Anda di halaman 1dari 59

TEORI KESEHATAN MASYARAKAT

1. Teori Blum

Teori BLUM tentang


kesehatan masyarakat
Diposkan pada 11 Desember 2014 oleh sriyaniwindarti

Menurut Hendrik L.Blum ada 4 faktor yang mempengaruhi status derajat kesehatan
masyarakat atau perorangan. Faktor-faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh yang dan peranan terbesar diikuti perilaku, fasilitas kesehatan
dan keturunan. Lingkungan sangat bervariasi, umumnya digolongkan menjadi tiga kategori,
yaitu yang berhubungan dengan aspek fisik dan sosial. Lingkungan yang berhubungan dengan
aspek fisik contohnya sampah, air, udara, tanah, ilkim, perumahan, dan sebagainya. Sedangkan
lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan,
ekonomi, dan sebagainya

2. Perilaku
Perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat karena
sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat sangat
tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan,
adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, pendidikan sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku lain
yang melekat pada dirinya.

3. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan dalam pelayanan
pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan keperawatan serta
kelompok dan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas
dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga
kesehatan pemberi pelayanan, informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi fasilitas
dalam memperoleh pelayanan serta program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai
dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukan.

4. Keturunan
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia yang dibawa sejak
lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti diabetes melitus dan asma bronehial.

Hendrik L.Blum juga menyebutkan 12 indikator yang berhubungan dengan derajat


kesehatan, yaitu:
1. Life spam: yaitu lamanya usia harapan untuk hidup dari masyarakat, atau dapat juga
dipandang sebagai derajat kematian masyarakat yang bukan karena mati tua.
2. Disease or infirmity: yaitu keadaan sakit atau cacat secara fisiologis dan anatomis dari
masyarakat.
3. Discomfort or ilness: yaitu keluhan sakit dari masyarakat tentang keadaan somatik,
kejiwaan maupun sosial dari dirinya.
4. Disability or incapacity: yaitu ketidakmampuan seseorang dalam masyarakat untuk
melakukan pekerjaan dan menjalankan peranan sosialnya karena sakit.
5. Participation in health care: yaitu kemampuan dan kemauan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam menjaga dirinya untuk selalu dalam keadaan sehat.
6. Health behaviour: yaitu perilaku manusia yang nyata dari anggota masyarakat secara
langsung berkaitan dengan masalah kesehatan.
7. Ecologic behaviour: yaitu perilaku masyarakat terhadap lingkungan, spesies lain, sumber
daya alam, dan ekosistem.
8. Social behaviour: yaitu perilaku anggota masyarakat terhadap sesamanya, keluarga,
komunitas dan bangsanya.
9. Interpersonal relationship: yaitu kualitas komunikasi anggota masyarakat terhadap
sesamanya.
10. Reserve or positive health: yaitu daya tahan anggota masyarakat terhadap penyakit atau
kapasitas anggota masyarakat dalam menghadapi tekanan-tekanan somatik, kejiwaan, dan
sosial.
11. External satisfaction: yaitu rasa kepuasan anggota masyarakat terhadap lingkungan
sosialnya meliputi rumah, sekolah, pekerjaan, rekreasi, transportasi.
12. Internal satisfaction: yaitu kepuasan anggota masyarakat terhadap seluruh aspek kehidupan
dirinya sendiri.
2. Malcolm Baldrige
Kriteria Keunggulan Kinerja Malcolm Baldridge (K3MB), atau Malcolm Baldridge Criteria for
Performance Excellence (MBCfPE), adalah seperangkat ukuran penilaian kinerja suatu organisasi yang pada
awalnya digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk memberikan Malcolm Baldridge National
Quality Award kepada berbagai organisasi di negara tersebut. Anugerah tersebut diberikan oleh Nasional
Institute of Standards and Technology (NIST) Departemen Perdagangan AS melalui Baldridge Performance
Excellence Program sejak tahun 1987. Nama “Baldrige” diberikan sebagai penghargaan terhadap Malcolm
Baldridge yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan AS periode 1981–1987 atas dukungannya terhadap
peningkatan manajemen kualitas di AS.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia mulai menggunakan MBCfPE pada sekitar akhir 1990-an, dengan
antara lain dimotori oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) melalui program Telkom-
2001 mereka. Pada tahun 2004, Telkom membagikan pengalaman mereka dengan MBCfPE kepada
sejumlah BUMN lain di Indonesia. Pertemuan ini melahirkan Forum Mutu BUMN (selanjutnya berubah
menjadi Forum Ekselen BUMN, FEB) sebagai media berbagi pengalaman implementasi MBCfPE di
lingkungan BUMN. FEB dan BUMN Executive Club (BEC) membentuk Indonesian Quality Award
Foundation (IQAF) yang bertujuan untuk “membangun kinerja ekselen dan daya saing global para pelaku
ekonomi dan yang mengatur pranata ekonomi, dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang berkelanjutan”. Sejak tahun 2005, IQAF menyelenggarakan Indonesian Quality Award(IQA) yang
memberikan penghargaan terhadap kinerja organisasi profit dan nonprofit berdasarkan MBCfPE. Kegiatan
ini didukung oleh beberapa kementerian seperti BUMN, Perindustrian, Perdagangan, Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan Ristek, serta berbagai institusi lainnya seperti KADIN Indonesia dan perguruan tinggi
(UI, IPB, ITB, UGM, dll.).
Kriteria Keunggulan Kinerja Malcolm Baldridge pada dasarnya adalah sejumlah pertanyaan tentang
berbagai aspek fundamental pengelolaan organisasi dalam konteks pencapaian kinerja unggul. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh kategori yang kaitannya dapat dilihat pada gambar
terlampir. Ketujuh kategori tersebut adalah:

1. Kepemimpinan (leadership)
2. Perencanaan strategis (strategic planning)
3. Fokus pada pelanggan (customer focused)
4. Pengukuran, analisis, dan manajemen pengetahuan (measurement, analysis, and knowledge
management)
5. Fokus pada tenaga kerja (workforce focused)
6. Fokus pada operasi (operation focused)
7. Hasil (result)
Sistem manajemen kualitas Malcolm Baldridge
Bagaimanapun, keunggulan bukanlah kepandaian. Keunggulan adalah semangat yang
menguasai kehidupan dan jiwa kita. Keunggulan adalah proses yang tak pernah berakhir
yang memberikan kepuasan tersendiri. Keunggulan adalah hasil dari kemampuan belajar
kita, kemampuan menanggapi keadaan sekeliling dalam cara-cara yang produktif.
Malcolm Baldrige National Quality Awards
Sistem manajemen kualitas MBPE (Malcolm Baldridge Performance Excellence)
diperkenalkan dan diterapkan sebagai guideline bagi perusahaan untuk menjadi perusahaan
yang unggul atau excellencedalam era persaingan global ini.

Sistem ini pertama sekali diciptakan oleh US Congresspada tahun 1987 dibawah Public Law
100-107, sebagai penghormatan kepada Malcolm Baldridge, Commerce Department
Secretary, yang meninggal dunia pada tahun 1987.

Penghargaan MBNQA (Malcolm Baldridge National Quality Award) diberikan setiap tahun
kepada berbagai organisasi dan perusahaan yang diserahkan langsung oleh Presiden Amerika
Serikat.

Saat ini MBNQA berada dibawah tanggungjawab the National Institute of Standards and
Technology (NIST), Departemen Perdagangan AS. Paper tentang MBNQA dapat didownload
gratis dari http://www.quality.nist.gov

Ada 7 kriteria yang dinilai dan dijadikan acuan dalam mengelola kinerja perusahaan, yaitu:
(1) kepemimpinan,
(2) perencanaan strategis,
(3) fokus pasar dan pelanggan,
(4) informasi dan analisis,
(5) fokus sumber daya manusia,
(6) manajemen proses, dan
(7) hasil-hasil bisnis.

Ke-tujuh kriteria MBPE tersebut sesungguhnya dibangun berlandaskan pada 11 nilai inti dan
konsep. Maka, dalam kesempatan tulisan pendek ini, kita akan review sekilas nilai-nilai inti
(core values) tsb.

Pertama, VisionaryLeadership
Nilai ini terkait dengan bagaimana para pemimpin senior membimbing perusahaan dalam
menetapkan dan menyebarluaskan nilai-nilai korporat, menentukan arah perusahaan,
ekspektasi kinerja, berfokus pada pelanggan dan stakeholder yang lain, menciptakan iklim
inovasi, pemberdayaan dan pembelajaran. Juga bagaimana perusahaan menerapkan Good
Corporate Governance (GCG) dan social responsibility, dengan indikator misalnya
akuntabilitas fiskal (internal dan eksternal), ethical behavior, tingkat kepercayaan stakeholder
pada pengelolaan perusahaan, dan dukungan terhadap komunitas kunci.

Kedua, Customer-DriveExcellence.
Nilai dan kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh banyak faktor mulai dari pengalaman
pembelian, kepemilikan, dan pelayanan yang diterima. Kualitas dan kinerja perusahaan
karenanya akan dinilai oleh pelanggan. Oleh karena itu kita harus bertanggungjawab
agar features serta karakteristik produk dan pelayanan dapat memberikan kontribusi nilai
kepada pelanggan (customer value).

Karena itu bagaimana fokus kita pada pasar dan pelanggan serta pengetahuan tentang pasar
dan pelanggan perlu terus ditingkatkan. Ini akan menunjukkan bagaimana kita memahami
suara pasar dan pelanggan, bagaimana kita membangun hubungan untuk memperoleh,
memuaskan dan mempertahankan pelanggan , menangani keluhan, serta mengembangkan
kesempatan-kesempatan baru. Hal ini semua perlu secara terus menerus kita tingkatkan.

Ketiga, Organizational and Personal Learning.


Pembelajaran organisasi mencakup peningkatan terus-menerus dari pendekatan-pendekatan
yang ada dan adaptasi terhadap perubahan, memimpin ke arah sasaran baru dan atau
pendekatan-pendekatan baru.

Pembelajaran adalah satu-satunya jalan bagi kita untuk terus meningkatkan kompetensi. Ini
akan sangat berguna untuk meningkatkan nilai kepada pelanggan, menurunkan kesalahan,
cacat, dan pemborosan serta dapat mencuatkan kesempatan-kesempatan bisnis baru.

Program pembelajaran ini perlu dilekatkan kuat terhadap cara perusahaan beroperasi. Ini
artinya:

(1) pembelajaran harus jadi bagian pekerjaan sehari-hari,


(2) harus dipraktekkan oleh semua orang dan seluruh unit kerja,
(3) pembelajaran dilakukan langsung pada sumber atau akar penyebab masalah,
(4) pembelajaran berfokus pada penyebarluasan atau sharing pengetahuan di seluruh
organisasi, dan
(5) pembelajaran didorong untuk dapat mempengaruhi perubahan secara signifikan agar
bekerja menjadi lebih baik.

Sumber-sumber pembelajaran dapat berupa ide-ide kreatif dari karyawan, riset dan
pengembangan, masukan-masukan pelanggan dan penyebarluasan praktek-praktek kerja
terbaik, dan benchmarking.
Empat, Valuing Employees and Partners.
Keberhasilan perusahaan juga akan sangat bergantung pada peningkatan pengetahuan,
ketrampilan, kreativitas, dan motivasi dari karyawan dan para mitra kerja.

Lima, Agility
Kesuksesan dalam meraih kemenangan dalam pasar yang hiperkompetitif ini memang
memerlukan ketangkasan, yaitu sebuah kapasitas untuk mampu berubah cepat dan fleksibilitas.
Hal ini jelas membutuhkan struktur organisasi yang lebih sederhana dan debirokratisasi dalam
proses pengambilan keputusan, disamping juga akan amat membutuhkan karyawan yang
kompeten yang memiliki ketrampilan multifungsi yang diperoleh melalui pelatihan lintas-
fungsi dan terberdayakan.

Beberapa nilai yang harus terus kita perbaiki, antara lain kurangnya penghargaan kita terhadap
nilai dan terhadap waktu. Ini bisa berakibat pada cara kerja kita yang kurang profesional,
seperti: lambat, reaktif, tidak peduli pada efisiensi, masa bodoh, tidak mau tahu, dan semua
terserah nasib.

Enam, Focus on the Future.

Ini berarti membutuhkan pemahaman tentang faktor-faktor jangka pendek dan jangka panjang
yang mempengaruhi bisnis dan pasar. Visi perusahaan jelas membutuhkan orientasi yang
sangat kuat pada masa depan dan keinginan memberikan komitmen jangka panjang kepada
pihak-pihak kunci yang berkepentingan (stakeholder).

Tujuh, Managing for Innovation.


Perusahaan mesti dikelola dan diarahkan sedemikian rupa sehingga inovasi menjadi bagian
dari kultur kerja dan terintegrasi ke dalam pekerjaan sehari-hari.

Inovasi dapat diartikan disini sebagai perubahan-perubahan bermakna untuk meningkatkan


produk, pelayanan, dan proses-proses dari organisasi serta menciptakan nilai-nilai baru untuk
stakeholder. Inovasi-inovasi ini akan memimpin organisasi menuju dimensi baru performance
kita, dan berkaitan dengan seluruh aspek penting dari organisasi secara keseluruhan.

Delapan, Management by Fact.


Sukses tidaknya perusahaan perlu diukur dan dianalisa hasilnya, yang akan memberikan data
dan informasi penting tentang proses-proses kunci, output, dan hasil-hasil bisnis. Pengukuran
kinerja ini akan mencakup pelanggan, produk, dan kinerja pelayanan; pembanding-
pembanding operasional, pasar, dan kinerja kompetitif; serta pemasok, karyawan, biaya dan
finansial.
Sembilan, Public Responsibility and Citizenship.

Para pemimpin organisasi harus menekankan tanggungjawab mereka kepada publik dan perlu
mempraktekkan perilaku sebagai warga negara yang baik. Perencanaan efektif harus mampu
mencegah penyebab terjadinya masalah, memberikan tanggapan yang cepat jika terjadi
masalah, dan membuat informasi menjadi selalu tersedia dan mendukung serta
mempertahankan kesadaran, keselamatan dan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan.

Sepuluh, Focus on Result and Creating Value.


Pengukuran kinerja perusahaan perlu memfokuskan pada hasil-hasil kunci untuk menciptakan
dan menyeimbangkan nilai bagi para stakeholder – pelanggan, karyawan, pemasok dan mitra,
pemegang saham, dan masyarakat.

Sebelas, Systems Perspective.

Kriteria MBPE memberikan suatu perspektif sistem untuk pengelolaan perusahaan menuju
keunggulan kinerja (performance excellence). Perspektif sistem berarti mengelola perusahaan
secara keseluruhan, juga komponen-komponennya, menuju keunggulan dan kesuksesan.

Berdasarkan peninjauan secara seksama terhadap 20 perusahaan yang memiliki skor tertinggi
untuk kriteria MBPE ini, diperoleh kesimpulan bahwa ada 6 faktor kunci yang sangat besar
kontribusinya pada peningkatan performa atau keunggulan kinerja perusahaan, yaitu antara
lain:
(1) fokus pelanggan,
(2) kepemimpinan manajemen senior,
(3) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan,
(4) kultur perusahaan yang terbuka,
(5) pembuatan keputusan berdasarkan fakta, dan
(6) kemitraan dengan pemasok.
3. DONABEDIA

Teori Donabedian
Penilaian kualitas pelayanan kesehatan dilakukan melalui 3 pendekatan yaitu melalui
pendekatan struktur atau input ( struktur ), proses dan hasil ( output ), (Donabedian, 1968).
Untuk menjamin kualitas pelayanan maka diperlukan adanya kebijakan. Kebijakan tersebut
diantaranya peningkatan kemampuan dan mutu pelayanan kesehatan, penetapan dan penerapan
standar, peningkatan mutu sumber daya manusia, penyelenggaraan quality assurance,
percepatan pelaksanaan akreditasi, peningkatan kerjasama serta koordinasi dan peningkatan
peran serta masyarakat.
Struktur meliputi sarana fisik perlengkapan dan peralatan, organisasi dan manajemen,
keuangan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya di fasilitas kesehatan. Hal ini berarti
yang dimaksud dengan struktur adalah masukan (input). Jika struktur atau input disuatu
organisasi pelayanan kesehatan baik kemungkinan besar kualitas pelayanan akan baik pula.
Struktur digunakan sebagai pengukuran tidak langsung dari kualitas pelayanan. Hubungan
antara struktur dan kualitas pelayanan adalah hal yang penting dalam merencanakan,
mendesain, dan melaksanakan sistem yang dikehendaki untuk memberikan pelayanan
kesehatan. Pengaturan karakteristik struktur yang digunakan mempunyai kecenderungan untuk
mempengaruhi proses pelayanan sehingga akan membuat kualitasnya berkurang atau
meningkat.
Proses adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dan interaksinya dengan
pasien. Penilaian terhadap proses adalah evaluasi terhadap dokter dan profesi kesehatan dalam
me- “manage” pasien. Kriteria umum yang digunakan adalah derajat pengelolaan pasien,
konform dengan standar dan harapan setiap profesi. Asumsinya adalah bahwa semakin patuh
semua tenaga kesehatan profesional kepada standar yang diakui oleh masing-masing profesi,
akan semakin tinggi pula mutu pelayanan terhadap pasien. Baik tidaknya proses dapat diukur
dari relevan tidaknya proses bagi pasien, fleksibilitas dan efektifitas, mutu proses itu sendiri
dan kewajaran proses.
Hasil (Luaran ) yaitu hasil langsung dari proses, aktifitas, kegiatan atau pelayanan dari
sebuah program. Hasil merupakan hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan
profesional terhadap pasien, dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan.
Hasil secara tidak langsung dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menilai pelayanan
kesehatan.

