Anda di halaman 1dari 171

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328979920

Antioksidan

Book · October 2017

CITATIONS READS

0 307

4 authors:

Tatang Irianti Sugiyanto Ugm


Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
21 PUBLICATIONS   7 CITATIONS    2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Sindu Nuranto Kuswandi Kuswandi


Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS    3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

pharmaceutical analysis View project

Modification of ursolic acid as anticancer View project

All content following this page was uploaded by Tatang Irianti on 16 November 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KATA PENGANTAR

Tingkat kesehatan manusia mempengaruhi aktivitas hidup


seseorang dan pola makan juga polusi lingkungan mampu
mempengaruhi keseimbangan jasmani-rohani. Radikal bebas
merupakan salah satu faktor yang dapat mengancam daya tahan
tubuh baik dari luar atau dalam tubuh sendiri. Dampak radikal
bebas berkontribusi ke berbagai penyakit kronis dan penyakit
degeratif seperti serangan jantung, alzheimer, stroke dan kanker.
Ada 2 sumber radikal bebas berada di tubuh manusia
yakni endogen (dari dalam) dan eksogen. Berasal dari luar tubuh
(eksogen) seperti polusi udara, radiasi UV, sinar-X, pestisida dan
asap rokok, sedangkan endogen adalah radikal bebas berasal dari
dalam tubuh sendiri seperti autooksidasi, oksidasi enzimatik dan
respiratory burst. Radikal bebas merupakan suatu atom molekul
atau senyawa dengan satu atau lebih elektron tidak berpasangan
sehingga sangat reaktif, dan dapat terbentuk dalam tubuh saat
bernafas sebagai hasil samping proses oksidasi atau pembakaran,
olahraga berlebihan, ketika terjadi peradangan, terpapar polusi
lingkungan seperti dari asap rokok, kendaraan bermotor, radiasi,
dan sebagainya.
Pada saat terjadi infeksi, radikal diperlukan untuk
membunuh mikroorganisme penyebab infeksi. Namun, paparan
radikal bebas (bersifat reaktif) berlebihan dan secara terus-
menerus dapat menyebabkan kerusakan sel, mengurangi
kemampuan sel untuk beradaptasi terhadap lingkungannya
sehingga timbul gangguan kesehatan atau penyakit, dan pada
akhirnya dapat menyebabkan kematian sel (meninggalnya
seseorang). Ada 10 jenis radikal bebas yang cukup berbahaya,
yaitu asap rokok, polusi udara (asap kendaraan bermotor,
industri, dll), radiasi UV, pestisida, obat-obatan, dampak olah
raga berlebihan, radioterapi, autooksidasi, oksidasi enzimatik dan
respiratory burst.
Kita dapat melakukan pencegahan terhadap dampak
negative radikal bebas ini, dengan beberapa hal yaitu pola hidup

ii
sehat dan cerdas, berolah raga dengan dosis tepat (frekuensi 3 - 5
kali dalam satu minggu dan lama berolah raga 45 - 60 menit), dan
konsumsi sayur dan buah. Antioksidan ditemukan cukup banyak
pada bahan pangan, seperti vitamin E, vitamin C, flavonoid dan
karotenoid. Khususnya flavonoid yang berada di dalam tanaman
masih belum berbentuk molekul bebas, sehingga pada penelitian
kami di Fakultas Farmasi, UGM menghidrolisis baik dengan
asam maupun basa untuk membuat flavonoid bebas sehingga
meningkat aktivitas antioksidannya (IC50 cukup rendah).
Dengan selesainya penulisan buku ini, bukan berarti tidak
ada proses lebih lanjut secara ilmiah dan teknologinya. Walaupun
masih jauh dari sempurna, semoga informasi ilmiah dalam buku
ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan masyarakat pada
umumnya. Akhir kata, kami bersyukur pada Allah SWT yang
telah melimpahkan karunianya untuk menerbitkan buku ini dan
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak pada
kontribusi dalam penulisan buku ini terutama Frau Prof. Dr.
Ulrike Holzgrabe di Universitas Wuerzburg, Frau Dr. Isolde
Friederick di Loerrach, Frau Dr. Carola Uffinger di Wuerzburg,
Bapak Prof. Dr. Subagus Wahyuono, Bapak Prof. Dr. Agung
Endro Nugroho, Ibu Dr. Andayana Puspitasari, Bapak Prof.Dr.
Achmad Mursyidi, Ibu Dr. Ritmaleni, dan Deutscher
Akademischer Austauschdienst (DAAD)-Bonn-Jakarta.

Yogyakarta, 17 Oktober 2017


Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................. vii
DAFTAR TABEL ........................................................................ xi
DAFTAR SINGKATAN ............................................................ xii
BAB I OKSIDAN ......................................................................... 1
1. 1. Pengertian Oksidan ......................................................... 1
1. 2. Pengertian Radikal Bebas ............................................... 3
1. 3. Sumber Radikal Bebas ................................................... 7
1.3.1. Anion Superoksida ................................................ 10
1.3.2. Radikal Hidroksil .................................................. 12
1.3.3. Hidrogen Peroksida ............................................... 13
1.3.4. Oksigen Singlet ..................................................... 14
1.3.5. Radikal endogen .................................................... 16
1.3.6. Radikal eksogen .................................................... 17
1. 4. Tahapan Reaksi Pembentukan Radikal Bebas ............. 18
1.4.1. Tahap inisiasi ........................................................ 18
1.4.2. Tahap propagasi .................................................... 19
1.4.3. Tahap terminasi ..................................................... 20
1. 5. Efek Radikal Bebas ...................................................... 20
1.5.1. Efek Negatif Radikal Bebas .................................. 20
1.5.2. Efek Positif Radikal Bebas.................................... 26

iv
BAB II ANTIOKSIDAN DAN JENISNYA............................... 29
2.1. Pengertian Antioksidan ................................................ 29
2.2. Jenis Antioksidan ......................................................... 31
2.2.1. Antioksidan alami ................................................. 31
2.2.2. Antioksidan sintetik .............................................. 48
BAB III UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN .............................. 56
3.1.Uji Aktivitas Antioksidan secara in vitro
..................................................................................................... 56
3.1.1. Menggunakan bahan kimia........................................... 56
3.1.1.1. Uji DPPH .............................................................. 56
3.1.1.2. Pengukuran diena terkonjugasi ............................. 61
3.1.1.3. Pengukuran bilangan para−anisidin ..................... 62
3.1.2. Menggunakan materi biologis ............................... 73
3.2. Uji Aktivitas Antioksidan secara in vivo ...................... 74
3.2.1. Glutation peroksidase (Gpx) ................................. 74
3.2.2. Uji Enzim Katalase ............................................... 76
3.2.3. Penentuan Kadar Malonaldehid (MDA) Plasma... 88
BAB IV PENELITIAN MENGENAI ANTIOKSIDAN ............ 92
4.1. Uji Aktivitas Antioksidan dan Deteksi Senyawa Buah
Talok (Muntingia calabura L.) ................................................... 92
4.2. Uji Aktivitas Penangkapan Radikal dan Deteksi
Golongan Senyawa Ekstrak Etanolik Terpurifikasi Batang
Brotowali Tinospora crispa (L.)Miers ...................................... 107
4.3. Perbandingan Inhibisi Ekstrak Air Buah Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa, (Scheff). Boerl.) dan Vitamin C Terhadap
Fotodegradasi Tirosin................................................................ 123

v
4.4. Uji Penangkapan Radikal oleh Fraksi−fraksi Ekstrak
Bunga Kecombrang (Nicola speciosa (BI.) Horan) dan Buah
Talok (Muntingia calabura, L.) Menggunakan DPPH ............. 124
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 128
BAB I ........................................................................................ 128
BAB II ....................................................................................... 132
BAB III ..................................................................................... 137
BAB IV ..................................................................................... 148

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pembentukan radikal bebas ......................................... 4


Gambar 2. Pengaruh ROS terhadap tubuh .................................... 9
Gambar 3. Beberapa spesies ROS ............................................... 10
Gambar 4. Sumber radikal eksogen ............................................ 18
Gambar 5. Atherosklerosis .......................................................... 21
Gambar 6. Kerusakan DNA akibat radikal bebas ....................... 22
Gambar 7. Mekanisme kerusakan lipid peroksidasi ................... 23
Gambar 8. Tahapan terjadinya kerusakan lipid peroksidasi ....... 25
Gambar 9. Efek radikal nitrit oksida untuk tubuh ....................... 27
Gambar 10. Efek radikal bebas jenis ROS dalam menghambat
bakteri .......................................................................................... 28
Gambar 11. Antioksidan melindungi tubuh dari radikal bebas .. 30
Gambar 12. Sumber antioksidan alami ....................................... 32
Gambar 13. Struktur kimia −tokoferol ..................................... 33
Gambar 14. Struktur kimia asam askorbat .................................. 35
Gambar 15. Struktur substitusi flavonoid dengan aktivitas
antioksidan .................................................................................. 39
Gambar 16. Struktur kimia beberapa jenis flavonoid ................. 40
Gambar 17. Struktur flavonoid dengan aktivitas antioksidan
tinggi ........................................................................................... 43
Gambar 18. Struktur kimia Genistin, Glistin dan Daidzin .......... 44
Gambar 19. Struktur kimia vitamin A......................................... 46
Gambar 20. Antosianin dapat mencegah penuaan dini ............... 48
Gambar 21. Struktur kimia BHA ................................................ 51

vii
Gambar 22. Struktur kimia BHT ................................................. 53
Gambar 23. Struktur kimia TBHQ .............................................. 55
Gambar 24. Rumus struktur DPPH ............................................. 57
Gambar 25. Mekanisme reaksi DPPH dengan antioksidan ........ 60
Gambar 26. Reaksi resonansi pada radikal DPPH ...................... 60
Gambar 27. Reaksi antara radikal ABTS dan antioksidan .......... 67
Gambar 28. Reaksi antara antioksidan dengan reagen FRAP..... 71
Gambar 29. Mekanisme penangkapan endogen peroksida seluler
..................................................................................................... 79
Gambar 30. Kerja enzim dalam menghambat radikal bebas dalam
tubuh............................................................................................ 80
Gambar 31. Sisi aktif Cu−Zn−SOD ............................................ 81
Gambar 32. Struktur kimia tipe Cu−Zn−SOD ............................ 81
Gambar 33. Struktur SOD berbentuk tetramer ........................... 82
Gambar 34. Struktur kimia tipe Fe SOD / Mn SOD domain
alpha−hairpin ............................................................................. 83
Gambar 35. Prinsip penentuan aktivitas SOD............................. 87
Gambar 36. Reaksi perubahan TMP menjadi MDA ................... 91
Gambar 37. Hubungan kadar senyawa uji dengan % penangkapan
radikal DPPH fraksi air ............................................................... 95
Gambar 38. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan
radikal DPPH fraksi air terhidrolisis 1 jam ................................. 95
Gambar 39. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan
radikal DPPH fraksi air terhidrolisis 3 jam ................................. 96
Gambar 40. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan
radikal DPPH fraksi air terhidrolisis basa 1 jam ......................... 96

viii
Gambar 41. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan
radikal DPPH fraksi air terhidrolisis basa 3 jam ......................... 96
Gambar 42. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan
radikal DPPH kuersetin ............................................................... 97
Gambar 43. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan
radikal DPPH fraksi air terhidrolisis 1 jam ................................. 97
Gambar 44. Kromatogram hasil pemisahan senyawa ekstrak buah
talok beserta fraksi buah talok................................................... 101
Gambar 45. Kromatogram fraksi air dan fraksi air terhidrolisis
buah talok .................................................................................. 103
Gambar 46. Kromatogram fraksi air sebelum dan sesudah
hidrolisis buah talok .................................................................. 104
Gambar 47. Kromatogram fraksi air sebelum dan sesudah
hidrolisis buah talok .................................................................. 105
Gambar 48. Kromatogram fraksi air terhidrolisis asam buah talok
................................................................................................... 106
Gambar 49. Morfologi batang brotowali .................................. 108
Gambar 50. Kromatogram pemisahan senyawa ekstrak batang
brotowali ................................................................................... 111
Gambar 51. Kromatogram ekstrak etanolik batang brotowali dan
fraksinya .................................................................................... 114
Gambar 52. Kromatogram ekstrak etanolik batang brotowali dan
fraksinya .................................................................................... 116
Gambar 53. Profil kromatogram ekstrak batang brotowali setelah
disemprot pereaksi DPPH ......................................................... 117
Gambar 54. Morfologi daun mengkudu .................................... 118
Gambar 55. Profil kromatogram ekstrak etanolik daun mengkudu
dan fraksinya ............................................................................. 119

ix
Gambar 56. Profil kromatogram fraksi air terhidrolisis ekstrak
daun mengkudu dengan pembanding kuersetin ........................ 120
Gambar 57. Profil kromatogram ekstrak daun mengkudu dengan
penyemprotan DPPH ................................................................. 121
Gambar 58. Perbandingan aktivitas penangkapan radikal oleh
ekstrak daun mengkudu............................................................. 122
Gambar 59. Morfologi buah mahkota dewa ............................. 123
Gambar 60. Morfologi bunga kecombrang ............................... 125
Gambar 61. Morfologi buah talok ............................................. 126
Gambar 62. Kromatogram fraksi etil asetat dari ekstrak etanolik
bunga kecombrang .................................................................... 127
Gambar 63. Kromatogram fraksi etil asetat buah talok ............ 127

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Radikal Bebas Biologis (Endogen) ................................. 8


Tabel 2. Spesies Oksigen Reaktif................................................ 16
Tabel 3. Beberapa substitusi flavonoid dengan aktivitas
antioksidan .................................................................. 38
Tabel 4. Kadar Antosianin dalam beberapa bahan pangan ......... 47
Tabel 5. Antioksidan yang diizinkan digunakan dalam makanan
.................................................................................... 49
Tabel 6. Aturan penggunaan BHA dalam sediaan farmasi dan
makanan ...................................................................... 51
Tabel 7. Penggunaan BHT sebagai antioksidan .......................... 53
Tabel 8. Penggolongan Uji Antioksidan ..................................... 58
Tabel 9. Tingkat kerusakan antioksidan dengan metode DPPH . 61
Tabel 10. Pengaruh ekstrak air buah mahkota dewa dibandingkan
dengan vitamin C terhadap fotodegradasi tirosin ..... 124

xi
DAFTAR SINGKATAN

BHA : Butil Hidroksi Anisol


BHT : Butil Hidroksi Toluen
CAT : Katalase
CUPRAC : Cupric Ion Reducing Antioxidant Capacity=
DNA : Deoxyribonnucleotide Acid
DPPH : 1,1−diphenyl−picrylhidrazil
EDRF : Endothelial derived Relaxing Factor
EDTA : Ethylene diamine tetraacetic acid
FRAP : Ferric Reducing Ability of Plasma
GSH : Reduced Glutathione
GSSG : Glutathione Disulfide
IC50 : Inhibition Concentration 50
LDL : Low Density Lipopolisacharide
MDA : Malonaldehid
NADP : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate
NBT : Nitro Blue Tetrazolium
ORAC : Oxygen Radical Absorbance
PRX : Peroxiredoksin
ROS : Radikal Oksigen Singlet
SNR : Senyawa Nitrogen Reaktif
SOD : Superoxide Dismutase
SOR : Senyawa Oksigen Reaktif
TBA : Tersier Butil
TBARS : Thiobarbituric Acid Reactive Substances
UV : Ultraviolet

xii
BAB I
OKSIDAN

1. 1. Pengertian Oksidan
Secara biokimia, oksidasi merupakan proses pelepasan
elektron dari suatu senyawa. Senyawa yang dapat menarik
atau menerima elektron disebut oksidan atau oksidator
(Winarsi, 2007). Dalam ilmu kimia, pengertian oksidan
adalah senyawa penerima elektron yaitu senyawa penarik
elektron misalnya ion ferri (Fe2+).
Pengertian oksidan dan radikal bebas (free radicals) sering
dibaurkan karena keduanya memiliki kemiripan sifat.
Aktivitas kedua jenis senyawa ini sering menghasilkan akibat
sama walaupun prosesnya berbeda. Sebagai contoh
perhatikan dampak H2O2 (hidrogen peroksida) dan radikal
bebas OH (radikal hidroksil) terhadap glutation (GSH) :
H2O2 : GSH + H2O2  GSSG + 2H2O

OH

:GSH + OH

 H2O + GS (radikal
glutation)

GS + GS  GSSG

Walaupun ada kemiripan dalam sifat-sifatnya namun


dipandang dari sudut ilmu kimia, keduanya harus dibedakan.
Oksidan, dalam pengertian ilmu kimia, adalah senyawa
penerima elektron, (electron acceptor), yaitu senyawa-
senyawa yang dapat menarik elektron. Ion ferri (Fe3+),
misalnya, adalah suatu oksidan :

1
Fe3+ + e-  Fe2+

Sebaliknya, dalam pengertian ilmu kimia, radikal bebas adalah


atom atau molekul (kumpulan atom) yang memiliki elektron
yang tak berpasangan (unpaired electron). Sebagai contoh
marilah kita perhatikan molekul air (H2O). Ikatan atom
oksigen dengan hidrogen merupakan ikatan kovalen, yaitu
ikatan kimia yang timbul karena sepasang elektron dimiliki
bersama (share) oleh dua atom.

Atom hidrogen : H

Atom oksigen : O

dan H2O

Bila terdapat sumber energi yang cukup besar, misalnya


radiasi, molekul air dapat mengalami pembelahan homolitik
(homolytical cleavage ) :

 

H:O:H  H + 
OH
 

atom H radikal hidroksi

Atom H ( H) memiliki elektron yang tak berpasangan


sehingga dapat pula dianggap sebagai radikal.. Molekul air
dapat pula mengalami pembelahan jenis lain, yaitu
pembelahan heterolitik (heterolytical cleavage )



H:O:H  H+ + :O H


ion H ion hidroksil

Dalam hal ini, yang terbentuk bukanlah radikal tetapi ion-ion,


sehingga proses tersebut dinamakan ionisasi. Untuk ionisasi

2
molekul air tak diperlukan masukan energi yang besar,
sehingga dalam keadaan “biasa” air mengalami ionisasi.

Elektron yang tak berpasangan cenderung untuk membentuk


pasangan, dan ini terjadi dengan menarik elektron dari
senyawa lain sehingga terbentuk radikal baru :

X:H + 
OH  X + HOH
radikal hidroksil radikal baru
Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan terletak pada
kecenderungannya untuk menarik elektron. Jadi sama halnya
dengan oksidan, radikal bebas adalah penerima elektron.
Namun perlu diingat bahwa radikal bebas adalah oksidan
tetapi tidak setiap oksidan adalah radikal bebas.

Radikal bebas lebih berbahaya dibanding dengan oksidan yang


bukan radikal. Hal ini disebabkan oleh kedua sifat radikal
bebas yaitu reaktifitas yang tinggi dan kecenderungannya
membentuk radikal baru, yang pada gilirannya apabila
menjumpai molekul lain akan membentuk radikal baru lagi,
sehingga terjadilah rantai reaksi (chain reaction) Reaksi rantai
tersebut baru berhenti apabila radikal bebas tersebut dapat
diredam (quenched).

1. 2. Pengertian Radikal Bebas


Radikal bebas adalah atom atau molekul tidak stabil dan
sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron
tidak berpasangan pada orbital terluarnya (Pangkahila, 2007).
Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas
akan bereaksi dengan molekul di sekitarnya untuk

3
memperoleh pasangan elektron (Rohman, 2006). Adanya
elektron tidak berpasangan ini menyebabkan radikal bebas
secara kimiawi menjadi sangat aktif. Radikal bebas dapat
bermuatan positif (kation), negative (anion) atau tidak
bermuatan (netral). Skema pembentukan radikal bebas seperti
terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pembentukan radikal bebas

Tubuh manusia mengandung molekul oksigen stabil dan tidak


stabil. Molekul oksigen stabil penting untuk memelihara
kehidupan sel. Dalam jumlah tertentu radikal bebas
diperlukan untuk kesehatan akan tetapi radikal bebas bersifat
merusak dan sangat berbahaya. Fungsi radikal bebas dalam
tubuh adalah untuk melawan radang, membunuh bakteri dan
mengatur tonus otot polos dalam organ maupun pembuluh
darah (Giriwijoyo, 2004). Jika reaksi ini berlangsung terus
menerus dalam tubuh manusia dan bila tidak berhenti akan
menimbulkan penyakit seperti kanker, jantung, penuaan dini
dan menurunnya sistem imun tubuh (Kikuzaki, et al., 2002).
Symbol dari radikal bebas adalah sebuah titik dimana titik
tersebut menggambarkan elektron tidak berpasangan
(Fessenden, 1986).

4
Menurut Kumar et al. (2005) radikal bebas menyebabkan
kerusakan sel dengan 3 cara:
 Peroksidasi komponen lipid dari membrane sitosol
Menyebabkan serangkaian reduksi asam lemak
(autokatalisis) mengakibatkan kerusakan membrane dan
organel sel.
 Kerusakan DNA
Kerusakan DNA ini dapat mengakibatkan mutasi DNA
bahkan dapat menimbulkan kerusakan sel.
 Modifikasi protein teroksidasi karena cross linking
protein, melalui mediator sulfidril atas beberapa asam
amino labil seperti sistein, metionin, lisin dan histidin.
Ada berbagai radikal bebas turunan dari C dan N, akan tetapi
yang paling banyak diketahui adalah radikal oksigen. Radikal
bebas bisa terbentuk ketika komponen makanan diubah
menjadi bentuk energi melalui proses metabolisme. Pada
proses metabolisme ini, sering kali terjadi kebocoran elektron.
Dalam kondisi ini, mudah sekali terbentuk radikal bebas
seperti anion superoksida, hidroksil dan lain-lain. Radikal
bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya
bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal
bebas misalnya H2O2 (Kikuzaki, et al., 2002).

Pembentukan radikal bebas terjadi secara terus menerus di


dalam tubuh. Hal ini terjadi melalui proses metabolisme sel
normal, inflamasi, kekurangan nutrisi maupun sebagai respon
adanya radiasi sinar gama, UV, polusi lingkungan dan asap

5
rokok (Wijaya, 1996). Menurut Mohammed et al. (2009),
radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan. Radikal bebas
bersifat reaktif dan jika tidak diinaktifkan akan dapat merusak
makromolekul pembentuk sel yaitu protein, karbohidrat,
lemak dan asam nukleat.

Radikal bebas di dalam tubuh merupakan bahan yang sangat


berbahaya. Bahan radikal bebas tersebut sebenarnya
merupakan senyawa atau molekul dengan satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Elektron
terus mencari pasangannya dan beberapa senyawa diikat oleh
radikal bebas pada umumnya molekul besar seperti lipid,
protein maupun DNA. Apabila hal tersebut terjadi maka akan
mengakibatkan kerusakan sel atau pertumbuhan tidak bisa
dikendalikan (Wijaya, 1996).

Radikal bebas bereaksi dengan komponen biologis akan


menghasilkan senyawa teroksidasi yang dapat digunakan
sebagai penanda kerusakan oksidatif (Lampe, 1999). Radikal
bebas dapat dibentuk melalui jalur enzimatik atau metabolic.
Proses perubahan dari asam arakhidonat menjadi
prostaglandin dan prostasiklin dipicu oleh enzim
lipoksigenase dan siklooksigenase. Hasilnya adalah senyawa
oksigen reaktif berupa peroksida dan epoksida serta oksidase
berbentuk aldehid oksidase dan selanjutnya akan membentuk
radikal anion superoksida (Wijaya, 1996).

Radikal bebas memiliki reaktivitas sangat tinggi. Hal ini


ditunjukkan oleh sifatnya sangat menarik atau menyerang

6
elektron di sekelilingnya. Senyawa radikal bebas juga dapat
mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal. Kemiripan
sifat antara radikal bebas dan oksigen terletak pada agresivitas
untuk menarik elektron di sekelilingnya. Berdasarkan sifat
ini, radikal bebas dianggap sama dengan oksidan. Akan
tetapi, tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal
bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan senyawa oksidan
non radikal. Hal ini berkaitan dengan tingginya reaktivitas
senyawa radikal bebas tersebut kemudian mendorong untuk
terbentuknya radikal bebas baru. Bila senyawa radikal baru
bertemu dengan molekul lain akan terbentuk baru lagi dan
seterusnya proses itu berlangsung. Reaksi ini akan terus
berlangsung dan akan berhenti jika reaktivitasnya diredam
oleh senyawa bersifat antioksidan (Meydani, 2000).

Cara terbentuknya radikal bebas adalah secara in vivo dan in


vitro dengan tahapan proses yakni pemecahan satu molekul
normal secara homolitik menjadi dua dimana hal ini
memerlukan tenaga tinggi dari sinar UV, panas dan radiasi
ion. Kemudian dilanjutkan pada kehilangan satu elektron dari
molekul normal dan penambahan elektron pada molekul
normal (Gordon, 2001).

