Anda di halaman 1dari 48

Maksud malu di sini adalah rasa malu yang menghalangi seseorang untuk bertanya ilmu tertentu

yang dibutuhkan, bukan malu secara mutlak.


Sifat malu dipuji dalam Islam, malahan kata Nabi ‫ ﷺ‬malu itu adalah cabang, bagian dan ekspresi
dari iman.
Hanya saja, ternyata ada rasa malu yang salah. Rasa malu yang salah adalah ketika rasa malu itu
menghalanginya untuk mencari ilmu, membuatnya awet dalam kebodohan, dan tersaruk-saruk
dalam kejahilan.
Akhlak yang benar adalah, hilangkan rasa malu demi mencari ilmu. Seperti wanita Anshar yang
tidak malu bertanya kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬tentang hukum wanita yang mimpi bersetubuh, atau
wanita Anshar yang bertanya kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬tentang cara membersihkan kemaluan pada
saat mandi junub.
Kadang-kadang manusia memang dihalangi rasa malu untuk bertanya hukum agama atau
mencari ilmu.
Malu nanti dianggap sebagai orang bodoh.
Malu kalau dianggap bertanya soal remeh.
Malu duduk di majelis pengajian karena sudah tua.
Malu karena menganggap sesuatu yang memalukan bicara urusan seks.
Malu duduk di majelis pengajian karena bersama orang-orang rendahan.
Dan lain-lain.
Demikian pula sombong.
Sombong itu menghalangi ilmu, membuat orang lestari dalam kebodohan, dan membuatnya
tertipu, merasa hebat dan pintar padahal bodoh tidak ketulungan.
Munculnya kesombongan ini bisa disebabkan berbagai faktor.
Sombong bisa menjangkiti orang yang merasa memiliki gelar akademis tinggi, sehingga
meremehkan dai yang dianggapnya bodoh karena tidak pernah menempuh pendidikan formal.
Sombong bisa menjangkiti orang yang merasa berada di dalam jamaah/afiliasi “yang paling
benar”, sehingga sikapnya meremehkan dan memicingkan sebelah mata terhadap ulama di luar
kelompoknya, padahal hati kecilnya mengakui ada banyak ilmu bermanfaat yang bisa digali dari
orang yang diremehkannya.
Sombong bisa menjangkit orang yang sudah kadung di”ustaz”kan, di”buya”kan, di”kyai”kan,
di”syaikh”kan, atau di”gus”kan. Akibatnya, merasa gengsi untuk belajar lagi. Apalagi duduk
bersama orang lain di majelis tertentu padahal hati kecilnya tahu bahwa dirinya bodoh dalam
ilmu tertentu. Hanya saja karena kebiasaannya adalah didengarkan ucapannya, bukan
mendengarkan, maka gengsi ini membuatnya jadi terhalang dari ilmu yang bermanfaat.
Sombong bisa menjangkiti orang yang merasa lebih tua dan senior. Merasa lebih banyak makan
asam garam kehidupan. Merasa lebih kenyang dengan pengalaman. Akibatnya, apapun yang
dikatakan oleh ulama yang dianggapnya masih “hijau” akan selalu diremehkan.
Sombong bisa menjangkiti orang populer. Dia merasa punya fans/liker/follower yang banyak
sehingga dia merasa paling pintar. Akibatnya jika ada nasihat/masukan dari ulama yang tidak
populer maka dia meremehkan dan memandang sebelah mata.
Sombong bisa menjangkiti siapapun. Kita semua bisa terkena tiupannya. Oleh karena itu,
marilah berlindung dari malu yang tidak benar, dan sombong yang diharamkan.

Beliau adalah Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Julukannya adalah Zainal Abidin
(hiasan orang-orang yang beribadah). Maka beliau lebih dikenal dengan sebutan Ali Zainal
Abidin.
Kelahirannya diperkirakan tahun 38 Hijriyah.
Ningrat, duduk di majlis ilmu zaid bin aslam
Sifat-Sifat Mulia; Luas ilmu, Wara, tawadhu, dermawan,takut kepada Allah, dll.
Meskipun dia memiliki keutamaan dalam agama, dirinya tak merasa sungkan untuk duduk
bersama rakyat jelata. Suatu saat ada yang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau bergaul
dengan kalangan jelata?” Beliau berkata, “Saya bergaul dengan orang yang saya dapat
mengambil manfaat darinya dalam agama saya.”

Para ulama tidak mengecilkan arti bahasa Arab. Mereka tetap memberikan perhatian yang besar
dalam menekuninya, layaknya ilmu syar’i lainnya. Sebab bahasa Arab adalah perangkat dan
sarana untuk memahami ilmu syariat.
Imam Syafi’i pernah berkata: “Aku tinggal di pedesaan selama dua puluh tahun. Aku pelajari
syair-syair dan bahasa mereka. Aku menghafal Al Qur’an. Tidak pernah ada satu kata yang
terlewatkan olehku, kecuali aku memahami maknanya”.
Imam Syafi’i telah mencapai puncak dalam penguasaan bahasa Arab, sehingga dijuluki sebagai
orang Quraisy yang paling fasih pada masanya. Dia termasuk yang menjadi rujukan bahasa
Arab.

Sang Imam Tuna Netra


“Aku tidak menyangka Allah azza wajalla menciptakan manusia dengan kekuatan hafalan
sepertimu,”tukas Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Sampai sedemikian halnya kekaguman
seorang penghulu ulama tabi’in, Sa’id bin Musayyib terhadap hafalan muridnya ini. Siapakah dia
hingga begitu kagum dengan kapasitas hafalannya?

Pembaca Qudwah yang budiman, sejarah telah merekam keberadaan ulama-ulama besar dengan
kekuatan hafalan yang sangat luar biasa dan menakjubkan. Fakta di lapangan membuktikan
bahwa kuatnya hafalan mereka bagaikan gunung-gunung yang kokoh menjulang tinggi. Di
antara simbol kekuatan hafalan sekaligus guru besar di bidang ilmu tafsir adalah Qatadah bin
Di’amah As Sadusirahimahullah.

Beliau adalah Qatadah bin Di’amah bin Qatadah bin Aziz, namun dalam pendapat lain namanya
adalah Qatadah bin Di’amah bin ‘Ukabah As Sadusi Al Bashri rahimahullah. Adapun As Sadus
berasal dari Bani Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’lab bin Bakr bin Wail yang merupakan suku Arab
bagian utara.

Adz Dzahabi rahimahullah menyebut beliau sebagai Hafizhul Ashr (penghafal di masanya)
dan Qudwatul Mufassirin wal Muhadditsin (suri teladannya para ahli tafsir dan ahli hadis).
Ulama tabiin dengan banyak kelebihan ini dilahirkan pada tahun 60 H dan terlahir dalam
keadaan kedua matanya buta.

Ya, Qatadah adalah seorang tuna netra sejak terlahir dari rahim sang ibu. Namun sungguh pun
demikian keadaan tersebut bukanlah penghambat perjuangannya menuntut ilmu hingga akhirnya
menjadi ulama tafsir terkemuka. Dan sungguh ajaib kekuatan memorinya.
Bisa kita bayangkan, ulama sekelas Sa’id bin Musayyib rahimahullah saja begitu kagum setelah
mengetahui kekuatan hafalannya.

Ulama ini pernah menimba ilmu dari sekian shahabat seperti Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
Abdullah bin Sarjis radhiyallahu ‘anhu, Handzalah Al Katib radhiyallahu ‘anhu, Abu Thufail Al
Kinani radhiyallahu ‘anhu, Anas bin An Nadhr radhiyallahu ‘anhu, dan selainnya.

Di samping itu, Qatadah pun pernah meriwayatkan dari ulama-ulama besar tabiin yang sezaman
dengannya. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam Al Bidayah Wan Nihayah bahwa
Qatadah meriwayatkan dari Anas bin Malik dan sekelompok ulama tabiin seperti Said bin Al
Musayyib, Abul Aliyah, Zurarah bin Aufa, Atha, Muhammad bin Sirin, Masruq, Al Hasan Al
Bashri dan yang lainnya. Untuk nama yang terakhir bahkan Qotadah pernah berguru kepadanya
selama dua belas tahun lamanya.

Adapun ulama-ulama tenar yang pernah meriwayatkan darinya cukup banyak seperti Ayyub As
Sikhtiyani, Ibnu Abi Arubah, Ma’mar bin Rasyid, Al Auzai, Mis’ar bin Kidam, Syu’bah bin Al
Hajjaj, Abu Awanah Al Waddah, Hammad bin Salamah dan masih banyak yang lainnya.

KEKUATAN HAFALAN QOTADAH BIN DI'AMAH


albaqarah
Sebagaimana gelar mufassir yang disematkan kepada beliau, Qatadah memang memiliki
perhatian begitu besar terhadap Al Quran. Dikisahkan bahwa beliau terbiasa secara rutin
mengkhatamkan Al Quran beberapa hari sekali dan jika telah masuk sepuluh malam terakhir
bulan Ramadhan beliau pun menghatamkan Al Quran dengan frekuensi lebih banyak.

Abu Awanah berkisah, “Aku pernah menyaksikan Qatadah mempelajari Al Qur’an pada bulan
Ramadhan. Qatadah biasanya menghatamkan Al Qur’an selama tujuh hari dan jika datang bulan
Ramadhan beliau menghatamkannya selama tiga hari. Adapun jika telah tiba sepuluh malam
terakhir, beliau pun menghatamkan Al Qur’an setiap malam.”

Meskipun tuna netra, Qatadah dianugerahi hafalan yang kuat dan ingatan yang begitu kokoh.
Mathar mengatakan, “Apabila Qatadah mendengar suatu hadis maka ia langsung bisa
menghafalnya.”.

Ghalib bin Al-Qaththan berkata, “Siapa yang ingin melihat manusia dengan hafalan paling kuat
yang pernah kita jumpai maka hendaknya ia melihat kepada Qatadah.”

Suatu hari Qatadah datang menemui Said bin Al Musayyib dan memperbanyak periwayatan
darinya selama beberapa hari. Said pun bertanya kepadanya, “Seluruh apa yang engkau tanyakan
kepadaku bisa menghafalnya?” “Ya,” jawab Qatadah.

Luar biasa, Qatadah mampu menghafal semua pertanyaan dan jawaban yang disampaikan Said
dengan baik tanpa celah hingga Said merasa kagum seraya berkata, “Aku tidak menyangka Allah
telah menciptakan manusia seperti dirimu.” Said juga menyatakan, “Tidak ada orang Irak yang
pernah kutemui hafalannya lebih kuat daripada Qatadah.”

Qatadah adalah simbol kekuatan hafalan di masanya karena memang memorinya sangat kokoh
dan menakjubkan hafalannya. Tidak mengherankan jika apa saja yang didengar pasti terekam
dan terpatri dalam kalbunya.

Qatadah sendiri pernah menyatakan, “Aku tidak pernah sama sekali mengatakan kepada orang
yang bicara kepadaku, ‘Tolong ulangi lagi ucapan Anda.’ Dan apa saja yang didengar oleh
telingaku pasti tersimpan dalam hatiku.”
Imam Ahmad rahimahullah pernah membicarakan tentang Qatadah secara panjang lebar dan
memaparkan tentang keilmuan, kefakihan dan pengetahuannya tentang khilaf ulama dan ilmu
tafsir. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa Qatadah adalah orang yang kuat hafalannya dan
orang ahli fikih.

Imam Ahmad berkata, “Teramat jarang Anda jumpai ada seorang yang bisa mengunggulinya.
Namun kalau dikatakan ada yang seperti Qatadah, maka bisa saja terjadi. Ia adalah orang yang
paling hafal dari kalangan penduduk Basrah. Tidaklah ia mendengar sesuatu melainkan langsung
bisa menghafalnya.”
Imam syafi,ie yatim pas lahir, hafal quran 30 juz umur 7 tahun, umur 10 tahun muwatta’
(puluhan ribu hadits, karya imam malik), umur 15 tahun menjadi sumber fatwa tingkat
internasional dari keluarga miskin
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke
Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil
Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i
berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut
Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah[sunting | sunting sumber]
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji
sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan
manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih
setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para
Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu
berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya
yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim,
Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam
bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih
sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah[sunting | sunting sumber]
Kemudian ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab
Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan
hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-
lain.
Di majelisnya ini, Imam Syafi’i menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam
Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya.
Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-
Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Imam Syafi’i menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang
terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan
hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga ia menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik:
“Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Ia juga
sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga ia menyatakan: “Tidak ada
kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Ia juga
menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah
pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataannya di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling ia kagumi adalah
Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, Imam Syafi’i juga
duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti
Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak
pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, gurunya yang
disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang
sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai
kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai
Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayatnya, ia tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi
Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Allah Ta’ala berfirman:


َ‫سبُلَنَا لَنَ ْه ِديَنَّ ُه ْم فِينَا َجا َهد ُوا َوالَّذِين‬ َّ ‫ْال ُمحْ ِسنِينَ لَ َم َع‬
ُ ۚ ‫ّللاَ َوإِ َّن‬
Artinya: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-
benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 69)
Bersungguh-sungguh (mujahadah) dalam ibadah merupakan salah satu sikap yang sangat
dianjurkan di dalam Islam. Banyak definisi/arti tentang bersungguh-sungguh. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bersungguh-sungguh diartikan sebagai sebuah usaha dengan
sekuat-kuatnya (dengan segenap hati, dengan sepenuh minat) untuk mengejar sesuatu yang
diinginkannya.
Bersungguh-sungguh begitu penting dalam nafas kehidupan manusia. Di dalam Islam,
bersungguh-sungguh memiliki poin tersendiri, sehingga sering kali ditemui di dalam Al-Qur’an,
perintah ibadah yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-hamba-Nya diungkapkan dengan
penekanan, yang berarti menunjukkan bahwa perintah itu hendaknya dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh.
Firman Allah Ta’ala,
‫ت َرب‬
ِ ‫س َم َاوا‬ ِ ‫ط ِب ْر فَا ْعبُدْهُ َب ْي َن ُه َما َو َما َو ْاْل َ ْر‬
َّ ‫ض ال‬ َ ‫ص‬
ْ ‫س ِميًّا لَهُ تَ ْعلَ ُم ه َْل ِل ِع َبادَتِ ِه َوا‬
َ
Artinya: “Allah adalah Rabb langit dan bumi, serta apa yang ada diantara keduanya, maka
ibadahilah Dia, serta bersabarlah dengan sungguh-sungguh di dalam beribadah kepada-Nya,
apakah kamu melihat yang serupa dengan-Nya.” (Qs. Maryam [19]: 65)
Dalam ayat lain dikatakan:
َّ ‫ِج َها ِد ِه َح َّق‬
‫ّللاِ فِي َو َجا ِهد ُوا‬
Artinya:“Dan berjihadlah kalian di (jalan) Allah dengan sebenar-benar jihad.” (Qs. Al-Hajj [22]:
78)
Perintah Allah Ta’ala tidak mungkin dapat terlaksana tanpa kesungguhan dan tekad kuat. Hal itu
karena rintangan dan gangguan akan selalu mengiringi langkah setiap Muslim dalam rangka
berusaha untuk mencapai keridhaan Allah Ta’ala.
Ketika gangguan itu mampu menghilangkan kesungguhan dalam diri seorang Muslim, maka hal
itu bisa membuatnya menjadi seorang yang lemah, menjadi seorang yang takut dan tidak
memiliki keberanian untuk meningkatkan diri yang akhirnya jauh dari rahmat dan ridha Allah
Ta’ala.
Buah dari kesungguhan
Kesungguhan yang telah melekat di dalam jiwa-jiwa setiap Muslim akan menjadi kekuatan
tersendiri dalam menghadapi segala bentuk ujian yang Allah Ta’ala turunkan kepada setiap
hamba-Nya.
Karena dengan kesungguhan, seseorang akan memiliki sikap teguh pendirian, tidak mudah
goyah dengan kebaikan yang dilakukannya. Ketika keteguhan dalam menjalan kebaikan telah
tertanam di dalam hatinya, ia akan menjadi seorang Mukmin yang dicintai oleh Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
ُ‫ْف ْال ُمؤْ ِم ِن ِمنَ للاِ إِلَى َوأَ َحب َخيْر ْالقَ ِوي ا َ ْل ُمؤْ ِمن‬ ْ ‫ت َ ْع َج ْز َولَ بِاللِ َوا ْست َ ِع ْن يَ ْنفَعُكَ َما َعلَى اِحْ ِر‬
َّ ‫ َخيْر ُكل َوفِي ال‬, ‫ص‬
ِ ‫ض ِعي‬
Artinya: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah, dan
masing-masing memiliki kebaikan. Bersungguh-sungguhlah dalam (mengerjakan) hal-hal yang
bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan dari Allah dan janganlah bersikap lemah.” (Hr.
Muslim)
Kecintaan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya akan membuahkan kesejahteraan dan kedamaian
hidup. Kesejahteraan dan kedamaian hidup itu berupa subulussalam(jalan keselamatan) yang
Allah Ta’ala tunjukkan kepada setiap hamba-Nya yang benar-benar mencari dan menggapainya.
Jalan keselamatan yang dimaksud adalah akan merasakan manisnya buah keimanan yang akan
mengantarkannya ke dalam surga.
Di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, marilah bersama berlomba dalam hal kebaikan.
Bukan hanya memerbanyak amalan, tetapi juga memperbaiki amalan agar tingkat kualitasnya
bertambah.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk lebih
bersungguh-sungguh dalam menggapai keridha-an dari Allah Ta’ala yang membuahkan
kecintaan dari-Nya.
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan semua nama-
Nya yang maha indah dan sifat-Nya yang maha sempurna, agar senantiasa melimpahkan,
menyempurnakan dan menjaga taufik-Nya kepada kita semua sampai kita berjumpa dengan-Nya
di surga-Nya kelak, sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan
Doa. Wallahu A’lam.(P011/R05)

Senantiasa mengulang dan mengingat kembali, albaqarah ayat 63


Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina)
di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu
dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa".

Setelah Taurat diberikan kepada Musa, Allah mengambil janji Bani Israil agar mengamalkannya
dan menjauhi keengganan pegalamannya, sehingga mencapai ketakwaan. Satu lagi dari mukjizat
yang ditujukan Allah kepada Bani Israil sehingga mereka tetap setia pada janji mereka, ialah
diangkatnya gunung Thursina di atas kepala mereka, sehingga mereka menyaksikan kekuasaan
Allah sekaligus takut menentang-Nya.
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang beragama harus serius dan berpendirian dalam
menjaga prinsip-prinsip agama, bukannya mengambil hukum-hukum agama dengan gurau dan
main-main. Ayat ini selanjutnya menunjukkan sikap Yahudi terhadap perintah ilahi ini.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,
»‫«الحكايات عن العلماء ومجالستهم أحب إلي من كثير من الفقه؛ ألنها آداب القوم وأخالقهم‬
“Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada
kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku
mereka (untuk diteladani)” [1]

Demikianlah para ulama menerangkan bahwa terkadang membaca kisah-kisah para nabi, orang
shalih dan ulama lebih disukai daripada mempelajari teori, karena mereka adalah praktek nyata
dari teori yang dipelajari. Kemudian jika kira merasa futur/sedang tidak semangat dalam
beragama maka salah satu cara agar semangat lagi adalah dengan melihat dan membaca kembali
kisah-kisah mereka.
‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib – Zainul ‘Abidin- berkata,
‫كنا نعلم مغازي النبي صلى هللا عليه و سلم وسراياه كما نعلم السورة من القرآن‬
“Dulu kami diajarkan tentang (sejarah) peperangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagaimana al-Qur’an diajarkan kepada kami”[2]
Allah Ta’ala berfirman,
ً‫ش ْيءٍ َو ُهدًى َو َرحْ َمة‬ ِ ‫صدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَ ْي ِه َوتَ ْف‬
َ ‫صي َل ُك ِل‬ ِ ‫ص ِه ْم ِعب َْرة ٌ ِألُو ِلي ْاأل َ ْلبَا‬
ْ َ ‫ب َما َكانَ َحدِيثًا يُ ْفت ََرى َولَ ِك ْن ت‬ َ َ‫لَقَدْ َكانَ فِي ق‬
ِ ‫ص‬
‫ِلقَ ْو ٍم يُؤْ ِمنُون‬
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi ‘alaihis salam dan umat mereka) itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat).al-Qur’an itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Yusuf:111)
Kemudian kami bawakan kisah-kisah para ulama, karena mereka adalah manusia biasa seperti
kita untuk menghilangkan komentar yang terkadang terlintas di hati kita yang lemah seperti,
“Mereka kan nabi dan Rasul, pantesan bisa seperti itu”
berikut ringkasan kisah mereka, semoga bisa menambah semangat kita
Perjalanan jauh untuk ilmu
Seseorang jika ingin mendapatkan ilmu maka ia harus keluar dari rumahnya dan mencari ilmu.
Imam Bukhari berkata dalam shahihnya,
‫باب الخروج في طلب العلم‬
“Bab keluar untuk menuntut ilmu”

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah bercerita sendiri,


‫سافَرت فى طلب ال َحدِيث َوالسنة إِلَى الثغور والشامات والسواحل َو ْالم ْغرب والجزائر َو َم َّكة َو ْال َمدينَة والعراقين َوأَ ْرض حوران‬
َ
‫ارس وخراسان َو ْال ِجبَال واألطراف‬
ِ َ‫َوف‬
“Aku mengembara mencari hadist dan sunnah ke Tsughur, wilayah Syam, Sawahil, Maroko, Al-
Jazair, Makkah, Madinah, Iraq, Wilayah Hawran, Persia, Khurasan, gunung-gunung
dan penghujung dunia.”[5]

Dari Abdurrahman, aku mendengar Ubai berkata,


‫ لم أزل أحصى حتى‬: ‫أول سنة خرجت في طلب الحديث أقمت سبع سنين أحصيت ما مشيت على قدمي زيادة على ألف فرسخ‬
‫لما زاد على ألف فرسخ تركته‬
“Tahun pertama mencari hadits, aku keluar mengembara mencari hadits selama 7 tahun, menurut
perkiraanku aku telah berjalan kaki lebih dari seribu farsakh (+8 km). Aku terus terus
menghitung hingga ketika telah lebih dari seribu farsakh, aku menghentikannya.”[6]

Ibnu mandah berkata,


‫مرتين‬
َّ ‫الغرب‬
َ ‫شرقَ َو‬ ُ
َّ ‫طفت ال‬
“saya mengelilingi timur dan barat (untuk menuntut ilmu) sebanyak dua kali”[7]

BERSAMBUNG INSYAALLAH…
InsyaAllah, kajian rutin ini akan membahas sebuah kitab yang ditulis oleh Imam Ibnul Jama’ah -
rahimahullah, seorang Imam Besar di Masjidil Aqsho yang hidup pada Abad Pertengahan. Kitab
besar yang berjudulkan 'Tadzkiratus Sami' wal Mutakallim fi Adabil 'Alim wal Mutakallim'
membahas perihal Adab Penuntut Ilmu dan Adab Para Ahli Ilmu.
Pada pertemuan pertama yang merupakan sesi muqoddimah dari kajian rutin ini, telah
disampaikan mengenai fenomena telah banyaknya orang yang berhijrah, banyaknya orang yang
mendapatkan hidayah sehingga lebih suka melangkahkan kakinya ke rumah-rumah Allah Ta’ala,
namun tidak sedikit dari mereka tidak tahu bagaimana para ulama belajar, sedangkan kita
dituntut untuk mengikuti metode belajar.

Mereka Menuntut Ilmu Hanya untuk Ridha Allah

Ulama terdahulu senantiasa meluruskan niat untuk ilmu yang dipelajarinya hanyalah untuk
mengharap ridha Allah Ta’ala. Imam Syafi’i, -rahimahullah- berkata:

“Kalau ulama yang berupaya mengamalkan ilmunya bukan karena Allah Ta’ala, saya tidak tahu
lagi.”

Mereka Senantiasa Haus Akan Ilmu

Selain itu, para ulama terdahulu selalu haus akan ilmu. Sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam;

ِ ‫ان لَ َم ْن ُهو َم‬


‫ان‬ َ ‫طالِبُ ِع ْلم‬
ِ َ‫ يَ ْشبَع‬: ُ‫طالِب‬ َ ‫دُ ْنيَا َو‬
"Ada dua kelompok yang selalu tamak dan tidak pernah merasa kenyang, penuntut ilmu dan
penuntut dunia." (HR. Hakim)

Demikian hadits ini adalah wahyu, mukjizat yang selanjutnya dibenarkan oleh para ulama kita di
dalam catatan-catatan sejarah mereka.
(1) Dimana mereka sebagai penuntut ilmu tidak pernah lepas dahaga akan ilmu, dan
(2) Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam menyamakan dengan ahli dunia.
Dan begitulah para ulama kita mempelajari firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
hadits-hadits Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam, hasrat mereka seperti ahli dunia mengejar
dunianya.

Imam Abul ‘Aaliyah -rahimahullah mengatakan:


“Kami dahulu mendengar riwayat-riwayat yang disampaikan oleh sahabat-sahabat Nabi
Shallallahu‘alaihi wa Sallam dan pada saat itu kami berada di Iraq, kami tidak pernah puas
sampai kami atur perjalanan pergi ke Madinah untuk mendengar langsung dari mereka.”

Dan itu pula yang disampaikan oleh Imam Ahmad -rahimahullah- ketika ditanya, “apakah
penuntut ilmu perlu mengejar dunia?”

Jadi kalau boleh kita qiyaskan, jikalau sekarang sudah ada kajian livestreaming, ada radio serta
media yang memudahkan lain sebagainya, bagi penuntut ilmu sejati mereka tidak akan puas
dengan media itu, sang penuntut ilmu sejati akan berusaha datang, karena atmosfir kajian beda
berkahnya.

Setali tiga uang; sebagaimana orang yang hobi duniawi, maka dia tidak akan pernah puas
menonton pertandingan olahraga hanya melihat dari TV saja. Jika orang penggemar fanatik
MotoGP, dirinya akan rela ke Singapura. Jika penggemar bola, maka dimanapun kesebelasan
favoritnya bertanding akan diikuti hadir. Dan contoh lain sebagainya.
Kita sekarang berada di sebuah era dimana ilmu telah dibuka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mendapatkan hadits tinggal sejarak sentuhan jari di smartphone. Menyimak kajian hanya sejauh
jari jempol menyentuh tombol play di gadget. Sementara para ulama terdahulu tak ayal harus
shafar berhari-hari bahkan berbulan-bulan demi hanya mendapatkan satu buah hadits.
Sebagaimana kisah Jabir –radhiallahu’anhu- untuk bertemu Abdillah –radhiallahu’anhu-, untuk
mendengar hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam yang berbunyi:

… ‫ورونَ ِإنَّ ُك ْم‬


ُ ‫ش‬ُ ْ‫ُحفَاة َمح‬
"Allah akan bangkitkan manusia dalam kondisi telanjang bulat, tidak membawa bekal, tidak
dikhitan..." (HR. Bukhari)

Jabir –radhiallahu’anhu- untuk mendapatkan hadits ini berjalan kaki selama 1 bulan.

Dalam kisah lain, Al Imam Masyruq –rahimahullah-, murid dari ‘Aisyah -radhiallahu’anha-,
dalam upayanya untuk mendapatkan satu kata dari Al Qur’an, beliau pergi ke Iraq. Begitu
sampai di sana, Syeikh yang dicarinya sudah terlanjut berangkat ke Syam, maka beliau pun
langsung berangkat ke Syam hingga bertemu disana.

Bandingkan dengan keadaan kita saat ini, untuk mendapatkan satu buku hadits yang berisikan
ratusan hadits, hanya cukup megunduhnya dengan modal dua jempol dan kerap pula internet
yang gratisan.
Ulama terdahulu setelah mendapatkan hadits, maka mereka mengamalkannya sehingga ilmu
mereka berkahnya luar biasa, mereka kejar dan berupaya, benar-benar kerja keras untuk ilmu.

Ja’far -rahimahullah, beliau menceritakan kepada kita bagaimana beliau dan teman-temannya
belajar di majelisnya Al Imam ‘Ali bin Madini, -rahimahullah:

“Kita ketika mendatangi majelisnya Ali bin Madini, kita sudah sampai di lokasi di waktu Ashar
untuk kajian besok pagi lalu kami begadang, duduk sepanjang malam di lokasi, karena kita
khawatir tidak mendapatkan tempat mendengarkan ucapan Ali bin Madini dengan tepat.”

Sebagaimana ulama sungguh-sungguh, maka kita juga demikian. Jikalau dunia bisa dikejar,
bagaimana dengan akhirat? Sudah pantasnya kita bersungguh-sungguh mengejar ilmu
sebagaimana pencinta dunia mengejar dunia. Jika upaya yang kita kerahkan demi dunia hingga
jungkir balik bisa dilakukan, sudah sepantasnya kita pun berjungkir balik demi akhirat.