Teori Parasuraman
Dalam Teori Parasuraman, Zeithaml dan Berry (Buchari Alma : 2002) telah menjelaskan
terdapat lima gap yang dapat menimbulkan kegagalan penjualan jasa, yaitu : Kesenjangan
harapan konsumen dan persepsi manajemen, Kesenjangan persepsi manajemen dan kualitas
jasa, Kesenjangan kualitas jasa dan penyampaian jasa, Kesenjangan peyampaian jasa dan
komunikasi eksternal, Kesenjangan jasa yang dialami/dipersepsi dan jasa yang diharapkan.
Menurut Parasuraman, Zeithalm dan Berry dalam Tjiptono (2007:262-270) menyatakan
ada lima kesenjangan (Gap) dalam proses pelayanan, yaitu :
a) Gap antara harapan konsumen dan pendapat manajemen Gap ini muncul sebagai akibat
dari ketidaktahuan manajemen tentang kualitas jasa macam apa yang sebenarnya
diharapkan konsumen pengguna jasa dan bagaimana penilaian konsumen terhadap
pelayanan yang diberikan. Akibatnya desain dan standar jasa yang disampaikan menjadi
tidak baik. Sehingga perusahaan tidak dapat memperlihatkan kinerja pelayanan yang
dijjanjikan. Kesenjangan ini pada umumnya 33 disebabkan kurangnya orientasi penelitian
pemasaran, pemanfaatan yang tidak memadai atas temuan-temuan penelitian, kurangnya
interaksi antara pihak manajemen dan pelanggan, komunikasi atas-bawah yang kurang
memadai, serta terlalu banyaknya lapis manajemen. Contohnya, pimpinan rumah sakit
mengira pasien menghendaki makanan yang lezat, padahal sebetulnya pasien lebih
menganggap penting perawat yang tanggap dan cekatan.
b) Gap antara pendapat manajemen tentang harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa
Gap ini muncul karena para manajer menetapkan spesifikasi kualitas jasa yang tidak tidak
jelas dan realistis. Akibatnya pegawai yang memberikan pelayanan kepada konsumen
secara langsung tidak tahu pelayanan seperti apa yang harus diberikan. Kesenjangan ini
dapat terjadi, antara lain, karena tidak memadainya komitmen manajemen terhadap
kualitas jasa, tidak memadainya standardisasi, dan tidak adanya tujuan yang jelas.
Contohnya, pimpinan rumah sakit memberikan instruksi kepada perawat agar memberikan
pelayanan dengan cepat tetapi tidak menentukan standar waktu yang spesifik dan konkrit
mengenai cepatnya pelayanan yang diharapkan (1 jam atau 2 jam, dan seterusnya).
c) Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa Gap ini biasanya muncul pada
jasa yang sistim penyampaiannya sangat tergantung pada karyawan. Pendapat yang akurat
tentang harapan konsumen memang penting, tetapi belum cukup untuk menjamin bahwa
spesifikasi kualitas jasa akan terpenuhi apabila jasa memerlukan kinerja pelayanan dan
penyajian yang sesegera mungkin bila para konsumen 34 pengguna jasa hadir ditempat
jasa diproses. Kesenjangan ini terjadi, diantaranya, karena karyawan kurang terlatih, beban
kerja yang melampaui batasan (overload), ambiguitas peran, atau konflik peran. Gap ini
mengindikasikan perlunya ditetapkan disain dan standar jasa yang berorientasi kepada
konsumen pengguna jasa.
d) Gap antara penyampaian jas aktual dan komunikasi eksternal kepada konsumen pengguna
jasa. Janji yang disampaikan mungkin secara potensial bukan hanya meningkatkan
harapan yang akan dijadikan sebagai standar kualitas jasa yang akan diterima konsumen
pengguna jasa, akan tetapi juga akan meningkatkan pendapat tentang jasa yang akan
disampaikan kepada debitur. Kegagalan dalam memenuhi jasa yang dijanjikan dengan
faktanya akan memperbesar gap ini. Contoh: di dalam brosur dinyatakan tersedia kamar
hotel yang mewah, bersih, dan rapi, tetapi kenyataannya kamar tidak bersih dan rapi.
Kesenjangan ini terjadi, antara lain, karena tidak memadainya komunikasi antara penyedia
dengan pembeli jasa serta adanya kecenderungan untuk memberikan janji yang berlebihan.
e) Gap antara jasa yang diharapkan dan jasa aktual yang diterima Gap ini timbul akibat
adanya perbedaan antara kinerja pelayanan yang diterima pada konsumen pengguna jasa
dan kinerja pelayanan yang diharapkan atau kepentingan konsumen pengguna jasa. Bila
dihubungkan dengan tingkat kesesuaian konsumen pengguna jasa, ini menccerminkan
bahwa para konsumen pengguna jasa tersebut berada pada keadaan sesuai. Kesenjangan
ini terjadi apabila pelanggan mempunyai persepsi sendiri dalam mengukur kinerja/prestasi
35 perusahaan. Sebagai contoh, dokter merasa perlu sering-sering mengunjungi pasiennya
karena perlu memperhatikan pasien dengan baik, tetapi pasien wanita (muda dan cantik)
mungkin mempunyai persepsi bahwa dokter sedang
Untuk menangani kelima gap yang terjadi ini, selanjutnya Parasuraman, Berry, dan
Zeithaml (Harbani Pasolong, 2007:135), menyatakan ada lima karakteristik yang
digunakan untuk mengevaluasi kualitas jasa, yaitu :
Tangibles (Bukti langsung),
Kualitas pelayanan berupa fasilitas fisik perkantoran, perlengkapan, kebersihan, dan
sarana komunikasi, ruang tunggu, tempat informasi.
Reability (kehandalan),
Yakni kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya
(pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan).
Responsiveness (daya tanggap),
Yaitu keinginan para staff untuk membantu para masyarakat dan memberikan pelayanan
yang cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen.
Assurance (jaminan),
Mencakup kemampuan, keramahan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki
para staff, bebas dari bahaya, resiko, atau keraguan.
Empathy (empati)
Sikap tegas tapi penuh perhatian terhadap konsumen, sehingga memudahkan dalam
melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para pelanggan.

4. TOTAL QUALITY MGMT


TEORI TOTAL QUALITY MANAGEMENT

Proses pembuatan produk dengan derajat ketelitian yang tinggi terhadap standar akan
dapat mengurangi tingkat kerusakan produk dan akan berdampak pada penurunan biaya.
Perhatian kualitas dalam menghasilkan suatu produk akan mengurangi ongkos produksi tiap
unit dan harga produk menjadi lebih kompetitif. Kepuasan konsumen akan lebih meningkat
jika produk yang dihasilkan berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif. Hal ini juga akan
meningkatkan penjualan produk tersebut yang berarti pula peningkatan pangsa pasar.

Kekalahan Jepang pada perang dunia II, membangkitkan budaya Jepang dalam
membangun sistem kualitas modern. Hadir-nya pakar kualitas W. Edward Deming di Jepang
pada tahun 1950 membuat para ilmuwan dan insinyur Jepang lebih bersemangat dalam
membangun dan memperbaiki sistem kualitas. Keberhasil-an yang cukup pesat perusahaan
Jepang di bidang kualitas menjadi perhatian perusahaan-perusahaan di negara maju lainnya.
Perusahaan kelas dunia kemudian mempelajari apa yang pemah diraih oleh perusahaan
Jepang dalam mengembangkan konsep kualitas. Hasil studi perusahaan-perusahaan industri
kelas dunia ini menunjukkan bahwa keberhasilan perusahaan Jepang ini salah satunya
menerapkan apa yang dikenal denganTotal Quality Management (TQM).

Definisi Total Quality Management

Pengertian mutu atau kualitas akan berlainan bagi setiap orang dan tergantung pada
konteksnya. Mutu atau kualitas suatu barang pada umumnya diukur dengan tingkat kepuasan
kon-suinen atau pelanggan. Seberapa besar kepuasan yang diperoleh pelanggan tergantung
dari tingkat kecocokan penggunaan masmg-masing pelanggan. Seorang pengusaha membeli
produk yang digunakan sebagai bahan baku akan mengatakan barang tersebut mempunyai
kualitas baik jika barang tersebut dirasa cocok penggunaannya dan mempunyai kemampuan
memproses aku menjadi barang jadi dengan biaya rendah dan sisa yang minimal, Seorang
membeli barang jadi dengan harapan barang-barang cacat bawaan dari pabrik sehingga tidak
rugi mengeluarkan uang untuk membeli barang tersebut. Dengan demikian, pengertian
kualitas mencakup kegiatan yang berkaitan dengan tercapainya kepuasan pemakai barang
tersebut.

Konsep kualitas itu sendiri sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu
produk atau jasa yang terdiri atas kualitas desain atau rancangan dan kualitas kesesuaian atau
kecocokan. Kualitas rancangan merupakan fungsi spesifikasi produk, sedang-kan kualitas
kecocokan adalah seberapa baik produk itu sesuai dengan spesifikasi dan kelonggaran yang
disyaratkan oleh rancangan itu.

Dari pengertian kualitas di atas sebenamya terdapat be-berapa elemen sebagai


berikut.
1. Kualitas adalah usaha untuk memberi kepuasan bagi pelanggan.
2. Kualitas meliputi produk, jasa, proses dan lingkungannya.
3. Kualitas yang selalu berubah kondisinya (kondisi dinamis), saat ini dianggap kualitas hari
yang akan datang kemungkinan dianggap tidak kualitas.

Perpaduan semua fungsi dari perusahaan yang dibangun berdasarkan konsep


kualitas, teamwork, produktivitas dan pengertian serta kepuasan pelanggan inilah yang
dinamakan Total Quality Management (TQM). TQM merupakan sistem manajemen yang
mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan
dengan melibatkan seluruh anggota organisasi. Pengertian TQM lain menyebutkan bahwa
TQM me-rupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk
memaksimumkan daya saing organisasi melalui per-baikan terus menerus atas produk, jasa,
manusia, proses, dan lingkungannya.

Sejarah Perkembangan Total Quality Management

Banyak yang beranggapan bahwa TQM berasal dari Jepang, mengingat konsep TQM
banyak dipengaruhi perkembangan-per-kembangan di Jepang. Sebenamya gerakan total
quality dimulai pada masa studi gerak dan waktu yang diperkenalkan oleh F. Tailor sekitar
tahun 1920. Kemudian pada tahun 1931 Walter A. Shewhart dari Bell Laboratories
memperkenalkan metode statistik yang dikenal dengan Statistical Quality Control. Tokoh
yang dikenal luas dalam TQM adalah Edward Deming. Beliau meng-ajarkan teknik-teknik
pengendalian kualitas di U. S. War Department, serta mengajarkan mata kuliah mengenai
kualitas kepada ilmuan, insinyur, dan eksekutif perusahaan Jepang. Berawal dari sinilah TQM
berkembang pesat di negara Sakura ini.

Pada awalnya orang Jepang memperhatikan tentang peri-laku pelanggan. Pelanggan


suka sekali memilih dan mengeluh terhadap hal-hal yang sepele, mereka berharap sesuatunya
sem-puma. Sebagai contoh, seorang pelanggan membeli kendaraan bermotor. Kebetulan
asesori kendaraan motor kurang tepat pe-masanganhya yang sebenamya ia dapat
memasangnya sendiri, dan hal tersebut tidak periu diributkan. Hanya sayangnya mereka tidak
terbiasa dengan hal itu, dan mereka akan senang jika ke-jadian semacam itu dapat dicegah.
Berawal dari situlah orang Jepang dalam memproduksi barang sangat memperhatikan pe-
langgan. Produk barang/jasa yang dihasilkan sesuai dengan ke-ingman pelanggan sama persis
seperti yang dilaporkan penjual.

Sekarang telah menjadi kenyataan, bahwa produk dari Jepang yang dulunya dikenal
sebagai produk rongsokan dan imi-tasi murahan dari produk Barat, kini justru sebaliknya
menjadi produk-produk yang berkualitas tinggi dan berkembang pesat di dimia. Pemsahaan-
perusahaan Jepang menyadari bahwa pada masa mendatang adalah kualitas. Ber-dilakukan
antara lain dengan menciptakan infra-kualitas, yaitu aspek manusia, proses, dan Upaya
perbaikan dilakukan dengan mengirimkan tim ke luar untuk mempelajari pendekatan-
pendekatan dilakukan perusahaan asing dan mengundang dosen-dosen datang ke Jepang
untuk memberikan kursus pelatihan kepada para manajer. Hasil dari semua upaya tadi adalah
banyak ditemukannya strategi-strategi baru untuk menciptakan revolusi.

Sejak pertengahan tahun 70-an, barang-barang manufaktur Jepang, seperti mobil dan
produk-produk elektronika mulai mendominasi perdagangan dunia karena kualitas yang
dihasilkan sudah melampaui kualitas yang dihasilkan pesaingnya dari Amerika dan Eropa.
Begitu pula dalam beberapa industri kunci, misal mesin industri, baja, otomotif, industri Barat
mulai tergeser. Aspek perhatian atau penekanan Amerika sejak Perang Dunia II, yakni pada
aspek kuantitas dan kurang memperhatikan kualitas menjadi penyebab kegagalan bersaing
dengan perusahaan Jepang.

Sejarah pengembangan dari konsep di atas dan tokoh-tokoh TQM dapat disebutkan di
bawah ini.

1. Pada tahun 1946 - 1950 adalah periode perintisan atau periode penelitian dan penelaahan
(Research and Study). Pada periode ini, yaitu pada bulan Juli 1950, Dr. W. E. Deming
menyampaikan seminar delapan hari mengenai kualitas pada para ilmu-wan, insinyur dan
para eksekutif perusahaan Jepang.

2. Tahun 1951 - 1954 adalah periode pengendalian mutu statistik (Statistical Quality Control).
Pada bulan Juli 1954 diadakan seminar tentang manajemen pengendalian mutu (Quality
Control Mangement Seminar) dengan pembicara Dr. J. M. Juran.

3. Tahun 1955 -1960 adalah periode pengendalian mutu secara sistematik. Kelompok belajar
pengendalian mutu (Quality Control Study Group) memperkenalkan pengendalian mutu
menyeluruh dalam perusahaan (Company Wide Quality Controlatau CWQC).

4. Tahun 1961 sampai sekarang dikatakan sebagai periode pe-mantapan dan pengembangan
(New Quality Creation). Pada tahun 1962, Prof. DR. Kaoru Ishikawa memperkenalkan
Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle).

8.1.3 Landasan dan Akar TQM

Landasan dari Total Quality Management adalah statistical process control yang
diperkenalkan oleh Edwards Deming dan Joseph Juran untuk membantu memulihkan
industri Jepang yang hancur akibat Perang Dunia II. Model yang dikembangkan per-tama kali
adalah manajemen manufaktur, yang selanjutnya meng-alami evolusi dan mengalami
diversifikasi untuk aplikasi di bidang manufaktur, industri jasa, kesehatan, dan juga bidang
pendidikan. Perkembangan TQM juga tidak terlepas dari kontri-busi bidang manajemen dan
efektivitas organisasi dalam mem-bangun TQM. Kontribusi bidang tersebut merupakan satu
di-mensi tersendiri yang dapat disebut akar TQM. Akar TQM antara lain sebagai berikut.
1. Scientific Management (Manajemen Ilmiah). Manajemen U-miah digunakan untuk
mencari cara terbaik untuk melakukan pekerjaan melalui time and motion study dan
proses produksi secara ban berjalan. TQM memperluas konsep ke dalam lingkup seluruh
sistem.

2. Group Dynamics. Kelompok-kelompok kerja dimaksudkan untuk mengembangkan teknik


pemecahan persoalan.

3. Pelatihan. TQM menempatkan program pelatihan pada prioritas utama di tiap tingkat
organisasi. Pimpinan puncak belajar merumuskan visi, mendelegasikan wewenang, dan
melatih bawahan. Bawahan harus belajar memecahkan persoalan yang timbul dalam
pekerjaannya.

4. Achievement Motivation (Motivasi Berprestasi). Karakteristik manusia adalah selalu


mempunyai motivasi, potensi, dan ka-pasitas untuk bertanggung jawab terhadap
organisasi. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana peran manajemen untuk
merealisasikan karakteristik tersebut. Dalam TQM manajer harus percaya pada
bawahannya guna melakukan pekerjaan menuju kualitas.

5. Pelibatan karyawan. TQM memberi peluang kepada para kar-yawan untuk ikut terlibat
dalam proses pemecahan masalah.

6. Sociotechnical Systems (Sistem Sosioteknikal). Organisasi di-pandang sebagai sistem yang


terbuka, organisasi mengambil sumber daya dari lingkungannya, mengolahnya dan
menyam-paikan hasilnya kepada lingkungannya. TQM memperhatikan dimensi sistem
organisasi secara eksplisit. TQM memusatkan perhatian pada interface antara unsur-unsur
yang saling mempengaruhi

7. Pengembangan Organisasi (Organization Development). Hal ini merupakan turunan dari


group dynamics yang bertujuan melatih seluruh organisasi (tidak hanya satu kelompok)
agar lebih produktif. Organisasi akan lebih efektif belajar dari peng-alaman dan melakukan
perubahan apabila anggotanya dilibat-kan dalam proses pengumpulan data dan proses
pengambilan keputusan. TQM menambahkan dua unsur, yaitu titik berat pada kualitas dan
menuntut hasil yang dapat diukur.