1. 3. Sumber Radikal Bebas


Sumber radikal bebas bisa berasal dari proses metabolisme
dalam tubuh (endogen) dan dapat berasal dari luar tubuh
(eksogen). Dari dalam tubuh mencakup superoksida (O2),
hidroksil (OH), peroksil (ROO), hidrogen peroksida

7
(H2O2), singlet oksigen (O2), oksida nitrit (NO), dan
peroksinitrit (ONOO). Secara endogen, sebagai respon
normal dari rantai peristiwa biokimia dalam tubuh, radikal
bebas terbentuk akan mempengaruhi ekstrasel dan intrasel.
Radikal endogen dapat terbentuk sebagai sisa proses
metabolism (proses pembakaran) protein, karbohidrat dan
lemak pada mitokondria, proses peradangan atau inflamasi,
reaksi antara besi logam dan transisi dalam tubuh, fagosit,
xantin oksidase, peroksisom maupun pada kondisi iskemia.
Mekanisme timbulnya radikal endogen yakni autooksidasi,
aktivitas oksidasi siklooksigenase, lipooksigenase,
dehidrogenase dan peroksidase serta pada sistem transport
elektron (Muchtadi, 2013). Sedangkan radikal eksogen antara
lain berasal dari: asap rokok, polusi, radiasi, sinar UV, obat,
pestisida, limbah industri, dan ozon (Wolf, 2002). Adapun
beberapa jenis radikal bebas endogen dapat dilihat dalam
Tabel 1.
Tabel 1. Radikal Bebas Biologis (Endogen)

Kelompok Oksigen Reaktif


*
O2 Radikal superoksida
OH* Radikal hidroksil
ROO* Radikal peroksil
H2O2 Hidrogen peroksida
1
O2* Oksigen singlet
NO* Nitrit oksida
HOCl Asam hipoklor

Tipe radikal bebas turunan oksigen reaktif sangat signifikan


dalam tubuh. Oksigen reaktif ini mencakup hidroksil (OH),
peroksil (ROO), hidrogen peroksida (H2O2), oksigen singlet

8
(O2), oksida nitrit (NO) dan asam hipoklorit (HOCl).
Spesies oksigen reaktif (ROS) dibagi menjadi 2 kelas yakni
Oxygen centered non radicals dan Oxygen centered radicals.
Oxygen centered radicals meliputi beberapa jenis yakni anion
superoksida (O2), radikal hidroksil (OH), radikal alkoksil
(RO) dan radikal peroksil (ROO). Sedangkan Oxygen
centered non radicals meliputi hidrogen peroksida (H2O2)
dan oksigen singlet (1O2). Efek ditimbulkan oleh ROS
ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Pengaruh ROS terhadap tubuh

ROS dalam sistem biologis berkorelasi dengan radikal bebas


walaupun ROS tidak tergolong radikal bebas seperti oksigen
tunggal dan hidrogen peroksida. Radikal bebas dan ROS
dapat dibentuk oleh sistem enzim prooksidaif, oksidasi lipid,
iradiasi, inflamasi, merokok dan polusi udara (Halliwel, 1994;

9
Muchtadi, 2013). Beberapa spesies ROS dapat terlihat pada
Gambar 3.

Gambar 3. Beberapa spesies ROS

Adapun beberapa penjelasan mengenai radikal tersebut yakni:


1.3.1. Anion Superoksida
Anion ini terbentuk melalui beberapa cara di
antaranya:
 Hasil reaksi samping senyawa yang melibatkan
Fe2+ seperti proses fosforilasi, oksigenasi
Hemoglobin, hidroksilasi oleh enzim mono
oksigenase dan pembebasan ion Fe.
Fe2+ + O2 → Fe3+ + O2−
 Reaksi dikatalisis oleh NADH/ NADPH oksidase
di dalam mitokondria dan granulosit.
NADH (NADPH) + O2 → NAD+ (NADP+) + H+ +
O*2−
 Reaksi dikatalisis oleh enzim xantin oksidase
XH + 2O2 + H2O → X−OH + 2 O*2− + H+

10
Enzim xantin oksidase dalam keadaan normal tak
terdapat di dalam sel mamalia. Enzim xantin oksidase
terbentuk dari enzim lain yaitu xantin dehidrogenase.
XH + NAD+ + H2O → X−OH + NADH + H+
(xantin) (asam urat)
Dalam keadaan iskemia atau hipoksemia, XD
berubah menjadi XO melalui proses proteolisis :
XD  XO + peptide
Perubahan ini tak reversibel. Sebagai akibatnya,
apabila kemudian pasokan oksigen kembali normal,
terbentuklah ion superoksida yang justru dapat
merusak jaringan (reperfusion injury)
Ion superoksida sendiri sebenarnya tak terlalu reaktif.
Bentuk reaktifnya ialah radikal peroksida yang
terbentuk melalui reaksi sebagai berikut :
O2 + H  OOH
Radikal peroksil
Seperti halnya radikal lain, radikal inipun sangat
reaktif dan akan membentuk radikal baru serta H2O2:
XH + OOH  X + H2O2
Dari reaksi diatas kiranya jelas bahwa radikal peroksil
jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan H2O2 .
Ion superoksida akan sangat berbahaya apabila
terdapat bersamaan dengan H2O2 karena akan
membentuk radikal hidroksil (OH) :
O2 + H2O2  O2 + OH + OH

11
(Reaksi Haber – Weiss)
Reaksi ini memerlukan ion Fe+++ atau Cu++ dan
diperkirakan terjadi melalui dua tahap, yaitu :
Fe+++ / Cu++ + O2  Fe++ / Cu+ + O2
Fe / Cu + H2O2  Fe
++ + +++
/ Cu ++
+ OH + OH

Diantara senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal


hidroksil adalah yang paling reaktif, oleh karena itu
paling berbahaya. Namun radikal hidroksil bukan
merupakan produk primer proses biologik, tetapi
berasal dari H2O2 dan O2.
Oksigen teraktivasi dapat menyebabkan terbentuknya
radikal bebas oksigen. Senyawa radikal ini akan
membentuk kompleks dengan senyawa organik
secara in vitro. Penyebab terbentuknya kompleks
senyawa adalah sifat permukaan membrane, muatan
listrik, sifat pengikatan makromolekul dan bagian
enzim, substrat serta katalisator (Belleville and Nabet,
1996). Radikal anion superoksida bersumber dari
beberapa tempat dimana terjadi proses transport
elekron (Lestariana, 2003).

1.3.2. Radikal Hidroksil


Senyawa H2O2 dapat berbahaya apabila bereaksi
dengan ion superoksida karena dapat menghasilkan
radikal hidroksil (OH) melalui reaksi Haber –Weiss
berikut:
O2 + H2O2  O2 + OH + OH

12
Reaksi ini memerlukan ion Fe+++ atau Cu++ dan
diperkirakan terjadi melalui dua tahap, yaitu :
Fe3+ /Cu2+ + O2  Fe2+ / Cu+ + O2
Fe2+ /Cu+ + H2O2  Fe3+ / Cu2++ OH+ OH

Dari berbagai bentuk senyawa oksigen reaktif


tersebut, radikal hidroksil adalah senyawa paling
reaktif dan berbahaya. Radikal hidroksil bukan
merupakan produk primer proses biologis melainkan
berasal dari H2O2 dan O2− (Raharjo, 2006).

1.3.3. Hidrogen Peroksida


Hidrogen peroksida adalah salah satu senyawa
oksigen reaktif berbentuk non radikal. Senyawa ini
terbentuk apabila terjadi reaksi oksidasi terkatalisis
oleh oksidase di dalam reticulum endoplasmik
khususnya di peroksisom. Hidrogen peroksida
merupakan oksidan sangat kuat dan dapat
mengoksidasi banyak senyawa terdapat dalam
glutation.
Selain bersifat oksidator, hidrogen peroksida juga
dapat membentuk radikal bebas apabila bereaksi
dengan logam transisi seperti Fe2+ dan Cu dalam
reaksi Fenton.
Fe2+ + H2O2 → Fe3+ + OH− + OH
Menurut Liochev dan Fridovich (1999) dalam
Muchtadi (2012), dismutasi anion superoksida akan

13
menghasilkan hidrogen peroksida kemudian dapat
direduksi menjadi air atau menjadi radikal hidroksil.

1.3.4. Oksigen Singlet


Oksigen singlet terbentuk melalui penyinaran sinar
matahari (UV) dan radiasi ionisasi. Oksigen singlet
adalah bentuk oksigen memiliki reaktivitas lebih
tinggi jika dibandingkan dengan oksigen bentuk
ground state. Oksigen di atmosfer merupakan sumber
oksigen dalam bentuk reaksi oksidasi. Keadaan dasar
oksigen di atmosfer berbentuk triplet (3O2). Akan
tetapi oksigen triplet bisa tereksitasi membentuk
oksigen singlet (1O2) dan dalam keadaan gas, oksigen
singlet ini cukup stabil. Menurut Grossweiner (2000),
oksigen singlet dalam keadaan gas mempunyai waktu
hidup 45 menit. Oksigen singlet lebih reaktif
dibandingkan oksigen triplet karena berada dalam
keadaan tereksitasi. Oksigen singlet dapat
mempercepat reaksi oksidasi dalam makanan
walaupun pada suhu rendah (Min and Boff, 2002;
Herawati dan Syafsir, 2006).
Oksigen singlet dapat terbentuk oleh reaksi fotokimia
terhadap oksigen triplet dengan adanya
fotosensitisizer. Senyawa alam bersifat
fotosensitisizer di antaranya klorofil, porpirin,
riboflavin dan mioglobin. Senyawa−senyawa tersebut
dapat menyerap energi dari cahaya dan

14
memindahkannya ke oksigen triplet untuk
membentuk oksigen singlet (Liedias and Hansberg,
2000).
Oksigen singlet terbentuk pada reaksi terkatalisis
enzim tertentu, di antaranya:
 Enzim monooksigenase menggunakan sitokrom p450,
apabila enzim tersebut menggunakan peroksida sebagai
substrat.
2 ROOH → 2 ROH + O2
 Enzim prostaglandin endoperoksida sintetase, enzim
berperan dalam pembentukan prostaglandin dari asam
arakhidonat.
2 PPG2 → 2 PGH2 + O2
 Enzim mieloperoksidase apabila ion hipoklorit bereaksi
dengan H2O2.
2H2O2 → 2 H2O2 + O2
Radikal bebas seperti superoksida, nitrit oksida diproduksi in
vivo secara kontinyu (Halliwel dan Gutteridge, 1989).
Sedangkan superoksida diproduksi akibat terjadinya
kebocoran dari rantai elektron antara mitokondria dan sistem
mikrosom p450 (Fridovich, 1983). Beberapa tipe oksigen
reaktif terlihat dalam Tabel 2.

15
Tabel 2. Spesies Oksigen Reaktif

No Radikal
1 O2 superoksida HOCl hipoklorit
2 HO hidroksil Fe=O Kompleks
besi oksigen
3 HO2 hidrokperoksil LOOH lipid
hidroperoksida
4 NO2 nitrogen dioksida LO2 lipid peroksil
5 NO nitrit oksida LO lipid alkoksil
6 H2O2 hidrogen peroksida
7 1
O2 singlet oksigen
Sumber: Gordon, et al., 2001

1.3.5. Radikal endogen


Radikal bebas pada organism aerobic berasal dari
1−5% terjadi kebocoran elektron. Elektron akan
bereaksi dengan oksigen membentuk radikal
superoksida, reduksi O2 menjadi superoksida pada
fagositosis, pada peristiwa iskemia, reaksi Fenton dan
Haber−Weiss dan metabolisme eicosanoid. Sumber
radikal bebas endogen berasal dari proses metabolik
normal pada tubuh manusia. Proses metabolik dapat
menghasilkan 90% oksigen di antaranya melalui :
 Proses oksidasi makanan dalam menghasilkan energy di
mitokondria disebut electron transport chain akan
memproduksi radikal bebas anion superoksida.
 Sel darah putih seperti neutrofil secara khusus
memproduksi radikal bebas untuk pertahanan tubuh
melawan pathogen.

16
 Sejumlah obat memiliki efek oksidasi pada sel dan
menyebabkan produksi radikal bebas.
 Proses oksidasi xantin yakni senyawa berada pada
sebagian besar jaringan tubuh dan cairan yang bertindak
sebagai enzim katalisator perubahan hipoksantin menjadi
xantin hingga menjadi asam urat kemudian menghasilkan
hidrogen peroksida.
 Reaksi melibatkan besi dan logam lain.
 Olahraga dengan latihan lebih lama dan intensif maka
akan mengkonsumsi oksigen lebih banyak.
(Halliwel, 2004)

1.3.6. Radikal eksogen


Secara eksogen, radikal bebas didapat dari polusi
berasal dari luar, bereaksi di dalam tubuh melalui
inhalasi, digesti, injeksi dan melalui penyerapan kulit.
Radikal bebas eksogen berasal dari pencemaran
lingkungan, asap kendaraan, bahan tambahan
makanan dan rokok (Halliwel, 2004). Bagi perokok,
menghisap radikal bebas sendiri dari rokoknya
sehingga memiliki resiko tinggi mengidap kanker dan
berbagai macam penyakit. Beberapa sumber radikal
bebas eksogen dapat terlihat pada Gambar 4.

17
Gambar 4. Sumber radikal eksogen

1. 4. Tahapan Reaksi Pembentukan Radikal Bebas


Reaksi pembentukan radikal bebas yakni melalui 3 tahapan
yakni inisiasi, propagasi dan terminasi dengan mekanisme
sebagai berikut (Gordon, et al., 1990; Cuppett, 1997):

1.4.1. Tahap inisiasi


Tahap awal pembentukan radikal bebas ini, produksi
radikal bebas melalui beberapa proses. Suhu tinggi,
proses ekstrusi dan tekanan pada pemotongan polimer
menimbulkan radikal alkil. Setelah oksidasi dimulai,
konsentrasi hidroperoksida meningkat. kemudian
dekomposisi hidroperoksida menjadi sumber utama
inisiator radikal. Penyerapan sinar UV menghasilkan
radikal yang disebabkan oleh hidroperoksida dan
senyawa karbonil. Degradasi polimer disebabkan oleh
penyerapan cahaya UV dari autooksidasi radikal.
Substrat oksidatif dapat bereaksi secara langsung

18
dengan oksigen khususnya pada temperatur tinggi
sehingga menghasilkan radikal.
RH → radikal bebas R, ROO, RO, HO
ROOH → RO + OH
2ROOH → RO + ROO + H2O
ROOR → 2RO

1.4.2. Tahap propagasi


Tahap ini merupakan awal pemanjangan rantai
radikal atau pemanjangan reaksi dimana radikal bebas
akan diubah menjadi radikal bebas lain. Pada tahap
propagasi, dapat terjadi oksigenasi lemak (R)
membentuk radikal peroksida (ROO). Proses
oksigenasi terjadi sangat cepat dengan aktivitas energi
hampir mendekati nol (0). Keadaan tersebut
mengakibatkan konsentrasi ROO terbentuk lebih
besar.
Reaksi propagasi dapat terjadi beberapa kali sebelum
terjadi pemutusan oleh radikal peroksi ke non radikal.
Dekomposisi homolitik hidroperoksida dihasilkan
oleh reaksi propagasi sehingga meningkatkan tingkat
inisiasi oleh produksi radikal. Laju reaksi dari
molekul oksigen dengan radikal alkil membentuk
peroksi radikal jauh lebih tinggi dibandingkan laju
reaksi radikal peroksi dengan atom hidrogen dari
substrat.
R + 3O2 → ROO
ROO + RH → ROOH + R

19
1.4.3. Tahap terminasi
Senyawa radikal akan bereaksi dengan radikal lain
sehingga potensi propagasinya rendah. Konversi
radikal peroksi dan alkil ke non radikal mengakhiri
reaksi propagasi, sehingga mengurangi perpanjangan
rantai kinetik. Reaksi terminasi signifikan terjadi
ketika konsentrasi oksigen sangat rendah. Kombinasi
radikal alkil menyebabkan cross linking
mengakibatkan peningkatan viskositas dan berat
molekul.
R + R’ → RR
R + ROO → ROOR
ROO + ROO → ROOR + O2
Pada tahap terminasi, akan terbentuk spesies non
radikal karena radikal bebas bereaksi satu sama lain.
Sedangkan hidroperoksida akan terdekomposisi
menjadi produk alkohol, asam keton dan substrat lain
yang lebih stabil.

1. 5. Efek Radikal Bebas

1.5.1. Efek Negatif Radikal Bebas


Radikal bebas bersifat destruktif, sangat reaktif dan
mampu bereaksi dengan makromolekul sel seperti
protein, lipid, atau DNA. Salah satu kerugian akibat
radikal bebas yakni timbulnya arterosklerosis, dapat
dilihat pada Gambar 5.

20
Gambar 5. Atherosklerosis (National Heart and Lung Institute, 2015)

Menurut Langseth (1995), reaksi antara radikal bebas


dan molekul normal akan menimbulkan penyakit di
antaranya:

1.5.1.1.Kerusakan DNA pada inti sel


Radikal bebas dapat menimbulkan berbagai
perubahan pada DNA yang antara lain berupa
hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti
purin dan pirimidin serta terputusnya rantai
fosfodiester DNA.
Bila kerusakan tak terlalu parah, maka masih bisa
diperbaiki oleh sistem perbaikan DNA (DNA repair
system ). Namun apabila kerusakan terlalu parah,
misalnya rantai DNA terputus-putus diberbagai
tempat, maka kerusakan tersebut tak dapat diperbaiki
dan replikasi sel akan terganggu. Susahnya, perbaikan

21
DNA ini sering justru menimbulkan mutasi, karena
dalam memperbaiki DNA tersebut sistem perbaikan
DNA cenderung membuat kesalahan (error prone ),
dan apabila mutasi ini mengenai gen-gen tertentu
yang disebut onkogen, maka mutasi tersebut dapat
menimbulkan kanker (Reynertson, 2007). Sel
mengandung DNA rusak tersebut bila membelah
sebelum diperbaiki, akan mengakibatkan perubahan
genetic secara permanen. Hal tersebut merupakan
langkah awal dalam proses karsinogenesis. Oksidasi
DNA oleh senyawa radikal bebas dapat menginisiasi
terjadinya kanker (Langseth, 1995). Kerusakan DNA
akibat radikal bebas dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Kerusakan DNA akibat radikal bebas

1.5.1.2.Kerusakan protein
Oksidan dapat merusak protein karena dapat
mengadakan reaksi dengan asam-asam amino yang
menyusun protein tersebut. Diantara asam-asam
amino penyusun protein yang paling rawan adalah
sistein. Sistein mengandung gugusan sulfidril (SH)

22
dan justru gugusan inilah yang paling peka terhadap
serangan radikal bebas seperti radikal hidroksil :
RSH + OH  RS + H2O
RS + RS  RSSR
Pembentukan ikatan disulfida (-S-S-) menimbulkan
ikatan intra atau antar molekul protein tersebut
kehilangan fungsi biologisnya (misalnya enzim
kehilangan aktivitasnya).
1.5.1.3.Kerusakan lipid peroksida
Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan
oksidatif pada ikatan lemak tak jenuh dalam
membran fosfolipid (Soleas, et al., 2002). Peroksidasi
lipid pada mebran merusak struktur membran dan
menyebabkan hilangnya fungsi dari organel sel.
Mekanisme peroksidasi lipid dapat terlihat pada
Gambar 7.

Gambar 7. Mekanisme kerusakan lipid peroksidasi

23
Komponen terpenting membran sel adalah fosfolipid,
glikolipid dan kolesterol. Dua komponen pertama
mengandung asam lemak tak jenuh. Justru asam
lemak tak jenuh ini (asam-asam linoleat, linolenat
dan arakidonat) sangat rawan terhadap serangan-
serangan radikal, terutama radikal hidroksil. Radikal
hidroksil dapat menimbulkan reaksi rantai yang
dikenal dengan nama peroksidasi lipid
LH + OH  L + H2O
Asam lemak Radikal lipid
L + O2  LOO
Radikal peroksilipid
LOO + RH  L + LOOH dan seterusnya.
Akibat akhir dari rantai reaksi ini adalah terputusnya
rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa yang
bersifat toksik terhadap sel, antara lain berbagai
macam aldehida, seperti malondialdehida, 9-hidroksi-
nonenal serta bermacam-macam hidrokarbon seperti
etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Tahapan kerusakan
lipid peroksidasi hingga membentuk senyawa toksik
ditunjukkan pada Gambar 8.

24
Gambar 8. Tahapan terjadinya kerusakan lipid peroksidasi

Dapat pula terjadi ikatan silang (cross-linking) antara


dua rantai asam lemak atau antara asam lemak dan
rantai peptida (protein) yang timbul karena reaksi dua
radikal :
R1 + R2   R1R2
Semuanya itu menyebabkan kerusakan kerusakan
parah membran sel sehingga membahayakan
kehidupan sel.

25
1.5.2. Efek Positif Radikal Bebas
Oksidan menimbulkan banyak kerugian, tetapi justru
dampak negatif ini dimanfaatkan oleh tubuh untuk
melawan serbuan organisma patogen. Untuk
menghadapi “serangan dari luar ini”, Sang Pencipta
telah menyediakan sel-sel khusus yang disebut sel-sel
radang (inflamatory cells ) seperti granulosit, monosit
dan makrofag, yang dapat menghasilkan oksidan
seperti H2O2, O2, OH, ClO dan O2.
Ketidakseimbangan antara jumlah radikal bebas dan
antioksidan akan menyebabkan stress oksidatif atau
kerusakan oksidatif. Peranan radikal bebas secara
fisiologis sebagai regulator dalam metabolism
senyawa nitrogen reaktif (SNR) adalah radikal NO.
Radikal tersebut akan mengubah endothelial derived
relaxing factor (EDRF) menjadi modulator neuronal.
Sedangkan H2O2 berperan dalam agregasi platelet dan
anion superoksida berperan dalam kemotaksis bakteri
(Winarsi, 2007). Efek radikal nitrit oksida dapat
dilihat pada Gambar 9.

26
Gambar 9. Efek radikal nitrit oksida untuk tubuh

Beberapa efek positif radikal bebas di antaranya:


 Senyawa oksigen reaktif berperan dalam proses
bakterisidal dan bakteriolisis normal. SOR
disintesis sel fagosit melalui jalur NADP
oksidase seperti radikal anion superoksida dan
H2O2 sebagai bakterisidal. Efek ini dapat dilihat
pada Gambar 10.
 Radikal anion superoksida mempunyai sifat
vasokontriktor pada otot halus atau dalam
fibroblast.
 Senyawa oksigen reaktif berperan dalam
kapasitas spermatozoid sehingga keberadaannya
berfunugsi dalam fertilisasi.

27
 Senyawa oksigen reaktif secara in vitro bersifat
mitogenik pada berbagai sel.
 Berperan dalam sintesis DNA karena aktivitas
ribonukleotida reduktase sangat tergantung SOR.
 Berperan dalam aktivitas spermatozoa.

Gambar 10. Efek radikal bebas jenis ROS dalam menghambat bakteri

28
BAB II
ANTIOKSIDAN DAN JENISNYA

2.1.Pengertian Antioksidan
Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai
keterbatasan dalam penanggulangan masalah kesehatan,
dimana penyakit infeksi masih tinggi, tetapi prevalensi
penyakit degeneratif makin meningkat. berdasarkan riset
kesehatan dasar oleh Badan Litbangkes tahun 2007,
penyebab kematian utama adalah stroke (15,4%) diikuti
tuberkulosis, hipertensi dan cidera serta diabetes mellitus
dan tumor. Penyakit degenerative seperti kanker, diabetes
mellitus dan komplikasinya, stroke dan aterosklerosis
disebabkan karena stress oksidatif. Antioksidan sangat
diperukan oleh tubuh untuk mengatasi dan mencegah
stress oksidatif.
Senyawa fitokimia adalah zat alami terdapat dalam
tanaman yang dapat memberikan citarasa, aroma dan
warna khas pada tanaman tersebut. Salah satu khasiat
fitokimia dapat digunakan sebagai antioksidan. Adapun
khasiat lainnya yakni dapat meningkatkan sistem
kekebalan, mengatur tekanan darah, menurunkan kadar
kolesterol dan mengatur kadar gula darah.
Senyawa antioksidan menurut pengertian kimiawi
adalah senyawa donor elektron. Namun dalam arti
biologis, pengertian antioksidan lebih luas yaitu senyawa
yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk

29
enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam.
Antioksidan bekerja dengan mendonorkan satu
elektronnya kepada senyawa oksidan sehingga ada
aktivitas penghambatan oksidan tersebut (Winarti, 2010).
Tubuh memerlukan antioksidan untuk melindungi dari
serangan radikal bebas. Antioksidan adalah suatu
senyawa pada konsentrasi rendah secara signifikan dapat
menghambat atau mencegah oksidasi substrat dalam
reaksi rantai (Halliwell dan Whitemann, 2004; Leong dan
Shui, 2002). Antioksidan dapat melindungi sel-sel dari
kerusakan karena molekul tidak stabil atau radikal bebas.
Antioksidan dapat mendonorkan elektronnya kepada
molekul radikal bebas, sehingga dapat menstabilkan
radikal bebas dan menghentikan reaksi berantai (Sies,
1997). Antioksidan dapat mencegah terbentuknya radikal
bebas dalam tubuh, seperti terlihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Antioksidan melindungi tubuh dari radikal bebas

Salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif atau


oksidan adalah radikal bebas, senyawa ini terbentuk di
dalam tubuh dan dipicu oleh bermacam-macam faktor

30
(Winarsi, 2007). Menurut Sadikin (2001) bahwa
serangan radikal bebas terhadap molekul sekelilingnya
akan menyebabkan terjadinya reaksi berantai, kemudian
dapat menghasilkan senyawa radikal baru. Dampak
reaktivitas senyawa radikal bebas mulai dari kerusakan
sel atau jaringan, penyakit autoimun, penyakit
degeneratif, hingga kanker. Oleh karena itu tubuh
memerlukan substansi penting, yakni antioksidan
dimana antioksidan dapat membantu melindungi tubuh
dari serangan radikal bebas dengan meredam dampak
negatif senyawa radikal bebas tersebut (Karyadi, 1997).

2.2. Jenis Antioksidan


Antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik.

2.2.1. Antioksidan alami


Secara alami beberapa jenis tumbuhan merupakan
sumber antioksidan, hal ini dapat ditemukan pada
beberapa jenis sayuran, buah-buahan segar, beberapa
jenis tumbuhan dan rempah-rempah (Kuncahyo,
2007). Beberapa sumber antioksidan alami
ditunjukkan oleh Gambar 12.

31
Gambar 12. Sumber antioksidan alami (www.mindpowerglobal.au)

Antioksidan alami dapat diisolasi dari bahan alam.


Antioksidan ini memiliki bobot molekul sekitar
200−400. Semua antioksidan alami mudah diserap
oleh usus dan didistribusikan ke seluruh tubuh
(Niwa, 1997). Fungsi dari antioksidan alami antara
lain adalah sebagai reduktor, peredam pembentukan
oksigen singlet, penangkap radikal bebas dan
pengkhelat logam (Sidik, 1997). Antioksidan alami
digolongkan menjadi enzim dan vitamin.
Antioksidan berupa enzim yang dihasilkan oleh
tubuh berupa superoxide dismutase (SOD), glutation
peroxidase, dan katalase. Sedangkan antioksidan
vitamin umumnya beta karoten (vitamin A),
alfatokoferol (vitamin E) dan asam askorbat (vitamin
C) (Zeng dan Wang, 2001). Antioksidan dari

32
tumbuhan adalah senyawa polifenol atau fenolik,
golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin,
tokoferol dan asam organik (Madhavi, et al., 1996).

2.1.1.1.−Tokoferol
−Tokoferol tersimpan terutama dalam
jaringan adiposa, hati dan otot. Senyawa ini berfungsi
sebagai antioksidan utama dan bersifat larut lemak
atau membran (Evans, 1991). −Tokoferol mencegah
proses peroksidasi lipid dimana perannya sebagai
pereduksi memecah reaksi rantai oksidatif atau
menangkap radikal peroksil sebelum dapat merusak
sel. Tokoferol memiliki aktivitas paling tinggi
terhadap radikal peroksil. Gugus fenol pada hidroksil
cincin C6 adalah gugus berperan dalam aktivitas
antioksidan dan sistem cincin kromanol untuk
enstabilkan elektron tidak berpasangan (Bagchi,
1998). Struktur kimia −tokoferol dapat dilihat pada
Gambar 13.

Gambar 13. Struktur kimia −tokoferol

Efek antioksidan in vivo melibatkan oksidasi


tokoferol menjadi tokoferilquinon melalui senyawa

33
antara radikal tokoferoksil. Asam askorbat telah
terbukti secara in vitro mereduksi tokoferoksi menjadi
tokoferol kembali dan teroksidasi menjadi asam
dehidroaskorbat selama proses. −Tokoferol banyak
ditemukan dalam minyak tumbuhan seperti minyak
bunga matahari, minyak zaitun, kacang kacangan, biji
gandum dan sayuran berwarna hijau (Combs, 1992).
−Tokoferol bekerja sebagai antioksidan
karena mudah teroksidasi. Dengan demikian dapat
melindungi senyawa lain dari oksidasi. −Tokoferol
dapat menghentikan reaksi berantai dari radikal
bebas. Pada sel membrane, −Tokoferol akan
mencegah oksidasi lemak khususnya Poly
Unsaturated Fatty Acid dan vitamin A. −Tokoferol
pada mitokondria sel akan melindungi bagian
metabolic yang akan mentransformasi bahan bakar
energy ke dalam ATP. Di dalam jaringan lemak
tubuh, antioksidan dari −Tokoferol menyerang lipid
peroksida (hasil reaksi antara lipid dan radikal
bebas). Lipid peroksida dianggap berbahaya karena
diduga dapat menyebabkan penyakit degenerative
(Lamid, 1995).

