Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan


kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar
10 – 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya
juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia
tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada
wanita – wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi
kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan
dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung
empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk,
insidens kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita relatif lebih rendah
dibandingkan dengan negara – negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien
kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi
menuruit Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di
negara kita.Kurang lebih 90% kasus kolesistitis melibatkan batu pada duktus
sitikus (kolesistitis kalkulus) dan sebanyak 10% termasuk kolesistitis akalkulus.1

Insidensi terjadinya kolesistitis meningkat seiring pertambahan usia.


Penjelasan secara fisiologis untuk peningkatan insidensi tersebut belum ada.
Peningkatan insidensi pada laki-laki usia lanjut dikaitkan dengan perubahan rasio
androgen-estrogen.2,3

Faktor resiko utama kolesistitis yakni kolelitiasis meningkat prevalensinya


pada orang Skandinavia, Indian Pima, dan Hispanik, namun menurun dan jarang
pada individu yang berasal dari sub-sahara Afrika dan Asia. Di Amerika Serikat,
penduduk kulit putih lebih sering terkena kolesistitis daripada penduduk kulit
hitam.2,3

1
Meskipun telah ditemukan berbagai modalitas terapeutik untuk kolesistitis
namun penyakit ini masih memiliki tingkat morbiditas dan tingkat mortalitas yang
cukup tinggi terutama pada orang lanjut usia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan


nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya,
kolesistitis dapat dibagi menjadi:

1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu


kandung empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.1

Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan


kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul
pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada
kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas,
nyeri tekan dan demam..1

2.2 Etiologi dan patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah


stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan
sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu.
Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu
empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan
drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis.
Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.1

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan


empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu

3
mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu
yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis
empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia
dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau
spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal
terutama pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu
yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan
mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu
empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.4

Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa


teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini.
Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan
litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena
kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi
dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu lama
sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin
untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu
mungkin merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang
sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung
empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi
merangsang pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekat tersebut
tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat
lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga
berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.5

Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan


endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang
luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang

4
menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap
kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.5

2.3 Diagnosis

Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian
atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari
pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut
juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam.
Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien
menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari
regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ).
Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan
menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat
penyakit yang didapatkan sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat
kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak bisa menceritakan
riwayat atau gejala yang muncul.6,7

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan


atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran
kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat
yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda
Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.6,7

Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat


ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada
15% pasien, ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase
(AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika
batu tidak berada di duktus biliaris.2

Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi


(USG), computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran
empedu. Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung
empedu, adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak

5
antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90 %.1,7

Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis9

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu


memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin
tidak terlihat dengan pemeriksaan USG. Skintigrafi saluran empedu
mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6 Iminodiacetic acid
mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada USG dan juga
lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa
adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau
skintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.1

6
Gambar 2.3 Koleskintigram normal9

Gambar 2.4 Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya


pengisian kandung empedu akibat obstruksi duktus sitikus9

7
Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis
adalah:10

 Gejala dan tanda lokal


o Tanda Murphy
o Massa nyeri, tegang diabdomen kanan atas
 Gejala dan tanda sistemik
o Demam
o Leukositosis
o Peningkatan kadar CRP
 Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG
atau skintigrafi yang mendukung.10

2.4 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk kolesistitis adalah semua keadaan yang
menimbulkan nyeri akut diperut bagian atas disertai nyeri tekan, seperti
pankreatitis akut, tukak peptic, apendisitis akut, atau abses hati. 10

2.5 Komplikasi
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang
tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin
dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya
empiema kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara
laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.
 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu
berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di
ileum terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.

8
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan
adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme
penghasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan
Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan
diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%).
Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan
kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
 Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis. 3

2.6 Penatalaksanaan

Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet


ringan, obat penghilang rasa nyeri. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat
penting untuk mencegah terjadinya peritonitis, kolangitis, dan septicemia.
Golongan ampisilin, sepalosporin dan metronidazole cukup memadai untuk
mematikan kuman kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E.coli
dan klebsiela, Sebanyak 50% kasus akan membaik tanpa tindakan bedah 1,10

Kolesistis akut ditangani sesuai derajat penyakitnya, pada kolesistitis akut


ringan, setelah 24-48 jam, keadaan penderita umumnya lebih baik dan infeksi
sistemik telah dapat diatasi. Kolesistektomi dini dapat dilakukan dalam 72 jam
pertama,biasanya melalui laparoskopi. Pembedahan dini ini mempersingkat masa
rawat di rumah sakit sampai 5-7 hari hari, dan mempersingkat masa sakit sekitar
30 hari, tetapi insiden penyulit pasca bedah dan angka kematian ternyata tidak
berbeda antara pembedahan dini dan pembedahan elektif. 1,10

Pada kolesistitis akut sedang yang dapat diraba massanya, operasi dapat
ditunda dengan pemberian antibiotic lebih dulu. Pembedahan dilaksanakan setelah
keadaan umum membaik, namun bila keadaan umum penderita memburuk karena
komplikasi peritonitis dan sepsis, pembedahan dipercepat sebagai bedah
emergensi (ini terjadi pada 10% kasus). 1,10

Pada kolesistitis akut berat, penderita diberi antibiotik dan dirawat di ruang
perawatan intensif. Keadaan umum pasien terlalu buruk untuk menjalani

9
pembedahan mayor sehingga tindakan sementara yang terbaik adalah
kolesistektomi perkutaneus dengan bimbingan ultrasonografi, setelah keadaan
umum penderita membaik, barulah dilakukan kolesistektomi elektif, umumnya
enam minggu sampai tiga bulan setelah penderita sembuh dari kolesistitis akut.
1,10

2.7 Prognosis

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung


empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak
jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75
tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah.1

10
BAB III

KESIMPULAN

1.1 Kesimpulan
1. Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
2. Berdasarkan penyebabnya, kolesistitis terbagi menjadi kolesititis
kalkulus dan akalkulus. Berdasarkan onsetnya, terbagi menjadi
kolesistitis akut dan kronik.
3. Diagnosis kriteria untuk kolesititis dapat digunakan berdasarkan
Tokyo guidelines.
4. Terapi kolesistitis meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah lemak,
pemberian analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, dan terapi
pembedahan berupa kolesistektomi.
5. Pemberian terapi lebih awal dan adekuat berperan dalam mencegah
terjadinya komplikasi kolesistitis seperti gangren, empiema,
emfisema, perforasi kandung empedu, abses hati, peritonitis, dan
sepsis.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi
keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
2. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary
Colic in Emergency Medicine. [Diakses pada: 7 oktober 2019]. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.
3. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 7 oktober
2019]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/171886-
overview.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit vol 1. Edisi keempat. Jakarta: EGC, 1994.
5. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses
pada:7 oktober 2019]. http://emedicine.medscape.com/article/187645-
overview.
6. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et
al. Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis
and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.
7. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment.
Cleveland Clinic Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002.
8. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al.
Flowchart for the diagnosis and treatment of acute cholangitis and
cholecystitis: Tokyo Guidelinex. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14;
2007. p. 27-34.
9. Khan AN, Karani J, Patankar TA. Acute Cholecystitis Imaging. [Diakses
pada: 10 oktober 2019]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview.
10. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II.
Jakarta: EGC.

12

Anda mungkin juga menyukai