8. Budaya Perusahaan. Adalah pola nilai-nilai, keyakinan dan harapan yang tertanam dan
berkembang pada diri anggota organisasi mengenai pekerjaannya. TQM mengembangkan
konsep tersebut di mana budaya perusahaan terdiri dari dua komponen dasar, yaitu
keyakinan dan nilai-nilai (values)

9. Teori Kepemimpinan Baru. Menurut teori baru, pemimpin dituntut untuk memetakan
pandangannya ke depan (vision), manajer dituntut untuk merealisasikan visi tersebut.
Memim-pin berarti menciptakan dinamika organisasi yang kondusif agar para anggota
mau dan komitmen terhadap tujuan organisasi. Melakukan manajemen berarti menata,
mengarahkan serta mengendalikan para anggota secara sistematis agar tujuan organisasi
tercapai. TQM mendasarkan pada teori kepemimpinan tersebut di mana pimpinan harus
mempunyai strategic vision yang baik.

10. Perencanaan Strategis. Perencanaan strategis adalah suatu proses di mana pimpinan
puncak organisasi menggambarkan masa depan organisasi tersebut dan mengembangkan
prosedur yang diperlukan beserta pengoperasiannya. TQM ber-pendapat bahwa data yang
penting untuk perencanaan harus berasal dari yang dekat dengan konsumen dan data ini
sebagai pertimbangan perencanaan yang berorientasi pada pelanggan.

Manfaat TQM

Salah satu cara terbaik dalam persaingan global adalah dengan menghasilkan suatu
produk barang/jasa dengan kualitas terbaik. Kualitas terbaik akan diperoleh dengan
melakukan upaya perbaikan secara terus-menerus terhadap kemampuan manusia, proses,
lingkungan. Penerapan TQM adalah hal yang sangat tepat agar dapat memperbaiki
kemampuan unsur-unsur tersebut secara berkesinambungan. Penerapan TQM dapat
memberikan beberapa manfaat utama, sebagai berikut.

Dengan perbaikan kualitas berkesinambungan, perusahaan akan dapat memperbaiki


posisi persaingan. Dengan posisi yang lebih baik akan meningkatkan pangsa pasar dan men-
jamin harga yang lebih tinggi. Hal ini akan memberikan peng-hasilan lebih tinggi dan secara
otomatis laba yang diperoleh semakin meningkat. Upaya perbaikan kualitas akan
menghasilkan peningkatan ke-luaran (output) yang bebas dari kerusakan atau mengurangi
produk yang cacat. Berkurangnya produk yang cacat berarti berkurang pula biaya operasi yang
dikeluarkan perusahaan sehingga akan diperoleh laba yang semakin besar.

5. HEALTH BELIEF MODEL


Health Belief Model ini (HBM) adalah teori yang paling umum digunakan dalam pendidikan
kesehatan dan promosi kesehatan (Glanz, Rimer, & Lewis, 2002; National Cancer Institute
[NCI], 2003). Ini dikembangkan pada 1950-an sebagai cara untuk menjelaskan mengapa
program skrining medis yang ditawarkan oleh US Public Health Service, terutama untuk TBC,
tidak begitu sukses (Hoch-Baum, 1958). Konsep asli yang mendasari HBM adalah bahwa
perilaku kesehatan ditentukan oleh keyakinan pribadi atau persepsi tentang penyakit dan
strategi yang tersedia untuk mengurangi terjadinya penyakit (Hochbaum, 1958). Persepsi
pribadi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan
intrapersonal.
Health Belief Model adalah perubahan prilaku kesehatan dan model psikologis dikembangkan
oleh M. Rosenstock pada tahun 1966 untuk mempelajari dan mempromosikan peningkatan
pelayanan kesehatan. Model ini ditindaklanjuti oleh Becker dan rekan pada 1970-an dan 1980-
an. Teori Health Belief Model didasarkan pada pemahaman bahwa seseorang akan mengambil
tindakan yang akan berhubungan dengan kesehatan. Teori ini dituangkan dalam lima segi
pemikiran dalam diri individu, yang mempengaruhi upaya yang ada dalam diri individu untuk
menentukan apa yang baik bagi dirinya, yaitu perceived susceptibility (kerentanan yang
dirasakan/ diketahui), perceived severity (bahaya/ kesakitan yang dirasakan), perceived benefit
of action (manfaat yang dirasakan dari tindakan yang diambil), perceived barrier to action
(hambatan yang dirasakan akan tindakan yang diambil), cues to action (isyarat untuk
melakukan tindakan). Hal tersebut dilakukan dengan tujuan self efficacy atau upaya diri sendiri
untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya.
Tiga faktor penting dalam Health Belief Model, yaitu

1. Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit
atau memperkecil risiko kesehatan.
2. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku.
3. Perilaku itu sendiri.
Ketiga faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi tentang kerentanan
terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentanan terhadap
penyakit, adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku dapat memberikan
keuntungan, penilaian individu terhadap perubahan yang ditawarkan, interaksi dengan
petugas kesehatan yang merekomendasikan perubahan perilaku, dan pengalaman
mencoba perilaku yang serupa.

Aspek-aspek pokok perilaku kesehatan menurut Rosenstock:

a) Ancaman
 Persepsi tentang kerentanan diri terhadap penyakit (atau kesediaan menerima
diagnosa penyakit).
 Persepsi tentang keparahan penyakit / kondisi kesehatannya.
b) Harapan
 Persepsi tentang keuntungan suatu tindakan
 Persepsi tentang hambatan-hambatan untuk melakukan tindakan itu.
c) Pencetus tindakan:
 Media
 Pengaruh orang lain
 Hal-hal yang mengingatkan (reminders)
d) Faktor-faktor Sosio-demografi (pendidikan, umur, jenis kelamin/gender, suku
bangsa).
e) Penilaian diri (Persepsi tentang kesanggupan diri untuk melakukan tindakan itu).
Ancaman suatu penyakit dipersepsikan secara berbeda oleh setiap individu. Contoh:
kanker. Ada yang takut tertular penyakit itu, tapi ada juga yang menganggap penyakit
itu tidak begitu parah, ataupun individu itu merasa tidak akan tertular olehnya karena
diantara anggota keluarganya tidak ada riwayat penyakit kanker. Keputusan untuk
mengambil tindakan/upaya penanggulangan atau pencegahan penyakit itu tergantung
dari persepsi individu tentang keuntungan dari tindakan tersebut baginya,
besar/kecilnya hambatan untuk melaksanakan tindakan itu serta pandangan individu
tentang kemampuan diri sendiri. Persepsi tentang ancaman penyakit dan upaya
penanggulangannya dipengaruhi oleh latar belakang sosio-demografi si individu.
Untuk menguatkan keputusan bertindak, diperlukan faktor pencetus (berita dari media,
ajakan orang yang dikenal atau ada yang mengingatkan). Jika faktor pencetus itu cukup
kuat dan individu merasa siap, barulah individu itu benar-benar melaksanakan tindakan
yang dianjurkan guna menanggulangi atau mencegah penyakit tersebut.

Model Kepercayaan kesehatan oleh Becker (1974, 1979) :


1. Percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan tertentu.
Bagaimana menyadarkan masyarakat tersebut bilamana dirinya dapat
mengalami diare setiap saat. Oleh karena adanya lingkungan dengan sanitasi
yang buruk dan perilaku yang buruk terhadap kesehatan, seperti cakupan
jamban yang rendah serta sumber air bersih yang dikonsumsi berpotensi
tercemar oleh kuman. Tidak adanya WC memungkinkan adanya lalat sebagai
vektor penyebab terjadinya penularan ke manusia yang sehat lainnya. Sumber
air yang digunakan dari sumur pinggir sungai/menggali lubang pasir di pinggir
sungai sangat membahayakan bilamana ada penderita cholera yang BAB
2. Menganggap masalah ini serius
Terjadinya diare bukan saja dapat menyebabkan kesakitan tetapi juga bahaya
kematian. Terutama akibat dehidasi berat oleh diare. Penyakit ini setiap
tahunnya merupakan pembunuh no 1 atau no 2 di Indonesia.

3. Meyakini efektifitas tujuan pengobatan dan pencegahan.


Model pengobatan dini dapat mencegah ke tahapan diare berat dengan dehidasi
hebat, sehingga tidak perlu dirujuk ke RS. Pencegahan merupakan upaya terbaik
dan murah melalui kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat terutama sumber
air yang steril, penggunaan WC dan kebiasaan cuci tangan dengan sabun.
Dimaksudkan memutuskan penularan penyakit diare.

4. Tidak mahal
Biaya yang tidak mahal karena hanya dengan merubah kebiasaan buruk
dimasyarakat. Jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk
kesembuhan ditambah dengan hilangnya produktifitas (waktu kerja).

5. Menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan


Melaksanakan anjuran oleh petugas kesehatan merupakan tujuan dari
perubahan perilaku.

6. REASONED ACTION
Theory of Reasoned Action (TRA) menjelaskan tentang perilaku yang berubah berdasarkan
hasil dari niat perilaku, dan niat perilaku dipengaruhi oleh norma sosial dan sikap individu
terhadap perilaku (Eagle, Dahl, Hill, Bird, Spotswood, & Tapp, 2013, hal. 123). Norma
subjektif mendeskripsikan kepercayaan individu mengenai perilaku yang normal dan dapat
diterima dalam masyarakat, sedangkan untuk sikap individu terhadap perilaku berdasarkan
kepercayaan individu atas perilaku tersebut.
Menurut (Lee & Kotler, 2011, hal. 198), theory of reason action yang dikembangkan oleh
Ajzen dan Fishbein, menyatakan bahwa prediksi terbaik mengenai perilaku seseorang adalah
berdasarkan minat orang tersebut. Minat perilaku didasari oleh 2 faktor utama, yaitu :
kepercayaan individu atas hasil dari perilaku yang dilakukan dan persepsi individu atas
pandangan orang-orang terdekat individu terhadap perilaku yang dilakukan.

Dapat dikatakan bahwa sikap akan mempengaruhi perilaku melalui suatu proses
pengambilan keputusan yang cermat dan memiliki alasan dan akan berdampak terbatas pada
tiga hal, yaitu :

1. Sikap yang dijalankan terhadap perilaku, didasari oleh perhatian atas hasil yang
terjadi pada saat perilaku tersebut dilakukan.
2. Perilaku yang dilakukan oleh seorang individu, tidak saja didasari oleh pandangan
atau persepsi yang dianggap benar oleh individu, melainkan juga memperhatikan
pandangan atau persepsi orang lain yang dekat atau terkait dengan individu.
3. Sikap yang muncul didasari oleh pandangan dan persepsi individu, dan
memperhatikan pandangan atau persepsi orang lain atas perilaku tersebut, akan
menimbulkan niat perilaku yang dapat menjadi perilaku.
Pada tahun 1988, Ajzen mengembangkan theory of reasoned action dengan menambahkan
kepercayaan individu dan persepsi individu mengenai kontrol perilaku, yaitu kepercayaan
bahwa individu dapat melakukan suatu perilaku didasari oleh kemampuan untuk
melakukannya(Lee & Kotler, 2011, hal. 198). Teori ini dinamai dengan Teori Perilaku
Terencana (theory of planned behaviour). Inti dari teori perilaku terencana mencakup 3 hal
yaitu, keyakinan akan kemungkinan hasil serta evaluasi dari perilaku tersebut (behavioral
beliefs), keyakinan akan norma yang diharapkan serta motivasi untuk memenuhi harapan yang
diinginkan (normative beliefs), dan keyakinan tentang suatu faktor yang dapat mendukung atau
menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor tersebut (control beliefs).
Dari pengertian diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa praktik atau perilaku
menurut Theory of Reasoned Action akan dipengaruhi oleh niat individu, dan niat individu
tersebut terbentuk dari sikap dan norma subyektif. Salah satu variabel yang mempengaruhi,
yaitu sikap, dipengaruhi oleh hasil tindakan yang sudah dilakukan pada masa yang lalu.
Sedangkan Norma subyektif, akan dipengaruhi oleh keyakinan akan pendapat orang lain serta
motivasi untuk menaati keyakinan atau pendapat orang lain tersebut. Sederhananya, orang akan
melakukan suatu tindakan, apabila memiliki nilai positif dari pengalaman yang sudah ada dan
tindakan tersbut didukung oleh lingkungan individu tersebut.

7. Procede Preceed
Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang
atau masyrakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor
di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari
3 faktor :
1. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pendukung (Enabling factors), yang terwujud dalam fasilitas-fasilitas atau sarana-
sarana, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (Renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan Perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Teori Lawrence W Green merupakan salah satu teori modifikasi perubahan perilaku yang dapat
digunakan dalam mendiagnosis masalah kesehatan ataupun sebagai alat untuk merencanakan
suatu kegiatan perencanaan kesehatan atau mengembangkan suatu model pendekatan yang
dapat digunakan untuk membuat perencanaan kesehatan yang dikenal dengan kerangka
kerja Precede dan Proceed. Kerangka kerja precede mempertimbangkan beberapa faktor
yang membentuk status kesehatan dan membantu perencana terfokus pada faktor tersebut
sebagai target untuk intervensi.
Menurut Green (1980) penggunaan kerangka kerja PRECEDE and PROCEED adalah sebagai
berikut:
PRECEDE terdiri dari:
1. Predisposing;
2. Reinforcing;
3. Enabling cause in educational diagnosis and evaluation
Akan memberikan wawasan spesifik menyangkut evaluasi. Kerangka kerja ini menunjukkan
sasaran yang sangat terarah untuk intervensi. PRECEDE digunakan pada fase diagnosis
masalah, penetapan prioritas dan tujuan program.
PROCEED terdiri dari:
1. Policy
2. Regulation
3. Organizational and environmental development
Menampilkan kriteria tahapan kebijakan dan implementasi serta evaluasi.
Precede mengarahkan perhatian awal pendidik kesehatan terhadap keluaran dan bukan
terhadap masukan dan memaksanya memulai proses perencanaan pendidikan kesehatan dari
ujung “Keluaran”. Ini mendorong munculnya pertanyaan “mengapa” sebelum pertanyaan
“bagaimana”. Dari sudut perencanaan, apa yang terlihat sebagai ujung yang salah sebagai
tempat untuk memulai, kenyataannya adalah sesuatu yang benar. Orang mulai dengan keluaran
akhir, kemudian bertanya tentang apa yang harus mendahului keluaran itu, yakni dengan cara
menentukan sebab-sebab keluaran itu. Dinyatakan dalam cara lain, semua faktor yang penting
untuk suatu keluaran harus didiagnosis sebelum intervensi dirancang; jika tidak, intervensi
akan didasarkan atas dasar tebakan (kira-kira) dan mempunyai resiko salah arah.
Bekerja menggunakan precede dan proceed, mengajak orang berpikir deduktif, untuk memulai
dengan akibat akhir dan bekerja ke belakang ke arah sebab-sebab yang asli.
Adapun penjelasan dari tiap fase dalam kerangka Precede Proceed Theory adalah sebagai
berikut:
1. Fase 1 (diagnosa sosial)
Adalah proses penentuan persepsi seseorang terhadap kebutuhan dan kualitas hidupnya dan
aspirasi untuk lebih baik lagi, dengan penerapan berbagai informasi yang didesain sebelumnya.
Partisipasi masyarakat adalah sebuah konsep pondasi dalam diagnosis sosial dan telah lama
menjadi prinsip dasar bagi kesehatan dan pengembangan komunitas. Hubungan sehat dengan
kualitas hidup merupakan hubungan sebab akibat. Input pendidikan kesehatan, kebijakan,
regulasi dan organisasi menyebabkan perubahan out come, yaitu kualitas hidup. Fase ini
membantu masyarakat (community) menilai kualitas hidupnya tidak hanya pada kesehatan.
Adapun untuk melakukan diagnosa sosial dilaksanakan dengan mengidentifikasi masalah
kesehatan melalui review literature (hasil-hasil penelitian), data (misalnya BPS, Media massa),
group method.
Hubungan sebab akibat dapat terjadi secara langsung melalui kebijakan sosial, intervensi
pelayanan sosial, kebijakan kesehatan dan program kesehatan.
a. Bagian atas yaitu kebijakan sosial atau keadaan sosial, mengindikasikan masalah
kesehatan mempengaruhi kualitas hidup, sehingga kualitas hidup dapat memotivasi dan
mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan.
Kualitas hidup sulit diukur dan sulit didefinisikan; ukuran obyektif (indikator sosial), yaitu
angka pengangguran, kepadatan hunian, kualitas air. Ukuran subyektif (informasi dari anggota
masyarakat tentang kepuasan hidup, kejadian hidup yang membuat stress, individu dan sumber
daya sosial.
b. Bagian bawah yaitu intervensi kesehatan, mengindikasikan kondisi sosial dan kualitas
hidup dipengaruhi oleh masalah kesehatan.
2. Fase 2 (diagnosa epidemiologi)
Masalah kesehatan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang,
baik langsung maupun tidak langsung. Yaitu penelusuran masalah-masalah kesehatan yang
dapat menjadi penyebab dari diagnosa sosial yang telah diprioritaskan. Ini perlu dilihat data
kesehatan yang ada dimasyarakat berdasarkan indikator kesehatan yang bersifat negatif yaitu
morbiditas dan mortalitas, serta yang bersifat positif yaitu angka harapan hidup, cakupan air
bersih, cakupan rumah sehat.
Untuk menentukan prioritas masalah kesehatan, dilakukan dengan beberapa tahapan,
diantaranya:
a. Masalah yang mempunyai dampak terbesar pada kematian, kesakitan, lama hari
kehilangan kerja, biaya rehabilitasi, dan lain-lain.
b. Apakah kelompok ibu dan anak-anak yang mempunyai resiko.
c. Masalah kesehatan yang paling rentan untuk intervensi.
d. Masalah yang merupakan daya ungkit tinggi dalam meningkatkan status
kesehatan,economic savings.
e. Masalah yang belum pernah disentuh atau di intervensi.
f. Apakah merupakan prioritas daerah/ nasional.
3. Fase 3 (diagnosa perilaku dan lingkungan)
Pada fase ini terdiri dari 5 tahapan, antara lain:
a. Memisahkan penyebab perilaku dan non perilaku dari masalah kesehatan.
b. Mengembangkan penyebab perilaku
1) Preventive behaviour (primary, secondary, tertiary)
2) Treatment behaviour
c. Melihat important perilaku
1) Frekuensi terjadinya perilaku
2) Terlihat hubungan yang nyata dengan masalah kesehatan
d. Melihat changebility perilaku
e. Memilih target perilaku
Untuk mengidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi status kesehatan,
digunakan indikator perilaku seperti: pemanfaatan pelayanan kesehatan (utilisasi), upaya
pencegahan (prevention action), pola konsumsi makanan (consumtion pattern), kepatuhan
(compliance), upaya pemeliharaan sendiri (self care).
Untuk mendiagnosa lingkungan diperlukan lima tahap, yaitu: membedakan penyebab perilaku
dan non perilaku; menghilangkan penyebab non perilaku yang tidak bisa diubah; melihat
important faktor lingkungan, melihat changeability faktor lingkungan, memilih target
lingkungan.
4. Fase 4 (diagnosa pendidikan dan organisasi )
Mengidentifikasi kondisi-kondisi perilaku dan lingkungan yang status kesehatan atau kualitas
hidup dengan memperhatikan faktor-faktor penyebabnya. Mengidentifikasi faktor-faktor yang
harus diubah untuk kelangsungan perubahan perilaku dan lingkungan. Merupakan target antara
atau tujuan dari program.
Ada 3 kelompok masalah yang berpengaruh terhadap perilaku, yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factor): pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,
nilai, dan lain-lain.
b. Faktor penguat (reinforcing factor): perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, dan
lain-lain.
c. Faktor pemungkin (enabling factor): lingkungan fisik tersedia atau tidak tersedianya
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, dan lain-lain.
Tahap proses menyeleksi faktor dan mengatur program:
a. Identifikasi dan menetapkan faktor-faktor menjadi 3 kategori
Mengidentifikasi penyebab-penyebab perilaku dan dipilah-pilah sesuai dengan 3 kategori yang
ada: predisposing, enabling, reinforcing factors.
Metode:
1) Formal
a) Literatur
b) Checklist dan kuesioner
2) Informal
a) Brainstorming
b) Normal group process (NGP)
b. Menetapkan prioritas antara kategori
Menetapkan faktor mana yang menjadi obyek intervensi, dan seberapa penting dari ke-3 faktor
yang ada.
c. Menetapkan prioritas dalam kategori
Berdasarkan pertimbangan:
1) Important: prevalensi, penting dan segera di atasi menurut logis, pengalaman, data dan
teori
2) Immediacy: seberapa penting
3) Necessity: mungkin prevalensi rendah, tapi masih harus dimunculkan perubahan
lingkungan dan perilaku yang terjadi
4) Changeability: mudah untuk diubah
5. Fase 5 (diagnosa administrasi dan kebijakan)
Pada fase ini dilakukan analisis kebijakan, sumber daya dan kejadian-kejadian dalam
organisasi yang mendukung atau menghambat perkembangan promosi kesehatan.
a. Administrative diagnosis
1) Memperkirakan atau menilai resorces/ sumber daya yang dibutuhkan program
2) Menilai resorces yang ada didalam organisasi atau masyarakat
3) Mengidentifikasi faktor penghambat dalam mengimplementasi program

