hari, (2) bibit ditanam satu bibit per lobang tanam, (3) jarak tanam yang lebar,
yakni mencapai 25 cm x 25 cm bahkan lebih, (4) kondisi tanah tetap lembab tapi
4
tidak berair, dan (5) menggunakan bahan organik sehingga akan memperbaiki
struktur tanah.
Kabupaten Solok Selatan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Sumatera Barat yang turut berkontribusi dalam mengusahakan budidaya padi
berbasis SRI. Penerapan teknologi SRI di Kabupaten Solok Selatan didasari
bahwa daerah ini merupakan lumbung pangan di Provinsi Sumatera Barat.
Usahatani padi merupakan sumber pendapatan utama sebagian besar petani di
Kabupaten Solok Selatan. Menurut data BPS (2014c), Kabupaten Solok Selatan
memiliki areal luas panen sebesar 28 788 Ha, jumlah produksi gabah 121 939 ton
dan produktivitas sebesar 4.23 ton/ha gabah kering panen (GKP). Produktivitas ini
masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan hasil penelitian-penelitian
yang telah dilakukan. Rendahnya produktivitas padi di Kabupaten Solok Selatan
dapat dilihat dari bagaimana petani dalam menggunakan input-input produksi
yang digunakan dalam usahataninya. Produktivitas yang rendah dapat disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain belum tercapainya efisiensi teknis dan inefisiensi
teknis dalam mengalokasikan input-input produksi yang digunakan dalam
usahataninya serta tidak ada terobosan teknologi produksi yang berpengaruh
terhadap produksi padi. Untuk meningkatkan produktivitas padi pemerintah
Kabupaten Solok Selatan mendukung penuh upaya pengembangan usahatani padi
berbasis SRI sebagai program peningkatan produksi padi melalui penerapan
teknologi.
Usahatani padi berbasis SRI sangat ideal dilakukan pada kondisi lingkungan
yang sangat mendukung terhadap komponen-komponen input inovasi yang
dipersyaratkan dalam metode SRI seperti penggunaan bibit dari varietas unggul,
bermutu dan bersetifikat, pemupukan yang sesuai dengan rekomendasi, dan
manajemen budidaya yang baik dari persiapan lahan sampai pasca panen sehingga
pada akhirnya akan memberikan output yang maksimal. Namun perlu dilakukan
kajian mengenai penerapan SRI pada usahatani padi, apakah dengan menerapkan
program SRI pada usahatani padi akan meningkatkan produktivitas, efisiensi dan
pendapatan sehingga akan mendorong petani untuk menerapkan program ini pada
usahatani padi. Selain itu kajian tersebut sangat penting dilakukan mengingat
dengan kebijakan pemerintah untuk peningkatan produksi padi sehingga program
swasembada beras nasional pada tahun 2015 dapat tercapai dengan adanya
teknologi SRI ini.
Produktivitas sebenarnya adalah mengkaji masalah efisiensi teknis karena
ukuran produktivitas pada hakekatnya menunjukkan seberapa besar keluaran
(output) dapat dihasilkan per unit input tertentu (Tajerin dan Noor 2005).
Efisiensi usahatani padi dipengaruhi oleh kemampuan manajerial petani dalam
memutuskan besaran input atau faktor-faktor produksi dalam penerapan
komponen SRI. Selain itu, efisiensi usahatani padi juga dipengaruhi oleh faktor
sosial ekonomi petani dan faktor yang berada diluar kendali petani seperti
iklim/cuaca, ketersediaan air, kelembagaan usahatani dan lainnya. Interaksi
faktor-faktor ini akan menentukan tingkat produktivitas dan efisiensi usahatani
yang akan dicapai. Pertanyaannya adalah apakah petani padi di Kabupaten Solok
Selatan mampu mengalokasikan input produksi secara efisien yang sesuai dengan
rekomendasi dari komponen-komponen SRI yang disyaratkan. Maka dari itu perlu
dilakukan kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani
padi berbasis SRI di Kabupaten Solok Selatan.
5
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh adopsi SRI terhadap pendapatan petani padi di
Kabupaten Solok Selatan.
2. Menganalisis pengaruh adopsi SRI terhadap produksi usahatani padi di
Kabupaten Solok Selatan.
6
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu bahan pertimbangan
dalam manajemen usahatani padi berbasis SRI di Kabupaten Solok Selatan.
2. Bagi petani produsen diharapkan bermanfaat untuk meningkatkan produksi
melalui peningkatan efisiensi teknis serta perbaikan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
3. Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengambil keputusan dalam
merumuskan strategi kebijakan dengan sasaran meningkatkan efisiensi dan
produksi padi SRI.
4. Penelitian ini diharapkan akan menjadi salah satu bahan referensi terkait
dengan efisiensi dengan pendekatan stokastik frontir.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Usahatani
Menurut Soekartawi (2006), ilmu usahatani biasanya diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada
secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada
waktu tertentu. Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat
mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya, dan dikatakan
efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output)
yang melebihi masukan (input).
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi suatu usahatani adalah lahan,
tenaga kerja, modal, dan manajemen. Adapun empat faktor produksi tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Lahan. Lahan pertanian merupakan penentu dari pengaruh faktor produksi
komoditas pertanian. Secara umum dikatakan, semakin luas lahan (yang
digarap), semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan oleh lahan tersebut.
Ukuran lahan pertanian dapat dinyatakan dengan hektar (ha) atau are.
2. Tenaga Kerja. Tenaga kerja dalam hal ini petani merupakan faktor penting dan
perlu diperhitungkan dalam proses produksi komoditas pertanian. Tenaga kerja
harus mempunyai kualitas berfikir maju, seperti petani yang mampu
mengadopsi inovasi-inovasi baru terutama dalam menggunakan teknologi
untuk pencapaian komoditas yang bagus sehingga nilai jualnya tinggi.
Penggunaan tenaga kerja dapat dinyatakan sebagai curahan tenaga kerja, yaitu
besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai. Ukuran tenaga kerja dapat
dinyatakan dalam hari orang kerja (HOK).
3. Modal. Kegiatan proses produksi pertanian membutuhkan modal. Modal dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (fixed cost) dan moal tidak tetap
(variable cost). Modal tetap berdiri diatas tanah, bangunan, mesin dan
peralatan pertanian dimana biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi
tidak habis dalam sekali produksi. Sedangkan modal tidak tetap terdiri dari
benih, pupuk, pestisida, dan upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja.
4. Manajemen. Dalam usahatani, peranan manajemen menjadi sangat penting
dalam mengelola produksi komoditas pertanian, mulai dari perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pengendalian (controlling), dan
evaluasi (evaluation).
berpengaruh kepada aktivitas akar dalam mengambil nutrisi di dalam tanah lebih
sedikit, sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan terhambat dan
mengakibatkan kemampuan kapasitas produksi akan lebih rendah.
Akibat yang ditimbulkan dari penggenangan air maka budidaya padi SRI
dapat diartikan sebagai upaya budidaya tanaman padi yang memperhatikan semua
komponen yang ada di ekosistem baik itu tanah, tanaman, mikro organisme,
makro organisme, udara, sinar matahari, dan air sehingga memberikan
produktivitas yang tinggi serta menghindari berbagai pengaruh negatif bagi
kehidupan komponen tersebut dan memperkuat dukungan untuk terjadinya aliran
energi dan siklus nutrisi secara lengkap (Mutakin 2007)
Persiapan Benih
Benih sebelum disemai di uji dalam larutan air garam. Larutan air garam
yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur,
maka telur akan terapung. Benih yang baik dijadikan benih adalah benih yang
tenggelam dalam larutan tersebut. Kemudian benih yang telah di uji direndam
dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian
disemai pada media tanah dan pupuk organik (1:1) didalam wadah segi empat
ukuran 20 x 20 cm (nampan) selama 7 hari. Setelah umur 7-10 hari benih padi
sudah siap ditanam.
Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah untuk tanaman padi metode SRI tidak berbeda dengan
cara pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvensional yaitu dilakukan untuk
mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhindar dari gulma.
Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor
tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Pemupukan tanah diratakan untuk
mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.
Pemupukan
Pemberian pupuk pada padi SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan
tanah dan penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemaneman.
Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem konvensional
adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan sampai dua musim tanam. Setelah
kondisi tanah membaik maka pupuk organik bisa berkurang disesuaikan dengan
kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan tanah
kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah.
Pemeliharaan
Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus
menerus, cukup dengan kondisi tanah yang basah. Pengenangan dilakukan hanya
untuk mempermudah pemeliharaan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem
padi SRI dapat dilakukan sebagai berikut: padi umur 1-10 hari tanaman padi
digenangi dengan ketinggian air rata-rata 1 cm, kemudian pada umur 10 hari
dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi air.
Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari
menjelang penyiangan tanaman digenangi air. Pada saat tanaman berbunga,
tanaman digenangi air dan setelah padi matang susu tanaman tidak digengangi air
kembali sampai panen. Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak
digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencegahan dan apabila terjadi gangguan
10
hama atau penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan pengendalian
fisik dan mekanik.
Penelitian Terdahulu
penelitian ini yaitu umur, pengalaman beternak, umur panen rata-rata dan dummy
pola usaha ternak sedangkan tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan
dummy status usaha ternak berpengaruh negatif terhadap efisiensi teknis.
13
Analisis Probit
Analisis probit merupakan analisis regresi yang digunakan untuk melihat
pengaruh antar peubah tak bebas dengan peubah bebas. Apabila peubah yang
digunakan merupakan peubah kategori, maka metode regresi yang sesuai yaitu
metode regresi logistik. Model regresi probit merupakan pengembangan dari
model regresi logistik dengan menggunakan fungsi normal kumulatif, sedangkan
pada regresi logistik menggunakan fungsi kumulatif. Istilah probit berasal dari
singkatan probability unit yang dikenalkan oleh Chester Bliss (1930an). Model
probit merupakan model non-linear yang digunakan untuk menganalisis hubungan
antara peubah tak bebas dengan peubah bebas.
Model probit dikembangkan oleh McFadden (1973). Regresi probit
merupakan modifikasi regresi logistik dengan menetapkan persamaan regresi logit
mengikuti distribusi normal. Dengan menggunakan regresi probit maka
dilihat sebagai skor standar Z yang mengikuti distribusi
normal, peluang Y=1 (peluang untuk mendapat skor 1) dinotasikan dengan ,
maka didapatkan :
............................................................(3.1)
Fungsi transformasi dalam model probit adalah fungsi sebaran kumulatif
(CDF) yang memetakan fungsi linear pada selang [0;1] adalah sebagai
berikut:
...........................................................................(3.2)
Persamaan ini didasari pada distribusi normal () dibawah ini sehingga
regresi probit ditunjukkan dengan . Simbol () menunjukkan berlakunya
fungsi invers distribusi normal standar (invers standart normal distribution) dan
(z) adalah fungsi kepekatan peluang.