Jika untuk mendapatkan yang fana harus kerja keras, lalu bagaimana dengan yang kekal?
Mustahil kita sukses di akhirat kalau tidak ada kerja keras.
Mungkinkah segampang itu kita menggapai surga?
Jikalau untuk dunia kita bisa habis-habisan, kenapa akhirat tidak bisa habis-habisan?
Kalau kaidah di dunia; “tidak ada makan siang gratis” , mungkinkah untuk Surga dapat ditebus
dengan gratis? Mustahil.

Ketahuilah, jika surga itu murah, Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam tidak perlu hijrah dari
Mekkah ke Madinah. Jika surga itu murah, tidak ada penyiksaan terhadap Bilal.

Dan pintu gerbangnya upaya kita menggapai surga adalah dengan belajar dan belajar dan belajar.
Karena Imam Bukhari -rahimahullah- mengatakan:

“Ilmu dulu sebelum belajar dan beramal.”

Kisah lainnya yang pantas dijadikan teladan dalam menjemput ilmu adalah Al Imam Qutruq -
rahimahullah- yang bernama asli Abu Ali Muhammad -rahimahullah-. Beliau adalah murid Al
Imam Sibawayh -rahimahullah-. Dalam tinjauan bahasa, makna ‘qutruq’ adalah binatang yang
hanya keluar di malam hari. Julukan ’qutruq’ disematkan pada dirinya oleh Imam Sibawayh -
rahimahullah- karena setiapkali sang guru membuka pintunya untuk pergi ke masjid untuk
melaksanakan shalat subuh, Imam Sibawayh -rahimahullah- sudah mendapatkan sang murid
berdiri di depan pintu rumahnya. Hal ini sering dilakukan oleh Al Imam Qutruq -rahimahullah-
hanya demi bisa bertanya kepada Sibawayh selama perjalanan ke masjid. Bahkan dalam riwayat
dilakukannya tidak hanya dilakukan setiap pagi namun juga setiap sore.

Kisah lainnya para ulama terdahulu yang dapat dijadikan inspirasi dalam menjemput ilmu adalah
kisah Al Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullah-, yang senantiasa ditahan oleh sang ibunda
dengan menahan bajunya ketika hendak keluar rumah di pagi hari. Sang Ibunda berkata; “Jangan
pergi sekarang, tunggu sampai adzan subuh.” Hingga akhirnya beliau masuk lagi seraya berkata:
“Saya ingin cepat-cepat duduk di majelisnya Abu Bakar Ayyasy dan yang lainnya.”
Imam Syafi’i -rahimahullah- sebagaimana yang dinukilkan oleh Imam Nawawi -rahimahullah-
dalam Syarah Muhadzdzab:
“Tidak ada satupun orang yang menuntut ilmu agama ini dengan kekayaan, kekuasaan, harga
dirinya yang tinggi, lalu sukses dengannya. Namun seseorang yang mempelajari ilmu dengan
merendahkan hati (bahkan mungkin dirinya tapi di hadapan firman Allah) dan kehidupan yang
sempit (bisa jadi dia orang kaya tapi saking semangatnya belajar, akhirnya dia tidak sempat
menikmati uangnya sendiri, sehingga jika dibandingkan dengan orang miskin maka hampir
sama), lalu dia berkhidmat kepada ahli ilmu (melayani ahli ilmu, beradab di hadapan mereka),
mereka yang akan sukses.”

Sebenarnya ketika kita datang ke majelis, salah satu filosofinya kita tawadhu di hadapan Allah
karena kaidah umum di masyarakat, yang datang itu yang paling kecil. Makanya berkah karena
harus tawadhu di hadapan ilmu.

Imam Mujahid -rahimahullah- dalam Shahih Bukhari mengatakan:

“Tidak akan sukses belajar ilmu agama, orang yang malu dan orang yang sombong.”

Demikiannya para ulama terdahulu bersungguh-sungguh, bukan ingin tampil, tapi ingin mencari
ilmu yang berkah.

Mereka Menuntut Ilmu Secara Bertahap

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang orang yang belajar dan mengajar dalam surat Ali
Imron ayat 79:

… ‫َاب ت ُ َع ِل ُمونَ ُك ْنت ُ ْم ِب َما َربَّا ِن ِيينَ ُكونُوا َو َٰلَ ِك ْن‬


َ ‫…تَد ُْرسُونَ ُك ْنت ُ ْم َو ِب َما ْال ِكت‬

"Namun jadilah seorang rabbani ketika kalian belajar Al Qur'an dan mengajarkan Al Qur'an..."
(QS: Ali Imron: 79)

Tugas kita bukan hanya belajar semata, namun selaras dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala
kehendaki, yakni belajar dengan metode Rabbaani. Pertanyaan besarnya, apa itu Rabbaani?
Abdullah bin Abbas -radhiyallahu’anhu- menjelaskan makna Rabbaani kepada kita;
“Rabbaani adalah orang-orang yang mempelajari ilmu mulai dari hal-hal yang basic sebelum
perkara-perkara yang sulit.”

Sebagian ulama menggunakan dalil Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa Sallam tentang masalah


kelembutan dalam memahami metode pembelajaran yang bertahap:

‫الر ْفقَ فَإِ َّن‬ َ ‫ع َولَ زَ انَهُ إِلَّ قَط‬


ِ ‫ش ْىء فِى يَ ُك ْن لَ ْم‬ َ ‫شَانَهُ إِلَّ قَط‬
َ ‫ش ْىء ِم ْن نُ ِز‬

"Sesungguhnya lemah lembut tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah
dicabut dari sesuatu kecuali akan memperkeruhnya" (HR. Abu Dawud)

Syeikh Shalih Ali Syeikh -rahimahullah- berkata:

“Dan dalam dunia ilmu kita butuh kelembutan, yaitu belajar sedikit demi sedikit (step by step).
Dan sebaliknya bisa dikategorikan kasar dalam belajar.”

Senada dengan perkataan Al Imam Asy Sya’bi -rahimahullah-:

“Barangsiapa yang mengambil ilmu sekaligus (langsung mengambil yang besar), maka akan
hilang semuanya dalam waktu yang singkat juga, karena ilmu hanya bisa dipelajari dengan
berjalannya siang dan malam.”

Beberapa ulama mengatakan:


“Barangsiapa yang basic-nya tidak kuat, maka dia tidak akan sampai ke tujuan.”
Sebagai analogi, jika anak kecil yang baru memulai belajar telah menyukai mata pelajaran
matematika namun jika oleh gurunya diberikan soal algoritma, maka besar kemungkinan
kecintaan sang anak kecil pada matematika akan luruh sekejap.
Hal yang sama pun diterapkan pada ilmu bela diri, jika seseorang sudah menguasai sekian
banyak gerakan jurus mematikan namun ternyata kuda-kuda dasarnya lemah dan salah, maka
sangatlah mudah bagi lawannya untuk menjatuhkan dirinya.

Inilah sebagai suatu kesimpulan, kalau mau sukses maka belajarlah dengan bertahap, pelan-pelan
dan pelajari satu per satu karena itu adalah metode para ulama kita.

Karena ini adalah konsep Allah Subhanhu wa Ta’ala. Sebagaimana apa yang telah Allah
firmankan dalam menjawab metode turunnya Al Qur’an dari orang-orang kafir:

﴿٣٢﴾ ‫ت َْرتِيل َو َرتَّ ْل َٰنهُ ۖ فُ َؤادَكَ بِِۦه ِلنُثَبِتَ ك ََٰذلِكَ ۚ َٰو ِحدَة ُج ْملَة ْٱلقُ ْر َءانُ َعلَ ْي ِه نُ ِز َل لَ ْو َل َكفَ ُروا ٱلَّذِينَ َوقَا َل‬

"Dan berkatalah orang-orang yang kafir: Mengapa Al Qur'an tidak diturunkan kepadanya
sekaligus? Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami
membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan, dan benar)." (QS Al-Furqon: 32)

Demikiannya hati Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam yang dikokohkan secara


bertahap. Karena inilah konsep Allah Subhanahu wa Ta’ala. Konsep yang dapat
diimplementasikan pada bidang keilmuan apapun; yakni menguasai secara bertahap. Dari perihal
yang termudah dan terkecil hingga bertahap ke hal yang besar dan sulit. Inilah konsep sukses
yang Allah tawarkan; kalau kita mau sukses, maka jadilah orang Rabbaani.
Mereka Mempelajari Adab Dahulu, Sebelum Belajar Ilmu
Salah satu ilmu yang harus kita prioritaskan selain akidah, iman, ibadah-ibadah yang wajib,
adalah adab, seperti yang dikatakan Al Imam Ibnul Mubarok -rahimahullah:

“Dulu ulama kita belajar adab dulu sebelum belajar ilmu.”

Adab akan membuat ilmu kita berjalan paralel. Ilmu yang akan membuat kita menjadi orang
yang bertaqwa kepada Allah. Itu akan membuat banyak permasalahan clear dengan sendirinya
karena mempunyai adab.
Contoh dalam masalah adab, telah diaplikasikan pada kisah nyata tatkala terjadi dialog dua
ulama besar dari dua madzhab yang berbeda, Ibnu Hazm Al Andalusi -rahimahullah-(Madzhab
Dzhori) dan Abul Walid Al Baaji -rahimahullah- (Madzhab Malikiyah).

Sulit dipungkiri pertemuan perbedaan yang banyak dalam keilmuan, selain itu perbedaan
semakin diperjarak pula oleh status ekonomi dari kedua ulama besar tersebut, Imam Ibnu Hazm -
rahimahullah- yang kaya raya dan Imam Abul Walid -rahimahullah- yang tidak banyak harta
dengan pekerjaannya sebagai penjaga keamanan.

Dialog diskusi yang terjadi sangat menegangkan namun memiliki akhir yang luar biasa. Di mana
Imam Abul Walid Al Baaji -rahimahullah- mengatakan di akhir argumennya:

“Ibnu Hazm, kalau aku salah, saya minta maaf karena mayoritas muroja’ah saya ketika saya
berada di bawah lampu malam yang temaram.”

Begitu mendengar hal itu, Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- tak kalah cerdas nan beradab pun
mengatakan:

”Anda juga harus memaafkan saya kalau saya ada salah dalam berdebat karena saya belajar
selama ini mayoritasnya di atas mimbar-mimbar emas dan perak.”

Imam Abul Walid Al Baaji -rahimahullah- berdalil dengan faktor fisik, artinya beliau tidak
mempunyai fasilitas yang menunjang belajar beliau. Sedangkan Imam Ibnu Hazm -
rahimahullah- menjawab secara psikis karena fasilitas yang membuat kita nyaman dan terlena
ada di depan mata. Dapatlah dibayangkan jikalau kita belajar di atas kursi nyaman yang dapat
memijat nan empuk, sungguh akan sulit sekali ilmu dapat masuk ke dalam sanubari. Dan
ketahuilah, hal tersebut justru lebih berbahaya, karena hati di-nina-bobokan.

Point yang ingin kita petik adalah lihat bagaimana adab diantara dua ulama ini, mereka saling
meminta maaf di akhir debat. Mereka ketika berbantah-bantahan, murni karena cemburu
terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Abu ‘Amr bin Ash-Shalah menceritakan biografi Imam Muslim rahimahullah, beliau berkata,
َ ‫َو َكانَ ل َم ْوته‬
‫س َبب غ َِريب نَشأ َعن غمرة فكرية علمية‬
“tentang sebab wafatnya (imam muslim) adalah suatu yang aneh, timbul karena
kepedihan/kesusahan hidup dalam ilmu.”[3]

Yahya Abu zakaria berkata,


‫ فنزلت‬-‫ بئر مجنة‬:‫يعني‬- ‫ فنزلت عند هذا البئر‬،‫ قفلت من خراسان ومعي عشرون وقرا من الكتب‬:‫وذكر لي عمي عبيد هللا قال‬
‫عنده اقتداء بالوالد‬
“Pamanku Ubaidillah bercerita kepadaku, “aku kembali dari Khurasan dan bersamaku ada 20
beban berat yang berisikan buku-buku. Aku singgah di sebuah sumur –yaitu sumur Majannah-
aku lakukan karena mencontoh ayahku.”[4]

Wallahu’alam bishawab.
=====================
InsyaAllah bersambung kembali pada kajian selanjutnya
Bersusah payah dan Berletih-letih menuntut ilmu

Maka bandingkanlah dengan upaya kita menuntut ilmu sekarang?

Menahan lapar
Abdurrahman bin Abu Zur’ah berkata, saya mendengar ayahku berkata,
‫بقيت بالبصرة في سنة أربع عشرة ومائتين ثمانية أشهر وكان في نفسي أن أقيم سنة فانقطع نفقتي فجعلت أبيع ثياب بدني شيئا‬
‫بعد شيء حتى بقيت بال نفقة ومضيت أطوف مع صديق لي إلى المشيخة وأسمع منهم إلى المساء فانصرف رفيقي ورجعت إلى‬
‫بيت خال فجعلت أشرب الماء من الجوع ثم أصبحت من الغد وغدا علي رفيقي فجعلت أطوف معه في سماع الحديث على جوع‬
‫شديد فانصرف عني وانصرفت جائعا فلما كان من الغد غدا علي فقال مر بنا إلى المشايخ قلت أنا ضعيف ال يمكنني قال ما‬
‫ضعفك قلت ال أكتمك أمري قد مضى يومان ما طعمت فيهما‬
“Aku menetap di Bashrah pada tahun 214 Hijriyah. Sebenarnya aku ingin menetap di sana
selama setahun. Namun perbekalanku telah habis dan terpaksa aku menjual bajuku helai demi
helai, sampai akhirnya aku tidak punya apa-apa lagi. Tapi aku terus pergi bersama teman-
temanku kepada para syaikh dan aku belajar kepada mereka hingga sore hari. Ketika teman-
temanku telah pulang, aku pulang ke rumahku dengan tangan hampa dan Cuma minum air untuk
mengurangi rasa laparku. Keesokan harinya teman-temanku datang dan aku pergi belajar
bersama mereka untuk mendengar hadits dengan menahan rasa lapar yang sangat. Keesokan
harinya lagi mereka datang lagi dan mengajakku pergi. Aku berkata, “aku sangat lemah dan tidak
bisa pergi”. Merek berkata, “apa yang membuatmu lemah?”. Aku berkata, “tidak mungkin kau
sembunyikan dari kalian, aku belum makan apa-apa sejak dua hari yang lalu.”.”[6]