Tahap diagnosa administrasi, antara lain:


1) Menilai kebutuhan sumber daya
a) Time
b) Personnel
c) Budget
2) Menilai ketersediaan sumber daya
a) Personnel
b) Budgetary contraints (keterbatasan budget)
3) Menilai penghambat implementasi
a) Staff commitment and attitude
b) Goal conflict
c) Rate of change
d) Familiarity
e) Complexity
f) Space
g) Community barriers
b. Policy diagnosis
1) Menilai dukungan politik
2) Dukungan regulasi atau peraturan
3) Dukungan sistem didalam organisasi
4) Hambatan yang ada dalam pelaksanaan program
5) Dukungan yang memudahkan pelaksanaan program

Tahapan diagnosa kebijakan, antara lain:


1) Menilai kebijakan, regulasi dan organisasi
a) Issue of loyality
b) Consistency
c) Flexibility
d) Administrative of professional direction
2) Menilai kekuatan politik
a) Level of analysis
b) The zero-sum game
c) System approach
d) Exchange theory
e) Power equalization approach
f) Power educative approach
g) Conflict approach
h) Advocacy and education and community development
Implementasi:
Kunci keberhasilan implementasi:
1. Pengalaman
2. Sensitif terhadap kebutuhan
3. Fleksibel dalm situasi kondisi
4. Fokus pada tujuan
5. Sense of humor

Evaluasi dan accountability:


Evaluasi: membandingkan tujuan dengan standar object of interest:
1. Mengukur quality of life
2. Indikator status kesehatan
3. Faktor perilaku dan lingkungan
4. Faktor predisposing, enabling, reinforcing
5. Aktivitas intervensi
6. Metode
7. Perubahan kebijakan, regulasi atau organisasi
8. Tingkat keahlian staf
9. Kualitas penampilan dan pendidikan

Object of interest:
1. Input
2. Intermediate effects
3. Outcome
Tingkatan Objective:
1. Ultimate objectives : sosial dan kesehatan
2. Intermediate objectives: perilaku dan lingkungan
3. Immediate objective: educational, regulatory, policy
Tingkat Evaluasi:
1. Evaluasi proses
Evaluasi dari program promosi kesehatan yang dilaksanakan
2. Evaluasi impact
Menilai efek langsung dari program pada target perilaku (predisposing, enabling, reinforcing factors)
dan lingkungan
3. Evaluasi outcome
Evaluasi terhadap masalah pokok yang pada proses awal perencanaan akan diperbaiki: satus kesehatan
dan quality of life.

8. HEALTH POLICY CYCLE


9. HEALTH CARE UTILIZATION ANDERSON

10. AGENCY TEORY


Dalam teori keagenan menjelaskan tentang dua pelaku ekonomi yang saling
bertentangan yaitu prinsipal dan agen. Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak
dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan
suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat
keputusan yang terbaik bagi prinsipal (Ichsan, 2013). Jika prinsipal dan agen memiliki
tujuan yang sama maka agen akan mendukung dan melaksanakan semua yang
diperintahkan oleh prinsipal.

Pertentangan terjadi apabila agen tidak menjalankan perintah prinsipal untuk


kepentingannya sendiri. Dalam penelitian ini, pemerintah adalah prinsipal sedangkan
perusahaan adalah agen. Pemerintah yang bertindak sebagai prinsipal memerintahkan
kepada perusahaan untuk membayar pajak sesuai dengan perundang-undangan pajak.
Hal yang terjadi adalah perusahaan sebagai agen lebih mengutamakan kepentingannya
dalam mengoptimalkan laba perusahaan sehingga meminimalisir beban, termasuk beban
pajak dengan melakukan penghindaran pajak. Manajer perusahaan yang berkuasa dalam
perusahaan untuk pengambilan keputusan sebagai agen memiliki kepentingan untuk
memaksimalkan labanya dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Karakter
manajer perusahaan tentunya mempengaruhi keputusan manajer untuk memutuskan
kebijakannya untuk meminimalkan beban termasuk beban pajak dengan
mempertimbangkan berbagai macam hal seperti sales growth atau leverage.

Sales growth yang semakin meningkat tentunya menggambarkan laba yang semakin
meningkat pula sehingga manajer akan berfikir untuk memaksimalkan labanya dengan
cara apapun. Begitu juga dengan leverage, kebijakan leverage yang digunakan oleh para
manajer untuk memperoleh pendanaan dari eksternal demi kelangsungan operasional
akan meningkatkan bunga namun memperkecil beban pajak karena semakin besar
perlindungan pajak. Kedua hal tersebut menjadi pertimbangan manajer dalam
memutuskan kebijakan untuk memaksimalkan labanya.

Hal inilah yang menjadikan adanya konflik keagenan. Konflik keagenan yang terjadi
antara agen dan prinsipal dapat diminimalkan dengan berbagai macam cara, salah
satunya dengan pengungkapan corporate governance (Evianisa, 2014). Menurut Forum
for Corporate Governance In Indonesia (FCGI) dalam Evianisa (2014) mengenai
pengertian corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur
hubungan antara pemegeng saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegeng kepentingan intern dan eksteren lainnya
yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Corporate governance yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan, komite audit, dan kualitas
audit.

ensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai:

“agency relationship as a contract under which one or more person (the principals) engage
another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves
delegating some decision making authority to the agent”.

Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal)
memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta
memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika
kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai
perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara yang sesuai dengan
kepentingan prinsipal. Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang
saham (shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan
pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manejemen harus
mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham.

Hendriksen dan Van Breda (2002) dalam Setyawati (2010), hal yang mendasari konsep
teori keagenan muncul dari perluasan dari satu individu pelaku ekonomi informasi menjadi
dua individu. Salah satu individu ini menjadi agent untuk yang lain yang
disebut principal. Agent membuat kontrak untuk melakukan tugas-tugas tertentu
bagi principal, principal membuat kontrak untuk memberi imbalan
pada agent. Principal mempekerjakan agent untuk melakukan tugas untuk
kepentingan principal, termasuk pendelegasian otoritas pengambilan keputusan
dari principal ke agent. Analoginya mungkin seperti antara pemilik perusahaan dan
manajemen perusahaan itu. Para pemilik disebut evaluator informasi dan agen-agen
mereka disebut pengambil keputusan. Hubungan agensi dikatakan terjadi ketika terdapat
sebuah kontrak antara seseorang (atau beberapa orang), seorang prinsipal dan
seseorang (atau beberapa orang) lain, seorang agen untuk melakukan pelayanan bagi
kepentingan prinsipal mencakup sebuah pendelegasian wewenang pembuatan
keputusan kepada agen

Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa teori keagenan mendeskripsikan


pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan
pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat
keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib
mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham.

Karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan
antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang
paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Untuk memotivasi
agen maka prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat mengakomodasi kepentingan
pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang efisien adalah kontrak
yang memenuhi dua faktor, yaitu (1) Agen dan pinsipal memiliki informasi yang simetris
artinya baik agen maupun majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama
sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan
dirinya sendiri, dan (2) Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah
kecil yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang
diterimanya.

Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer berada
didalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai
perusahaan, sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan tidak pernah datang ke
perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat sedikit (Yushita, 2010). Hal ini
menyebabkan kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan agen dan
prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen sebagai pengendali perusahaan
pasti memiliki informasi yang lebih baik dan lebih banyak dibandingkan dengan prinsipal.
Di samping itu, karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka tindakan agen pun sangat
sulit untuk diamati. Dengan demikian, membuka peluang agen untuk memaksimalkan
kepentingannya sendiri dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering
disebut disfunctional behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik
memanfaatkan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, maupun perekayasaan
kinerja perusahaan.
Baik prinsipal maupun agen diasumsikan mementingkan diri sendiri yaitu, untuk
memaksimumkan utilitas subjektif mereka, tetapi juga menyadari kepentingan umum
mereka (Yushita, 2010). Efeknya, perusahaan dipandang sebagai sebuah tim yang terdiri
dari individu-individu yang anggotanya bertindak demi kepentingan sendiri tetapi
menyadari bahwa nasib mereka tergantung sampai tingkat tertentu pada kemampuan tim
untuk bertahan dalam kompetisinya dengan tim lain. Agen berusaha
memaksimumkan fee kontraktual yang diterimanya tergantung pada tingkat upaya yang
diperlukan. Prinsipal berusaha untuk memaksimumkan returns dari penggunaan sumber
dayanya tergantung pada fee yang dibayarkan kepada agen.

Masalah keagenan (agency problem) muncul ketika principal kesulitan untuk memastikan
bahwa agent bertindak untuk memaksimalkan kesejahteraan principal (Yushita, 2010).
Manajemen bersikap tidak membedakan terhadap risiko, sedangkan pemilik menghindari
risiko, tetapi manajemen dan bukan pemilik yang menanggung risiko dengan bayaran
tertentu. Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena prinsipal tidak dapat
memonitor aktivitas manajemen sehari-hari secara terus menerus untuk memastikan
bahwa manajemen bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal.

Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak
selalu berbuat sesuai dengan prinsipal sehingga memicu biaya keagenan (agency cost).
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan:

“agency cost as the sum of (1) the monitoring expenditures by the principal; (2) the
bonding expeditures by the agent; (3) the residual loss”.

Biaya keagenan didefinisikan sebagai jumlah dari biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk
melakukan pengawasan terhadap agen. Hampir mustahil bagi perusahaan untuk
memiliki zero agency cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil keputusan
yang optimal dari pandangan shareholders karena adanya perbedaan kepentingan yang
besar diantara mereka. Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya keagenan ini
menjadi monitoring cost, bonding cost dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya
yang timbul dan ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk
mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent. Bonding cost merupakan biaya
yang ditangung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin
bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal. Selanjutnya residual
loss merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai
akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal.

Scott (2000) menyatakan bahwa inti dari Agency Theory atau teori keagenan adalah
pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen
dalam hal terjadi konflik kepentingan. Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam
kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak
dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja
merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik
yang berupa keuntungan, return maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan
agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu
menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan
pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus
yang memuaskan dari prinsipal ke agen.

Menurut teori keagenan, salah satu cara yang diharapkan dapat menyelaraskan tujuan
prinsipal dan agen adalah melalui mekanisme pelaporan (Luayyi, 2010). Informasi
merupakan salah satu cara untuk mengurangi ketidakpastian, sehingga memberi akuntan
peran yang penting dalam membagi risiko antara manajer dan pemilik. Eisenhardt (1989)
menyatakan bahwa teori keagenan menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu,
manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), manusia memiliki daya
pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rasionality), dan manusia
selalu menghindari risiko (risk averse). Agent mempunyai lebih banyak informasi
mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan.
Sedangkan principal tidak mempunyai informasi yang cukup tentang kinerja agent. Ketika
tidak semua keadaan diketahui oleh semua pihak dan sebagai akibatnya, ketika
konsekuensi-konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan oleh pihak-pihak tersebut, hal
ini mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki
oleh principal dan agent. Ketidakseimbangan informasi ini disebut asimetri informasi
(information asymmetries).

Ketidakseimbangan informasi atau asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi
antara principal dan agent mendorong agent untuk menyajikan informasi yang tidak
sebenarnya kepada principal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan
pengukuran kinerja agent. Penelitian Richardson (1998) dalam Halim (2005)
menunjukkan adanya hubungan antara asimetri informasi dengan manajemen laba.
Ketika asimetri informasi tinggi, stakeholder tidak memiliki sumber daya yang cukup,
insentif, atau akses atas informasi yang relevan untuk memonitor tindakan manajer,
dimana hal ini memberikan kesempatan atas praktek manajemen laba. Adanya asimetri
informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya
terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer. Asimetri
informasi antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan
kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management)
dalam rangka menyesatkan pemilik mengenai kinerja ekonomi perusahaan (Ujiyantho
dan Pramuka, 2007). Namun dalam konteks penelitian ini asimetri informasi yang
digunakan untuk melakukan manajemen laba dapat menyesatkan Bank Indonesia
sebagai pengguna informasi keuangan dalam rangka menentukan apakah bank umum
tersebut sehat dan layak untuk beroperasi.

11. TEORI STEWARDSHIP

STEWARDSHIP THEORY
Teori stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi dimana para manajer tidaklah
termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka untuk
kepentingan organisasi, sehingga teori ini mempunyai dasar psikologi dan sosiologi yang telah
dirancang dimana para eksekutif sebagai steward termotivasi untuk bertindak sesuai keinginan
prinsipal, selain itu perilaku steward tidak akan meninggalkan organisasinya sebab steward berusaha
mencapai sasaran organisasinya. Teori ini didesain bagi para peneliti untuk menguji situasi dimana
para eksekutif dalam perusahaan sebagai pelayan dapat termotivasi untuk bertindak dengan cara
terbaik pada principalnya (Donaldson dan Davis, 1989, 1991).
Pada Stewardship Theory, model of man ini didasarkan pada pelayan yang memiliki perilaku
dimana dia dapat dibentuk agar selalu dapat diajak bekerjasama dalam organisasi, memiliki perilaku
kolektif atau berkelompok dengan utilitas tinggi daripada individunya dan selalu bersedia untuk
melayani. Pada teori stewardship terdapat suatu pilihan antara perilaku self serving dan pro-
organisational, perilaku pelayan tidak akan dipisahkan dari kepentingan organisasi adalah bahwa
perilaku eksekutif disejajarkan dengan kepentingan principal dimana
para steward berada. Steward akan menggantikan atau mengalihkan self serving untuk berperilaku
kooperatif. Sehingga meskipun kepentingan antara steward dan principal tidak sama, steward tetap
akan menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Sebabsteward berpedoman bahwa terdapat utilitas yang
lebih besar pada perilaku kooperatif, dan perilaku tersebut dianggap perilaku rasional yang dapat
diterima.
Mengacu pada teori stewardship, perilaku steward adalah kolektif,
sebab steward berpedoman dengan perilaku tersebut tujuan organisasi dapat dicapai. Misalnya
peningkatan penjualan atau profitabilitas. Perilaku ini akan menguntungkan principal
termasuk outside owner (melalui efek positif yang ditimbulkan oleh laba dalam bentuk deviden
dan shareprices), hal ini juga memberikan manfaat pada status manajerial, sebab tujuan mereka
ditindak lanjuti dengan baik olehsteward. Para ahli teori stewardship mengasumsikan bahwa ada
hubungan yang sangat kuat antara kesuksesan organisasi dengan kepuasan
principal. Stewardmelindungi dan memaksimumkan shareholder melalui kinerja perusahaan, oleh
karena itu fungsi utilitas steward dimaksimalkan.
Steward yang dengan sukses dapat meningkatkan kinerja perusahaan akan mampu
memuaskan sebagian besar organisasi yang lain, sebab sebagian besar shareholder memiliki
kepentingan yang telah dilayani dengan baik lewat peningkatan kemakmuran yang diraih organisasi.
Oleh karena itu, steward yang pro organisasi termotivasi untuk memaksimumkan kinerja perusahaan,
disamping dapat memberikan kepuasan kepada kepentingan shareholder.