2.1.1.2.Asam askorbat
Asam askorbat berperan dalam sintesis
kolagen, membantu menjaga kesehatan pembuluh
kapiler, gigi dan gusi, meningkatkan penyerapan zat
besi dalam tubuh. Asam askorbat juga dapat

34
meningkatkan HDL, menurunkan kolesterol dalam
darah dan mengurangi peningkatan karsinogen pada
DNA serta memperlambat pembentukan sel tumor
pada model hewan (Evans, 1991).
Asam askorbat merupakan antioksidan larut air
yang utama dalam plasma darah dan sitosol. Aasam
askorbat menangkap oksigen singlet dan bereaksi
secara cepat dengan radikal hidroksil dan hidrogen
peroksida. Aktivitas asam askorbat berada pada gugus
2,3−enediol yang daoat teroksidasi maupun tereduksi.
Asam askorbat terdapat dalam 2 bentuk di alam yaitu
L-askorbat dan L-dehidro askorbat (bentuk
teroksidasi). Struktur kimia asam askorbat seperti
dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Struktur kimia asam askorbat

Asam askorbat dioksidasi secara in vivo


membentuk radikal askorbil (reversible) dan dapat
dioksidasi lebih lanjut menjadi asam dehidroaskorbat.
Asam dehidroaskorbat dengan cepat dan ireversibel
diuraikan melalui pembentukan hidrolitik cincin
lakton. Asam dehidroaskorbat bersifat relatif tidak

35
stabil dan mengalami hidrolisis menjadi asam
2,3−diketogulonat. Reaksi ini terjadi dengan adanya
oksigen, ion logam serta meningkat dengan panas,
kondisi netral, hingga basa. Asam askorbat dapat
diperoleh kembali dari asam dehidroaskorbat dengan
adanya enzim dehidroaskorbat reduktase (Combs,
1992).

2.1.1.3.Polifenol
Kandungan polifenol dapat dijadikan
karakteristik antioksidan terkandung dalam bahan
makanan. Polifenol merupakan salah satu kelompok
antioksidan paling banyak terdapat dalam tanaman
pangan, dengan lebih dari 8000 struktur fenolik
(Harborne, 1993). Menurut Aulia (2009) senyawa
polifenol bersifat multifungsional dimana beberapa
kegunaannya di antaranya dapat sebagai pereduksi
atau donor elektron, penangkap radikal bebas,
pengkhelat logam dan peredam terbentuknya oksigen
singlet. Turunan polifenol sebagai antioksidan dapat
menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi
kekurangan elektron radikal bebas dan menghambat
terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal
bebas (Hattenschwiller dan Vitousek, 2000).
Senyawa polifenol merupakan salah satu kelas
antioksidan berada dalam tumbuhan. Kandungannya
sering diketahui sebagai terminator radikal bebas dan
pada umumnya kandungan senyawa ini berkorelasi

36
positif terhadap aktivitas antiradikal (Marinova and
Batcharov, 2001).

2.1.1.4.Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok antioksidan
penting untuk tubuh manusia. Flavonoid dibagi
menjadi 13 kelas dengan lebih dari 4000 senyawa
ditemukan hingga tahun 1990. Flavonoid merupakan
senyawaan fenol pada sebagian besar tumbuhan hijau.
Beberapa fungsi flavonoid yang terkandung pada
tumbuhan ialah pengaturan tumbuh, pengaturan
fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus. Efek
flavonoid terhadap berbagai macam organisme sangat
banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa
tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam
pengobatan tradisional. Flavonoid dapat bekerja
sebagai inhibitor kuat pernapasan, juga sebagai
senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak
reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun
non−enzim. Flavonoid bertindak sebagai penampung
yang baik radikal hidroksi dan superoksida dan
melindungi membran lipid terhadap reaksi yang
merusak ( Robinson, 1995).
Flavonoid diketahui berfungsi sebagai
antimutagenik dan antikarsinogenik. Selain itu
memiliki sifat sebagai antioksidan, anti inflamasi, anti
alergi dan menghambat oksidasi LDL (Harborne,
1993).

37
Senyawa flavonoid yang paling banyak terdapat
di alam adalah flavonol, flavon, flavon−3−ol,
isoflavon, flavanon, antosianidin dan proantosianidin
(Bravo, 1998). Beragam kombinasi dari gugus
hidroksil, gula, oksigen dan metil pada strukturnya
menjadi dasar pembagian golongan flavonoid
menjadi flavonol, flavanon, flavon, flavon−3−ol
(katekin), antosianidin, bioflavonoid dan isoflavon
(Markham, 1998). Tabel 3 menunjukkan bentuk
substitusi flavonoid dengan aktivitas antioksidan.
Kemudian, struktur kimia dari substitusi dapat
ditunjukkan pada Gambar 15.

Tabel 3. Beberapa substitusi flavonoid dengan aktivitas antioksidan

Senyawa R3 R5 R7 R8 R2’ R3’ R4’ R5’ C1=


C3

1 Quercetin OH OH OH H H OH OH H +
2 Miricetin OH OH OH H H OH OH OH +
3 Kaempferol OH OH OH H H H OH H +
4 Luteolin H OH OH H H OH OH H +
5 Apigenin H OH OH H H H OH H +

38
Gambar 15. Struktur substitusi flavonoid dengan aktivitas antioksidan

Flavonoid biasanya terdapat sebagai flavonoid


O glikosida, pada senyawa tersebut satu gugus
hidroksil flavonoid terikat pada satu atau lebih gula
dengan ikatan hemiasetal tidak tahan asam. Pengaruh
glikosilasi menyebabkan flavonoid menjadi kurang
reaktif dan lebih mudah larut dalam air, sehingga sifat
ini memungkinkan flavonoid disimpan dalam vakuola
sel (Markham, 1998). Beberapa struktur flavonoid
ditunjukkan pada Gambar 16.

39
Gambar 16. Struktur kimia beberapa jenis flavonoid (Apak, et al., 2007)

Flavonoid terdapat pada seluruh bagian


tanaman, termasuk pada buah, tepung sari, dan akar.
Flavonoid biasanya terdapat sebagai O-glikosida;
pada senyawa tersebut satu gugus hidroksil flavonoid
atau lebih terikat pada satu gula atau lebih dengan
ikatan hemiasetal. Gula dapat juga terikat pada atom
karbon flavonoid dan dalam hal ini gula tersebut
terikat langsung pada inti benzene dengan suatu
ikatan karbon-karbon yang tahan asam atau disebut
C-glikosida (Markham, 1988).
Kegunaan bagi tumbuhan yaitu untuk menarik
serangga, yang membantu proses penyerbukan, untuk
menarik perhatian binatang yang membantu
penyebaran biji. Bagi manusia dosis kecil, flavon
bekerja sebagai stimulant pada jantung, hisperidin
mempengaruhi pemburuh darah kapiler, flavon

40
terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai
antioksidan pada lemak ( Sirait, 2007).
Flavonoid mempunyai sejumlah fungsi penting
bagi tumbuhan, diantaranya sebagai pigmen warna,
pelindung tanaman dari sinar UV-B, dan antimikroba.
Delfinidin, salah satu jenis flavonoid, memberikan
warna biru pada kelopak bunga. Salah satu resistensi
tanaman dari sinar UV-B di antaranya terletak pada
peranan flavonoid yang diketahui secara umum
terdapat pada daun-daun berwarna hijau. Flavonoid
dapat berperan sebagai penapis sinar UV-B karena
flavonoid dapat menyerap sinar pada panjang
gelombang 280-315 nm. Sebagai antimikroba,
flavonoid mempunyai kemampuan untuk
menghambat pengecambahan spora patogen pada
tanaman (Harborne& Williams, 2000).
Selain memegang peran penting pada
tumbuhan, flavonoid juga memiliki beberapa fungsi
medis pada manusia, yaitu aktivitas antioksidan,
antiinflamasi, mengurangi resiko penyakit jantung
koroner, sejumlah aktivitas pada vaskular,
oestrogenik, sitotoksik antitumor, antispasmolitik,
hepatoprotektif, antijamur, antiansietas, dan
pencegahan terhadap malaria (Harborne& Williams,
2000).
Sebagai antioksidan, flavonoid dapat
menangkap sejumlah ion oksidatif, di antaranya

41
anion superperoksida, radikal hidroksil atau radikal
peroksi. Flavonoid juga dapat memadamkan oksigen
singlet. Berdasarkan penelitian, ada beberapa
mekanisme dalam aktivitas antioksidan oleh
flavonoid ini. Menurut Tournaire dkk. (1993),
keberadaan katekol pada cincin B berperan utama
dalam mengontrol pemadaman 1O2 dan keberadaan
gugus hidroksil pada posisi 3 sebagian besar
menentukan efisiensi reaktivitas kimia flavonoid
dengan 1O2. Sedangkan berdasarkan penelitian Das &
Pereira (1990), gugus karbonil pada C-4 dan ikatan
rangkap antara C-2 dan C-3 pada flavonoid juga
berperan pada aktivitas antioksidan yang tinggi.
Kemungkinan mekanisme lain yaitu kemampuan
flavonoid dalam menstabilkan membran dengan cara
mengurangi fluiditas membran (Arora dkk., 2000).
Aktivitas flavonoid sebagai antioksidan
terutama ditentukan oleh posisi dan tingkat
hidrooksilasinya. Gugus orto−dihidroksi dalam cincin
B berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan.
Struktur p−quinol pada cincin B memberikan
aktivitas lebih besar dibandingkan dengan struktur
o−quinol. Sementara konfigurasi meta tidak memiliki
efek antioksidan. Semua flavonoid dengan
konfigurasi 3’, 4’−dihidroksilasi memiliki aktivitas
sebagai antioksidan (Amic, et al., 2002). Adapun

42
struktur flavonoid dengan aktivitas antioksidan tinggi
dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Struktur flavonoid dengan aktivitas antioksidan tinggi

Salah satu flavonoid dengan aktivitas


antioksidan adalah senyawa isoflavon merupakan
senyawa metabolit sekunder yang banyak disintesis
oleh tanaman. Namun, tidak seperti senyawa
metabolit sekunder lain, senyawa ini tidak disintesis
oleh mikroorganisme (Anderson, 1997 dalam
Pawiroharsono, 2001). Dengan demikian,
mikroorganisme tidak mempunyai kandungan
senyawa ini. Oleh karena itu, tanaman merupakan
sumber utama senyawa isoflavon di alam.

Dari beberapa jenis tanaman, kandungan


isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada tanaman
Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai.
Isoflavon dominan pada kedelai terdapat dalam
bentuk glikosida, sedangkan yang dominan pada
produk kedelai yang mengalami fermentasi adalah
aglikon (Coward et al., 1993). Bentuk glikosida

43
dipertahankan oleh tanaman sebagai bentuk inaktif
sehingga dibutuhkan sebagai antioksidan. Bentuk
aktif glikosida adalah aglikon, yang dihasilkan dari
pelepasan glukosa dan glikosida (Anderson et al.,
1998). Jenis senyawa isoflavon ini terutama adalah
genistin, daidzin, dan glisitin (Pradana, 2008).
Struktur kimia isoflavon pada kedelai dapat
ditunjukkan pada Gambar 18.

Gambar 18. Struktur kimia Genistin, Glistin dan Daidzin (Ariani dan
Hastuti, 2009)

Isoflavon kedelai dapat menurunkan resiko


penyakit jantung dengan membantu menurunkan
kadar kolesterol darah, menghambat perkembangan
sel-sel kanker dan angiogenesis, membantu
menurunkan osteoporosis dan dapat membantu

44
pengobatan simptom menopause (Koswara, 2006).
Ketiga jenis isoflavon yaitu daidzein, glisitein, dan
genistein mempunyai sifat antioksidan paling kuat
dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai
(Pawiroharsono, 1996).

2.1.1.5.Vitamin A
Vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan fungsi sistem imun serta proses
penglihatan. Fungsi betakaroten sebagai precursor
vitamin A. Secara enzimatis, betakaroten akan
berubah menjadi retinol, zat aktif vitamin A dalam
tubuh. Menurut Astawan dan Kasih (2008)
betakaroten mempunyai peran penting dalam
menstabilkan radikal berinti karbon sehingga
mengurangi resiko terjadinya kanker. Salah satu
keunikan sifat antioksidan ini adalah efektif pada
konsentrasi rendan oksigen sehingga mampu
melengkapi sifat antioksidan vitamin E (efektif pada
konsentrasi tinggi oksigen). Betakaroten juga dapat
meningkatkan daya tahan tubuh. Kandungan
betakaroten pada bahan pangan alami dapat
mengurangi resiko terjadiya stroke. Hal tersebut
akibat aktivitas betakaroten sebagai pencegah
terbentuknya plak atau timbunan kolesterol dalam
pembuluh darah. Struktur kimia vitamin A dapat
terlihat pada Gambar 19.

45
Gambar 19. Struktur kimia vitamin A

2.1.1.6.Antosianin
Antosianin merupakan glikosida antosianidin
yaitu garam polihidroksiflavillium. Senyawa ini
merupakan turunan garam flavillium atau
benzilflavillium. Antosianin memiliki sifat mudah
larut dalam air (Markakis, 1982). Antosianin tersusun
atas gugusan glikon dan aglikon, dimana gugus
glikon jika dihilangkan melalui hidrolisis maka
dihasilkan antosianidin. Gugus gula berikatan dengan
antosianidin pada umumnya adalah glukosa,
galaktosa, xilosa, arabinosa dan rhamnosa.
Antosianidin akan berwarna merah di lingkungan
asam, biru di basa dan warna ungu di lingkungan
netral (Francis, 2000). Kadar antosianin dalam
beberapa bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 4.

46
Tabel 4. Kadar Antosianin dalam beberapa bahan pangan

Bahan pangan Kadar Antosianin


(mg/100g)
Blackberries 353
Blueberries 529
kebun
Blueberries liar 705
Kismis hitam 533
Murbei 1993
Anggur 192
Plum 250
Black 845
raspberry
Red raspberry 116
Strawberry 69
Kubis merah 113
Terong 35
Bawang merah 39
Sumber: Astawan dan Kasih, 2008

Antosianin mempunyai efek anti inflamasi,


antibaktei dan pencegahan penyakit diabetes mellitus
(Astawan dan Kasih, 2008). Antosianin memiliki
fungsi fisiologis sebagai antioksidan dan melindungi
sel hepar. Antosianin juga mampu menghalangi laju
pengrusakan sel radikal bebas akibat nikotin, polusi
udara dan bahan kimia lain. Antosianin berperan
dalam mencegah penuaan (Gambar ), penurunan
daya ingat dan kepikunan, polip, asam urat dan
mencegah kenaikan asam lambung serta mampu
menurunkan kadar gula darah (Kumalaningsih dan
Suprayogi, 2006).

47
Gambar 20. Antosianin dapat mencegah penuaan dini

2.2.2. Antioksidan sintetik


Senyawa antioksidan sintetik memiliki fungsi
menangkap radikal bebas dan menghentikan reaksi
berantai (Hurrell, 2003), berikut adalah contoh
antioksidan sintetik di antaranya Butylated hydroxyl
anisole (BHA), Butylated hydroxyrotoluene (BHT),
Propyl gallate (PG) dan metal chelating agent (EDTA),
Tertiary butyl hydroquinone (TBHQ), Nordihydro
guaretic acid (NDGA). Antioksidan utama pada saat ini
digunakan dalam produk makanan adalah monohidroksi
atau polihidroksi senyawa fenol dengan berbagai
substituen pada cincin (Hamid, A. et al, 2010).
Antioksidan fenolik sintesis selalu diganti oleh alkil untuk
meningkatkan kelarutannya dalam lemak dan minyak
(Gordon, et al., 2001).
Antioksidan sintetik utama digunakan dengan btas
penggunaan yaitu 0,02% dari kandungan lemak atau
minyak (Tranggono, 1990). Antioksidan untuk minyak
nabati adalah TBHQ. BHA dan BHT cukup stabil

48
terhadap panas dan sering digunakan untuk stabilisasi
lemak dalam proses pemanggangan dan penggorengan
produk (Hamid, A. et al, 2010). Antioksidan BHA dan
BHT jika digunakan dalam jangka panjang akan
memberikan efek pada tubuh (Fennema, 1996). Menurut
Concon (1988) penggunaan BHT dan BHA sebagai
antioksidan memiliki efek toksik yaitu kandungan 1%
BHT atau BHA dalam makanan menghasilkan penurunan
berat badan dan pembengkakan berat pada organ hati dan
otak. Beberapa antioksidan alami dan sintetik yang
diizinkan untuk digunakan dalam makanan dapat terlihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Antioksidan yang diizinkan digunakan dalam makanan

Antioksidan Sinergis
Tokoferol Asam sitrat dan isopropil sitrat
Gum guacic Asam phosphoric
Propil galat Asam tiodipropionat dan diodesil,
dilauril, dioctadesil ester
BHA Asam askorbat dan askorbil
BHT Palmitat
TBHP Asam tartarat
TBHQ Lecithin
Sumber: Fennema, 1996

2.2.2.1.Butyl Hidroksi Anisol (BHA)


BHA mulai digunakan sejak tahun 1947
sebagai bahan tambahan dalam produk makanan yang
mengandung minyak untuk mencegah makanan
menjadi basi (Madhavi, 1996). Bagian aktif dari BHA
yang bertindak sebagai antioksidan adalah cincin
aromatis terkonjugasinya yang dapat bertindak

49
sebagai stabilisator untuk radikal bebas, sehingga
reaksi radikal bebas selanjutnya dapat dihindari.
Antioksidan sintetik seperti BHA diketahui memiliki
aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibanding-kan
vitamin E (Han, et al., 2004).
BHA memiliki kemampuan antioksidan paling
baik pada lemak hewan dalam sistem makanan
panggang. BHA tidak efektif digunakan untuk
minyak tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak
larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam
bentuk serpih atau tablet, bersifat volatile sehingga
berguna untuk penambahan ke materi pengemas
(Gordon, et al., 2001).
BHA memiliki dua isomer yaitu
3−tert−butil−4−hidroksianisol (3−BHA) dan
2−tert−butil−4−hidroksianisol (2−BHA). BHA pada
umumnya mengandung tidak kurang dari 90% isomer
3−BHA dimana lebih baik dari 2 BHA (Smith, 1991).
BHA larut dalam metanol, larut baik dalam
kloroform, etanol, propilen glikol, dietil eter, heksan
dan petroleum eter. Titik didih BHA 264oC dan titik
leleh 47oC untuk 3−BHA. Struktur kimia BHA dapat
dilihat pada Gambar 21.

50
3 BHA
2 BHA

Gambar 21. Struktur kimia BHA

BHA digunakan dalam kosmetik, makanan,


sediaan farmasi terutama sebagai antioksidan (Rowe
et al. 2003). BHA sering digunakan dalam kombinasi
dengan antioksidan lain seperti BHT dan alkil galat
dan dengan sekuestran atau sinergis seperti asam
sitrat. Beberapa penggunaan BHA dalam sediaan
farmasi dapat ditunjukkan oleh Tabel 6.
Tabel 6. Aturan penggunaan BHA dalam sediaan farmasi dan makanan

Penggunaan Konsentrasi (%)


β−karoten 0,01
Minyak atsiri 0,02−0,05
Injeksi i.m. 0,03
Injeksi i.v. 0,0002−0,0005
Minyak dan lemak 0,02
Formulasi topikal 0,005−0,02
Penggunaan BHA dalam makanan juga
mempunyai pro dan kontra. National Institute of
Health Amerika Serikat melaporkan bahwa
penggunaan BHA dalam makanan dapat menjadi
senyawa karsinogen berdasarkan efek
karsinogeniknya pada hewan coba. Pada ekperimen

51
dengan menggunakan tikus, pemberian BHA dosis
tinggi dalam makanan telah menimbulkan papilloma
dan squamous cell carcinoma. Pada mencit, efek
buruk ini tidak terjadi, bahkan efek yang timbul
adalah efek protektif terhadap kanker dari senyawa
kimia (Lam, et al., 1979). Sedangkan pada manusia,
beberapa penelitian telah menemukan bahwa BHA
dapat menyebabkan reaksi alergi dan pada dosis besar
dapat berefek pada fungsi ginjal dan hati
(Botterwerck, 2007).

2.2.2.2.Butyl Hidroksi Toluen (BHT)


Antioksidan sintetik BHT memiliki sifat
serupa dengan BHA. BHT akan member efek sinergis
jika digunakan bersama BHA. BHT berbentuk kristal
padat putih. BHT praktis tidak larut dalam air,
gliserin, propilen glikol, larutan alkali hidroksida,
larut baik dalam aseton, etanol, benzene, eter, etil
asetat, kloroform, metanol, tolune dan minyak.
Kelarutan BHT dalam minyak makanan dan lemak
lebih besar daripada BHA. Titik didih BHT 265oC
dan titik leleh 70oC. BHT digunakan sebagai
antioksidan dalam kosmetik, makanan dan sediaan
farmasi dengan fungsi yang sama seperti BHA.
Kombinasi BHA menghasilkan efek sinergis (Rowe,
et al., 2003). Struktur kimia BHT seperti terlihat pada
Gambar 22.

52
Gambar 22. Struktur kimia BHT

BHT digunakan secara luas karena harganya


relatif murah. Untuk meningkatkan RBD terhadap
oksidasi, diperlukan tambahan antiokosidan dari luar
sebagai pengganti antioksidan alami yang hilang
akibat proses. BHT menunjukkan aktivitas sebagai
antioksidan dengan cara mendeaktifasi senyawa
radikal (Ketaeren, 1986). Berikut adalah penggunaan
BHT sebagai antioksidan (Tabel 7).
Tabel 7. Penggunaan BHT sebagai antioksidan

Penggunaan Konsentrasi (%)


β−karoten 0,01
Minyak nabati makanan 0,01
Injeksi i.m. 0,03
Injeksi i.v. 0,0009−0,002
Minyak dan lemak 0,02
Formulasi topikal 0,0075−0,01
Inhalasi 0,01
Minyak atsiri 0,02−0,5
Minyak ikan 0,01−0,1

53
BHT juga dapat berfungsi sebagai pemadam
(quencher) bagi oksigen singlet (Fukuzawa, 1998).
BHT cukup tahan pemanasan. Pada proses
fotooksidasi, BHT berperan sebagai penangkap
senyawa radikal dalam menghambat reaksi karena
dalam reaksi fotooksidasi juga terbentuk senyawa
radikal ketika hidroperoksida terurai menjadi radikal
hidroperoksi dan radikal alkoksi (Mariombo, 2002;
Herawati dan Syafsir Akhlus, 2006). Oksigen singlet
bereaksi dengan asam lemak dengan cara berbeda
dengan oksigen triplet. Oksigen singlet bersifat
elektrofil dimana cenderung untuk menangkap
elektron untuk mengisi kekosongan elektron pada
orbital molekulnya. Sedangkan oksigen triplet hanya
bereaksi dengan senyawa radikal (Min and Boff,
2002).

2.2.2.3.4−Hidroksimetil−2−6−di−tert−butilfenoltert
−Butilhidroquinon (TBHQ)
TBHQ merupakan antioksidan sintetis paling
efektif dalam minyak goreng terutama minyak nabati.
TBHQ memiliki ketahanan snagat baik dalam proses
penggorengan. Kombinasi dengan BHA dapat
meningkatkan performanya sebagai antioksidan
dalam proses pemanggangan (Smith, 1991).
TBHQ berbentuk serbuk kristal berwarna putih
atau coklat muda, BM 166,22 dengan titik didih
300oC dan titik lebur 126,5−128,5oC. TBHQ praktis

54
tidak larut dalam air, larut dalam minyak, etanol, etil
asetat dan propilenglikol (Rowe et al., 2003). Struktur
kimia TBHQ ditunjukkan pada Gambar 23.

Gambar 23. Struktur kimia TBHQ

55
BAB III

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN

Menurut Badarinath, et al., (2010), metode pengujian aktivitas


antioksidan dikelompokkan menjadi 3 golongan yang dapat
dilihat pada tabel 8.
3.1. Uji Aktivitas Antioksidan secara in vitro
Pengujian kapasitas antioksidan secara in vitro dapat
dikelompokkan menjadi 2 jenis:

3.1.1. Menggunakan bahan kimia


Metode dengan bahan kimia ini meliputi:

3.1.1.1. Uji DPPH


DPPH merupakan radikal nitrogen organik
yang stabil berwarna ungu tua dan bersifat stabil di
suhu ruangan. Metode ini pertama kali diperkenalkan
oleh Brand-williams (Prior et al., 2005). DPPH
menerima elektron atau hidrogen sehingga
membentuk molekul stabil. Adanya serapan warna
violet pada panjang gelombang 517 nm ditimbulkan
oleh delokalisasi elektron (Winarsi, 2011).
Pengukuran dengan metode DPPH merupakan
metode sederhana, cepat dan tidak membutuhkan
banyak reagen seperti metode lain (Koleva et al.,
2001), selain itu metode ini terbukti akurat, reliable

56
dan praktis (Prakash, et al., 2001). Struktur kimia
DPPH ditunjukkan pada Gambar 24.

Gambar 24. Rumus struktur DPPH

DPPH sering digunakan untuk menilai aktivitas antioksidan


beberapa ekstrak atau bahan alam sehingga dapat untuk
mengevaluasi potensi antioksidan dalam meredam radikal bebas.

57
Tabel 8. Penggolongan Uji Antioksidan

No Metode
HAT (Hidrogen Atom Transfer) Method
1 Oxygen Radical Absorbance Capacity Method (ORAC)
2 Lipid Peroxidation Inhibition Capacity Assay (LPIC)
3 Total Radical Trapping Antioxidant Parameter (TRAP)
4 Inhibited Oxygen Uptake (IOC)
5 Crocin bleaching Nitric Oxide Radical Inhibition Assay
6 Hidroxyl radical scavenging activity by
p−butylsidunethyl aniline
7 Scavenging of H2O2 radical
8 ABTS radical scavenging method
9 Scavenging of Superoxide radical formation by alkaline
SASA
ET (Electron Transfer) Method
1 Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP)
2 1,1−diphenyl−pirylhydrazil (DPPH) Free Radical
Scavenging Assay
3 Trolox Equivalent Antioxidant Capacity (TEAC)
decolorization
4 Copper (II) reduction capacity
5 Total Phenols by Folin−Clocalteu
6 N,N−dimethyl−p−Phenylenediamine (DMPD) assay
Other assay
1 TOSC (Total Oxidant Scavenging Capacity)
2 Chemiluminescence.
3 Reuscher oscillation reaction
4 Electrochemiluminescence
5 Fluorometric Analysis
6 Enhanced chemiluminescence
7 TLC Bioautography
8 Cellular antioxidant activity (CAA) assay
9 Dye−substrate oxidation method

58
Interaksi antioksidan dengan DPPH baik
secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada
DPPH menetralkan sifat radikal bebas DPPH. Radikal
DPPH adalah suatu senyawa organic mengandung
nitrogen tidak stabil dengan absorbansi kuat pada
panjang gelombang (λmax) 517 nm dan berwarna ungu
gelap. Apabila semua elektron pada DPPH
berpasangan maka warna larutan akan berubah dari
ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi pada
panjang gelombang (λmax) 517 nm akan hilang
(Gurav, et al., 2007). Perubahan warna tersebut dapat
diukur dengan spektrofotometer dan diplotkan
terhadap konsentrasi (Reynertson, 2007). Penurunan
intensitas warna disebabkan oleh berkurangnya ikatan
rangkap terkonjugasi pada DPPH. Hal ini dapat
terjadi apabila adanya penangkapan elektron oleh zat
antioksidan menyebabkan tidak adannya kesempatan
elektron tersebut untuk beresonansi (Gambar 26).
Adapun reaksi antara radikal DPPH dengan
antioksidan dapat terlihat pada Gambar 25.