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah berkata,


‫ وبلغت الضائقة في غالء نزل ببغداد إلى أن‬،‫ وورق الخس من جانب النهر والشط‬،‫ وقمامة البقل‬،‫وكنت أقتات بخرنوب الشوك‬
‫ فخرجت يوما من شدة الجوع إلى الشط لعلي أجد ورق الخس أو‬،‫ بل كنت أتتبع المنبوذات أطعمها‬،‫بقيت أياما لم آكل فيها طعاما‬
‫ فما ذهبت إلى موضع إال وغيري قد سبقني إليه وإن وجدت أجد الفقراءيتزاحمون عليه فأتركه‬.‫ أو غير ذلك فأتقوت به‬،‫البقل‬
‫حبا‬
“Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan
yang menimpaku karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad membuatku tidak makan
selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untukku
makan. Suatu hari, karena saking laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan
daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa ku makan. Tidaklah aku mendatangi suatu tempat
melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya,maka aku
melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena
mereka lebih membutuhkan.”[7]
Sufyan bin ‘uyainah berkata,
‫ضى‬ َ ‫سهُ ِإلَى أ َ ْن َيدْ ُخ َل فَ َع‬
َ ‫ص َمهُ هللاُ َو َم‬ ُ ‫س فَدَ َعتْهُ نَ ْف‬ َ ‫َث ث َ َالثَةَ أَي ٍَّام َال َيأ ْ ُك ُل‬
ٌ ‫ش ْيئًا فَ َم َّر ِبدَ ٍار فِي َها ع ُْر‬ َ ‫شدِيدًا َمك‬ ُّ ‫س ْف َيانُ الث َّ ْو ِر‬
َ ‫ي ُجوعًا‬ ُ ‫ع‬
َ ‫َجا‬
َ ‫ص فَأ َ َكلَهُ َوش َِر‬
َّ ‫ب َما ًء فَتَ َج‬
‫شى‬ ٍ ‫ِإلَى َم ْن ِز ِل ا ْبنَ ِت ِه فَأَتَتْهُ ِبقُ ْر‬
“Sufyan Ats-Tsauri pernah merasa sangat lapar. Sudah tiga hari ia tidak makan apapun. Ketika
melewati sebuah rumah yang ada pesta di dalamnya. Dia terdorong ingin datang ke sana namun
Allah menjaganya (karena haram hukumnya datang jika tidak diundang –pent), akhirnya ia
menuju ke rumah putrinya. Putrinya menyuguhkan roti yang bulat pipih, kemudian ia
memakannya dan meminum air hingga bersendahawa.”[9]
Mengorbankan harta yang tidak sedikit
Pununtut ilmu agama harus siap jauh dari dunia dan ketenarannya, hidup sederhana dan bisa jadi
mereka adalah orang yang miskin karena mengorbankan harta mereka.
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,
‫ال يبلغ أحد من هذا العلم ما يريد حتى يضربه الفقر ويؤثره على كل شئ‬
“seseorang tidak akan mencapai ilmu ini sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga ia menjadi
fakir dan berpengaruh kepada semuanya.”[1]

Al-Khatib al-Baghdadi membawakan riwayat,


‫ حتى التجأ إلى أن باع سقف بيته‬،‫أنفق ابن عائشة على إخوانه أربع مائة ألف دينار في هللا‬
“Ibnu Aisyah membelanjakan harta untuk saudara-saudaranya sebanyak empat ratus
dinar, hingga ia menjual atap rumahnya.”[3]

Muhammad bin Salam berkata,


‫ وليت ما أنفقت في طلبه كان في نشره‬،‫ وأنفقت في نشره أربعين ألفا‬،‫أنفقت في طلب العلم أربعين ألفا‬
“Aku ketika menuntut ilmu menghabiskan 40.000 dan untuk menyebarkannya 40.000, sekiranya
kuhabiskan ketika mencarinya, kuhabiskan ketika menyebarkannya.”[4]
Ibnu Sa’ad berkata, aku mendengar Musa bin Dawud berkata,
‫أفلس الهيثم بن جميل في طلب الحديث مرتين‬
“Al-Haitsam bin Jamil bangkrut dua kali Ketika mencari hadits.”[8]

Abdurrahman bin Abu Zur’ah berkata, saya mendengar ayahku berkata,


‫بقيت بالبصرة في سنة أربع عشرة ومائتين ثمانية أشهر وكان في نفسي أن أقيم سنة فانقطع نفقتي فجعلت أبيع ثياب بدني شيئا‬
‫بعد شيء حتى بقيت بال نفقة‬
“Aku menetap di Bashrah pada tahun 214 Hijriyah. Sebenarnya aku ingin menetap di sana
selama setahun. Namun perbekalanku telah habis dan terpaksa aku menjual bajuku helai demi
helai, sampai akhirnya aku tidak punya apa-apa lagi.”[10]

BERSAMBUNG INSYAALLAH…
Berlajar kepada banyak guru
Kita selayaknya tidak mencukupkan diri dengan satu guru saja, karena ilmu itu sangat luas,
sampai-sampai ulama berkata, salah satunya adalah Hammad bin Zaid rahimahullah berkata,
‫إنك ال تعرف خطأ معلمك حتى تجالس غيره‬
“sesungguhnya engkau tidak mengetahui kesalahan gurumu sampai engkau berguru dengan yang
lain.”[1]

Ibnu As-Sa’iy berkata tentang Ibnu An-Najjar,


‫ اشتملت مشيخته على ثالثة آالف شيخ وأربع مائة امرأة‬:‫قال ابن الساعي‬
“para guru Ibnu An-Najjar mencapai 3.000 syaikh dan 400 guru wanita.”[4]

Belajar dengan waktu yang lama


Imam Syafi’i rahimahullahu, berkata,
‫ان‬ ِ ‫سأ ُ ْنبِيكَ َع ْن ت َ ْف‬
ِ َ‫صي ِل َها بِ َبي‬ َ ‫أَ ِخي لَ ْن تَنَا َل ْال ِع ْل َم َّإال بِ ِست َّ ٍة‬
ُ ‫َوصُحْ بَةُ أ ُ ْست َا ٍذ َو‬
ِ ‫طو ُل زَ َم‬
‫ان‬ ٌ‫ص َواجْ تِ َهاد ٌَوب ُْلغَة‬
ٌ ‫ذَكَا ٌء َو ِح ْر‬
Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara
Akan aku kabarkan padamu perinciannya degan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, semangat, bekal cukup
Bimbingan ustadz dan waktu yang lama [Diwan Syafi’i]

Ibnul Mubarak pernah di tanya,


‫ «حتى الممات إن شاء هللا‬:‫ إلى متى تطلب العلم؟ قال‬،‫ قيل البن المبارك‬:
“Sampai kapan engkau menuntut ilmu? Beliau berkata, “sampai mati insyaAllah”[5]

Abu ‘Amr Ibnul ‘Ala’ pernah ditanya,


»‫ «ما دام تحسن به الحياة‬:‫سألت أبا عمرو بن العالء حتى متى يحسن بالمرء أن يتعلم؟ فقال‬
“sampai kapan seseorang tekun menuntut ilmu? Beliau menjawab, “selama ia masih hidup.”[6]

Kemudian kisah Abu Zur’ah yang masih bergelut dengan ilmu sampai ketika dekat dengan
kematian sakratul maut. Abu Ja’far Muhammad bin Ali As- Saawi menceritakan,
َ‫ َو َج َما َعةٌ ِمن‬، َ‫ َو ْال ُم ْنذ ُِر ْبنُ شَاذَان‬،َ ‫ارة‬
َ ‫ َو ُم َح َّمد ُ ْبنُ ُم ْس ِل ِم ب ِْن َو‬،‫ َو ِع ْندَهُ أَبُو َحاتِ ٍم‬،‫ق‬ ِ ‫ان َو َكانَ فِي الس َّْو‬ َ ‫ض ْرتُ أ َ َبا ُز ْر َعةَ ِب َما‬
ِ ‫ش ْه َر‬ َ ‫َح‬
‫ تَ َعالَ ْوا نَذْ ُك ُر‬:‫ َوقَالُوا‬،َ‫ فَا ْستَحْ يُوا ِم ْن أَ ِبي ُز ْر َعة‬, »‫َللا‬ ُ َّ ‫ «لَ ِقنُوا َم ْوتَا ُك ْم َال ِإلَهَ ِإ َّال‬:‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫اء فَذَك َُروا قَ ْو َل النَّ ِبي‬ ِ ‫ْالعُلَ َم‬
َ ‫ َع ْن‬, ‫ ثَنَا َع ْبد ُ ْال َح ِمي ِد ْبنُ َج ْعفَ ٍر‬:َ‫اص ٍم قَال‬
‫صا ِلحٍ َولَ ْم يُ َجا ِو ْز‬ ِ ‫ض َّحاكُ ْبنُ َم ْخلَ ٍد أَبُو َع‬ َّ ‫ َحدَّثَنَا ال‬:َ ‫ارة‬ ُ ‫ْال َحد‬
َّ ‫ فَقَا َل أَبُو َع ْب ِد‬،‫ِيث‬
َ ‫َللاِ ْبنُ َو‬
َ ‫ َع ْن‬, ‫ ثنا َع ْبدُ ْال َح ِمي ِد ْبنُ َج ْعفَ ٍر‬:َ‫ قَال‬،‫اص ٍم‬
‫صا ِلحِ ب ِْن‬ ِ ‫ ثنا أَبُو َع‬:َ‫ قَال‬،‫ار‬ ِ ‫ فَقَا َل أَبُو ُز ْر َعةَ َوه َُو فِي الس َّْو‬،‫س َكتُوا‬
ٌ َ‫ ثنا بُ ْند‬،:‫ق‬ َ َ‫َو ْالبَاقُون‬
ِ َ‫ « َم ْن َكان‬:‫سلَّ َم‬
‫آخ ُر ك ََال ِم ِه َال‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ قَال‬،‫ َع ْن ُمعَا ِذ ب ِْن َجبَ ٍل‬،ِ ‫ير ب ِْن ُم َّرة َ ْال َحض َْر ِمي‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َللا‬ ٍ ‫أَبِي َع ِري‬
ِ ِ‫ َع ْن َكث‬, ‫ب‬
َّ ُ‫َللاُ دَ َخ َل ْال َجنَّةَ» َو َماتَ َر ِح َمه‬
ُ‫َللا‬ َّ ‫ِإلَهَ ِإ َّال‬

“saya mendatangi Abu Zur’ah yang sedang dalam keadaan sakaratul maut, ada bersamanya abu
hatim, Muhammad bin Muslim bin Warah, Al-Mundzir bin Syadzan dan sekelompok ulama
lainnya. Kemudian mereka membicarakan hadits,
َّ ‫لَ ِقنُوا َم ْوتَا ُك ْم َال ِإلَهَ ِإ َّال‬
ُ‫َللا‬
“Talqinkanlah kepada orang yang sedang menghadapi kematian diantara kalian kalimat ‘laa
ilaaha illallahu’.”

Kemudian mereka merasa malu terhadap Abu Zur’ah. Lalu mereka berkata, “mari kita bicarakan
hadits ini”.
Abdullah bin Warah berkata, “kami dapatkan hadits ini dari Adh-Dhahak bin Mukhlad Abu
Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih, namun dia tidak bisa meneruskan perawi
selanjutnya. Sedangkan ulama yang lain terdiam.
Maka berkata Abu Zur’ah dan beliau dalam keadaan sakaratul maut , “Kami mendapati riwayat
ini dari Bundaar dari Abu Ashim dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih bin Abi ‘Ariib dari
Kutsair bin Murrah Al-Hadhrami dari Mu’adz bin Jabal berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َّ ‫لَ ِقنُوا َم ْوتَا ُك ْم َال ِإلَهَ ِإ َّال‬
ُ‫َللا‬
“Talqinkanlah kepada orang yang sedang menghadapi kematian diantara kalian kalimat ‘laa
ilaaha illallahu’.”
Kemudian beliau rahimahullahu meninggal dunia[7]

Penutup
Dan masih sangat banyak kisah para ulama yang mencengangkan dan seakan-akan adalah
dongeng, akan tetapi inilah kenyataannya. Kisah lainnya semisal:
-Ibnu Thahir al-Maqdisy yang dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits, sekali di
Baghdad dan sekali di Mekkah.
-Majduddin Ibn Taimiyyah (Kakek Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah) jika akan masuk kamar
mandi berkata kepada orang yang ada di sekitarnya: Bacalah kitab ini dengan suara keras agar
aku bisa mendengarnya di kamar mandi.
-Al-Hasan alLu’lu-i selama 40 tahun tidaklah tidur kecuali kitab berada di atas dadanya.
-Al-Hafidz alKhathib tidaklah berjalan kecuali bersamanya kitab yang dibaca, demikian juga
Abu Nu’aim al Asbahaany (penulis kitab Hilyatul Awliyaa’)
-Al-Hafidz Abul ‘Alaa a-Hamadzaaniy menjual rumahnya seharga 60 dinar untuk membeli
kitab-kitab Ibnul Jawaaliiqy
-Ibnul Jauzy sepanjang hidupnya telah membaca lebih dari 20.000 jilid kitab
-Al-Khothib al-Baghdady membaca Shahih al-Bukhari dalam 3 majelis ( 3 malam), setiap malam
mulai ba’da Maghrib hingga Subuh (jeda sholat)
-Al-Hafidz Zainuddin al-Iraqy membaca Musnad Ahmad dalam 30 majelis(pertemuan)
-Al-‘Izz bin Abdissalaam membaca kitab Nihaayatul Mathlab 40 jilid dalam tiga hari (Rabu,
Kamis, dan Jumat) di masjid.
-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rata-rata menghabiskan waktu selama 12 jam sehari
untuk membaca buku-buku hadits di perpustakaan.
-Gholib bin Abdirrahman bin Gholib al-Muhaariby telah membaca Shahih alBukhari sebanyak
700 kali.
-Ismail bin Zaid dalam semalam menulis 90 kertas dengan tulisan yang rapi.
-Ahmad bin Abdid Da-im al-Maqdisiy telah menulis/ menyalin lebih dari 2000 jilid kitab-kitab.
Jika senggang, dalam sehari bisa menyelesaikan salinan 9 buku. Jika sibuk dalam sehari
menyalin 2 buku.
-Ibnu Thahir berkata: saya menyalin Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abi Dawud
7 kali dengan upah, dan Sunan Ibn Majah 10 kali
-Ibnul Jauzy dalam setahun rata-rata menyalin 50-60 jilid buku
2. Menutup mata dari ‘aib manusia, yang ia perhatikan adalah ‘aib pada diri sendiri.
3. Mengorbankan harta untuk menuntut ilmu (agama) dan itu lebih diutamakan dari kesenangan
dunia lainnya.
Kitab di mata para ulama terasa istimewa sampai-sampai mereka katakan sebagai harta utama
mereka. Al Kholil bin Ahmad berkata, “Jadikanlah buku-buku kalian sebagai harta utama dan
nafkah hati bagi kalian.”
Saking semangatnya para ulama dalam mengumpulkan kitab, mereka pun jadi orang-orang pailit.
Coba lihatlah keadaan Yahya bin Ma’in. Beliau mendapatkan harta peninggalan dari ayahnya
yang amat banyak, “alf-alf (milyun) wa khomsiina alf dirham” (1 juta, 50.000 dirham). Seluruh
harta tersebut beliau infakkan untuk mengumpulkan hadits dan mengumpulkan berbagai kitab.
Sampai ia pun jatuh pailit. Sampai-sampai ia tidak memiliki sendal untuk digunakan. Namun
karena kebangkrutannya ini, ia pun menjadi imam besar dalam jarh wa ta’dil, tanpa disangsikan
lagi.”
Oleh karena itu di antara ulama seperti Syu’bah bin Al Hajjaj pernah berkata,
‫من طلب الحديث أفلس‬
“Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia pasti akan jatuh bangkrut.”
Namun catatan yang harus diingat. Mengumpulkan buku tidaklah bermanfaat sampai seseorang
membukanya dengan bermajelis bersama para ulama. Imam Asy Syatibi mengatakan, “Dahulu
ilmu itu berada dalam hati setiap orang. Kemudian ilmu tersebut berpindah ke buku. Namun
buku tersebut punya kunci untuk membukanya. Buku saja dengan sendirinya tidak
mendatangkan manfaat sampai buku tersebut dibuka oleh para ulama.”
Syaikh Syarif Hatim hafizhohullah berkata, “Wajib bagi penuntut ilmu mencurahkan tenaganya
untuk lebih perhatian pada kitab. Seharusnya ia mendahulukan membeli kitab dari kebutuhan
makan, minum dan pakaiannya. Jangan sampai ia luput untuk mengumpulkan kitab kecil
maupun besar dalam ilmu hadits maupun ilmu lainnya.”
Catatan: Bukan berarti perkataan Syaikh Syarif Hatim ini sampai melalaikan kebutuhan primer
yang dibutuhkan asal tidak sampai berlebih-lebihan. Karena jika kebutuhan primer berupa
makanan, minuman dan pakaian sampai terlalaikan, maka ini bisa membinasakan diri sendiri.
Padahal kita dilarang untuk membinasakan diri kita sendiri.
Semoga Allah senantiasa memberi kita taufik dalam ilmu, amal dan dakwah. Wallahu waliyyut
taufiq was sadaad.
Pernah jual baskom ibu nya seharga 7 dinar, 1 dinar= 4,25 gr emas, anggap 2 juta 1 dinar
Ingin tahu selengkapnya.
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/2685-mengorbankan-harta-demi-belajar.html