B. Faktor-Faktor yang membedakan antara Agency Theory dan Stewardship Theory


1. Faktor Psikologi
Dalam hubungannya dengan faktor psikologi, perbedaan mendasar antara Agency
Theory dan Stewardship Theory dapat ditelusuri pada perbedaan model of man. Menurut Agency
Theory, manusia adalah dasar atau akar dalam rasionalitas ekonomi. Pandangan atas economic
man sebagai sesuatu penyederhanaan mengenai tingkah laku manusia atas suatu argumentasi more
complex and humanistic model of man, dapat memperjelas adanya hubungan dengan teori organisasi
(Argyris, 1973, Simon 1957).
Argyris mendukung the model of man yang dikarakteristikkan sebagai self-actualizing man. Model ini
didasari atas suatu pendapat bahwa manusia mempunyai kebutuhan untuk berkembang sesuai
kebutuhan melebihi dari keadaan sekarang dan akan mencapai level yang paling tinggi dengan
sukses dan diasumsikan secara ekonomi manusia dipandang sebagai orang yang dibatasi oleh
kemampuan untuk mencapai full potensial. Perbedaan khusus yang relevan antaraAgency
Theory dan Stewardship Theory difokuskan pada motivasi, identifikasi dan penggunaan power dalam
konteks hubungan hirarki.
a. Motivasi
Perbedaan utama antara Agency Theory dan Stewardship Theory difokuskan pada motivasi
ekstrinsik dan intrinsik. Agency Theory difokuskan padaektrinsic reward: nyata, komoditi yang dapat
dipertukarkan dan mempunyai ukuran nilai pasar. Ekstrinsik reward didasarkan pada sistem
penghargaan yang menggambarkan mekanisme pengendalian pada teori agency.
Stewardship Theory difokuskan pada intrinsic reward (penghargaan yang hakiki) yang tidak dapat
diubah dengan mudah. Penghargaan ini merupakan kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan,
prestasi, asosiasi, dan aktualisasi diri. Pada titik terendah dalam hubungan stewardship pada
hakikatnya memotivasi untuk bekerja keras untuk kepentingan organisasi dengan penghargaan yang
tidak nyata. Stewardship lebih difokuskan pada tingginya kebutuhan pada hierarki Maslow (1970),
kebutuhan untuk berkembang (Alderfer, 1972) atas prestasi dan kebutuhan untuk berkumpul oleh Mc
Clelland (1975) dan Mc Cregor (1906).
Dalam hubungannya dengan motivasi pekerja, model karakteristik
jabatan Hockman dan Oldhan (1975,1976,1980) mengemukakan bahwa ada tiga keadaan yang
bersifat psikologi yaitu pengalaman memahami pekerjaan, pengalaman bertanggungjawab atas hasil,
dan pemahaman atas hubungan yang nyata. Berdasarkan teori tersebut, dapat dikembangkan dua
proposisi yaitu :
Proposisi 1 : Orang yang dimotivasi oleh order kebutuhan yang lebih tinggi akan lebih suka
menjadi steward dalam hubungan steward-principal, daripada orang yang tidak termotivasi oleh order
kebutuhan yang lebih tinggi.
Proposisi 2 : Orang yang dimotivasi oleh faktor intrinsik akan lebih suka menjadi steward dalam
hubungan steward-principal, daripada orang yang dimotivasi oleh faktor ekstrinsik.

b. Identifikasi
Seorang manajer dapat diidentikan dengan orang yang bekerja untuk mencapai tujuan organisasi,
memecahkan masalah dan mengatasi rintangan, mencegah dan menyelesaikan tugas. Dan beban
yang diberikan kepadanya dengan sukses (Bass,1960). Individu-individu diidentikkan dengan
organisasi, mereka lebih siap diajak bekerja sama, altruastik dan spontan berperilaku sebagai bagian
dari organisasi yang tidak terlalu mengharapkan imbalan (Mowday, Potter dan Steer, 1982). Oleh
karena itu manajer dapat memotivasi dan memberikan wewenang untuk pelaksanaan pekerjaan,
dengan menggunakan inisiatif untuk memajukan organisasi dan prinsipalnya.
Konsepnya diatas diidentikan sebagai komitmen organisasi, yaitu adanya individu-individu
tangguh dan termasuk dalam unsur utama organisasi (Porter, dkk, 1974). Mayer dan Schoorman
(1992), menyatakan bahwa karakteristik komitmen organisasi sebagai suatu bangunan multidimensi
yang berisi pengulangan komitmen yang disebut “belief individu and acceptance of goal of the
organization”. Dalam teori agency nilai komitmen tidak memiliki nilai ekonomis dan tidak relevan
untuk dijadikan sebagai exchange agreement.
Berdasarkan teori tersebut diajukan dua proposisi :
Proposisi 3 : Orang yang mempunyai identifikasi tinggi dengan organisasi akan lebih suka
menjadi steward hubungan steward-principal, daripada orang yang mempunyai identifikasi rendah
dengan organisasi.
Proposisi 4 : Orang yang tinggi dalam komitmen nilai akan lebih suka menjadi steward dalam
hubungan steward-principal, daripada orang yang rendah dalam komitmen nilai.
c. Penggunaan Kekuasaan
Kekuasaan aspek penting yang menghubungkan antara prinsipal dan manajer. Manajer
menerima kepuasan dari dan oleh motivasi dengan menggunakan kekuasaan (Mc Clelland, 1970).
Menurut Mc Celland dan Burham (1976), motif kekuasaan adalah daya gerak psikologi yang
diperlukan untuk prestasi dan dapat mendukung tujuan organisasi.
Sistem pemberian intensif dan pengakuan atas wewenang yang diberikan merupakan gabungan
prinsip yang diperlukan dalam pengawasan. Kekuatan personal melekat pada individu dalam konteks
hubungan antara individu, yang tidak dipengaruhi oleh posisinya. Keahlian dan kelebihan kekuasaan
merupakan karakteristik personal power, dimana kelebihan suatu individu dalam bekerja
dibandingkan dengan individu lainnya. Kekuatan personal merupakan dasar yang mempengaruhi
dasar pertanggungjawaban hubungannya dengan prinsipal.
Berdasarkan teori tersebut diajkan proposisi :
Proposisi 5 : Orang yang lebih suka menggunakan personal power sebagai dasar untuk
mempengaruhi lainnya akan lebih suka menjadi steward dalam hubungansteward-prinsipal, daripada
orang yang menggunakan power institusional.

2. Faktor Situasional
a. Filosofi Manajemen
Filosofi manajemen yang digunakan dalam hubungannya dengan Stewardship Theory adalah
filosofi manajemen yang berorientasi pada keterlihatan. Filosofi ini konsisten dengan Argyris (1973)
yang menyatakan bahwa desain organisasi yang didasarkan pada asumsi ekonomi menciptakan
pemenuhan sendiri yang diperkirakan menghasilkan perilaku yang konsisten dengan asumsi. Jika
mengikuti alasan ini, evolusi manajemen yang berorientasi keterlibatan adalah lebih dominan dalam
model yang mengarah pada timbulnya perilaku yang lebih konsisten dengan Stewardship Theory.
Proposisi 6 : Orang yang ada dalam situasi yang berorientasi keterlibatan lebih mungkin
menjadi steward dalam hubungan steward prinsipal dari pada orang ada dalam situasi yang
berorientasi pengendalian (control).

b. Budaya
Paham individual - kolektif merupakan aspek budaya yang berpengaruh dalam memilih
hubungan agen dan stewardship. Paham individual karakteristiknya ditekankan pada tujuan-tujuan
personal diluar tujuan kelompok. Paham kolektif ditekankan pada tujuan-tujuan personal subordinat
pada tujuan-tujuan kolektif. Dalam budaya kolektif, seorang merupakan bagian anggota dari suatu
group misalnya keluarga, universitas, organisasi. Sikap individual melihat pertentangan sebagai
kesempatan untuk melakukan pekerjaan dan komunikasi diadakan secara langsung, dan berorientasi
jangka pendek, tingkah laku bisnis tidak tergantung pada hubungan personal, memakai analisis cost
benefit (model ekonomi) untuk mengevaluasi bisnis dan mengurangi resiko pada kontrak bisnis.
Proposisi 7 : Seseorang dalam budaya kolektif lebih suka untuk mengembangkan
relationship steward prinsipal dari pada orang yang berada dalam budaya individualistic.

c. Rentang Kekuasaan
Secara umum didefinisikan sebagai perluasan powerfull anggota-anggota institusi dan
organisasi dimana suatu negara mengharapkan dan menerima distribusi kekuasaan yang tidak
seimbang. Dalam budaya yang pasti, terdapat perbedaan kekuasaan antara anggota yang lebih
besar tetapi mereka menerima dan toleran terhadap perbedaan budaya tersebut. Budaya rentang
kekuasaan yang tinggi cocok digunakan untuk mengembangkan hubungan keagenan karena budaya
seperti ini mendukung dan melegitimasi ketidaksamaan inherent antara prinsipal dan agen.
Sedangkan budaya rentang kekuasaan rendah cocok digunakan untuk mengembangkan
hubungan leadership karena anggotanya menempatkan nilai yang lebih besar pada kesetaraan dari
sesuatu yang esensial pada prinsipal dan manager.
Proposisi 8 : Seseorang dalam budaya rentang kekuasaan rendah lebih memungkinkan untuk
mengembangkan relationship steward prinsipal daripada orang yang berada pada budaya rentang
kekuasaan tinggi.
Perbandingan Teory Agency dan Teori Stewardship
Teori Agency Teori Stewardship
Model manusia Berorientasi ekonomi Aktualisasi diri
Perilaku Melayani diri sendiri Melayani orang lain.
Mekanisme psikologi : Kebutuhan yang lebih rendah Kebutuhan yang lebih tinggi
· Motivasi (psikologi, keamanan, ekonomi) (pertumbuhan, prestasi, aktualisasi
· Perbandingan Sosial Ekstrinsik diri)
· Identifikasi Manajer Intrinsik
· Kekuasaan Menilai Komitmen Rendah Prinsipal
(legitimasi, memaksa, reward) Menilai Komitmen Tinggi
Institusional (pakar, referen)
Perseorangan
Mekanisme situasional: Berorientasi pengawasan Berorientasi partisipasi
· Filosofi manajemen Mekanisme kontrol Kepercayaan
· Orientasi resiko Jangka pendek Jangka panjang
· Kerangka waktu Pengawasan biaya Perbaikan kinerja
· Tujuan Individualis Kebersamaan
· Perbedaan Budaya Rentang kekuasaan tinggi Rentang kekuasaan rendah

C. Pilihan antara Hubungan Agency dan Stewardship


Telah disajikan suatu model yang menduga bahwa ada faktor psikologis dan situasional yang
mempengaruhi individu dalam pendekatan hubungan agencydan stewardship. Pilihan antara
hubungan kegiatan dan stewardship sama dengan keputusan yang merupakan
dilema. Pertama, keputusan dibuat oleh pihak-pihak yang ada dalam hubungan
tersebut. Kedua, karakteristik situasional berpengaruh terhadap pilihan. Dan ketiga, harapan bahwa
masing-masing pihak mempunyai yang lain akan mempengaruhi pilihan.
Proposisi : Jika suatu hubungan stewardship yang timbal balik ada, maka kinerja potensial dapat
dimaksimalkan, sebaliknya jika hubungan agency yang ada, biaya potensial dapat diminimalkan dan
jika pilihan motivasinya campuran, pihak yang memilih stewardship akan dikhianati dan pihak yang
memilih aktivitas adalah pihak-pihak yang mencari kesempatan.
Keterangan :
1. Ketika prinsipal ataupun manajer memilih hubungan agency, hasilnya adalah hubungan
prinsipal-agency yang nyata yaitu mencapai harapan masing-masing. Hubungan agency
didesain untuk meminimalkan kerugian yang potensial timbul dari masing-masing pihak.
Dengan demikian kedua pihak mempunyai kesamaan harapan dari hubungan tersebut dan
biaya terkontrol.
2. Jika principal memilih hubungan steward dan manajer memilih hubungan agency maka
manajer akan bertindak mencari keuntungan sendiri dan mengambil manfaat dari principal.
Seorang manajer yang berprofil psikhologis demikian akan berperilaku layaknya “serigala
dalam kandang ayam” dan akan mencari kepuasan sendiri dari organisasi atau principal.
Situasi tersebut tercipta karena principal memberi kekuasaan agen bekerja hanya untuk
melayaninya. Dengan demikian, profit secara psikologis dari manajer keluar dari
keharmonisan yang diciptakan principal. Principal akan merasa dikhianati dan marah, dan
pada akhirnya memperketat pengawasan, menarik dari situasi tersebut, atau berusaha
memberhentikan manajer. Saat dua pihak individual terlibat, pilihan yang tepat adalah
hubungan agency. Namun jika beorientasi pada kebersamaan, saat masing-masing pihak
menyatukan tujuan pribadinya, maka hubungan stewardship yang dipilih.
3. Dilema terjadi karena adanya kemungkinan perbedaan pilihan dari masing-masing pihak. Jika
prinsipal memilih hubungan agency dan manajer memilih hubungan stewardship, hasilnya
akan menimbulkan rasa frustasi bagi manajer yang merasa dikhianati principal. Steward
diawasi seolah-olah mereka agent, mereka tidak dapat menikmati tipe imbalan internal yang
diinginkan (contohnya pertumbuhan, pencapaian, atau aktualisasi diri) dan pada akhirnya
mereka berperilaku anti terhadap organisasi (Argryls, 1964)
4. Principal dan manajer memilih hubungan stewardship, hasilnya adalah hubungan principal-
steward yang nyata didesain untuk memaksimalkan kinerja potensial dari kelompok.

