Anda di halaman 1dari 9

BERANDA TABIK

SEJARAH INDONESIA

Pendekar Bahasa
Holy Adib
16:31 WIB - Sabtu, 29 Desember 2018

Ilustrasi penghargaan bagi mereka yang berjasa | Ionas Nicolae /Pixabay

Editor rubrik bahasa Kompas menjuluki Prof. Liek Wilardjo


sebagai pendekar bahasa, misalnya dalam tulisan berjudul
“Istri, Permaisuri, dll” (17 Februari 2018) dan “Adi” (11 Maret
2017). Ia merupakan sikawan dan Guru Besar Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga. Meskipun tidak berlatar
belakang linguistik, ia memiliki perhatian yang besar
terhadap bahasa Indonesia.

Julukan pendekar bahasa pernah dipakai oleh Harimurti


Kridalaksana, Guru Besar Linguistik Universitas Indonesia,
dalam buku Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia (Penerbit
Laboratorium Leksikologi dan Leksikogra Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009). Dia
menyebut empat orang tokoh sebagai pendekar bahasa
Indonesia pertama dalam merintis wawasan tentang bahasa
Indonesia, yakni Ki Hajar Dewantara, M. Tabrani,
Tanya
Soemanang, dan Soedarjo Tjokrosisworo. LOPER

Harimurti menjelaskan bahwa pendekar bahasa


Harimurti menjelaskan bahwa pendekar bahasa
bermodalkan kepedulian yang sangat mendalam tentang
seluk beluk bahasanya, dalam bidang di luar ilmu bahasa.
Mereka menyumbangkan pikiran dalam bidang ejaan, istilah,
dan tata bahasa agar dapat berfungsi secara maksimal—
dipandang dari sudut kepakaran masing-masing.

Sementara itu, sarjana bidang bahasa dan sastra, seperti


Prof. Anton Moeliono, Prof. J. S. Badudu, Prof. Takdir
Alisjahbana, dan Prof. Slametmuljana, yang pekerjaan sehari-
hari adalah mengajar dan meneliti bahasa, menurut
Harimurti, tidak bisa disebut pendekar bahasa karena
memang tugas mereka adalah mengembangkan wawasan
dan ilmu bahasa berdasarkan pendidikan mereka.

Anton M. Moeliono mungkin punya de nisi sendiri tentang


julukan pendekar bahasa. Linguis dari Universitas Indonesia
dan mantan Kepala Badan Bahasa itu menyebut dirinya
sebagai pendekar bahasa Indonesia dalam testimoni di sampul
belakang Tesaurus Bahasa Indonesia (Gramedia, 2006)
susunan Eko Endarmoko. Informasi itu saya dapatkan dari
Eko Endarmoko melalui pesan WhatsApp saat saya tanya
tentang pemberi julukan pendekar bahasa pada testimoni itu,
Anton atau Gramedia.

Mengapa Harimurti menyebut Ki Hajar Dewantara, M.


Tabrani, Soemanang, dan Soedarjo sebagai pendekar bahasa
Indonesia pertama?

Dikutip dari Harimurti (2009)—yang telah saya parafrasekan


—Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh pendidikan yang
menyampaikan prasaran pada 28 Agustus 1916 dalam
Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda, bahwa
bahasa Melayu akan menjadi bahasa yang cocok untuk
wilayah Hindia Belanda—yang kelak menjadi Indonesia—
karena telah lama menjadi bahasa pengantar di wilayah
tersebut.

Sementara itu, M. Trabrani merupakan pengusul nama


bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda I, 2 Mei 1926. Yang
tidak dicatat Harimurti dalam bukunya itu adalah bahwa M.
Tabrani sudah mengusulkan nama bahasa Indonesia sebagai
Tanya
bahasa persatuan di negara yang dicita-citakan sebagai LOPER
Indonesia dalam artikel berjudul “Bahasa Indonesia” dalam
surat kabar yang dipimpinnya, Hindia Baroe, 11 Februari
1926.

Adapun Soedarjo Tjokrosisworo, wartawan harian Soeara


Oemoem di Surabaya, merupakan pencetus Kongres Bahasa
Indonesia, yang pada waktu itu rajin sekali menciptakan
istilah-istilah baru--sangat tidak puas dengan pemakaian
bahasa Melayu Tionghoa/Melayu pasar dalam surat-surat
kabar peranakan Cina.

