Anda di halaman 1dari 15

Kasus Pete dan Paula

Setelah hidup bersama selama 6 bulan, Pete dan Paula mulai serius untuk menikah.
Tetapi, sebuah masalah membawa mereka ke klinik terapi seks. Paula menjelaskan pada terapis
bahwa, selama dua bulan terakhir, Pete tidak bisa menjaga ereksi selama aktivitas seks. Pete
berusia 26 tahun, seorang pengacara; sementara Paula, 24 tahun, seorang pemborong untuk
toko swalayan besar. Mereka berdua tumbuh di keluarga menengah, keluarga di pinggiran kota,
dan dikenalkan Iewat teman yang sama serta mulai melakukan aktivitas seks tanpa kesulitan
beberapa bulan sebelum menjalin hubungan. Atas dorongan Paula, Pete pindah ke
apartemennya, meskipun Pete tidak yakin kalau ia siap dengan langkah tersebut. Seminggu
kemudian, ia mulai kesulitan menjaga ereksinya selama aktivitas seks, meskipun ia merasakan
gairah yang kuat dengan pasangannya. Saat ereksinya mulai mengecil, ia akan mencobanya
Iagi, tetapi akan kehilangan hasratnya dan tidak bisa mencapai ereksi Iagi. Setelah beberapa kali
mengalami hal seperti ini, Paula marah di mana ia mulai memukul-mukul dada Pete dan berteriak
padanya. Pete, yang bobotnya 200 pon (Iebih dari dua kali Paula) hanya menjauh, yang semakin
membuat Paula marah. Terlihat jelas bahwa bukan hanya seks yang menjadi masalah dalam
hubungan mereka. Paula mengeluh bahwa Pete lebih memilih menghabiskan waktu dengan
temannya dan pergi ke pertandingan baseball ketimbang bersamanya. Saat di rumah bersama,
ia akan asyik menonton olahraga di televisi, dan tidak menunjukkan minat dalam aktivitas yang
dijalani Paula-pergi ke bioskop, mengunjungi museum, dan Iain-lain. Karena tidak ada bukti
bahwa kesulitan seksual disebabkan oleh masalah atau depresi organik, diagnosis gangguan
ereksi pria pun diberikan. Baik Pete maupun Paula ingin membahas masalah non-seksual
mereka dengan terapis. Meskipun masalah seksualnya berhasil ditangani dalam bentuk terapi
seks yang dimodelkan dengan teknik yang dikembangkan oleh Masters dan Johnson (akan
dibahas nanti) dan kemudian pasangan tersebut menikah, ambivalensi Pete pun berlanjut bahkan
ke dalam pernikahan mereka, dan akan ada masalah seksual yang bakal kambuh di masa depan.

A. Disfungsi Seksual

Disfungsi seksual (Sexual dysfunction) adalah masalah yang berkelanjutan dengan minat,
gairah, atau respons seksual. Disfungsi seksual (sexual dysfunctions) meliputi masalah dalam
minat, rangsangan, atau respon seksual. Kasus disfungsi seksual tersebar dalam masyarakat,
dialami oleh 43% wanita dan 31% pria menurut survei nasional AS terbaru, (Laumann, Paik, &
Roscn, 1999). Gangguan ini sering kali mcrupakan sumber distres bagi orang yang
mengalaminya dan bagi pasangan mereka. Ada beberapa tipe disfungsi seksual, tetapi
semuanya cenderung memiliki sejumlah ciri yang sama.
Sejumlah kasus disfungsi seksual telah ada sepanjang hidup individu, dan karena itu
diberi label disfungsi seumur bidup. Pada kasus disfungsi yang diperoleh (acquired disfunction),
awal masalah terjadi setelah satu periode (atau setidaknya kemunculan satu kali) dari fungsi
normal. Pada kasus disfungsi situasional, masalah muncul pada sejumlah situasi (scbagai
contoh, dengan pasangan tertentu), tetapi tidak pada situasi yang lain (misalnya, dengan kekasih
atau ketika bermasturbasi), atau pada saat-saat tertentu tetapi tidak pada saat lain. Pada kasus
disfungsi menyeluruh (generalized dysfunction), masalah muncul pada semua situasi dan pada
setiap saat individu melakukan aktivitas seksual.

Ciri-ciri Umum dari Disfungsi Seksual:

 Takut akn Kegagalan (Ketakutan yang terkait dengan kegagalan untuk mencapai atau
mempertahankan ereksi atau kegagalan untuk mencapai organisme. )
 Asumsi peran sebagai penonton dan bukan sebagai pelaku (Memonitor dan mengavluasi
reaksi tubuh saat melakukan hubungan seks)
 Kurangnya self-esteem (Kurangi memikirkan kegagalan yang dihadapi untuk memenuhi
standar normal)
 Efek Emosional (Rasa bersalah, rasa malu, frustasi, depresi, kecemasan)
 Perilaku menghindar (menghindari kontak seksual karena takut gagal untuk menampilkan
performa yang adekuat; membuat berbagai macam alasan pada pasangan Anda)
B. Siklus Respon Seksual