12. TEORI ORGANISASI (MINTZBERG)


Desain Organiasi (Mintzberg)
ELEMEN – ELEMEN UMUM DALAM ORGANISASI
1. The operating core
unsur pelaksana yaitu pegawai yang melakukan pekerjaan dasar berhubungan dengan
produksi & jasa.
2. The strategic apex
unsur strategis pimpinan puncak yg bertanggung jawab terhadap keseluruhan
organisasi.
3. The middle line
unsur kelompok menengah para pimpinan yang menjadi penghubung kelompok
pelaksana dengan kelompok strategis.
4. The techno structure
unsur kelompok analis yg bertanggung jawab pada adanya SOP (standard operating
prosedure )
5. The support staff
unsur kelompok orang-orang yang mengisi unit staff yang memberi jasa pendukung
tidak langsung pada organisasi
STRUKTUR SEDERHANA
Konsep Utama

 Tidak rumit
 Kompleksivitas rendah
 Sedikit formalisasi
 Kewenangan disentralisasi pada seseorang
 Organisasi yang datar
 Operating sore yang organik, semua orang melapor kepada seorang di
strategic apex sebagai pengambil keputusan
 Mirip toko pengecer kecil dengan karyawan tokonya
Kekuatan dan Kelemahan
Kekuatan :

 Kesederhanaannya membuat struktur ini cepat, fleksibel dan membutuhkan


sedikit biaya untuk pemeliharaannya
 Pertanggungjawabannya jelas
 Ketidakpastian tujuan minimal karena pera anggota mudah
mengidentifikasikan diri denga cepat pada misi organisasi
 Cukup mudah untuk melihat bagaimana tindakan anggota memberi
sumbangan terhadap tujuan organisasi
Kelemahan :

 Penggunaannya terbatas
 Pada besaran organisasi yang bertambah maka struktur tidak dapat
memenuhi kebutuhan
 Konsentrasi kekuatan hanya pada seseorang
 Rawan penyalahgunaan kewenangan
 Paling beresiko karena hanya bergantung pada satu individu

Penggunaan Struktur Sederhana

 Efektif jika digunakan dalam organisasi masih kecil/ tahap pengembangan


 lingkungan organisasi sederhana dan dinamik
 organisasi menghadapi serangan/ krisis
 manajer senior menjadi pemilik
 Eksekutif senior inging menyimapn kekuasaan/ memiliki kekuasaan yang
dilimpahkan ke bawahannya

BIROKRASI MESIN
Konsep Utama

 Memiliki konsep utama Standarisasi


 Technostructure adalah bagian terpenting dalam organisasi
 Tugas operasi rutin sangat tinggi
 Peraturan sangat diformalisasi, meresap disetiap struktur
 Tugas dikelompokkan ke departemen fungsional
 Sentralisasi kewenangan
 Pengambilan keputusan dengan rantai komando
 Struktur administrasi rumit
 Perbedaan tajam aktivitas staf dan lini
 Contoh : bank, kantor pos, pabrik mobil

Kekuatan dan kelemahan birokrasi mesin


Kekuatan

 “ standarisasi yang dibuat menghasilkan efisiensi“


 Karena tercipta economis of scale, minimalisasi duplikasi personalia dan alat,
“bahasa sama”dalam pekerjaan
 Standarisasi di organisasi memudahkan operasionalisasi sehingga biaya opesional
lebih murah
 Keputusan diambil dengan sentralisasi shg tidak ada kebutuhan pengambilan
keputusan yang inovatif & berpengalaman di bawah tingkat eksekutif senior

Kelemahan

 Spesialisasi menimbulkan konflik antar unit shg bisa terjadi tujuan fungsional unit
mengalahkan tujuan keseluruhan organisasi
 Perhatian lebih banyak ke peraturan, bila ada masalah yang tidak secara tepat sesuai
peraturan maka tidak ada tempat untuk modifikasi

Penggunaan Birokrasi Mesin

 Organisasi besar
 Lingkungan stabil dan sederhana
 Teknologi berupa pekerjaan rutin yang bisa distandarisasi

BIROKRASI PROFESIONAL
Konsep Utama

 Adalah organisasi dengan konfigurasi tenaga spesialis yang terlatih di


operating core
 Gabungan standarisasi dan desentralisasi
 Contoh : RS, Universitas
 Kebutuhan desain organisasi menyandarkan diri pada spesialisasi sosial dari
pada fungsional, yaitu spesialisasi yang didasarkan kemampuan individu
bukan pembagian kerja

Kekuatan & kelemahan birokrasi profesional


Kekuatan

 Operating core, karena desain ini punya kemampuan kritis yang diberikan
secara desentralisasi untuk menerapkan keahliannya
 Desain ini dapat mengerjakan tugas yang terspesialisasi dengan sangat
terlatih, efisien

Kelemahan

 Cenderung timbul konflik antar unit, berbagai profesional mengejar tujuan


sempit masing-masing
 Para profesional kompulsif dalam tekadnya mengikuti aturan (yang dibuat
mereka sendiri) : misalnya dokter, standar prof. nya akan menghambat
organisasi bila std. itu kaku/tidak fleksibel

Penggunaan Birokrasi Profesional

 Organisasi besar
 Lingkungan stabil & kompleks
 Teknologi rutin yang diinternalkan lewat profesionalisme
 Operating core –nya adalah profesional terampil

STURKTUR DIVISIONAL
Konsep utama

 Kekuasaan di manajemen tengah, karena sebenarnya desain ini adalah


desain dimana sejumlah unit yang otonom masing-masing secara khas
adalah birokrasi mesin yang dikoord. Secara sentral dari pusat
 Divisi itu berdiri sendiri, manajemen tengah diberi kewenangan & kontrol
yang cukup besar
 Manager divisi bertanggung jawab atas prestasi dan berwenang penuh pada
pengambilan keputusan strategis dan operasional
 Divisi itu mewakili sekelompok perusahaan kecil yang didesain dengan
birokrasi mesin
 Divisi tersebut cenderung diorganisasi ke dalam kelompok fungsional
dengan pembagian kerja dan formalisasi yang tinggi

Kekuatan & kelemahan stuktur divisional


Kekuatan

 Menempatkantanggungjawab penuh bagi sebuah produk barang/ jasa di


tangan manager divisi dan memberi lebih banyak tanggung jawab dan
memfokuskan diri pada hasil dibanding hanya pada birokrasi mesin
 Staf kantor pusat bebas dari rincian keg. Rutin shg lebih fokus ke masalah
jangka panjang
 Desain ini baik untuk litbang manager umum
 Desain ini memungkinkan bahwa unit otonom dapat dipotong dengan
dampak minimal terhadap keseruhan organisasi, prestasi tidak efektifdari
satu divisi memiliki dampak sedikit terhadap divisi lain
 Kekuatan RIIL- nya : terciptanya bisnis yang berdiri sendiri dalam sebuah
bisnis, divisi-divisi dapat memberi respons, tanggungjawab dan mendapat
manfaat dari spesialisasi dan mampu memproses informasi shg mereka
seolah-olah adl. Org. sendiri

Kelemahan

 Duplikasi kegiatan dan Sumber daya & biaya operasional meningkat shg
efisiensi turun
 Kecenderungan tibulnya konflik
 Masalah koordinasi, pegawai sering tidak dapat ditransfer khususnya bila
divisi beroperasi pada produk/ jasa berbeda shg pleksibilitas dan koord.
Kurang
 Potensil kompetisi antar divisi bila ada dalam atau di dekat “pasar yang
sama”
 Persaingan antar divisi dalam pengembangan produk potensial timbul
Syndrome NDH (Not Developed Here) : inovasi yang dikembangkan oleh
sebuah divisi yang kemudian diperintahkan kantor puast untuk
dilembagakan di semua divisi gagal. Persaingan ini dan proteksi teritorial
oelh divisi secara individual dapat membuat kantor pusat sukar melakukan
koord.

Penggunaan Struktur Divisional


 Ada keanekaragaman produk dan pasar
 Organisasi punya strategi diversifikasi menjadi organisasi multiproduk/
multi pasar
 Peningkatan besaran organisasi
 Semua teknologi tidak cocok dengan bentuk divisionalshgteknologi
organisasi harus dapat dibagi-bagi agar bisa diaplikasikan
 Lingkungan mempengaruhi preferensi, st. divisional paling baik bila lingk.
Tidak kompleks dan tidak dinamis, karena lingk. Yang kompleks dan
dinamis dihub. Dgn. Proses dan output yang tidak terstandarisasi, tapi
bentuk divisional memiliki kesamaan dengan bir. Mesindalam
penekanannya pada standarisasi (divisional cenderung mempunyai lingk.
Sederhana dan stabil)

ADHOCRACY
Konsep Utama
 Diferensiasi horisontal tinggi dan vertical rendah
 Formalisasi rendah
 Desentralisasi, fleksibilitas dan daya tanggap tinggi
 Perbedaan dengan birokrasi profesional : bila dihadapkan masalah pada
adhocracy sebuah pemecahan yang baru dibutuhkan shg stand. &
formalisasi tidak tepat
 Stand. , formalisasi dan technostructure hampir tidak ada  garis tradisional
supervisor dan pegawai, tidak jelas
 Adhocracy adalah konsep hubungan, para spesialis dikelompokkan menjadi
TIM yang flaksibel dengan sedikit peraturan yang distandarisasi, koord.
Melalui mutual adjusment (saling penyesuaian)

Kekuatan & kelemahan Adhocracy


Kekuatan

 Cepat tanggap terhadap perubahan, inovasi dan memungkinkan koord. Dari


berbagai spesialisasi
 Jika organisasi perlu adaptasi dan kreatif, jika spesialis dari berbagai ilmu
diperlukan untuk bekerja sama, bila tugasnya teknis, tidak terprogram,
terlalu kompleks untuk ditangani satu orang maka adhocracy alternatif yang
dapat dipakai

Kelemahan

 Potensial konflik
 Menciptakan tekanan sosial dan ketegangan psikologis
 Tidak efisien

Penggunaan Adhocracy
 Strategi keanekaragaman, perubahan dan atau resiko tinggi menuntut
fleksibilitas inilah yang memerlukan adhocracy.
 Teknologi non rutin memerlukan adhocracy.
 Teknologi tersebut sedikit formalisasi, menyandarkan diri pada keahlian
profesional untuk memberi tanggapan tepat.
 Lingkungan dinamis dan kompleks.
 Lebih disukai di tahap permulaan daur hidup organisasi
 Contoh : lembaga penelitian angkasa luar

13. FAMILY CARE GIVING


Pendamping / Caregiver Pengertian caregiver adalah seorang Individu yang secara umum
merawat dan mendukung individu lain (pasien) dalam kehidupannya merupakan caregiver (Awad dan
Voruganti, 2008 : 87). Caregiver mempunyai tugas sebagai emotional support, merawat pasien
(memandikan, memakaikan baju, menyiapkan makan, mempersiapkan obat), mengatur keuangan,
membuat keputusan tentang perawatan dan berkomunikasi dengan pelayanan kesehatan formal
(Kung, 2003: 3). Caregiver terdiri dari formal dan tidak formal. Caregiver formal merupakan perawatan
yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga profesional lainnya yang
diberikan dan melakukan pembayaran. Sedangkan caregiver yang tidak formal merupakan perawatan
yang dilakukan di rumah dan tidak profesional dan tanpa melakukan pembayaran seperti keluarga
penderita yaitu istri/suami, anak perempuan/laki-laki, dan anggota keluarga lainnya. (Sarafino,2006 :
55) Caregiver dan carer adalah istilah yang sering digunakan untuk mengambarkan orang yang
melakukan perawatan pada orang yang mengalami keterbatasan. Caregiver pada masyarakat
Indonesia umumnya adalah keluarga, dalam hal ini adalah pasangan, anak, menantu, cucu atau
saudara yang tinggal satu rumah. Suatu keluarga terdiri dari dua individu 19 atau lebih yang berbagi
tempat tinggal atau berdekatan satu dengan lainnya; memiliki ikatan emosi, terlibat dalam posisi
sosial; peran dan tugas-tugas yang saling berhubungan; serta adanya rasa saling menyayangi dan
memiliki ( Murray & Zentner, 1997 da, 1998 dalam Allender & Spradley, 2001 :85). Macam –macam
caregiver antara lain : 1. Caregiver diabetes 2. Caregiver stroke 3. Caregiver Lansia 4. Caregiver
alzheimer 5. Caregiver Skizorenia.

14. THEORY OF UNCERTAINTY IN ILNESS (KETIDAKPASTIAAN


SAKIT)
15. TRANSTHEORETICAL MODEL

DEFINISI TRANSTHEORETICAL MODEL


Transtheoretical Model adalah perubahan perilaku atas kesiapan individu untuk memiliki
tindakan yang lebih sehat, memberikan strategi, atau proses perubahan untuk memandu
individu untuk berperilaku sehat melalui tahapan perubahan dan pemeliharaan kesehatan.
Model ini menjelaskan bagaimana individu memodifikasi perilaku yang menjadi masalah dan
memperoleh perilaku positif. Transtheorical model adalah model yang fokus pada pembuatan
keputusan oleh individu. Asumsi dasar model ini adalah pada dasarnya individu tidak dapat
merubah perilaku dalam waktu yang singkat, terutama pada perilaku yang menjadi kebiasaan
sehari-hari. Terdapat lima tahapan menuju perubahan bagi individu: Pre-contemplation,
Contemplation, Preparation, Action, dan Maintanance.
Model transteoritikal merupakan model biopsikososial yang integratif, mengenai
perubahan perilaku yang disengaja.Tidak seperti model ataupun teori perilaku lainnya yang
eksklusif hanya terfokus pada dimensi tertentu, seperti pengaruh sosial atau biologi.
Model ini juga berupaya menyatukan dan mengintegrasikan konstruksi kunci dari
beberapa teori menjadi suatu model perubahan perilaku yang komperhensif agar dapat
digunakan dalam beragam perilaku, populasi dan keadaan (pengobatan, upaya pencegahan,
atau upaya pembuat kebijakan).
The Transtheoretical Model menurut Prochaska dan DiClemente (1983) adalah suatu
model yang integratif tentang perubahan perilaku. Kunci pembangun dari teori lain yang
terintegrasi. Model ini menguraikan bagaimana orang-orang memodifikasi perilaku masalah
atau memperoleh suatu perilaku yang positif dari perubahan perilaku tersebut.
Model ini adalah suatu perubahan yang disengaja untuk mengambil suatu keputusan
dari individu tersebut. Model melibatkan emosi, pengamatan dan perilaku, melibatkan pula
suatu kepercayaan diri.
Model ini dikembangkan dari pengalaman dalam pelaksanaan program yang
berhubungan dengan perilaku merokok dan pemakaian obat-obatan terlarang. Program ini
meneliti perubahan sebagai sesuatu proses dan mengakui bahwa tiap orang memiliki tingkat
kesediaan atau motivasi yang berbeda untuk berubah. Transtheoretical model mengemukakan
enam tahap (stage) terpisah. Melalui tahap-tahap ini, seseorang dapat berubah ke arah perilaku
sehat jangka panjang yang positif. Enam tahap tersebut adalah:
1. Pra Kontemplasi (belum menyatakan/ belum siap untuk berubah)
2. Kontemplasi (mempertimbangkan untuk berubah)
3. Persiapan (komitmen yang serius untuk berubah)
4. Aksi (perubahan di mulai)
5. Pemeliharaan ( mempertahankan perubahan)

Tahap Perubahan menurut Transtheoretical model


 Pra Perenungan (Precontemplation)

Pada tahap ini seseorang tidak peduli untuk melakukan aksi terhadap masa depan
yang dapat diperkirakan. Pengukuran biasanya diukur dalam enam bulan berikutnya.Rasa
ketidakpedulian ini terjadi disebabkan oleh kurang tahunya mengenai konsekuensi suatu
perilaku.
 Perenungan (Contemplation)

Pada tahap ini seseorang peduli untuk berubah pada enam bulan
berikutnya.Individu lebih peduli dalam kemungkinan perubahan.Akan tetapi, seringkali
peduli terhadap konsekuensi secara akut.

 Persiapan (Preparation)

Pada tahap ini seseorang peduli melakukan aksi dengan secepatnya di masa
mendatang.Pengukuran dilakukan biasanya pada bulan berikutnya.Seseorang pada
tahap ini secara khusus melakukan beberapa aksi yang signifikan pada tahun
sebelumnya.

 Aksi (Action)

Tahap dimana seseorang telah melakukan modifikasi spesifik pada gaya hidupnya
selama enam bulan terakhir. Pada tahap ini aksi sudah dapat diamati. Dalam
transtheoretical model, aksi hanya ada sekali dari lima tahap dan tidak semua modifikasi
perilaku disebut aksi.

 Pemeliharan (Maintenance)

Pada tahap yang terakhir ini seseorang berupaya untuk mecegah munculnya
perilaku yang tidak diinginkan. Akan tetapi seringkali seseorang tidak menerapkan proses
perubahan aksinya.

APLIKASI TRANSTHEORETICAL MODEL

Model ini sebelumnya telah diterapkan dalam berbagai masalah perilaku. Berhenti
merokok, olahraga, diet rendah lemak, pengujian radon, penyalahgunaan alkohol,
mengontrol berat badan, penggunaan kondom untuk perlindungan HIV, perubahan
organisasi, penggunaan tabir surya untuk mencegah kanker kulit, penyalahgunaan obat,
kepatuhan medis, skrining mamografi, dan manajemen stres. Salah satu contoh yang akan
dijelaskan secara rinci adalah berhenti merokok.

1. Pra kontemplasi: Perokok cenderung menghindari membaca, berbicara atau berpikir


tentang bahaya rokok.
2. Kontemplasi: Orang tersebut (perokok) sudah mulai mengetahui atau menyadari
bahwa perilaku yang ia miliki adalah sebuah masalah dan mulai melihat keuntungan
dan kerugian yang bisa ditimbulkan jika ia tetap melakukan perilaku tersebut.
3. Persiapan: Orang tersebut sudah mulai memiliki keinginan untuk melakukan
perubahan perilaku dan mungkin ia mulai dari sesuatu yang kecil, seperti perlahan-
lahan mengurangi jumlah rokok yang biasanya dihabiskan
4. Aksi: Perokok sudah memulai untuk tidak merokok lagi.
5. Pemeliharaan: Perokok mempertahankan untuk tidak merokok lagi walaupun
kadang terdapat godaan.

Aplikasi transtheoritical model juga dapat dilakukan pada program diet seseorang.
Dengan tahap-tahapannya adalah:

1. Pra kontemplasi: Awalnya orang yang memiliki bentuk tubuh kurang ideal dan
memiliki permasalahan dalam kesehatan tubuh menghindari segala promosi
program diet. Bahkan, terkesan tidak percaya dengan segala program diet yang
ada.
2. Kontemplasi: Orang tersebut sudah mulai mengetahui atau menyadari bahwa
perilaku yang ia miliki adalah sebuah masalah dan mulai melihat keuntungan dan
kerugian yang bisa ditimbulkan jika ia tetap melakukan perilaku tersebut.
3. Persiapan: Orang tersebut sudah mulai memiliki keinginan untuk melakukan
perubahan perilaku dan mungkin ia mulai dari sesuatu yang kecil, seperti perlahan-
lahan membenahi pola makan dan melakukan olahraga meski belum rutin.
4. Aksi: Pemilik tubuh yng kurang ideal sudah memulai untuk mengatur pola makan dan
melakukan olahraga rutin.
5. Pemeliharaan: Orang tersebut mempertahankan untuk tetap mengatur pola makan
yang baik dan olahraga ketat, bahkan mungkin sampai menghitung kadar
kandungan yang ada di tiap makanan

SEJARAH

Transtheoretical Model mulai dibentuk pada awal 1980-an yang diperkenalkan oleh James
Prochaska dan Carlo Diclemente mengenai konsep awal yang mereka sebut dengan
SCM (Stage Of Change Model) digunakan untuk memahami perilaku. Konsep ini kemudian
diberi nama Transtheoretical Model yang merupakan gabungan dari konsep yang dikembangan
oleh Velicer, Fava, Norman, dan Redding (1996), Transtheoretical Model (TTM) memiliki
point-point yang dikhususkan untuk memfasilitasi dan mengakselerasi perubahan perilaku
yang berkaitan dengan kesehatan, baik perilaku adiktif maupun perilaku non adiktif
(Prochaska, et.al, 1994)

DEFINISI

Transtheoretical Model (TTM) adalah salah satu teori tentang perubahan perilaku yang telah
dikembangan oleh W. F. Prochaska yang merupakan seorang psikoterapis. Teori ini fokus pada
pengaruh sosial dan biologis. Konstruk utama dari model ini adalah proses perubahan, hasil
perimbangan keputusan dan juga skala rangsanagan dimana model ini melibatkan pengambilan
keputusan, emosi, dan kepercayaan diri.