...................................................(3.3)
Atau dapat diformulasikan:
..............................................(3.4)
Secara umum model probit dapat dinyatakan sebagai berikut:
.....................................................(3.5)
Dengan F merupakan fungsi peluang kumulatif dan Xi adalah peubah bebas
yang bersifat ordinal. Oleh karena model peluang probit berkaitan dengan fungsi
peluang normal kumulatif, maka dapat dituliskan model peluang probit sederhana
sebagai berikut:
...............................................(3.6)
Untuk memperoleh suatu dugaan dari nilai Z, maka dapat digunakan invers
dari fungsi normal kumulatif sehingga diperoleh:
.........................(3.7)
Peluang P yang dihasilkan dari suatu model probit dapat di interpretasikan
sebagai suatu dugaan dari peluang bersyarat bahwa objek pengamatan atau
kelompok akan mengalami suatu kejadian berdasarkan nilai tertentu dari X.
14
..............................................................................(3.8)
dimana y adalah variabel terikat yang merupakan output tunggal dari individu
petani, x adalah variabel bebas yang merupakan faktor-faktor penggunaan
produksi, β0 adalah intersep fungsi produksi, βj adalah parameter dari setiap
faktor produksi ke-j yang digunakan. Notasi i dan j masing-masing menunjukkan
individu petani dan faktor produksi yang digunakan.
Fungsi produksi Cobb Douglass adalah fungsi logaritmik yang sering
digunakan dalam analisis produksi dibidang pertanian. Fungsi produksi Cobb
Douglass dibangun atas dasar asumsi, antara lain; pasar adalah pasar persaingan
sempurna, masing-masing parameter menunjukkan elastisitas produksi yang tetap,
teknologi yang digunakan dalam proses produksi adalah sama, adanya interaksi
antar faktor produksi yang digunakan dan tidak ada pengaruh faktor waktu serta
berlaku untuk kelompok usahatani yang sama dan dianggap sebagai suatu
industri.
Pada Gambar 1, Kondisi suatu usaha yang memiliki dua input produksi
yaitu X1 dan X2 untuk menghasilkan dua output yaitu Y1 dan Y2, dengan asumsi
Constant Returns to Scale (CRS). Pada orientasi input, misalkan perusahaan
berproduksi dengan output Y1 dan Y2 menggunakan kombinasi input pada titik
A. Output yang sama dapat dihasilkan dengan kombinasi input pada titik B yang
terletak digaris isokuan. Titik B menunjukkan bahwa produsen menghasilkan
output yang sama seperti titik A dengan menggunakan jumlah input yang lebih
sedikit. Efisiensi teknis (TE) dengan orientasi input didapatkan melalui rasio
OB/OA. Namun kombinasi input yang paling minimum dengan output yang sama
dapat juga dicapai pada titik C (dimana marginal rate of technical subtitution
sama dengan rasio harga input W2/W1). Titik B adalah efisien secara teknis tapi
tidak efisien secara alokatif, karena produsen B memproduksi dengan biaya yang
lebih tinggi dibandingkan C. Efisiensi alokatif (AE) untuk produsen yang
berproduksi di A adalah OD/OB dimana DB menggambarkan pengurangan dalam
biaya produksi terjadi bila produksi terjadi di titik C yang efisien secara teknis dan
alokatif. Efisiensi ekonomi (EE) didapatkan melalui perkalian efisiensi teknis
dengan alokatif sebagai berikut : EE = TE x AE = OB/OA x OD/OB = OD/OA.
17
Nilai efisiensi berada antara nol dan satu. Produsen efisien secara penuh apabila
nilai efisiensinya sama dengan satu.
Pada Gambar 2, menjelaskan pengukuran berorientasi output dengan
menggunakan kurva kemungkinan produksi (production possibility frontier/PPF)
dengan input tertentu. Apabila input yang digunakan perusahaan secara efisien,
maka output yang tadinya berada di titik A dapat bergeser menjadi titik B,
sehingga efisiensi teknis dengan orientasi output adalah OA/OB. Titik B
merupakan pada saat efisien secara teknis karena terletak padda kurva PPF,
namun pendapatan yang lebih tinggi dapat dicapai pada apabila berproduksi pada
titik C (titik dimana marginal rate of transformation sama dengan rasio harga
P2/P1) sehingga Y1 akan diproduksi lebih banyak dan Y2 akan diproduksi lebih
sedikit untuk memaksimalkan pendapatan. Untuk mendapatkan pendapatan yang
sama dengan titik C dengan kombinasi input dan output yang sama, maka
perusahaan perlu meningkatkan output menjadi titik D. Sehingga efisiensi alokatif
adalah OB/OD. Efisiensi ekonomi dapat diukur dengan cara yang sama pada
orientasi input sehingga dihasilkan OA/OD (Coelli et al. 1998). Nilai efisiensi
teknis, alokatif dan ekonomi bervariasi antara nol dan satu, jika nilai efisiensinya
sama dengan satu menunjukkan petani telah efisien secara teknis, alokatif atau
ekonomi.
Efisiensi Produksi
Efisiensi produksi sesuai dengan prinsip dasar ilmu ekonomi bahwa dengan
input produksi tertentu akan dapat dihasilkan output semaksimal mungkin atau
untuk dapat memproduksi output tertentu dengan input dan biaya seminimal
mungkin. Jika prinsip efisiensi produksi tersebut diterapkan dalam suatu produksi
komoditas pertanian maka petani akan berupaya mencapai suatu efisiensi dlam
menggunakan input produski. Apabila petani dapat mengalokasikan sumberdaya
secara efisien maka akan terdapat tambahan kontribusi sektor pertanian,
sebaliknya apabila petani tidak mengalokasikan input produksi secara efisien akan
terdapat potensi yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan
pendapatan usahatani dan menciptakan surplus. Oleh karena itu, efisiensi
penggunaan sumberdaya merupakan hal penting yang menentukan eksistensi
berbagai peluang di sektor pertanian dan terkait dengan potensi kontribusinya
terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rumatangga tani
(Weesink et al. 1990).
Efisiensi produksi terdiri dari komponen teknis dan alokatif. Efisiensi teknis
(technical efficiency/TE) merupakan kemampuan suatu unit usaha untuk
berproduksi sepanjang kurva isokuan yaitu menghasilkan output seoptimal
mungkin dengan kombinasi input dan teknologi tertentu. Efisiensi alokatif
(allocative efficiency/AE) merefleksikan kemampuan suatu unit usaha
menggunakan input dalam proporsi yang optimal, sesuai dengan harganya
masing-masing dan teknologi produksi. Kedua pengukuran ini kemudian
digabungkan untuk mengukur total efisiensi ekonomi (Farrell 1957).
ada atau dengan menggunakan input yang lebih sedikit dengan teknologi yang
sama akan menghasilkan output yang sama. Sehingga efisiensi teknis merupakan
menggunakan input seminimal mungkin atau menghasilkan output sebanyak
mungkin. Produsen secara teknis akan efisien apabila peningkatan outputnya
didapatkan melalui penguarangan setidaknya satu output lainnya atau peningkatan
setidaknya satu input lainnya atau penurunan setidaknya satu output. Oleh karena
itu, produsen secara teknis efisien akan mampu memproduksi output
menggunakan input yang sama akan mampu memproduksi setidaknya satu output
yang lebih banyak.
Efisiensi teknis berhubungan dengan kemampuan suatu perusahaan untuk
berproduksi pada kurva frontier isokuan. Efisieni teknis menunjuk pada
kemampuan untuk meminimalisasi penggunaan input dalam produksi sebuah
vektor output tertentu atau kemampuan untuk mencapai output maksimum dari
suatu vektor input tertentu. Seorang petani secara teknis dikatakan lebih efisien
dibandingkan dengan petani lainnya jika penggunaan jenis dan jumlah input yang
sama menghasilkan output secara fisik yang lebih tinggi (Kumbhakar 2002).
Battese dan Coelli (1995), menyatakan bahwa Efisiensi teknis diasosiasikan
dengan tujuan prilaku untuk memaksimalkan output. Petani disebut efisien secara
teknis apabila telah berproduksi pada tingkat batas produksinya dimana hal ini
tidak selalu dapat diaraih karena berbagai faktor seperti cuaca yang buruk, adanya
binatang yang merusak atau faktor-faktor lain yang menyebabkan produksi berada
di bawah batas yang diharapkan.
Efisiensi Ekonomi
Efisiensi ekonomi terdiri dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Efisiensi
teknis mengacu kepada upaya menghindari pemborosan baik dikarenakan
memproduksi output sebanyak mungkin dengan penggunaan teknologi dan input
tersedia atau menggunakan input seminimal mungkin yang dibutuhkan untuk
memproduksi suatu output. Efisiensi teknis untuk itu dapat dilihat dari sisi
meminimalkan input dan meningkatkan output. Produsen yang efisien secara
teknis dapat memproduksi sejumlah output yang sama dengan menggunakan
setidaknya salah satu input yang lebih sedikit atau dapat menggunakan input yang
sama untuk memproduksi setidaknya salah satu output yang lebih banyak.
Pengukuran efisiensi teknis penting karena dapat mengurangi biaya produksi dan
membuat produsen lebih kompetitif (Alvarez dan Arias 2004).
19
Efisiensi teknis petani individual dapat dihitung, yakni ratio output yang
diamati (observed output) terhadap output frontirnya pada tingkat penggunaan
input tertentu (given). Dengan demikian, efisiensi teknis petani i dalam konteks
fungsi produksi frontir stokastik (3.9) adalah sama seperti model frontir
deterministik yang dirumuskan pada berikut ini :
TEi = Yi/Yi*............................................................................................(3.10)
TEi = f(xi;β) exp(vi - ui) / f(xi;β) exp(vi)................................................(3.11)
TEi = exp (-ui).........................................................................................(3.12)
Meskipun efisiensi teknis dari petani produsen berhubungan dengan
deterministik dan sama dengan model frontir stokastik, namun perlu diingat
bahwa kedua model ini memiliki perbedaan nilai. Gambar 3 dengan jelas
menunjukkan efisiensi teknis petani j bahwa model frontir stokastik berada jauh
dibawah frontir deterministik yang ditunjukkan oleh Yj/Yj* > Yj/(xj ; β). Dengan
demikian, petani j dinilai secara teknis relatif lebih efisien pada kondisi yang
kurang mendunkung dengan aktivitas produktif vj < 0 jika efisiensi produksi
maksimum dihubungkan dengan nilai fungsi deterministik f(xi ; β). Sedangkan
petani produsen i dikatakan relatif kurang efisiens secara teknis pada kondisi yang
mendukung jika dihubungkan dengan nilai fungsi deterministik f(xi ; β).
