Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

P3

ABSORPSI OBAT SECARA IN VITRO

Asisten Koreksi :
Dosen Jaga : Dra. Siti Aminah, SU., Apt.
Tgl. Praktikum : Kamis, 21 Oktober 2010
Kelas : FSI 2008
Golongan : I/1

Disusun oleh :
Kelompok I

Nama NIM TTD

1.Meiroza Susanti 8022 ( )

2.Stevianova H. 8026 ( )

3.Eny Sutanti 8031 ( )

4.Bhisma Akbar P. 8032 ( )

5.Ade Merriem Fadhilla 8035 ( )

BAGIAN BIOFARMASETIKA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2010
ABSORBSI OBAT SECARA IN VITRO

I. TUJUAN

Menpelajari pengaruh pH terhadap absorpsiobat melalui saluran pencernaan secara in


vitro.

II. DASAR TEORI

Proses absorpsi merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan mempengaruhi efek obat dan
menyebabkan kegagalan pengobatan. Obat pada umumnya diabsorpsi dari saluran pencernaan
secara pasif. Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dulu harus mengalami proses absorpsi pada saluran
cerna. Obat pada umumnya diabsorpsi dari saluran pencernaan secara difusi pasif melalui
membran selular. Obat-obat yang ditranspor secara difusi pasif hanyalah yang larut dalam lipid.
Makin baik kelarutannya dalam lipid, maka baik absorpsinya sampai suatu absorpsi optimum
tercapai.

Obat-obat yang digunakan sebagian besar bersifat asam atau basa organik lemah.
Absorpsi obat dipengaruhi derajat ionisasinya pada waktu zat tersebut berhadapan dengan
membran.Membran sel lebih permeabel terhadap bentuk obat yang tidak terionkan daripada
bentuk obat yang terionkan. Derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan pKa obat seperti
terlihat pada persamaan Henderson-Hasselbach sebagai berikut :

Untuk asam lemah :

pH = pKa + log fraksi obat yang terionkan

fraksi obat yang tak terionkan

Untuk basa lemah :

pH = pKa - log fraksi obat yang terionkan

fraksi obat yang tak terionkan

Maka seseorang dapat menentukan jumlah obat relatif secara teoritis dari suatu obat
dalam bentuk tidak terionkan pada berbagai kondisi pH.Untuk obat yang ditranspor secara difusi
pasif, peranan dinding usus hanya sebagai membran difusi. Studi absorpsi in vitro dimaksudkan
untuk memperoleh informasi tentang mekanisme absorpsi suatu bahan obat, tempat terjadinya
absorpsi yang optimal, permeabilitas membran saluran pencernaan terhadap berbagai obat, serta
pengaruh berbagai faktor terhadap absorpsi suatu obat.
Menurut Turner dkk, permeabilitas membran biologi terhadap suatu obat dapat
digambarkan oleh koefisien partisinya dan mempunyai hubungan linear dengan kecepatan
transpor atau kecepatan absorpsinya, yang dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

Keterangan : = kecepatan transpor obat ke kompartemen dalam (darah)

D = tetapan kecepatan difusi obat melalui membran

A = luas membran yang digunakan untuk berdifusi

P = koefisien partisi obat dalam membran pelarut

= ketebalan membran

Cg = kadar obat dalam kompartemen luar (usus) pada waktu t

Cb = kadar obat dalam kompartemen dalam (darah) pada waktu t

Untuk obat-obat yang strukturnya tertentu dan tempat absorpsinya sudah tertentu pula,
maka kecepatan absorpsinya hanya ditentukan oleh gradien kadar obat diantara kedua
permukaan membran, yang memisahkan lumen saluran pencernaan dengan (plasma) darah,
sehingga persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi :

Dengan : dimana Pm disebut permeabilitas membran.

Jika Cb, dapat diabaikan karena Cb << Cg maka persamaan tersebut dapat disederhanakan
menjadi :

= P. Cg

Hasil integrasi persamaan ini adalah :

Q = P. Cg. t
Dengan Q = jumlah obat yang ditranspor dari kompartemen luar ke kompartemen dalam, dalam
selang waktu t.

Kurva hubungan jumlah obat yang ditranspor sebagai fungsi waktu akan memberikan garis
linear dengan angka arah K = Pm . Cg dan lag time, yaitu harga perpotongan garis dengan
sumbu t.

Bahan obat yang memiliki lag time kurang dari 15 menit biasanya tidak menimbulkan masalah
pada proses transpor melalui membran biologis.