Beginilah Para Ulama Mendidik Anak


June 5, 2012 by Shabra Syatila
Mewariskan Harta dan Buku, untuk Pendidikan Anak
Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Syafi’i, bahwa ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan 6
perkara, salah satunya adalah harta atau materi. Oleh karena itu, para ulama tidak tanggung-
tanggung merogoh kocek, guna kelangsungan pendidikan anak-anak mereka.
Siapa yang tidak mengenal Imam As Suyuthi (991 H),seorang ulama besar yang memiliki lebih
dari 600 karya. Menguasai berbagai macam disiplin keilmuan dalam Islam, hafal lebih dari 200
ribu hadits. Bahkan ia mengakui bahwa parangkat ijtihad sudah ia miliki. Dan waktu berumur 21
sudah menghasilkan karya. Salah satu karya yang amat populer bagi masyarakat muslim
Indonesia adalah Tafsir al Jalalain
Kehebatan beliau tidak lepas dari pendidikan dan jerih payah ayahnya dalam mempersiapkan
pendidikannya. Ayahnya telah mempersiapkan sebuah perpustakaan yang langkap dengan
berbagai macam kitab, sebelum As Suyuthi lahir, sehingga ulama Syafi’iyah ini dijuluki sebagai
Ibnu Al Kutub (anak buku), karena beliau terlahir di sela-sela tumpukan buku. Maka tidaklah
heran, jika semasa mudah As Suyuthi sudah menguasai banyak rujukan.
Ibnu Al Jauzi (510 H), seorang ulama ternama dalam madzhab Hambali juga banyak
mendapatkan warisan dari sang ayah, guna menopang pendidikannya. Hal ini terungkap, tatkala
ia memberi nasehat kepada anak-anaknya, agar senantiasa bersabar dalam mencari ilmu, dan
senantiasa menjaga kehormatan diri. Beliau menulis dalam Laftah Al Kabid, fi Nashihati Al
Walad, tentang nasehatnya kepada anaknya, sewaktu mereka masih kecil: ”Ketahuilah wahai
anakku, bahwa ayahku adalah seorang yang kaya, dan telah meninggalkan ribuan harta. Ketika
aku baligh, ia memberiku 20 dinar dan 2 rumah. Lalu aku mengambi dinar untuk kubelanjakan
buku, lalu aku jual rumah dan aku gunakan uangnya unyuk mencari ilmu, hingga harta itu habis
tidak tersisa. Ayahmu tidak terhina dikarenakan mencari ilmu, sehingga berkeliling ke negeri-
negeri untuk mencari belas kasih orang lain. Aku merasa kecukupan, Allah berfirman: ”Barang
siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar dan member rizki
dengan cara yang tidak disangka-sangka”.
Lalu beliau mengatakan, ”Maka, bersungguh-sungguhlah wahai anakku untuk tetap menjaga
kehormatanmu, hingga tidak mencari-cari dunia yang akan menghinakan pemiliknya. Ada yang
mengatakan bahwa, barang siapa qona’ah terhadap roti, maka ia tidak akan menjadi hamba bagi
manusia”.
Ibnu Al Jauzi berani menempuh kesusahan di saat beliau mencari ilmu, antara lain kesusahan
dalam rezeki, akan tetapi beliau tetap bersabar. Hingga ketika ilmu yang beliau peroleh sudah
amat banyak, maka rezekilah yang mendatanginya (Lihat biografi beliau dalam Tadzkirah
Huffadz, Imam ad Dzahabi, 4/1347).
Yahya bin Ma’in (233 H) juga tidak kalah hebatnya, guru Imam Bukhari ini mendapatkan
warisan dari ayahnya sebesar 1 juta dirham dan 50 ribu dinar. Semua itu dihabiskan Yahya untuk
mencari hadits, sehingga sandalpun ia tidak memilikinya. Dari harta itu, Yahya memiliki 114 rak
yang penuh buku (lihat, Tahdzib At Tahdzib, Al Atsqalani, 11/282).
Begitu juga Imam As Syaibani Al Kufi (189 H), salah satu murid Imam Abi Hanifah, beliau
pernah mengatakan:”Ayahku mewariskan kepadaku 30 ribu dirham. Aku gunakana 15 ribu untuk
ilmu nahwu dan syair, dan sisanya untuk hadits dan fiqih (lihat, Tarikh Al Bagdad, Khotib,
2/173)
Begitu pula yang dialami Hisham bin Ammar At Tsulami (245 H), guru dari Imam Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan yang lain. Ayahnya relah menjual rumah mereka seharga 20
dinar, untuk ongkos ke Madinah, dalam rangka mendengar hadits dari Imam Malik (lihat,
Tahdzib Al Kamal, Al Mizzi, 3/1144)
Tidak jauh beda dengan pengorbanan orang tua dari Ali Bin Ashim Al Wasithi (201 H), salah
seorang Hafidz Bagdad, yang juga menjadi syeikh Imam Ahmad dan Yahya Ad Duhli (guru
Imam Al Bukhari). Dimana suatu saat, ayahnya mengatakan kepadanya,”Telah aku berikan uang
sebesar 100 ribu dinar, dan aku tidak mau melihat wajahmu, kecuali setelah kamu mendapatkan
100 ribu hadits!” (lihat, Tadzkirah Al Huffadz, Ad Dzahabi, 1/317).
Tidak jauh bereda antara ulama klasik dan ulama kontemporer, Syeikh Badru Al Alim, Muhadits
India, yang ikut memberi ta’liq (komentar) kepada Faidhu Al Bari, syarah (penjelasan) dari
Shohih Al Bukhari, yang ditulis oleh Al Muhadits Anwar Syah Al Kashmiri, juga
mempersiapkan pendidikan anak-anaknya dengan baik. Saat awal-awal ia bermukim di Madinah,
beliau membeli kitab Al Ajwibah Al Fadhilah, yang ditulis oleh Imam Laknawi, padahal usia
beliau sudah tua, dan tidak mampu lagi membaca.
Akhirnya beliau menyatakan kepada Syeikh Abu Ghuddah, muridnya”Kamu tahu bahwa aku
tidak mampu lagi membacanya, akan tetapi, aku membelinya untuk kuwariskan kepada keluarga
dan anak-anakku, itu lebih baik bagi mereka daripada warisan yang berupa harta”. (Lihat,
Shofhat min Shabri Al Ulama, 300)
Memilih Rezeki Halal, untuk Pendidikan Anak
Para ulama tidak hanya mewariskan harta untuk pendidikan anak-anak mereka, akan mereka
juga menjaga agar harta yang diberikan kepada anak-anak mereka adalah harta yang bersih
syubhat dan halal. Karena, bersih tidaknya harta juga mempengaruhi bersih tidaknya ilmu yang
diperoleh.
Adalah Kamal Al Ambari (513 H), penulis Nuzhah Al Auliya, yang juga seorang ulama nahwu,
yang memiliki harta pas-pasan. Mendapat rumah dari warisan ayahnya, dan hanya mengandalkan
sewa kedai, yang dalam sebulan cuma menghasilkan setengah dinar.
Suatu saat khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan membawa uang 500
dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al Ambari menolak. Akan tetapi utusan tersebut
mengatakan, ”Kalau engkau tidak mau, berikanlah harta ini kepada anakmu”. Al Ambari
menjawab,”Jika aku yang menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki”
Perkataan Al Ambari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki anaknya, hingga ia tidak
perlu menerima memberikan hadiyah itu kepada anaknya, yang mana ia sendiri enggan
menerima harta pemberian penguasai, karena wara’ (hati-hati).
Ulama: Guru dan Sahabat Anaknya dalam Mencari Ilmu
Hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendidik adalah keteladanan. Jika orang tua
menginginkan anaknya mencintai ilmu, maka ia sendiri juga harus mencintai ilmu, hingga bisa
menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya.
Para ulama sendiri mengajak anak-anaknya untuk bersama-sama melakukan perjalanan dan
belajar dengan para ulama lain. Semisal Asad bin Al Furat (213 H), seorang murid Imam Malik,
yang sudah diajak ayahnya “menjelajah” sejak ia berumur 2 tahun, untuk mencari ilmu, bersama-
sama dengan pasukan Arab, menuju Qairawan, Tunis, dan belajar Al Qur’an di negeri itu, lalu
meriwayatkan Al Muwatha’ dari Ibnu Ziyad. (lihat, Syajarah An Nura Az Zakiyah, 62).
Begitu pula Imam As Suyuthi (991 H), sejak berumur 3 tahun sudah dibawah ayahnya
menghadiri majelis Ibnu Hajar Al Atsqalani. Wafatnya sangh ayah tidak bererti pendidikan si
anak harus dilalaikan. Ayah Suyuthi sebelum wafat sudah berwashiyat kepada Kamaluddin bin
Hammam, ulama masa itu untuk mendidik As Suyuthi.
Hal yang sama dilakukan oleh ayah dari Ibnu Mulaqqin, guru dari Ibnu Hajar Al Atsqalani dari
Mesir. Sebelum menjadi yatim, ayahnya telah menitipkan pendidikannya kepada seoarang ulam
yang bernama Syeikh Isa Al Maghribi, seorang yang biasa mentalqin (membacakan) Al Qur’an,
kepada para penuntut ilmu, hingga ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Mulaqqin (anak
pentalqin). Beliau adalah ulama yang paling banyak karyanya di zaman itu.
Imam Sam’ani (562 H), sejak berumur 4 tahun, ayahnya, Imam Abu Bakar menghadirkannya ke
beberapa ulama, seperti Ali Abdu Al Ghaffar As Sairazi, Abu ‘Ala Al Qushairi, dan beberapa
ulama. Lalu saat ia berumur 9 tahun, ayahnya membawanya ke Naisabur. Tidak hanya itu,
setelah ia pulang ke Marwa pada umur 38 dan menikah, anaknya yang bernama Abu Mudhafar
yang masih berumur 3 tahun pun ia bawa bersamanya kembali ke Naisabur dalam rangka
berguru kepada beberapa ulama di sana. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 7/180).