Informasi itu diceritakan Soemanang melalui suratnya


kepada redaksi Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia pada 12
Oktober 1983. Kongres Bahasa Indonesia I diadakan di Solo,
25—27 1938.

Lalu, Soemanang, salah satu pendiri Kantor Berita Antara.


Bersama dengan Soedarjo, Soemanang berhasil meyakinkan
para penulis pada majalah Poedjangga Baroe, para wartawan,
guru, bahkan menggerakkan para pengusaha dan tokoh-
tokoh di Solo dalam Kongres Bahasa Indonesia I.

Generasi selanjutnya hanya bisa mengambil ilham dari


“jurus-jurus” empat pendekar bahasa itu untuk
menyumbangkan pikiran dalam bentuk apa saja demi
berkembangnya bahasa Indonesia.

M. M. Purbo-Hadiwidjoyo, misalnya, menyusun Kata dan


Makna (Penerbit ITB, 1993), sebuah buku yang berisi padanan
dan pedoman membuat padanan kata dan istilah ilmu dan
teknologi dalam bahasa Indonesia, yang diambil dari bahasa
Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

Geologiwan dan penyusun Kamus Geologi dan Ranang


Rinangkun dalam bahasa Inggris-Indonesia dan Indonesia-
Inggris (Badan Geologi, 2013) itu bersama dengan Santi W.
Purbo-Hadiwidjoyo juga menyusun buku Kata dan Istilah Iltek
(Penerbit ITB, 1994), yang isinya seperti buku Kata dan
Makna.

Simaklah tulisan Liek Wilardjo yang berjudul “Adi”. Dalam


artikel itu, ia mencarikan pandanan istilah-istilah dalam
dunia sika, seperti supercritical, superstring, supercollider,
superconductor, dan super uid menjadi adigenting, adidawai, Tanya
LOPER
adipembentur, adipenghantar, dan adizalir.
Bentuk terikat adi- yang digunakan tersebut sudah ada
polanya dalam istilah di luar bidang sika, misalnya adidaya
(superpower), adijana (superman), adibintang (superstar), dan
adiperagawati (supermodel).

Liek Wilardjo mampu menjelaskan semua arti kata padanan


itu dalam dunia sika. Kalau bukan seorang sikawan yang
profesor seperti Liek Wilardjo yang melakukannya, padanan
istilah sika itu mungkin tidak akan dipercayai oleh publik
dan akan ditertawakan. Siapa yang berani membantah dan
mentertawakan Liek Wilardjo?

Hal itu pulalah yang dilakukan oleh para pendekar bahasa di


dalam buku Ilmuwan dan Bahasa Indonesia (Penerbit ITB,
1988), yang dieditori oleh Adjat Sakri, Kepala Penerbit ITB
sewaktu itu. Dalam buku itu, sejumlah pakar, yang bidang
ilmunya bukan bahasa, menulis satu artikel sesuai dengan
kepakarannya.

Mahar Mardjono menulis “Perkembangan Bahasa Indonesia


di Bidang Ilmu Kedokteran”, T. M. Soelaiman “Bahasa
Indonesia dalam Bahasa Teknologi, atau: Bahasa Teknologi
dalam Bahasa Indonesia”, R. K. Sembiring “Pengalaman
Bermatematika dalam Bahasa Indonesia”, Jusuf Randy
“Bahasa Indonesia di Dunia Komputer”, dan Mien A. Rifai
“Memperindonesiakan Biologi”.

Bahasa Indonesia butuh orang-orang seperti mereka


menghadapi perkembangan zaman, agar mampu menjadi
bahasa ilmu pengetahuan, dan membuka pintu bagi
masuknya ribuan kata asing yang tidak ada konsepnya dalam
bahasa Indonesia.

Pada generasi saat ini, kita bersyukur ada pendekar bahasa


seperti Ivan Lanin (Sarjana Teknik Kimia dan Magister
Teknologi Informasi) dan Gustaf Kusno (dokter gigi militer
berpangkat Kolonel).

Sebagai pakar internet, Ivan mencari padanan istilah-istilah


teknologi informasi dalam bahasa Indonesia. Ia telah
menelurkan Xenogloso lia: Kenapa Harus Nginggris (Kompas,
2018), buku kumpulan artikel bahasa. Di Twitter, ia menjadi Tanya
tempat bertanya bagi 648.000 pengikutnya. LOPER
Adapun Gustaf telah menerbitkan buku Gara-gara Alat Vital
dan Kancing Gigi (Gramedia, 2014), yang berisi bunga rampai
bahasa yang terbit di Kompasiana—media tempatnya
menerbitkan lebih dari 700 tulisan.