Pada model stochastic frontier diestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi, efisiensi teknis dan inefisiensi teknis. Pada dasarnya, proses estimasi
21
dilakukan melalui dua tahap. Pada tahap pertama menggunakan metode ordinary
least square (OLS) untuk menduga parameter teknologi dan input-input produksi
(βj), intersep (β0), dan varians kedua komponen kesalahan vi dan ui (σv2 dan σu2).
Namun, dengan software frontier 4.1, estimasi dilakukan satu kali dengan
menghasilkan dua estimasi, yakni hasil OLS dan MLE.
Keunggulan pendekatan stochastic frontier adalah dilibatkannya
disturbance term yang mewakili gangguan, kesalahan pengukuran dan kejutan
eksogen yang berada di luar kontrol unit produksi atau di luar kontrol petani.
Sedangkan kelemahan dari pendekatan ini adalah: 1) teknologi yang dianalisis
harus digambarkan oleh struktur yang cukup rumit atau besar, 2) distribusi dari
simpangan satu sisi dispesifikasi sebelum mengestimasi model, 3) struktur
tambahan harus dikenakan terhadap distribusi inefisiensi teknis, dan 4) sulit
diterapkan untuk usahatani yang memiliki lebih dari satu output.
F1
y1
F0
y0
O
X0 X
Sumber : Coelli et al. (1998)
Gambar 4 Peubahan Teknis antara Dua Periode
Konsep Pendapatan
Analisis pendapatan digunakan untuk melihat manfaat atau keuntungan dari
suatu usaha, sehingga dapat dinilai tingkat kelayakan usaha tersebut. Kriteria
analisis pendapatan bertitik tolak pada prinsip bahwa efisiensi suatu usaha sangat
dipengaruhi oleh nilai input yang digunakan dalam nilai output yang dihasilkan
dengan proses produksi.
Menurut Soekartawi (1995) penerimaan usahatani adalah perkalian antara
produksi dengan harga jual, biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang
dipergunakan dalam suatu usahatani. Sedangkan yang dimaksud dengan
pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Analisis
pendapatan usahatani sangat bermanfaat bagi petani untuk mengukur tingkat
keberhasilan dari usahataninya.
Hermanto (1989) mengungkapkan bahwa biaya produksi dalam usahatani
dapat dibedakan :
1. Berdasarkan jumlah output yang dihasilkan terdiri dari:
a. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada
besar kecilnya produksi.
b. Biaya variabel adalah biaya yang berhubungan langsung dengan
jumlah produksi
2. Berdasarkan yang langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri dari:
a. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai
23
Faktor Adopsi :
- Luas lahan
- Pendapatan non usahatani
TEKNOLOGI SRI - Pengalaman
- Lama menjadi anggota
kelompok tani
- Pendidikan formal
Alokasi Penggunaan Biaya Produksi - Frekuensi penyuluhan
Input Produksi
- Umur petani
Pendapatan - Tingkat pendidikan
- Status lahan
- Status usahatanu
- Penyuluhan
- Jumlah anggota keluarga
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan persoalan penelitian dan konsep teori maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diduga bahwa adopsi teknologi SRI pada usahatani meningkatkan biaya
produksi dan pendapatan petani padi.
2. Diduga bahwa komposisi faktor produksi dan tingkat efisiensi usahatani padi
SRI lebih tinggi dari pada usahatani non SRI, dan faktor yang mempengaruhi
efisiensi adalah umur, tingkat pendidikan, status lahan, status usahatani,
penyuluhan dan jumlah anggota keluarga.
3. Diduga bahwa adopsi teknologi SRI dipengaruhi oleh faktor luas lahan,
pendapatan non usahatani, pengalaman usahatani, lama menjadi anggota
kelompok tani, pendidikan formal dan frekuensi penyuluhan.
26
4 METODE PENELITIAN
................................(4.1)
Dimana :
Yi : Keputusan petani mengikuti program (1=mengikuti program SRI;
0=tidak mengikuti program SRI).
β : konstanta
X1 : umur petani padi (tahun)
X2 : luas lahan (Ha)
X3 : pendapatan non usahatani (Rp)
X4 : pengalaman usahatani padi (tahun)
X5 : lama menjadi anggota kelompok tani (tahun)
X6 : pendidikan formal (tahun)
X7 : frekuensi penyuluhan (kali/tahun)
tanda parameter yang diharapkan : β2, β4, β5, β6 ,β7 > 0 dan β1, β3 < 0
Itotal = NP – (BT+BD).....................................................................(4.3)
Dimana :
Itunai = Tingkat pendapatan bersih tunai
Itotal = tingkat pendapatan bersih total
NP = Nilai produk (hasil perkalian jumlah output dengan harga)
BT = Biaya tunai
BD = Biaya diperhitungkan
Analisis pendapatan usahatani selalu disertai dengan pengukuran efisiensi
pendapatan usahatani. Untuk mengetahui efisiensi suatu usahatani terhadap
penggunaan satu unit input dapat digambarkan oleh nilai rasio penerimaan dan
biaya yang merupakan perbandigan antara penerimaan kotor yang diterima
usahatani dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi atau yang
biasa dikenal dengan analisis imbangan penerimaan dan biaya atau analisis R/C
ratio. Perhitungan R/C ratio dapat dirumuskan sebagai berikut:
R/C ratio atas biaya tunai = = .............(4.4)
dimana:
Yij = vektor produksi padi (j=1 untuk produksi padi SRI, j=2 untuk produksi
padi non SRI) (kg)
X1 = luas lahan (ha)
X2 = jumlah benih (kg)
X3 = jumlah pupuk Urea (kg)
29
……………………………………………….………...(4.13)
…………………………………………….….…......(4.14)
………………………………….……..(4.16)
…………………………………………(4.17)
………………………………………………(4.18)
Dari persamaan (4.16) dan (4.17) dapat dicari nilai x1 dan x2 (expansion
path) yaitu:
……...…………………………….....(4.20)
….………...……….……………..…....(4.21)
Dari persamaan (4.19) maka fungsi permintaan input untuk x1 dan x2 dapat
ditentukan yaitu:
.……...……….……………..………....(4.22)
.……...……….……………..………....(4.23)
Untuk mendapatkan fungsi biaya dual frontier maka persamaan (4.22) dan
(4.23) disubstitusikan ke dalam persamaan (4.14) yaitu:
+ ….. (4.24)
…………………………...……………...(4.25)
keterangan:
EE bernilai 0≤ EE ≤ 1
………………………………………………………………(4.26)
keterangan:
EA bernilai 0 ≤ EA ≤ 1.
Umur responden
Umur petani merupakan salah satu faktor yang berkaitan erat dengan
kemampuan petani dalam melakukan kegiatan usahatani. Umumnya petani yang
lebih tua cenderung sangat konservatif dan kurang responsif terhadap perubahan
inovasi teknologi (Soekartawi 1999). Sebaran umur petani pada penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 1.
Apabila dilihat dari tingkatan umur, SRI lebih banyak diterapkan oleh
petani yang berumur lebih muda, hal ini dapat ditunjukkan oleh persentase petani
berumur dibawah 40 tahun, pada petani SRI lebih tinggi dibanding dengan non
SRI. Pada petani SRI persentase umur dibawah 40 tahun sebesar 50 persen dan
pada petani non SRI persentase dengan umur yang sama sebesar 46.67 persen.
Hasil analisis menunjukkan bahwa petani SRI dan non SRI sebagian besar berada
pada golongan usia produktif. Petani responden SRI memiliki umur minimum 25
tahun dan umur maksimum 63 tahun dengan rata-rata umur petani SRI adalah
41.92 tahun. Sedangkan pada petani non SRI umur minimumnya 25 tahun dan
umur maksimum 65 tahun dengan rata-rata umur petani non SRI adalah 43.80
tahun.
Tingkat pendidikan
Pendidikan dapat digolongkan menjadi 2 yaitu pendidikan formal dan
pendidikan non formal. Dengan pendidikan seseorang mampu mendapatkan
informasi dan inovasi teknologi baru selain itu juga mampu merubah sikap,
perilaku dan pola pikir. Tingkat pendidikan yang dianalisis dalam penelitian ini
adalah tingkat pendidikan formal petani. Menurut Soekartawi (1999), tingkat
pendidikan formal yang diikuti oleh petani akan berpengaruh terhadap tingkat
34
Pengalaman petani
Pengalaman seseorang dalam berusahatani berpengaruh terhadap respon
dalam menerima teknologi dan inovasi baru (Soekartawi 1999). Semakin banyak
pengalaman petani maka petani tersebut akan semakin terampil dalam melakukan
usahatani serta terampil dalam memilih teknologi yang tepat guna.
Jika ditinjau dari segi pengalaman petani didalam usahatani padi, rata-rata
pengalaman petani SRI lebih rendah dari pada petani yang non SRI, petani SRI
memiliki pengalaman rata-rata sebesar 15.37 tahun sementara petani non SRI
memiliki pengalaman sebesar 19.93 tahun. Mayoritas pengalaman petani SRI
berada pada tingkatan 1-10 tahun yakni sebesar 36.67 persen dan sementara
pengalaman petani non SRI berada tingkatan 11-20 tahun yakni bernilai sebesar
50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani non SRI memiliki pengalaman yang
cukup lama jika dibandingkan dengan petani SRI. Cukup lamanya pengalaman
petani diharapkan mampu menerima dan memilih inovasi atau teknologi yang
sesuai dan tepat untuk digunakan pada usahataninya. Akan tetapi pada kenyataan,
petani dengan pengalaman yang lebih lama masih menerapkan usahatani yang
tradisional berdasarkan pengalaman usahataninya yang dilakukan selama ini.
35
dan petani non SRI sebagian besar merupakan lahan milik sendiri, besarnya
berturut-turut yaitu 86.67 persen dan 83.33 persen. Lahan milik sendiri pada
responden penelitian sebagian besar merupakan lahan milik yang berasal dari
warisan nenek moyang petani.
wadah bagi petani untuk mendapatkan subsidi pupuk yang diberikan pemerintah.