III. ALAT DAN BAHAN

Alat :

• tabung Crane dan Wilson • alat bedah

• Spektrofotometer • alat gelas

• water bath • pH meter

• neraca analitik

Bahan :

• tikus putih jantan • eter

• cairan lambung buatan tanpa pepsin (pH 1,2) • gas oksigen

• cairan usus buatan tanpa pankreatin (pH 7,5) • alkohol

• larutan NaCl 0,9% b/v • larutan seng sulfat 5%

• asam salisilat • barium hidroksida 0,3 N

IV. CARA KERJA

Penentuan λ maksimum

Pembuatan kurva baku, asam salisilat dalam cairan fisiologis dengan seri kadar 1,5 mg% ; 3 mg
% ; 4,5 mg% ; 7,5 mg% ; 9 mg%
Penentuan absorpsi pada usus halus tikus:

Tikus dipuasakan 20-24 jam, dibunuh dengan eter, tikus dibedah dan diambil ususnya 15 cm di
bawah pilorus dibuang dan 20 cm di bawahnya dipotong untuk percobaan

Usus dibagi 2 sama panjang lalu dibersihkan, bagian anal digunakan sebagai kontrol

Ujung anal dari potongan usus diikat benang lalu usus dibalik hingga bagian mukosa diluar,
kanula dimasukkan ke ujung oral dari usus yang belum terikat

Usus diukur dengan panjang 7 cm yang telah diisi cairan serosal 1,4 ml ( NaCl 0,9 % b/v), lalu
dimasukkan ke dalam tabung yang telah diisi cairan mukosa 75 ml (mengandung asam salisilat)
pada suhu 37°C

Kantong usus untuk kontrol dilakukan dengan cara yang sama, tetapi cairan mukosal tanpa obat

Selama percobaan, seluruh usus terendam dalam cairan mukosal teraliri gas oksigen dengan
kecepatan 100 gelambung/menit

Pada waktu tertentu, tentukan kadar obat dalam cairan serosal. Untuk penentuan ini seluruh
cairan serosal diambil melalui kanula dan segera dicuci dengan larutan fisiologis, kemudian diisi
lagi dengan 1,4 ml larutan fisiologis

Analisis dan evaluasi data


V. HASIL dan PEMBAHASAN
a. Data Percobaan
1. Nama bahan obat : Asam salisilat
2. Cairan serosal : NaCl 0,9 % b/v Volume : 1. 1,4 ml 3. 1,4 ml
: 2. 1,4 ml 4. 1,4 ml
3. Medium cairan serosal: Buffer fosfat pH: 1. 7,5 Volume : 1. 7,5 ml 3. 7,5 ml
2. 1,2 2. 7,5 ml 4. 7,5 ml
4. Berat tikus : 1. 287 gram 2. 234 gram 3. 178 gram 4. 330 gram
5. Panjang usus : 1. 7 cm 2. 7 cm 3. 20 cm 4. 20 cm
6. Pengambilan larutan sampel/kontrol setelah menit ke:
1. 15, 30, 45, 60 menit 3. 15, 30, 45, 60 menit
2. 15, 30, 45, 60 menit 4. 15, 30, 45, 60 menit
7. Data penentuan kadar obat secara spektrofotometris.
Percobaan dilakukan pada λ max = 233 nm
Kurva baku dengan persamaan garis: y = 0,473 x – 0,02267

b. Hasil Percobaan
1. Cairan usus buatan tanpa pankreatin (pH 7,5)
Tikus 1

Jenis larutan Pengenceran Serapan (A)

100 0,230

100 0,146
Sampel
100 0,433

100 0,224

Tikus 2

Jenis larutan Pengenceran Serapan (A)

100 0,288

100 0,269
Sampel
100 0,205

100 0,256

2. Cairan lambung buatan tanpa pepsin (pH 1,2)


Tikus 3

Jenis larutan Pengenceran Serapan (A)

-0,079

-0,006
Sampel terkoreksi
0

0,030
Tikus 4

Jenis larutan Pengenceran Serapan (A)

0,845

1,093
Sampel terkoreksi
0,742

0,981

c. Perhitungan
1. Cairan usus buatan tanpa pankreatin (pH 7,5)
Sampel pada tikus 1

Kurva baku: x =

 Menit ke 15

Kadar Asam salisilat (x) = x 100 = 53,4186 mg%

 Menit ke 30

Kadar Asam salisilat (x) = x 100 = 35,6596 mg%

 Menit ke 45

Kadar Asam salisilat (x) = x 100 = 96,3362 mg%

 Menit ke 60

Kadar Asam salisilat (x) = x 100 = 52,1501 mg%

Jumlah Obat = x 1,4

 Menit ke 15

Jumlah Obat = x 1,4 = 0,7479 mg

 Menit ke 30

Jumlah Obat = x 1,4 = 0,4992 mg

 Menit ke 45

Jumlah Obat = x 1,4 = 1,3487 mg

 Menit ke 60
Jumlah Obat = x 1,4 = 0,7301 mg

Waktu Kadar obat (mg Jumlah obat Jumlah obat


(menit) %) (mg) kumulatif (mg)

