Anda di halaman 1dari 6

JENIS-JENIS ASESMEN PENDENGARAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah yang diampu oleh
Dr. Imas Diana Aprilia, M.Pd. dan Dr. Sima Mulyadi, M.Pd.

Disusun Oleh :

Anisa meilani putri 1606487

Ega yuristia wahyuni 1601799

Faiza nanda dwiyani 160683

Jehan nabela oktaviani 1606771

Selvia kartika 1600393

Shafa aulia rizqiaputri s 1606054

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KHUSUS

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2019
JENIS-JENIS ASESMEN PENDENGARAN
A. Jenis-Jenis Instrumen asesmen
Ada dua jenis instrumen asesmen, yaitu formal dan informal.
Penyusunan asesmen formal memerlukan keahlian tinggi, waktu yang lama,
dan biaya yang sangat besar. Untuk memperoleh suatu bentuk instrumen
asesmen berupa tes yang didasarkan validitas tertentu (construct dan content)
juga memerlukan perhitungan reliabilitas dan tiapbutir soal perlu dikalibrasi
untuk mengetahui daya pembeda dan derajat kesulitannya.
Karena penyusunan instrumen asesmen formal tidak mudah, maka
tidak mudah pula menemukan instrumen tersebut. Karena itu, para ahli di
bidang anak -anak berkebutuhan khusus umumnya mempercayai bahwa
asesmen informal merupakan cara yang terbaik untuk memperoleh informasi
tentang kemampuan, kesulitan/ masalah yang dihadapi, serta kebutuhan
belajar siswa. Informasi yang dikumpulkan dalam asesmen informal bersifat
alamiah dalam seting pendidikan dan lingkungan belajar sehari-hari siswa,
jenis asesmen informal seperti interview, observasi, dan berbasis kurikulum
B. Jenis-jenis Asesmen pendengaran
1. Murni Winarsih (2018, hlm. 9)
a) Asesmen secara medis
Secara medis seorang anak dapat diketahui apakah mengalami
gangguan pendengaran atau ketunarunguan melalui seorang ahli:
dokter anak, dokter THT dan audiolog. Dari dokter THT ini, seeorang
dapat diketahui mengalami gangguan pendengran, kemudian oleh
audiolog diukur derajat ketuliannya melalui pengukuran pendengaran
dengan menggunakan alat audiometer dan alat pengukuran yang lain
seperti garpu tala, free fieldt test, conditined test.Pengukuran
pendengaran yang dilakukan pada bayi berbeda dengan pengukuran
pendengaran yang dilakukan pada anak kecil. Tujuan dari pengukuran
pendengaran ini untuk mengumpulkan informasi, data-data yang
berkaitan dengan kemampuan pendengaran seseorang, sehingga dapat
membantu untuk pemakaian alat bantu mendengar
yang sesuai dengan derajat ketuliannya.
1) Pengukuran pendengaran pada bayi
a) Behavioral Observasi Audiometry (BOA)
Pengukuran behavioral observasi audiometry ini yaitu
dengan mengamati tingkah laku, reaksi atau perubahan sikap
yang terjadi pada bayi saat bayi diberikan rangsangan atau
stimulus berupa bunyi. Misalnya dengan menggunakan
krincingan yang dibunyikan dari arah samping atau belakang,
diharapkan bayi menunjukkan reaksi mata berkedip,mata
melebar, tiba-tiba terdiam atau menoleh ke arah sumber bunyi.
Pada pengukuran ini, pengamatan harus cermat, reaksi bayi
harus betul-betul alami terjadi bukan karena kebetulan bayi itu
bergerak, lalu si pengukur atau observer langsung mengambil
kesimpulan bahwa ada reaksi dari bayi (Cox, 1980, hlm. --).
b) Free fields test
Pengukuran pendengaran ini hampir sama dengan BOA
yaitu mengamati perubahan tingkah laku atau respon bayi
terhadap rangsangan atau stimulus berupa bunyi, perbedaannya
terletak pada penggunaan sumber bunyi. Pada Free Fields Test
ini, sumber bunyi yang digunakan sudah di kalibrasi
intesitasnya (kekuatannya). Alat-alat yang digunakan sebagai
sumber bunyi pada Free Fields Test ini berupa baby
reactometer dan vianatone. Alat-alat ini mengeluarkan bunyi
dengan intensitas yang lemah hingga kuat, secara otomatis
dapat dilihat pada alat tersebut. (Cox,1980, hlm.--).

c) Brain Evoked Response Audiometry (BERA)


Dari dua jenis pengukuran diatas, Brain Evoked
Response Audiometry merupakan yang paling obyektif,
menggunakan perangkat komputer dan tidak membutuhkan
pengamatan respon dari anak. Pemeriksaan ini dilakukan saat
bayi sedang tidur, lalu dipasang alat BERA kemudian muncul
pada layar computer gelombang cetusan potensial listrik yang
terjadi sejak stimulus bunyi diberikan sampai mencapai pusat
pendengaran di otak (Cox, 1980).
2) Pengukuran pada anak
a) Conditoned Test
Pada pengukuran pendengaran ini, anak dikondisikan
atau dilatih terlebih dahulu dengan permainan sebelum
pemeriksaan dilakukan. Misalnya dengan memasukkan
kelereng ke dalam kotak setiap mendengar bunyi. Setelah anak
mengerti instruksi yang diinginkan, barulah pemeriksaan dapat
dilakukan dengan memberikan rangsangan bunyi.
b) Test Berbisik
Tes ini bersifat kuantitatif, hasil dari pemeriksaan
diperoleh derajat ketulian (dB) secara kasar. Tes ini dilakukan
pada ruangan yang cukup tenang dan hening. Penggunaan
kata-kata harus yang sudah dikenal anak dan terdiri dari dua
kata, telinga yang tidak diperiksa harus ditutup. Pemeriksaan
dimulai pada jarak enam meter, kemudian pemeriksa maju
setiap satu meter sampai si anak dapat mengulangi kata-kata
yang dibisikkan dengan benar.

2. Menurut hyde (dalam Imas diana aprilia,-- hlm. 6)


Menurut hyde (1981:29) bentuk-bentuk asesmen pendengaran ada sebagai
berikut:
a) Asesmen Asesmen kemampuan dengar (hearing assessment) berupa
pembuatan audiogram sebagai hasil pengukuran klinis yang dilakukan
dalam lingkungan kedap suara, terkontrol dengan bunyi berupa nada
murni yang disajikan oleh suatu alat elektronik. Hasil pengukuran ini
terutama berfungsi untuk pemilihan alat bantu dengar yang tepat pada fase
awal.
b) Keterampilan mendengarkan/menyimak (listening skill) yang berkaitan
dengan seberapa jauh anak masih bisa memanfaatkan (sisa)
pendengarannya untuk mempersepsi dan memahami bunyi-bunyi
(terutama bunyi percakapan/bicara) dalam lingkungan hidup yang wajar.

Anda mungkin juga menyukai