KOMPONEN

Transtheoretical Model (TTM) terdiri dari empat komponen yaitu stage of change, processes
of change, decisional balance dan self-efficacy.

1. 1. Stage of Change

Transtheoretical Model (TTM) berbicara mengenai perubahan terjadi secara bertahap, terdapat
lima tahapan yang harus dilalui untuk mencapai perubahan perilaku yang sempurna, yaitu:

1. Pre-contemplation

Tahap awal dimana individu belum siap menghadapi perubahan. Mereka masih belum
menyadari kebutuhan untuk berubah. Pada tahap ini individu belum memilki niatan untuk
berubah dalam waktu dekat. Tahapan ini diperlukan stategi bagi individu untuk belajar lebih
banyak mengenai perilaku hidup sehat, memikirkan pro mengenai perubahan perilaku.

2. Contemplation
Individu yang berada dalam tahap ini sudah mulai berpikir untuk berubah dalam waktu dekat.
Strategi yang diperlukan pada tahap ini adalah individu membayangkan dampak positif atau
manfaat ketika mereka sudah melakukan perubahan perilaku, individu juga belajar mengurangi
kontra terhadap perubahan perilaku.

3. Preparation

Individu telah siap melakukan perubahan dalam jarak dekat. Mereka sudah mengambil
langkah-langkah untuk berubah. Dalam tahap ini dibutuhkan dukungan dari orang-orang
terdekat mereka, individu juga dapat mengatakan kepada orang lain mengenai rencana
perubahan perilakunya dan berpikir tentang hal-hal positif yang akan dia dapatkan.

4. Action

Individu telah melakukan perilaku sehat dalam waktu dekat. Individu telah membuat komitmen
untuk berubah. Strategi yang diperlukan adalah mengganti kegiatan yang berkaitan dengan
perilaku sehat dengan hal-hal positif, menghargai diri sendiri dan menghindari situasi dan
orang lain yang berpotensi untuk membawa mereka kembali ke perilaku sebelumnya.

5. Maintenance

Individu telah memelihara perilaku sehat dalam jangka panjang. Di tahap ini individu telah
sadar pentingnya perilaku sehat.

2. Processes of change

Terdapat sepuluh proses perubahan yang mempengaruhi disetiap tahapannya, yaitu

1. Consciousness raising (peningkatan kesadaran)

Peningkatkan kesadaran tentang penyebab, dampak dan penyembuhan untuk masalah perilaku
yang dialami individu. Upaya untuk meningkatkan kesadaran dapat dilakukan dengan
kampanye media.

2. Dramatic relief (penyuluhan dramatic)

Individu juga dapat meningkatkan kesadaran melalui pengalaman atau sesuatu yang
membangkitkan emosional individu, sehingga individu tergerak untuk adanya perubahan pada
perilakunya. Contohnya psikodrama.

3. Self-reevaluation (Evaluasi Diri)

Proses dimana membandingkan dirinya sendiri dengan role model atau panutan yang memiliki
perilaku sehat.

4. Environmental reevaluation (Evaluasi Lingkungan)


Penilaian kognitif dan afektif mengenai bagaimana kebiasaan individu yang tidak sehat, akan
atau telah mempengaruhi lingkungan sosial. Hal ini juga dapat meningkatkan kesadaran dirinya
yang telah atau sedang menjadi model yang baik atau buruk bagi oranglain. Contohnya
kebiasaan merokok

5. Self-liberation (kebebasan pribadi)

Keyakinan bahwa individu mampu berubah dan memiliki komitmen atau niat untuk
melakukannya. Mudahnya seperti, resolusi di tahun baru atau membuat janji dengan kesaksian
publik. Hal ini diyakini dapat meningkatkan kekuatan kemauan seseorang

6. Social liberation (kebebasan sosial)

Ketersediaan, sarana atau alternatif untuk membantu merubah perilaku tidak sehat. Diperlukan
advokasi, prosedur pemberdayaan dan kebijakan yang tepat agar social liberation meningkat,
contohnya zona bebas asap dan juga peraturan dilarang merokok di tempat-tempat tertentu.

7. Counter conditioning (kondisi yang berlawanan)

Diperlukan pembelajaran perilaku sehat yang dapat menggantikan perilaku yang bermasalah.
Contohnya relaksasi sebagai counter stress, makanan bebas lemak sebagai pengganti makanan
berkalori banyak (Prochaska, J.O.,et all., 2013)

8. Stimulus control (pengendalian rangsangan)

Menghilangkan stimulus yang dapat meningkatkan kebiasaan yang tidak sehat, dengan cara
menambah alternatif anjuran yang lebih sehat.

9. Contingency management (pengelolaan kemungkinan)

Terdapat konsekuensi yang diperoleh individu ketika ia memutuskan untuk mengambil


langkah perubahan. Pemberian reward akan membuat individu untuk mengulangi perubahan
perilaku yang sehat dibandingkan dengan pemberian punishment. Dapat disimpulkan bahwa
penguatan diperlukan agar seseorang mau mengulang atau meneruskan perilaku sehatnya.

10. Helping relationship (kerjasama)

Dibutuhkan dukungan dari pihak-pihak disekitar individu yang ingin merubah perilakunya,
seperti kerabat dekat, sahabat, teman, atau orangtua. Dukungan dapat diwujudkan dalam netuk
kepedulian, kepercayaan, keterbukaan dan penerimaan dari lingkungan sosialnya. Dukungan
dinilai dapat meningkatkan usaha individu untuk berubah.

3. Decisional Balance

Merupakan sebuah konstruk yang membangun cerminan individu relative menimbang pro dan
kontra dari suatu peribahan. Terdapat 4 kategori pro yaitu keuntungan diri sendiri dan orang
lain, dan persetujuan/penerimaan dirinya dan orang lain. serta 4 kategori kontra yaitu biaya
yang dikeluarkan diri sendiri dan orang lain, dan penolakan diri sendiri dan orang lain (Janis
& Manss, 1985).

4. Self-efficacy

Yaitu membangun keyakinan individu untuk dapat mengatasi resiko tanpa kembali ke perilaku
tidak sehat. Diadaptasi dari teori Bandura tentang Self-Efficacy. Situational Templation
Measure merupakan suatu dorongan untuk terlibat perilaku tertentu pada suatu kondisi
beresiko tinggi. Self-Efficacy Measure merupakan suatu kepercayaan untuk tidak terlibat
dalam hal tertentu. (Velicer, Prochaska, Fava, & Norman, 1998)

APLIKASI PENERAPAN

Ryan adalah seorang siswa SMA dengan kesadaran rendah mengenai kesehatannya, ia
merupakan perokok aktif yang berusaha untuk merubah perilakunya. Dalam proses perubahan
perilaku merokok menurut transtheoretical model terdapat tahap-tahap yang harus dilalui Ryan
dalam perubahan perilaku. Pertama, precontemplation dimana Ryan merasa bahwa dirinya
tidak memilki permasalahan terhadap perilaku yang ia tunjukan, Ryan tidak memiliki motivasi
untuk mengubah perilaku. Ia tidak ingin berhenti merokok karena ia merasa baik-baik saja dan
tidak terdapat masalah pada dirinya. Pemikiran Ryan tersebut mengakibatkan ia tidak ingin
berhenti merokok. Kedua, contemplation yang merupakan tahap dimana Ryan mulai
menunjukkan kesadaran yang muncul dari dalam dirinya akan perilaku tersebut. Tetapi hal
tersebut hanya sebatas kesadaran sehingga Ryan belum dapat berkomitmen merubah
perilakunya. Ketiga, preparation merupakan kondisi dimana Ryan mulai membangun niat
untuk merubah perilakunya, ia membuat rencana minggu depan dirinya akan melepaskan
rokok, dan membuat strategi perlahan dengan cara mengurangi konsumsi rokok sampai
akhirnya sama sekali tidak mengonsumsi. Action, pada tahap ini Ryan berusaha secara perlahan
menggantikan rokok dengan permen. Ketika keinginannya untuk mengonsumsi rokok muncul,
Ryan akan membeli permen dan memakannya untuk mengalihkan rasa inginnya mengonsumsi
rokok. Maintenance Ryan berusaha untuk tetap menjaga perilaku memakan permen ketika
merasa ingin mengonsumsi rokok.

Tahap terahkir adalah termination, dimana Ryan melupakan perilaku merokoknya, ia


sudah tidak lagi memiliki keinginan untuk mengonsumsi rokok, sekalipun ia berteman atau
sedang berada dalam situasi yang memungkinkan Ryan untuk kembali merokok.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

The Transtheoretical model (TTM) berhasil mengintegrasikan beberapa teori terdahulunya


tentang modifikasi perilaku dengan lebih lengkap dan kompleks. pola yang digunakan
berbentuk pola umum, sehingga teori ini sangat fleksibel untuk diterapkan di segala perubahan
perilaku. Otomatis, teori ini dapat digunakan oleh berbagai kalangan dan dapat digunakan
untuk perubahan perilaku apapun. The Transtheoretical model(TTM) melakukan perubahan
perilaku secara bertahap sehingga individu yang berkaitan tidak langsung berubah secara
drastis. Hal ini berdampak lebih baik agar perilaku sebelumnya ketika re-lapsing dapat
diminimalkan.

Sedangkan kekurangan dari The Transtheoretical model(TTM) adalah teori ini berasumsi
bahwa individu akan dapat memodifikasi perilakunya dalam jangka waktu kurang lebih 6
(enam) bulan. Namun, belum ada pembuktian empiris yang menjelaskan bahwa rentang waktu
selama 6 (enam) bulan tersebut adalah waktu yang cukup untuk pengubahan suatu perilaku.
Selain itu, teori ini juga tidak menjelaskan pengaruh dari faktor lain yang sebenarnya turut
andil dalam perubahan perilaku seseorang.

DAFTAR PUSTAKA

Prochaska, J. O., & Velicer, W. F. (n.d.). The Transtheoretical Model of Health


Behaviour Change. American Journal of Health Promotion, 1997.

Velicer, W. F, Prochaska, J. O., Fava, J. L., Norman, G. J., & Redding, C. A. (1998).
Smoking cessation and stress management: Applications of the Transtheoretical
Model of behavior change. Homeostasis, 38, 216-233

16. SOSIAL COGNITIVE THEORY


Konsep-konsep Utama dari Teori Kognitif Sosial[sunting | sunting
sumber]
Sudah jelas bahwa konsep utama dari teori kognitif sosial adalah pengertian
tentang obvervational learning atau proses belajar dengan mengamati. Jika ada seorang
"model" di dalam lingkungan seorang individu, misalnya saja teman atau anggota keluarga di
dalam lingkungan internal, atau di lingkungan publik seperti para tokoh publik di bidang berita dan
hiburan, proses belajar dari individu ini akan terjadi melalui cara memperhatikan model tersebut.
Terkadang perilaku seseorang bisa timbul hanya karena proses modeling. Modeling atau peniruan
merupakan "the direct, mechanical reproduction of behavior, reproduksi perilaku yang langsung
dan mekanis(Baran & Davis, 2000: 184). Sebagai contoh, ketika seorang ibu mengajarkan
anaknya bagaimana cara mengikat sepatu dengan memeragakannya berulang kali sehingga si
anak bisa mengikat tali sepatunya, maka proses ini disebut proses modeling. Sebagai tambahan
bagi proses peniruan interpersonal, proses modelingdapat juga terlihat pada narasumber yang
ditampilkan oleh media. Misalnya orang bisa meniru bagaimana cara memasak kue bika dalam
sebuah acara kuliner di televisi. Meski demikian tidak semua narasumber dapat memengaruhi
khalayak, meski contoh yang ditampilkan lebih mudah dari bagaimana cara membuat kue bika. Di
dalam kasus ini, teori kognitif sosial kembali ke konsep dasar "rewards and punishments" --
imbalan dan hukuman-- tetapi menempatkannya dalam konteks belajar sosial.
Baranowski, Perry, dan Parcel (1997) menyatakan bahwa "reinforcement is the primary
construct in the operant form of learning" (p.161)-- proses penguatan merupakan bentuk utama
dari cara belajar seseorang. Proses penguatan juga merupakan konsep sentral dari proses belajar
sosial. Di dalam teori kognitif sosial, penguatan bekerja melalui proses efek menghalangi
(inhibitory effects) dan efek membiarkan (disinhibitory effects). Inhibitory Effects terjadi ketika
seseorang melihat seorang model yang diberi hukuman karena perilaku tertentu, misalnya
penangkapan dan vonis hukuman terhadap seorang artis penyanyi terkenal karena terlibat dalam
pembuatan video porno. Dengan mengamati apa yang dialami model tadi, akan mengurangi
kemungkinan orang tersebut mengikuti apa yang dilakukan sang artis penyanyi terkenal itu.
Sebaliknya, Disinhibitory effects terjadi ketika seseorang melihat seorang model yang diberi
penghargaan atau imbalan untuk suatu perilaku tertentu. Misalnya disebuah tayangan kontes adu
bakat di sebuah televisi ditampilkan sekelompok pengamen jalanan yang bisa memenangi hadiah
ratusan juta rupiah, serta ditawari menjadi model iklan dan bermain dalam sinetron karena
mengkuti lomba tersebut. Menurut teori ini, orang juga akan mencoba mengikuti jejak sang
pengamen jalanan.
Efek-efek yang dikemukakan di atas tidak tergantung pada imbalan dan hukuman yang
sebenarnya, tetapi dari penguatan atas apa yang dialami orang lain tapi dirasakan seseorang
sebagai pengalamannya sendiri (vicarious reinforcement). Menurut Bandura (1986), vicarious
reinforcement terjadi karena adanya konsep pengharapan hasil (outcome expectations ) dan
harapan hasil (outcome expectancies ). Outcome expectations menunjukkan bahwa ketika kita
melihat seorang model diberi penghargaan dan dihukum, kita akan berharap mendapatkan hasil
yang sama jika kita melakukan perilaku yang sama dengan model. Seperti dikatakan
oleh Baranowski dkk (1997), "People develop expectations about a situation and expectations
for outcomes of their behavior before they actually encounter the situation" (p. 162) -- orang akan
mengembangkan pengharapannya tentang suatu situasi dan pengharapannya untuk
mendapatkan suatu hasil dari perilakunya sebelum ia benar-benar mengalamai situasi tersebut.
Selanjutnya, seseorang mengikat nilai dari pengharapan tersebut dalam bentuk outcome
expectancies—harapan akan hasil. Harapan-harapan ini memeprtimbangkan sejauh mana
penguatan tertentu yang diamati itu dipandang sebagai sebuah imabalan/penghargaan atau
hukuman. Misalnya, orang memang menganggap bahwa perilaku artis penyanyi yang
membintangi video porno memang pantas dihukum, tetapi teori kognitif sosial juga
mempertimbangkan kemungkinan perilaku yang sama yang dilakukan orang lain dalam video
porno tersebut mendapatkan imbalan misalnya berupa simpati atau bahkan tak diajukan ke
pengadilan karena dianggap sebagai korban, meski pada saat melakukan adegan video porno
tersebut ia dan si arti penyanyi yang dihukum itu sama-sama melakukannya dengan sadar. Hal ini
akan memengaruhi sejauh mana proses belajar sosial akan terjadi.
Konsep-konsep yang telah dikemukakan merupakan proses dasar dari pembelajaran dalam teori
kognitif sosial. Meskipun demikian, terdapat beberapa konsep lain yang dikemukakan teori ini yang
akan memengaruhi sejauh mana belajar sosial berperan. Salah satu tambahan yang penting bagi
teori ini adalah konsep identifikasi (indentification) dengan model di dalam media. Secara khusus
teori kognitif sosial menyatakan bahwa jika seseorang merasakan hubungan psikologis yang kuat
dengan sang model, proses belajar sosial akan lebih terjadi. Menurut White (1972: 252)
identifikasi muncul mulai dari ingin menjadi hingga berusaha menjadi seperti sang model dengan
beberapa kualitas yang lebih besar. Misalnya seorang anak yang mengidolakan seorang atlet
sepak bola, mungkin akan meniru atlet tersebut dengan cara menggunakan kostum yang sama
dengan atlet tersebut atau mengonsumsi makanan yang dikonsumsi atlet tersebut.
Teori kognitif sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang "pengamat" untuk
menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan yang dipunyainya untuk menampilkan
perilaku trsebut. Kepercayaan ini disebut dengan self-efficacy atau efikasi
diri(Bandura, 1977a)dan hal ini dipandang sebagai sebuah prasayarat kritis dari perubahan
perilaku. Misalnya dalam kasus tayangan tentang cara pembuatan kue bika di televisi yang telah
disebutkan di atas. Teori kognitif sosial menyatakan bahwa tak semua orang akan belajar
membuat kue bika, khususnya bagi mereka yang terbiasa membeli kue bika siap saji dan
mempunyai keyakinan bahwa membuat kue bika sendiri merupakan hal yang sia-sia dan tak perlu
karena membelinya pun tidak mahal harganya. Dalam hal ini orang tersebut dianggap tidak
mempunyai tingkat efikasi diri yang cukup untuk belajar memasak kue bika dari televisi.