59
1,1−diphenyl−pirylhydrazil 1,1−diphenyl−pirylhydrazin

Gambar 25. Mekanisme reaksi DPPH dengan antioksidan (Windono, et


al., 2001)

Gambar 26. Reaksi resonansi pada radikal DPPH

Penentuan aktivitas antioksidan secara in


vitro dengan menggunakan metode DPPH, dapat
memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji
dengan suatu radikal stabil. Parameter untuk
menunjukan aktivitas antioksidan adalah konsentrasi
inhibisi (IC50). IC50 adalah konsentrasi suatu bahan
antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH
kehilangan karakter radikal (Windono, et al., 2001).
Semakin rendah nilai IC50 semakin baik aktivitas

60
antioksidannya (Molyneux, 2004). Adapun tingkat
kerusakan antioksidan dengan metode DPPH
ditunjukkan pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Tingkat kerusakan antioksidan dengan metode DPPH

Intensitas Nilai IC50 (bpj)


Sangat aktif <50
Aktif 50−100
Sedang 101−250
Lemah 250−500
Tidak aktif >500
(Blois, 2003)

6.1.1.1.Pengukuran diena terkonjugasi


Prinsip uji diena terkonjugasi adalah
pembentukan hiperoksida dari PUFA (Poly
Unsaturated Fatty Acids) menyebabkan konjugasi
struktur pentadin (Shivaprasad, 2005). Hal ini dapat
diukur dengan adanya serapan pada λ 233− 234 nm.
Selama oksidasi asam linoleat, ikatan rangkap diubah
menjadi ikatan rangkap terkonjugasi dimana ikatan
rangkap terkonjugasi dapat dikarakterisasi oleh
serapan UV kuat pada panjang 234 nm. Meskipun
pengukurannya pada komposisi peroksida, namun
terbentuk hasilnya berupa hidroperoksida.
Hidroperoksida tersebut segera terdekomposisi
sebagai 9-hidroksioktadeka-10,12-asam dienoat dan
13-hidroksioktadeka-9,11-asam dienoat yang
mempertahankan struktur terkonjugasi ini dan akan
berperan dalam penentuan absorbansi. Aktivitas

61
tersebut dinyatakan dalam konsentrasi inhibisi (IC50)
(Pokorny, et al., 2011).

6.1.1.2.Pengukuran bilangan para−anisidin


para-Anisidin adalah senyawa bereaksi
dengan aldehid untuk memberikan hasil serapan pada
350 nm. Bilangan para-anisidin didefinisikan sebagai
serapan larutan dihasilkan dari 1 g lemak dalam
larutan isoktan 100 mL. Hasil dengan aldehid jenuh
(2-alkana) menyerap lebih kuat pada panjang
gelombang tersebut. Akibatnya, uji ini sangat
sensitive terhadap bahan-bahan yang mengalami
oksidasi. Meskipun uji ini tidak dapat membedakan
antara bahan mudah menguap atau tidak, tetapi uji ini
biasanya lebih sensitif terhadap aldehid tak jenuh
mudah menguap. Jika dibandingkan aldehid jenuh
dengan sifat yang sama, uji ini merupakan metode
cocok untuk menilai adanya oksidasi sekunder.
Pengukuran bilangan anisidin umumnya digunakan
secara bersama dengan pengukuran bilangan
peroksida dalam menggambarkan tingkat oksidasi
total (Pokorny, et al., 2001).

6.1.1.3.Penentuan bilangan peroksida


Bilangan peroksida dapat diukur dalam
sampel minyak ditambahkan ekstrak tanaman
sebanyak 0,1% dengan antioksidan BHT sebagai
pembanding (0,01% blanko diukur tanpa penambahan

62
ekstrak). Sebagian besar ekstrak hidrofilik akan sulit
mengalami homogenisasi dengan metode ini. Maka,
ekstrak dilarutkan dalam sejumlah kecil etanol sekitar
5% dari massa minyak dan larutan ini akan
dicampurkan ke dalam fase minyak dengan
pengadukan kuat. Perhitungan bilangan peroksida
(meq/ kg minyak) dapat dihitung dengan rumus:
𝑃𝑉 = 0,01 × 𝑁 × 100/𝑚
Dimana N adalah volume sodium tiosulfat
digunakan dalam titrasi sampel (mL) dan m adalah
massa sampel minyak dalam garam. Sedangkan
efisiensi antioksidan dapat dihitung dengan rumus:
𝐼𝑃𝐴
𝐸𝐴 =
𝐼𝑃𝐵
IPA dan B adalah periode induksi atau waktu
(hari) dibutuhkan untuk mencapai bilangan peroksida
pada 20 meq/kg minyak pada pengujian sampel
maupun blanko. Hasilnya dibuat rerata dari dua kali
pengulangan (Helrich, 1990).

6.1.1.4.Pengukuran aktivitas penghambatan radikal


hidroksil

Kapasitas penghambatan radikal hidroksil


suatu ekstrak berhubungan langsung dengan aktivitas
antioksidannya. Metode ini melibatkan pembentukan
radikal hidroksil secara in vitro menggunakan

63
Fe3+/askorbat/EDTA/H2O dengan menggunakan
reaksi Fenton (Shivaprasad, 2005).
Prinsip penghambatan radikal hidroksil adalah
pengukuran dengan mereaksikan antara DMPO (5,5-
dimetil-1-pirolin-N-oksida) dan radikal OH secara
adisi menghasilkan DMPO-OH. DMPO-OH
terbentuk dapat dideteksi dengan spectrometer ESR
(Helrich, 1990). Spektrum ESR diukur pada suhu
kamar setelah mencampur 0,02 mL H2O2 0,1 mM
dengan 0,01 mL DMPO 0,05 mM ; 0,05 mL ekstrak
dan 0,02 mL Fe2+ 0,05 mM. Pengaturan parameternya
dengan mengukur medan magnet eksternal 337,5 + 5
mT pada frekuensi 100 kHz, gelombang mikro 10
mW pada 9,43 GHz. Asam askorbat dan etanol
digunakan sebagai kontrol (Kosem, et al., 2007).
Perbandingan penghambatan radikal hidroksil ekstrak
diukur menggunakan rumus:
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑚𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 = [(ℎ𝑥 − ℎ0 )/ℎ0 ] × 100%
Dimana hx dan h0 adalah reaksi intensitas
sinnyal ESR pada masing- masing sampel uji maupun
blanko. Aktivitas ini dinyatakan dengan
penghambatan radikal hidroksil (Shivaprasad, 2005).

6.1.1.5.Metode Kekuatan Pereduksi


Adanya peningkatan serapan dari reaksi
pencampuran berbagai ekstrak dengan penambahan
dapar natrium fosfat dan kalium ferisianida

64
merupakan prinsip dari metode ini (Shivaprasad,
2005). Dalam metode ini, senyawa membentuk
kompleks berwarna dengan Kalium ferisianida,
trikloroasetat dan besi (III) klorida. Ketiga senyawa
tersebut ditambahkan ke dalam larutan uji setelah
sentrifugasi kemudian diukur pada panjang
gelombang 700 nm. Peningkatan absorbansi dari
reaksi menunjukkan penurunan kekuatan sampel
(Prieto, et al., 1999).

6.1.1.6.Aktivitas Peredaman Radikal Superoksida


Uji peredaman radikal superoksida
dikembangkan untuk mengevaluasi kemampuan
antioksidan hidrofilik dimana dapat secara langsung
bereaksi dengan radikal. Uji ini mengukur
kemampuan radikal untuk berkompetisi dengan
nitroblue tetrazolium (NBT) untuk meredam radikal
superoksida. NBT berwarna kuning selama proses
akan berubah wana menjadi biru yang dapat diiukur
pada panjang gelombang 500 nm (Shivaprasad,
2005).

6.1.1.7.Metode Fosfomolibdenum
Kapasitas antioksidan total dengan pengujian
metode ini didasarkan pada reduksi Mo (IV) menjadi
Mo (V) oleh sampel analit dan selanjutnya
pembentukan kompleks warna hijau fosfat
molybdenum (V) yang mengandung antioksidan pada

65
pH asam. Fosfomolybdenum adalah metode
kuantitatif untuk aktivitas antioksidan total
dinyatakan sebagai jumlah setara dengan asam
askorbat (Prieto, et al., 1999).

6.1.1.8.Metode ABTS (garam 2,2−azinobis


(3−etilbenzotiazolin−6−sulfonikasid)
diazonium)
Metode peredaman radikal kation ABTS
merupakan metode uji untuk mengukur kapasitas
antioksidan dengan langsung bereaksi atau meredam
radikal kation ABTS dari reaksi kimia (Shivaprasad,
2005). ABTS merupakan radikal dengan pusat
nitrogen. Pusat nitrogen tersebut dapat berwarna biru
kehijauan dimana ketika tereduksi oleh antioksidan
menjadi bentuk nonradikal tidak berwarna. Metode
ini berprinsip pada penghambatan pembentukan
kation radikal ABTS dengan absorpsi maksimum
pada panjang gelombang 734 nm pada waktu tertentu
berdasarkan pembacaan spektrofotometer
(Antolovich, et al., 2001).
Metode ini baik digunakan untuk melihat
aktivitas antioksidan senyawa flavonoid dan fenolik.
ABTS memiliki sensitivitas lebih tinggi daripada
DPPH. Tidak seperti DPPH yang sensitive pada pH
asam, metode ABTS lebih fleksibel yakni dapat
digunakan dalam berbagai level pH. Sehingga,
metode ini baik digunakan untuk melihat efek pH

66
dalam aktivitas antioksidan berbagai senyawa. ABTS
larut dalam pelarut organik dan non organic. Metode
ini juga lebih cepat jika digunakan pada PBS (pelarut
non organik). Reaksi antara antara radikal ABTS dan
komponen antioksidan ditunjukkan pada Gambar 27.

Gambar 27. Reaksi antara radikal ABTS dan antioksidan

6.1.1.9.Kapasitas serapan radikal oksigen (ORAC)


ORAC merupakan metode analisis baru yang
dapat digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan
makanan dan senyawa kimia lainnya. Metode ini
mengukur kemampuan makanan, vitamin, suplemen,
nutrisi atau bahan kimia lainnya untuk melindunginya
terhadap radikal bebas atau bertindak sebagai
antioksidan. Uji ini dilakukan dengan menggunakan
trolox (analog vitamin E) sebagai standar untuk
menentukan trolox ekuivalen (TE). Nilai ORAC
kemudian dihitung dari TE dan dinyatakan sebagai
satuan atau nilai ORAC. Semakin tinggi nilai ORAC,
semakin besar kekuatan nilai antioksidannya.
Pengukuran ini berdasarkan pembentukan radikal
bebas menggunakan AAPH (2,2−azobis−2−amido
propane dihydrochloride) dan pengukuran penurunan
dari fluoresensi dengan adanya penghambat radikal

67
(Shihvaprasad, 2005). Penelitian terbaru, melaporkan
bahwa pengukurannya dapat dilakukan secara
otomatisasi. Pada uji ini β−phytocoerythrin (β−PE)
digunakan sebagai target radikal bebas, AAPH
sebagai penghasil radikal peroksil dan trolox sebagai
kontrol standar. Setelah penambahan AAPH ke
larutan uji, fluoresensi direkam dan aktivitas
antioksidan dinyatakan sebagai Trolox Ekuivalen
(TE) (Bank and Lenoble,2000).

6.1.1.10. Aktivitas linoleat− tiosianat


Asam linoleat adalah asam lemak tidak jenuh
dengan dua ikatan rangkap mudah teroksidasi
membentuk peroksida yang selanjutnya mengoksidasi
ion fero menjadi feri. Ion feri selanjutnya bereaksi
dengan ammonium tiosianat membentuk kompleks
feritiosianat [Fe(CNS)3] berwarna merah muda.
Kemudian intensitas warna ini diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 490 nm. Semakin tinggi
intensitas warnanya menunjukkan semakin banyak
peroksida terbentuk (Pokorny, et al., 2001).
Tingkat oksidasi akibat pembentukan alkoksi
oleh reaksi redoks dengan besi (reduktor) dalam
emulsi asam linoleat dapat diukur dengan metode ini.
Campuran reaksi mengandung 0,3 mL ekstrak; 2 mL
buffer natrium fosfat 0,2 M dan 2,5 mL emulsi asam
linoleat diinkubasi pada suhu 37oC. Sejumlah 1 mL
diambil pada interval waktu berbeda selama inkubasi.

68
Kemudian diencerkan dengan 75% etanol sebanyak
4,7 mL. Hasil kromogen merah kompleks ferri
tiosianat dapat diukur pada panjang gelombang 500
nm. Inhibisi lipid peroksidase (LPI) dalam persen
diukur dengan persamaan berikut:
𝐴1 − 𝐴2
𝐿𝑃𝐼 (%) = [1 − ] × 100%
𝐴0
Dimana A0 adalah absorban kontrol
(campuran reaksi tanpa ekstrak), A1 adalah
absorbansi sampel dan A2 adalah absorbansi tanpa
penambahan larutan kalium tiosianat. Standar yang
digunakan adalah −tokoferol (Behera, et al., 2006).

6.1.1.11. Metode CUPRAC


Pada metode CUPRAC (Cupric Ion Reducing
Antioxidant Capacity), kompleks
bis−neokuproin−tembaga (II) akan mengoksidasi
persenyawaan antioksidan dalam ekstrak tanaman dan
mengalami reduksi membentuk kompleks
bis−neokuproin−tembaga (I). Prinsip uji ini adalah
pembentukan kelat oleh bis−neokuproin−tembaga (II)
menggunakan redoks kromogenik pada pH 7.
Cu (III) + AOH → Cu (I) + AO + H+
AO + L−H → AOH + L
L + O2 → LOO
LOO + L−H → LOOH + L
Cu (I) + LOOH → Cu (II) + LO + HO−

69
Standar antioksidan digunakan dalam metode
ini dicampur dengan CuSO4 dan neocuproine. Setelah
30 menit, absorbansi diukur pada panjang gelombang
450 nm. Secara visual, hal ini dapat dilihat dari
perubahan warna kompleks larutan biru tosca menjadi
kuning. Pereaksi CUPRAC merupakan pereaksi yang
selektif karena memiliki nilai potensial reduksi
rendah yaitu sebesar 0,17 V (Apak, et al., 2007).
Hasil didapat dinyatakan dalam mg Trolox per liter
sampel. Kelebihan dari metode ini adalah pereaksi
yang digunakan cukup cepat bekerja, selektif, lebih
stabil, mudah didapatkan dan mudah diaplikasikan.

6.1.1.12. Metode FRAP


FRAP (Ferric Reducing Ability of Plasma)
merupakan salah satu uji aktivitas antioksidan
tercepat dan sangat berguna untuk analisis rutin.
Aktivitas antioksidan dilihat dengan mengukur
serapan karena pembentukan ion Fe2+ dari pereaksi
FRAP. Pereaksi tersebut berisi TPTZ
(2,4,6−tri(2−pyridyl−s−triazine)FeCl3.6H2O)
(Shivaprasad, 2005).
Prinsip kerja metode ini adalah adanya reduksi
analog ferroin, kompleks Fe3+ dari tripiridiltriazin
menjadi kompleks Fe2+. Ion ferro jika ditambahkan
antioksidan pada suasana asam (pH 3,6) akan
berwarna biru (Antolovich, et al., 2002). Hasil
pengujian diinterpretasikan dengan peningkatan

70
absorbansi pada panjang gelombang 595 nm. Reaksi
pada pengujian FRAP dapat ditunjukkan pada
Gambar 28.

Gambar 28. Reaksi antara antioksidan dengan reagen FRAP

6.1.1.13. Efek pembentukan heksanal


Heksanal dan pentanal adalah dua jenis
aldehid volatile utama pada proses oksidasi lipid
sekunder. Jumlah heksanal dihasilkan berkorelasi
dengan baik dengan adanya dekomposisi asam lemak
tak jenuh. Sejumlah pentanal terbentuk selama
oksidasi biasanya secara signifikan lebih rendah dari
heksanal. Heksanal adalah hasil oksidasi sekunder
karena itu peningkatam secara pesat selama proses
oksidasi diamati setelah selang waktu tertentu (perode
induksi). Efisiensi antioksidan pada sampel dapat
dihitung dengan membagi periode induksi sampel (IP)
dengan periode induksi blanko (Ulbert and Roubicek,
1993).

6.1.1.14. Metode Penghambatan Aktivitas Radikal


NO
Oksida nitrat karena memiliki elektron tak
berpasangan dan memiliki reaktivitas dengan jenis
protein tertentu. Penghambatan secara in vitro dari

71
radikal nitrat oksida juga dapat diukur sebagai
aktivitas antioksidan. Metode ini dapat diukur dengan
prinsip inhibisi dari pembentukan radikal NO.
Radikal NO terbentuk dari natrium nitropusid dalam
garam dapur dan diukur dengan pereaksi Griess.
Dengan adanya penghambatan tersebut, dapat diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 546 nm.
Sehingga aktivitas tersebut menunjukkan adanya
reduksi dari nitrat oksida (Shivaprassi, et al., 2005).

6.1.1.15. Hidrolisis
Hidrolisis berasal dari kata hidro (air) dan lisis
(pecah/putus), yang berarti pemutusan ikatan oleh air.
Pada flavonoid, hidrolisis dilakukan untuk
memutuskan ikatan glikosida antara flavonoid dengan
gulanya. Aglikon flavonoid mempunyai aktivitas
antioksidan yang lebih baik bila dibandingkan dengan
bentuk glikosidanya. Hal ini dikarenakan keberadaan
gula menurunkan efisiensi antioksidan (Fuhram&
Aviram, 2002). Reaksi hidrolisis ini dapat dilakukan
dengan 3 cara, yaitu hidrolisis asam, hidrolisis basa,
dan hidrolisis enzimatik (Stalikas, 2007).

Salah satu asam yang biasa digunakan untuk


hidrolisis adalah HCl. Campuran larutan HCl 2 M
dengan metanol dapat menghidrolisis antosianin
menjadi antosianidin (Gao & Mazza, 1994). Contoh
lain, glikosida flavon dan flavonol dari madu bunga

72
matahari dapat dihidrolisis dengan merefluks sampel
dalam campuran HCl 1-2M dan 50% MeOH-H2O v/v
(McDonald dkk., 1998), sementara ekstrak fenoliknya
dihidrolisis dengan NaOH 2N (Sabattier dkk., 1992).

6.1.2. Menggunakan materi biologis


Metode dapat dilakukan dengan mengukur viabilitas
sel (teknik kultur sel), mengukur pembentukan diena
terkojugasi dan mengukur kadar TBARS (Thiobarbituric
Acids Reactive Substances) dari isolate LDL. Pada analisis
pembentukan diena terkonjugasi, sampel plasma
diencerkan dengan larutan NaCl 0,9%-NaHCO3 1 mM
sampai konsentrasi protein 50 µg/ml, kemudian dioksidasi
dengan penambahan 5µM CuSO4 (konsentrasi akhir) pada
suhu 37 °C. Selanjutnya, absorbansi dibaca dengan
spektrofotometer pada λ 234 nm (Zakaria, dkk., 2001).
Diena terkonjugasi adalah produk antara dari lipid yang
teroksidasi. Adanya diena terkonjugasi dalam plasma
mengindikasikan adanya kerusakan lipid. Tujuan analisis
diena terkonjugasi adalah menguji kapasitas antioksidan
dalam menahan oksidasi LDL (low density lipoprotein)
plasma. Diena terkonjugasi menyerap sinar pada panjang
gelombang UV 234 nm, sehingga dapat dibuat kurva
oksidasi antara lamanya waktu oksidasi dengan kadar
diena terkonjugasi yang terbentuk. Sampel yang
mengandung antioksidan biasanya memiliki fase lag
sebelum terjadinya lonjakan diena terkonjugasi. Sehingga

73
semakin lama fase lag mengindikasikan semakin
tingginya kapasitas antioksidan sampel tersebut (Zakaria,
dkk., 2003).

6.2. Uji Aktivitas Antioksidan secara in vivo


Dalam penelitian in vivo, yang termasuk penanda stres
oksidatif adalah peroksidasi lipid, oksidasi protein dan
kerusakan DNA serta antioksidan endogen termasuk asam
askorbat, tokoferol, GSH, GSSH dan GSSG, ubiquinone,
ubiquionol, cysteine, dan cystine (Liu, et al., 2000). Efektivitas
suatu senyawa yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan
dapat diketahui melalui aktivitas atau kemampuan
penghambatan proses oksidasi oleh senyawa antioksidan
tersebut (Aryudhani, 2007).

6.2.1. Glutation peroksidase (Gpx)


Glutation tereduksi (GSH) adalah antioksidan
melindungi sel terhadap stres oksidatif (Rahman &
Macnee, 2000). GSH merupakan tripeptida yang tersusun
atas asam amino sistein, asam glutamat, dan glisin. GSH
adalah antioksidan yang berperan dalam detoksifikasi
hasil metabolisme endogen (peroksida lipid) dan senyawa
xenobiotik (polutan, logam berat dan obat-obatan) (Allen
dan Bradley, 2011).
GPx bekerja mengoksidasi glutation menjadi
glutation disulfida dan pada saat yang bersamaan karena
adanya reaksi redoks, terjadi perubahan hidroperoksida
menjadi H2O dan alcohol. Glutation peroksidase

74
terbanyak didapat di sitosol dan mitokondria. Hal ini
sejalan dengan banyaknya hidrogen peroksida di
kedua tempat tersebut. Glutation peroksidase
membutuhkan kehadiran selenium agar dapat bekerja
dengan baik. Selain itu, glutation peroksidase juga
membutuhkan kadar glutation tereduksi yang konstan
untuk menjalankan fungsinya (Young dan Woodside,
2001).Reaksi di bawah ini adalah salah satu reaksi
dikatalisis oleh Glutation peroksidase.
2GSH + H2O2 → GSSG + 2H2O
Kadar enzim ini tinggi pada ginjal, liver, dan darah,
sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli
dan plasma darah (Cemeli dkk, 2009). Enzim ini
memerlukan glutathione sebagai donor substrat untuk
mengikat H2O2 maupun hidroperoksida organik (ROOH)
untuk menghasilkan glutathione disulphide (GSSG), air
dan bentuk hidroksi dari bahan organik tersebut (ROH).
Pada manusia, saat ini telah dikenal 8 macam Gpx, mulai
dari Gpx1 hingga Gpx8. Sebagian besar merupakan
selenoprotein (Gpx1, Gpx2, Gpx3, Gpx4, dan Gpx6),
sedangkan pada Gpx5, Gpx7 dan Gpx8, tempat aktif
residu selenocysteine diganti dengan cysteine. Fungsi dari
masing-masing Gpx ini belum sepenuhnya diketahui.
(Toppo dkk, 2009).
Menurut Winarsi, dkk. (2006) dan Wood, et al.,
(2003), aktivitas enzim glutathione peroxidase (GSH-PX)
plasma dilakukan dengan cara sebanyak 100 uL plasma

75
diencerkan dengan 200 uL NaCl fisiologis (larutan 0,85%
NaCl). Diambil 0,1 mL larutan tersebut dan ditambahkan
0,4 mL triton-X 0,5%, dan seterusnya disebut hemolisat.
Ke dalam tabung uji diambil 100 uL hemolisat dan
ditambahkan 100 uL larutan Drabkin lalu dikocok,
kemudian ditambahkan 2,6 mL bufer fosfat dan dikocok
perlahan. Berturut-turut ditambahkan 0,1 mL NADPH,
0,01 mL GSSG-R, 0,01 mL NaNO3, 0,1 mL GSH, dan
dikocok.
Sebelum dibaca laju absorbansinya dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm, ke
dalam kuvet silika yang berisi larutan yang akan dibaca
absorbansinya ditambahkan 1 mL H2O2. Pembacaan
absorbansi dilakukan dengan selang waktu 1 sampai 2
menit. Untuk pembuatan blanko digunakan 100 uL
akuades sebagai pengganti hemolisat.Satu unit aktivitas
GSH-PX didefinisikan sebagai banyaknya GSH-PX yang
diperlukan untuk mengoksidasi 1 umol NADPH per
menit.

6.2.2. Uji Enzim Katalase


Enzim katalase (CAT) adalah antioksidan
endogen yang dapat menangkap dan menguraikan radikal
bebas di dalam sel menjadi zat yang kurang reaktif.
Enzim katalase (CAT) memiliki peranan penting dalam
mengkatalisis hidrogen peroksida (H2O2) menjadi H2O

76
dan O2 serta mencegah pembentukan gelembung CO2
dalam darah (Zainuri & Wanandi 2012).
Enzim katalase bersifat antioksidan ditemukan
pada hampir sebagian besar sel. Enzim ini terutama
terletak di dalam organel peroksisom. Katalase ditemukan
di semua jaringan, dan aktivitasnya yang tinggi ditemukan
di hati dan ginjal, sedangkan di otak aktivitasnya rendah.
Enzim katalase mampu mengkatalasis reaksi penguraian
hidrogen peroksida (H2O2) melalui dua mekanisme kerja
yaitu katalitik dan peroksidatik. Mekanisme enzim
katalase sebagai antioksidan melalui proses katalitik
terjadi bila enzim katalase menggunakan molekul H2O2
sebagai substrat atau donor elektron dan molekul H2O2
yang lain sebagai oksidan atau akseptor elektron.
Katalase sebagai salah satu antioksidan endogen
merupakan senyawa hemotetramer dengan Fe sebagai
kofaktor disandi oleh gen kromosom 11; mutasi pada gen
ini dapat menyebabkan akatalasemia. Katalase termasuk
dalam golongan enzim hidroperoksidase karena dapat
mengkatalisis substrat hidrogen peroksida atau peroksida
organik. Enzim ini dapat ditemui dalam darah, sumsum
tulang, membran mukosa, ginjal dan hati (Kumar dkk,
2008). Merupakan hemoprotein yang mengandung empat
gugus heme. Di dalam sel, katalase ditemukan di dalam
peroksisom. Mekanisme aktivitas katalase sebagai
antioksidan dengan cara mengkatalisis pemecahan H2O2

77
menjadi H2O dan O2, adalah sebagai berikut (Kumar
dkk, 2008).
Katalase−Fe(III) + H2O2 →senyawa 1 + H2O tahap 1
senyawa 1 + H2O2 → Katalase−Fe(III) + H2O2 + O2 tahap 2
H2O2 → H2O + O2
Senyawa 1 merupakan senyawa antara serta
merupakan kunci dari oksidasi dalam reaksi enzimatik
katalase. Hal ini disebabkan oleh keberadaan senyawa 1
heme dengan suatu atom oksigen dari molekul H2O2 pada
tahap I ini. Hasil reaksi ini membentuk molekul air pada
tapak aktif enzim yang dekat heme Fe. Kapasitas reduksi
katalase tinggi pada suasana H2O2 konsentrasi tinggi,
sedangkan pada konsentrasi rendah kapasitasnya menurun
(Cemeli dkk, 2009; Miwa dkk, 2008). Hal ini disebabkan
karena katalase memerlukan reaksi dua molekul H2O2
dalam proses reduksinya, sehingga hal ini lebih jarang
ditemukan pada konsentrasi substrat rendah (Cemeli dkk,
2009). Pada konsentrasi H2O2 rendah seperti yang
dihasilkan dari proses metabolisme normal,
peroxiredoksin (PRX) yang berfungsi untuk mengikat
H2O2 dan mengubahnya menjadi oksigen dan air (Miwa
dkk, 2008). Reaksi pemecahan hidrogen peroksida dan
hidroperoksida organik secara enzimatik digambarkan
dalam Gambar 29 (Day, 2009).