DIsfungsi seksual mempengaruhi permulaan atau penyelesaian siklus respons seksual. Helen
Singer Kaplan, DSM menjabarkan siklus respons seksual dalam empat fase yang berbeda:

 Fase Keingian, timbulnya fantasi dan hasrat seksual adalah normal; pertanyaannya
adalah “Seberapa besar (atau berapa kecil) minat seksual yang dikatakan normal?”
 Fase Perangsangan, perubahan fisik dan perasaan nikmat yang muncul saat proses
perangsangan seksual.
 Fase organisme, baik pria dan wanita, tegangan seksual mencapai puncaknya dan
dilepaskan melalui kontraksi ritmik involunter dari otot pelvis disertai dengan perasaan
nikmat. Orang tidak dapat memaksakan suatu organisme dan juga tidak dapat
memaksakan reflex seksual lainnya, seperti ereksi dan lubrikasi vagina.
 Fase Resolusi, terjadinya relaksasi dan perasaan nyaman. Fase pada tahap ini, pria
secara fisiologis tidak mampu mencapai ereksi dan organisme untuk suatu periode waktu
tertentu. Namun, wanita, mungkin mampu untuk mempertahankan rangsangan seksual
pada tingkat yang tinggi jika stimulasi dilanjutkan, dan mengalami organisme ganda dalam
suatu rangkaian cepat.

C. Jenis Gangguan
1. Gangguan yang melibatkan kurangnya minat seksual ataupun ketertarikan atau
gairah seksual
a. Gangguan hasrat seksual hipoaktif pria adalah defisiensi atau kurangnya minat
seksual, atau hasarat atas aktivitas seksual. Sekitar 8-25% pada semua
rentang usia, dengan pravelensi lebih tinggi pada pria yang lebih tua.
b. Gangguan minat/Gairah seksual wanita adalah defisiensi atau kurangnya
minat atau dorongan seksual, dan masalah mencapai atau menjaga gairah
seksual. Sekitar 10-55% pada semua rentang usia, dengan preverensi lebih
tinggi pada wanita yang lebih tua.
c. Gangguan Ereksi adalah kesulitan mencapai atau menjaga ereksi selama
aktivitas seksual. Sangat bervariasi sesuai usia; diperkirakan 1-10% dibawah
usia 40, 20-40% pada pria berusia 60-an, dan bahkan lebih tinggi pada pria
yang lebih tua.
2. Gangguan yang Melibatkan Respons Organisme yang Melemah
a. Gangguan organisme wanita adalah kesulitan mencapai organisme pada
wanita. 10-42% pada semua penelitian.
b. Ejakulasi yang tertunda adalah kesulitan mencapai organisme atau ejakulasi
pada pria. Kurang dari 1-10% pada semua penelitian.
c. Ejakulasi dini adalah mencapai klimaks (ejakulasi) terlalu dini pada pria. Lebih
dari 30% pria pada semua penelitian melaporkan masalah dengan ejakulasi
yang terlalu cepat, dengan sekitar 1-2% melaporkan ejakulasi dalam 1 menit
penetrasi.
3. Gangguan yang Melibatkan Rasa Sakit Selama Hubungan Intim atau Penetralisi
(Pada wanita)
a. Gangguan Penetrasi/Nyeri panggul-Genital adalah rasa sakit yang terjadi
selama hubungan intima tau upaya penetrasi, atau rasa takut akan sakit yang
berkaitan dengan hubungan intim, atau tegangnya otot panggul yang membuat
penetrasi sulit atau menyakitkan. Bervariasi pada semua penelitian, tetapi
sekitar 15% wanita di Amerika Utara melaporkan mengalami nyeri berulang
selama hubungan intim.
D. Perspektif Teoritis
a. Perspektif Psikodinamika
Hipotesis psikodinamika secara umum mempertimbangkan dugaan adanya konflik
pada tahap phallic (Fenichel, 1945). Seksualitas genital yang matang dipcrcaya
membutuhkan penyelesaian total dari Oedipus complex dan Electra complex. Pria
dengan disfungsi seksual diduga secara tidak sadar menderita kecemasan akan
kastrasi. Hubungan seksual menimbulkan ketakutan yang tidak disadari akan
pcmbalasan dcndam dari ayah, mcmbuat vagina menjadi tidak aman. Disfungsi ereksi
“menyelamatkan” pria dari keharusan memasukj vagina. Ejakulasi dini memungkinkan
pria untuk “melarikan diri” sccara cepat dan juga dapat menunjukkan kebencian yang
tidak disadari tcrhadap wanita (Kaplan, 1974). Gangguan orgasme mencegah pria
untuk menyelesaikan aksinya dan secara tak sadar meminimalkan rasa bersalah dan
ketakutannya. Ejakulasi yang cepat sccara tak sadar mcngekspresikan kebencian
dengan cara mengorori dan mengingkari kenikmatan seksual wanita.
Pada wanita, penis envy yang tidak terselesaikan menghasilkan rasa permusuhan
terhadap pria. Wanita yang tetap terfiksasi pada tahap phallic, mcnghukum
pasangannya karena mcmiliki penis dengan tidak membiarkan organ tersebut untuk
memberikan kenikmatan padanya, yang disebut dengan gangguan rangsangan
seksual wanita. Mengencangnya otot vagina pada vaginismus dapat menunjukkan
keinginan tak sadar untuk mengkastrasi pasangannya (Kaplan, 1974). Pada
gangguan orgasms, scorang wanita gagal untuk mengatasi penis envy dan untuk
mengembangkan seksualitas yang matang, yang melibatkan pengalihan perasaan
crotis dari klitoris ke vagina. Ia kemudian mencegah terjadinya orgasme pada saat
berhubungan seks. Sulit untuk menguji validitas konsep psikoanalisis karena
melibatkan konflik tak sadar, sepcrti keecmasan akan kastrasi dan penis envy, yang
tidak dapat diobservasi secara ilmiah. Bukti untuk pandangan ini terletak pada studi
kasus yang melibatkan interpretasi dari riwayat pasien. Namun, studi kasus juga
terbuka untuk interpretasi lainnya. Kira dapat mengatakan dengan pasti bahwa
terlepas dari konsep psikoanalisis tradisional, stimulasi lditora tetap merupakan
bagian kunci dari respons erotis wanita pada saat ia dewasa dan bukan merupakan
tanda dari fliksasi ketidakmatangan.
b. Perspektif Kognitif
Albert Ellis (1977b) menekankan bahwa kepercayaan dan sikap yang irasional
dapat memberikan kontribusi pada disfungsi seksual. Pertimbangkan kepercayaan
irasional bahwa setiap saat kita harus mendapatkan persetujuan dari setiap orang
yang penting bagi kita dan bahwa kita hams benar-benar kompeten dalam setiap ha]
yang kita lakukan. Jika kita tidak dapat mcnerima kekecewaan orang lain, kita dapat
membesar-besarkan signifikansi dari satu episode frustrasi seksual. Jika kita
memaksakan bahwa setiap pengalaman seksual harus sempuma, kita membuat
tahapan untuk menjadi gagal secara tak terelakkan.
Bukti juga mengarah pada peran atribusi personal, atau penyebab yang
dipersepsikan dari suatu pcristiwa. Mengarahkan penyebab kesulitan ereksi pada diri
sendiri dan bukan pada situasi dapat memainkan peran penting dalam menentukan
fungsi seksual di masa mendatang (Weisberg dkk., 2001).
Terapis seks ternama, Helen Singer Kaplan (1974), mencatat sejumlah masalah
yang dapat muncul dalam kemampuan kita untuk mengatur tingkat rangsangan
seksual. Pria dengan ejakulasi dini, sebagai contoh, dapat mengalami kesulitan dalam
memperkirakan tingkat rangsangan seksual mercka. Akibatnya, mereka mungkin tidak
akan mampu menahan stimulasi untuk sementara demi menunda ejakulasi.