Begitu pula banyak para ulama, disamping menjadi ayah, juga menjadi guru bagi anak-anaknya,
semisal Kamal Al Ambari (077 H) memperolah hadits dari ayahnya, Tajuddin As Subki (771 H),
mengambil ilmu dari ayahnya, Taqiyuddin As Subki. Bagitu pula Abu Zur’ah Al Iraqi
mendapatkan ilmu dari ayahnya Hafidz Al Iraqi, hingga ia meneruskan syarah Tharhu At Tasrib
yang telah disyarah Hafidz Al Iraqi sebelum wafat. Juga amat banyak periwayat hadits yang
mengambil dari ayah, kakek dan seterusnya.
Begitu juga Imam As Syaukani penulis Nail Al Authar, telah membaca kitab Al Azhar, fiqih
madzhab Zaidiyah dari ayahnya. Ada kisah menarik dalam hal ini, yang mencerminkan
kekritisan Imam As Syaukani. Di sela-sela proses belajar dengan ayahnya, ia bertanya: “Ayah
mengatakan, ini madzhab Hanafi, ini madzhab Fulani, mana yang benar dari pendapat-pendapat
ini?” Ayahnya menjawab: “yang benar adalah pendapat yang dirajihkan Imam Al Hadi”. Imam
As Syaukani pun menanggapi:”Tidak mungkin ijtihad Imam Al Hadi benar semua, pasti ada
yang salah. Maka, bagaimana kita tahu pendapat itu benar?” Akhirnya ayah Syaukani
membawanya berguru kepada beberapa ulama di Yaman.
Selalu memantau hasil belajar anak
Tidak hanya mengajar atau memilih guru yang baik. Akan tetapi para ulama juga memantau
hasil belajar si anak. Simak penuturan Tajuddin As Subki (771H):”Aku jika datang dari seoarang
syeikh, maka ayahku (Taqiyuddin As Subki) berkata kepadaku,”tunjukkan apa yang telah kamu
peroleh, yang kamu baca dan yang kamu dengar”. Maka, aku menerangkan tentang hal-hal yang
telah kuperoleh dalam majelis. Jika aku pulang dari Ad Dzahabi, ia berkata,”tunjukkan yang
telah engkau dapat dari syeikhmu”. Jika aku pulang dari Syeikh Najmuddin Al Qahfazi, ia
mengatakan,”yang kau dapat dari masjid Thingkiz”. Jika aku pulang dari Syeikh Syamsuddin
Ibnu Naqib, maka ia mengatakan,”yang kamu dapati dari Syamiyah”. Jika aku pulang dari
Syeikh Abu Abbas Al Andarsy, ia mengatakan, ”yang kau dapati dari masjid”. Jika aku pulang
dari Hafidz Al Mizzi, ia mengatakan,”yang kamu peroleh dari As Syeikh”. Ia melafadzkan kata
As Syeikh dengan fashih, dan meninggikan suaranya. Aku mengerti, bahwa itu bertujuan agar
aku juga ikut merasakan kebesaran nama Al Mizzi, hingga aku lebih banyak mendatangi
majelisnya”. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 10/399).
Hasilnya, tidak diragukan lagi. Tajuddin As Subki menjadi ulama yang cukup diperhitungkan,
khususnya di kalangan muhaditsin dan madzhab As Syafi’i. Sehingga Al Mizzi menginginkan
murid-muridnya mencatat As Subki dalam kelompok ulama thabaqat ulya (tingkatan tertinggi),
begitu juga Imam Ad Dzahabi, menginginkan hal yang sama, walau usia As Subki masih relatif
muda, Ad Dzahabi menilainya sebagai muhadits jayyid (baik). Akan tetapi orang tuanya,
Taqiyuddin memprotes, cukup thabaqat pemula. Akan tetapi para gurunya juga tidak terima.
Akhirnya As Subki dimasukkan thabaqat wustha (tingkatan pertengahan).
Secara tidak langsung, Taqiyuddin mengajari anaknya, Tajuddin, agar senantiasa rendah hati,
walau ilmunya sudah hamper setara dengan para gurunya.
Menurut ibn Mu'in, ia tsiqat. Menurut Abu Hatim, dinukil dari Yahya, ia cerdas. 'Ajli
memandang dia orang yang tsiqat. Menurut an-Nasa'i, tidak ada masalah pada diri adh-Dhafri.
Daruquthni memandang dia sangat jujur dan besar jasanya. Abdan berkata: "Tak ada seorang
pun di dunia seperti adh-Dhafri."
Menyimak berbagai pendapat di atas, nyatalah bagi kita bahwa tak seorangpun dari mereka yang
menuduh Hisyam ibn 'Ammar sebagai rafadh, ekstrim, bahkan tasyayyu'. Adapun Ibn Quthaibah,
dia memandang Ibn 'Ammar sebagai tokoh perawi Syi'ah. Jawaban saya atas pandangan ini sama
seperti yang telah saya kemukakan di atas, yaitu bahwa Ibn Quthaibah memandang seseorang
Syi'ah hanya karena ia mendukung 'Ali, tidak lebih. Sesungguhnya Hisyam tidak dapat disebut
sebagai perawi Syi'ah yang tsiqat, sebagaimana dikatakan oleh penulis Dialog Sunnah-Syi'ah. Ia
justru termasuk salah seorang ulama Sunni. Karena itu Imam Bukhari menerima dan
meriwayatkan haditsnya. Kalau seandainya Bukhari mengetahui bahwa Hisyam berlawanan
dengan Ahlus-sunah wal-Jama'ah, tentulah Bukhari tidak akan menerima haditsnya.
Sementara orang mengecam Hisyam lantaran beberapa hal, seperti menerima upah untuk
menyampaikan hadits dan menerima talqin. Sesungguhnya hal ini tidak ada kaitannya dengan
tasyayyu'.
Abu Hatim berkata: "Hisyam itu orang yang sangat jujur. Setelah ia memasuki usia lanjut,
hafalannya berubah. Segala sesuatu yang dimilikinya disampaikan kepada orang lain. Dahulunya
hadits dia sahih. Ia membacakan hadits dari kitabnya." Ibn Warah dan ulama lain menyangkal
bahwa Hisyam menarik upah untuk menyampaikan hadits.
Sungguhpun demikian, di dalam kitab Sahih Bukhari hanya ada dua hadits Hisyam. Pertama,
hadits yang berkenaan dengan jual-beli. Kedua, hadits yang berkenaan dengan biografi Abu
Bakar yang didukung oleh riwayat 'Abdullah ibn 'Ala'. Bukhari juga mentalqinkan satu hadits
mengenai haramnya ma'azif (alat-alat musik bersenar) darinya. Itulah semua yang terdapat dalam
bukunya Ibn Hajar menjelaskan bahwa Bukhari berhujjah dengan hadits-hadits tersebut.
Akan tetapi lain lagi cerita Ahmad tentang Hisyam. Ia berkata: "Ia seorang yang picik, dan
sederhana pemikirannya. Ahmad menentang perkataan Hisyam bahwa lafazh Jibril dan
Muhammad dalam al-Qur'an itu makhluk. Ahmad juga menentang khutbah Hisyam berikut ini:
"Segala puji bagi Allah yang menampak pada setiap ciptaan-Nya (makhluk)." Menurut Ahmad,
itu pemikiran Jaham, atau ia penganut paham Jahamiyah yang berpendapat bahwa Tuhan
menampakkan diri pada Gunung (zaman Nabi Musa, peny.). Menurut Hisyam, Allah
menampakkan diri-Nya kepada makhluk lewat ciptaan-Nya. Jika kalian shalat di belakang
Hisyam (bermakmum), maka hendaknya kalian mengulangi shalat kalian, demikian Imam
Ahmad.
Adz-Dzahabi berkata: "Perkataan Hisyam dapat dipertimbangkan. Akan tetapi orang tidak
dibenarkan memutlakkan perkataannya. Mengenal penolakan Ahmad terhadap Hisyam, itu tidak
menyebabkan Hisyam menjadi perawi Syi'ah yang tsiqat:
eorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk
memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan
konsekuensi dari Islam. Dan untuk melaksanakan konsekuensi-konsekuensi dari pengakuan
bahwa kita sudah berIslam, itu membutuhkan ilmu.
Menuntut Ilmu Itu Wajib
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ضة ْال ِع ْل ِم‬
ُ‫طلَب‬ َ ‫ُم ْس ِلم ُك ِل َعلَى فَ ِر ْي‬
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)
Menuntut ilmu itu wajib bagi Muslim maupun Muslimah. Ketika sudah turun perintah Allah
yang mewajibkan suatu hal, sebagai muslim yang harus kita lakukan adalah sami’na wa atha’na,
kami dengar dan kami taat. Sesuai dengan firman Allah Ta ‘ala:
‫ّللاِ ِإلَى دُعُوا ِإذَا ْال ُمؤْ ِمنِينَ قَ ْو َل َكانَ ِإنَّ َما‬ ُ ‫س ِم ْعنَا َيقُولُوا أ َ ْن َب ْينَ ُه ْم ِل َيحْ ُك َم َو َر‬
َّ ‫سو ِل ِه‬ َ َ‫ْال ُم ْف ِلحُونَ ُه ُم َوأُو َٰ َلئِكَ ۚ َوأ‬
َ ‫ط ْعنَا‬
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman apabila diajak untuk kembali kepada Allah
dan Rasul-Nya agar Rasul itu memberikan keputusan hukum di antara mereka hanyalah dengan
mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat”. Dan hanya merekalah orang-orang yang
berbahagia.” (QS. An-Nuur [24]: 51).
Sebagaimana kita meluangkan waktu kita untuk shalat. Ketika waktu sudah menunjukkan waktu
shalat pasti kita akan meluangkan waktu untuk shalat walaupun misal kita sedang bekerja dan
pekerjaan kita masih banyak. Kita akan tetap meninggalkan aktivitas kita dan segera
mengerjakan shalat. Maka begitupun sebaiknya yang harus kita lakukan dengan menuntut ilmu.
Ilmu Itu Apa?
Ilmu adalah kunci segala kebaikan. Ilmu merupakan sarana untuk menunaikan apa yang Allah
wajibkan pada kita. Tak sempurna keimanan dan tak sempurna pula amal kecuali dengan ilmu.
Dengan ilmu Allah disembah, dengannya hak Allah ditunaikan, dan dengan ilmu pula agama-
Nya disebarkan.
Jika kita ingin menyandang kehormatan luhur, kemuliaan yang tak terkikis oleh perjalanan
malam dan siang, tak lekang oleh pergantian masa dan tahun, kewibawaan tanpa kekuasaan,
kekayaan tanpa harta, kedigdayaan tanpa senjata, kebangsawanan tanpa keluarga besar, para
pendukung tanpa upah, pasukan tanpa gaji, maka kita mesti berilmu.
Namun, yang dimaksud dengan kata ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan
menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan
muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan
dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan” (Fathul Baari,
1/92).
Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah di atas, jelaslah bawa ketika hanya disebutkan kata
“ilmu” saja, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Oleh karena itu, merupakan sebuah
kesalahan sebagian orang yang membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan keutamaan
menuntut ilmu dari Al Qur’an dan As-Sunnah, tetapi yang mereka maksud adalah untuk
memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita mengingkari manfaat
belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu duniawi itu tergantung pada tujuannya.
Apabila digunakan dalam kebaikan, maka baik. Dan apabila digunakan dalam keburukan, maka
buruk. (Lihat Kitaabul ‘Ilmi, hal. 14).
Keutamaan-Keutamaan Ilmu Dan Pemilik Ilmu
Hal yang disayangkan ternyata beberapa majelis ilmu sudah tidak memiliki daya magnet yang
bisa memikat umat Islam untuk duduk di sana, bersimpuh di hadapan Allah untuk meluangkan
waktu mengkaji firman-firman Allah ‘Azza wa Jalla dan hadist nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kita lebih senang menyia-nyiakan waktu bersama teman-teman, menghabiskan waktu di
instagram, twitter, atau media sosial lain dibandingkan duduk di majelis ilmu. Ada banyak faktor
yang menyebabkan hal ini terjadi. Salah satunya adalah karena umat Islam belum mengetahui
keutamaan dan keuntungan, mempelajari ilmu agama. Kita belum mengetahui untungnya duduk
berjam-jam di majelis ilmu mengkaji ayat-ayat Allah. Kalau kita tidak mengetahuinya, kita tidak
akan duduk di majelis ilmu. Karena fitrah manusia memang bertindak sesuai asas keuntungan.
Faktanya, kalau kita tidak mengetahui keuntungan atau manfaat suatu hal maka kita tidak akan
melakukan hal itu. Begitu juga dengan ibadah. Maka dari itu, semakin kita belajar dan
mengetahui keuntungan-keuntungan salat, puasa, zakat, maka kita akan semakin semangat
menjalaninya. Ini yang seharusnya kita sadari. Oleh karena itu, kita harus mengetahui keutamaan
dan keuntungan menuntut ilmu. Terdapat banyak dalil dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya
terkait keutamaan ilmu dan pemilik ilmu. Di antaranya adalah:
Ilmu Menyebabkan Dimudahkannya Jalan Menuju Surga
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫سلَكَ َم ْن‬ ُ ‫ ِع ْلما فِ ْي ِه يَ ْلت َِم‬، ‫س َّه َل‬
َ ‫س‬
َ ‫ط ِريْقا‬ َ ‫ا ْل َجنَّ ِة إِلَى‬
َ ُ‫ط ِريْقا بِ ِه لَهُ للا‬
“Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
Ilmu Adalah Warisan Para Nabi
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh hadits,
‫اء َو َرثَةُ اَ ْلعُلَ َما ُء‬
ِ ‫د ِْرهَاما َو َل ِد ْينَارا ي َُو ِرث ُ ْوا لَ ْم ْاْل َ ْن ِب َيا َء َو ِإ َّن ْاْل َ ْن ِب َي‬، ‫ال ِع ْل َم َو َّرث ُ ْوا َو َل ِك ْن‬،
ْ ‫َوا ِفر ِب َحظ أ َ َخذَ أ َ َخذَهُ فَ َم ْن‬
“Para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun
dirham, tetapi mewariskan ilmu. Maka dari itu, barang siapa mengambilnya, ia telah mengambil
bagian yang cukup.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah; dinyatakan shahih oleh
asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6297).
Ilmu Akan Kekal Dan Akan Bermanfaat Bagi Pemiliknya Walaupun Dia Telah Meninggal
Disebutkan dalam hadits,
‫سانُ َماتَ إِذَا‬
َ ‫اْل ْن‬ َ َ‫ث َ َلث ِم ْن إِ َّل َع َملُهُ ا ْنق‬: ‫صدَقَة‬
ِ ْ ‫ط َع‬ ِ ‫ َج‬، ‫بِ ِه يُ ْنتَفَ ُع ِع ْلم أ َ ْو‬، ‫صا ِلح َولَد أ َ ْو‬
َ ‫اريَة‬ َ ‫لَه ُ يَدْعُو‬
“Jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang berdoa untuknya” (HR. Muslim).
Allah Tidak Memerintahkan Nabi-Nya Meminta Tambahan Apa Pun Selain Ilmu
Allah berfirman:
ِ ‫ِع ْلما ِزدْنِي َر‬
‫ب َوقُ ْل‬
“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu“. (QS. Thaaha [20] : 114). Ini
dalil tegas diwajibkannya menuntut ilmu.
Orang Yang Dipahamkan Agama Adalah Orang Yang Dikehendaki Kebaikan
Yang dimaksud faqih dalam hadits bukanlah hanya mengetahui hukum syar’i, tetapi lebih dari
itu. Dikatakan faqih jika seseorang memahami tauhid dan pokok Islam, serta yang berkaitan
dengan syari’at Allah. Demikian dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
dalam Kitabul ‘Ilmi (hal. 21).
Yang Paling Takut Pada Allah Adalah Orang Yang Berilmu
Hal ini bisa direnungkan dalam ayat,
َّ ‫ْالعُلَ َما ُء ِع َبا ِد ِه ِم ْن‬
‫ّللاَ َي ْخشَى ِإنَّ َما‬
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS.
Fathir: 28).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut
yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal
Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan
nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih
memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:
308).
Para ulama berkata,
‫اخوف لل كان اعرف بالل كان من‬
“Siapa yang paling mengenal Allah, dialah yang paling takut pada Allah”.
Orang Yang Berilmu Akan Allah Angkat Derajatnya
Allah Ta’ala berfirman:
َّ َ‫دَ َر َجات ْال ِع ْل َم أُوتُوا َوا َّلذِينَ ِم ْن ُك ْم آ َمنُوا الَّذِين‬..
…ِ‫ّللاُ َي ْرفَع‬
“…Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).
Allah Subhanahu wa Ta ‘ala berfirman,
‫ب فِي ُكنَّا َما نَ ْع ِق ُل أَ ْو نَ ْس َم ُع ُكنَّا لَ ْو َوقَالُوا‬ ْ َ ‫ير أ‬
ِ ‫ص َحا‬ ِ ‫س ِع‬
َّ ‫ال‬
“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya
tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (QS. Al-Mulk : 10).
Allah telah memberikan banyak kenikmatan, jika tidak kita gunakan untuk mempelajari firman-
firmannya maka kita akan menjadi salah satu orang yang menyatakan dan Allah abadikan dalam
surat Al-Mulk ayat 10 di atas. Semoga Allah memberikah taufiq dan hidayah-Nya kepada kita
untuk bisa menuntut ilmu dan mengamalkannya sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Aamiin.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10472-keutamaan-menuntut-ilmu-agama.html