78
Gambar 29. Mekanisme penangkapan endogen peroksida seluler

Katalase di samping mendukung aktivitas enzim


SOD juga dapat mengkatalisa perubahan berbagai macam
peroksida dan radikal bebas menjadi oksigen dan air.
Enzim-enzim ini mampu menekan atau menghambat
pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi
berantai dan mengubahnya menjadi produk lebih stabil.
Reaksi ini disebut sebagai chain-breaking-antioxidan.

Katalase dan glutathion peroksidase (Gpx)


mempunyai sifat yang sama dalam mengkatalisis H2O2 .
Namun, glutation peroksidase mempunyai aktivitas yang
tinggi terhadap H2O2 daripada katalase. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan kinetik dari kedua enzim
tersebut. Katalase mengkatalisis H2O2 secara linier sesuai
dengan konsentrasi H2O2, sedangkan glutation
peroksidase menjadi jenuh pada konsentrasi H2O2 di
bawah 10-5 mol/L. Ketika konsentrasi H2O2 sangat rendah
atau pada kondisi normal maka glutation peroksidase
mempunyai peran yang lebih domian untuk mengkatalisis

79
H2O2 daripada katalase. Skema kerja enzim di dalam
tubuh pada aktivitas penghambatan pembentukan radikal
bebas ditunjukkan pada Gambar 30.

Gambar 30. Kerja enzim dalam menghambat radikal bebas dalam tubuh

Tingginya kadar glukosa diduga menghalangi


aktivitas antioksidan endogen. Sebuah penelitian tentang
pengaruh berbagai tingkat kadar glukosa terhadap enzim
katalase, ditemukan penurunan aktivitas enzim pada kadar
glukosa yang tinggi. Pada penelitian lainnya dikemukakan
bahwa aktivitas katalase yang ditingkatkan melaui
manipulasi transgenik–spesifik dapat melindungi jantung
dari progresi penyakit diabetes kardiomiopati .

6.2.3. Uji Superoksida Dismutase


Secara normal, tubuh mempunyai strategi yang
sistematis untuk memerangi pembentukan radikal bebas
atau untuk mempercepat degradasi senyawa tersebut.
Sistem ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar,
yaitu sistem pertahanan preventif seperti enzim
superoksida dismutase; copper zinc-superoxid dismutase
(Cu,Zn-SOD) (Fridovich, 1975) dan manganese

80
superoxide dismutase (Mn-SOD) (Marklund, 1984),
katalase dan glutation peroksidase (Asayama eal., 1996)
dan sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal
seperti α-tokoferol,vitamin C dan vitamin A. Sisi aktif
enzim ini tipe Cu−Zn−SOD seperti dapat terlihat pada
Gambar 31. Sedangkan struktur kimianya ditunjukkan
pada Gambar 32.

Gambar 31. Sisi aktif Cu−Zn−SOD

Gambar 32. Struktur kimia tipe Cu−Zn−SOD (Borghstal, et al., 1996)

Cu,Zn-SOD merupakan salah satu tipe enzim SOD


berperan dalam mengkatalisasi radikal bebas anion
superoxide menjadi hidrogen peroksida dan molekul

81
oksigen (Mates et al., 1999). Aktivitas SOD dapat
dijadikan acuan pengukuran tingkat stres oksidatif dalam
tubuh (Pavani dkk., 2012). Dengan kemajuan teknik
imunositokimia, sel-sel penghasil SOD telah dapat
dideteksi pada jaringan tikus (Dobashi et al.,
1989;Wresdiyati and Makita, 1997). Struktur kimia enzim
SOD dapat terlihat pada Gambar 33.

Gambar 33. Struktur SOD berbentuk tetramer (Borghstal, et al., 1996)

Tipe kedua dari enzim SOD adalah Mangan


Superoksida Dismutase dimana ada dalam mitokondria.
MnSOD menjadi antioksidan utama dalam menghambat
kerja superoksida di dalam mitokondria. Terdiri dari 4
sub unit dengan atom mangan dan memiliki ukuran
sebesar 40.000 kDA. Mn SOD tipe SOD terbanyak
yang didapat pada cairan ekstraseluler. Mn SOD
disintesis terbatas oleh beberapa sel, diantaranya sel
endotel dan fibroblast (Young dan Woodside, 2001).
Kemudian tipe ketiga yakni Ferum SOD. Fe SOD
merupakan enzim yang banyak ditemukan pada

82
organism prokaryot yaitu tumbuhan dan bakteri.
FeSOD memiliki struktur kimia berupa tiga ion besi
yang berikatan dengan tiga histidin, satu aspartat, dan
satu molekulair (Lah dkk., 1995). Struktur kimia tipe Mn
dan Fe SOD dapat terlihat pada Gambar 34.

Gambar 34. Struktur kimia tipe Fe SOD / Mn SOD domain alpha−hairpin


(Borghstal, et al., 1996)

Profil SOD juga telah dilaporkan secara


imunohistokimia pada kondisi patofisiologis seperti stres,
diabetes mellitus dan hiperkolesterolemia (Wresdiyati et
al., 2002; Wresdiyati,2003; Wresdiyati et al., 2003;
Wresdiyati et al., 2006), serta pada jaringan neoplastik
(Keller et al.,1991). Wresdiyati dan Makita (1995)
melaporkan bahwa kondisi stress dapat meningkatkan
jumlah peroksisom pada jaringan ginjal kera jepang.
Peningkatan jumlah radikal bebas tersebut dapat
meningkatkan oksidasi yang terjadi di peroksisom.
Sebagai akibatnya, produksi radikal bebas juga
meningkat sebagai hasil samping oksidasi tersebut.
Peningkatan kadar radikal bebas dalam kondisi stress

83
telah dilaporkan oleh Wresdiyati et al (2002) dan
Wresdiyati (2003), yang ditunjukkan dengan menurunnya
kandungan antioksidan intrasel seperti copper, zinc-
superoksid dismutase (Cu,Zn-SOD) pada jaringan hati dan
ginjal tikus di bawah kondisi stress.
Pada manusia, kadar normal SOD adalah sebesar
242 ± 4 mg/L pada eritrosit, 548 ± 20 µg/L pada
serum, dan 173 ± 11 µg/L pada plasma (Sun
dkk.,1988). Penurunan aktivitas SOD berhubungan
dengan kejadian penyakit seperti reumatoid artritis,
anemia fanconi, katarak, infeksi saluran pernapasan,
infertilitas (Winarsi, 2007). Peningkatan aktivitas SOD
disertai peningkatan radikal bebas pada penderita sindrom
Down menyebabkan peningkatan kadar hidrogen
peroksida. Hidrogen peroksida yang terbentuk kemudian
akan diinaktivasi oleh glutation peroksidase (GPx) dan
katalase (Garcez, et al., 2005).
Prinsip penentuan aktivitas antioksidan SOD yaitu
mengetahui kemampuan SOD mengkatalisasis anion
superoksida ( O2*) ke dalam molekular peroksida
hidrogen dan oksigen (Anonim 2009). Aktivitas SOD
diukur berdasarkan laju autooksidasi keberadaan dan
ketiadaan sampel meng-ekspresikan Mc Cord Fridovich
“sitokrom c” unit. Kemudian dibaca dengan ELISA pada
panjang gelombang 450 nm. Menghitung aktivitas SOD
(% laju penghambatan) menggunakan persamaan sebagai
berikut:

84
𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑆𝑂𝐷
(𝐴𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘 1 − 𝐴𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘2) − (𝐴𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝐴𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘2 )
= × 100
𝐴𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘1 − 𝐴𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘2
Menurut Winarsi, dkk. (2006) aktivitas enzim
katalase plasma diawali dengan pembuatan lisat: 200 uL
plasma ditambahkan 800 uL larutan 0,5% triton X-100,
kemudian dipersiapkan larutan standar untuk pengukuran
sampel. Dibuat larutan induk dengan melarutkan 10 uL
katalase dalam 50 mL bufer fosfat. Larutan standar dibuat
dengan melarutkan 0,5 mL larutan induk dalam 9,5 mL
bufer fosfat (1/20) dan 0,5 mL larutan induk dalam 19,5
mL bufer fosfat (1/40). Sebanyak 10 uLlisat dicampurkan
dengan 12,5 mL bufer fosfat. Reaksi mulai terjadi setelah
ditambahkan 1 mL H2O2. Seluruh larutan divorteks
perlahan, lalu penurunan absorbansi dibaca dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 240 nm,
dengan selang waktu 15 detik, 30 detik, 45 detik, dan 60
detik.
Enzim SOD memiliki kemampuan mendegradasi
anion superoksida radikal menjadi oksigen dan hidrogen
peroksida. Kemudian perannya dilanjutkan oleh enzim
GPx dan catalase hingga dihasilkan air dan oksigen.
Superoksida dismutase termasuk enzim primer di dalam
tubuh karena mampu melindungi sel-sel dalam tubuh
akibat serangan radikal bebas (Poitout dan Robertson,
2008). Enzim SOD tersebut akan bekerja sempurna
dengan adanya mineral-mineral seperti tembaga (Cu),

85
seng (Zn) dan mangan (Mn) yang banyak terdapat pada
kacang-kacangan dan olahannya.
Enzim superoksida dismutase (SOD) diketahui
memiliki kemampuan untuk menghambat autooksidasi
spontan dari epineprin menjadi adenokrom. Larutan
epineprin akan stabil dalam keadaan suasana asam, tetapi
spontan akan teroksidasi dengan adanya kenaikan pH.
Autooksidasi terjadi paling cepat disertai dengan
terbentuknya adenokrom dengan kecepatan linier yaitu
pada pH 10,2 dan suhu 30°C. Di dalam tubuh, dengan
adanya penambahan dapar karbonat dalam analisis enzim
superoksida dismutase (SOD) dapat menaikkan pH dan
menyebabkan suasana menjadi basa, sehingga dapat
mempercepat terbentuknya adenokrom.
Selain itu, SOD merupakan enzim yang
mengkatalisis radikal superoksid menjadi hidrogen
peroksida dan oksigen. Radikal superoksid dapat
mengalami dismutasi secara spontan maupun dengan
bantuan SOD membentuk H2O2. Dengan adanya SOD,
kecepatan dismutasi meningkat lebih dari 1000 kali lipat
dibandingkan dismutasi spontan (Miwa dkk, 2008).
Prinsip penentuan aktivitas enzim ini dapat terlihat pada
Gambar 35.

86
Gambar 35. Prinsip penentuan aktivitas SOD

Menurut Wood, et al. (2006) prosedur penentuan


enzim ini diukur dengan pembuatan larutan stok awal
pada total plasma. Aktivitas SOD diukur berdasarkan laju
penghambatan reduksi ferisitokrom c oleh anion
superoksida yang dihasilkan oleh xantin/xantin oksidase.
Xantin teroksidasi menjadi asam urat, sedangkan anion
superoksida yang terbentuk selanjutnya mereduksi
ferisitokrom c. Reduksi ferisitokrom c diamati
berdasarkan kenaikan absorbansi pada panjang gelombang
550 nm. Pengukuran aktivitas ini berlangsung pada suhu
25oC, larutan xantin oksidase harus tetap dalam keadaan
dingin sebelum digunakan. Medium reaksi segera
disiapkan sebelum pengukuran dengan memasukkan 2,9
mL larutan A (campuran larutan 0,76 mg xantin dalam 10
mL 0,001 M NaOH, dengan larutan 1,8 mg sitokrom c.
Ditambahkan 100 mL bufer fosfat pH 7,8 tanpa
EDTA) ke dalam tabung reaksi 3 mL. Selanjutnya
ditambahkan 50 uL larutan baku (kontrol) atau sampel dan
divorteks perlahan. Reaksi dimulai dengan menambahkan

87
50 uL larutan B (xantin oksidase 2,88 mg/mL dalam bufer
fosfat EDTA) dan divorteks perlahan. Diamati perubahan
absorban yang terjadi pada spektrofotometer. Untuk
blanko digunakan buffer fosfat sebagai pengganti sampel
dan sebagai kontrol digunakan akuabides yang proses
ekstraksinya sama dengan proses ekstraksi untuk sampel.

6.2.4. Penentuan Kadar Malonaldehid (MDA) Plasma


Malonaldehid (MDA) merupakan metabolit hasil
peroksidasi lipid oleh radikal bebas dan merupakan
senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas radikal
bebas di dalam sel sehingga dijadikan sebagai salah satu
petunjuk terjadinya stress oksidatif akibat radikal bebas.
Stres oksidatif menyebabkan kerusakan oksidatif lipid
yang dapat dideteksi dengan peningkatan kadar
malondialdehid (MDA) dalam sel (Nielsen et al. 2003;
Zainuri & Wanandi 2012). Pengukuran kadar
malondialdehid (MDA) menggunakan baku pembanding
raetoksipropane (TEP) dapat menggambarkan aktivitas
radikal bebas di dalam sel. Malondialdehid ini dapat
dijadikan indikator peningkatan peroksida lipid yang
terbentuk akibat radikal bebas (Cochrane, 1991).
Malonaldehida (MDA) telah digunakan secara luas
sebagai indikator kerusakan oksidatif, terutama dari asam
lemak tidak jenuh (Auroma 1997). Malonaldehida
merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid terutama
asam lemak tidak jenuh yang dapat dihasilkan melalui

88
oksidasi oleh radikal bebas. Metode kimia yang digunakan
untuk mengukur MDA berdasarkan reaksi antara MDA
dengan tiobarbiturat (TBA) membentuk kompleks ikatan
TBA-MDA yang menghasilkan warna merah dan
selanjutnya diukur intensitasnya menggunakan
spektrofotometer.
MDA merupakan produk akhir dari peroksidasi
lemak dan indikator keberadaan radikal bebas dalam
tubuh. Asam lemak tidak jenuh akan mengalami
peroksidasi menghasilkan produk MDA. Produk MDA
dapat diukur sebagai indeks tidak langsung kerusakan
oksidatif (Auroma 1997). Selain itu, konsentrasi MDA
dalam plasma dapat digunakan sebagai parameter
kerusakan oksidatif dari lemak tidak jenuh pada mencit
yang dipapar paraquat (Aoki, et al., 2002). Wresdiyati dan
Makita (1995), melaporkan bahwa kondisi stres pada kera
Jepang mengakibatkan kelainan pada organel peroksisom
ginjal, baik kelainan morfologi maupun kenaikan jumlah
yang sangat hebat. Sehingga kondisi stress, yang
meningkatkan jumlah peroksisom, dapat juga
meningkatkan konsentrasi radikal bebas atau oksidan sel
yang dihasilkan oleh oksidasi-oksidasi peroksisom
tersebut. Radikal bebas yang dihasilkan kemudian
menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif dan
peroksidasi lemak pada komponen membran sel dan
mengahasilkan produk akhir MDA.

89
Kadar MDA pada kelompok tikus yang diberi
perlakuan isoflavon lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol, tetapi masih lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok perlakuan stres. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian isoflavon mampu mencegah peroksidasi
lipid oleh radikal bebas sehingga menurunkan
pembentukan MDA hati. Hal tersebut juga terkait dengan
aktivitas enzim SOD dalam hati. Senyawa bioaktif
isofavon memiliki potensi sebagai antioksidan (Nakajima
et al. 2005). Sebagai antioksidan, senyawa isoflavon dapat
mengeliminasi radikal bebas dan mencegah reaksi
berantai lebih lanjut terhadap komponen membran sel
sehingga mengurangi pembentukan MDA sebagai produk
akhir (Lee et al., 2004).
Berdasarkan modifikasi prosedur uji dari Winarsi
(2003) dan Hong, et al., (2000) pengujian ini dilakukan
dengan mengambil sebanyak 75 µl plasma atau standar
dimasukkan dalam tabung sentrifus, lalu ditambahkan 75
µl TCA 20% (dalam 0,6 mol/l HCl). Setelah didinginkan
dalam lemari pendingin bersuhu 5–10 °C selama 20
menit, campuran tersebut disentrifus pada 4000 rpm
selama 20 menit. Kemudian, 100 µl supernatannya
ditambah 20 µl pereaksi TBA. Selanjutnya campuran
tersebut didihkan selama 30 menit. Setelah dingin
campuran dimasukkan ke dalam lempeng mikro 96 sumur
dan diukur absorbansinya menggunakan mikroplate reader

90
pada λ 540 nm. Kadar MDA plasma dihitung berdasarkan
kurva standar dari larutan tetra etoksipropana.
Dasar pemeriksaan adalah reaksi spektrofotometrik
sederhana, dimana satu molekul MDA akan terpecah
menjadi 2 molekul 2-asam thiobarbiturat. Reaksi ini
berjalan pada pH 2-3. TBA akan memberikan warna pink-
chromogen yang dapat diperiksa secara spektrofotometrik.
Tes TBA selain mengukur kadar MDA yang terbentuk
karena proses peroksidasi lipid juga mengukur produk
aldehid lainnya termasuk produk non-volatil yang terjadi
akibat panas yang ditimbulkan pada saat pengukuran
kadar MDA serum yang sebenarnya.
Kadar MDA dapat diperiksa baik di plasma, jaringan
maupun urin. Reaksi MDA dengan diukur pada panjang
gelombang antara 530 nm. Larutan 1,1,3,3-
tetrametoksipropana digunakan sebagai larutan standar
MDA karena larutan baku MDA bersifat tidak stabil dan
tidak tersedia. TMP merupakan prekusor dari senyawa
MDA. Apabila larutan TMP tersebut direaksikan dengan
air akan terhidrolisis membentuk senyawa malondialdehid
(MDA). Reaksi hidrolisis TMP menjadi MDA dapat
dilihat pada Gambar 36.

Gambar 36. Reaksi perubahan TMP menjadi MDA

91
BAB IV

PENELITIAN MENGENAI ANTIOKSIDAN

4.1. Uji Aktivitas Antioksidan dan Deteksi Senyawa Buah


Talok (Muntingia calabura L.)
Buah talok secara tradisional digunakan masyarakat
Amerika Selatan untuk selai atau buah segar. Buah talok
mengandung asam askorbat, enzim- enzim, bioflavonoid
dan mineral (Kinanti, 2010). Aktivitas antioksidan
ekstrak metanol, etil asetat, butanol, pe dan kloroform
buah talok sudah diuji bahwa dari hasilnya ekstrak buah
talok memiliki aktivitas antioksidan tertinggi (Preethi,
2010).

Buah talok mengandung senyawa volatil sehingga untuk


meminimalkan hilangnya senyawa volatil maka tidak
dilakukan pengeringan, buah talok diblender dalam
kondisi segar kemudian diekstraksi. Senyawa fenolik
dapat diekstraksi dari tanaman segar, dalam bentuk beku
ataupun kering (Dai & Mumper, 2010). Pada penelitian
ini buah talok disari menggunakan etanol 96% teknis.
Alkohol merupakan pelarut yang baik untuk ekstraksi
pendahuluan (Harborne, 1987). Menurut Kolar
dkk.(2011) pelarut alkohol mampu menyari senyawa
pada buah talok secara maksimal khususnya metanol.
Namun penelitian ini menggunakan etanol sebagai
penyari karena kurang toksik dibandingkan dengan

92
metanol. Penyarian dilakukan menggunakan metode
maserasi pada suhu kamar dengan pengadukan berkala
selama 5 hari.

Sari etanol kemudian diuapkan sehingga didapatkan


ekstrak kental. Ekstrak etanol pada penelitian ini sebesar
67,48 gram dari 950 gram buah talok segar sehingga
rendemennya sebesar 7,14%. Ekstrak etanol buah talok
berwarna coklat, berminyak, berbau manis dan memiliki
rasa manis.

Fraksinasi dilakukan dengan penyari n-heksan dan etil


asetat. Senyawa non polar seperti lipid, terpen, klorofil,
xantofil, dan lain-lain akan tersari pada n-heksan dan
senyawa lebih polar akan masuk pada pelarut etil asetat
(Markham, 1988). Setiap tahapan fraksinasi dihentikan
setelah penyari tidak berwarna sehingga dapat
diasumsikan bahwa semua senyawa mampu tersari
secara maksimal.

Dari proses fraksinasi didapatkan fraksi n-heksan


berwarna hijau muda dan agak cair karena adanya
kandungan resin, fraksi etil asetat berwarna coklat dan
kering sedangkan fraksi air berwarna coklat dan kental.

Hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk membebaskan


aglikon flavonoid dari bentuk glikosidanya. Sebagian
besar glikosida flavonoid memiliki ikatan O-glikosidik
dengan gula seperti glukosa, galaktosa, ramnosa,

93
arabinosa, xylosa dan rutinosa tetapi ada juga yang
ikatannya berupa C-glikosidik (Plazonic dkk., 2009).
Terdapat perbedaan tempat ikatan antara gula dan
aglikon pada masing-masing flavonoid sehingga ada
pengaruh terhadap aglikon flavonoid terbebaskan.

Hidrolisis pada suasana asam dan basa dapat


membebaskan glikosida O-flavonoid dengan posisi
pemutusan yang berbeda. Sedangkan flavonoid C-
glikosida tidak dapat dihidrolisis dalam suasana asam
tetapi dapat diubah menjadi bentuk isomer 8-C-glikosida
atau 6-C-glikosida (Nollet & Toldra, 2012).Sedangkan
pada suasana basa tidak terjadi isomerisasi pada O,C-
gikosida (Litvinenko & Markarov, 1969).

Bobot fraksi hidrolisis asam lebih besar daripada


hidrolisis basa, hal ini membuktikan bahwa produk yang
dihasilkan pada hidrolisis asam lebih banyak. Hidrolisis
basa lebih selektif dalam memutus ikatan glikosidik
seperti memutus gula dari gugus hidroksi pada posisi 7
atau 4’ jika ada gula pada gugus 3-hidroksi (Markham,
1988).Penelitian yang dilakukan Sani dkk. (2012) juga
melaporkan bahwa rendemen ekstrak GBR terhidrolisis
asam lebih banyak daripada GBR terhidrolisis basa.

Pengukuran aktivitas penangkapan radikal DPPH


dilakukan pada fraksi air dan fraksi air terhidrolisis
ekstrak etanol buah talok dengan berbagai
konsentrasi.Penelitian ini menggunakan lima macam

94
senyawa uji yaitu fraksi air, fraksi air terhidrolisis asam
1jam, fraksi air terhidrolisis asam 3 jam, fraksi air
tehidrolisis basa 1 jam dan fraksi air terhidrolisis basa 3
jam serta kuersetin sebagai pembanding. Profil DPPH vs
kadar senyawa uji dapat dilihat pada Gambar 37,
Gambar 38, Gambar 39, Gambar 40, Gambar 41,
Gambar 42 serta IC50 seperti ditunjukkan pada Gambar
43.

% Penangkapan radikal DPPH


80
y = 0,2882x - 0,6488
60
R² = 0,9938
40
20
0
0 100 200 300
Konsentrasi (μg/mL)

Gambar 37. Hubungan kadar senyawa uji dengan % penangkapan


radikal DPPH fraksi air

100 % Penangkapan radikal DPPH

80 y = 2,3321x + 2,0572
R² = 0,9908
60
40
20
0
0 10 Konsentrasi
20 (μg/mL) 30 40

Gambar 38. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan


radikal DPPH fraksi air terhidrolisis 1 jam

95
60 % Penangkapan radikal DPPH

50 y = 0,5480x - 3,5977
40 R² = 0,9971
30
20
10
0
0 50 100 150
Konsentrasi (μg/mL)

Gambar 39. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan


radikal DPPH fraksi air terhidrolisis 3 jam

% Penangkapan radikal DPPH


60
y = 0,7934x - 2,8696
40 R² = 0,9890

20

0
0 20 40 60 80
Konsentrasi (μg/mL)

Gambar 40. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan


radikal DPPH fraksi air terhidrolisis basa 1 jam

% Penangkapan radikal DPPH


80
y = 1,9125x + 1,2046
60
R² = 0,9686
40
20
0
0 10 20 30 40
Konsentrasi (μg/mL)

Gambar 41. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan


radikal DPPH fraksi air terhidrolisis basa 3 jam

96
80 % Penangkapan radikal DPPH
y = 25,5435x - 7,9265
60
R² = 0,9833
40
20
0
0 1 2 3 4
Konsentrasi (μg/mL)

Gambar 42. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan


radikal DPPH kuersetin

IC50 (μg/mL)
200
175,75
180
160
140
120 97,88
100
80 66,64
60
40 25,53 20,55
20 2,27
0
A HB1 HB3 HA1 HA3 kuersetin

Gambar 43. Hubungan kadarsenyawa uji dengan % penangkapan


radikal DPPH fraksi air terhidrolisis 1 jam

Keterangan: A: fraksi air sebelum dihidrolisis


HA1: fraksi air terhidrolisis asam 1 jam
HA3: fraksi air terhidrolisis asam 3 jam
HB1: fraksi air terhidrolisis basa 1 jam
HB3: fraksi air terhidrolisis basa 3 jam

Fraksi air memiliki aktivitas antioksidan lebih rendah


daripada fraksi air terhidrolisis. Hal ini karena proses
hidrolisis mampu membebaskan aglikon flavonoid

97
sehingga gugus hidroksil pada aglikon bertambah.
Menurut Cao dkk. (1997) dan Pannala dkk. (2001)
aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh jumlah gugus
hidroksi dan konfigurasinya. Kapasitas penangkapan
radikal bebas sangat dipengaruhi oleh reaktivitas gugus
hidroksil. Secara keseluruhan aktivitas antioksidan fraksi
air sebelum dan sesudah dihidrolisis masih di bawah
aktivitas antioksidan pembanding (kuersetin).Kuersetin
merupakan aglikon flavonoid sub kelas flavonol yang
telah terbukti poten sebagai antioksidan. Hal ini
dikarenakan kuersetin memiliki ikatan rangkap pada
posisi 2, 3 dan bersebelahan gugus 4-okso pada cincin C,
adanya gugus hidroksil posisi 3 dan 4 pada cincin B,
posisi 3 pada cincin C dan posisi 5 pada cincin A (Bors
dkk., 1990).Flavonoid dengan gugus 3-OH strukturnya
bersifat planar (Howard dkk., 1964) sehingga
memungkinkan adanya konjugasi, delokalisasi elektron
dan dapat menaikkan kestabilan radikal fenoksil
flavonoid (Acker dkk., 1996; Bors dkk., 1990).
Aktivitas antioksidan fraksi air buah talok mungkin
berasal dari efek sinergisme antara vitamin C, vitamin E,
senyawa fenolik, karotenoid, terpenoid dan
fitomikronutrien (Podsedek, 2007).Meskipun demikian
aktivitasnya masih kecil karena kandungan vitaminnya
relatif sedikit sedangkan glikosida flavonoid aktivitasnya
tergolong rendah.