Pupuk yang di subsidi pemerintah disalurkan melalui kelompok tani dan atau
gabungan dari beberapa kelompok tani (Gapoktan), sehingga bagi petani yang
tidak ikut dalam keanggotaan kelompok tani akan sulit untuk mendapatkan pupuk
dan harga beli yang sangat tinggi.
Rata-rata kelompok tani yang ada di daerah penelitian sangatlah aktif,
pertemuan anggota kelompok dilakukan 1 kali 15 hari atau dalam satu bulan
pertemuan anggota kelompok dilakukan 2 kali. Selain pertemuan antar anggota
kelompok tani, juga di adakan pertemuan antara anggota kelompok dengan
penyuluh pertanian setempat yang telah di tunjuk oleh pemerintah daerah.
Kegiatan penyuluhan rata-rata dilakukan sebanyak 8 kali selama musim tanam,
dan materi yang disampaikan penyuluh terkait dengan usahatani padi yang
dimulai dari persiapan lahan dan benih hingga proses panen yang akan datang.
Persiapan lahan
Hal yang pertama dilakukan petani responden sebelum melakukan
penanaman padi adalah melakukan persiapan lahan. Persiapan lahan yang
diperlukan untuk mendapatkan media tumbuh tanaman padi baik dengan metode
tanam padi SRI maupun metode non SRI yaitu pengolahan tanah, pembuatan parit
dan pembuatan petakan sawah. Pengolahan tanah sebaiknya dilakukan 3 – 15 hari
sebelum penanaman. Tanah dibajak sedalam 25 – 30 cm dengan menggunakan
traktor besar sambil membenamkan sisa-sisa tanaman musim tanam sebelumnya
dan rumput-rumputan, kemudian digemburkan kembali dengan menggunakan
traktor besar, lalu diratakan sebaik mungkin sehingga saat diberikan air
ketinggiannya dipetakan sawah akan merata. Setelah tanah sawah diratakan, untuk
mencukupi unsur hara ditanah sawah, petani responden memberikan asupan bahan
organik seperti pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan, limbah organik,
dan jerami yang telah diolah terlebih dahulu.
Pembuatan parit atau labuh air dibuat sesuai kebutuhan, pembuatan parit
biasanya dibuat di antara tanaman padi agar kebutuhan air tercukupi tanpa
membuat tanaman padi terendam air. Selain itu pembuatan parit juga bertujuan
untuk menekan perkembangan keong sawah agar tidak mengganggu dan
memakan tanaman padi. Selanjutnya persiapan lahan yang dilakukan oleh petani
responden adalah pembuatan petakan sawah. Pembuatan petakan sawah oleh
petani bertujuan untuk mengatur jarak tanam antara tanaman padi yang akan
ditanam, biasanya petani membuat jarak atau petak sawah berukuran antara 25 x
38
25 cm sampai dengan jarak 30 x 30 cm, ini sesuai dengan yang dianjurkan oleh
tenaga penyuluh pertanian yang bertugas didaerah penelitian.
Persemaian benih
Input yang terpenting dalam mengusahakan usahatani padi adalah benih
padi. Benih yang dipilih oleh petani responden dengan mempertimbangkan
varietas benih, kualitas benih, label benih serta jumlah dan perlakuan benih.
Varietas benih yang paling banyak digunakan petani responden adalah varietas
junjungan, anak daro, bakwan, ganda pulau, dan pb 42, yang semua ini adalah
varietas unggul lokal yang telah disertifikasi oleh BPSB (Badan Pengawasan
Sertifikasi Benih) Arosoka Solok. Persemaian benih dilakukan dengan cara kering
atau tidak digenang dan dilakukan penyiraman setiap harinya sampai benih
berumur 15 – 20 hari . Petani responden melakukan persemaian benih dengan
memanfaatkan perkarangan rumah. Tanah perkarangan dilapisi plastik dan diisi
dengan tanah atau kompos lalu benih ditabur keatas media persemaian, tujuan
dilapisi plastik supaya akar padi tidak tembus ke tanah perkarangan sehingga
mudah pada saat pindah tanam dari persemaian.
Penanaman
Penanaman merupakan salah satu proses budidaya yang penting dilakukan.
Pada umumnya petani responden padi SRI maupun petani padi non SRI sangat
berbeda dari segi metode penanaman. Standar penanaman padi oleh petani SRI
yaitu menggunakan bibit muda yang berumur 15 – 20 hari setelah semai, satu
lubang di isi dengan 1 – 3 bibit, bibit ditanam dengan kedalaman maksimal 1 cm
dengan perakaran saat penanaman seperti huruf “L”, dengan jarak tanam antar
rumpun sekitar 25 – 30 cm, ditanam dengan sistem jajar legowo, dan pada saat
penanaman tidak tergenang air. Sedangkan pada petani non SRI, bibit yang
ditanam berumur 21 hari setelah semai atau lebih, satu lubangnya di isi dengan 10
– 15 bibit, dan kedalaman tanam tidak beraturan, jarak tanam sekitar 20 – 25 cm
bahkan ada juga yang tidak mempunyai jarak tanam yang teratur, dan tidak
memakai sistem jajar legowo.
Penyiangan
Penyiangan yang dilakukan oleh petani SRI dan non SRI relatif sama, yang
mana bertujuan untuk membersihkan gulma disawah agar tidak mengganggu
pertumbuhan tanaman padi dan tidak terjadi persaingan dalam mendapatkan unsur
hara dalam tanah. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman padi berusia 30 – 35
hari setelah tanam. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut gulma atau
tanaman hama dengan tangan tanpa menggunakan bantuan alat. Dalam
penyiangan ada juga petani responden yang tidak melakukan penyiangan.
Penyiangan tidak dilakukan karena menurut petani responden tidak ada gulma
atau tanaman hama disawahnya.
39
Pemupukan
Pada umumnya pemupukan tanaman padi SRI dan non SRI pada petani
responden penelitian dilakukan sebanyak 2 kali. Pupuk yang diberikan pada
tanaman padi SRI dan non SRI dalam bentuk pupuk padat yaitu pupuk organik
dan pupuk anorganik. Pupuk yang paling banyak digunakan adalah pupuk organik
yaitu sebanyak 2 -5 ton per hektar. Pemupukan pertama dilakukan sebelum proses
penanaman dilakukan. Kemudian pemupukan kedua dilakukan pada saat kisaran
umur tanaman padi 15 – 30 hari setelah tanam. Jenis pupuk anorganik yang
digunakan oleh petani SRI dan non SRI sama yaitu pupuk urea dan pupuk
phonska (NPK), namun dari segi dosis dan jumlah pemakaian terdapat perbedaan
antara petani SRI dan non SRI. Petani SRI lebih cenderung mengikuti saran
pemakaian pupuk anorganik oleh tenaga penyuluh pertanian dari pada petani non
SRI.
Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman padi baik pada petani SRI dan non SRI secara umum
sama. Pemeliharaan tanaman padi dilakukan dengan penyiangan untuk
membersihkan tanaman pengganggu yang berada disekitar tanaman padi. Namun
dari segi jumlah atau frekuensi penyiangan terdapat perbedaan antara petani SRI
dan non SRI, petani SRI cenderung melakukan penyiangan 2 kali selama satu
musim tanam yaitu pada saat tanaman berumur 15 – 20 hari setelah tanam dan
pada saat tanaman berumur 30 – 45 hari setelah tanam, sedangkan pada petani non
SRI penyiangan hanya dilakukan selama 1 kali selama satu musim tanam yaitu
pada umur 20 - 30 hari setelah tanam. Selama proses penyiangan, petani SRI dan
non SRI juga melakukan pembuatan pengairan, agar batang tanaman padi tidak
terendam oleh air, karena tanaman padi bukan tanaman air.
Selain dari proses penyiangan dan pembuatan pegairan pada sawah, petani
juga melakukan penyemprotan pestisida pada tanaman padi, agar hama yang
terdapat disekitar tanaman padi mati dan berkurang populasinya. Jenis pestisida
yang digunakan petani SRI dan non SRI sama, yaitu berjenis Ripcord dan Copa.
Penyemprotan hanya dilakukan sekali selama musim tanam.
mungkin dilakukan pengeringan sampai gabah siap untuk digiling, jika terlambat
maka akan menyebabkan tumbuhnya jamur dan bahkan gabah akan berkecambah.
Penggunaan input produksi usahatani padi berbasis SRI dan non SRI yang
berbeda akan berpengaruh pada produktivitas yang dihasilkan. Input produksi
usahatani padi didaerah penelitian antara lain lahan, benih, pupuk ponska (NPK),
pupuk urea, pupuk organik, dan tenaga kerja. Rata-rata penggunaan input dan
produksi usahatani padi dapat dilihat pada Tabel 7.
Hasil uji stastistik pada Tabel 7 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang nyata baik dalam penggunaan input maupun produktivitas antara petani yang
menerapkan SRI dan petani yang tidak menerapkan SRI. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa penerapan program SRI mempengaruhi alokasi penggunaan
input. Rata-rata penggunaan input produksi pada petani yang menerapkan SRI
didaerah penelitian cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan petani yang
tidak menerapkan SRI pada usahatani padinya.
Tabel 7. Rata-rata penggunaan input dan produktivitas per hektar pada usahatani
padi dengan penerapan SRI dan non SRI di Kabupaten Solok Selatan
Penggunaan Input
Uraian t-test prob
SRI Non SRI
1. Input :
Benih (kg) 32.12 96.67 5.97 0.000
Pupuk ponska (kg) 36.68 34.32 4.07 0.000
Pupuk urea (kg) 60.60 95.69 3.20 0.001
Pupuk organik (kg) 1 046.18 339.48 7.97 0.000
Tenaga kerja (HOK) 26.31 48.55 1.72 0.044
2. Produktivitas (kg) 3 927.48 3 402.92 5.82 0.000
Penggunaan lahan petani padi yang menerapkan SRI jauh lebih besar dari
pada petani yang tidak menerapkan SRI. Rata-rata penggunaan lahan petani yang
menerapkan SRI sebesar 0.56 ha sedangkan petani yang tidak menerapkan SRI
hanya sebesar 0.27 ha, ini bernilai setengah dari jumlah pemakaian lahan pada
petani padi SRI. Jika dilihat dari segi variabel benih, terdapat perbedaan yang
sangat nyata antara pemakaian benih pada petani yang menerapkan SRI dengan
petani yang tidak menerapkan SRI. Hal ini karena petani padi SRI sebagian besar
telah menggunakan dosis benih sesuai dengan anjuran yang ditetapkan. Selain itu
dari varietas dan mutu yang digunakan juga sangat berbeda antara kedua jenis
petani. Petani padi SRI seluruhnya menggunakan benih yang telah bersetifikat,
sedangkan petani padi non SRI sebagian ada yang menggunakan benih yang
bersetifikat dan sebagian masih menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya.
Jika dilihat dari nilai rata-rata penggunaan benih baik petani padi SRI dan petani
non SRI, masih melebihi anjuran benih yang seharusnya digunakan. Efektifnya
satu hektar lahan hanya membutuhkan 10 kg benih per hektarnya. Lebihnya
penggunaan benih dari dosis yang dianjurkan disebabkan oleh beberapa petani
yang takut akan serangan hama keong sawah dan ada beberapa petani yang
41
melakukan penyulaman untuk tanaman yang mati dan habis dimakan oleh hama
sehingga membutuhkan benih yang lebih banyak.
Petani padi SRI semuanya telah menggunakan benih unggul dan bersetifikat
yang sebelumnya telah diteliti oleh Badan Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB)
Arosoka Solok seperti Junjung, Ganda pulau, Anak daro, PB 42, Redek dan
Sokan. Sedangkan pada petani non SRI sebagian besar menggunakan benih lokal
yang merupakan benih hasil dari panen sebelumnya yang tentunya mempunyai
kualitas yang kurang bagus dan memiliki daya hasil yang relatif rendah. Jenis
benih lokal yang digunakan petani non SRI didaerah penelitian yaitu IR 46,
Bakwan, Batang pasaman, Batang sungkai, Ganda pulau, dan Junjung yang
kesemua ini merupakan benih tanpa diperiksa oleh BPSB. Semua petani telah
mengetahui keuntungan pemakaian benih unggul dan bersetifikat, namun banyak
petani yang mengabaikannya karena terkait dengan kondisi perekonomian dari
petani tersebut. Benih dengan varietas unggul cenderung lebih mahal dari pada
benih lokal yang biasanya didapatkan oleh petani non SRI.
Pupuk yang digunakan oleh petani padi SRI dan petani non SRI pada daerah
penelitian berupa pupuk anorganik dan pupuk organik. Jenis pupuk anorganik
yang digunakan yaitu pupuk urea dan pupuk ponska (NPK). Umumnya petani
hanya menggunakan dua macam pupuk tersebut, hal ini disebabkan karena
ketersediaan pupuk pada daerah penelitian yang sangat sulit untuk didapatkan
oleh petani responden. Sedangkan pupuk organik yang digunakan berasal dari
kotoran ternak sapi, ternak kambing, dan jerami padi yang sebelumnya telah
diolah oleh kelompok tani ternak yang berada pada daerah penelitian. Penggunaan
pupuk organik berguna untuk melengkapi unsur hara pada tanah sawah, selain itu
juga berguna untuk menggemburkan tanah sawah pada saat pengolahan lahan.
Dosis penggunaan pupuk yang dipakai oleh petani responden relatif beragam.
Dosis pemakaian pupuk berdasarkan tingkat kesuburan tanah yang diolah oleh
petani responden dan juga tergantung dari keuangan dari rumahtangga petani
responden.
Rata-rata pemakaian pupuk anorganik oleh petani padi SRI sebesar 36.68
kg/ha pupuk ponska dan 60.60 kg/ha pupuk urea sedangkan pada petani padi non
SRI sebesar 34.32 kg/ha pupuk ponska dan 95.69 kg/ha pupuk urea. Sebagian
besar pupuk anorganik yang digunakan oleh petani padi SRI adalah pupuk yang
berasal dari subsidi pemerintah. Pupuk yang disubsidi pemerintah biasanya ada
ketika awal musim tanam. Kelompok tani yang didampingi oleh tenaga penyuluh
pertanian membuat pengajuan rencana definit kebutuhan kelompok (RDKK)
sebagai syarat untuk mendapatkan pupuk yang bersubsidi. Pupuk bersubsidi
disalurkan melalui distributor pupuk yang sebelumnya telah disepakati oleh
pemerintah. Petani responden yang merupakan anggota kelompok tani secara
otomatis terdaftar sebagai petani penerima pupuk subsidi oleh pemerintah. Petani
padi non SRI yang tidak tergabung sebagai anggota kelompok tidak bisa
memperoleh pupuk yang bersubsidi dan bisa mendapatkan harga pupuk bersubsidi
jika petani tersebut terdaftar sebagai kelompok tani yang mengajukan RDKK
sebelum memasuki awal musim tanam padi. Harga pupuk anorganik nonsubsidi
harga sangat mahal dan pupuk non subsidi juga sulit untuk didapatkan, sehingga
akan sulit bagi petani padi non SRI untuk mendapatkan pupuk untuk usahatani
padinya.
42
Petani padi SRI dan non SRI juga menggunakan pupuk organik atau pupuk
kandang sebagai input produksinya. Pemakaian pupuk organik antara petani padi
SRI dan non SRI sangat berbeda besarannya. Petani padi SRI rata-rata
pemakaiannya sebesar 1 046.18 kg/ha lebih tinggi jika dibandingkan dengan
petani padi non SRI rata-rata pemakaiannya sebesar 339.48 kg/ha. Tingginya
pemakaian pupuk organik pada petani padi SRI ini dikarenakan adanya anjuran
dari penyuluh pertanian lapangan. Pemakaian pupuk organik pada usahatani padi
berbasis SRI merupakan komponen penerapan SRI yang harus dilakukan oleh
petani responden. Sehingga pemakaian pupuk organik pada petani padi SRI jauh
lebih besar dari pada petani padi non SRI.
Tenaga kerja yang digunakan pada usahatani padi terdiri dari tenaga kerja
pria dan tenaga kerja wanita. Sumber tenaga kerja berasal dari tenaga kerja dalam
keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Tenaga kerja dihitung
berdasarkan hari orang kerja (HOK). Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada
usahatani padi SRI relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan penggunaan
tenaga kerja pada usahatani padi non SRI, yang besarnya berturut-turut adalah
26.31 HOK/ha dan 48.55 HOK/ha. Rendahnya penggunaan tenaga kerja pada
usahatani padi berbasis SRI ini disebabkan oleh adanya efisiensi tenaga kerja
dalam proses persemaian benih, penanaman, penyiangan, dan pemeliharaan pada
usahatani. Sebaliknya, penggunaan tenaga kerja yang tinggi pada usahatani padi
non SRI disebabkan belum efisiennya penggunaan tenaga kerja pada proses
persemaian benih, proses penanaman dan pemeliharaan pada usahatani. Pada
usahatani padi lebih banyak menggunakan tenaga kerja wanita dari pada tenaga
kerja pria. Tenaga kerja wanita digunakan pada saat proses seleksi benih,
persemaian benih, penanaman bibit, penyiangan, pemupukan dan penyulaman.
Tenaga kerja pria hanya digunakan pada saat pengolahan lahan, penyemprotan,
pemupukan dan panen.
Umur panen padi didaerah penelitian sangatlah beragam antar petani. Umur
panen berkisar antara 100 – 120 hari. Umur panen tergantung pada cuaca dan
iklim. Padi lebih cepat dipanen ketika pada saat musim kemarau, karena
disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang banyak dari pada musim hujan.
Ditinjau dari tingkat produktivitas, rata-rata produktivitas padi yang dihasilkan
oleh petani padi SRI lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani padi non SRI.
Produktivitas padi yang dihasilkan oleh petani padi SRI adalah 3927.48 kg/ha
gabah kering giling (GKG), sedangkan produktivitas padi yang dihasilkan petani
non SRI adalah 3402.92 kg/ha gabah kering giling (GKG). Jika dilihat dari
produktivitas antar petani padi SRI sangatlah beragam. Perbedaan produktivitas
ini lebih ditentukan oleh perbedaan lingkungan biofisik atau kesuburan tanah yang
mempengaruhi penggunaan input produksi. Begitu pula pada petani padi non SRI,
antar petani padi non SRI juga mempunyai produktivitas yang beragam, ini juga
disebabkan oleh perbedaan lingkungan biofisik atau kesuburan tanah sehingga
akan mempengaruhi tingkat produksi yang dihasilkan.
nilai input yang digunakan dalam nilai output yang dihasilkan dengan proses
produksi. Semakin tinggi pendapatan petani maka kegiatan usahatani tersebut
semakin menguntungkan. Penerimaan usahatani padi merupakan hasil perkalian
jumlah produksi padi dengan harga padi persatuan unit produksi.
Rata-rata penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani padi di Kabupaten
Solok Selatan dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil analisis menunjukkan bahwa
dengan penerapan program SRI pada usahatani padi didaerah penelitian
cenderung mengurangi komponen biaya. Biaya yang dikeluarkan pada usahatani
padi SRI relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan usahatani padi non SRI.
Pengurangan biaya disebabkan oleh penggunaan beberapa input yang cenderung
berkurang seperti pada biaya benih, biaya pupuk ponska, sewa traktor, sewa lahan
dan biaya tenaga kerja luar keluarga. Hal ini disebabkan oleh penerapan sistem
tanam baru, pemupukan yang sesuai dengan rekomendasi dan pemeliharaan
tanaman yang insentif sehingga membutuhkan curahan waktu dan tenaga kerja
yang lebih sedikit.
Tabel 8. Rata-rata penerimaan, biaya, dan pendapatan usahatani padi per hektar di
Kabupaten Solok Selatan
SRI Non SRI
Uraian
Nilai (Rp) % Nilai (Rp) %
B. Biaya
B1. Biaya Tunai
Sewa lahan 681 391.15 16.56 816 449 13.26
Benih 347 832.60 8.46 964 689 15.67
Pupuk urea 109 400.26 2.66 239 235 3.89
Pupuk ponska (NPK) 84 624.72 2.06 137 268 2.23
Pupuk organik 734 916.99 17.87 271 584 4.41
Sewa traktor 723 218.66 17.58 1 258 905 20.45
Pajak 34 094 0.83 58 671 0.95
Tenaga kerja luar keluarga 1 188 799.20 28.90 2 000 487.38 32.50
B2. Biaya Tidak Tunai
Tenaga kerja dalam 112 099.17 2.73 184 455.72 3.00
keluarga
C. Pendapatan
Pendapatan Atas Biaya Tunai 10 530 151.83 6 619 962.73
Pendapatan Atas Biaya Total 10 418 052.67 6 435 507.01
Keterangan : a = nyata pada taraf 1 persen; b = nyata pada taraf 5 persen; c = nyata pada
taraf 10 persen; d = nyata pada taraf 15 persen
besar dan signifikan pada taraf α 10 persen dari pada usahatani padi yang berbasis
SRI, nilai nya adalah 0.06 pada metode MLE. Hal ini mengindikasikan bahwa
penambahan benih sebesar satu persen dengan input lainnya yang tetap maka
produksi padi pada usahatani non SRI bertambah sebesar 0.06 persen. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Hasnain (2015), Akinbode et al. (2011)
yang mengemukakan bahwa benih berpengaruh positif dan nyata terhadap
produksi padi
Begitu juga dengan elastisitas variabel pupuk ponska, pada metode MLE
pupuk ponska pada usahatani padi berbasis SRI mempunyai nilai elastisitas
sebesar 0.06 dan nyata pada taraf α 5 persen dan juga pada usahatani padi non SRI
variabel pupuk ponska bernilai lebih besar jika dibandingkan dengan padi berbasis
SRI yakni sebesar 0.11 dan signifikan pada taraf α 1 persen. Artinya variabel
pupuk ponska sangat responsif dan dominan pada usahatani non SRI pada daerah
penelitian. Penelitian Akinbode et al. (2011), Al-hassan (2008), Tadesse and
Krishnamoorthy (1997) juga menemukan bahwa pupuk berpengaruh positif dan
nyata terhadap produksi padi.
Pupuk urea mempunyai elastisitas yang positif dan bernilai kecil tapi pada
kedua jenis usahatani sama-sama signifikan pada taraf yang berbeda. Pada
usahatani padi berbasis SRI mempunyai elastisitas sebesar 0.04 pada metode
MLE dan signifikan pada taraf α 15 persen. Sedangkan pada usahatani padi non
SRI nilai elastisitas variabel pupuk urea pada metode MLE elastisitasnya bernilai
0.07 dan signifikan pada taraf 5 persen. Beda halnya dengan elastisitas pupuk
organik yang hanya signifikan pada usahatani padi berbasis SRI dan tidak
signifikan pada usahatani padi non SRI. Namun nilai elastisitasnya masih sangat
rendah yaitu 0.11 pada metode MLE yang signifikan pada taraf α 1 persen.
Artinya variabel pupuk organik sangat berpengaruh nyata pada usahatani padi
berbasis SRI.
Variabel terakhir yang mempunyai nilai elastisitas positif adalah variabel
tenaga kerja. Elastisitas tenaga kerja bernilai 0.10 dan signifikan pada taraf α 5
persen. Hasil analisis ini sejalan dengan penelitian Hasnain (2015), Akinbode et
al. (2011), Nikhil and Azeez (2011), Al-hassan (2008), Tadesse and
Krishnamoorthy (1997) yang menemukan bahwa tenaga kerja mempunyai
koefisien yang positif dan nyata terhadap produksi padi. Sedangkan pada
usahatani padi non SRI dengan metode MLE bernilai positif namun tidak
berpengaruh nyata terhadap peningkatan produktivitas padi didaerah penelitian.
Penjumlahan koefisien elastisitas pada usahatani padi berbasis SRI dengan
metode MLE adalah 1.05. Ini berarti skala produksi usahatani padi berbasis SRI di
Kabupaten Solok Selatan berada pada keadaan Constant return to scale (CRS).
Sedangkan penjumlahan elastisitas pada usahatani padi non SRI dengan metode
MLE adalah 1.02. Artinya usahatani padi non SRI di Kabupaten Solok Selatan
berada pada skala Constant return to scale (CRS).
(MLE) dengan menggunakan program frontier 4.1. Hasil analisis efisiensi teknis
pada usahatani padi berbasis SRI dan non SRI dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Sebaran efisiensi teknis usahatani padi berbasis SRI dan non SRI di
Kabupaten Solok Selatan
SRI Non SRI
Tingkat Efisiensi Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Teknis Petani (%) Petani (%)
(orang) (orang)
0.01 – 0.10 0 0 0 0
0.11 – 0.20 0 0 0 0
0.21 – 0.30 0 0 0 0
0.31 – 0.40 1 1.67 0 0
0.41 – 0.50 0 0 0 0
0.51 – 0.60 0 0 0 0
0.61 – 0.70 2 3.33 1 3.33
0.71 – 0.80 7 11.67 6 20
0.81 – 0.90 21 35 7 23.33
>0.90 29 48.33 16 53.33
Jumlah 60 100 30 100
Minimum 0.40 0.69
Maksimum 0.96 0.99
Rata-rata 0.88 0.89
Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata efisiensi teknis usahatani padi
berbasis SRI lebih rendah dari usahatani padi non SRI. Pada usahatani padi
berbasis SRI rata-rata efisiensi teknisnya adalah 0.88 dengan nilai efisiensi
minimum 0.40 dan nilai efisiensi maksimum 0.96. Sedangkan pada usahatani padi
non SRI rata-rata efisiensi teknisnya adalah 0.89 dengan nilai efisiensi minimum
0.69 dan nilai efisiensi maksimum 0.99. Secara umum petani responden baik
petani padi berbasis SRI maupun petani padi non SRI telah efisien secara teknis.
Hal ini mengacu kepada dimana nilai indeks efisiensi teknis hasil analisis
dikategorikan efisien karena menghasilkan nilai yang lebih dari 0.70 sebagai batas
efisien (Coelli et al. 1998).
Secara umum petani yang menerapkan SRI pada usahatani padi telah efisien,
namun ada 3 petani responden yang belum mencapai nilai efisien minimum yakni
diatas nilai 0.70. Tetapi jika dilihat dari sebaran efisiensi, 48.33 persen petani padi
SRI telah mencapai nilai efisiensi teknis diatas 0.90, dan 35 persen petani padi
SRI berada pada kisaran efisiensi 0.71 – 0.80. Pada petani padi non SRI yang
belum efisien secara teknis ada satu orang responden, nilai efisiensinya berada
pada angka 0.69. Namun 53.33 persen petani padi non SRI telah mencapai tingkat
efisiensi teknis diatas nilai 0.90 dan 23.33 persen petani padi non SRI berada pada
kisaran efisiensi 0.71 – 0.80. Dapat disimpulkan bahwa sebanyak 83.33 persen
responden petani padi berbasis SRI relatif lebih mendekati frontier jika
dibandingkan dengan petani responden non SRI yang hanya sebesar 76.66 persen
yang mendekati frontier nya.
50
Tabel 12. Sebaran efisiensi ekonomi usahatani padi berbasis SRI dan non SRI di
Kabupaten Solok Selatan
SRI Non SRI
Tingkat Efisiensi Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Ekonomi Petani (%) Petani (%)
(orang) (orang)
0.01 – 0.10 0 0 0 0
0.11 – 0.20 1 1.67 0 0
0.21 – 0.30 13 21.67 5 16.67
0.31 – 0.40 30 50 18 60
0.41 – 0.50 14 23.33 5 16.67
0.51 – 0.60 2 3.33 2 6.67
0.61 – 0.70 0 0 0 0
0.71 – 0.80 0 0 0 0
0.81 – 0.90 0 0 0 0
>0.90 0 0 0 0
Jumlah 60 100 30 100
Minimum 0.17 0.24
Maksimum 0.51 0.53
Rata-rata 0.36 0.37
Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata tingkat efisiensi ekonomi
usahatani padi berbasis SRI sebesar 0.36 dengan nilai terendah sebesar 0.17 dan
nilai tertinggi 0.51 dan pada petani padi non SRI sebesar 0.37 dengan nilai
terendah sebesar 0.24 dan nilai tertinggi 0.53. Hal ini menunjukkan bahwa secara
rata-rata usahatani padi berbasis SRI dan non SRI didaerah penelitian belum
efisien secara ekonomi. Apabila dibandingkan antara petani padi SRI dan non
SRI, rata-rata efisiensi ekonomi pada petani non SRI lebih tinggi jika dibandingka
dengan petani padi yang berbasis SRI.
Efisiensi ekonomi pada petani padi berbasis SRI dan non SRI masih dapat
ditingkatkan dengan cara memperbaiki efisiensi teknis dan efisiensi alokatif.
Secara teknis petani padi SRI dan non SRI telah efisien, namun secara alokatif
petani padi SRI dan petani padi non SRI belum efisien. Artinya petani didaerah
penelitian belum mampu menggunakan kombinasi input-input produksi secara
optimal pada kondisi rasio biaya minimum sehingga secara rata-rata masih
inefisien secara alokatif dan ekonomi.
dan berpengaruh nyata pada taraf α 5 persen. Artinya status usahatani pada petani
non SRI akan menurunkan efisiensi. Kondisi lapangan menunjukkan bahwa petani
dengan pekerjaan utamanya sebagai petani cenderung memiliki waktu yang
banyak untuk melakukan aktivitas diusahataninya sehingga petani tersebut akan
lebih efisiensi jika dibandingkan dengan petani yang status usahataninya sebagai
pekerjaan sampingan. Petani padi berbasis SRI pada umumnya mempunyai
pekerjaan utama sebagai petani padi, berbeda dengan petani padi non SRI yang
mempunyai pekerjaan utamanya sebagai wiraswata sehingga mereka mempunyai
waktu yang sangat terbatas diusahatani padi.
55
padi untuk mengikuti program padi berbasis SRI. Nilai McFadden R-Squared
sebesar 0.5303 maka variabel bebas dalam model probit diatas sudah cukup baik
untuk menjelaskan variabel tak bebasnya.
Variabel luas lahan mempunyai koefesien yang bernilai positif (2.6701) dan
signifikan (0.0327), artinya luas lahan akan mempengaruhi keputusan petani
untuk mengikuti program padi berbasis SRI, dimana varibel-variabel lainnya
dianggap tetap. Dapat diartikan bahwa semakin luas lahan yang dipunyai oleh
petani maka akan meningkatkan peluang petani untuk mengikuti program padi
berbasis SRI. Sesuai dengan temuan dilapangan, petani padi yang menerapkan
SRI adalah petani yang mempunyai aset lahan yang relatif luas dengan rata-rata
luasan lahan sebesar 0.56 Ha jika dibandingkan dengan petani padi yang tidak
menerapkan SRI pada usahatani padinya yakni dengan luasan sebesar 0.27 Ha.