Dunia kebahasaan tidak kalah pelik daripada dunia


persilatan. Karena itu, dunia kebahasaan membutuhkan
pendekar-pendekar dengan “jurus-jurus mautnya” untuk
melawan kebuntuan sikap hanya mau memakai kata asing
dalam arus globalisasi tanpa mau mencari padanannya.

BACA JUGA

OBITUARIUM
Melepas kepergian J.S. Badudu, sang pendekar
bahasa Indonesia
10:04 WIB - Minggu, 13 Maret 2016

PERATURAN BAHASA
Perpres bahasa dan pidato resmi presiden di luar
negeri
15:19 WIB - Sabtu, 12 Oktober 2019

RAMBU-RAMBU BAHASA
Polisi Bahasa
11:51 WIB - Sabtu, 28 Oktober 2017

BERANDA TABIK Tanya


LOPER
TERKECOH KATA
Autodidak dan autodidaktik
Holy Adib
14:54 WIB - Sabtu, 05 Januari 2019

Ilustrasi belajar sendiri | Wokandapix /Pixabay

Ada salah satu kata dalam bahasa Indonesia yang sering


digunakan secara salah, yakni autodidak. Ketika bermaksud
menyampaikan bahwa kepandaiannya diperoleh dengan
belajar sendiri, seseorang mengatakan bahwa ia belajar
secara autodidak. Padahal, maksudnya adalah belajar secara
autodidaktik.

Autodidak merupakan kata yang cukup terkenal dalam


bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menyerap autodidak dari
rumpun bahasa Indo-Eropa, khususnya bahasa Inggris dan
Belanda. Dalam kamus kedua bahasa itu tercatat kata
autodidact.

Bukan hanya masyarakat umum yang salah memakai dan


memaknai kata autodidak, melainkan juga wartawan. Tulislah
kata autodidak dan otodidak secara terpisah di mesin pencari
Google, lalu klik kanal berita, maka Anda akan menemukan
banyak berita yang menggunakan kata autodidak dan
otodidak secara salah pada judulnya. Berikut ini empat
contohnya. Pencarian ini dilakukan pada 4 Januari 2019.
Tanya
Hanya Belajar Otodidak, Kakak Beradik Ini Mampu Palsukan LOPER
BPKB dan STNK (Wartakota.tribunnews.com, 13 September
2018).
Belajar Secara Otodidak, Remaja Ini Diganjar Rp500 Juta
Karena Temukan Kelemahan Google (Kaltim.tribunnews.com, 30
Mei 2017).
Pengamat: Mayoritas Peretas Belajar Autodidak
(CNNIndonesia.com, 29 Agustus 2018).
Sebelum Bunuh Istrinya, dr Helmi Belajar Nembak Autodidak
(Detik.com, 29 Maret 2018).

Semua kata autodidak pada judul berita itu harus diganti


menjadi autodidaktik agar kalimat itu gramatikal dan benar
maknanya.

Pemakaian autodidak dan autodidaktik tidak bisa


dipertukarkan karena autodidak (kata benda) adalah "orang
yang mendapat keahlian dengan belajar sendiri". Sedangkan
autodidaktik (kata sifat) berarti "dengan belajar sendiri".

Demikianlah arti dua kata tersebut dalam Kamus Besar


Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan (daring) Edisi V
(Badan Bahasa, 2016).

Berbeda dengan autodidak, kata autodidaktik tidak populer


dalam masyarakat Indonesia. Mungkin karena itu banyak
orang yang salah memaknai autodidak. Mereka memakai
autodidak untuk semua situasi karena hanya mengenal kata
itu, dan karena tidak mengetahui autodidaktik.

Salah satu bukti tidak populernya autodidaktik adalah


sedikitnya pemakaian kata itu dalam surat kabar
dibandingkan dengan penggunaan autodidak, setidaknya itu
yang terpantau pada koran daring.

Di Google, saya tak menemukan kata autodidaktik dipakai


dalam judul berita di media daring kecuali dalam isi berita.
Misalnya, dalam berita berjudul “Ketika Model Majalah
Dewasa Alih Profesi Jadi DJ, Ini Kisahnya” (13 Maret 2018).
Tempo.co menulis, “Ria belajar selama tiga bulan di sekolah
DJ Rumus, dan meneruskan belajarnya secara autodidaktik
selama setahun.”