98
Karakterisasi golongan senyawa aktif dan profil
fitokimia buah talok menggunakan sistem KLT. Fase
gerak yang digunakan untuk melihat profil fitokimia
antar fraksi dan ekstrak etanol adalah kloroform :
metanol : asam formiat (44:3,5:2,5). Sedangkan
karakterisasi golongan senyawa aktif menggunakan
toluen : etil asetat : asam formiat (7:2:1).Pemilihan
sistem KLT ini didasarkan pada hasil optimasi
sebelumnya.
Terdapat perbedaan profil fitokimia antara ekstrak
etanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat, fraksi air ekstrak
etanolik buah talok dan kuersetin sebagai pembanding.
Hasil ini menunjukkan bahwa proses fraksinasi yang
dilakukan cukup baik karena telah mampu memisahkan
senyawa buah talok berdasarkan kepolarannya. Ekstrak
etanol buah talok mengandung berbagai senyawa dengan
perbedaan tingkat kepolaran tetapi terdapat
kecenderungan senyawa pada ekstrak etanol bersifat
semi polar sampai polar. Hal ini ditunjukkan oleh adanya
perbedaan intensitas fluoresensi, bercak dengan hRf 80
dan 88pada UV366 intensitas fluoresensinya sangat lemah
sedangkan sepanjang elusi hRf 0 sampai 40
fluoresensinya kuat sampai sedang. Semua bercak pada
ekstrak etanol berfluoresensi kuning pada UV366.
Fraksiheksan memiliki 3 bercak yaitu pada hRf 88; 94
dan 98 dilihat di bawah sinar UV366. Bercak fraksi
heksan berwarna kuning dan merah, bercak warna merah

99
menunjukkan adanya klorofil (Baby dkk., 2013). Heksan
merupakan pelarut non polar dan dapat menyari senyawa
non polar seperti klorofil.
Pada fraksi etil asetat, pemisahan senyawa sudah terlihat
lebih jelas. Bercak pada fraksi etil asetat berwarna
kuning dan coklat gelap pada UV366. Bercak pada fraksi
etil asetat lebih banyak daripada fraksi
heksan.Banyaknya bercak pada fraksi etil asetat
sebanding dengan aktivitas antioksidannya. Hal ini
dibuktikan oleh penelitian Kanistri (2012) bahwa fraksi
etil asetat merupakan fraksi dengan aktivitas antioksidan
terpoten dibandingkan fraksi yang lainnya dengan nilai
IC50 sebesar 14,48 μg/mL. Sedangkan fraksi air tidak
muncul bercak setelah dielusi. Hal ini menunjukkan
bahwa fraksi air mengandung senyawa polar sehingga
lebih tertahan pada fase diam. Profil KLT dapat dilihat
pada Gambar 44.

100
Gambar 44. Kromatogram hasil pemisahan senyawa ekstrak buah talok
beserta fraksi buah talok

[fase diam silika gel F254 dan fase gerak kloroform : metanol : asam
formiat (44:3,5:2,5); kromatogram dilihat pada sinar tampak (8.1) di
bawah sinar UV254 (8.2) dan di bawah sinar UV366 (8.3)]

Keterangan bercak : 1: kuersetin


2 : ekstrak etanol
3 : fraksi heksan
4 : fraksi etil asetat
5 : fraksi air

Fraksi air tidak terelusi, bercak masih berada pada hRf 0


sehingga diduga senyawa polar pada fraksi air
merupakan glikosida flavonoid. Gambar 45. juga
menunjukkan fraksi air setelah dihidrolisis terelusi dan
timbul bercak dengan hRf lebih besar daripada fraksi air
sebelum dihidrolisis. Senyawa pada fraksi air
terhidrolisis bersifat lebih non polar daripada fraksi air.
Hal ini menunjukkan bahwa fraksi air terhidrolisis
mengandung aglikon flavonoid. Aglikon flavonoid
terbebaskan antara fraksi air terhidrolisis asam dan basa
berbeda terlihat dari perbedaan hRf diantara keduanya.
Aglikon pada fraksi air terhidrolisis asam cenderung
bersifat lebih polar daripada aglikon pada fraksi air

101
terhidrolisis basa. Kemungkinan aglikon fraksi air
terhidrolisis asam mengandung lebih banyak gugus
hidroksi atau aglikon pada fraksi air terhidrolisis basa
mengandung gugus asil lebih banyak. Hal ini
ditunjukkan dengan hRf pada fraksi air terhidrolisis
asam 1 dan 3 jam lebih kecil daripada fraksi air
terhidrolisis basa 1 dan 3 jam.
Perbedaan aglikon flavonoid terbebaskan antara
hidrolisis asam dan basa mungkin terletak pada kerangka
utama, jumlah gugus hidroksil ataupun posisi gugus
hidroksil. Semakin banyak gugus hidroksil kemungkinan
aktivitas antioksidannya semakin besar tergantung dari
posisinya pada cincin flavonoid. Sedangkan adanya
gugus asil pada struktur flavonoid akan menurunkan
aktivitas antioksidan karena strukturnya semakin sterik
sehingga radikal DPPH akan semakin sulit mendekati
gugus hidroksil flavonoid. Selain itu, metoksilasi
mempengaruhi hidrofobisitas dan keplananaran molekul
(Dugas, dkk. 2000).

102
Gambar 45. Kromatogram fraksi air dan fraksi air terhidrolisis buah talok
[setelah disemprot DPPH dengan fase diam silika gel F 254 dan fase
gerak toluen : etil asetat : asam formiat (7:2:1) dilihat pada
sinar tampak]

Keterangan bercak : 1: kuersetin


2 : fraksi air terhidrolisis basa 3 jam
3 : faksi air terhidrolisis basa 1 jam
4 : fraksi air
5 : fraksi air terhidrolisis asam 1 jam
6 : fraksi air terhidrolisis asam 3 jam

Hasil dari pengamatan pada sinar tampak,terlihat bercak


berwarna cokelat pada kuersetin, fraksi air terhidrolisis
asam 1 jam, dan fraksi air terhidrolisis basa 3 jam. Fraksi
air terhidrolisis asam 3 jam dan fraksi air terhidrolisis
basa 1 jam terlihat warna coklat samar sedangkan fraksi
air tidak terlihat bercak. Baik fraksi air terhidrolisis asam
1 jam ataupun 3 jam bercak coklat tidak hanya muncul
pada hRf 0 tetapi juga pada hRf 6. Fraksi air terhidrolisis
asam memiliki 3 bercak yaitu pada hRf 0, 6 dan 21.
Sedangkan fraksi air terhidrolisis basa 3 jam memiliki 4
bercak dengan hRf 0, 45, 57 dan 91. Fraksi air dan fraksi
air terhidrolisis basa hanya memiliki 1 bercak pada hRf
0.Plat KLT dengan indikator berfluoresensi, senyawa

103
akan mereduksi emisi energi dengan mengabsorbsi sinar
UV sehingga akan terlihat meredam pada latar belakang
berfluoresensi (Jork dkk., 1990). Meskipun demikian
tidak semua bercak merupakan senyawa flavonoid
sehingga perlu dideteksi pada UV366 dengan atau tanpa
diuapi amonia dan disemprot AlCl3. Profil KLT dapat
dilihat pada Gambar 46.

Gambar 46. Kromatogram fraksi air sebelum dan sesudah hidrolisis buah talok

[fase diam silika gel F254 dan fase gerak toluen : etil asetat : asam formiat
(7:2:1)kromatogram dilihat pada sinar tampak (10.1) kromatogram
dilihat pada sinar UV254 (10.2)]

Keterangan bercak : 1: kuersetin


2 : fraksi air sebelum dihidrolisis
3 : fraksi air terhidrolisis asam 1 jam
4 : fraksi air terhidrolisis asam 3 jam
5 : fraksi air terhidrolisis basa 1 jam
6: fraksi air terhidrolisis basa 3 jam

Pengamatan bercak pada UV366 menunjukkan bahwa


bercak terlihat berfluoresensi dengan latar belakang
gelap. Fluoresensi pada fraksi berupa fluorensi kuning-
biru, fraksi air terhidrolisis asam coklat-kuning dan
fraksi air terhidrolisis basa kuning dengan intensitas
yang berbeda-beda. Karakterisasi golongan senyawa

104
pada fraksi air dan fraksi air terhidrolisis didapatkan dari
pengamatan perubahan warna kromatogram sebelum dan
setelah diuapi amonia pada UV366. Proses pemberian uap
amonia pada kromatogram umumnya akan
meningkatkan kepekaan deteksi dan menghasilkan
perubahan warna sesuai dengan struktur senyawa
tersebut (Markham, 1988). Hasil KLT menunjukkan
bahwa semyawa yang terdapat pada fraksi air sebelum
dan sesudah dihidrolisis berasal dari golongan flavonoid
terbukti setelah diuapi amonia intensitas warnanya
terlihat lebih jelas dilihat pada UV366. Profil KLT dapat
dilihat pada Gambar 47.

Gambar 47. Kromatogram fraksi air sebelum dan sesudah hidrolisis buah
talok

[fase diam silika gel F254 dan fase gerak toluen : etil asetat : asam formiat
(7:2:1) kromatogram dilihat pada sinar UV 366; sebelum diuapi amonia
dan disemprot AlCl3 (11.1) setelah diuapi amonia (11.2) setelah disemprot
AlCl3 (11.3)]

Keterangan bercak : 1: kuersetin


2 : fraksi air sebelum dihidrolisis
3 : fraksi air terhidrolisis asam 1 jam
4 : fraksi air terhidrolisis asam 3 jam
5 : fraksi air terhidrolisis basa 1 jam
6: fraksi air terhidrolisis basa 3 jam

105
Kemudian dilakukan pengujian KLT dengan DPPH.
Karakterisasi bercak aktif antioksidan dengan
mengamati warna yang muncul setelah bereaksi dengan
DPPH, senyawa antioksidan akan menghasilkan warna
kuning dengan latar belakang ungu.Aktivitas antioksidan
fraksi air terhirolisis asam 3 jam lebih kecil daripada
fraksi air terhidrolisis asam 1 jam, hal ini diperkuat
dengan hasil KLT. Kromatogram pada fraksi air
terhidrolisis asam 1 dan 3 jam memiliki hRf tidak
terlalu berbeda. Meskipun demikian pada kromatogram
dengan pereaksi semprot DPPH dapat dilihat perbedaan
intensitas warna kuning yang timbul (gambar 44), fraksi
air terhidrolisis asam 1 jam warnanya lebih kuning dan
luas areanya lebih besar daripada yang terhidrolisis 3
jam.

Gambar 48. Kromatogram fraksi air terhidrolisis asam buah talok


[fase diam silika gel F254 dan fase gerak toluen : etil asetat : asam formiat (7:2:1)]
Keterangan:
fraksi air terhidrolisis asam 1 jam dilihat pada UV 254 (14.1)
fraksi air terhidrolisis asam 1 jam sesudah disemprot DPPH dilihat
pada sinar tampak (14.2);
fraksi air terhidrolisis asam 3 jam dilihat pada UV254 (14.3);
fraksi air terhidrolisis asam 3 jam sesudah disemprot DPPH dilihat
pada sinar tampak (14.4)

106
Sehingga, aktivitas antioksidan fraksi air terhidrolisis asam 1

jam dan 3 jam berturut-turut 9,5 dan 1,5 kali lebih poten dari

fraksi air, sedangkan pada basa 1 jam dan 3 jam sebesar 2,5

dan 6,5 kali. Aglikon flavonoid terbebaskan pada hidrolisis

asam dan basa memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda.

Nilai IC50 fraksi air terhidrolisis asam 1 jam dan 3 jam sebesar

20,55 dan 97,88μg/mL, sedangkan pada basa 1 jam dan 3 jam

sebesar 66,64 dan 25,53μg/mL. Kemudian hidrolisis asam 1

jam memiliki aktivitas antioksidan lebih besar daripada yang

dihidrolisis 3 jam sedangkan pada basa aktivitas antioksidan

terbesar ditunjukkan pada 3 jam.

4.2. Uji Aktivitas Penangkapan Radikal dan Deteksi


Golongan Senyawa Ekstrak Etanolik Terpurifikasi
Batang Brotowali Tinospora crispa (L.)Miers
Batang brotowali telah diketahui memiliki potensi
sebagai sumber antioksidan alami dan ekstrak etanolik
batang brotowali telah diuji aktivitasnya dengan nilai
IC50 sebesar 0,141+0,033 mg/mL berdasarkan metode
DPPH (Chantong, et al., 2008). Penelitian ini
menggunakan ekstrak etanolik terpurifikasi batang
brotowali. Morfologi batang brotowali seperti terlihat
pada Gambar 49.

107
Gambar 49. Morfologi batang brotowali

Kandungan senyawa aktif dalam batang brotowali di


antaranya apigenin, N−cis feruloyltyramine, N−trans
feruloyltyramine dan bergenin. Senyawa− senyawa
tersebut dapat berperan aktif sebagai antioksidan.
Sedangkan senyawa aktif dalam ekstrak air batang
brotowali adalah flavonoid luteolin, morin, rutin dan
katekin (Slater, 1991).
Tumbuhan dengan nama latin Tinospora crispa (L.)Miers
ini sejak dahulu sudah digunakan sebagai minuman
kesehatan serta mempunyai potensi sebagai antioksidan.
Oleh sebab itu, diperlukan teknik untuk mengisolasi
senyawa aktif dari batang brotowali. Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh fraksi aktif secara efisien
dengan aktivitas penangkapan radikal optimal dari
golongan senyawa tertentu sebagai antioksidan.
Teknik fraksinasi merupakan salah satu metode untuk
meningkatkan potensi antioksidan dalam ekstrak yaitu
pengelompokan senyawa berdasarkan kepolarannya.

108
Pada penelitian terdahulu diketahui bahwa fraksi larut etil
asetat dari ekstrak etanolik batang brotowali memiliki
aktivitas penangkapan radikal DPPH tertinggi
dibandingkan fraksi air, fraksi heksana dan dalam bentuk
ekstraknya (Anonim, 2011).
Flavonoid tergolong senyawa polar karena mempunyai
sejumlah gugus hidroksil atau suatu gula. Flavonoid
umumnya berada dalam bentuk glikosida (Markham,
1988)sehingga flavonoid cenderung lebih larut dalam
pelarut polar-semi polar seperti air dan etanol.
Di dalam ekstrak etanol tidak hanya terkandung
flavonoid, namun juga senyawa golongan lain. Hal ini
dikarenakan etanol merupakan pelarut semi polar
sehingga dapat menarik berbagai macam senyawa. Untuk
memisahkan senyawa-senyawa di dalam sampel
dilakukan tahapan lebih lanjut yaitu dengan fraksinasi.
Fraksinasi memisahkan senyawa berdasarkan tingkat
kepolaran. Senyawa-senyawa akan tertarik ke masing-
masing penyari berdasarkan sifat kepolarannya yaitu non
polar, semi polar, dan polar.
Ekstrak etanolik batang brotowali awalnya difraksinasi
dengan n-heksan. Fraksinasi ini dilakukan dengan
metode padat-cair. Normal heksan menarik senyawa
dengan kepolaran rendah seperti lipid, terpen, klorofil,
xantofil, dan lain-lain (Markham, 1988). Selanjutnya fase
tak larut n-heksan difraksinasi dengan etil asetat. Etil
asetat menyari senyawa yang lebih polar. Fraksinasi

109
dengan n-heksan dan etil asetat dilakukan berulang
hingga didapat fase n-heksan dan etil asetat yang jernih
dan tidak berwarna. Filtrat sari n-heksan dan etil asetat
diuapkan dengan dibiarkan di udara terbuka tanpa
pemanasan hingga diperoleh ekstrak kental.
Fraksi n-heksan batang brotowali pada penelitian ini
berwarna hijau muda dan kental berair. Sementara fraksi
etil asetat dan fraksi air berwarna coklat kental.
Setelah dilakukan fraksinasi dengan mendapat rendemen
etanol 96% adalah 10,33% b/b sedangkan rendemen
fraksi n−heksana, etil asetat dan air berturut−turut
15,45% b/b; 18,11% b/b dan 19,09% b/b. hal tersebut
menunjukkan bahwa senyawa dalam batang brotowali
cenderung polar. Kemudian dilakukan KLT penapisan
dan menunjukkan profil dimana fraksi heksana tersari
senyawa bersifat non polar seperti klorofil, resin dan
kemungkinan beberapa senyawa turunan fenol. Profil
kromatogram dapat dilihat pada Gambar 50.

110
Gambar 50. Kromatogram pemisahan senyawa ekstrak batang brotowali

[fase diam silica gel F254 fase gerak toluene: etil asetat: asam format
(4:6:1 v/v/v)) diamati di bawah sinar UV 254 nm (kiri) dan sinar UV 366
nm (kanan). Keterangan (a) ekstrak etanolik (b) fraksi heksan (c) fraksi
etil asetat (d) fraksi air]

Menurut Irianti dkk. (2011), ekstrak etanolik, fraksi etil


asetat dan fraksi air dari batang brotowali diduga
mengandung senyawa golongan kumarin dan flavonoid.
Batang brotowali diketahui mengandung flavonoid, yaitu
katekin, luteolin, morin, dan rutin (Amom dkk., 2009).
Flavonoid sering terhidroksilasi pada posisi 3, 5, 7, 3′, 4′,
dan 5′. Flavonoid dapat berada dalam bentuk aglikon
maupun glikosida.
Dalam bentuk glikosida, ikatan glikosidik normalnya
berada pada posisi 3 atau 7 dan gulanya bisa berupa L-
rhamnosa, D-glukosa, glukorhamnosa, galaktosa, atau
arabinosa (Lopez, 2001). Rutin merupakan bentuk
glikosida dari aglikon flavonoid kuersetin. Posisi 3 pada
kuersetin berupa suatu gugus hidroksi, sementara pada

111
rutin disubsitusi oleh gula rutinose dengan ikatan O-
glikosidik.
Kemampuan senyawa menangkap radikal umumnya
diekspresikan dengan parameter konsentrasi efisiensi
(EC50) atau konsentrasi penghambatan (IC50) . Nilai IC50
merupakan nilai konsentrasi senyawa antioksidan yang
mampu mereduksi 50% dari konsentrasi awal radikal
DPPH (Litescu dkk., 2010). Digunakan uji DPPH karena
sederhana dan dapat dilakukan dengan cepat, serta
instrumen dan bahan mudah tersedia. DPPH mudah
rusak oleh cahaya sehingga uji ini dilakukan di ruang
gelap.
Semua fraksi diukur aktivitasnya pada 5 konsentrasi
bertingkat dengan perlakuan yang sama yaitu pada
panjang gelombang 514,5 nm dan operating time 45
menit. Sebagai pembanding digunakan
kuersetin.Kuersetin merupakan flavonoid dengan
aktivitas antioksidan poten karena memiliki 3 macam
gugus dalam strukturnya, yaitu separuh katekol pada
cincin B, ikatan rangkap pada posisi 2,3 konjugasi
dengan gugus karbonil pada cincin C, dan adanya gugus
hidroksi pada posisi 3 dan 5 (Gulcin, 2012). Adanya
gugus hidroksil pada posisi 5′ di cincin B meningkatkan
potensi antioksidan secara signifikan (Gulcin, 2012).
Nilai IC50 dari ekstrak etanolik, fraksi heksana, fraksi etil
asetat dan fraksi air berturut turut adalah 132,27+5,7 ;
398,80+89,80 ; 51,97+10,97 dan 354,99+34,10 µg/mL.

112
Aktivitas penangkapan radikal DPPH oleh ekstrak
etanolik batang brotowali, fraksi air dan heksan lebih
rendah dibandingkan fraksi etil asetat. Hal tersebut dapat
disebabkan masih adanya zat pengotor sehingga
interaksi antar senyawa masih dominan.
Fraksi etil asetat mengandung golongan senyawa
flavonoid dan kumarin dengan pendeteksi berupa
penyemprotan AlCl3. Setelah disemprot dengan pereaksi
AlCl3, senyawa flavonoid akan berpendar kuning di UV
366 nm karena senyawa flavonoid jika bereaksi dengan
AlCl3 menimbulkan fluoresensi. Dari perbandingan pola
profil kromatogam, bercak flavonoid dan kumarin
berwarna kuning pada latar belakang ungu setelah
disemprot DPPH. Sedangkan bercak aglikon kumarin
dan alkaloid tidak menunjukkan aktivitaas penangkapan
radikal. Aglikon kumarin terdapat dalam ekstrak etanolik
batang brotowali kemungkinan memiliki aktivitas
penangkapan radikal, sedangkan alkaloid yang terdeteksi
bukan merupakan N−cis feruloyltyramine atau N−trans
feruloyltyramine.

Gambar 51 memperlihatkan kromatogram pembanding


kuersetin, ekstrak etanolik, fraksi etil asetat, fraksi air,
dan fraksi air terhidrolisis pada sinar tampak. Bercak
berwarna coklat muda muncul pada tempat penotolan no
1 dengan hRf 22, no 4, 5, dan 6 dengan hRf0, serta no 2,
3, 4, 5, dan 6 dengan hRf 38.Pada fraksi air (nomor 4)

113
warna pada titik awal penotolan (hRf 0) terlihat lebih
jelas dibanding bercak dengan hRf sama pada fraksi air
terhidrolisis 1 jam (nomor 5) dan 3 jam (nomor 6), hal
ini menandakan pada fraksi air mengandung jenis
senyawa polar dan mengalami perubahan selama proses
hidrolisis.

Gambar 51. Kromatogram ekstrak etanolik batang brotowali dan


fraksinya

[fase diam silika gel F254 dan fase gerak kloroform:metanol:asam format
(44:3,5:2,5 v/v)sebelum disemprot diamati pada sinar tampak]

Keterangan 1: pembanding kuersetin, 2: Ekstrak etanolik, 3:


fraksi etil asetat, 4: fraksi air, 5: fraksi air terhidrolisis 1 jam, 6:
fraksi air terhidrolisis 3 jam

Gambar 52 memperlihatkan kromatogram pada


pengamatan di bawah sinar UV 254 dan 366. Pada
gambar 14.1, terdapat pemadaman pada pembanding
kuersetin dengan hRf 22 serta pada kelima sampel uji
dengan nilai hRf 0 dan 38. Terjadinya pemadaman

114
menandakan senyawa-senyawa ini mampu menyerap
sinar pada panjang gelombang 254 nm.
Gambar 52 menunjukkan kromatogram pada
pengamatan di bawah sinar UV366. Kuersetin terlihat
berpendar dengan warna kuning kecoklatan pada hRf 22,
sementara pada semua fraksi batang brotowali nampak
bercak-bercak pada hRf 5, 15, 22, 25, 29, 35, 38, 49, 65,
80, dan 93 dengan kesamaan warna namun intensitas
berbeda. Perbedaan warna ini disebabkan oleh struktur
senyawa yang berbeda, sementara perbedaan intensitas
dikarenakan perbedaan konsentrasi senyawa dalam
masing-masing fraksi. Harborne (1987) menyatakan
bahwa kesempurnaan pemisahan suatu hasil fraksinasi
jarang dicapai dan hanya berbeda dalam intensitas
senyawa.Perbedaan hRf dikarenakan perbedaan tingkat
kepolaran. Semakin besar hRf menandakan senyawa
tersebut semakin kurang polar, karena sistem KLT ini
menggunakan fase gerak non polar dan fase diam polar.
Pada fraksi air (nomor 4) pada titik awal penotolan (hRf
0) terlihat bercak yang tidak nampak pada fraksi air
terhidrolisis 1 jam (nomor 5) dan 3 jam (nomor 6), hal
ini menandakan pada fraksi air mengandung jenis
senyawa polar yaitu glikosida flavonoid dan mengalami
perubahan selama proses hidrolisis.

115
Gambar 52. Kromatogram ekstrak etanolik batang brotowali dan
fraksinya

[fase diam silika gel F254 dan fase gerak kloroform:metanol:asam format
(44:3,5:2,5 v/v)sebelum disemprot diamati pada sinar UV 254 dan UV366]

Keterangan
1: pembanding kuersetin, 2: Ekstrak etanolik, 3: fraksi etil
asetat, 4: fraksi air, 5: fraksi air terhidrolisis 1 jam, 6: fraksi air
terhidrolisis 3 jam

Dari penelitian tersebut, nilai IC50 ekstrak etanolik,


fraksi heksan, fraksi etil, fraksi etil asetat dan fraksi air
berturut turut adalah 132,27+5,7 ; 398,80+89,80 ;
51,97+10,97 dan 354,99+34,10 µg/mL. Sedangkan
ekstrak terpurifikasi metode etil asetat menghasilkan
IC50 sebesar 43,38 µg/mL lebih rendah daripada nilai
pada fraksi etil asetat sehingga ada peningkatan aktivitas
penangkapan radikalnya. Kemudian, penelitian pengaruh
hidrolisis terhadap ekstrak batang brotowali diukur juga
nilai IC50 dengan penyemprotan DPPH. Profil
kromatogram dapat dilihat pada Gambar 53.

116
Gambar 53. Profil kromatogram ekstrak batang brotowali setelah
disemprot pereaksi DPPH

Keterangan:
K: pembanding kuersetin, E: Ekstrak etanolik, EA: fraksi etil asetat, A:
fraksi air, A1: fraksi air terhidrolisis 1 jam, A3: fraksi air terhidrolisis 3
jam
Adapun golongan senyawa dengan aktivitas
penangkapan radikal dalam fraksi etanol batang
brotowali dan fraksi terpurifikasinya adalah flavonoid
dan kumarin. Fraksi air terhidrolisis 3 jam batang
brotowali memiliki aktivitas penangkapan radikal paling
besar yaitu dengan IC50 18,26 µg/mL. Kemudian diikuti
dengan fraksi etil asetat sebesar 30,05µg/mL, fraksi air
terhidrolisis 1 jam sebesar 31,12 µg/mL, fraksi air
sebesar 33,75 µg/mL, dan ekstrak etanolik sebesar 52,29
µg/mL. Hidrolisis selama 3 jam pada fraksi air ekstrak
etanolik batang brotowali mampu meningkatkan
aktivitas penangkapan radikal DPPH dibandingkan
fraksi airnya.

117
4.3. Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH Ekstrak
Etanolik Daun Mengkudu (Morinda citrifolia L.) ,
Fraksi Air dan Fraksi Air Terhidrolisis
Daun Mengkudu berpotensi sebagai antioksidan alami.
Beberapa ekstrak non air daun mengkudu mempunyai
nilai IC50 sebesar 0,20−0,35 mg/mL (Thani, et al., 2010).
Fraksinasi dapat meningkatkan aktivitas antioksidan.
Fraksinasi yang dimaksud jika dengan fraksinasi air.
Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa fraksi air lebih
tinggi aktivitas antioksidannya dibanding fraksi heksana
dan etil asetat. Fraksi tidak larut etil asetat (fraksi air)
mengandung banyak glikosida flavonoid dengan aktivitas
penangkapan radikal DPPH. Morfologi daun mengkudu
ditunjukkan pada Gambar 54.

Gambar 54. Morfologi daun mengkudu

Hasil ekstraksi menurut Franco, dkk. (2010) hasil ekstrak


dan aktivitas antioksidan sangat tergantung kepolaran
solven pada keberhasilan penyarian senyawa. Ekstraksi
ini menggunakan etanol teknis 96%. Kemudian
difraksinasi untuk mendapatkan flavonoid lebih banyak

118
dibandingkan ekstrak kasar. Diawali dengan ekstraksi
heksana dengan tujuan memisahkan senyawa polar dan
non polar seperti klorofil. Kromatogram ekstrak etanolik
dapat dilihat pada Gambar 55. Kromatogram ini
menunjukkan bahwa proses fraksinasi mampu
memisahkan senyawa berdasarkan kelarutan relative
solven.