15 53,4186 0,7479 0,7479

30 35,6596 0,4992 1,2471

45 96,3362 1,3487 2,5958

60 52,1501 0,7301 3,3259

Dari hasil regresi linier antara waktu vs jumlah obat kumulatif didapat nilai:
a = - 0,2915
b = 0,0606
r = 0,9856
Sehingga didapat persamaan garis: y = 0,0606 x – 0,2915

Parameter:

 Ka = b = 0,0606/menit
 Slope = Pm ∙ Cg

Pm = = = 0,00439 cm/menit = 7,3188∙10-4 cm/detik

 Lag time
Pada saat y = 0 → x = 4,8102 menit

Kesimpulan
 Ka = 0,0606/menit
 Pm = 7,3188∙10-4 cm/detik
 Lag time = 4,8102 menit
Sampel pada tikus 2

Kurva baku: x =

 Menit ke 15

Kadar Asam salisilat (x) = x 100 = 65,6808 mg%

 Menit ke 30

Kadar Asam salisilat (x) = x 100 = 61,4524 mg%

 Menit ke 45

Kadar Asam salisilat (x) = x 100 = 48,1332 mg%

 Menit ke 60
Kadar Asam salisilat (x) = x 100 = 58,9154 mg%

Jumlah Obat = x 1,4

 Menit ke 15

Jumlah Obat = x 1,4 = 0,9195 mg

 Menit ke 30

Jumlah Obat = x 1,4 = 0,8603 mg

 Menit ke 45

Jumlah Obat = x 1,4 = 0,6739 mg

 Menit ke 60

Jumlah Obat = x 1,4 = 0,8248 mg

Waktu Kadar obat (mg Jumlah obat Jumlah obat


(menit) %) (mg) kumulatif (mg)

15 58,9154 0,9195 0,9195

30 61,4524 0,8603 1,7798

45 48,1332 0,6739 2,4537

60 65,6808 0,8248 3,2785

Dari hasil regresi linier antara waktu vs jumlah obat kumulatif didapat nilai:
a = 0,1702
b = 0,0517
r = 0,9990
Sehingga didapat persamaan garis: y = 0,0517 x + 0,1702

Parameter:
 Ka = b = 0,0517/menit
 Slope = Pm ∙ Cg

Pm = = = 0,0375 cm/menit = 6,2439∙10-4 cm/detik

 Lag time
Pada saat y = 0 → x = 3,2921 menit

Kesimpulan
 Ka = 0,0517/menit
Pm = 6,2439∙10-4 cm/detik
 Lag time = 3,2921 menit

Rata-Rata
 Ka = 0,0562/menit
 Pm = 1,3563∙10-3 cm/detik
 Lag time = 4,0512 menit

2. Cairan lambung buatan tanpa peptin (pH 1,2)


Sampel pada tikus 3

Kurva baku: x =

 Menit ke 15

Kadar Asam salisilat (x) = = 0 mg%

 Menit ke 30

Kadar Asam salisilat (x) = = 0,0352 mg%

 Menit ke 45

Kadar Asam salisilat (x) = = 0,0479 mg%

 Menit ke 60

Kadar Asam salisilat (x) = = 0,1113 mg%

Jumlah Obat = x 1,4

 Menit ke 15

Jumlah Obat = x 1,4 = 0 mg

 Menit ke 30

Jumlah Obat = x 1,4 = 4,928 x 10 4 mg

 Menit ke 45

Jumlah Obat = x 1,4 = 6,709 x 10 4 mg

 Menit ke 60

Jumlah Obat = x 1,4 = 1,5582 x 10 3 mg


Waktu Kadar obat (mg Jumlah obat Jumlah obat
(menit) %) (mg) kumulatif (mg)

15 0 0 0

30 0,0352 4,928 x 10 4 4,928 x 10 4

45 0,0479 6,709 x 10 4 1,1637 x

60 0,1113 1,5582 x 10 3 2,7219 x 10 3

Dari hasil regresi linier antara waktu vs jumlah obat kumulatif didapat nilai:

a = -1,8842x

b = 7,4303 x

r = 0,9746

Sehingga didapat persamaan garis: y = 7,4303 x x −1,8842x

Parameter:

 Ka = b = 7,4303 x /menit
 Slope = Pm ∙ Cg

Pm = = = 5,3843cm/menit = 0,0897cm/detik

 Lag time
Pada saat y = 0 → x = 0,2536 menit

Kesimpulan

 Ka = 7,4303 x /menit
Pm = 0,0897cm/detik
 Lag time = 0,2536 menit

Sampel pada tikus 4

Kurva baku: x =

 Menit ke 15

Kadar Asam salisilat (x) = = 1,8344 mg%

 Menit ke 30

Kadar Asam salisilat (x) = = 2,3587 mg%


 Menit ke 45

Kadar Asam salisilat (x) = x 2 = 3,2333 mg%

 Menit ke 60

Kadar Asam salisilat (x) = = 2,1219 mg%

Jumlah Obat = x 1,4

 Menit ke 15

Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0257 mg

 Menit ke 30

Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0330 mg

 Menit ke 45

Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0453 mg

 Menit ke 60

Jumlah Obat = x 1,4 = 0,0297 mg

Waktu Kadar obat (mg Jumlah obat Jumlah obat


(menit) %) (mg) kumulatif (mg)

15 1,8344 0,0257 0,0257

30 2,3587 0,0330 0,0587

45 3,2333 0,0453 0,1040

60 2,1219 0,0297 0,1337

Dari hasil regresi linier antara waktu vs jumlah obat kumulatif didapat nilai:
a = - 0,0118
b = 2,462∙10-3
r = 0,997
Sehingga didapat persamaan garis: y = 2,462∙10-3x − 0,0118

Parameter:

 Ka = b = 2,462∙10-3/menit
 Slope = Pm ∙ Cg
Pm = = = 1,7841∙10-3 cm/menit = 2,9734∙10-5 cm/detik

 Lag time
Pada saat y = 0 → x = 4,7968 menit

Kesimpulan
 Ka = 2,462∙10-3/menit
 Pm = 2,9734∙10-5 cm/detik
 Lag time = 4,7968 menit
Rata-Rata
 Ka = 1,2682∙10-3/menit
 Pm = 0,0449 cm/detik
 Lag time = 2,5252 menit

d. Perhitungan Henderson-Hasselbalch

pKa asam salisilat = 3 – log 1,06

 pada pH 7,5
pH = pKa + log fraksi obat terionkan
fraksi obat tak terion

7,5 = (3- log 1,06) + log fraksi obat terionkan


fraksi obat tak terion

7,5 - 2,97 = log fraksi obat terionkan


fraksi obat tak terion
fraksi obat terion = 3.388 ∙104
fraksi obat tak terion

 pada pH 1,2

pH = pKa + log fraksi obat terionkan


fraksi obat tak terion

1,2 = (3- log 1,06) + log fraksi obat terionkan


fraksi obat tak terion

1,2 - 2,97 = log fraksi obat terionkan


fraksi obat tak terion

-1.77 = log fraksi obat terionkan


fraksi obat tak terion

fraksi obat terion = 1.698 ∙10-2


fraksi obat tak terion

e. Grafik
VI. ANALISIS DATA
Asam salisilat merupakan obat golongan asam lemah, sehingga berdasarkan teori like
dissolve like maka apabila senyawa ini berada dalam lingkungan asam (pH 1,2), senyawa ini
akan berada dalam bentuk bebas atau molekul. Sedangkan jika asam salisilat berada pada
lingkungan basa (pH 7,5) maka akan berada dalam bentuk terion yang lebih banyak daripada
bentuk bebasnya. Obat akan mudah masuk ke dalam membran apabila berada dalam bentuk
molekul atau tak terionkan.
Pada percobaan ini dihasilkan grafik hubungan kadar dan jumlah obat dengan waktu.
Pada pH 7,5 (tikus 1 dan tikus 2) terlihat bahwa seiring bertambahnya waktu maka kadar dan
jumlah obat di dalam tubuh akan semakin meningkat, dan ketika mencapai titik puncak maka
kadar dan jumlah obat dalam tubuh mulai berkurang. Berkurangnya kadar dan jumlah ini
disebabkan karena obat di dalam tubuh mulai mengalami proses eliminasi. Grafik pada pH 1,2
menunjukkan bahwa tikus 4 mengalami peningkatan kadar dan jumlah obat dalam tubuh dengan
bertambahnya waktu, sedangkan tikus 3 mengalami hal yang sama dengan tikus 1 dan 2. Namun
berdasarkan grafik waktu vs jumlah dan kadar, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah dan kadar
obat yang terserap pada pH 7,5 lebih banyak dibandingkan pada pH 1,2. Padahal berdasarkan
teori, jumlah dan kadar obat pada pH 7,5 seharusnya lebih sedikit dibandingkan pada pH 1,2.
Hal ini karena pada pH 7,5 banyak obat yang berada dalam bentuk terionkan sehingga akan
lebih susah dalam melewati membran sel.
Penundaan waktu absorpsi sebelum permulaan absorpsi orde ke satu dikenal dengan lag
time. Semakin kecil nilai lag time akan semakin bagus karena waktu penundaan absorpsi
semakin kecil. Pada percobaan ini dihasilkan nilai lag time pada pH 1,2 lebih kecil dibandingkan
pada pH 7,5. Hal ini menunjukkan bahwa waktu penundaan absorpsi pada pH 7,5 lebih lama.
Nilai permeabilitas membrane (Pm) dan Ka yang baik ialah apabila memiliki nilai yang semakin
besar. Pada percobaan ini nilai Ka pada pH 1,2 lebih kecil dibandingkan pada pH 7,5.
Sedangkan nilai Pm pada pH 1,2 menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan pada pH 7,5.
Hal ini menunjukaan bahwa pada pH 1,2 memiliki kemampuan absorpsi yang lebih baik
dibandingkan pada pH 7,5 karena semakin besar nilai Pm, maka kemampuan mengabsorpsi obat
akan semakin baik.