Dalam kehidupan manusia ilmu adalah salah satu hal yang sangat penting dan hal tersebut bukan
lagi merupakan suatu rahasia. Sedemikian pentingnya ilmu bagi manusia khususnya umat
muslim, seseorang akan tidak senang jika ia disebut tidak memiliki ilmu atau bodoh. Ilmu dapat
membuat seseorang menjadi mulia dan dihormati. Sebagaimana yang dikatakan Ali bin Abi
Thalib bahwa seseorang yang memiliki cukup ilmu akan merasa dimuliakan dan sementara
mereka yang tidak memeiliki ilmu dan tidak mengetahui apapun akan merasa tercela dan hal
tersebut akan membuat seseorang merasa bodoh. Dengan kata lain, ilmu akan membuat
seseorang mulia ditengah pergaulan dalam islam pada khususnya.
Dalam bahasa Arab kata Ilmu itu sendiri berarti mengetahu dan merupakan lawan kata jahlu
yang artinya tidak tahu atau bodoh. Sedangkan menurut Istilah Ilmu atau yang lebih utama di sini
adalah Ilmu syar’i adalah ilmu tentang penjelasan-penjelasan dan petunjuk yang Alloh
Subhaanahu Wa Ta’ala turunkan kepada rasul Nya atau dengan kata lain Ilmu yang menyangkut
Alqur`an dan hadits.
Meskipun demikian tidak berarti bahwa ilmu yang lain tidaklah penting atau dianggap dalam
islam. Ilmu-ilmu yang ada dalam kehidupan manusia juga dapat dikatakan bermanfaat apabila
ilmu tersebut menuntun manusia untuk lebih taat dan beriman kepada Allah SWT (baca fungsi
iman kepada Allah SWT). Ilmu akan membuat seseorang mengetahui berbagai macam perkara
dan menjauhkannya dari kebodohan sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah berikut
ini
“Katakan: “Apakah sama orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui?” (Az Zumar :
9)
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Alloh dan
mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan.
Dan Alloh mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. (QS: Muhammad: 19)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya. (QS: Al Isra’ : 36)
4.Perintah Menuliskan ilmu
Pentingnya menuntut ilmu juga disuratkan dalam QS Al-Qalam ayat 1 dan 2 dimana Allah SWT
bersumpah demi pena. Ayat tersebut menganjurkan pada manusia bahwa saat mencari dan
menuntut ilmu, orang-orang beriman sebaiknya menuliskan ilmu tersebut dengan menggunakan
pena saat bermuamalah agar ilmu tersebut tidaklah hilang dan dapat diteruskan bagi generasi
selanjutnya untuk dipelajari dikemudian hari.
Demikian hukum menuntut ilmu dan pentingnya menuntut ilmu yang perlu kita ketahui sebagai
umat islam. Semoga bermanfaat..
Tujuan menuntut ilmu untuk diamalkan
Surat At-Taubah Ayat 122 ۞ ‫طائِ َفة ِم ْن ُه ْم فِ ْر َقة ُك ِل ِم ْن نَ َف َر َف َل ْو َل ۚ كَا َّفة ِليَ ْن ِف ُروا ْال ُمؤْ ِمنُونَ َكانَ َو َما‬
َ ‫ِين فِي ِليَت َ َف َّق ُهوا‬
ِ ‫الد‬
‫ َيحْ ذَ ُرونَ لَ َع َّل ُه ْم ِإلَ ْي ِه ْم َر َجعُوا ِإذَا قَ ْو َم ُه ْم َو ِليُ ْنذ ُِروا‬Arab-Latin: Wa mā kānal-mu`minụna liyanfirụ kāffah,
falau lā nafara ming kulli firqatim min-hum ṭā`ifatul liyatafaqqahụ fid-dīni wa liyunżirụ
qaumahum iżā raja'ū ilaihim la'allahum yaḥżarụn Terjemah Arti: Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya.

Referensi: https://tafsirweb.com/3138-surat-at-taubah-ayat-122.html

Di antara manusia ada orang-orang yang Allah inginkan kebaikan padanya. Kita berharap
mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diinginkan oleh Allah untuk mendapatkan
kebaikan tersebut. Tentunya kita tidak ingin kita termasuk orang yang Allah kehendaki
keburukan ada pada diri kita. Lalu siapakah orang-orang yang Allah inginkan kebaikan bagi
mereka? Berikut ciri-cirinya:
1. Dijadikan ia senantiasa beramal sholih sebelum kematian menjelang
Disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan lainnya[1], bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ قيل استعمله خيرا بعبد للا أراد إذا‬: ‫ قال ؟ يستعمله ما‬: ‫حوله من عليه يرضي حتى موته يدي بين صالحا عمل له يفتح‬
“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah jadikan ia beramal.” Lalu
para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dijadikan dia beramal?” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dibukakan untuknya amalan shalih sebelum
meninggalnya sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya ridha kepadanya.”
2. Dipercepat sanksinya di dunia
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫القيامة يوم به يوافي حتى بذنبه عنه أمسك الشر بعبده أراد إذا و الدنيا في العقوبة له عجل الخير بعبده للا أراد إذا‬
“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya, Allah akan segerakan sanksi
untuknya di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan kepada hamba-Nya, Allah akan
menahan adzab baginya akibat dosanya (di dunia), sampai Allah membalasnya (dengan
sempurna) pada hari Kiamat.” (HR. At-Tirmidzi dan Al Hakim dari Anas bin Malik)[2]
Namun kita tidak diperkenankan untuk meminta kepada Allah agar dipercepat sanksi kita di
dunia, karena kita belum tentu mampu menghadapinya.
3. Diberikan cobaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫منه يصب خيرا به للا يرد من‬
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan, Allah akan memberinya musibah.” (HR. Al-
Bukhari).
Cobaan pasti akan menerpa kehidupan mukmin, karena itu merupakan janji Allah. Allah
berfirman,
‫ش ْيء َولَنَ ْبلُ َونَّ ُك ْم‬ ِ ‫ت َواْلَنفُ ِس اْل َ َم َوا ِل ِمنَ َو َن ْقص َو ْال ُجوعِ ْالخ َْو‬
َ ‫ف ِمنَ ِب‬ ِ ‫َوالث َّ َم َرا‬
“Sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar” (QS. Al
Baqarah: 155).
Bersabarlah ketika kita mendapatkan cobaan, karena cobaan itu untuk menggugurkan dosa atau
mengangkat derajat.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫س ِد ِه فِي ْال ُمؤْ ِمنَ ِة أَ ْو بِ ْال ُمؤْ ِم ِن ْالبَ َل ُء يَزَ ا ُل َل‬
َ ‫ّللاَ يَ ْلقَى َحتَّى َولَ ِد ِه َوفِي َما ِل ِه َوفِي َج‬
َّ ‫َطيئ َة ِم ْن َعلَ ْي ِه َو َما‬
ِ ‫خ‬
“Senantiasa ujian itu menerpa mukmin atau mukminah pada jasadnya, harta dan anaknya sampai
ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi,
dishahihkan oleh Al-Albani).
4. Dijadikan faham terhadap agama Islam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫الدين في يفقهه خيرا به للا يرد من‬
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah
agama (ini).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kefaqihan adalah pemahaman yang Allah berikan kepada seorang hamba. Pemahaman yang
lurus tentang Al-Qur’an dan hadits didasari dengan kebeningan hati dan aqidah yang shahih.
Karena hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak akan dapat memahami Al-Qur’an dan hadits
dengan benar.
5. Diberikan kesabaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫الصبر من أوسع و خيرا عطاء أحد أعطي ما و‬
“Tidaklah seseorang diberikan sesuatu yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (HR Al-
Bukhari dan Muslim).
Kesabaran dalam keimanan bagaikan kepala untuk badan. Badan tak akan hidup tanpa kepala,
demikian pula iman tak akan hidup tanpa kesabaran. Untuk menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya amat dibutuhkan kesabaran. Karena iblis dan balatentaranya tak pernah
diam dari menyesatkan manusia dari jalan Allah. Allah berfirman,
‫صبَ ُروا الَّذِينَ إِ َّل يُلَقَّاهَا َو َما‬
َ ‫َع ِظيم َحظ ذُو إِ َّل يُ َلقَّاهَا َو َما‬
“Tidaklah diberikan (sifat-sifat yang terpuji ini) kecuali orang-orang yang sabar, dan tidaklah
diberikannya kecuali orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushshilat: 35).
Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang Engkau inginkan kebaikan, beri kami kesabaran
untuk menjalankan perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu, beri kami kesabaran dalam
menghadapi musibah yang menerpa, beri kami kefaqihan dalam agama dan bukakan untuk kami
pintu amal shalih sebelum wafat kami.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/8895-orang-yang-diinginkan-kebaikan-oleh-allah-


2.html
Penggambaran kontemporer proses ini telah bertahan. Khususnya, ia merupakan orang pertama
yang diketahui telah mendokumentasikan sirkuit paru-paru. Ia adalah orang yang pertama
mengemukakan teori pembuluh darah kapiler. Secara besar-besaran karyanya tak tercatat sampai
ditemukan di Berlin pada 1924.
Nama lengkapnya adalah Ala al-Din Abu al-Hassan Ali bin Abi-Hazm al-Qarshi al-Dimashqi,
dan dia biasa disebut sebagai Ibn al-Nafis. Ia lahir di Damaskus pada tahun 1213. Dia menghafal
Quran, belajar membaca dan menulis, dan mempelajari yurisprudensi, Hadits, dan bahasa Arab.
Kemudian, dia mengarahkan upayanya untuk mempelajari pengobatan dan gurunya adalah
Muhaththab Ad-Deen `Abdur-Raheem` Ali yang dikenal sebagai Ad-Dikhwaar. Pada usia 23,
dia pindah ke Kairo tempat dia pertama kali bekerja di Rumah Sakit Al-Nassri dan kemudian
berada di Rumah Sakit Al-Mansouri, tempat dia menjadi kepala dokter.
Ketika berusia 29 tahun, dia mempublikasikan karyanya yang paling penting, The Commentary
on Anatomy di Canon Avicenna, yang mencakup pandangannya pada sirkulasi paru dan jantung.
Dia juga menulis sebuah buku berjudul, The Comprehensive Book of Medicine. Buku ini
merupakan ensiklopedia medis terbesar yang harus dicoba pada saat itu dan masih
dikonsultasikan oleh para ilmuwan.
Ibn al-Nafis adalah seorang Muslim Sunni ortodoks dan menulis secara ekstensif di bidang di
luar bidang kedokteran, termasuk hukum, teologi, filsafat, sosiologi, dan astronomi. Dia juga
menulis salah satu novel Arab pertama yang diterjemahkan sebagai Theologus Autodidactus.
Dia adalah ilmuwan yang sangat terpelajar dan multi talenta, dan pelopor dalam bidang
kedokteran. Melalui penelitian dan penemuannya, dia berhasil melampaui ilmuwan kontemporer.
Dia, sendiri, berhasil menulis ensiklopedia medis terbesar dalam sejarah.
Ibn An-Nafees bekerja di rumah sakit sebagai dokter, dan kemudian sebagai guru pengobatan.
Karena sifatnya yang rajin dan unggul dalam bidang kedokteran, ia menjadi kepala Rumah Sakit
dan manajer sekolah kedokterannya.
Beberapa tahun kemudian, dia pindah untuk bekerja sebagai kepala Rumah Sakit Mansoori yang
didirikan oleh Sultan Al-Mansoor Ibn Qalawoon pada tahun 680. Ibn An-Nafees menduduki
beberapa posisi sampai dia menjadi tabib Sultan Ath-Thaahir Beibers. Ibnu An-Nafees terkenal
di seluruh penjuru negeri.
Dia menjalani kehidupan makmur di Kairo. Dia membangun sebuah rumah yang luas dan
mengalokasikan sebagiannya untuk menjadi perpustakaan yang penuh dengan buku referensi di
semua bidang pengetahuan.
Di tempat ini, Ibn An-Nafees biasa bertemu dengan ilmuwan, pangeran, orang berprestasi, dan
pelajar yang paling terkenal untuk mempelajari isu-isu yang berkaitan dengan kedokteran,
yurisprudensi, dan bahasa.
400 tahun sebelum William Harvey, 600 tahun sebelum ibnu nafis, al-quran sudah tertera
Belajar yang utama, belajar akhirat, namun bersamaan lebih baik, agar lebih paham dan bisa
menjelaskan islam lebih baik
Kalau kita ingin masuk surga dengan cara paling cepat, cobalah menuntut ilmu agama.