c. Faktor Psikologis
Berbagai faktor psikologis seperti depresi, kecemasan, rasa bersalah, dan
rendahnya self-esteem dapat mengganggu hasrat atau performa seksual. Satu
penycbab yang penting adalah kecemasan akan performa (performance anxiety),
suatu jenis kecemasan yang melibatkan perhatian yang berlebihan tentang apakah
kita akan mampu untuk memberikan performa yang baik. Orang yang merasa
terganggu dengan kecemasan akan performa menjadi penonton saat berhubungan
seks bukannya pelaku. Perhatian mereka terpusat pada bagaimana tubuh mereka
merespons (atau tidak merespons) terhadap stimulasi seksual dan pada kecemasan
mereka mengenai konsekuensi negatif dari kegagalan untuk memberikan performa
yang tepat, dan bukannya membiarkan diri mcreka masuk ke dalam pengalaman
erotis. Pria dengan kecemasan akan performa memiki kesulitan dalam mencapai atau
mempertahankan ereksi atau dapat berejakulasi dini, sedangkan wanita menjadi tidak
terangsang secara adekuat atau mengalami kesulitan mcncapai orgasme. Lingkaran
setan dapat terjadi sebagai berikut, setiap kegagalan yang dirasakan menyisakan
keraguan yang lebih mendalam, menyebabkan kecemasan yang lebih besar lagi saat
kcmbali berhubungan seksual, dan kegagalan terulang kembali, dan seterusnya.
Dalam budaya barat, hubungan antara performa seksual pria dan perasaan
kelelakiannya mengakar secara mcndalam. Pria yang berulang kali gagal
mcnunjukkan performa seksual dapat kehilangan self-esteem, menjadi tertekan, atau
mwrasa bahwa ia bukan Iagi seorang pria (Carey,Wincze, & Meislcr, 1998). la juga
dapat menganggap dirinya gagal total, terlepas dari keberhasilan lain dalam hidupnya.
Kesempatan melakukan hubungan seksual dianggap sebagai ujian akan
kelelakiannya, dan ia akan merespons dengan mencoba untuk (memaksakan) ereksi.
Keinginan untuk ereksi dapat menyerang balik, karena ereksi adalah refleks yang
tidak dapat dipaksakan. Dengan fokus yang berlebihan pada mempertahankan self-
esteem setiap saat akan bercinta, tidak heran jika kecemasan akan kualitas
performanya-kecemasan akan performa-meningkat sampai pada titik yang dapat
mcnghambat ereksi. Refleks ereksi dikontrol oleh cabang parasimpatis dari sistem
saraf otonom. Aktivasi dari sistem saraf simpatis, yang terjadi ketika kita cemas, dapat
menghambat kontrol parasimpatis dan mencegah refleks untuk ereksi. Ejakulasi,
sebaliknya, berada di bawah kontrol sistem saraf simpatis, sehingga peningkatan
rangsangan, sepcrti dalam kasus kecemasan akan performa, dapat memicu ejakulasi
dini.