Selain karena autodidaktik tidak populer, pemakaiannya


dalam kalimat tidak dicontohkan dalam KBBI, kamus yang Tanya
konon menjadi acuan bagi masyarakat umum. KBBI juga LOPER

tidak menyertakan contoh pemakaian kata autodidak.


tidak menyertakan contoh pemakaian kata autodidak.

Bandingkanlah dengan kamus bahasa Inggris daring, seperti


kamus Merriam-Webster, kamus Oxford, dan kamus
Cambridge. Tiga kamus itu memberikan banyak contoh
pemakaian kata autodidak dan autodidaktik di dalam kalimat.

Sebagai pembuat KBBI, Badan Bahasa tidak punya alasan


tidak memberikan contoh pemakaian kata dalam KBBI daring
karena tidak akan menambah tebal kamus, seperti
kekhawatiran menambah contoh pemakaian kata dalam
kalimat pada KBBI cetak.

Karena KBBI tidak mencontohkan pemakaian autodidak dan


autodidaktik, saya berikan sebuah contoh, “Dia seorang
autodidak dalam dunia bahasa. Ia mempelajari linguistik
secara autodidaktik.”

Autodidak atau otodidak

Manakah yang harus dipakai: autodidak atau otodidak? KBBI


membakukan autodidak. Sementara itu, Tesamoko: Tesaurus
Bahasa Indonesia (Gramedia, 2016) susunan Eko Endarmoko
membakukan otodidak. Tesaurus ini memang memuata kata
autodidak, tetapi memberikan tanda rujuk silang ke kata
otodidak. Artinya, kamus ini membakukan otodidak.

Jadi, manakah yang baku antara autodidak dan otodidak?


Persoalan ini sebaiknya tidak dipandang dari sudut baku
atau tidak baku karena pemakaian kedua kata itu bersaing
dalam masyarakat.

Selain itu, persoalan kata yang mengandung kata bentuk


terikat auto- dan oto- dalam bahasa Indonesia memang agak
pelik karena tidak konsisten. Misalnya dalam autobiogra dan
otobiogra , autokrasi dan otokrasi, dan autopsi dan otopsi. Jadi,
tidak ada salahnya memakai autodidak maupun otodidak.

Lagi pula, kata baku bukanlah kata yang lebih benar daripada
kata yang tidak baku, dan kata yang tidak baku bukanlah
kata yang salah dibandingkan dengan kata yang baku--
kecuali kata yang disebut tidak baku itu tidak bisa
diderivasikan ke dalam berbagai bentuk, misalnya merubah,
yang tidak bisa diperlakukan selentur mengubah. Tanya
LOPER

Kata yang disebut terakhir ini dibentuk dari ubah. Ubah bisa
y g
dibentuk menjadi mengubahkan, pengubahan, peubah, ubahan.
Sementara itu, merubah tidak bisa dibentuk menjadi kata-
kata tersebut karena kata dasarnya sudah salah, yakni rubah,
dan tidak ada awalan mer- dalam bahasa Indonesia.

Jadi, sebenarnya, merubah bukan lagi tergolong kata tidak


baku, melainkan kata yang salah karena derivasinya
bertabrakan dengan derivasi mengubah. Karena itu, kamus
tidak mencatat merubah.

BACA JUGA

MEDIA DAN JURNALISME


Pemerintah diminta lindungi media arus utama
06:38 WIB - Rabu, 09 Oktober 2019

Spot KUALITAS UDARA


dengan Spot dengan kualitas udara terbaik dan terburuk
kualitas
udara (Minggu, 27/10/2019)
17:30 WIB - Minggu, 27 Oktober 2019

BANJIR DAN LONGSOR


Bencana banjir longsor dan daerah aliran sungai
yang kritis
16:44 WIB - Senin, 12 November 2018

SOROTAN MEDIA
Densus 88 bekuk 6 terduga teroris dalam sehari
09:17 WIB - Minggu, 27 Oktober 2019

Tentang Kami • Iklan • Obsat • Blog • Kebijakan • Karier •


Hubungi Kami • Panduan Media Siber
© 2019 Beritagar.id. Hak cipta dilindungi hukum.

Tanya
LOPER

Anda mungkin juga menyukai