Kembali pada hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ط ِريقًا ِإلَى ْال َج َّن ِة‬
َ ‫َللاُ لَهُ ِب ِه‬ َ ‫س فِي ِه ِع ْل ًما‬
َّ ‫س َّه َل‬ ُ ‫ط ِريقًا َي ْلت َِم‬
َ َ‫سلَك‬
َ ‫َو َم ْن‬
Ingin tahu selengkapnya.
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/12363-menuntut-ilmu-jalan-paling-cepat-menuju-surga.html

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan
menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
Makna Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga, ada empat makna sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali:
Pertama: Dengan menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memudahkannya masuk surga.
Kedua: Menuntut ilmu adalah sebab seseorang mendapatkan hidayah. Hidayah inilah yang
mengantarkan seseorang pada surga.
Ketiga: Menuntut suatu ilmu akan mengantarkan pada ilmu lainnya yang dengan ilmu tersebut
akan mengantarkan pada surga.
Sebagaimana kata sebagian ulama kala suatu ilmu diamalkan,
‫َم ْن َع ِم َل بِ َما َع ِل َم أ َ ْو َرثَهُ هللاُ ِع ْل َم َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬
“Siapa yang mengamalkan suatu ilmu yang telah ia ilmui, maka Allah akan mewarisinya ilmu
yang tidak ia ketahui.”
Sebagaimana kata ulama lainnya,
‫سنَةُ بَ ْعدَهَا‬ َ ‫ثَ َوابُ ال َح‬
َ ‫سنَ ِة ال َح‬
“Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.”
Begitu juga dalam ayat disebutkan,
‫َللاُ الَّذِينَ ا ْهتَدَ ْوا ُهدًى‬
َّ ُ ‫َويَ ِزيد‬
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (QS.
Maryam: 76)
Juga pada firman Allah,
‫َوالَّذِينَ ا ْهتَدَ ْوا زَ ادَهُ ْم ُهدًى َوآَتَا ُه ْم تَ ْق َوا ُه ْم‬
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan
memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad: 17)
Keempat: Dengan ilmu, Allah akan memudahkan jalan yang nyata menuju surga yaitu saat
melewati shirath (sesuatu yang terbentang di atas neraka menuju surga.
Sampai-sampai Ibnu Rajab simpulkan, menuntut ilmu adalah jalan paling ringkas menuju surga.
(Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 297-298)
Semoga dengan ilmu agama, kita dimudahkan untuk masuk surga.

Ingin tahu selengkapnya.


Yuk KLIK: https://rumaysho.com/12363-menuntut-ilmu-jalan-paling-cepat-menuju-surga.html
 Hukum menuntut ilmu dalam islam:
Fardlu ‘ain
Menuntut ilmu hukumnya menjadi fardlu ‘ain atau wajib dilakukan oleh setiap muslim, terutama
jika hal tersebut diperlukan agar umat muslim dapat menjalankan ibadah kepada Allah SWT.
Misalnya ilmu tentang ibadah yang menyangkut cara menunanaikan shalat
wajib(baca keutamaan shalat dhuha), puasa ramadhan (baca puasa sunnah dan keutamaan puasa
daud), zakat (baca syarat penerima zakat dan penerima zakat dalam islam) haji dan lainnya.
Ilmu tersebut menjadi wajib diketahui karena tanpa adanya pengetahuan dan ilmu tentang
ibadah-ibadah tersebut, tidaklah sah ibadah seseorang (baca hal-hal yang menghapus amal
ibadah dan hal yang penyebab amal ibadah ditolak). Dengan demikian menuntut ilmu wajib
dilakukan, adapun para orang tua sebaiknya menanamkan ilmu agama pada anaknya sejak usia
dini dan mengerti pentingnya pendidikan anak dalam islam (baca cara mendidik anak dalam
islam dan cara mendidik yang baik menurut islam)
2. Fardlu kifayah
Pada mulanya hukum menuntut ilmu adalah fardlu kifayah. Namun jika sudah ada sebagian
orang yang mengerjakan atau menuntut ilmu tersebut maka bagi yang lain hukumnya sunnah.
Hal-hal lain dalam agama islam dan kewajiban menuntut ilmu yang tidak termasuk dalam hukum
menuntut ilmu yang bersifat fardlu ‘ain di atas hukumnya adalah fardlu kifayah.
Misalnya dalam menuntut ilmu-ilmu lain diluar ilmu yang menjadi dasar ibadah wajib.
Meskipun demikian, jika seseorang menyadari bahwa ia menuntut ilmu yang merupakan fardhu
kiyayah, ia tetap mendapatkan pahala dan tentunya mendapatkan ilmu tentang hal yang
dipelajarinya misalnya saat mempelajari ilmu Alqur’an (baca manfaat membaca Alqur’an).
Pentingnya Menuntut Ilmu
Hukum menuntut ilmu adalah wajib bagi umat islam dan adapun beberapa hal yang menjadi
landasan pentingnya menuntut ilmu adalah sebagai berikut :
Perintah Membaca dari Allah SWT
Pentingnya menuntut ilmu adalah seperti yang difirmankan oleh Allah SWT saat menurunkan
ayat Alqur’an yang pertama dan di awali dengan kata “bacalah”. Ayat tersebut menjelaskan
bahwa membaca, dan menuntut ilmu sangat penting bagi umat islam baik bagi pria maupun
wanita.

Karena Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam pinta bukan hanya ilmu saja, tapi juga sekaligus ilmu
yang bermanfaat. Dan salah satu cara mendapatkan keberkahan ilmu adalah usaha yang
sungguh-sungguh, karena semakin kita jungkir balik mendapatkan sesuatu, sesuatu itu semakin
bernilai di hati kita.
Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam bersabda:

‫ّللاِ ِس ْلعَةَ إِ َّن أَ َل‬


َّ ‫غَا ِليَة‬، ‫ّللاِ ِس ْلعَةَ إِ َّن أَ َل‬
َّ ُ ‫ال َجنَّة‬

"Ketahuilah bahwa apa yang Allah tawarkan sangat mahal, dan yang Allah tawarkan untuk
kalian adalah surga" (HR. Tirmidzi)

Karena mereka ingin masuk surga. Karena mereka mengetahui makna hadits Nabi
Shallallahu‘alaihi wa Sallam:

‫سلَكَ َو َم ْن‬ ُ ‫س َّه َل ِع ْلما فِي ِه يَ ْلت َِم‬


َ ‫س‬
َ ‫ط ِريقا‬ َ ‫ْال َجنَّ ِة ِإلَى‬
َّ ُ‫ط ِريقا ِب ِه لَه‬
َ ُ‫ّللا‬

"Barangsiapa yang menuntut ilmu agama, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju
surga." (HR. Muslim)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
‫ ولقد كنت أطلب القرطاس في‬،‫ما أفلح فى العلم إال من طلبه فى القلة‬
“tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu, kecuali orang yang menuntutnya dalam
keadaan serba kekurangan aku dahulu mencari sehelai kertaspun sangat sulit. Tidak mungkin
seseorang menuntut ilmu dengan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi kemudian ia
beruntung.”[5]
Ibrahim bin Ya’qub berkata,
‫كان أَحْ َمد بن حنبل يصلي بعبد الرزاق فسها يوما فِي صالته فسأله عبد الرزاق فأخبره أنه لم يطعم شيئًا منذ ثالث‬
“Imam Ahmad bin Hambal shalat bersama Abdurrazzaq. Suatu hari ia lupa dalam
shalatnya. Maka Abdurrazzaq bertanya mengapa ia bisa lupa. Dia (Imam Ahmad) memberitahu
bahwa ia belum makan apa-apa sejak tiga hari yang lalu.”[8]

Yang cukup terkenal adalah kisah ulama menuntut ilmu sampai-sampai harus menjual atap
rumah mereka.

Ibnu Al-Qasim berkata,


‫ ثم مالت عليه الدنيا‬،‫ أفضى بمالك طلب العلم إلى أن نقض سقف بيته فباع خشبه‬:‫قال ابن القاسم‬
“Mencari ilmu juga menyebabkan Imam Malik membongkar atap rumahnya dan menjual
kayunya. Kemudian setelah itu dunia berdatangan kepadanya.”[2]
Dan sebuah kisah nyata terkenal di mana Ibu dari Rabi’ah Ar-ra’yi guru Imam
Malik menghabiskan 30.000 dinar untuk pendidikan anaknya, tatkala suaminya pulang dan
menagih harta yang di titip terjadi perbincangan,
‫ فإني قد أنفقت المال كله‬:‫ قالت‬،‫ ال َوهللا إِال هذا‬:َ‫ قَال‬،‫ أ َ ْو هذا الَّذِي هو فيه من الجاه‬،‫ أيما أحب إليك ثالثون ألف دينار‬:‫فقالت أمه‬
‫ فوهللا ما ضيعته‬:َ‫ قَال‬،‫َعلَ ْي ِه‬
“Ibu Rabi’ah berkata kepada suaminya, “mana yang engkau sukai antara 30.000 dinar atau
kedudukan yang dia (anakmu) peroleh?”, suaminya berkata, “demi Allah aku lebih suka yang ini
(kedudukan ilmu anaknya), Ibu rabi’ah berkata, “Saya telah menghabiskan seluruh harta tersebut
untuk mendapatkan seperti sekarang ini”, suaminya berkata, “Demi Allah, engkau tidak menyia-
nyiakannya.”[5]

Bangkrut (tidak punya harta lagi) karena menuntut ilmu


Para ulama mencurahkan segalanya begitu juga harta mereka, sampai-sampai ada ungkapan
dari beberapa orang ulama salah satunya yaitu Syu’bah, beliau berkata,
‫س‬ َ ‫ب ْال َحد‬
َ ‫ِيث أَ ْف َل‬ َ َ‫طل‬
َ ‫َم ْن‬
“Barangsiapa yang menuntut ilmu hadist/belajar agama maka akan bangkrut”[6]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,


‫طلَبُ ْال ِع ْل ِم إِ َال ِل ُم ْف ِلس‬
َ ‫صلُ ُح‬
ْ َ‫َال ي‬
“Tidak layak bagi orang yang menuntut ilmu kecuali orang yang siap miskin/bangkrut”[7]

Imam Abu Al Waqt As Sijzi (553 H), yang disebut Imam Ad Dzahabi sebagai Syeikh Al Islam,
yang juga merupakan guru Ibnu Al jauzi, sudah melakukan perjalanan mencari ilmu sejak umur
7 tahun. Ia memiliki kisah yang amat dahsyat, tatkala melakukan perjalanan mencari ilmu
bersama ayahnya.
Suatu saat ia bertutur kepada salah satu muridnya Yusuf bin Ahmad As Syairazi:”Wahai anakku,
aku telah melakukan perjalanan untuk menyimak As Shahih dengan berjalan bersama ayahku,
dari Harat menuju Dawudi. Umurku belum ada 10 tahun. Saat melakukan perjalanan, ayahku
memberiku dua batu, jika aku terlihat lelah, maka ia menyuruhku untuk melempar satu batu, lalu
aku melanjutkan perjalanan. Kadang ia bertanya,”engkau sudah lelah?”, maka aku
menjawab,”belum”. “Kenapa jalanmu lamban?”. Maka aku cepatkan langkahku, hingga aku
tidak mempu lagi, lalu ia menggendongku”.
Suatu saat mereka berpapasan dengan rombongan petani. Dan mereka menyeru kepada ayah As
Sijzi, wahai Syeikh Isa, biarkan anak ini naik kendaraan bersama kami, kita bersama-sama
menuju Bushanj. Maka ayahnya mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah, dari naik
kendaraan ketika mencari hadits, akan tetapi kami memilih jalan”.
Ketika bertemu dengan Abdul Baqi Al Harawi, ia menawariku manisan, aku menjawab,”Wahai
tuan, saya lebih mencintai satu juz dari Abu Jahm lebih baik daripada makan manisan”. Ia
tersenyum dan mengatakan,”jika yang masuk makanan, yang keluar adalah omongan”.
Lihat, bagaimana ayah As Sijzi dalam mendidik anaknya, hingga anak yang masih kecil itu
sudah memiliki kecintaan yang tinggi terhadap hadits. Dan bagaimana ayah As Sijzi, mengajari
anaknya menjaga azzam, guna melawan rasa capek selam melakukan perjalanan. dengan
menggunakan sarana batu.
Kebutuhan pada ilmu lebih besar dibandingkan kebutuhan pada makanan dan minuman, sebab
kelestarian urusan agama dan dunia bergantung pada ilmu. Imam Ahmad mengatakan, “Manusia
lebih memerlukan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanya
dibutuhkan dua atau tiga kali sehari, sedangkan ilmu diperlukan di setiap waktu.”
Dari Mu’awiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ّللاُ ي ُِر ِد َم ْن‬
َّ ‫ين فِى يُفَ ِق ْههُ َخيْرا بِ ِه‬
ِ ‫ال ِد‬
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan
memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim No. 1037).
Ayat-ayat yang disebutkan diatas menunjukkan tentang kewajiban menuntut ilmu. Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap mukmin”
Hukum Menuntut Ilmu
2. Orang berilmu memiliki kedudukan yang mulia
Orang berilmu atau ulama memiliki kedudukan mulia di sisi Allah SWT sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW :
“Saya mendengar Rasulullah _ berkata: “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut
ilmu, Allah akan menyiapkan jalan baginya menuju surga. Sesungguhnya para malaikat
meletakkan sayap-sayapnya karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang
berilmu itu dimintakan ampunan oleh apa saja yang ada di langit dan yang ada di bumi hingga
ikan-ikan di laut yang terdalam. Kelebihan orang berilmu atas orang beribadah adalah seperti
kelebihan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi.
Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar juga tidak dirham namun mereka mewariskan
ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh ia mendapatkan keberuntungan yang
besar.”
3. Menuntut ilmu sama seperti berjihad
Islam juga menekankan betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia diantaranya
seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Taubah ayat 122, Allah swt. berfirman:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa meskipun kewajiban jihad penting dalam islam, orang yang
berjihad tetaplah harus menuntut ilmu atau jika sebuah golongan akan berperang hendaknya
mereka menyisakan beberapa orang untuk tetap tinggal dan tidak ikut berjihad melainkan untuk
menuntut ilmu dan meneruskannya pada generasi berikutnya. Orang yang memiliki ilmu atau
ahli ilmu lebih tinggi derajatnya dengan orang yang ahli ibadah karena saat mencari ilmu
seseorang juga dianggap sedang melaksanakan jihad.
Hadits nabi= bertanya adalah pintu pembuka pemahaman

Fiqh, tafaqahu, ta menunjukkan usaha sungguh2


Tasydid, menunjukkan motivasi yang kuat, penuh dengan semangat yang berlipat=jangan
pesimis dan putus asa

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:


ُ‫ْف ْال ُمؤْ ِم ِن ِمنَ للاِ ِإلَى َوأَ َحب َخيْر ْالقَ ِوي ا َ ْل ُمؤْ ِمن‬ ْ ‫ت َ ْع َج ْز َولَ ِباللِ َوا ْست َ ِع ْن يَ ْنفَعُكَ َما َعلَى اِحْ ِر‬
َّ ‫ َخيْر ُكل َوفِي ال‬, ‫ص‬
ِ ‫ض ِعي‬
Artinya: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah, dan
masing-masing memiliki kebaikan. Bersungguh-sungguhlah dalam (mengerjakan) hal-hal yang
bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan dari Allah dan janganlah bersikap lemah.” (Hr.
Muslim)
Belajar agama lebih utama, baru dunia= yang terpenting ilmu yang kita pelajari mendekatkan
kita kepada Allah (iman dan amal), bersamaan

Anda mungkin juga menyukai