d. Perspektif Sosiokultural
Di sekitar pergantian abad ke-ZO, seorang wanita Inggris mengatakan akan
“menutup mata dan memikirkan negaranya” ketika suaminya mendekatinya untuk
berhubungan seksual. Stereotip zaman dulu ini menyiratkan bahwa kepuasan seksual
dianggap secara eksklusif hanya milik pria-bahwa seks, untuk wanita, hanyalah
kewajiban. Seorang ibu biasanya mengajari putrinya akan tugas-tugas dalam
pernikahan sebelum hari pernikahan, dan anak perempuan menganggap seks hanya
sebagai salah satu cara bagi wanita untuk melayani kebutuhan pasangannya. Wanita
yang memiliki sikap stereotip seperti itu terhadap seksualitas wanita cenderung tidak
menyadari potensi seksual mereka. Sebagai tambahan, kecemasan seksual dapat
merubah pikiran negatif menjadi self-fidfilling prophecies. Disfungsi seksual pada pria
juga, dapat dihubungkan dengan kepercayaan sosiokultural yang sangat terbatas dan
hal-hal tabu yang terkait dengan seks.
Teoretikus psikodinamika modern menyadari bahwa kemarahan dan pcrasaan-
perasaan ncgatif lainnya yang dimiliki wanita terhadap pria dapat menyebabkan
disfungsi seksual. Namun, mereka juga percaya bahwa emosi negatif ini berakar dari
faktor-faktor sosiokultural dan bukan penis envy. Wanita dalam masyarakat kita sering
disosialisasikan untuk bcrkorban dan mengabdi pada suami mereka, di mana hal ini
dapat membangkitkan pemberontakan yang diekspresikan melalui disfungsi seksual.
Sebagai contoh, Javier (1993) mencatat, idealisasi dalam berbagai budaya
Hispanik yaitu stereotip marianismo, yang diambil dari nama Bunda Maria. Dari
perspektif sosiokultural ini, wanita luhur yang ideal “menderita dalam kesunyian” saat
ia meredam kebutuhan dan hasratnya pada suami dan anakanaknya. Ia adalah
penyedia kegembiraan, bahkan ketika ia merasakan sakit atau frustrasi. Tldaklah sulit
untuk membayangkan bahwa sejumiah wanita yang mengadopsi harapan stereotip ini
mengalami kesulitan untuk menuntut kebutuhannya sendiri akan kepuasan seksual
atau mengekspresikan perlawanan terhadap idealisme budaya ini dengan menjadi
tidak responsif secara seksual.
Faktor sosiokultural juga memainkan peran penting dalam disfungsi ereksi.
Peneliti menemukan lebih banyak kasus disfungsi ereksi pada budaya dengan sikap
seksual yang lcbih tertutup terhadap hubungan seks pranikah pada wanita, seks
dalam pernikahan, dan seks bukan dengan pasangan resmi (Welch 8c Kartub, 1978).
Pria dalam budaya ini lebih mudah mengembangkan kecemasan seksual atau rasa
bersalah yang dapat mempengaruhi performa seksual mereka.
Di India, keyakinan budaya yang menghubungkan hilangnya cairan mani dengan
berkurangnya energi hidup pria mendasari perkembangan sindrom dhat, yang
melibatkan ketakutan yang berlcbihan akan keluarnya cairan mani. Pria dengan
kondisi seperti ini terkadang mcngembangkan disfungsi ereksi karena ketakutan
mereka tentang risiko menyia-nyiakan cairan seminal yang berharga yang akan
mempengaruhi kemampuan mereka dalam performa seksual (Singh, 1985).

e. Perspektif Biologis
Banyak kasus disfungsi seksual berasal dari faktor biologis atau dari kombinasi
faktor biologis dan psikologis (Carey, Wincze 8c Meisler, 1998). Kurangnya produksi
testosteron dan aktivitas tiroid yang berlebihan atau di bawah standar adalah salah
satu di antara banyak kondisi biologis yang dapat menyebabkan hendaya hasrat
seksual (Kresin, 1993). Kondisi medis juga dapat mcngganggu keterangsangan
seksual pada pria dan wanita. Diabetes, misalnya, adalah penyebab organis yang
paling sering terjadi pada disfungsi ereksi, diperkirakan setengah dari pria penderita
diabetes mengalami disfungsi ereksi dengan beragam tingkat keparahan (Thomas 8c
LoPiccolo, 1994). Diabetes juga dapat mengganggu respons seksual pada wanita, di
mana berkurangnya lubrikasi vagina merupakan konsekuensi yang paling umum
terjadi.
Faktor biologis dapat memainkan peran yang penting pada kurang lebih 7000
sampai 80% kasus disfungsi creksi (Brody, 1995b). Faktor biologis lainnya yang dapat
mengganggu hasrat, keterangsangan seksual, dan orgasmc meliputi kondisi saraf
yang rusak seperti multiple sclerosis; gangguan pam-paru; gangguan ginjal; masalah
pernapasan, kerusakan yang disebabkan karena penyakit menular seksual; dan efek
samping dari berbagai obat-obatan (Brody, 1995b; Segraves, 1988; Spark, 1991).
Namun, bahkan dalam kasus disfungsi seksual dengan penyebab fisik yang jelas,
masalah emosional seperti kecemasan dan deprcsi serta konHik perkawinan dapat
memperberat disfungsi tersebut.
Hormon seks pria yaitu testosteron memainkan peran utama dalam
menggerakkan hasrat clan aktivitas seksual pada pria dan wanita (Tuitcn dkk., 2000;
Yates, 2000). Pria dan wanita sama-sama menghasilkan testosteron dalam tubuh
mereka, meskipun wanita menghasilkan jumlah yang lcbih scdikit. Pria yang
kekurangan produksi testosteron dapat kehilangan minat seksual dan kapasitas untuk
ereksi (Kresin, 1993; Spark, 1991). Pada wanita, testosteron dihasilkan oleh kelenjar
adrenalin dan ovarium. Jika organ-organ ini diangkac melalui operasi karena serangan
penyakit, wanita tersebut tidak lagi mcnghasilkan testosteron dan secara bcrtahap
dapat kehilangan minat seksual dan kapasitas untuk merespons aktivitas seksual.
Bukti akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penggantian testosreron dapat
meningkatkan fungsi scksual pada kasus seperti itu (Shifrcn dkk., 2000). Namun kita
harus mengetahui bahwa hampir scmua pria dan wanita dengan disfungsi seksual
memiliki tingkat hormon yang normal (Spark, 1991).
E. Terapi
a. Gangguan Hasrat Seksual
Terapis seks mencoba membantu seseorang dengan hasrat seksual yang rendah
untuk membangkitkan minat seksualnya melalui penggunaan latihan selfstimulation
(masturbasi) bersamaan dengan fantasi erotik. Atau saat menangani pasangan,
terapis dapat mcmberikan latihan pemuasan timbal balik pada pasangan yang dapat
dilakukan di rumah atau mendorong mereka untuk memperluas perbendaharaan
seksual mereka dengan tujuan untuk menambah hal-hal baru dan kegairahan dalam
kehidupan seks mereka. Ketika kurangnya hasrat seksual dihubungkan dengan
depresi, penanganan dapat difokuskan pada mengatasi depresi yang mendasarinya
dengan harapan bahwa minat seksual dapat kernbali ketika tekanan itu hilang. Ketika
masalah rendahnya hasrat seksual atau aversi seksual muncul dan mengakar pada
penyebab yang mendalam, terapis seks Helen Singer Kaplan (1987)
merekomendasikan penggunaan pendekatan insigbt-oriented untuk membantu
mengungkap dan mcnyelaraskan isu yang mendasarinya.
Sejumlah kasus hasrat seksual hipoaktif melibatkan defisiensi hormonal, terutama
kurangnya testosteron (Rabkin, Wagner, & Rabkin, 2000). Pemberian testosteron
hanya efektif pada beberapa kasus di mana produksi hormon benarbcnar kurang
(Spark, 1991). Kurangnya hasrat seksual juga dapat merefleksikan masalah
hubungan yang perlu diselesaikan melalui terapi pasangan. Terapi pasangan juga
dapat digunakan ketika aversi seksual berkembang dari masalah dalam hubungan
(Gold & Gold, 1993). Pada kasus lain dari aversi seksual, program kenikmatan mutual,
dimulai dengan stimulasi pasangan pada area nongenital dan secara bertahap
meningkat pada stimulasi genital, dapat membantu dalam mengurangi ketakutan akan
kontak seksual.

b. Vaginismus dan Dispareunia


Vaginismus adalah refleks terkondisi yang menyebabkan Penyempitan tak sadar
pada bagian mulut vagina. Hal itu dikarenakan ketakutan secara psikologis akan
terjadinya penetrasi, dan bukan suatu kerusakan atau gangguan Hsik (LoPiccolo &
Stock, 1986), Penanganan untuk vaginismus meliputi kombinasi teknik relaksasi dan
penggunaan pembesar vagina untuk secara bertahap mendesensitisasi Otot vagina.
Wanita itu sendiri yang mengatur masuknya pembesar (batang plastik) dengan
diameter yang scmakjn meningkat, sesuai dengan kecepatan yang ia inginkan untuk
menghindari rasa tidak nyaman (LoPiccolo 8c Stock, 1986). Metode ini secara umum
berhasil sepanjang tidak dilakukan dengan terburu-buru. Karena banyak wanita
dengan vaginismus dan dispareunia memiliki sejarah pemerkosaan atau
penganiayaan seksual, psikoterapi dapat menjadi bagian dari program penanganan
dengan tujuan untuk mengatasi konsekuensi psikologis dari pengalaman traumatis.
Evaluasi terhadap Terapi Seks Angka keberhasilan untuk terapi seks lebih baik
pada beberapa gangguan dibanding pada gangguan lain. Tingkat kesuksesan yang
tinggi dilaporkan dalam pcnanganan Vaginismus pada wanita dan ejakulasi dini pada
pria (LG. Beck, 1993; O’Donohue, Letoumeau, & Geer, 1993). Tingkat kesuksesan
yang dilaporkan dalam menangani vaginismus berkisar antara 80% (Hawton 8L
Catalan, 1990) sampai 10000 (Masters & Johnson, 1970). Angka kcsuksesan dalam
menangani ejakulasi dini dengan prosedur stop-start dilaporkan hingga setinggi 95%,
tetapi angka kambuhnya cenderung tinggi juga (Segraves 8c AJthof, 1998). Angka
keberhasilan dalam menangani disfungsi ereksi dengan teknik terapi seks lebih
bervariasi (Rosen, 1996), dan kita masih kekurangan penelitian yang bersifat
metodologis untuk mendukung keefektifan teknik ini (O’Donohue dkk., 1999). Hasil
penanganan untuk gangguan orgasme pria juga bervariasi dan sering mengecewakan
(Dekkcr, 1993).
Meskipun sejumlah kemajuan telah dipcroleh dalam menangani gangguan hasrat
seksual, teknik penanganan baru akan tetap mcnguntungkan karena teknik yang
sekarang ada sering gagal dalam mengatasi masalah (J.G. Beck, 1995; Hawton,
1991). Hasil yang lebih baik secara umum dilaporkan dari program masturbasi yang
ditujukan pada wanita preorgasme, dengan angka kesuksesan (persentase wanita
yang mencapai orgasme) dilaporkan dalam kisaran 7000 sampai 9000 (Rosen &
Leiblum, 1995). Namun, angka yang jauh lcbih rendah dilaporkan ketika mengukur
persentase wanita yang menyatakan dapat mencapai orgasme selama berhubungan
seksual dengan pasangan mereka (Segravcs & Althof, 1998). Sejumlah pcneliti
percaya bahwa efektivitas masturbasi yang diarahkan sebagai alternatif penanganan
masih belum dapat ditentukan (O’Donohue, Dopke, & Swingen, 1997).

c. Penanganan Biologis untuk Disfungsi Seksual Pria


Penanganan biologis terhadap gangguan ereksi meliputi begitu banyak teknik,
tetapi sekarang ini lebih dipusatkan pada penggunaan obat-obatan, baik untuk
membangkjtkan ereksi atau menunda ejakulasi. Contoh yang paling dikenal luas
adalah Viagra, obat yang dapat memperluas aliran darah di penis, yang memiliki efek
peningkatan aliran darah kc penis yang dapat menyebabkannya menjadi ereksi
(Goldstein dkk., 1998; Kolata, 1998). Diminum sekitar satu jam sebelum berhubungan
seksual, obat tersebut telah membantu 7000 sampai 8000 pasien dengan disfungsi
ereksi untuk mencapai ereksi. Viagra adalah obat baru dengan penjualan tercepat
dalam sejarah, segera setelah pcluncurannya. Sayangnya, Viagra telah gagal untuk
membantu wanita dcngan disfungsi seksual (“Viagra Fails to Help Women,” 2000).
Penanganan hormon dapat membantu pria yang tingkat hormon seks prianya
rendah secara abnormal tetapi tidak pada mereka yang tingkat hormonnya berada
dalam batas normal (Spark, 1991). Karena dapat mcmiliki efek samping, seperti
kerusakan hati, penanganan hormon seharusnya tidak dilakukan tanpa ada
pengawasan ketat.
Pembedahan vaskular dapat efektif pada kasus yang jarang, di mana
tersumbatnya aliran darah mencegah darah untuk membesarkan penis atau di mana
penis memiliki kerusakan sccara struktural (LoPiccolo 8C Stock, 1986).
Bukti akhir-akhir ini mengindikasikan bahwa obat antidepresan jenis SSRI juga
dapat mcmbantu menunda ejakulasi pada pria dengan ejakulasi dini (Kim & Seo ,
1998; Segraves & Althof, 1998). Obata-obatan ini mempengaruhi tersedianya
neurotransmiter yang memainkan peranan dalam pengaturan otak terhadap refleks
ejakulasi.
Dari semua ini, angka kesuksesan yang dilaporkan untuk menangani disfungsi
seksual melalui pendekatan psikologis atau biologis cukup memuaskan, terutama
ketika kita mengingat bahwa pada beberapa generasi sebelumnya, belum ada
penanganan efektif yang tersedia.

d. Gangguan Nyeri Genital


Penanganan persetubuhan yang menyakitkan umumnya membutuhkan intervensi
medis untuk menentukan dan mengatasi masalah fisik yang mendasarinya, seperti
infeksi saluran kemih, yang dapat menyebabkan rasa sakit/nyeri (van Lankveld et all.,
2010). Dalam kasus di mana vaginismus berkontribusi pada rasa sakit, penanganan
psikologis vaginismus dapat membantu meredakan rasa sakit. Vaginismus adalah
refleks terkondisi yang melibatkan penycmpitan secara spontan dari lubang vagina.
Ini merupakan ketakutan sccara psikologis karena penetrasi, ketimbang masalah
medis. Penanganan vaginismus dapat mencakup kombinasi metode pcrilaku,
termasuk teknik relaksasi dan metode pemaparan bertahap guna mengurangi
pengaruh otot vagina terhadap penetrasi-dengan meminta wanita selama beberapa
minggu mcmasukkan jari atau dilator plastik agar meningkatkan ukuran vagina
sembari ia tetap rileks (Reissing, 2012; ter Kuile et 31., 2009). Meskipun terapis sering
melaporkan hasil yang baik dengan paparan bertahap, kami belum memilikj cukup
bukti dari uji coba penelitian terkendali yang menguji efektivitasnya (van Lankveld, et
aL, 2010). Karena banyak wanita dengan nyeri seksual atau vaginismus memiliki
riwayat pemerkosaan atau pelecehan seksual, psikoterapi dapat menjadi bagian dari
program penanganan untuk mengatasi konsekuensi psikologis dari pengalaman
traumatis.

e. Dorongan Atau Hasrat Seksual Yang Rendah


Terapis seks dapat mencoba membantu orang yang mengalami hasrat seksual
yang rendah dcngan latihan penggunaan rangsangan/stimulasi diri (masturbasi)
bersama dengan fantasi erotis. Saat bekerja dengan pasangan, terapis menentukan
latihan yang saling menguntungkan yang dapat dilakukan oleh pasangan di rumah,
atau mendorong mereka untuk mengembangkan repertoar seksualnya guna
menambah hal baru dan kenikmatan dalam kehidupan seks mereka. Jika kurangnya
hasrat scksual dihubungkan dengan depresi, penanganan berfokus pada pengobatan
depresi tersebut. Terapi pasangan dapat dilakukan untuk mengatasi masalah dalam
hubungan yang mungkin berkontribusi terhadap kurangnya hasrat seksual (Carvalho
& Nobre, 2012). Jika masalah rendahnya hasrat atau minat tampaknya berasal dari
penyebab di dalam batin, beberapa terapis seks menggunakan pendekatan berbasis
pandangan (insight-oriented, yaitu psikodinamika) untuk membantu mengungkap dan
mengatasi masalah tersebut.
Beberapa kasus rendahnya hasrat seksual dihubungkan dengan deHsiensi
hormon, terutama kurangnya hormon seks pria, yaitu testosteron. Penggunaan tampal
(patch) gel testosteron pada kulit untuk memberikan hormon itu dapat meningkatkan
hasrat seksual dan meningkatkan fungsi seksual pada pria yang memiliki kadar
testosteron rendah yang tidak normal (Buvat at all., 2010; Granata et all., 2012;
Montorsi et al., 2010). Penanganan testosteron dapat memiliki potensi komplikasi
yang serius, seperti kerusakan hati dan kemungkinan kanker prostat, sehingga harus
dilakukan dengan hati-hati. Keamanan jangka panjang dari penanganan testosteron
pun tidak sepenuhnya ditentukan (Heiman, 2008).
Testosteron juga dapat membantu meningkatkan dorongan dan minat seksual
pada wanita menopause dengan hasrat seksual yang rendah, tetapi keefektifannya
pada Wanita menopause masih belum jelas (Brotto et al., 2010; Kingsberg, 2010).
Namun, karena dampak jangka panjang terapi testosteron terhadap risiko kanker
payudara dan kondisi medis lainnya pada wanita masih belum diketahui, wanita yang
ingin melakukan penanganan testosreron harus berkonsultasi dcngan penyedia
layanan medis mereka untuk menimbang potensi risiko dan manfaatnya. Penanganan
hormonal ini iuga dapat menyebabkan pertumbuhan rambut di wajah dan jerawat.

f. Gangguan Rangsangan
Wanita yang memiliki kesulitan untuk terangsang secara seksual dan pria dengan
masalah ereksi, pertama-tama diberi pendidikan mengenai fakta bahwa mereka tidak
harus “melakukan” sesuatu untuk menjadi terangsang. Sejauh masalah mereka
bersifat psikologis, bukan organis, mereka hanya perlu mengalami stimulasi seksual
dalam kondisi rileks, dan tidak tertekan, sehingga kognisi-kognisi yang mengganggu
dan kecemasan tidak menghambat respons refleksif. Masters dan Johnson meminta
pasangan mengatasi kecemasan akan pcrforma dengan melakukan latihan berfokus
pada sensasi (sensate focus exercises), yaitu kontak seksual yang tanpa
tuntutanlatihan berkala yang tidak menuntut munculnya rangsangan seksual dalam
bentuk lubrikasi vagina atau ereksi. Pasangan memulai dengan memijat satu sama
lain tanpa menyentuh genital. Pasangan belajar untuk “menikmati” satu sama lain dan
untuk “dinikmati” dengan cara memberi dan menerima instruksi verbal dan memandu
tangan masing-masing. Metode ini meningkatkan keterampilan komunikasi dan
seksual serta menghilangkan kecemasan karena tidak ada tuntutan untuk terangsang
secara scksual. Setelah beberapa sesi, pijatan langsung pada alat genital dapat
dilakukan dalam latihan ini. Bahkan ketika ada tanda-tanda yang jelas dari munculnya
rangsangan seksual (lubrikasi atau ereksi), pasangan tidak langsung melakukan
hubungan seks, karena hubungan seks dapat mengandung tuntutan terhadap
performa seks. Setelah rangsangan dicapai secara konsisten, pasangan memasuki
tahap rileks dari aktivitas seksual lainnya, dan mencapai puncaknya dalam hubungan
seks.

g. Gangguan Orgasme
Wanita dengan gangguan orgasme sering memiliki kepercayaan yang mendasar
bahwa seks adalah suatu hal yang kotor atau penuh dosa. Mereka mungkin diajari
untuk tidak menyentuh diri mereka sendiri. Mereka sering kali cemas tentang seks dan
belum pernah mempelajari, melalui proses coba-coba, jenis stimulasi seksual apa
yang dapat merangsang mereka dan membantu mereka mencapai orgasme.
Penanganan pada kasus semacam ini meliputi modifikasi dari sikap negatif terhadap
seks. Ketika gangguan orgasme merefleksikan perasaan atau hubungan wanita
dengan pasangannya, penanganan perlu dilakukan untuk mengatasi perasaan ini
atau memperbaiki hubungan.
Pada kasus ini, Masters dan Johnson bekerja sama dengan pasangan dan
pertama-tama menggunakan latihan berfokus pada sensasi untuk mengurangi
kecemasan akan performa, membuka jalur komunikasi, dan membantu pasangan
untuk mcmperoleh keterampilan menikmati. Kemudian selama melakukan pijatan
pada genital, dan lalu selama berhubungan seksual, wanita mengarahkan
pasangannya untuk menggunakan sentuhan dan teknik yang dapat menstimulasi
dirinya. Dengan mengambil alih kontrol, wanita menjadi bebas sccara psikologis dari
stereotip peran wanita yang pasif dan submisif.
Banyak peneliti menemukan bahwa program masturbasi yang diarahkan paling
efektif dalam membantu wanita preorgasme (preorgasmic)-wanita yang tidak pernah
mencapai orgasme melalui cara apa pun (Baucom dkk., 1998; LoPiccolo & Stock,
1986). Masturbasi memberikan kesempatan untuk mempelajari tentang tubuh sendiri
dan membcrikan kenikmatan pada diri sendiri tanpa bergantung pada pasangan atau
keharusan untuk memenuhi kebutuhan pasangan. Program masturbasi yang
diarahkan mendidik wanita tentang anatomi seksual mereka dan mendorong mereka
untuk bereksperimen dengan membelai diri sendiri di daerah pribadi mereka. Wanita
melakukannya menurut kecepatan mereka sendiri dan didorong untuk
mengcmbangkan fantasi dan imajinasi seksual pada saat latihan self-stimulation, yang
dirancang untuk meningkatkan level rangsangan seksual mereka. Secara bertahap
mereka belajar untuk menggiring diri mereka pada tahap orgasms, kadang kala
dengan bantuan vibrator (penggetar) listrik. Sekali wanita dapat bcrmasturbasi untuk
mencapai orgasme, penanganan tambahan yang berorientasi pada pasangan dapat
membantu tetapi tidak mcnjamin terjadinya orgasms pada saat berhubungan dengan
pasangan.
Meskipun perhatian kecil dalam literatur ilmiah telah difokuskan pada gangguan
orgasme pria, penanganan standar, jika masalahnya berakar pada faktor organis,
dipusatkan pada pcningkatan stimulasi seksual dan pengurangan kccemasan akan
performa (LoPiccolo, 1990; LoPiccolo & Stock, 1986).
Pendekatan yang paling banyak digunakan untuk menangani ejakulasi dini,
discbut dengan teknik stop-start atau stop-and-go, diperkcnalkan pada tahun 1956
oleh urolog James Semans. Pria dan pasangannya menunda aktivitas seksual di saat
ia hampir bercjakulasi dan kemudian memulai kembali stimulasi ketika sensasinya
berkurang. Latihan yang berulang memungkinkan dirinya untuk mengatur ejakulasi
dengan mcmbuat ia sensitif terhadap petunjuk yang mendahului refleks ejakulasinya
(membuat ia lebih sadar akan “point of no return”, titik di mana refleks ejakulasi dipicu).

Anda mungkin juga menyukai