VII. PEMBAHASAN
Tujuan dari praktikum kali ini yaitu untuk mempelajari pengaruh pH terhadap absorpsi
obat, yaitu asam salisilat melalui saluran pencernaan secara in vitro. In vitro berarti percobaan
dilakukan diluar tubuh atau pada kondisi laboratorium. Profil pH vs kelarutan memberikan
gambaran dari kelarutan obat pada berbagai pH, yang dapat menunjukkan jika suatu obat
bersifat basa akan larut. Demikian juga sebaliknya obat yang bersifat aam akan larut dalam
media basa.

Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna tergantung pada rate limiting step (jika
sediaan obat berbentuk tablet), sifat fisiko-kimia, dan anatomi fisiologi tempat absorpsi. Banyak
hal yang mempengaruhi kecepatan absorpsi, dan umumnya absorpsi obat secara pasif
dipengaruhi oleh derajad ionisasi dimana jika berhadapan dengan membran sel, membran sel
akan lebih permeabel terhadap bentuk obat yang tidak terionkan dibandingkan dengan bemtuk
terionkan karena membran sel terdiri atas lipid dan protein.

Perbedaan pH padad tempat absorpsi dapat mempengaruhi jumlah obat yang diserap oleh
saluran pencernaan. Pada percobaan ini untuk membuktikan hal tersebut, maka asam salisilat
akan ditempatkan pada dua tempat absorpsi yaitu pada pH larutan buffer 1,2 dan 7,5 dimana
pada kondisi pH 1,2 mengggambarkankondisi cairan lambung sedangkan pH larutan buffer 7,5
menggambarkan kondisi cairan intestinal. Cairan lambung buatan ini dibuat tanpa pepsin,
sedangkan cairan intestin yang digunakan tanpa pankreatin. Namun karena keterbatasan waktu
dan alat dalam praktikum ini maka percobaan yang dilakukan hanya percobaan pada pH 7,5
sedangkan data pada pH 1,2 menggunakan data simulasi (data golongan 3, kelompok 1).

Dalam percobaan kali ini, obat yang diujikan adalah asam salisilat dalam larutan buffer
pH 1,2 dan 7,5. Asam salisilat merupakan obat golongan asam lemah. Sehingga berdarkan teori
like dissolves like, dalam buffer asam asam, senyawa tersebut akan berada dalam bentuk bebas
(bentuk molekulnya). Sebaliknya, jika asam salisilat berada dalam lingkungan basa yaitu pada
pH buffer 7,5 maka asam salisilat akan berada dalam bentuk terionkan yang lebih banyak
daripada bentuk molekulnya.

Karena lapisan membran sel banyak tersusun oleh lipid, maka obat yang berada dalam
bentuk molekul akan lebih mudah melewati membran. Sedangkan obat dalam bentuk terionkan
karena bersifat polar akan kesulitan melalui membran sel yang bersifat lipofilik.

Adapun langkah kerja dalam percobaan kali ini adalah sebagai berikut, pertama-tama
menentukan panjang gelombang maksimum yang akan digunakan. Karena pada panjang
gelombang maksimum akan membeikan kepekaan (sensitivitas) yang tinggi, disamping itu juga
untuk memberikan kesalahan yang kecil. Namun, karena keterbatasan alat tidak dilakukan
scanning untuk menentukan panjang gelombang maksimum. Dan panjang gelombang yang
digunakan dalm percobaan ini adalah 237 nm. Selanjutnya membuat kurva baku agar diperoleh
persamaan regresi linear yang diperlukan untuk pencarian kadar obat yang terabsorpsi.
Hewan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah tikus karena diperkirakan
memiliki saluran pencernaan yang hampir sama dengan manusia. Disamping itu juga harganya
yang relatif murah dam pemeliharaannya yang lebih mudah dibandingkan hewan percobaan
lainnya. Sebelum digunakan hewan percobaan dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam,
namun tetap diberi minum air masak.