Bagi petani yang menerapkan SRI, faktor keuntungan relatif menjadi prioritas
penilaian dalam pengambilan keputusan adopsi teknologi sehingga faktor
keuntungan ekonomi, biaya awal yang rendah karena diberikan biaya subsidi oleh
pemerintah berupa subsidi pembelian benih unggul dan subsidi pupuk kimia,
hemat waktu dan tenaga kerja, serta imbalan berupa meningkatnya produksi padi
per hektarnya yang segera didapatkan menjadi pertimbangan pengambilan
keputusan adopsi teknologi pada usahatani. Pada petani yang tidak menerapkan
teknologi SRI pada usahataninya lebih mengutamakan faktor kesesuaian karena
mempunyai aset lahan relatif terbatas, bahkan dibeberapa responden di antaranya
tidak mempunyai lahan, terbatasnya permodalan pada usahatani serta curahan
waktu ketersediaan tenaga kerja, maka dari itu faktor kesesuaian menjadi
pertimbangan pengambilan keputusan adopsi teknologi SRI. Semua hal ini erat
kaitannya dengan akses modal dan curahan tenaga kerja, karena selain mengelola
usahatani petani yang tidak menerapkan SRI bekerja sebagai buruh tani atau
buruh diluar pertanian guna untuk mencukupi kebutuhan dari rumah tangga petani
yang bersangkutan. Inovasi teknologi SRI dapat sesuai atau tidak dengan petani
bisa dilihat dari aspek: (1) nilai-nilai sosial-budaya, (2) ide-ide yang telah
diperkenalkan sebelumnya, dan/atau (3) kebutuhan petani akan inovasi. Hasil
analisis lapangan yang telah didapatkan pada daerah penelitian menemukan
perbedaan dengan yang ditemukan oleh Ishak dan Afrizon (2011), Simanhuluk et
al. (2011) yang mengemukakan bahwa luas penguasaan lahan yang dimiliki oleh
petani padi di Kabupaten Seluma tidak mempengaruhi keputusan petani untuk
menerapkan teknologi SRI pada usahatani padinya.
Variabel lama menjadi kelompok tani mempunyai nilai koefesien yang
positif (0.1592) dan signifikan (0.0497), artinya semakin lama petani menjadi
anggota salah satu kelompok tani maka akan meningkatkan peluang petani untuk
mengikuti program padi berbasis SRI dari pada petani yang tidak menjadi anggota
kelompok tani. Proses difusi inovasi yang berlangsung dari pengurus kelompok
tani berlangsung pada forum pertemuan kelompok tani, pengajian rutin bulanan
kelompok dan perbincangan pada saat bekerja diladang. Kajian lapangan
menunjukkan bahwa petani yang tergabung didalam sebuah kelompok tani dan
petani tersebut aktif dalam keanggotaan maka petani tersebut pasti mendapatkan
dorongan oleh sesama anggota kelompok tani untuk menerapkan program padi
berbasis SRI. Pertemuan antara anggota kelompok tani rata-rata dalam satu
bulannya rutin mengadakan pertemuan sebanyak dua kali. Pertemuan anggota
kelompok membahas tentang evaluasi kemajuan dan keberhasilan anggota
57
Variabel umur petani padi dan pendapatan non usahatani yang masing-
masing mempunyai nilai koefesien yang negatif dan tidak signifikan terhadap
pengambilan keputusan petani untuk mengikuti program padi berbasis SRI. Dapat
disimpulkan bahwa varibel-variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap
keputusan petani untuk mengikuti program padi berbasis SRI. Hasil analisis ini
sejalan dengan temuan Simanhuluk et al. (2011) bahwa variabel umur petani dan
pendapatan mempunyai nilai koefisien yang negatif dan tidak berpengaruh nyata
terhadap penerapan teknologi SRI di Kabupate Seluma. Sedangkan hasil analisis
ini kontras dengan temuan Ishak dan Afrizon (2011) bahwa variabel umur dan
pendapatan mempunyai nilai koefisien yang positif dan tidak berpegaruh terhadap
penerapan SRI. Berdasarkan penelitian dilapangan bahwa petani yang
menerapkan program SRI pada usahatani padinya mempunyai umur yang cukup
beragam yakni antara 25 – 63 tahun. Pada variabel pendapatan non usahatani,
sebagian besar petani padi SRI dan non SRI mempunyai pekerjaan utama sebagai
petani padi, sehingga variabel pendapatan non usahatani tidak mempengaruhi
keputusan petani untuk mengikuti program padi berbasis SRI.
Variabel lain yang mempunyai nilai koefesien yang positif dan tidak
signifikan terhadap keputusan petani untuk mengikuti program padi berbasis SRI
adalah variabel pengalaman usahatani padi dan pendidikan formal. Hasil analisis
ini sejalan dengan penelitian Ishak dan Afrizon (2011), Simanhuluk et al. (2011)
bahwa variabel tingkat pendidikan mempunyai variabel yang positif tapi tidak
berpengaruh terhadap penerapan SRI di Kabupaten Seluma. Kondisi lapangan
menunjukkan bahwa petani SRI dan non SRI sama-sama memiliki rata-rata
pengalaman berusahatani diatas 15 tahun. Sama halnya dengan pendidikan formal
petani SRI dan non SRI sama-sama memiliki rata-rata pendidikan formal diatas 9
tahun. Kajian lapangan menunjukkan bahwa penerapan program SRI pada
usahatani padi membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai dari
seorang petani untuk mampu menerapkan SRI pada usahatani padinya yang
semuanya ini didapatkan dalam penyuluhan dan sekolah lapang yang diadakan
oleh tenaga penyuluh dalam kelompok tani.
usahatani padinya seperti subsidi pengurangan biaya benih unggu dan bersetifikat,
pengurangan biaya pada pupuk kimia yakni pada pupuk NPK dan Urea, serta
pengurangan biaya pada pupuk organik atau pupuk kandang. Pembagian bantuan
berdasarkan luas areal lahan garapan petani responden yang menerapkan
teknologi SRI, dengan artian bahwa semakin luas lahan garapan yang dimiliki
oleh petani responden maka besarnya perolehan bantuan yang didapatkan akan
semakin besar sehingga biaya-biaya yang akan dikeluarkan oleh petani responden
yang memiliki lahan garapan yang luas akan semakin rendah sehingga akan
memunculkan keingininan petani respoden utk menerapkan teknologi SRI pada
usahataninya. Sebaliknya bagi petani responden yang mempunyai lahan garapan
yang relatif sempit atau tidak punya lahan sama sekali, perolehan bantuan yang
akan diterima disesuaikan dengan luas lahan yang dikuasainya, sehingga yang
akan menerapkan teknologi SRI pada usahatani padi adalah petani responden
yang memiliki lahan yang relatif luas.
Dengan adanya bantuan yang diperoleh oleh petani responden di daerah
penelitian bahwa dalam menerapkan usahatani tani berbasis SRI, petani yang
menerapkan hanya menyiapkan lahan dan tenaga kerja, dan hanya sebagian
responden yang menyiapkan sarana benih dan pupuk karena terkait dengan luas
lahan yang dimilikinya, sehingga modal usahatani untuk pembelian sarana
produksi telah tertanggulangi berkat adanya bantuan dari pemerintah.
Terkait dengan kekhawatiran pemasaran hasil produksi atau risiko
kegagalan dalam berusahatani, pemerintah memberikan pendampingan lapangan
melalui tenaga penyuluh pertanian lapangan yang selalu ada buat petani
responden di daerah penelitian. Dalam program inovasi teknologi SRI yang mana
petani responden selain dalam menyediakan lahan dan tenaga kerja juga di ikut
sertakan dalam perencaan pelaksanaan kegiatan dan diberi kepercayaan untuk
melaksanakan sendiri dengan bimbingan teknologi yang diberikan oleh penyuluh
pertanian setempat. Hal ini memotivasi petani untuk benar-benar memahami
teknologi budidaya padi dengan berbasis SRI sehingga petani akan dapat
memutuskan untuk meneruskan teknologi tersebut.
Penentuan jenis benih yang akan digunakan oleh petani responden
didasarkan atas pertimbangan keputusan yang diambil dalam kelompok tani.
Pertimbangan yang diambil dalam penentuan jenis benih berupa benih yang
ditanam adalah benih yang mudah didapatkan dan bersetifikat unggul serta sesuai
dengan besaran biaya awal atau modal usahatani yang telah ditetapkan oleh
pemerintah melalui bantuan dana pembelian input-input produksi. Jenis benih
yang digunakan oleh petani responden yang menerapkan SRI adalah varietas
Junjung, Ganda Pulau, Anak daro, PB 42, Redek dan Sokan. Meskipun suatu
benih jika dilihat dari aspek ekonomi dapat menghasilkan keuntungan yang relatif
tinggi, namun jika benih sulit untuk didapatkan, petani responden cenderung tidak
menggunakan benih tersebut. Karena hal ini akan berkaitan dengan dana
transportasi yang akan dikeluarkan terkait dengan naiknya biaya usahatani. Petani
responden yang tidak menerapkan SRI pada usahataninya dalam menentukan
benih yang akan digunakan berdasarkan atas pertimbangan kemudahan
mendapatkan bibit dan juga mempertimbangkan kesesuaian dengan penggunaan
sumber daya lahan yang ada. Penggunaan tenaga kerja dan keberhasilan petani
yang lain menjadi pertimbangan bagi petani yang menerapkan teknologi SRI pada
daerah penelitian.
60
per rumpun (Anugrah 2008). Hal ini lah yang menyebabkan peningkatan produksi
usahatani padi berbasis SRI didaerah penelitian. Selain itu yang dapat
menyebabkan produksi meningkat adalah penggunaan pupuk organik,
penggunaan pupuk organik pada budidaya padi berbasis SRI yang cukup tinggi
sebesar 1 046.18 kg per hektar pada setiap musim tanam menyebabkan
penyediaan hara untuk pertumbuhan tanaman selalu terjamin sehingga akan
berdampak kepada hasil produksi padi.
Paket teknologi yang digunakan dalam usahatani padi berbasis SRI secara
nyata telah menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan input produksi (Tabel
7). Penerapan pola SRI secara bertahap mendorong penggunaan pupuk organik
dan mengurangi penggunaan benih, pestisida, pupuk anorganik dan tenaga kerja.
Paket teknologi SRI yang diterapkan menyebabkan penghematan penggunaan
input benih. Jika pada usahatani padi non SRI kebutuhan benih mencapai 96.67 kg
per hektar, dalam usahatani padi berbasis SRI hanya sekitar 32.12 kg per hektar.