Gambar 55. Profil kromatogram ekstrak etanolik daun mengkudu dan


fraksinya

Pada penelitian ini, dilakukan hidrolisis asam. Hidrolisis


asam ini dilakukan dengan merefluks sampel fraksi air
dalam etanol dengan katalis asam klorida 2N.
penggunaan asam klorida dalam hidrolisis untuk
mendapatkan aglikon dengan sempurna dan
meminimalisir reaksi senyawa dalam ekstrak. Asam
klorida merupakan katalis asam kuat sehingga mampu
memecah ikatan glikosidik antara flavonoid dengan
gugus gula dan efisiensinya lebih tinggi dibanding asam
sulfat (Nic’iforovic, et al., 2010). Setelah dihidrolisis,

119
masing−masing fraksi dilakukan KLT dan profil
kromatogramnya dapat dilihat pada Gambar 56.

Gambar 56. Profil kromatogram fraksi air terhidrolisis ekstrak daun


mengkudu dengan pembanding kuersetin

Kuersetin menunjukkan bercak pada hRf 75 dan fraksi


air hidrolisis 1 jam menunjukkan adanya pola sama
dengan pembanding. Sedangkan fraksi air hidrolisis 3
jam menunjukkan bercak dengan hRf sama namun
warna fluoresensi berbeda. Kemudian dilakukan KLT
untuk mendeteksi aktivitas penangkapan radikal DPPH.
Profil kromatogramnya dapat dilihat pada Gambar 57.

120
Gambar 57. Profil kromatogram ekstrak daun mengkudu dengan
penyemprotan DPPH

Perlakuan hidrolisis selama 1 jam dan 3 jam memberikan


profil senyawa berbeda dengan fraksi air. Dari data IC50,
menunjukkan bahwa adanya peningkatan aktivitas
penangkapan radikal seiring dengan peningkatan
konsentrasi fraksi air terhidrolisis 1 jam. Kuersetin
merupakan polifenol dengan aktivitas antioksidan tinggi.
Dari data aktivitas penangkapan radikal DPPH, kuersetin
menangkap radikal lebih banyak dengan peningkatan
konsentrasinya.
Efektivitas penangkapan radikal dari paling tinggi yaitu
kuersetin, fraksi air terhidrolisis 1 jam, fraksi air
terhidrolisis 3 jam, fraksi etanolik dan fraksi air. Hasil
tersebut dapat dilihat pada Gambar 58.

121
Gambar 58. Perbandingan aktivitas penangkapan radikal oleh ekstrak
daun mengkudu

Aktivitas penangkapan radikal DPPH oleh ekstrak


metanolik daun mengkudu lebih tinggi dibandingkan
fraksi air. Hal ini dikarenakan adanya efek sinergisme
dari dua atau lebih senyawa dengan berbagai kepolaran
dalam daun mengkudu. Proses fraksinasi juga dapat
berefek pada aktivitas penangkapan radikal dimana dapat
menghasilkan aktivitas yang lebih kecil (nilai IC50 fraksi
etanolik 151,3 µg/mL dan fraksi air 197,36 µg/mL).
Kemudian, lamanya hidrolisis juga mempengaruhi proses
fitokimia suatu bahan. Perlakuan hidrolisis 1 jam dan 3
jam berbeda profilnya dimana ekstrak dengan waktu
hidrolisis air 1 jam memiliki IC50 lebih kecil (66,72
µg/mL) dibanding dengan waktu hidrolisis 3 jam (72,54
µg/mL).

122
4.4. Perbandingan Inhibisi Ekstrak Air Buah Mahkota
Dewa (Phaleria macrocarpa, (Scheff). Boerl.) dan
Vitamin C Terhadap Fotodegradasi Tirosin
Buah mahkota dewa mengandung alkaloid, terpenoid,
saponin dan senyawa polifenol (Lusiana, 2006). Senyawa
fenolik pada tanaman dapat beraksi sebagai antioksidan
sehingga mampu menunda kerusakan oksidatif tubuh
manusia (Kahkonen, et al., 1999). Menurut Javanmardi et
al. (2002) menyatakan bahwa senyawa fenolik dapat
mengadsorpsi radikal bebas, meredam oksigen single dan
mendekomposisi peroksida. Buah mahkota dewa
mengandung flavonoid dan polifenol yang memiliki sifat
antioksidan sehingga diharapkan ekstrak air buah
mahkota dewa dapat menghambat fotodegradasi tirosin
dan digunakan sebagai fotoprotektor. Gambar 59
menujukkan morfologi buah mahkota dewa.

Gambar 59. Morfologi buah mahkota dewa

123
Pengujian pengaruh ekstrak air buah mahkota dewa
dibandingkan dengan vitamin C terhadap fotodegradasi
tirosin dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan
perhitungan, efek penghambatan ekstrak air buah
mahkota dewa lebih baik daripada vitamin C yaitu
sebesar 1,59 kali. Sehingga, ekstrak air buah mahkota
dewa pada kadar 0,15% b/v dapat menginhibisi
fotodegradasi tirosin 0,05% b/v terinduksi ketoprofen.
Tabel 10. Pengaruh ekstrak air buah mahkota dewa dibandingkan
dengan vitamin C terhadap fotodegradasi tirosin

Kemudian dilakukan penghitungan kadar fenolik total


buah mahkota dewa. Kadar fenolik total rata−rata 0,38
mg/ 100mL pada ekstrak sebesar 7,57+0,23 % EAG
dengan CV 3,05%.

4.5. Uji Penangkapan Radikal oleh Fraksi−fraksi Ekstrak


Bunga Kecombrang (Nicola speciosa (BI.) Horan) dan
Buah Talok (Muntingia calabura, L.) Menggunakan
DPPH
Buah kecombrang dilaporkan memiliki efek antioksidan
kuat terhadap hepar dan sumsum tulang tikus galur
Sprague Dawley terinduksi Pb (Jackie, et al., 2011).
Haleagrahara, dkk. (2010) menyatakan ekstrak etanol

124
bunga kecombrang mampu meningkatkan enzim
penangkap radikal bebas seperti Superoxide dismutase,
Gluthatione Peroxidase dan Glutathione S- transferase.
Ekstrak metanol bunga kecombrang menunjukkan
aktivitas penangkapan radikal DPPH dengan IC50
sebesar 9,14 mg/mL. adapun kandungan senyawa dalam
buah kecombrang yaitu flavonoid, terpenoid, saponin dan
tanin (Lachumy, et al., 2010). Morfologi bunga
kecombrang dapat dilihat pada Gambar 60.

Gambar 60. Morfologi bunga kecombrang

Buah talok secara tradisional digunakan masyarakat


Amerika Selatan untuk selai atau buah segar. Buah talok
mengandung asam askorbat, enzim- enzim, bioflavonoid
dan mineral (Kinanti, 2010). Aktivitas antioksidan
ekstrak metanol, etil asetat, butanol, pe dan kloroform
buah talok sudah diuji bahwa dari hasilnya ekstrak buah
talok memiliki aktivitas antioksidan tertinggi (Preethi,
2010). Adapun morfologi buah talok sebagaimana dilihat
pada Gambar 61.

125
Gambar 61. Morfologi buah talok

Dari hasil pengujian, bunga kecombrang maupun buah


talok pada fraksi etil asetat memiliki aktivitas
antioksidan paling poten yakni IC50 29,81 µg/mL dan
14,48 µg/mL. Fraksi air bunga kecombrang memiliki
IC50 39,27 µg/mL, ekstrak etanol 44,08 µg/mL dan
fraksi heksan 135,36 µg/mL. Ekstrak etanol buah talok
memiliki IC50 137,20 µg/mL sedangkan fraksi airnya
282,47 µg/mL.
Penapisan senyawa dilakukan dengan KLT.
Kromatogram fraksi etil asetat bunga kecombrang dapat
dilihat pada Gambar 62 sedangkan pada buah talok pada
Gambar 63.

126
Gambar 62. Kromatogram fraksi etil asetat dari ekstrak etanolik bunga
kecombrang

(kloroform: etil asetat (2:3 v/v))

Gambar 63. Kromatogram fraksi etil asetat buah talok

(toluene:etil asetat:asam formiat (6:4:1))

Pada ekstrak etil asetat bunga kecombrang diduga


memiliki senyawa aktif fenolik dengan gugus karbonil.
Sedangkan pada buah talok mengandung flavonoid
dengan gugus o−hidroksi pada cincin B atau hidroksi
karbonil pada cincin A dan cincin C (Markham, 1982).

127
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

Belleville and Nabet, F., 1996, Zat Gizi Antioksidan Penangkal


Senyawa Radikal Pangan dalam Sistem Biologis
Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan :
Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap Kesehatan dan
Penangkalan, Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi
dengan Kedutaan Besar Perancis, Jakarta.
Eltsner, E.F., 1991, Mechanisms of Oxygen Activation in
Different Compartments of Plant Cells dalam Active
oxygen / oxidative Stress and Plant Metabolism, E. J., Pell
dan K.L., Steffen Rockville, MD : American society of
Plant Physiologists. 13-25
Fessenden, R. J. & Fessenden, J. S., 1986, Kimia Organik, Edisi
Ketiga, Erlangga, Jakarta.
Giriwijoyo, S., 2004, Ilmu Faal Olahraga Fungsi Tubuh Manusia
pada Olahraga, Fakultas Pendidikan Olahraga Kesehatan
Universitas Pendidikan Indonesia, Jakarta.
Gordon, M.H., 1990, The Mekanism of Antioxidan Action in Vitro
dalam B.J.F. Hudson, ed. Food Antioxidan, Elvisier
Applied Science, London.
Gordon, M.H., 2001, Measuring Antioxidant Activity dalam Jan
Pokorny, Nedyalka, Yanishlieva-Malarova, and Michael
Gordon (ed.). Antioxidant in Food Practical Application,
Woodhead Publishing Ltd., London.
Halliwell, B. and Whiteman, M., 2004, Measuring reactive
species and oxidative damage in vivo and in cell culture:
how should you do it and what do the results mean, Br J
Pharmacol, 142,55-231.
Halliwell, B., and J. M. C. Gutteridge, 1989, Free Radicals in
Biology and Medicine, Clarendon Press, Oxford.

128
Herawati dan Syafsir, A., 2006, Kinerja BHT sebagai
Antioksidan Minyak Sawit pada Perlindungan terhadap
Oksidasi Oksigen Singlet, Akta Kimindo, 2(1): 1-8.
Kikuzaki, H., Hisamoto, M., Hirose,K.,Akiyama, K., and
Taniguchi, H, 2002, Antioxidant Properties of Ferulic
Acid and Its Related Compounds. Food Chem, 50 (7):
2161-2168.
Kumar, E.K., Ramesh, A. and Kasiviswanath, R., 2005,
Hypoglicemic and Antihyperglicemic Effect of Gmelina
asiatica Linn. In normal and in alloxan Induced Diabetic
Rats, Andhra Pradesh, India.
Lampe, J.W., 1999, Health Effect of Vegetables and Fruit
Assesing Mechanism Of Action In Human Experimental
Studies, The American Journal Of Clinical Nutrition, 70
Suppl: 475 S- 490 S.
Langseth, L., 1995, Oxidant, Antioxidant, and Desease
Prevention, International Life Science Institute press,
Belgium.
Lestariana, W., 2003, Peran Antioksidan pada Proses Penuaan,
Berkala Neurosains, 5, 1-5.
Liedias, F. and Hansberg, W., 2000, Catalase Modification as a
Marker for Singlet Oxygen Methods Enzymol, Academic
Press,New York.
Meydani, S.N., Wu, D., Santos, M.S. and Hayek, M.G., 1995,
Antioxidants and Immune Response in Aged Persons
Overview of Present Evidence, American Journal of
Clinical Nutrition, 62, 1462 -1476.
Min D.B., and Boff J.M., 2002, Lipid Oxidation of Edible Oil,
Marcel Dekker. Inc., New York.
Mohammed Y.Q., Hamad M. W., and Mohammed K. E., 2009,
Spectrophotometric Determination of Total Vitamin C in

129
Some Fruits and Vegetables at koya Area – Kurdistan
Region/ Iraq, Journal of Kirkuk University.
Muchtadi, D., 2013, Antioksidan dan Kiat Sehat di Usia
Produktif, Alfabeta, Bandung.
Pangkahila, W., 2007, Anti-Angin Medicine : Memperlambat
Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup, Jakarta, PT,
Kompas Media Nusantara Wijaya, A., 1996, Radikal
Bebas dan Parameter Status Antioksidan, Forum
Diagnosticum, I, 1-4.
Raharjo, S., 2006, Kerusakan Oksidatif Pada Makanan, Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Reynertson, K. A., 2007, Phytochemical Analysis of Bioactive
Constituens from Edible Myrtaceae Fruit, Dissertation,
The City University of New York, New York.
Rice-Evans, C.A., N.J. Miller, G. and Paganga., 1997,
Antioxsidant Properties of Phenolic Compounds. J.
Trends in Plant Science, Vol 2 No. 4.
Rohman, A., 2006, Pelacak Antioksidan Serta Penentuan
Kandungan Fenolik dan Flavonoid Total Buah Mengkudu
(Morinda citrifolia L.), Tesis, Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sies, H. & Stahl, W., 1995, Vitamins E and C, a-carotene, and
other carotenoids as antioxidants, American Journal
Clinical Nutrition 62 (supp), 1315S- 21S.
Siswono, M., 2005. Jagung. http :// www.food science.org,
diakses 24 Desember 2009.
Soleas, G. J., Linda, G. P., Josephy, D., Goldberg, D. M., and
Diamandis, E. P., 2002, Clin. Biochem. 35,119-24.
Wijaya, A., 1996, Radikal bebas dan parameter status
antioksidan, Forum diagnosticum. Prodia diagnostics
educational services, No. 1. 1-11.

130
Winarsi,H., 2007, Antioksidan Alami dan Radikal Bebas,
Kanisius,Yogyakarta.
Wolf, G., 2008, Role of Fatty Acids In the Development of Insulin
Resistance and Type 2 Diabetes Mellitus, Nutrition
Reviews, 66, 10: 597–600.
Wolf, G., 2002, The effect of β-carotene on lung and skin
carcinogenesis, Carcinogenesis 23: 1263-1265.

131
BAB II

Ariani, S.R.D. dan Hastuti, W., 2009, Analisis Isoflavon dan Uji
Aktivitas Antioksidan Pada Tempe dengan Variasi Lama
Waktu Fermentasi dan Metode Ekstraksi. Prosiding Kimia
Organik, Bahan Alam, dan Biokimia, FKIP UNS
Surakarta.
Arora, A., Byrem, T.M., Nair, M.G. & Strasburg, G.M., 2000,
Modulation of Liposomal Membrane Fluidity by
Flavonoids and Isoflavonoids,Arch. Biochem.
Biophys.,373, 102-109.

Astawan, Made., Kasih, A.L. 2008. Khasiat warna-warni


makanan. Jakarta: Gramedia
Aulia, I. P., 2009, Efek Minyak Atsiri Cabe Jawa terhadap
Jumlah Limfosit Tikus Wistar yang Diberi Diet Kuning
Telur, Universitas Diponegoro Semarang.
Bagchi, K., Puri, S. 1998. Radikal Bebas dan Antioksidan dalam
Kesehatan dan Penyakit. Kesehatan Mediterania Jurnal
Timur. 4: 350-360
Botterweck, AAM, Vergaen H, GoldBohm RA, KleinJans J, and
van den Brant PA. Intake of butylated hydroxyanisole
and butylated hydroxytoluene and stomach cancer risk:
results from analyses in the Netherlands cohort study.
Food and Chemical Toxicology. 2007. 38 (7): 599–605.
Bravo, L. 1998. Polyphenols : Chemistry, Dietary Sources,
Metabolism, and Nutritional Significance. Nutrition
Reviews. 56 : 317-333.
Combs G.F. 1999. The Vitamin Fundamental Aspects in
Nutrition and Health. Academic Press Inc. San Diego. p.
225-39.
Coward, L.,Barnes, N., Setchell,K.D.R., and Barnes, S., 1993,
Genestein and Deidzein and their ß−Glicoside Conjugates

132
anti-Tumor Isoflavones in Soybeans Foods from American
and asian Diets, J. Agric.Food. Chem.41: 1961-1967.
Das, N.P. & Pereira, T.A., 1990, Effects of Flavonoids on
Thermal Autoxidation of Palm Oil: Structure Activity
Relationships,J. Am. Oil Chem. Soc.,67, 255-258.
Dyer, L., 2016, Antioxidants Inside and Out, Some Amazing
Benefits, http://mindpowerglobal.com.au/antioxidants-
inside-and-outsome-amazing-benefits/, diakses 12 Juli
2017
Evans, W.J. 2000. Vitamin E, Vitamin C, and Exercise. American
Journal of Clinical Nutrition. (72): 647S-652S
Fennema, O. R. 1996. Principles of Food Science. Marcel
Dekker, Inc.New York- Brussel-Hongkong.
Francis, F.J., 2000. Anthocyanins and Betalains: Composition
and Application. Cereal Foods World 45 (5): 208-213.
Giacco F, Brownlee M. Oxidative Stress and Diabetic
Complications. Circ Res [serial online]. 2010 [disitasi
tanggal 29 July 2013];107:1058-70.
Gordon, M.H. 2001. Measuring Antioxidant Activity. Dalam: Jan
Pokorny, Nedyalka, Yanishlieva-Malarova, and Michael
Gordon (ed.). Antioxidant in Food Practical Application.
Woodhead Publishing Ltd. London.
Halliwell, B. & Whiteman, M. (2004) Measuring reactive species
and oxidative damage in vivo and in cell culture: how
should you do it and what do the results mean; Br J
Pharmacol, 142,55-231
Hamid A.A., Aiyelaagbe O.O., Usman L. A., Ameen O. M.,
Lawal A., 2010, “Antioxidants: Its medicinal and
pharmacological applications”, African Journal of Pure
and Applied Chemistry Vol. 4(8), pp. 142-151, Nigeria
Han SS, Lo SC, Choi YW, Kim JH, Beck SH. Antioxidant
activity of crude extract and pure compounds of

133
Acerginnala max. Bull. Ko-rean. Chem Soc. 2004; 25(3):
389-391
Han, K.H., et al., 2006, Anthocyanin-Rich Purple Potato Flake
Extract Has Antioxidant Capacity and Improves
Antioxidant Potential in Rats, British Journal of Nutrition
(6), 1125–1133 DOI: 10.1017/BJN20061928.
Harborne, J.B. & Williams, C.A., 2000, Advances in Flavonoid
Research Since 1992,Phytochemistry, 55, 481-504.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penerbit ITB. Bandung.
Hattenschwiller, S dan Vitousek, P. M. 2000. The role of
polyphenols interrestrial ecosystem nutrient cycling.
Review PII: S0169-5347(00)01861-9 TREE vol. 15, no. 6
June 2000.
Hurrell, F. R. dan Reddy, M. B. 2003. Degdration of phytic acid
in cereal porridges improves iron absorption by human
subjects. The American J. Of Clinical Nutrition. 77(5):
1213-1219.
Karyadi, 1997, Antioksidan: Resep Awet Muda dan Umur
Panjang (Online),
(http://www.kmpas.com/kompascetak/fokus.htm , diakses
17 Maret 2006)
Koswara, S., 2006, Isoflavon SenyawaMulti-Manfaat Dalam
Kedelai, Ebook Pangan, Bogor.
Kumalaningsih, S. dan Suprayogi, 2006. Tamarillo (Terung
Belanda). Trubus Agrisarana, Surabaya.
Kuncahyo, I., Sunardi. (2007).Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi, L.) terhadap 1,1-
diphenyl-2-picrylhidrazyl (DPPH). Seminar Nasional
Teknologi 2007. Hal. 1-9.
Lam LK, Pai RP. Wattenberg, LW. Synthesis and chemical
carcinogen inhibitory activity of 2-tert-butyl-4-
hydroxyanisole. J Med Chem. 1979; 22 (5): 569–71.

134
Lamid, A., 1995, Vitamin E Sebagai Antioksidan, Media
Litbangkes (5):1.
Leong L.P., and Shui. 2002. An investigation of antioxidant
capacity of fruits in Singapore markets, Food Chemistry.
102:732-737.
Madhavi DL, Deshpande SS, Salunkhe DK. Butylated
hydroxyanisole (BHA; tert-butyl-4-hydroxyanisole) and
butylated hydroxytoluene (BHT; 2,6-di-tert-butyl-p-
cresol) in food anti-oxidants: Technological,
Toxicological, and health perspectives.1996.
Madhavi, DL, Deshpande SS, Salunkhe DK. Food antioxidants:
technologycal: toxi-cological and health perspectives.
1996. New York. Marcel Dekker.
Markakis, P., 1982. Anthocyanins as Food Additives. Di dalam P.
Markakis (ed). Anthocyanins as Food Colors. Academic
Press, New York
Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid,
diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, 15, Penerbit
ITB, Bandung.
Muchtadi, Deddy. 2013. Antioksidan dan Kiat Sehat di Usia
Produktif. Alfabeta.Bandung
Niwa Y. 1997. Radikal Bebas Mengundang Kematian. Tokyo:
NTV. Hal.30-42
Pawiroharsono, S., 2001, Prospek dan Manfaat Isoflavon untuk
Kesehatan, Direktorat Teknologi Bioindustri, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Prakash, A., 2001, Antioxidant Activity, Medallion Laboratories-
Analytical Progress, 19(2): 2.
Sadikin, M. 2001. Pelacakan Dampak Radikal Bebas terhadap
Makromolekul. Kumpulan Makalah Pelatihan:Radikal
Bebas dan Antioksidan dalam Kesehatan. Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta

135
Sen, S., Chakraborty, R., Sridhar, C., Reddy, Y.S.R., and Pe, B.,
2010, Free Radical Antioxidants, Disease and
Phytomedicines: Current Status and Future Prospect,
International Journal of Pharmaceutical Sciences Review
and Research. 21(3): 91-100.
Setiati S. Radikal bebas, antioksidan, dan proses menua. Tinjauan
Pustaka. Medika 2003; 6:366-9.
Shihabi A, Li WG, Miller Jr FG, Weintraub NL. Antioxidant
therapy for atherosclerotic vascular disease: the promise
and the pitfalls. Am J Physiol Heart Circ Physiol [serial
online]. 2002 [disitasi bulan Maret 2009]; 282 (3): 797-
802.
Sidik. 1997. Antioksidan Alami Asal Tumbuhan. Seminar
Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XII 26 s/d 27 Juni
1997
Sies, H. & Stahl, W., 1995, Vitamins E and C, a-carotene, and
other carotenoids as antioxidants, American Journal
Clinical Nutrition 62 (supp), 1315S-21S.
Tournaire, C., Croux, S., Maurette, M.T., Beck, I., Hocquaux, M.,
Braun, A.M., & Oliveros, E., 1993, Antioxidant Activity
of Flavonoids: Efficiency of Singlet Oxygen (1Δg)
Quenching,J. Photochem. Photobiol., 19, 205-215.
Winarsi, Hery. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas.
Kanisius.Yogyakarta.
Winarti, Sri. 2010. Makanan Fungsional. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Zheng W, Wang SY. Antioxidant activity and phenolic
compounds in selected herbs. J. Agric. Food Chem. 2001;
49(11): 5165–5170.

136
BAB III

Allen, J. & Bradley, R. D., 2010, Effects of Oral Glutathione


Supplementation on Systemic Oxidative Stress Biomarkers
in Human Volunteers, The Journal Of Alternative And
Complementary Medicine, 17 : 827–833.
Anonim, 2009, BioVision, Superoxide Dismutase (SOD) Activity
Assay Kit (Catalog K335-100), Linda Vista Avenue,
Montain View, CA 94043 USA.
Antolovich, M., Prenzler, P.D., Patsalides, E., McDonald, S., and
Robards, K., 2001, Methods for Testing Antioxidant
Activity, J. Analyst., 127. p. 183–198.
Aoki H, Otaka Y, Igarashi K, and Takenaka, A., 2002, Soy
protein reduces paraquat-induced oxidative stress in rats, J
Nutr., 132:2258-2262.
Apak, R., Guclu, K., Demirata, B., Ozyurek, M., and Celik, S. E.,
2007, Comparative Evaluation of Various Total Antioxidant
Capacity Assays Applied to Phenolic Compounds with the
CUPRAC Assay, J.Molecules,12:1496-1547.
Aryudhani, N., 2007, Kandungan Senyawa Fenol Rumput Laut
Caulerpa racemosa dan Aktivitas Antioksidannya, Skripsi,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Asayama, K.K., Dobashi, Y., Kawada, T., Nakane, Kawaoi, A.,
and Nakazawa S., 1996, Immunohistochemical localiza-tion
andquantitative analysis of cellular glutathione
peroxidase in fetal andneonatalrat

137
tissues:fluorescencemicroscopy image analysis, Histochm
J, 28:63-71.
Auroma, O.I., 1997, Assessment of potential prooxidant and
antioxidant actions. American oil chemists
society,73:1717-1625.
Badarinath, A.V., Rao, K.M., Chetty, C.M.S., Ramkanth, S.,
Rajan, T.V.S., and Gnanaprakash, K., 2010, A Review on
In-vitro Antioxidant Methods: Comparisions, Correlations
and Considerations, International Journal of PharmTech
Research, 2 (2) : 1276-1285.
Bank, G., and Lenoble, R., 2002, Oxygen Radical Absorbency
Capacity, Standardizing the Way We Look at Antioxidants,
J. Nutraceutical World, 42-45.
Behera BC, Verna N, Sonone A., Makhija U., 2006,
Determination of Antioxidative Potential of Usnea
ghattensis L. In Vitro, LWT-Food Sci Tech., 36: 80-5
Blois, 2003, Comparison of Antioxidant Activities of Isoflavones
from Kudzu Root, JFS, 68(6):1.
Blois, MS., 1958, Antioxidant Determination by The Use of A
Stable Free Radical, Nature 181, 1199-1299, cit: Hanani,
E., Mun’im, A., Sekarini, R., 2005, Identifikasi Senyawa
Antioksidan Dalam Spons Callyspongia sp. Dari Kepulauan
Seribu, Majalah Ilmu Kefarmasian, vol. II, No.3, 127-133
Borgstahl GE, Parge HE, Hickey MJ, Johnson MJ, Boissinot M,
Hallewell RA, Lepock JR, Cabelli DE, and Tainer JA,
1996, Human mitochondrial manganese superoxide
dismutase polymorphic variant Ile58Thr reduces activity by

138
destabilizing the tetrameric interface, Biochemistry 35
(14): 4287–97.
Cemelli, E., Baumgartner, A., and Anderson, D, 2009,
Antioxidant and The Commet Assay, Mutation Research,
681:51-67.
Chang W. C., S.C. Kim., S.S. Hwang., B.K. Choi., H.J. Ahn.,
M.Y. Lee., S.H. Park., and S.K. Kim., 2002. Antioxidant
activity and free radical scavenging capacity between
Korean medicinal plants and flavonoids by assay-guided
comparison. Plant Science. 163: 1161-1168
Cochrane, G. C., 1991, Cellular injury by oxydant, Am.J.Med.
Day, B.J., 2009, Catalase and Glutathione Peroxidase Mimics,
Biochemical Pharmacology, 77:285-296.
Dobashi K, Asayama K,KatoK, Kobayashi M, and Kawaoi A.,
1989, Immuo-histochemical localization and quantitative
analysis of superoxide dismutase in rattissue, Acta
Histochem Cytochem, 22:351-365.
Endrini S, Marsiati H, Suherman J, Fauziah O, dan Asmah R.,
2009, Aktivitas antioksidan dan efek sitotoksik ekstrak kola
(Cola nitida) pada kulter sel kanker hati (HepG-2). Jurnal
Kedokteran Yarsi, 17(1):43.
Fridovich, I.,1975, Superoxide dismutases, Ann Rev Biochem,
44:147-159.
Fuhram, B. & Aviram, M., 2002, Polyphenols and Flavonoids
Protect LDL Against Atherogenic Modifications, dalam
Cadenas, E., Packer, L., (Eds.), Handbook of Antioxidants,
Marcel Dekker Inc., New York.