Setelah menimbang bobot tikus, tikus dikorbankan secara kimia menggunakan uap eter
yang ditempatkan dalam lemari asam. Pengorbanan dlakukan secara kimia tidak secara fisik
karena ditakutkan akan meruska organ tikus yang akan digunakan dalam percobaan. Setelah
tikus dikorbankan, perut dibedah menggunakan gunting sepanjang linea mediana dan ususnya
dikeluarkan. Usus yang digunakan adalah 15 cm dibawah pilorus, karena terdapat kelenjar
pankreas dan muara ductus colectivus.Dan juga usus yang berada dekat dengan sfingter pylorus
dikhawatirkan masih dipengaruhi oleh keasaman lambung. Dari 15 cm dibawah sfyngter pylorus
diukur sepanjang 20cm kebawah dan digunakan untuk percobaan.

Bagian usus yang digunakan untuk percobaan tersebut merupakan duodenum. Digunakan
bagian duodennum dengan pertimbangan bahwa dibagian tersebutmenunjukkan absorpsi obat
yang paling cepat karena adanya villi dan mikrovilli yang menyebabkan luasnya permukaan
tempat absorpsi. Dalam percobaan usus sepanjang 20 cm tersebut dibagi menjadi 2 bagian sama
panjang (@ 10cm) yang nantinya salah satu bagian digunakan untuk sampel (bagian oral) dan
bagian lainnya (bagian anal) digunakan sebagai kontrol. Kemudian membersihkan usus tersebut
dari lipid yang menempel didalam larutan NaCl 0,9% b/v. Usus juga harus dibersihkan dari sisa
makanan yang menempel agar proses absorpsi bisa berjalan dengan normal. Selama preparasi
usus harus selalu direndam dalam larutan NaCl 0,9% b/v. Selainitu preparasi usus juga tidak
boleh terlalu lama untuk menghindari kemungkinan terjadinya kematian usus.

Selanjutnya ujung anal (bagian bawah) diikat dengan benang dan dengaan hati-hati
dibalik menggunakan batang gelas berdiameter 2mm, sehingga vili usus akan menghadap keluar.
Selanjutnya ujung oral dari usus dihubungkan ke kanula (bagian dari tabung Crane dan Wilson
yang dimodifikasi). Metode ini disebut metode usus terbalik dan digunakan untuk
menggambarkan proses terjadinya absorpsi di dalam slauran pencernaan. Keuntungan dari
metode ini adalah:

 Merupakan metode sedrehana dan reprodusibel


 Dapat membedakan proses absorpsi secara aktif dan pasif
 Dapat dilakukan untuk mengetahui daerah pada usus halus dengan absorpsi
optimal terutam dalam kasus transport aktif

Selama jalannya percobaan bagian usus tersebut tidak boleh bergesekan dengan benda
lain seperti pinset atau dipengang dengan tangan karena apabila usus tersentuh, akan merusak
villi usus yang berada diluar terbut sehinggaakan mempengaruhi proses absorpsi dan hasil yang
didapat akan tidak valid.

Kemudian usus diukur dengan panjang efektif 7 cm dan diisi dengan 1,4ml larutan
serosal yang tersiri dari larutan NaCl 0,9% yang merupakan larutan fisiologis setelah salah satu
ujungnya dikat dengan benang. Fungsi dari penambahan larutan fisologis tersebut dimaksudkan
untuk mengkondisikan usus supaya sama ddengan cairan fisiologis tubuh. Kantong usus yang
telah diisi cairan serosal ini selanjutnya dimasukkan kedalam tabung yang berisi 75 ml cairam
mukosal, yaitu larutan buffer yang mengandung bahan obat yaitu asam slaisilat. Cairan mukosal
yang digunakan untuk percobaan berisi 0,01 M asam salisilat dalam cairan intestin tanpa
pankreatin (pH 7,5). Kadar obat dalam larutan ini adalah 138,5 mg%. Sedangkan untuk kontrol,
usus diperlakukan sama tetapi cairan mukosal tidak mengandung obat. Selanjutnya tabung
diinkubasi pada penangas air dengan suhu 37˚C supaya kondisinya sama dengan suhu tubuh.
Suhu ini harus dikendalikan dan variasi suhu harus dihindari sebab adanya variasi suhu pada
kebanyakan obat dapat mempengaruhi laju kelarutan karena kenaikan suhu dapat meningkatkan
energi kinrtik molekul dan meningkatkan kecepatan difusi. Selama percobaan berlangsung,
seluruh bagian usus dijaga agar dapat terendam seluruhnyadalam cairan mukosal dan selalu
dialiri gas oksigen dengan kecepatan kira-kira 100 gelembung per menit untuk menjaga aktifitas
sel dan untuk menjaga agar sel-sel usus tetap hidup.

Pada menit ke-15, 30, 45 dan 60 dihitung sejak usus diinkubasi, kadar obat dalam cairan
serosal ditentukan dengan spektrofotometer UV. Caranya dengan mengambil cairan serosal pada
waktu-waktu tertentu tersebut melalui kanula menggunakan pipet volume. Kemudian segera
dicuci dengan 1,4 ml NaCl 0,9% sebagai pembilas dan pembilas inni ditambahkan pada cairan
serosal yang telah diambil tadi. Untuk selanjutnya, usus diisi lagi dengan 1,4 ml larutan NACl
0,9% dan diambil pada waktu berikutnya yang telah ditentukan. Kemudian masing-masing
sampel diambil 1ml dan ditambahkan 2 ml larutan ZnSO4 5% serta larutan Ba(OH)2 maka akan
terjadi endapan berwarna putih yang merupakan protein. Adanya protein dalam sampel perlu
dihilangkan karena protein memiliki kromofor yang dapat menyerap sinar UV sehingga
dikhawatirkan akan mempengaruhi nilai absorbansi yang diperoleh. Untuk menyempurnakan
pemisahan protein tersebut, dilakukan sentrifugasi selama 5 menit. Supernatan tersebut
kemudian diambil secara kualitatif dan diukur serapannya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 237 nm.

Pada percobaan ini tikus yang digunakan sejumlah 2 ekor, slah satunya sebagai replikasi.
Dari nilai absorbansi yang diperoleh ditentukan kadar obat masing-masing sampel dengan
menggunakan persamaa kurva baku yang telah ada.

Pada percobaan, didapatkan data jumlah obat yang diabsorpsi per total luas usus. Secara
teori, untuk obat asam salisilat, jumlah obat yang diabsorpsi per total luas usus pada pH 1,2
lebih besar daripada jumlah obat yang diabsorpsi pada pH 7,5. Asam salisilat merupakan obat
yang bersifat asam lemah. Untuk obat yang bersifat sebagai elektrolit lemah, contohnya asam
atau basa lemah, laju absorpsi obat ditentukan oleh besarnya ionisasi yang terjadi pada obat
tersebut. Besarnya ionisasi dipengaruhi oleh pKa dan pH medium. Obat agar bisa terabsorbsi
(berdifusi menembus membran lipid menuju pembuluh darah) harus berada dalam bentuk tak
terion. Bagian yang terionisasi memiliki muatan yang menjadikannya lebih mudah larut dalam
air dari pada bagian obat yang tidak terionisasi sehingga obat dalam bentuk terion sulit
menembus membran lipid. Asam salisilat pada pH 7,5 akan berada sebagian besar dalam bentuk
terionisasi atau larut dalam air, sedangkan obat untuk bisa berdifusi melalui membranl lipid
(usus) obat harus berada dalam bentuk bukan ionnya. Sedangkan asam salisilat pada pH 1,2 akan
lebih banyak berada dalam bentuk molekulnya sehingga obat lebih mudah berdifusi melalui
membranl usus, sehingga absorpsinya menjadi lebih besar. Secara teoritis dapat dihitung
menggunakan rumus Handerson – Hasselbach untuik mengetahui perbandingan obat yang
terion per obat yang tak terion, setelah di hitung untuk pH 1,2 ternyata di dapat angka 1,68 .10-2
sedangkan untuk pH 7,5 di dapatkan angka 3,388 .104. Jadi secara teoritis obat yang banyak
dalam bentuk molekul adalah pada pH 1,2 diasumsikan adalah organ lambung yang banyak
mengabsorpsi obat. Sedangkan pada praktikum untuk mengetahui jumlah obat yang diabsorpsi
adalah dengan cara mengukur serapan dari obat. Yang terukur sebagai absorbansi dalam
percobaan ini adalah asam salisilat dalam bentuk molekulnya, karena yang diukur adalah cairan
serosal di mana setelah obat terdifusi melalui membran usus.

Dalam percobaan diperoleh jumlah kumulatif obat yang diabsorpsi pada pH 1,2 adalah
2,7219 x 10 3 mg untuk tikus 3 dan 0,1337 untuk tikus 4. Sedangkan pada pH 7,5 adalah
3,3259 mg untuk tikus 1, dan 3,2785 mg untuk tikus 2. Dilihat dari nilai Ka (Kecepatan
absorpsi) rata-rata untuk kedua tikus, pada pH 1,2 nilai Ka adalah 1,2682∙10 -3/menit, sedangkan
pada pH 7,5 nilai Ka sebesar 0,0562/menit. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa
absorpsi obat asam salisilat pada pH 7,5 lebih besar daripada absorpsi pada pH 1,2. Padahal
secara teori, asam salisilat dalam suasana asam (pH 1,2) memiliki bentuk tak terion lebih banyak
dibandingkan pada pH 7,5. Sehingga, seharusnya absorpsi obat pada pH 1,2 lebih besar
dibandingkan pada pH 7,5. Hasil percobaan menunjukkan penyimpangan terhadap teori tersebut,
yaitu jumlah obat yang terabsorpsi pada pH 1,2 jeuh lebih sedikit. Penyebab penyimpangan ada
beberapa hal diantaranya kurang hati-hati dalam preparasi organ sehingga banyak villi yang
mengalami kerusakan. Hal tersebut menyebabkan absorbsi obat tidak optimum. Penyebab lain
adalah aliran gelembung udara terlalu cepat sehingga efektifitas absorpsi berkurang. Selain itu,
kesalahan juga mungkin terjadi saat sampling. Kemungkinan pencucian tidak sempurna
sehingga masih ada senyawa obat yang tertinggal di dalam rongga usus. Kesalahan-kesalahan
tersebut menyebabkan hasil bias sehingga perlu diminnimalisasi agar diperoleh data yang akurat
dan reliabel.
Berdasarkan slope pada persamaan regresi linear waktu vs jumlah kumulatif obat, maka
dapat ditentukan permeabilitas membran terhadap obat asam salisilat. Secara teoritis, membran
lebih permeabel terhadap obat dalam bentuk tak terion daripada dalam bentuk terion.
Berdasarkan hasil percobaan, harga permeabilitas membran rata-rata untuk sampel pada pH 1,2
adalah 0,0449 cm/detik. Sedangkan untuk sampel pada pH 7,5, permeabilitas membran terhadap
asam salisilat adalah sebesar 1,3563∙10-3 cm/detik. Hasil tersebut sesuai teori karena secara teori
membran lebih permeabel terhadap senyawa dalam bentuk tak terion. Pada pH 1,2, asam salisilat
banyak yang dalam bentuk tak terion sehingga lebih banyak yang dapat menembus membran
usus. Jadi permeabilitas membran pada pH 1,2 lebih besar dari pada pada pH 7,5 maka dapat
diasumsikan pada pH 1,2 atau pada organ lambung obat bersifat asam seperti halnya asam
salisilat, maka jumlah yang diabsorpsi lebih besar. Hal ini disebabkan pada pH 1,2 asam salisilat
banyak berada pada bentuk tak terionkan/molekulnya sehingga mudah melewati membran usus.

Pada beberapa kasus, absorpsi obat setelah dosis oral tunggal tidak terjadi dengan segera
sehubungan dengan faktor-faktor fisiologis. Pada percobaan faktor fisiologis yang berpengaruh
adalah pergerakan usus. Penundaan waktu absorpsi sebelum permulaan absorpsi obat orde ke
satu di kenal sebagai lag time. Pada percobaan diperoleh lag time asam salisilat pada pH 1,2
adalah 2,5252 menit dan pada pH 7,5 adalah 4,0512 menit. Bahan obat ytang memiliki lag time
kurang dari 15 menit biasanya tidak menimbulkan masalah pada proses transport melalui
membran biologis. Karena dari percobaan, lag time asam salisilat baik pada pH 1,2 dan pH 7,5
semuanya di bawah 15 menit, maka dapat disimpulkan asam salisilat tidak bermasalah dalam
proses transport melalui membran usus.

VIII. KESIMPULAN

1. Untuk obat yang bersifat asam lemah, secara teori absorbsi pada usus dengan pH asam
berjalan lebih cepat dan lebih banyak serta berlaku sebaliknya. Hasil percobaan
menunjukkan penyimpangan terhadap teori tersebut.
2. Jumlah kumulatif obat yang diabsorpsi pada pH 1,2 adalah 2,7219 x 10 3 mg untuk
tikus 3 dan 0,1337 untuk tikus 4. Pada pH 7,5 adalah 3,3259 mg untuk tikus 1, dan
3,2785 mg untuk tikus 2.
3. Membran sel usus lebih permeabel terhadap bentuk obat yang tidak terion daripada
bentuk terionkan. pada pH 1,2 adalah 0,0449 cm/detik. sedangkan pada pH 7,5 adalah
1,3563∙10-3 cm/detik.
4. Asam salisilat tidak bermasalah dalam proses transport melalui membranl usus karena
lag time kurang daari 15 menit yaitu pada pH 1,2 adalah 2,5252 menit dan pada pH 7,5
adalah 4,0512 menit.
IX. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia ed.IV, DepKes RI, Jakarta

Notari, Robert, 1980, Biopharmaceuitcs and Clinical Pharmacokinetics ed III. Marcel Dekker
Inc : New York.

Shargel, Leon.1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan ed II, Penerbit Airlangga,


Surabaya. Hal.85-91,146

Anda mungkin juga menyukai