Varietas dan mutu benih yang digunakan juga sangat berbeda, sistem usahatani
padi berbasis SRI menggunakan benih unggul dan bersetifikat namun pada
usahatani padi non SRI cenderung menggunakan benih dari hasil panen
sebelumnya, sehingga akan berdampak kepada produksi yang dihasilkan.
Teknologi SRI tidak mengisyaratkan penggunaan pupuk anorganik yang
berlebihan namun harus diimbangi dengan penggunaan pupuk organik atau pupuk
kompos. Dengan mengurangi penggunaan pupuk anorganik secara signifikan
mampu menurunkan biaya tunai petani. Disisi lain, penggunaan pupuk organik
yang tinggi akan menaikan biaya tunai petani. Hasil penelitian dilapangan, harga
yang pupuk organik yang didapatkan petani padi SRI adalah harga yang telah
dikompensasi oleh pemerintah, sehingga biaya pemupukan dengan pupuk organik
atau kompos akan berimbang dengan apabila petani melakukan pemupukan
dengan biaya pupuk anorganik.
Pemakaian tenaga kerja dalam usahatani padi berbasis SRI relatif lebih
sedikit jika dibandingkan dengan usahatani padi non SRI. perbedaan penggunaan
tenaga kerja pada usahatani mencapai 22.14 HOK. Perbedaan tenaga kerja
tersebut disebabkan oleh kegiatan dalam pengendalian gulma, pengaturan air dan
pengendalian hama. Namun demikian usahatani padi non SRI memerlukan tenaga
kerja yang banyak terutama dalam kegiatan cabut bibit, tanam dan pemupukan.
Selanjutnya terhadap penggunaan air irigasi, dengan kebutuhan pengairan
yang hanya sedikit saja (macak-macak) dengan ketinggian genangan air 2 cm,
kebutuhan jumlah air pada lahan usahatani berbasis SRI mengalami penurunan
secara drastis. Hal ini akan membawa dampak pada kemampuan air irigasi dalam
mengairi sawah, terutama pada musim kemarau jika pola SRI diterapkan secara
luas.
Teknologi SRI cenderung mengurangi jumlah penggunaan input, sehingga
dampak yang akan dirasakan petani adalah berkurangnya biaya tunai pada
usahatani seperti pengurangan biaya pada benih, pupuk anorganik dan upah
tenaga kerja. Peningkatan penerimaan terjadi diakibatkan oleh adanya
peningkatan hasil dan pengurangan komponen biaya tunai dalam bentuk pupuk
anorganik dan benih sehingga akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan
tunai usahatani padi berbasis SRI. Secara finansial, efisiensi usahatani padi
berbasis SRI lebih tinggi jika dibandingkan dengan usahatani padi non SRI,
62
seperti ditunjukkan R/C ratio sebesar 3.53 pada usahatani padi berbasis SRI dan
2.05 pada usahatani padi non SRI (Tabel 8).
Harga gabah padi dari usahatani padi berbasis SRI relatif sama dengan harga
gabah pada umumnya, sehingga penghargaan pasar terhadap peningkatan
produksi padi dengan usahatani padi berbasis SRI belum terlihat jelas. Insentif
bagi petani dengan pola usahatani padi berbasis SRI belum dapat diberikan
dengan nilai jual gabah yang relatif sama. Beras hasil budidaya SRI dan non SRI
memiliki segmen pasar yang sama sehingga tidak ada perubahan harga. Sehingga
untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dapat diperoleh dari penghematan
biaya usahatani dan peningkatan produktivitas dengan penerapan pola budidaya
padi SRI.
Proses perubahan teknologi pada usahatani padi telah banyak dilakukan dan
berbeda dalam banyak hal. Namun demikian dari beberapan perbedaan dalam
penerapan teknologi pada usahatani padi terdapat kesamaan, terutama
kecenderungan untuk mengandalkan faktor input yang dapat meningkatkan
produktivitas padi yang dihasilkan. Seperti misalnya, teknologi SRI yang berfokus
pada pengaruh penggunaan input-input yang optimal seperti penggunaan benih
unggul, penggunaan pupuk organik dan penggunaan tenaga kerja yang dapat
meningkatkan produksi dalam usahatani padi.
Teknologi SRI diinduksi lebih menekankan pada penggunaan input-input
yang optimal, khususnya penggunaan benih unggul dan pengunaan pupuk
organik. Beberapa penelitian mengenai dampak teknologi SRI yang dijabarkan
pada Bab 1 bahwa proses perubahan penggunaan input produksi dibanyak daerah
dapat meningkatkan produksi yang tinggi sebagai akibat dari pengoptimalan input
produksi terhadap sumberdaya yang terbatas. Selama proses budidaya usahatani
padi dilakukan dengan penerapan teknologi SRI, maka akan dapat memberikan
manfaat nilai atau pendapatan yang lebih bagi petani padi pada daerah tersebut.
Proses perubahan teknologi pada usahatani padi akan diikuti dengan
peningkatan produktivitas yang dihasilkan. Perubahan input produksi terutama
penggunaan benih dan pupuk mempengaruhi penggunaan tenaga kerja. Petani
padi menyesuaikan perubahan teknologi pada usahatani padi, sehingga
mengakibatkan hanya petani yang mempunyai lahan yang luaslah yang mampu
menerapkan teknologi SRI pada usahatani padi. Sementara faktor lain yang
mempengaruhi keputusan petani untuk menerapkan SRI pada usahatani padi
seperti tergabung dalam kelompok tani dan banyaknya penyuluhan telah
memberikan dorongan untuk penerapan teknologi ini pada usahatani padi, namun
dalam penelitian ini ketiga faktor tersebut belum dapat merubah pola budidaya
padi yang dilakukan oleh petani didaerah penelitian, sehingga tingkat adopsi dan
penerapan teknologi SRI pada usahatani padi didaerah penelitian masih sangat
rendah dan terbatas pada daerah tertentu saja.
Proses perubahan dan penerapan teknologi didaerah penelitian tidak dapat
dikaitkan dengan tiga faktor saja, yang sebelumnya telah dijelaskan pada Bab 7.
Misalnya, ditunjukkan bahwa perubahan teknologi produksi dari sistem
63
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
71
Lampiran 2. Hasil pendugaan fungsi produksi usahatani padi berbasis SRI dengan
metode OLS
Model Summary
b
ANOVA
Total .257 59
a
Coefficients
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Lampiran 3. Hasil pendugaan fungsi produksi usahatani padi non SRI dengan
metode OLS
Model Summary
b
ANOVA
Total .246 29
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Lampiran 4. Hasil pendugaan fungsi produksi usahatani padi berbasis SRI dengan
metode MLE
number of iterations = 31
76
number of cross-sections = 60
covariance matrix :
1 1 0.93783332E+00
2 1 0.87053178E+00
3 1 0.94892770E+00
4 1 0.72482791E+00
5 1 0.95645613E+00
6 1 0.39578896E+00
7 1 0.79015397E+00
8 1 0.95760388E+00
9 1 0.89586431E+00
10 1 0.75174772E+00
11 1 0.87740743E+00
12 1 0.81250105E+00
13 1 0.79692417E+00
14 1 0.76596258E+00
15 1 0.95775372E+00
16 1 0.84054771E+00
17 1 0.95463491E+00
18 1 0.94656869E+00
19 1 0.93181414E+00
20 1 0.96450286E+00
21 1 0.77909921E+00
22 1 0.63690554E+00
23 1 0.88715542E+00
24 1 0.90392205E+00
25 1 0.93645793E+00
26 1 0.88094527E+00
27 1 0.96130985E+00
28 1 0.90145523E+00
29 1 0.94103907E+00
30 1 0.93778920E+00
31 1 0.94315983E+00
32 1 0.88606933E+00
33 1 0.96398923E+00
78
34 1 0.80979833E+00
35 1 0.84634350E+00
36 1 0.67943502E+00
37 1 0.92783867E+00
38 1 0.95994548E+00
39 1 0.93111999E+00
40 1 0.83402655E+00
41 1 0.90741159E+00
42 1 0.93910290E+00
43 1 0.90009485E+00
44 1 0.91152994E+00
45 1 0.90932783E+00
46 1 0.87219121E+00
47 1 0.79389290E+00
48 1 0.91298579E+00
49 1 0.86603246E+00
50 1 0.94491747E+00
51 1 0.84337817E+00
52 1 0.90148966E+00
53 1 0.91972724E+00
54 1 0.89614090E+00
55 1 0.93653791E+00
56 1 0.91075426E+00
57 1 0.93993121E+00
58 1 0.88091784E+00
59 1 0.89975653E+00
60 1 0.90875930E+00
Lampiran 5. Hasil pendugaan fungsi produksi usahatani padi non SRI dengan
metode MLE
beta 0 0.70556641E+01
beta 1 0.70490141E+00
beta 2 0.10658571E+00
beta 3 0.79024180E-01
beta 4 0.42966881E-01
beta 5 -0.72006054E-02
beta 6 0.49177472E-01
delta 0 0.00000000E+00
delta 1 0.00000000E+00
delta 2 0.00000000E+00
delta 3 0.00000000E+00
delta 4 0.00000000E+00
delta 5 0.00000000E+00
delta 6 0.00000000E+00
sigma-squared 0.22786510E-01
gamma 0.91000000E+00
number of iterations = 31
number of cross-sections = 30
covariance matrix :
1 1 0.94036431E+00
2 1 0.81515226E+00
3 1 0.68780773E+00
4 1 0.83556625E+00
5 1 0.78435866E+00
6 1 0.75682795E+00
7 1 0.98912013E+00
8 1 0.88333847E+00
9 1 0.94175254E+00
10 1 0.99807274E+00
11 1 0.98101223E+00
12 1 0.98060588E+00
13 1 0.95617460E+00
14 1 0.91074964E+00
15 1 0.82164121E+00
16 1 0.77055900E+00
17 1 0.81940027E+00
18 1 0.88450455E+00
19 1 0.89992684E+00
20 1 0.76633017E+00
21 1 0.96522647E+00
22 1 0.99997912E+00
23 1 0.76571931E+00
24 1 0.77464081E+00
83
25 1 0.94019678E+00
26 1 0.99883170E+00
27 1 0.96131964E+00
28 1 0.97407565E+00
29 1 0.98427214E+00
30 1 0.92586880E+00
Lampiran 7. Perhitungan nilai efisiensi alokatif dan ekonomi usahatani padi non
SRI dengan menggunakan fungsi dual frontier di Kabupaten Solok
Selatan
RIWAYAT HIDUP