Teori Kognitif Sosial dan Media Komunikasi[sunting | sunting sumber]


Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asumsi dari teori kognitif sosial adalah bahwa
proses belajar akan terjadi jika seseorang mengamati seorang model yang menampilkan suatu
perilaku dan mendapatkan imbalan atau hukuman karena perilaku tersebut. Melalui pengamatan
ini, orang tersebut akan mengembangkan harapan-harapan tentang apa yang akan terjadi jika ia
melakukan perilaku yang sama dengan sang model. Harapan-harapan ini akan memengaruhi
proses belajar perilaku dan jenis perilaku berikutnya yang akan muncul. Namun, proses belajar ini
akan dipandu oleh sejauhmana orang tersebut mengidentifikasi dirinya dengan sang model dan
sejauh mana ia merasakan efikasi diri tentang perilaku-perilaku yang dicontohkan sang model.
Melalui dasar pemikiran ini, aplikasi dari teori kognitif sosial dengan penelitian di media massa
perlu diperjelas. Di dalam masyarakat masa kini, banyak model yang kita pelajari adalah model
yang kita lihat, dengar, atau baca di media massa. Model-model ini bisa jadi merupakan orang-
orang yang kita amati dalam siaran berita atau program dokumenter. Mereka juga bisa saja
karakter-karakter yang kita lihat dalam program-program drama/sinetron/film layar lebar atau
televisi atau juga karakter dalam buku novel. Bisa juga mereka adalah para penyanyi atau penari
yang kita dengar dan lihat melalui radio atau CD dan VCD musik. Singkat kata, begitu banyaknya
model yang ditampilkan media akan dapat mengubah perilaku baik anak-anak maupun orang
dewasa karena mereka mengamati media.
Dampak terbesar dari teori kognitif sosial adalah dalam penelitian tentang kekerasan dalam media
(media violence). Gunter (1994) melakukan tinjauan atas riset tentang dampak dari kekerasan
yang ditampilkan di media pada anak-anak dan orang dewasa, dan ia menyimpulkan bahwa
terdapat bukti-bukti campuran yang kuat yang menghubungkan efek dari penggambaran
kekerasan melalui media pada perilaku, sikap dan kognisi dari penonton. Teori kognisi sosial, yang
amat menekankan efek pada perilaku, mengatakan bahwa penggamabaran kekerasan itu memicu
baik peningkatan maupun penurunan dalam perilaku kekerasan, tergantung pada perilaku yang
mendapatkan imabalan maupun hukuman, dan juga tergantung pada sejauh mana penonton
mengidentifikasi diri mereka pada model kekerasan dalam media. Tentu saja, riset
awal Bandura (1962) dan Berkowitz (1964) mendukung hubungan mendasar antara menonton
perilaku kekerasan dan pemodelan perilaku dalam interaksi. Bagaimanapun, riset terakhir telah
menambahkan kompleksitas untuk persamaan ini, dengan alasan bahwa isu-isu seperti
kecenderungan perilaku agresif yang sudah ada, proses kognitif media, realita yang digambarkan
mediam dan bahkan diet bisa memengaruhi sejauh mana seseorang "belajar" tentang kekerasan
dari media. (Miller,2005: 254)
Aplikasi dari teori kognitif sosial pada studi tentang kekerasan melalui televisi mempertimbangkan
bagaimana media dapat memiliki konsekuensi yang tak diinginkan pada khalayak pemirsanya.
Bagaimanapun, para sarjana komunikasi dan peneliti riset aksi (action research)juga
mempertimbangkan aplikasi yang lebih berguna dari teori kognitif sosial ini. Makin banyak saja
para sarjana komunikasi yang menggunakan konsep hiburan dan pendidikandalam
mempertimbangkan bagaimana pesan-pesan program hiburan bisa digunakan untuk
menimbulkan perubahan perilaku dan sosial. Misalnya penelitian tentang bagaimana telenovela
yang disiarkan di banyak negara selain dapat menghibur juga dapat menyampaikan isu tentang
keluarga berencana, persamaan hak pria dan wanita, dan reformasi pertanian. Banyak juga opera
sabun Amerika yang memang dibuat dalam kerangka kognitif sosial yaitu dengan menggunakan
karakter-karakter yang menarik yang mendapatkan penghargaan atau hukuman sebagai
pemodelan dari perilaku secara nyata.
Teori Kognitif Sosial juga digunakan dalam aplikasi komunikasi kesehatan masyarakat. Misalnya
untuk kampanye tentang Demam Berdarah, atau Flu Burung digunakan artis terkenal atau tokoh
yang menarik yang karena mengikuti anjuran pemerintah untuk pencegahan, bisa terhindar dari
penyakit tersebut. Pemakaian artis terkenal atau tokoh yang menarik akan memicu orang untuk
lebih waspada terhadap kedua penyakit tersebut.

Ringkasan[sunting | sunting sumber]


Teori Kognitif Sosial memberikan sebuah penjelasan tentang bagaimana perilaku bisa dibentuk
melalui pengamatan pada model-model yang ditampilkan oleh media massa. Efek dari pemodelan
ini meningkat melalui pengamatan tentang imbalan dan hukuman yang dijatuhkan pada model,
melalui identifikasi dari khalayak pada model tersebut, dan melalui sejauh mana khalayak memiliki
efikasi diri tentang perilaku yang dicontohkan di media. Meski berdasarkan bidang studi psikologi
sosial, teori ini memeiliki efek yang kuat untuk pemahaman tentang efek kekerasan melalui media
baik untuk anak-anak maupun orang dewasa dan juga pada perencanaan kampanye yang
ditujukan untuk mengubah perilaku masyarakat melalui media.

Referensi[sunting | sunting sumber]


 Bandura, A.1962. Social learning through imitation. Dalam M.R. Jones (Ed), Nebraska
symposium on motivation.Vol 10. Lincoln: University of Nebraska Press
 Bandura, A. 1977a. Self-Efficacy: Toward a unifying theory of behavior change. Psychological
Review, 84, hal. 191-215
 Bandura, A. 1977b. Social Learning Theory. New Jersey: Prentise Hall
 Baran, S.J & D.K. Davis. 2000. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and
Future. 2nd edition. Belmon, CA: Wadsworth
 Baranowsky, T, C.L. Perry & G.S. Parecel. 1997. How Individuals, environments, and health
behavior interact: Social Cognitive Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health
Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice. 2nd edition. San Francisco:
Jossey-Bass
 Miller. Katherine.2005. Communication Theories: Perspective, Processes, and Contexts. 2nd
Edition. International Edition. Singapore: McGraw-Hill

17. SOCIAL ECOLOGYCAL MODEL


18. SOCIAL MARKETING
Teori sosial marketing adalah sebuah kumpulan teori yang fokus terhadap bagaimana
informasi yang berharga secara sosial dapat dipromosikan. Teori ini banyak digunakan oleh
organisasi sosial dan organisasi yang telah mapan untuk membantu mempromosikan atau
mengurangi berbagai perilaku.

Teori ini secara administrasi mencari kerangka yang dapat digunakan untuk mendesain,
mengimplementasikan dan mengevaluasi kampanye informasi. Target audiens
diidentifikasikan berdasarkan informasi yang mereka butuhkan. Ketika informasi sudah
dibentuk dan didistribusikan dengan baik maka hal tersebut akan dengan mudah diakses oleh
audiens yang dituju.

Teori ini adalah upaya untu memahami dengan baik bagaimana faktor sosial dan psikologi
bekerja untuk memanipulasi mereka guna meningkatkan efektivitas kampanye informasi
media massa. Teori ini memiliki fokus untuk membantu mengidentifikasi berbagai hambatan
sosial dan psikologi yang menghalangi arus informasi yang ada di media massa dan
memberikan ide dan cara untuk menghilangkan hambatan tersebut. Strategi yang digunakan
bervariasi mulai dari cara tradisional hingga saturasi periklanan.

Fitur dari Teori Sosial Marketing


1. Menciptakan Awareness Audience
Ketika terdapat kebutuhan untuk mempromosikan sebuah ide baru, orang atau perilaku, maka
langkah pertama yang harus dilakukan adalah menciptakan awareness mengenai keberadaan
ide atau orang tersebut. Awarenss diciptakan dengan menggunakan semua saluran yang
dimiliki seperti media massa dan media baru seperti internet.

Salah satu cara yang termudah dalam menciptakan awareneess adalah memiliki kampanye di
televisi. Tapi jika dilihat lagi, hal itu akan memakan biaya yang sangat besar. Disisi lain,
keuntungan menggunakan media baru adalah audience baru yang lebih luas dapat diraih.
Penggunaan media internet dapat menjangkau audience muda yang tidak mau lagi membaca
koran atau bergantung pada informasi di televisi.

2. Menargetkan Audience yang tepat


Ketika mendiseminasikan pesan, hal pertama yang penting untuk dilakukan adalah
mengidentifikasi audience yang memerlukan pesan tersebut dan kemudian menentukan
sarana yang paling efisien untuk menjangkau audiens tersebut.
Sebagai contoh, jika pesan ditujukan untuk kalangan orang tua, menggunakan internet untuk
menyebarkan informasi akan menjadi hal yang sia-sia karena kebanyakan orang tua tidak
menggunakan komputer. Cara yang paling efektif adalah menggunakan radio atau televisi
untuk menyebarkan pesan tersebut.

3. Memperkuat Pesan
Ketika pertama kali menerima pesan baru, kecenderungannya adalah seseorang akan mudah
melupakan pesan itu. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk memperkuat pesar dengan cara
memberikan ekspose pesan yang lebih sering kepada seseorang melalui berbagai saluran.

Mempromosikan melalui berbagai media massa, door to door, kelompok diskusi, debat di
televisi merupakan cara yang dapat dilakukan untuk memperkuat pesan. Seseorang kadang
kala dapat serta merta berubah menjadi agen penyebaran pesan ketika mereka mulai
menyebarkan pesan yang mereka dapat dari orang lain.

4. Mengolah gambar atau tayangan


Ketika audiens tidak tertarik dengan seseorang, mereka tidak akan mencari tahu informasi
mengenai orang tersebut. Dengan keadaan seperti itu, maka iklan bergambar dapat
digunakan. Melalui cara ini, kita menggunakan gambar yag mudah untuk diingat dan
dipahami seraya menautkan produk atau jasa yang kita miliki yang memiliki hubungan
dengan gambar tersebut. Hal ini dilakukan agar tercipta suasana yang menguntungkan bagi
produk yang kita promosikan.

Misalnya, dalam sebuah iklan kopi, iklan tersebut menampilkan sepasang orang tua yang
bernostalgia tentang hari-hari mereka kuliah dahulu sambil menyeruput secangkir kopi.
Taktik ini adalah taktik yang menggunakan kejadian yang sangat familiar yang di kaitkan
dengan emosi bahagia dengan sebuah produk kopi, melalui pengolahan gambar tersebut.

5. Merangsang Minat
Untuk membuat audiens mencari informasi, adalah hal penting untuk menarik perhatian dan
merangsang minat mereka. Ketika ini telah dilakukan, maka informasi akan mudah diakses
oleh publik secara umum. Kejadian yang dramatis atau kejadian yang tidak biasa membantu
menarik perhatian audiens.

Contohnya, seorang politisi membersihkan saluran air kota, hal ini memberikan kesan bahwa
ia sangat perhatian terhadap kota. Atau sebuah produk pencuci piring mengklaim bahwa satu
botol sabun pencuci piring mampu membersihkan sampai ribuan piring. Event cuci ribuan
piring tersebut kemudian dimasukkan dalam musium rekor. Hal ini kemudian akan
menyebabkan orang-orang akan tertarik terhadap produk tersebut. Ide yang sama dapat pula
diterapkan pada produk-produk lainnya.

6. Mendorong hasil yang diinginkan


Ketika informasi sudah mencapai audience yang ditargetkan, diperlukan upaya tambahan
untuk memastikan bahwahasil yang diinginkan tercapai. Sebuah kampanye untuk berhenti
merokok [erlu untuk memastikan bahwa orang-orang berhenti merokok. Sebuah produk yang
dikenalkan kepada orang-orang harus menghasilkan penjualan atau penggunaan aktual

19. DIFFUSION OF INNOVATION


Diffusion of Innovations “ Teori Difusi Inovasi Everett M Roger
Definisi dari Difusi adalah sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui
saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial, sedangkan
kalau inovasi didefinisikan sebagai “"an idea, practice, or object perceived as new by the individual."
(suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu).

Adapun Unsur unsur dalam Difusi Inovasi adalah sebagai berikut


1.Innovation ( Inovasi), yaitu ide, praktek, atau benda yang dianggap baru oleh individu atau
kelompok.
2.Communication channel ( saluran komunikasi ), yaitu bagaimana pesan itu didapat suatu individu
dari individu lainnya.
3. Time ( waktu ), ada tiga faktor waktu, yaitu :
-Innovation decision process ( proses keputusan inovasi )
-Relative time which an inovation is adopted by individual or group.
( waktu relatif yang mana sebuah inovasi dipakai oleh individu atau
kelompok )
-Innovation’s rate of adoption ( tingkat adopsi inovasi )
4.Social System ( sistem sosial ), yaitu serangkaian bagian yang saling berhubungan dan bertujuan
untuk mencapai tujuan umum.

Sedangkan untuk Model keputusan adopsi inovasi adalah


1. knowledge (pengetahuan)
2. persuasion (kepercayaan)
3. decision (keputusan)
4. implementation, dan (penerapan)
5. confirmation (penegasan/pengesahan)

Dalam tahap yang pertama adalah Knowledge Stage/tahap pengetahuan


adalah merupakan Proses keputusan inovasi ini dimulai dengan Knowledge Stage. Pada tahapan ini
suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi
tersebut. Apa ?, bagaimana ?, dan mengapa ? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada
knowledge stage ini. Selama tahap ini individu akan menetapkan “ Apa inovasi itu ? bagaimana dan
mengapa ia bekerja ?.

Dalam tahap kedua adalah persuasion (kepercayaan)


Tahap Persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap
ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak
suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap
ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers menyatakan bahwa
knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat
afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh
lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi
pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.

Dalam tahap ketiga adalah Decision (keputusan)


Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Menurut
Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan
menolak berarti “ not to adopt an innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya
pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena biasanya individu
tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu
memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi
pada setiap proses keputusan inovasi ini.

Dalam tahap keempat yaitu implementation, dan (penerapan)


Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi sebuah inovasi
membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi.
Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka si
pengguna akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat
ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir.
Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah
suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan
inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.

Dalam tahap kelima yaitu confirmasi


Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka si penguna akan mencari dukungan atas keputusannya
ini . Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan
ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk
menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang
memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan
penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu .
Eightfold Path of Policy Analysis (Bardach)

1. Define the Problem :


• Think of Deficit and Excess,
• Make the Definition Evaluative,
• Quantify If Possible,
• Diagnose Conditions That Cause Problems,
• Risky Conditions: “The Odds, Identify Latent Opportunities,
• Avoid Common Pitfalls in Problem Definition,
• Iterate
• Menetapkan masalahnya:
• memikirkan defisit dan kelebihan,
• membuat definisi evaluatif,
• mengukur jika mungkin,
• mendiagnosa kondisi yang menyebabkan masalah,
• berisiko kondisi: "rintangan, mengidentifikasi peluang laten,
• menghindari perangkap umum dalam masalah definisi,
• Iterate

2. Assemble Some Evidence :


• Think Before You Collect,
• Review the Available Literature,
• Survey “Best Practices”,
• Use Analogies,
• Start Early,
• Touch Base, Gain Credibility, Broker Consensus,
• Free the Captive Mind
3. Construct the Alternatives
- Beware a Linguistic Pitfall
- Start Comprehensive
- End Up Focused
- Model the System in Which the Problem Is Located (Market models, Production
models, Evolutionary models)
- Conceptualize and Simplify the List of Alternatives
- Points on a Continuum as “Alternatives”
- Design Policy Alternatives
4. Select the Criteria
- Commonly Used Evaluative
- Weighting Conflicting Evaluative Criteria
- Commonly Used Practical Criteria
- “Criteria” as Logical Constructs
- Avoid Confusing Alternatives and Criteria
5. Project the Outcomes
- Extend the Logic of Projection
- Magnitude Estimates
- Break-Even Estimates and the Problem of Uncertainty
- Try Sensitivity Analysis
- Confront the Optimism Problem
- The Emergent-Features Problem
- Construct an Outcomes Matrix
- How Projecting Outcomes Connects to Design Problems,
6. Confront the Trade-offs
- Focus on Outcomes
- Establish Commensurability
- Choosing a Base Case
- Stop! Focus, Narrow, Deepen!,
7. Decide!
- Apply the Twenty-Dollar-Bill Test,
8. Tell Your Story
- Apply the Grandma Bessie Test
- Gauge Your Audience(s)
- Consider What Medium to Use
- Give Your Story a Logical Narrative Flow
- Some Common Pitfalls
- Structure Your Report
- Using a Memo Format
- Develop a Press Release
- PowerPoint
• These steps are not necessarily taken in precisely this order, nor are all of them
necessarily significant in every problem.
• However, an effort to define the problem is usually the right starting place, and
telling the story is almost inevitably the ending point.

Anda mungkin juga menyukai