139
Garcez, M, Bordin D, Peres W, and Salvador M., 2004, Free
Radicals and Reactive Species. In: Ulbra, editor. Free
Radicals and The Cellular Response To The Oxidative
Stress, Canoas: Porto Alegre,13 – 34.
Garcez, ME, Peres W, and Salvador M., 2005, Oxidative stress
and hematologic and biochemical pa-rameters in individual
with Down syndrome, Mayo Clin Proc., 80(12): 1607-11.
Gurav, S., N. Deskhar., V. Gulkari., N. Durangkar., dan A. Patil.,
2007, Free Radical Scavengeng Activity of Polygala
chinensis Linn, Pharmacology online. 2:245-253.
Halliwell, B. and Guttridge, J.M.C., 1989, Free radicals
inbiology and medicine, Clarendon Press Oxford. London.
Helrich, K., 1990, AOCS Official Methods of Analysis 1st Ed.,
AOAC, Arlingyton.
Hong, Y.L., Yeh, S.l., Chang, C.Y., and Hu, M.L., 2000, Total
plasma malonaldehyde level in 16 Taiwanese College
Studens determined by various thiobarbituric acid test and
improved high performance liquid chromatography based
method, Clinical Biochemistry, 33: 619-625.
Keller, G.A.,Warner TG, Steimer KS, and Halliwell, RA., 1991,
Cu, Zn-superoxide dismutase is a peroxi-somal enzymein
humanfibroblasts and hepatomacells, ProNatl Acad Sci
USA, 88:7381-7385.
Koleva, I.I., van Beek, T.A., Linssen, J.P.H., de Groot, A.,and
Evstatieva, L.N., 2001, Screening of plant extracts for
antioxidant activity: a comparative study on three testing
methods, J. Phytochem. Anal., 13, 2001, 8-17.=

140
Kosem, N., Han, Y. H., dan Moongkarndi, P., 2007, Antioxidant
and Cytoprotective Activities of Methanolic Extract from
Garcinia mangostana Hulls., J. Science Asia, 33: 283-92.
Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J.C., and Hauth,
J,C., 2008, Robbins and Cotran Pathologic Basic of
Disease. Eight edition, J. Cellular Adaptations Cell Injury,
and Cell Death, 1:16-18.
Lah, MS., Dixon, M.M., Pattridge, K.A., Stallings, W.C.,
Fee, J.A., and Ludwig, M.L. 1995, Structure–function in
Escherichia coli iron superoxide dismutase: comparisons
with the manganese enzyme from Thermus
thermophilus, Biochemistry, 34:1646–1660.
Lah, MS., Dixon, M.M., Pattridge, K.A., Stallings, W.C., Fee,
J.A., Ludwig, M.L. ,1995 Structure–function in Escherichia
coli iron superoxide dismutase: comparisons with the
manganese enzyme from Thermus thermophilus, J.
Biochemistry 34:1646–1660.
Lee, J., Renita M, Fioritto RJ, ST.Martin SK, Schwartz SJ,
Vodovotz Y., 2004, Isoflavone characterization and
antioxidant activity of Ohio soybeans, J. Agric FoodChem,
52:2647-1651.
Liu YW, Shang HF, Wang CK, Hsu FL, HOu WC., 2007,
Immunomodulatory activity of dioscorin, the Sorage
Protein of yam (Dioscorea alata cv.Tainong no.1) tuber,
Journal of Food and Chem Toxico, 45:2312-2318.

141
Marklund, S.L., 1984, Extracellular superoxidedismutase and
other superoxidedismutase isoenzymesin tissues from nine
mammalian species, Biochem J., 222:649-655.
Mates JM, Gomez CP, and Castro, I.N., 1999,
Antioxidantenzymes and human diseases, Clin Biochem,
32(8):595-603.
McDonald, M.S., Hughes, M., Burns, J., Lean, M.E.J., Matthews,
D. & Crozier, A., 1998, Survey of The Free and
Conjugated Myricetin and Quercetin Content of Red
Wines of Different Geographical Origins, J. Agric. Food
Chem., 46, 368-375.
Miwa, S., Muller, F.L., and Beckman, K.B., 2008, The Basics of
Oxidative Biochemistry, Oxidative Stress in Aging From
Model Systems to Human Diseases. Humana Press,
Singapore
Molyneux, P., 2004, The Use Of The Stable Free Radical
Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) For Estimating
Antioxidant Activity,J. Sci. Technol., 26 (2) : 211-219.
Nakajima, N., Nozki N, Ishihara K., 2005, Analysis isoflavone
content in tempeh, a fermented soybean and preparation of
a new isoflavone-enriched tempeh, J. Bioscience
Bioengineering, 100:685-687.
Nielsen, S. S., 2003, Food Analysis 3rd edition. Kluwer
Academic/Plenum Publisher, New York.
Pavani, B.Ch., Kumar S.V., Ramarao J., Rau B.R., dan Mohanty
S., 2012, Role of Biochemical Marker for Evaluation of

142
Oxidative Stress in Cataract, Int Jharm Bio Sci, 2(2): 178-
184.
Poitout, V. and Robertson, R.P., 2008, Glucotoxicity: fuel excess
and beta cell dysfunction, Endocrine Reviews, 29(3): 351-
366.
Pokorny, J., Yanishlieva, N., and Gordon, M., 2001, Antioxidant
in Food, Practical Aplications, Wood Publishing Limited,
Cambridge, England.
Prakash., A.,(2001), Antioxidant Activity, Heart of Giant
Recource Vol 19, No.2
Prieto P, M Pineda and M Aguilar, 1999, Spectrophotometric
quantitation of antioxidant capacity through the formation
of a phosphomolybdenum complex : specific application to
the determination of vitamin E, J. Analytical Biochemistry,
269 (2), 337–341.
Prior RL, Wu X,and Schaich K., 2005, Standarized method for
the determination of antioxidant capacity and phenolics in
foods and dietary supplements, Journal of Agricultural and
Food Chemistry, 53:4290-4302.
Rahman, I. and Macnee, W., 2000, Regulation of redox
glutathione levels and gene transcription in lung
inflammation: therapeutic approaches, Free Radic Biol
Med., 1;28(9):1405-20.
Reynertson, K. A., 2007, Phytochemical Analysis of Bioactive
Constituens from Edible Myrtaceae Fruit, Dissertation, The
City University of New York, New York.

143
Sabattier S., Amiot M.J., Tacchini M., Aubert S., 1992,
Identification of Flavonoids in Sunflower Honey, J. Food
Sci., 57,773 – 777.
Shivaprasad, H.N., Mohan, S., and Karya, M.D., 2005, In vitro
Models for Antioxidant Activity Evaluation, A Review,
www.pharmainfo.net, diakses 13 Juli 2017.
Stalikas, C.D., 2007, Extraction, Separation, and Detection
Methods for Phenolic Acids and Flavonoids, J. Sep. Sci.,
30, 3268-3295.
Sun, H.N., Mu, T.H., Xi, L.S., Zhang, M., and Chen, J.W., 2014,
Sweet Potato (Ipomoea batatas L.) Leaves as Nutritional
and Functional Foods, J. FoodChem., 156, 380–389.
Sun, Y., Oberley, L.W., and Li, Y., 1988, A Simple Method
For Clinical Assay of Superoxide Dismutase, Clinical
Chemistry, Vol 34 (3): 497 – 500.
Toppo, S., Flohe, L., Ursini, F., Vanin, S., and Maiorino, M.,
2009, Catalytic Mechanism and Spesificities Of Glutathione
Peroxidases : Variation of A Basic Scheme, Biochimica et
Bioplysica Acta, 1790:1486-1500.
Ulbert, F., and Roubicek, D., 1993, Evaluation of a Static
Headspace Gas Chromatographic Method for
Determination of Lipid Peroxides, J. Food Chem., 46: 137
−141.
Utami, W., Da’i, M., Sofiana, Y.R., 2005, Uji Aktifitas
Penangkap Radikal dengan Metode DPPH serta Penetapan
Kandungan Fenol dan Flavonoid dalam Ekstrak Etanol,

144
Etil Asetat dan Kloroform Daun Dewandaru (Eugenia
uniflora L.), J. Pharmacon, 6(1), 5-9.
Winarsi, H., 2003, Respon imunitas dan hormonal wanita
premenopause terhadap minuman susu fungsional yang
disuplementasi dengan isoflavon kedelai dan difortifikasi
dengan seng, Desertasi, Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Winarsi, H., 2007, Antioksidan Alami dan Radikal Bebas, Potensi
dan Aplikasinya dalam Kesehatan, Kansus, Jakarta.
Windono, T., Soediman, S., Yudawati, U., Ermawati, E., Srielita,
A., dan Erowati, T. L., 2001, Uji Peredam Radikal Bebas
Terhadap 1,1- Diphenyl-2-Picrylhydrazil (DPPH) dari
Ekstrak Kulit Buah dan Biji Anggur ( Vitisvinifera L. )
Probolinggo Biru dan Bali, J.Artocarpus, Vol.1, No.1.
Wood, R., Ronnenberg A.G., Iron, In, Shils M.E., Shike M., Ross
A.C.,Caballero B., and Cousins R.J., 2006, Modern
Nutrition in Health and Disease, Lippincott William and
Wilkins, New York.
Wresdiyati T, Makita T., 1997, Immunocyto-chemical
localization of Cu, Zn-SOD (Cooper,zinc-
superoxidedismutase) in the renal tubules and glomerulus
of rat kidney, J. Mol Biol of Cell8:342.
Wresdiyati T, Mamba K, Adnyane IKM, dan Aisyah US., 2002,
The effect of stress condition on the intracellular anti-
oxidantcopper, zinc-superoxide dismutase in the rat kidney:
an immunohistochemical study, J.Hayati 9: 85-88.

145
Wresdiyati, T, Lelana RPA, Adnyane IKM dan Noor K., 2003,
Immunohistoche-mical study of superoxide dismutase
(SOD) in the liver of diabetic experiment Macaca
fascicularis , J. Hayati10:61-65.
Wresdiyati, T., Astawan, M.dan Hastanti, L.Y., 2006, Profil
imunohistokimia anti-oksidan superoksida dismutase
(SOD) pada jaringan hati tikus di bawah kondisi
hiperkolesterolemia, Hayati (in press), Bandung.
Wresdiyati, T., Makita T. ,1995, Remarkable increase of
peroxisomes in the renal tubule cells of Japanese monkeys
under fasting stress, J. Pathophysiology, 2:177-182.
Young, I.S. and Woodside, J.V. , 2001, Antioxidants in health
and disease, Journal of Clinical Pathology, 54:176-186.
Zainuri, M., dan Septelia, I.W., 2012, Aktivitas Spesifik
Manganese Superoxide Dismutase (Mnsod) Dan Katalase
Pada Hati Tikus Yang Diinduksi Hipoksia Sistemik:
Hubungannya Dengan Kerusakan Oksidatif, Jurnal Media
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan LIPI,
Vol.22;No.2.
Zakaria, F.R., Nurrahman, Prangdimurti, E., & Tejasari, 2003,
Antioxidant and immunoenhancement activities of ginger
(Zingeber offcinale Roscoe) extracts and compounds in
vitro and in vivo mouse and human system, J.
Nutraceuticals and Food, 8 (1);96-104.
Zakaria, R.F, Septiana, A.T., and Sulistiyani., 2001, Ginger
(Zingiber officinale Roescoe) extracts increase human LDL
resistance to oxidation and prevent cholesterol accumul

146
ation in macrophage, Abstract presented at the Second Intl
Symp on Natural Antioxidant: Molecular Mechanism and
Health Affects, Beijing, China.

147
BAB IV

Acker, S.A.B.E. Van, Groot, M.J. De, Berg, D.J. van den, Tromp,
M.N.J.L., Kelder, G.D.O den, Vijgh, W.J.F. van der, Bast,
A., 1996, A Quantum Chemical Explanation of the
Antioxidant Activity of Flavonoid, Chem. Res. Toxicol., 9,
1305-1312.
Bors, W., Heller, W., Michel, C., Saran, M., 1990, Flanonoid as
Antioxidants: Determination of Radical Scavenging
Efficiencies, Methd. Enzym., 186, 343-355.
Cao, G., Sofic, E., Prior, R.L., 1997, Antioxidant and Prooxidant
Behavior of Flavonoids: Structure-Activity Relationships,
Free Rad. Biol. Med., 22, 749-760.
Dai J., Mumper, R.J., 2010, Plant Phenolics: Extraction, Analysis
and Their Antioxidant and Anticancer Properties., Mol., 15,
7313-7352.
Dugas Jr., A.J., Castaneda-Acosta, J., Bonin, G.C., Price, K.L.,
Fischer, N.H., Winston, G.W., 2000, Evaluation of The
Total Peroxyl Radical-Scavenging Capacity of Flavonoids:
Structure-Activity Relationship, J. Nat. Products., 63, 327-
331.
Haleagrahara, N., Jackie, T., Chakravarthi, S., Rao, M., and
Kulur, A., 2010, Protective Effect of Etlingera elatior
(Torch ginger) Extract on Lead Acetate induced
Hepatotoxicity in Rats, Food Chem. Toxicology, 35 (5):
663−671.
Harbone, J.B., 1987, Metode Fitokimia: Penemuan Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata dan Iwan Soediro, Cetakan IV, 6-14, 76-77,
Penerbit ITB, Bandung.
Howard, J.J., Taylor, P.J.A., Ingold, K.U., 1964, Inhibited
Autoxidation of Styrene. IV. Solvent Effects, Can. J.
Chem., 42, 1044-1056.
Irianti, T., Puspitasari, A., dan Suryani, E., 2011, Aktivitas
Penangkapan Radikal 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil oleh
Ekstrak Etanolik Batang Brotowali (Tinospora crispa (L.)
miers) dan Fraksi- fraksinya, Majalah Obat Tradisional, 16,
3: 138–144.
Irianti, T., 2008, Perbandingan Inhibisi Ekstrak Air Buah
Mahkota Dewa (Phaleria macrocrpa) Dan Vitamin C

148
Terhadap Fotodegradasi Tirosin, Jurnal Berkala Ilmiah
Biologi, Volume 7-Nomor 2 : 75-81.
Irianti T., Puspasari A., dan Choironi NA., 2013, Aktivitas
Penangkapan Radikal 2,2-Difenil- pikrilhidrazil (DPPH)
Oleh Ekstrak etanolik daun Mengkudu (Morinda citrifolia
L.), Fraksi air dan fraksi air terhidrolisis, Jurnal Bahan
Alam Indonesia, Vol. 8 (5): 302-309.
Jackie, T., Haleagrahara, N., and Chakravarthi, S., 2011,
Antioxidant Effects of Etlingera elatior Flower Extract
Against Lead Acetate Induced Perturbations in Free
Radical Scavenging Enzymes and Lipid Peroxidation in
Rats, BMC Research Notes, 4:67.
Javanmardi et al. (2002), Antioxidant Activity and Total Phenolic
Content of Iranian ocimum accessions, Food Chemistry, 83,
547 – 550.
Jork, H., Funk, W., Fischer, W., Wimmer, H.,1990, Thin-Layer
Chromatography: Reagents and Detection Methods,
Volume 1a, VCH Publishing, Germany.
Kahkonen MP, Hopia AL, Vourela HJ, Rauha JP, Pihlajak,
Kujala TS. Heinonen M. 1999. Antioxidant Activity of
Extract Containing Phenolic Compounds. J Agric Food
Chem. (47): 3954-62
Kanistri, D.N. 2012. Penangkapan Radikal 2,2-Difenil-1-
Pikrilhidrazil (DPPH) oleh Ekstrak Etanolik Buah Talok
(Muntingia calabura L.) dan Fraksinya. Skripsi, Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kolar, F. R., Kamble, V. S., Dixit, G. B., 2011, Phytochemical
Constituents and Antioxidant Potential of Some Underused
Fruits, African J.Pharm.Pharmacol., 5(18), 2067-2072.
Lachumy, S.J.T., Sasidharan, S., Sumathy, V., and Zuraini, Z.,
2010, Pharmacological Activity, Phytochemical Analysis
and Toxicity of Methanol Extract of Etlingera elatior
(Torch ginger) Flowers, Asian Pacific Journal of Tropical
Medicine, 3(10): 769−774.
Litvinenko, V.L., Makarov, V.A., 1969, The Alkaline Hydrolysis
of Flavonoid Glycosides, Khim. Prorodn. Soedin., 5(5),
366-369.
Lusiana, 2006, Formulasi Tablet Effervesen Ekstrak Buah
Mahkota Dewa, Tesis, ITB, Bandung.

149
Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid,
diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB,
Bandung.
Nollet, L.M.L., Toldra, F., 2012, Handbook of Analysis of Active
Compounds in Functional Foods, CRC Press Taylor &
Francis Group, FL.
Pannala, A.S., Chan, T.S., O’Brien, P.J., Rice-Evans, C.A., 2001,
Flavonoid B-Ring Chemistry and Antioxidant Activity:
Fast Reaction Kinetics, Biochem. Biophys. Res. Commun,
282, 1161-1168.
Plazonic, A., Bucar, F., Males, Z., Mornar, A., Nigovic, B., &
Kujundzic, N. 2009, Identification and Quantification of
Flavonoids and Phenolic Acids in Burr Parsley (Caucalis
platycarpos L.), Using High-Performance Liquid
Chromatography with Diode Array Detection and
Electrospray Ionization Mass Spectrometry, Mol., 14(7),
2466–2490.
Podsedek, A., 2007, Natural Antioxidants and Antioxidant
Activity of Brassica Vegetables : A Review, LWT-Food
Sci. Technol., 40, 1-11.
Preethi, K., Premasudha, P., Keerthana, K., 2012, Anti-
Inflammatory Activity of Muntingia calabura Fruits,
Phcog. J., 4(30), 51-56.
Preethi, K., Vijayalakshmi, N., Shamna, R., Sasikumar, J.M.,
2010, In Vitro Antioxidant Activity of Extracts from Fruits
of Muntingia calabura Linn. From India, Phcog. J., 2 (14),
11-18.
Sani, I. M., Iqbal, S., Chan, K. W., Ismail, M., 2012, Effect of
Acid and Base Catalyzed Hydrolysis on the Yield of
Phenolics and Antioxidant Activity of Extracts from
Germinated Brown Rice (GBR), Mol., 17, 7584-7594.

150
BIODATA PENULIS

Dr.rer.nat. Tanti Tatang Irianti, M.Sc., Apt. lahir di


Boyolali pada tanggal 7 April 1964. Saat ini penulis menjabat
sebagai dosen dalam bidang Kimia Lingkungan, Kimia Analisis,
Validasi HPTLC dan HPLC. Pendidikan S1 diambil di Farmasi
UGM. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan S2 di Asian
Institute of Technology, Thailand dan pendidikan S3 di Institute
of Pharmacy, University of Wuerzburg, Jerman. Penulis telah
memperoleh penghargaan dari UGM pada tahun 2015 atas
dedikasi sebagai dosen Farmasi UGM selama 25 tahun.
Selain aktif mengajar, penulis aktif mengikuti kegiatan
internasional Environtmental and Occupational Health Society
dan berbagai konferensi internasional. Penulis juga aktif
melakukan berbagai penelitian. Pada tahun 2005 hingga 2014,
penulis terlibat dalam penelitian tentang aktifitas anti oksidan dan
anti infeksi (termasuk anti-tuberkulosis) dari beberapa ekstrak
tanaman. Penulis telah melaksanakan kegiatan post doctoral di
University of Wuerzburg dengan tema penelitian yaitu isolasi dan
elusi dari struktur ekstrak etanol untuk anti oksidan serta isolasi
dan elusidasi struktur ekstrak etil asetat sebagai anti-tuberkulosis.
Beberapa publikasi ilmiah terbaru dari penulis adalah Aktivitas
Penangkapan Radikal 2-2’Difenil-1-Pikril Hidrazil (DPPH)

151
Ekstrak Etanolik Batang Brotowali (Tinospora crispa), Fraksi Air
dan Terhidrolisis Asam (2016), Pengaruh Hidrolisis Asam-Basa
Terhadap Aktivitas Penangkapan Radikal 2-2’ Difenil-1-Pikril
Hidrazil (DPPH) Ekstrak Etanolik Buah Talok (Muntingia
calabura L.) (2016) dan Penangkapan Radikal 2-2’ Difenil-1-
Pikril Hidrazil (DPPH) Ekstrak Etanolik Daun Mengkudu
(Morinda citrifolia L.), dan Batang Brotowali (Tinospora crispa,
L), Fraksi Air serta Fraksi Air Terhidrolisis (2015).
Buku-bukunya yang telah diterbitkan antara lain: 1) Anti
Tuberkulosis (Grafika Indah, 2016); 2) Logam Berat dan
Kesehatan (Grafika Indah, 2017) serta 3) Toksikologi
Lingkungan (Grafika Indah, 2017).

152
BIODATA PENULIS

Dr. Ir. Sindu Nuranto, M. Eng. lahir di Kebumen pada


tanggal 13 Juli 1962. Saat ini penulis menjabat sebagai dosen
dalam bidang Teknik Sipil di Sekolah Vokasi Universitas Gadjah
Mada. Pendidikan S1 beliau dari Teknik Sipil bidang Hidor.
Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan S2 di Pasca Sarjana
UGM Fakultas Teknik yakni Teknik Sipil Hidor dan pendidikan
S3 di Ilmu Lingkungan Fakultas Geografi UGM.
Selain aktif mengajar di program Diploma Teknik Sipil
UGM, beliau pada tahun 2017 diangkat menjadi Kaprodi D3
Teknik Sipil. Beliau pernah mengikuti Seminar Nasional
”Sinergisitas Pedidikan Vokasi dan Industri” yang
diselenggarakan oleh UGM dan aktif dalam kegiatan ilmiah di
bidang sipil dan lingkungan. Beliau juga aktif dalam penelitian
mengenai lingkungan di antaranya berjudul “Model Pertukaran
Ion Untuk Perbaikan Mutu Air dengan Menggunakan Pasir dari
Daerah Muara Sungai Opak, Kabupaten Bantul, DIY” pada tahun
2011 dan “Desain Sistem Pengelolaan Limbah Cair Wisma MM
UGM” pada tahun 2008 sebagai kepala projek yang dijalankan
oleh UGM.

153
Pengalaman pengabdian kepada masyarakat beliau tidak
kalah banyak dengan pengalaman penelitiannya di antaranya
pada tahun 2011 beliau mengikuti program “Perbaikan Sarana
Penyediaan Air Bersih di Dusun Ngepring, Purwobinangun,
Pakem, Sleman, DIY. Kemudian pada tahun 2012 mengadakan
program Pengadaan Mesin Pencacah Sampah dan Pembuatan
Sarana Penyediaan Air Bersih di Dusun Kemput, Candi
Binangun, Pakem, Sleman, DIY. Selain itu, beliau juga sudah
menerbitkan sebuah buku bersama istrinya, Dr. rer.nat. Tanti T.
Irianti, M.Sc., Apt. berjudul “Toksikologi Lingkungan” pada
tahun 2017 lalu.

154
BIODATA PENULIS

Prof. Drs. Sugiyanto, PhD., Apt. saat ini penulis menjabat


sebagai dosen di bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik di
Fakultas Farmasi UGM. Pendidikan S1 beliau dari Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada. Selanjutnya penulis
melanjutkan pendidikan S2 di Biokimia Medis Fakultas
Kedokteran Univeristas Gadjah Mada dan Doktor di University
of Sydney, Australia.
Selain aktif menjadi dosen di Fakultas Farmasi UGM
sejak 1979 hingga sekarang, beliau juga pernah menjabat sebagai
dekan di Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan pada tahun
1996-1999 dan menjadi rektor di Fakultas Farmasi Universitas
Ahmad Dahlan pada tahun 1999-2007.
Penulis juga tidak kalah aktif dalam keikutsertaan
berorganisasi dan asosiasi. Beliau pernah bergabung dalam
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah
V DIY pada tahun 2003, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia pada
tahun 1979, Ikatan Ahli Farmakologi Indonesia (IKAFI) pada

155
tahun 1980, Himpunan Kimia Indonesia (HKI) pada tahun 1980,
Perhimpunan Biokimia Indonesia (PERHIBI sekarang PBBMI)
pada tahun 1979- 1981, dan Perhimpunan Biokimia dan Biologi
Molekuler Indonesia (PBBMI) pada tahun 1994.
Prestasi penulis juga terlihat pada pencapaian Hak Paten
beliau yaitu : US 6,777,4, Derivatives of benzylidene
cyclohexanone, benzylidene cyclopentanone, and benzylidene
acetone and therapeutic uses therof, United States Patent
(Anggota ke 6 dari 14 orang).

156
BIODATA PENULIS

Prof. Dr. H. M. Kuswandi, Apt., SU., M.Phil, lahir di


Purwokerto pada tanggal 8 Februari 1951. Saat ini penulis
menjabat sebagai guru besar dalam bidang Kimia Medisinal di
Fakultas Farmasi UGM. Pendidikan S1 dan S2 diambil di
Farmasi UGM dalam bidang kimia Medisinal. Kemudian penulis
mengambil studi S2 kembali di Leicester University, Inggris dan
mendalami bidang genetika. Setelah itu, studi S3 dilanjutkan di
Aston University, Inggris dengan mendalami bidang biologi
molekuler.
Penulis memiliki pengalaman mengajar pada beberapa
program studi dan beberapa tempat. Di Fakultas Farmasi UGM,
penulis mengajar bidang kimia medisinal, radiofarmasi, rekayasa
genetika, dan biologi molekuler. Selain itu, penulis juga menjadi
pengajar di UAD, USB, UMP, UMS, UMY, UNSOED, dan
STIKES Siti Khodijah Palembang. Penulis juga pernah menjabat
sebagai Dekan Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Direktur LPOM-MUI Surakarta, Kaprodi Farmasi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan sampai saat ini
menjabat sebagai Anggota Senat Fakultas Farmasi UGM.
Di samping mengajar, penulis juga aktif melakukan
penelitian diantaranya, Analisis sekuen seluruh DNA dari gen

157
salah satu mutan K. Pneumoniae yang resisten terhadap BRL
41897A (mutan KSL 19), Uji aktivitas antiviral ekstrak
kloroform rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val) dan
ekstrak etanol daun cangkring (Erythrina fusca Laur) terhadap
infeksi TMV dan profil KLT-nya, Kloning gen dari mutan-mutan
K. Pneumoniae yang resisten terhadap BRL 41897A (mutan
KSL), Identifikasi protein dinding luar (IROMP) dari mutan K.
Pneumoniae yang resisten terhadap antibiotik BRL 41897A
dengan metode SDS-PAGE, dan sintesis antikanker, antibiotik,
dan analgetika dengan mereaksikan beberapa senyawa alam
menjadi satu senyawa baru.

158

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai