Anda di halaman 1dari 29

FIKIH KEBENCANAAN

Fikih kebencanaan adalah upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat


mengenai bencana dari tiga aspek, yaitu aspek nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah/basic
values), prinsip umum (al-usul al-kulliyyah/general principles), dan aspek praktis (al-
ahkam al-far’iyyah/concrete rulings) yang berjalan dengan ajaran islam dalam
menanggulangi bencana, baik sebelum, saat, maupun setelah bencana terjadi.
Bencana adalah kejadian yang mendatangkan gangguan serius dalam kehidupan
manusia, dalam bahasa Al-qur’an dan Hadits dapat disebut dengan musibah. Bencana
terkadang mengakibatkan kerugian, kerusakan (tadmir dan tamziq) atau lumpuhnya
fungsi-fungsi sosial masyarakat (halak dan fasad) dan terjadinya kekacauan (fitnah).
Bencana dapat menimpa siapa saja, baik orang yang berbuat dosa atau yang telah
melakukan kerusakan di muka bumi, maupun orang yang tidak berdosa (berbuat salah).
Jika manusia yang berdosa ditimpa mudarat (kerugian) akibat bencana tersebut, maka
bagi dirinya hal itu berfungsi sebagai iqab, nazilah, atau bahkan azab atas perbuatanya.
Sedangkan bagi orang yang tidak berdosa dan mereka masih hidup bencana adalah
bala, yakni ujian untuk melihat kualitas keimanan mereka, dan adalah rahmat karena
menjadi momentum untuk melakukan muhasabah dan perubahan kedepan. Adapun
bagi yang meninggal akibat bencana sedangkan ia tidak bermaksiat kepada Allah,
maka hal itu menjadi tangga untuk mendapatkan tempat yang mulia disisi Allah.
Karena bencana bisa merupakan ujian dan rahmat dari Allah, maka masyarakat
harus menyikapai dengan positif, yaitu dengan tidak menyalah-nyalahkan atau memiliki
prasangka negatif terhadap Tuhan dan juga orang yang terkena bencana. Sikap
berbaik sangka kepada Allah juga harus diiringi dengan melakukan ikhtiar untuk
melepaskan diri dari bencana dan tidak berputus asa dari rahmat Allah serta tetap
memiliki semangat untuk bangkit kembali. Masyarakat yang menjadi korban bencana
juga harus memiliki keyakinan bahwa ada solidaritas orang lain untuk dirinya. Tetap
memiliki harapan masa depan atau optimisme hidup juga menjadi kata kunci dalam
cara menyikapi bencana.
Bencana pada hakikatnya bukanlah bencana bagi orang yang terkena dampak
langsung atau menjadi korban saja, tetapi juga bencana bagi pihak lainnya. Oleh
karena itu, adalah kewajiban bersama bagi masyarakat untuk memberikan bantuan
yang sesuai dengan standar minimum pemenuhan hak korban bencana. Konsep
bantuan kemanusiaan untuk korban bencana bukan lagi merupakan sebuah kegiatan
pemberian sumbangan balaka (charity) atau kegiatan yang berorientasi pada keinginan
pemberi bantuan dan sekedar kebutuhan warga terdampak. Tetapi harus dilakukan
dengan berorientasi pada pemberdayaan, pemenuhan hak-hak hidup manusia dan
partisipatif dengan mengupaya kan kondisi-kondisi yang harus dicapai dalam semua
aksi kemanusiaan supaya penduduk yang terkena bencana dapat bertahan dan pulih
ke kondisi stabil dan bermartabat.
Pada saat bencana, masyarakat sering menemui kebingungan terkait
pelaksanaan ibadah. Pelaksanaan ibadah pada saat bencana sesungguhnya dapat
dilaksanakan diatas dua prinsip umum, yaitu prinsip kemudahan (taysir) dan perubahan
hukum sesuai dengan perubahan situasi ( tahayyuru al-ahkam bi taghayurri al-azzam
waal-maka wa al-ahwal). Pada saat bencana, secara prinsipil kewajiban manusia
terhadap Tuhan harus tetap dilaksanakan. Namun demikian, syariat Islam memberikan
solusi kemudahan untuk pelaksanaanya. Islam tidak membebani kewajiban yang
berada diluar kapasitas umatnya. Manusia hanya diminta untuk melaksanakan hak
Allah sesuai dengan batas maksimal yang ia miliki (taqwallah ala qadri al-istita’ah)
Dana Zakat untuk korban Bencana
Allah telah menentukan delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam Al-
qur’an. Allah Swt. berfirman:
ِ ‫ين َو ۡٱل َٰعَ ِم ِلينَ َعلَ ۡي َها َو ۡٱل ُم َؤلَّفَ ِة قُلُوبُ ُه ۡم َوفِي‬
ِ ‫ٱلرقَا‬
‫ب‬ ِ ‫س ِك‬ َ َٰ ‫صدَ َٰقَتُ ِل ۡلفُقَ َرآ ِء َو ۡٱل َم‬
َّ ‫۞إِنَّ َما ٱل‬
٦٠ ‫يم‬ٞ ‫ٱَّللُ َع ِلي ٌم َح ِك‬ ِۗ َّ َ‫ض ٗة ِمن‬
َّ ‫ٱَّللِ َو‬ َ ‫سبِي ِۖ ِل فَ ِري‬َّ ‫ٱَّللِ َو ۡٱب ِن ٱل‬َّ ‫سبِي ِل‬ َ ‫َو ۡٱل َٰغَ ِر ِمينَ َوفِي‬
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orag-rang fakir, miskin, pengurus-
pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-
orang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. At-Taubah (9):60)
Ayat diatas memang tidak secara spesifik menyebutkan korban bencana sebagai
salah satu yang berhak menerima dana zakat. Namun demikian, melihat kondisi yang
sedang dialami korban bencana, tidak menutup kemungkinan mereka mendapatkan
bagian dari dana zakat dengan menganologikan sebagai golongan fakr miskin, dengan
pertimbangan bahwa korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan
sebagaimana pengertian fakir dan miskin menurut jumhur ulama adalah orang yang
dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan.
Dari keterangan diatas, kiranya sudah dapat dipahami bahwa penyaluran dana
zakat untuk korban bencana dibolehkan dengan ketentuan diambilkan dari bagian fakir
miskin, atau boleh juga dari bagian orang yang berhutang (ghorimin), karena
dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya, kurban bencana harus berhutang.
(Sumber MTT dan LPB PP Muhammadiyah)
Fikih Kebencanaan
15 August, 2018 WIB

15 August, 2018 WIB

2 Komentar

Bagikan ini!

Oleh: Muhammad Azhar

Setelah sukses mengadakan Munas Tarjih ke-28 tentang Fikir Air, maka pada tanggal 19-22 Mei
2015, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah kembali menggelar Munas ke-29 yang
bertemakan tentang Fikih Kebencanaan. Munas ini merupakan kelanjutan dari Munas-munas
sebelumnya yang sukses mengkaji tentang: Fikih al-Ma’un, Fikih Perempuan, Fikih Tata Kelola
Pemerintahan, Fikih Seni dan Kebudayaan. Pada Munas Tarjih 2017, juga telah dibahas Fikih
Perlidungan Anak dan Fikih Informasi. Dalam Munas tersebut dikaji pula tentangz Fikih
Lalulintas walau masih dalam bentuk seminar, belum dalam bentuk penyusunan draft akademik.
Secara informal beberapa personal Majelis Tarjih juga telah mengkaji tentang Fikih Kebinekaan
bersama Maarif Institute.

Menurut rencana, pada tahun 2019, Majelis Tarjih dan Tajdid akan mengagendakan kajian Fikih
Demokrasi dan Fikih Difabel. Di masa mendatang, sebaiknya Majelis Tarjih juga idealnya dapat
mengkaji tentang: Fikih Kuliner, Fikih Tata Ruang Perkotaan, Fikih Sumberdaya Alam, Fikih
Udara, Fikih Kemaritiman, Fikih Transportasi, Fikih Anggaran dan Standar Penggajian, Fikih
Perburuhan, Fikih Demografi dan Generasi Milenial, dan lain-lain.

Terkait dengan realitas faktual bahwa Indonesia memang ditakdirkan berada pada wilayah ring
of fire, maka Majelis Tarjih telah menyusun draft Fikih Kebencanaan (dan telah diterbitkan
menjadi buku termasuk dalam edisi berbahasa Inggeris dengan judul: Coping With Disaster,
Principle Guidance from an Islamic Perspective, Majelis Tarjih –MDMC, 2016), yang antara lain
berisi tentang: Chapter I: INTRODUCTION. Pada Chapter II: THE CONCEPT OF DISASTER;
A. Terminologies of Disaster in the Qur’an and Hadith; B. Classification of Disaster; 1) Natural
Disaster: (a) Earthquake; (b) Volcanic Eruption; (c) Tsunami; (d) Landslide; (e) Flood; (f)
Drought. Pada bagian berikutnya: 2) Non-natural Disaster: (a) Technology Failures; (b)
Epidemic/Outbreak; (c) Social Conflict or Social Unrest or Riot; (d) Terror.

Pada Chapter III; INTERPRETING DISASTER; A. How to View Disaster; B. Attitude towards
Disaster. Lalu pada Chapter IV: PERSPECTIVE ON MANAGING DISASTER; A. How to
Look at Preventive Measures (1. Understanding the Causes of Disaster; 2. Understanding the
Role of Humans in Natual Settings); B. Disaster Management in Practise (1. Mitigation and
Preparedness; 2. Emergency Response; 3. Recovery after a Disaster).

Pada Chapter V (FULFILLING THE RIGHTS OF THE AFFECTED PEOPLE). Bab ini berisi
(A. The Rights to Manage Disaster Risks; 1. Defining the Context; 2. Identifying the Risks:
Threat and Vulnerability Analyses; 3. Risk Analysis; 4. Risk Evaluation; 5. Handling Risk:
Identification, Selection and the Plan of Actions). Bagian B. The Right to Manage Vulnerability
(1. Underlying Causes of Vulnerablity; 2. The Vulnerability of the Dynamic Pressure; 3. The
Vulnerability of Unsafe Conditions). Pada bagian; C. The Right to Receive Emergency
Assistance (1. The Right to Life with Dignity; 2. The Right to Receive Humanitarian
Assistance; 3. The Right to Protection and Security. Pada bagian D; The Right to Rehabilition
and Reonstruction. Bagian E; The Right to Carry Out Disaster Management System, dan pada
bagian F; Being Resilient as a Community.

Adapun pada Chapter VI: WORSHIP IN THE EVENT OF DISASTER, A. How to Perform
Ablutions in an Emergncy Situation: Tayammum; B. Doing Prayers in Unclean of Dirty Clothes;
C. Doing Prayers with Private Parts not Fully Covered; D. Perfoming Prayers During Disaster;
E. Make Up Prayers in Case of Evacuation; F. Time Limits for Jama’ Prayers During Disaster;
G. Fasting During Evacuation; H. Treating the AffectedBodies; I. Prayers for Missing Deceased
Who Is Believed to Have Died (Salat Ghaib); J. Compulsory Charity (Zakah) Funds for the
Affected People. Terkahir buku ini diutup dengan ChapterVII (Conclusion, Bibliography,
Glossary).

Konsep tentang bencana ada yang tergolong pada natural disaster, namun ada pula yang terkait
dengan human error. Yang pertama tentu “murni” dari kuasa Allah SWT, sedangkan yang kedua
sering dianggap sebagai kesalahan prilaku manusia. Kasus gempa bumi (earth quake), lumpur
Lapindo (menurut sebagian pakar geologi), angin topan dan puting beliung, membekunya es di
AS, dan semisalnya, bisa digolongkan pada natural disaster. Sementara banjir, kebakaran dan
sejenisnya termasuk pada wilayah human error, sebagaimana firman Allah SWT: “Telah nyata
kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia”. Dalam firman yang lain juga dicantumkan
bahwa segala hal positif itu datangnya dari Allah, adapun yang negatif akibat ulah manusia
sendiri.

Berbicara tentang bencana tentunya tak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang Taqdir, Ikhtiar
dan Sunnatullah (yang telah diketahui maupun yang belum diketahui atau terdeteksi). Di
kalangan ulama Islam banyak penafsiran tentang tiga konsep tersebut. Di sini penulis
sederhanakan sebagai berikut: Taqdir merupakan ketetapan ilahi, sesuai dengan upaya minimal
atau maksimal (ikhtiar) manusia dalam memahami dan menjalani hukum-hukum Tuhan
(sunnatullah) di bidang social maupun natural selama hidup di dunia. Bila sunnatullah di bidang
sosio-kultural memiliki dimensi relativitas yg tinggi, maka sunnatullah di wilayah natural-fisikal
nilai relativitasnya lebih rendah. Sunnatullah atau hukum alam dan sosial ini akan menimpa
semua umat manusia tanpa melihat aspek suku, bangsa bahkan agama.

Misalnya, non-muslim yang rajin membaca, belajar dan berusaha tentu akan lebih cerdas, kaya,
sehat dan sejahtera dibanding umat muslim yang malas belajar, malas berusaha dan malas
berolah-raga. Contoh lainnya, bangunan gereja yang memiliki penangkal petir akan lebih selamat
dari sambaran kilatan petir ketimbang masjid yang dibangun tanpa penangkal petir. Jadi, secara
sunnatullah, hukum alam yang berlangsung di dunia ini bersifat adil dan objektif.

Secara taqdir dan sunnatullah, umumnya masin-masing daerah atau negara sudah punya
“sunnatullah”-nya sendiri-sendiri sesuai bakat alam yg mengitari. Misalnya, negara AS dan
sebagian Eropa selalu akan didera badai topan dan es; Jepang, sebagian wilayah Iran dan pantai
selatan Jawa maupun Sumatera, Papua, Maluku, Lombok, lebih “berbakat menikmati” gempa
karena secara sunnatullah memang berada di wilayah ring of fire. Daerah-daerah yang dekat
pegunungan tentu lebih berpotensi mengalami bencana dampak meletusnya gunung api seperti
Merapi (Jateng), Marapi (Sumbar), Sinabung (Sumut), Bromo (Jatim), Anak Kerakatau (Selat
Sunda), dll. Demikian contoh-contoh potensi bencana di daerah atau negara lainnya.

Namun, mengingat manusia sebagai khalifatullah fil-ardl, maka baik potensi bencana yang
natural disaster maupun human error, tetap berlaku firman Allah bahwa: “Sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri terlebih dahulu berupaya
merubah nasib mereka sendiri.“ (QS ar-Ra’du: 11).

Maka untuk menjadi manusia sebagai agen ikhtiar dan agen perubahan yang memiliki
kemampuan manajerial dalam pengelolaan alam dan kehidupan sosial, sudah barang tentu
sangat dibutuhkan sarjana dan ilmuan yang ahli dalam mengelola lingkungan dan tanggap
bencana.

Menarik sekali, misalnya, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah dibuka program S2 Social
Worker yang lulusannya kelak diharapkan memiliki ketrampilan manajerial di bidang
pembangunan maupun ahli di bidang kebencanaan dan sejenisnya. Pada level Negara juga telah
diwujudkan sebuah institusi kebencanaan yakni Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), demikian pula 33 cabangnya di daerah-daerah atau BPBD.
Ormas keagamaan seperti Muhammadiyah juga telah membentuk MDMC (Muhammadiyah
Disaster Management Center), juga ormas lain terkait bantuan kemanusiaan seperti DSUQ,
LAZIS, Dompet Dluafa, dll. Berbagai perusahaan juga telah memiliki unit CSR (Corporate
Social Responsibility) yang sebagian unit kerjanya aktif di bidang kebencanaan.

Demikian pula PMI/Palang Merah Indonesia, dll.

Secara personal, banyak bermunculan para relawan (voluntir) di bidang komunitas tanggap
bencana sosial, komunitas pelestari lingkungan seperti yang telah banyak ditampilkan dalam
acara Kick Andy. Di dunia internasional seperti Malaysia, telah muncul gagasan criminilizing
war yang dipelopori mantan PM Malaysia, Dr. Mahatir Mohammad, dalam rangka
mengeliminasi bencana sosial.

Demikian pula halnya yayasan kemanusiaan yang dipelopori oleh mendiang Nelson Mandela,
Afrika Selatan. Mengingat perang juga akan melahirkan bencana social yang maha dahsyat,
seperti yang kini tengah terjadi di Mesir, Suriah, Yaman, Irak, Afghanistan, Sudan Selatan,
Myanmar bahkan Thailand Selatan yang sering berpotensi mengalami perang saudara. Khusus
di Indonesia, masyarakat juga berharap lembaga seperti masjid, gereja dan peribadatan lainnya,
serta berbagai lembaga pendidikan sosial bisa dikembangkan menjadi pusat antisipasi bencana
yang secara periodik melakukan edukasi, kampanye bahkan didesain sejak dini menjadi tempat
pengungsian tatkala ada bencana. Yang tak kalah pentingnya adalah – terutama bagi partai
politik – agar jangan sampai ada “politisasi bencana”.

Maka secara keseluruhan, umat dan warga bangsa di masa depan perlu lebih meningkatkan lagi
wawasan tentang humanitarianisme yang sejatinya memang membutuhkan ketulusan dan energi
social yang berkelimpahan melalui konsep Ihsan.

Yang perlu juga disadari oleh umat dan warga bangsa bahkan warga dunia masa kini adalah
bahwa bencana alam kini bukan lagi sebagai musibah yang perlu ditakuti, tetapi manusia butuh
paradigma baru dimana bencana social dan alam sebaiknya dianggap sebagai “sahabat”. Saatnya
kini manusia “bersahabat” dengan berbagai bencana. Untuk itu diperlukan sikap mental
antisipatif sejak dini berupa edukasi wawasan kebencanaan social maupun alam sejak kanak-
kanak, bahkan sejak TK/SD sebagaimana pendidikan simulasi bencana di sekolah-sekolah dasar
di Jepang. Juga pentingnya pewarisan “kisah-kisah” bencana melalui buku, film serta
dokumentasi foto-foto pasca bencana, agar generasi muda masa depan lebih sadar bencana,
mengingat 80% wilayah Indonesia memang rawan bencana.

Selain itu perlu diadakan pelatihan secara periodik tentang antisipasi pra dan pasca bencana
seperti persiapan tehnis: masker (minimal kain yang dibasahin), penyediaan stok makanan, air
bersih untuk minum, penerangan, tikar, kasur, selimut terutama bagi anak-anak balita dan kaum
perempuan, paling tidak selama 7 hari pasca bencana. Biasanya bantuan social pasca bencana
butuh berhari-hari sampai ke korban bencana. Juga perlunya kesadaran warga untuk bersedia
direlokasi seperti korban bencana Merapi di luar radius 15-20 km, Sinabung 5 km, serta daerah
rawan longsor maupun pembangunan rumah susun bagi penduduk sekitar sungai. Wawasan
tentang filosofi, teologi serta fikih bencana, fikih air, fikih lingkungan, dll perlu dirumuskan
secara lebih aktual dan kontekstual, mengingat kajian Islamic studies klasik selama ini belum
berbicara banyak tentang kebencanaan tersebut. Kinilah saatnya para guru, dosen, da’i, khatib,
ustaz, kiai, penulis secara gencar dan massif mendakwahkan tentang isu bencana ini secara lebih
aktual dan kontekstual, selain isu korupsi, narkoba, bahaya rokok dll.

Tak kalah pentingnya adalah membangun rasa solidaritas keumatan dan kebangsaan melalui
penggalangan dana dan bahan material lainnya yang dibutuhkan para pengungsi dan korban
bencana alam.

Perlu juga ditambahkan di sini bahwa dalam mengantisipasi datangnya bencana diperlukan tiga
tahapan: pertama, Mitigas: kesiapan psikologis, sosiologis, politis, ekonomis dan cultural pada
saat SEBELUM datangnya bencana, yakni pentingnya bagi masyarakat untuk mengikuti
informasi para pakar bencana seperti dari BMKG, BNPB, BPDB dan sejenisnya yang selalu
mewanti-wanti masyarakat tentang, misalnya, status: NORMAL, WASPADA, SIAGA dan
AWAS dari letusan gunung api. Banyaknya korban gunung Merapi maupun Sinabung
salahsatunya sebagian masyarakat cuek dengan peringatan dini pra-bencana. Kedua, tahapan
Tanggap Darurat terutama beberapa jam atau hari setelah terjadi bencana. Ketiga, tahap
Rekonstruksi atau Rehabilitasi pasca bencana. Idealnya Pemda, tokoh-tokoh masyarakat sudah
memberikan edukasi kepada warga sekitar pada tahap Mitigasi/pra-bencana. Negara Jepang telah
mengantisipasi datangnya bencana pada tahap pertama (mitigasi) sehingga bisa meminimalisir
korban jiwa. Demikian juga setiap daerah di tanah air sebenarnya memiliki banyak kearifan local
yang bisa dimodifikasi untuk tahapan mitigasi.

Ke depan, umat serta warga bangsa perlu mewujudkan konsep dan aplikasi green city yakni
mengembalikan tata manajemen perkotaan kembali menuju suasana pedesaan yang asri, original
dan harmoni (friendly) dengan alam.

Wallahu a’lam bissahawab.


Memahami Bencana dalam Perspektif Fikih Kebencanaan

Koran Sindo

Rabu, 7 November 2018 - 08:45 WIB

views: 6.665

Arif Jamali Muis, Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) PP
Muhammadiyah.Foto/Istimewa

A+ A-

Arif Jamali Muis


Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC)
PP Muhammadiyah

TERJADINYA bencana beruntun baru-baru ini di Lombok-Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dan disusul
gempa dan tsunami Palu, Donggala, dan Sigi, Sulawesi Tengah, menggugah rasa kemanusiaan kita.
Donasi dari masyarakat dari berbagai penjuru Nusantara berdatangan sebagai wujud saling membantu,
begitu juga relawan dari berbagai organisasi hadir untuk meringankan beban saudara-saudara sebangsa
yang sedang mengalami musibah.

Di balik rasa kemanusiaan yang patut kita banggakan muncul di berbagai grup WA dan media sosial
lainnya pendapat yang menyertai penyebab terjadinya bencana. Selain analisis ilmiah keilmuan, muncul
pendapat bahwa bencana terjadi karena di tempat tersebut banyak terjadi kemaksiatan yang dilakukan.
Lihatlah isu yang menyertai gempa Lombok, yakni bencana terjadi karena terdapat pulau yang
digunakan bebas untuk bermaksiat sehingga Allah “murka” dan “marah”, maka diturunkanlah azab dari-
Nya. Atau gempa dan tsunami di Palu karena akan ada pertemuan forum LGBT secara besar-besaran di
Palu dan berbagai isu lainnya. Intinya, semua bencana yang terjadi karena “kemurkaan” Allah akibat
kemaksiatan manusia.
Ada cerita menarik pada saat penulis mendampingi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
berkunjung ke NTB. Ada warga yang bercerita kepada relawan Muhammadiyah bahwa mereka merasa
tidak nyaman dengan wacana gempa terjadi karena azab dari Tuhan. Kata mereka, sudah kena musibah
dianggap ingkar dan bermaksiat kepada Allah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Lalu, bagaimana kita
baiknya memahami kebencanaan yang terjadi?

Baca Juga:

 Menjernihkan Langit Kota


 Jeopardy Simplifikasi Golongan Rokok dan Perekonomian Nasional

Fikih Kebencanaan

Pada Munas Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015 telah diterbitkan fikih kebencanaan
sebagai upaya memahami, menjelaskan, mengantisipasi, dan menyikapi peristiwa-peristiwa
kebencanaan berdasarkan value, ethics, dan ethos dalam Alquran dan Hadis. Dalam fikih kebencanaan,
memandang terjadinya bencana bisa kita bedakan dalam dua hal, yaitu bencana dari sisi teologis dan
sosiologis.

Dalam konteks teologis Alquran mengajarkan bahwa Allah SWT bersifat Rahman dan Rahim, Allah Maha
Kasih dan Sayang (QS 6:54). Maka itu, konsekuensi dari keyakinan itu adalah apa pun yang diberikan
Allah SWT kepada manusia selalu dalam kerangka kebaikan dan penuh dengan kasih sayang. Cara
pandang ini pun harus kita pakai dalam memandang bencana yang terjadi bahwa bencana sebagai
kehendak Allah SWT merupakan sebuah kebaikan (QS 16:30) yang menjadi sarana untuk meningkatkan
kualitas keimanan manusia.

Bencana yang terjadi bukan merupakan bentuk amarah dan ketidakadilan Allah kepada manusia,
melainkan merupakan bentuk kebaikan dan kasih sayang (Rahman) Allah kepada manusia, yaitu sebagai
media introspeksi bagi seluruh perbuatan manusia yang mendatangkan peristiwa merugikan manusia itu
sendiri.

Kedua, secara sosiologis, kita dapat memahami bencana dari perspektif peran manusia sebagai khalifah
(pengelola) alam. Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini mempunyai tugas penting menjaga
kelestarian alam, tidak melakukan kerusakan, menjaga harmoni alam, dan menjadikan alam sebagai
sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam konteks kebencanaan, manusia sebagai khalifah ada tiga
peran penting, pertama melakukan upaya preventif, yaitu mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana
(QS Yusuf : 47–49), melakukan upaya-upaya jika terjadi bencana dapat meminimalkan kerugian dan
korban jiwa.

Kesadaran mitigasi dan kesiapsiagaan ini sangat penting, apalagi Indonesia termasuk wilayah yang
rawan bencana, baik gempa, gunung api, banjir, dan lain-lain. Sayangnya, usaha mitigasi dan
kesiapsiagaan bencana ini belum mendapat porsi utama, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Ketiga, jika terjadi bencana bagi masyarakat yang terdampak harus bersikap sabar dan bersyukur,
mengembangkan positive thinking and action akan kebaikan dan hikmah di balik peristiwa kebencanaan.
Di sisi lain, bagi masyarakat yang tidak terdampak harus melakukan upaya tanggap darurat dengan
menyelamatkan kelangsungan kehidupan manusia, mengurangi penderitaan korban, dan meminimalkan
kerugian materi (QS Al-maidah: 32).
ADVERTISEMENT

Bagi organisasi kemanusiaan menolong korban bencana harus memegang tiga prinsip; pertama inklusif,
membantu tidak hanya untuk kelompok tertentu saja, membantu untuk semua kelompok yang terkena
dampak bencana entah apa pun suku, ras, agama dan golongannya. Bukankah mustad’afin dalam
bahasa agama tertuju tidak memandang agama, suku, etnis, dan kelompok tertentu.
Prinsip inklusif ini penting karena di lapangan kadang ada kecenderungan membantu sesuai dengan
kelompoknya saja. Kedua, non-charity, artinya bantuan kemanusiaan tidak hanya model “bakti sosial”
sekadar membantu apa saja tanpa analisis kebutuhan, setelah itu selesai dan merasa puas. Prinsip
bantuan kemanusiaan adalah berbasis pada hak masyarakat terdampak dan memperhatikan
keberlanjutan program.Bantuan kemanusiaan tidak lagi model “hero” yang datang memberi bantuan
lalu pergi, hit, take a picture and run. Ketiga, prinsip bantuan kemanusiaan harus lebih memperhatikan
kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, dan orang tua lanjut usia. Karena kelompok inilah
paling gampang jika terjadi bencana mengalami penderitaan.
Keempat, pascabencana, sebagai khalifah, manusia wajib melakukan upaya rehabilitasi, yaitu perbaikan
semua aspek yang rusak akibat terjadinya bencana maupun melakukan rekonstruksi semua sarana dan
prasarana yang hancur akibat bencana. Ada baiknya masyarakat mulai menghentikan wacana
mengaitkan terjadinya bencana akibat “kemarahan” dan “murka” Tuhan atas tindakan manusia.

Selain tidak membantu apa pun terhadap korban bencana, juga membuat korban menjadi tidak
nyaman. Jalan terbaik setelah membantu korban adalah kita belajar dari kejadian bencana tersebut
untuk melakukan upaya antisipasi agar jika terjadi di tempat kita tidak menimbulkan kerugian yang
besar. Wallahualam.

(whb)

FIKIH KEBENCANAAN: “Salah Persepsi terhadap Bencana” itu Bencana!


By

Redaksi Khittah.co

2018-10-03

Share on Facebook

Tweet on Twitter

(Telaah Hasil Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXIX di Yogyakarta, 19–22


Mei 2015)

Oleh: Zulfikar Hafid (Wakil Sekretaris Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)
Sumber : Internet

KHITTAH.CO – Bencana itu ngeri, dan kengerian itu telah kerap terjadi di negeri kita. Erupsi
gunung berapi, gempa bumi, sampai tsunami, telah menampakkan wujudnya di depan mata
hingga menghadirkan duka yang tak terperi. Bencana, katanya sunnatullah dan selalu
berpotensi. Bencana, Allah-lah pengaturnya sehingga suatu saat terjadi.

Bencana juga menyulitkan situasi. Mulai dari awal mulanya sampai pasca-terjadi. Dalam
bencana itu, umat tentu tetap ingin beribadah pada Sang Ilahi. Oleh karena itu, dibutuhkan
penyelamatan persepsi. Baik persepsi tentang ibadah, maupun persepsi atas bencana itu sendiri.

Atas realitas bencana ini, Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah kembali
menunjukkan wujud kesadarannya atas tantangan abad kedua persyarikatan. Ini terlihat dari
upaya Majelis Tarjih untuk terus menelurkan produk-produk tarjih kontemporer termasuk
penarjihan fikih terkait kebencanaan.

Fikih kebencanaan merupakan hasil Musyawarah Nasional Tarjih XXIX di Yogyakarta, 19–22
Mei 2015 lalu. Muhammadiyah, menurut Tim Perumus Fikih Kebencanaan Majelis Tarjih,
memang sangat berkepentingan untuk memiliki cara pandang sendiri terhadap bencana ini,
apalagi berkaitan dengan pokok pikiran kedua dari Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah yang
menyatakan hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (hukum qudrat iradah) Allah atas hidup
manusia di dunia ini.

Penarjihan ini juga dilakukan untuk menjawab sejumlah permasalahan-permasalahan, baik yang
bersifat praktik ibadah, maupun perspektif atau pandangan terkait kebencanaan.

Dalam hal perspektif atas kebencanaan, misalnya, Majelis Tarjih berusaha meluruskan
paradigma masyarakat yang seringkali menganggap bencana merupakan konsekuensi magis dari
kemaksiatan atau kerusakan akidah penduduk lokasi bencana. Atas ini, fikih kebencanaan
Majelis Tarjih menegaskan bahwa bencana merupakan siklus alamiah dari fenomena alam.

Menurut Majelis Tarjih, anggapan keliru masyarakat tersebut, justru semakin menambah
penderitaan korban bencana. “Dengan cara berpikir demikian, pihak yang paling kasihan adalah
korban bencana karena harus mengandung derita ganda. Mereka sudah kehilangan segalanya,
mulai dari harta, nyawa sanak famili, bahkan kebahagiaan hidup, sekaligus juga mereka menjadi
sasaran kutukan pihak lain,” ungkap Tim Perumus Fikih Kebencanaan Majelis Tarjih.

Kalau pun suatu bencana terjadi karena dosa manusia, ungkap Tim Perumus Fikih Kebencanaan
Majelis Tarjih, itu diakibatkan oleh dosa yang memang memiliki konsekuensi logis dengan
bencana tersebut, seperti banjir bandang yang terjadi akibat perilaku membuang sampah
masyarakat dan penebangan pohon, atau bencana alam lain yang terjadi akibat eksploitasi alam
yang dilakukan manusia secara berlebihan.

Lebih lanjut, Tim Perumus Fikih Kebencanaan Majelis Tarjih menjelaskan bahwa persepsi keliru
masyarakat tersebut dapat melahirkan respons tidak rasional seperti pelaksanaan ritual-ritul
mistis yang justru tidak memiliki hubungan dengan bencana. Ironisnya, karena keliru pikir ini,
bencana justru melahirkan kesyirikan. Padahal, banyak kejadian alam yang murni disebabkan
perubahan tata alam, seperti gempa bumi karena pergeseran lempeng bumi.

“Peristiwa bencana ini hampir tidak memiliki hubungan sebab-akibat dengan perilaku dan sikap
manusia terhadap agama. Peristiwa ini merupakan proses alamiah yang diciptakan Allah dalam
mengurus alam,” ungkapnya.

Perspektif atas pengelolaan bencana juga ditarjihkan dalam fikih kebencanaan. Ini bertujuan
untuk meluruskan perspektif sehingga pengelolaan bencana dapat lebih tepat, efektif, dan
komprehensif. Salah satu permasalahan pengelolaan bencana yang dibincang adalah terkait
pemahaman penyebab bencana terjadi.

Tim Perumus Fikih kebencanaan Majelis Tarjih mengungkapkan, untuk minimalisasi potensi
kejadian bencana, sistem masyarakat dalam suatu daerah harus diperkuat. Di dalam satu daerah,
orang yang paham atas tanda-tanda bencana secara ilmiah harus ada minimal satu orang di dalam
setiap daerah.
Begitu juga dengan pengurangan risiko bencana, setidaknya harus ada anggota komunitas yang
memiliki kemauan, kepeduliaan, serta akses untuk memperdalam sejarah terjadinya bencana di
masa lalu, teknologi untuk membuat tempat tinggal yang aman dari bencana, perencanaan
darurat jika bencana benar-benar harus terjadi . Termasuk juga kesiapan hidup dalam situasi
darurat jika sebuah masyarakat harus mengalami pengngsian.

Oleh karena itu, paradigma yang menganggap ilmu pengetahuan tidak penting sehingga
masyarakat tidak dapat mengenal ancaman dari bencana yang berupa karakter alam dan karakter
sosial harus diluruskan. Setiap daerah harus memiliki ahli pengetahuan tentang karakter alam
dan sosial yang berpotenssi bencana, sehingga antisipasi dapat dilakukan. Demikian juga jika
potensi bencana sudah diketahui, tindakan masyarakat yang dilakukan oleh sebuah masyarakat
harus efektif.

Selain pelurusan perspektif, fikih kebencanaan juga mengijtihadkan hukum-hukum (fikih) ibadah
pada saat bencana. Menurut Tim Perumus Fikih Kebencanaan, terdapat sepuluh permasalahan
yang sering muncul pada situasi bencana. Kesepuluh permasalahan tersebut telah dijelaskan
hukum fikihnya berdasarkan ijtihad kolektif Majelis Tarjih dan Tajdid.

Hukum fikih ibadah dalam bencana tersebut, antara lain, sahnya salat dalam keadaan najis dan
kotor karena kotoran dan muntah manusia, air mazi dan wadi, kotoran dan bangkai hewan,
termasuk anjing dan babi, serta jika aurat tidak tertutup. Selain itu, batasan waktu jamak salat
pada saat bencana yaitu tidak ada batasan waktu kecuali sampai kesukaran (masyaqqah) dan
kesempitan (haraj) itu hilang.

“Jika situasi yang menyulitkan untuk salat tanpa jamak berlangsung lama, maka jamak dapat
dilakukan, berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas dalam hadis riwayat Muslim,” jelas Tim Perumus
Fikih Kebencanaan Majelis Tarjih dan Tajdid.
Memahami Fikih Kebencanaan
Author : Pimpinan Pusat Muhammadiyah | Kamis, 13 Juni 2019 15:29 WIB

MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA―Indonesia kembali dilandah musibah, tercatat


sejak 8 Juni 2019 Kota Samarinda dilanda banjir akibat curah hujan yang tinggi. Bencana alam
akibat banjir juga melanda beberapa wilayah lain di bumi pertiwi, Indonesia, seperti di Sulawesi
Tenggara, Kalimantan Barat dan beberapa wilayah lainnya. Ketika wilayah lain Indonesia
diterjang banjir akibat curah hujan yang tinggi, di sebagian wilayah yang lain, sawah tadah hujan
mengalami kekeringan karena rendahnya curah hujan.

Adanya fenomena demikian, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial kemasyarakatan yang juga
termasuk bagian dari Ibu Pertiwi Indonesia harus mengambil sikap dan berperan aktif untuk
mencerahkan dan meneduhkan umat dan bangsa ditengah banyaknya bencana yang kian akrab
menyapa. Bukan hanya melalui tindakan sigap bencana yang dilakukan oleh Muhammadiyah
Disaster Management Center (MDMC), Muhammadiyah juga mengagas panduan praktis
menyikapi bencana yang sesuai dengan agama Islam berpersepektif Muhammadiyah.

Yaitu Fikih Kebencanaan yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP
Muhammadiyah, yang merupakan hasil kolabiratif antara fakta realitas kebencanaan yang dalam
hal ini MDMC dan teoritis teks keagamaan diwakili oleh MTT.

Dalam Fikih Kebencaan, sekurangnya terdapat 10 istilah yang mengaraha pada makna bencana
di dalam al Qur'an. Pertama, Musibah yang berasal dari kata a-sa-ba yang artinya sesuatu yang
menimpa kita. Istilah ini mengacu kepada suatu yang netral, tidak berkonotasi pistif dan negatif
(lihat; QS al Hadid (57): 22-23, an Nisa (4): 79, dan as Syuara' (40): 30). Namun dalam
pemaknaannya kedalam bahasa Indonesia, kata ini sering dinisbatkan kepada suatu yang negatif.

Kedua,Bala', kata ini dalam pandangan manusia kata ini cenderung dimaknai sebagai suatu yang
burukn atau lazim dikenal sebagai musibah dengan konotasi negatif. Padahal ketika merujuk
kepada al Qur'an, kata bala' lebih bermakna kepada cobaan untuk memperteguh iman. Dapat
dilihat dalam Qur'an Surat al A'raf (7) : 168. Ketiga, Fitnah yang dalam bahasa Indonesia
maknanya sangat tidak sesuai dengan makna asal di Bahasa Arab. Fitnah dalam al Qur'an
memiliki banyak makna, seperti kumsyrikan (2: 191, 193, 217), cobaan atau ujian (20: 40 dan
29: 3), kebinasaan/kematian (4: 101 dan 12: 83), siksan atau azab (10: 83 dan 16: 110) dan
lainnya. Peristiwa yang dilabeli dengan kata fitnah mengacu kepada peristiwa sosial bukan
peristiwa alam.

Keempat,'Azab yang memiliki arti variatis sesuai dengan konteksnya. Namun ketika 'azab
dikaitan dengan peristiwa yang menimpa manusia, maka kata 'azab adalah sebagai istilah untuk
siksaan. Makna tersebut dalam dilihat dalam QS ad Dukhan (44): 15-16, al Sajdah (32): 21-22,
Luqman (31): 6-7. Kelima, Fasad merupakan lawan dari shalah (baik, bagus dan damai). Dengan
demikian Fasad berarti suatu yang jelek, buruk dan sengketa. Keenam, Halak secara bahasa kata
ini diartikan dengan kata mati, binasa, dan musnah. Berbeda dengan fasad, halak dalam al Qur'an
sering dihubungkan dengan perbuatan Allah bukan manusia.

Selanjutnya ketujuh adalah Tadmir, tadmir sendiri berasal dari kata dam-ma-ra yang artinya
menghancurkan. Sehingga kata tadmir bisa diartikan sebagai kehancuran. Kedelapan, Tamziq,
istilah ini searti dengan kata Tadmir. Kesembilan adalah 'Iqab, istilah ini merujuk kepada
kejadian yang akan didatangkan Allah kepada manusia yang mengingkari Allah dan Rasulullah.
dan yang kesepuluh adalah Nazilah kata ini memiliki arti asal turun, namun kata anzala dalam
beberapa kesempatan dalam al Qur'an juga disebut untuk mengungkapkan "menurunkan siksa".
Makna kedua tersebut bisa dilihat dalam QS al Hijr (15): 90-91.

Maka penting untuk memahami istilah yang merujuk kepada pemaknaan bencana dalam al
Qur'an, sehingga memahami bencana bukan hanya sebagai hukuman yang ditimpakan Allah
kepada hambanya sebagai sebuah ganjaran atas perilaku menyimpang yang dilakukan oleh
hambanya. Melainkan memandang bencana dengan sudut pandang yang lain, sehingga selain
mendatangkan kemudhorotan, bencana juga bisa dikaji sebagai sebuah diskursus ilmu. Dengan
demikian, pendidikan agama bukan berdimensi eskatologis. Melainkan menempatkan agama
sebagai pendidikan yang juga bernilai humanistik, sebagai upaya penguatan human dignity
(martabat manusia).(aan)
Membangun fikih kebencanaan
6 SEBARAN



Benni Setiawan 07:00 WIB - Jumat, 04 Januari 2019

Ilustrasi: Seorang warga melihat kondisi masjid terapung yang rusak akibat diterjang gelombang tsunami
di Pantai Kampung Lere, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (25/12/2018). | Mohamad Hamzah /ANTARA
FOTO

Belum kering air mata karena bencana di Palu, bangsa Indonesia kembali mendapat tsunami di
Selat Sunda. Dilaporkan lebih dari 400 korban jiwa, puluhan masih hilang, dan 16.000
mengungsi akibat hempasan tsunami.

Semua pasti bersedih. Namun, sebenarnya bencana adalah bukti kasih sayang Tuhan kepada
manusia.
Bencana bukanlah kutukan/amarah Tuhan kepada manusia. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Tidak mungkin ia menurunkan bencana agar manusia sengsara.

Bencana adalah pengingat dan penanda Tuhan masih ada di tengah kita. Manusia selayaknya
ingat dan kembali kepadaNya dan mempersiapkan kehidupan yang sigap bencana.

Itulah esensi bencana dalam fikih kebencanaan yang diputuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2015. Fikih kebencanaan yang diputuskan oleh
Muhammadiyah berbeda dengan apa yang ada dan muncul di media sosial hari ini.

Masih banyak masyarakat memahami bencana sebagai kutukan. Ironisnya, hal itu kemudian
dihubungkan dengan perbuatan dosa manusia.

Bencana pun semakin riuh saat menjadi modal kampanye di tahun politik. Itu semua jauh dari
semangat fikih kebencanaan yang digagas oleh Muhammadiyah.

Kesalehan sosial

Setidaknya ada dua hal yang perlu dikembalikan dalam pemahaman kebencanaan yang benar.

Pertama, bencana bukan karena kemaksiatan. Penyebutan bencana akibat kemaksiatan sungguh
menyesakkan dada. Di tengah korban berjuang untuk keluar dari keterpurunkan, ada orang yang
“menghukum” perilaku jahat sebagai penyebab bencana.

Pandangan itu seakan tidak berempati terhadap para korban. Mereka malah menyalahkan dan
menghakimi korban sebagai penyebab terjadinya bencana.

Menghukum mereka sebagai pelaku dosa bukanlah sikap seorang warga negara yang baik.
Penghukuman model itu seakan-akan mereka yang jauh dari radius bencana sebagai orang saleh.

Pengakuan kesalehan itu tidak ada gunanya. Pasalnya, saat ini yang dibutuhkan adalah kesalehan
sosial. Yaitu, proses kebajikan yang mengalir untuk sesama.

Kesalehan inilah yang kini dinanti oleh korban bencana. Mereka perlu ditolong dengan doa,
usaha, harta, tenaga, dan seterusnya. Mereka tidak butuh sumpah serapah orang yang mengaku
saleh namun tidak peduli terhadap mereka yang saat ini menderita.

Korban bencana butuh uluran tangan dan penguat untuk tetap hidup. Di tengah depresi karena
kehilangan orang yang dicintai dan juga harta bencana, sudah selayaknya kita berempati
terhadap korban bencana. Salah satu bentuk empati itu adalah menghentikan sumpah serapah
bahwa bencana muncul karena ulah manusia pendosa.

Bentuk empati lain adalah dengan tidak menyebarkan pandangan melalui media sosial bahwa
bencana akibat murka Tuhan. Menghentikan kegenitan untuk menyebarkan hal-hal yang kurang
tepat itu adalah bukti kesalehan sosial.
Menghentikan penyebaran perihal bencana yang tidak berdasar--walaupun dibumbui oleh ayat-
ayat dalam Kitab Suci—adalah bukti komitmen kemanusiaan manusia yang adi luhur. Janganlah
kita genit di tengah bencana yang silih berganti menyapa Bumi Pertiwi.

Harmoni agama dan budaya

Kedua, datangnya bencana bukan karena peristiwa sosial budaya yang dianggap berbau syirik.
Acara sedekah laut adalah potret kearifan lokal yang tidak perlu dipertentangkan dengan ajaran
agama.

Agama dan kebudayaan selayaknya saling menguatkan satu sama lain. Agama dan budaya
merupakan kekuatan umat untuk tetap hidup di tengah keragaman yang ada.

Mempertentangkan antara agama dan budaya hanya akan semakin menjauhkan sisi kemanusiaan
manusia. Manusia akan hidup di tengah kegersangan spiritual dan budaya. Manusia bahkan akan
kehilangan jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang hebat. Manusia kehilangan esensi
sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fi al-ardhi).

Oleh karena itu mari kita belajar dari fikih kebencanaan ala Muhammadiyah.

Sebagai organisasi tertua dan terbesar di Indonesia, Persyarikatan Muhammadiyah mempunyai


tanggungjawab moral untuk mendidik masyarakat. Fikih kebencanaan yang lahir dari hasil
Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih mengingatkan kepada masyarakat bahwa bencana
merupakan cara Tuhan menyayangi manusia.

Kasih sayang itulah yang kemudian perlu kita pahami sebagai cara Tuhan untuk mendidik
manusia.

Saat manusia memahami esensi bencana dengan baik, maka ia akan mempersiapkan kehidupan
dengan bijak. Salah satunya dengan memahami proses mitigasi bencana. Mitigasi bencana perlu
menjadi sikap hidup manusia. Memahami apa yang harus dilakukan saat bencana adalah proses
penyikapan yang baik terhadap bencana.

Setelah bencana pun, manusia perlu segera bangkit. Kesedihan, kepedihan, kepiluan, cukuplah
sementara. Setelah itu korban bencana perlu melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Bangkit
dari bencana dengan melakukan aktivitas sosial adalah cara terbaik daripada terus bersedih dan
mengharap iba/bantuan dari orang lain.

Pada akhirnya, mari memahami bencana secara bijak dan cerdas. Persepsi tentang bencana yang
baik dan benar akan memudahkan masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan. Wallahu a’lam.

Benni Setiawan, dosen llmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) dan P-MKU Universitas Negeri
Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute.
Home/ Berita/ Muhammadiyah Miliki Peran Besar dalam Mitigasi Bencana

Muhammadiyah Miliki Peran Besar dalam Mitigasi Bencana

12 Januari 2019 06:07

Berita Lain

UM Pekajangan Pekalongan Edukasi Warga Pemanfaatan Sampah Organik

19 September 2019

RUU Pesantren Belum Mengakomodir Perkembangan Pesantren

20 September 2019
Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Perkokoh Sumber Daya Mubaligh

19 September 2019

MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Mengawali Pengajian Bulanan rutin Muhammadiyah di tahun 2019,


Pimpinan Pusat Muhammadiyah memulainya dengan tema “Mitigasi dan Edukasi Bencana” dengan
pembicara Kepala BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Dwikorita Karnawati, Ketua
Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) Muhammadiyah MDMC (Muhammadiyah Disaster
Management Center) Budi Setiawan dan Ketua Majelis Tarjih dan Tabligh PWM DKI Jakarta Kyai Endang
Mintarja, Jumat (11/1).

Bertempat di Aula KH Ahmad Dahlan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, tema mitigasi dan
edukasi bencana diambil melihat pada posisi potensial Indonesia sebagai negara dengan kerentanan
terdampak bencana alam paling tinggi. Pendidikan mitigasi diperlukan untuk menekan angka korban
jiwa saat terjadinya bencana.

Perwakilan Dwikorita Karnawati dari BMKG menyatakan bahwa ketidakpahaman masyarakat terhadap
mitigasi bencana adalah sumber besarnya angka korban jiwa dalam bencana alam di Indonesia.

“Mitigasi adalah persiapan, langkah-langkah yang diperlukan baik itu sarana dan prasarana sehingga jika
terjadi bencana, korban tidak banyak. Mitigasi tidak harus besar-besar, harus mulai dari kesadaran,”
ungkap Perwakilan Dwikorita Karnawati dari BMKG.

Ia menambahkan bahwa pendidikan mitigasi dapat membuat tenang saat terjadi bencana dan tidak
mudah menjadi korban informasi palsu (hoaks).
“Gempa itu tidak membunuh. Yang membunuh adalah efek dari gempa. Jika ke supermarket pertama
lihat pintu keluar. Di rumah anda letakkan barang-barang berat di lantai, bukan di atas lemari. Gempa
tidak melihat waktu dan tempat, itu sunatullah, yang bisa kita persiapkan adalah rumah kita harus
aman. Kalau ada gempa jangan lari, lindungi kepala. Utamakan menonton hiburan film mengenai
bencana alam. Belajar penyelamatan diri dan simulasi,” imbuhnya.

Peran Muhammadiyah dalam Kebencanaan

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa Muhammadiyah
berusaha memaksimalkan peran edukasi masyarakat perihal mitigasi bencana alam melalui penerbitan
buku Fikih Kebencanaan oleh Majelis Tarjih dan Tabligh PP Muhammadiyah.

Menyambung Abdul Mu’ti, Ketua Majelis Tarjih dan Tabligh PWM DKI Jakarta Endang Mintarja
menyampaikan bahwa respon Muhammadiyah dalam menerbitkan Fikih Kebencanaan sangat cepat dan
berbeda dibandingkan saat memutuskan berbagai bahasan lainnya. Bahkan buku Fikih Kebencanaan
yang telah terbit akan segera direvisi agar semakin lengkap.

“Dalam pandangan Muhammadiyah, bencana itu tidak bisa diketahui tapi bisa diminimalisir dampaknya.
Alam punya mekanisme sendiri. Indonesia resiko nomor satu tsunami di dunia. Jika tidak punya
persiapan ini adalah kezaliman. Jadi jangan apa-apa menyalahkan Tuhan,” ujar Endang.

Sementara itu Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) Muhammadiyah MDMC (Muhammadiyah
Disaster Management Center) Budi Setiawan menyampaikan bahwa LPB Muhammadiyah melalui
MDMC berusaha memaksimalkan peran mitigasi bencana dalam sektor non-struktural, yaitu pendekatan
yang bukan fisik dan teknis seperti legislasi, regulasi tata ruang dan lahan, pendidikan dan penguatan
kapasitas masyarakat.

“Jika kapasitas masyarakat tinggi dan dapat menghadapi bahaya baik alam maupun non alam, maka
bencana mungkin dapat dihindari, jumlah korban dan masyarakat terdampak dapat dikurangi, dan jika
terdapat warga yang terdampak bencana dapat segera pulih kembali,” ungkap Budi.
“Penguatan kapasitas masyarakat itu penting. Saat ada bioskop kebakaran di Yogyakarta, lima orang
meninggal bukan karena api, tapi karena terinjak-injak saat berebut keluar. Masyarakat harus
memahami potensi bencana. Pengetahuan minim menciptakan kerugian,” imbuh Budi.

MDMC dalam rangka peningkatan kapasitas itu salah satunya adalah membuat aplikasi sistem daftar
potensi longsor di jalur Kereta Api dan sekolah rawan banjir.

“Petanya ada, daftar sekolahnya ada. Dengan mengenal ancaman kapasitas siswa dinaikkan. Ada juga
Madrasah Aman Bencana. Mulai pimpinan sekolah guru dan siswanya, baru struktur bangunannya.
Menjadi sangat penting melakukan simulasi yang masih dianggap sepele. Satu rumah juga seharusnya
punya titik kumpul jika terjadi bencana. Yang penting mengerti potensi bencana,” ulang Budi.

Dalam bidang pendidikan bencana menurut Budi hal tersebut merupakan pembentukan karakter
sehingga memerlukan waktu yang lama. Dalam upaya peningkatan kesadaran terhadap bencana,
lanjutnya Muhammadiyah memiliki peluang terbesar melebihi target BNPB.

“Muhammadiyah punya kesempatan, melebihi target dan jangkauan BNPB,” pungkas Budi. (afandi)
MDMC Sosialisasikan Fikih Kebencanaan di World Humanitarian
Summit

25 Mei 2016 17:15

Berita Lain

Produk Dampingan MPM PP Muhammadiyah Berlabuh di Halal Science Center


Thailand

18 September 2019

Perihal Tata Kelola Kebudayaan Daerah, Muhammadiyah Harus Jadi Garda


Terdepan

19 September 2019
Muhammadiyah Distribusikan Air Bersih ke Daerah-Daerah Terdampak
Kekeringan

20 September 2019

ISTANBUL, MUHAMMADIYAH.OR.ID – Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster


Management Center (MDMC) Rahmawati Husein menjadi peserta Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Kemanusiaan Dunia atau World Humanitarian Summit (WHS) di Istanbul Turki pada
tanggal 23-24 Mei 2016. Pertemuan ini merupakan prakarsa Sekjen PBB Ban Ki Moon untuk
menyatukan masyarakat dunia guna menegaskan kembali solidaritas masyarakat pada orang-
orang yg terdampak krisis.

“Salah satu tujuan utama KTT adalah ajakan untuk mengumumkan tindakan dan komitmen nyata
guna mengakhiri konflik, meringankan penderitaan dan mengurangi risiko” terang Rahmawati.

Rahmawati Husein yang juga menjadi salah satu Stering Commite acara untuk Regional Asia
Utara dan Asia Tenggara,mengatakan bahwa kegiatan ini adalah KTT Kemanusiaan yang
pertama kali diselenggarakan. Persiapan KTT ini sudah dilakukan mulai 3 tahun lalu melalui 8
Regional Konsultasi yang melibatkan tidak kurang dari 23.000 org di 153 negara.

Tidak seperti KTT Dunia yang pada umumnya hanya dihadiri oleh pemimpin/ wakil
pemerintahan dan kepala negara, WHS ini juga dihadiri para pemimpin global dan lokal
yang tidak hanya dari pemerintah, namun juga para pebisnis, masyarakat sipil, termasuk
organisasi keagamaan.

“KTT ini juga ditujukan untuk bertukar pengalaman serta menunjukkan inovasi dan praktik
terbaik dari berbagai pihak pelaku kemanusiaan,”lanjutnya.

Selain itu, KTT ini juga mendiskusikan peran organisasi berbasis keagamaan dalam upaya
kemanusiaan baik utk perdamaian, saat perang dan konflik serta saat bencana serta peluang
pendanaan darimasyarakat Islam baik dari zakat infaq dan shodaqoh.

Pada kesempatan ini, Rahmawati juga membagikan buku Fikih Kebencanaan edisi bahasa
Inggris kepada peserta KTT. Menurut Rahmawati, pembagian buku yang diberi judul “Coping
With Disaster : Principle Guidance from an Islamic Perspective” ini merupakan
kontribusipemikiran masyarakat Islam terhadap pentingnya memahami bencana dan
menunjukkan nilai-nilai Islam sebagai dasar dan prinsip dalam memberikan bantuan
kemanusiaan.(abey)

Redaktur: Indra Jaya


 Home >
 News >
 Nasional

Edukasi Kebencanaan Bisa Kurangi Dampak Bencana Alam

Kamis 22 Agu 2019 18:56 WIB

Rep: Haura Hafidza/ Red: Dwi Murdaningsih

 3

 0

Latihan penanganan bencana (ilustrasi)

Foto: ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

Tahun 2018, terdapat 5.000 korban meninggal akibat gempa bumi dan tsunami.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Republika, Badan Nasional Penanggulangan Bencana


(BNPB), dan Yayasan Baitul Maal (YBM) PLN Jakarta menjalin kerja sama untuk memberikan
edukasi serta pengetahuan tentang antisipasi bencana alam serta dampaknya. Dengan kerja sama
ini diharapkan masyarakat memiliki persiapan jika bencana alam terjadi kepada mereka.

Baca Juga

 Ketika Ilmuwan Muslim Teliti Bencana dan Wabah Penyakit


 Tas Siaga Bencana, Yuk Tengok Apa Saja Isinya
 MDMC Berbagi Strategi Penanggulangan Bencana di Forum ASEAN

Pelaksana Harian Kepala Pusat Data Informasi (Kapusdatin) dan Humas Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo, mengatakan, terjalinnya kerja sama ini
membuat masyarakat bisa lebih antisipasi jika bencana alam terjadi. Mereka sudah memiliki
pengetahuan yang nantinya bisa diterapkan.

Dia mengatakan adanya pengetahuan dan edukasi yang diberikan ke masyarakat bisa
mengurangi dampak bencana alam. Sebab, dalam satu tahun ini terdapat 5.000 korban meninggal
akibat gempa bumi dan tsunami. Maka dari itu, dengan kerja sama ini diharapkan bisa antisipasi
bencana alam terhadap masyarakat.
Pelaksana harian (plh) Kepala Pusat Data Informasi (Pusdatin) dan Humas BNPB Agus Wibowo (tengah)
berbicang bersama Wakil Pemimpin Redaksi Harian Republika Nur Hasan Murtiaji (kiri) dan Ketua YBM
PLN Herry Hasanudin (kanan) ketika melakukan pertemuan di Kantor BNPB, Jakarta, Kamis (22/8).

Wakil Pemimpin Redaksi Republika, Nur Hasan Murtiaji, mengatakan, nantinya Republika akan
menyediakan sub kanal di Republika.co.id agar masyarakat bisa mengakses informasi serta
pengetahuan terkait bencana alam. Sasaran dari sub kanal tersebut adalah keluarga.

"Kami memiliki peran masing-masing BNPB sebagai sumber informasinya, Republika sebagai
penyebar informasinya dan YBM PLN sebagai yang mengadakan kegiatan filantropinya.
Diharapkan dengan kerja sama ini menghasilkan hasil yang baik terlebih informasi bencana alam
dapat dipahami masyarakat," kata dia.

Ketua YBM PLN, Hery Hasanuddin, mengatakan, kerja sama ini merupakan salah satu sinergi
dengan Republika dan BNPB agar ke depannya pengetahuan terkait bencana alam bisa membuat
masyarakat lebih memahami.

"Publikasi lebih luas serta pemahanan masyarakat tentang bencana alam itu harus di edukasi dari
sekarang. Terlebih pencegahannya seperti apa dan pasca setelah kejadian bencana," kata dia.

Anda mungkin juga menyukai