Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan manusia terdiri dari serangkaian proses

perubahan yang cukup panjang sejak pembuahan ovum oleh sperma dan

berlanjut sampai berakhirnya kehidupan. Secara garis besar perkembangan

manusia terdiri dari beberapa tahap yaitu kehidupan sebelum lahir, saat bayi,

masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Seiring bertambahnya

usia seseorang maka terjadi perubahan keadaan fisik, selain itu lansia juga

mulai mengalami kehilangan tujuan hidup, resiko terkena penyakit, terisolasi

dari lingkungan dan kesepian (Irawan, 2013). Masa lansia adalah masa

penyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali

kehidupan dan penyesuaian diri dengan peran-peran sosial. Sejak awal

kehidupan sampai lanjut usia setiap orang memiliki kebutuhan psikologis

dasar. Kebutuhan tersebut diantaranya seorang lansia membutuhkan rasa

nyaman bagi dirinya sendiri, serta rasa nyaman terhadap lingkungan yang ada

(Meta Amelia et al., 2020).

Lansia yang terisolasi dari lingkungan dan kesepian yang hidupnya

menyendiri, tinggal di rumah yang berantakan, seringnya juga terabaikan

merupakan hal yang umum dihadapi oleh perawat atau tenaga medis dan juga

masyarakat. Seorang lansia yang mengalami ciri-ciri di atas kebanyakan

lansia yang tidak menikah, janda atau duda dan tinggal seorang diri. Lansia

yang hidupnya terisolasi biasanya bersikeras menolak bantuan dari orang


sekitarnya. Hal tersebut bisa disebabkan oleh proses dalam penuaan

fisiologis. Dari sekumpulan gejala tersebut dapat menimbulkan yang

namanya Sindrom Diogenes (Waserman et al., 2014).

Lanjut usia dapat mengalami perubahan fisik, mental dan emosional

seiring dengan bertambahnya usia mereka (Marini & Hayati, 2010). Lansia

mengalami emosional yang beragam, misalnya lansia mempunyai emosi

negatif dan emosi yang positif. Pengalaman tersebut bisa dari pengaaman

diskriminasi yang dapat menimbulkan dampak yang negatif yang secara tidak

langsung mempengaruhi masalah psikologis dan menimbulkan respon

emosional yang negatif (Kim, Noh, & Chun, 2016). Reaksi emosional yang

yang negatif bisa menimbulkan suatu pemberontakan karena perasaan marah

yang berlebihan. Reaksi emosional yang berasal dari emosi yang negatif

tersebut dapat menyebabkan perubahan fisiologis pada seseorang (Tine

Donsu, 2017). Adanya perubahan fisiologis pada seseorang tersebut dapat

menyebabkan seseorang mengalami Sindrom Diogenes (Fontenelle & Ph,

2008).

Jumlah lansia di dunia menurut WHO pada tahun 2017 adalah 962 juta

jiwa (Nations, 2017). Jumlah lansia di Indonesia yaitu sebanyak 9,03% dari

seluruh penduduk Indonesia. Angka kesakitan pada lansia di Indonesia pada

tahun 2015 sebesar 28,62%, artinya bahwa setiap 100 orang lansia terdapat

28 orang diantaranya mengalami sakit (RI, 2017). Di daerah provinsi Bali

jumlah lansia sekitar 10,05% dari keseluruhan jumlah penduduk (Abikusno

& Turana, 2013). Prevalensi depresi pada lansia tahun 2020 di negara

berkembang sebanyak 15,9% dan akan menggantikan penyakit-penyakit


infeksi untuk urutan teratas. Depresi tersebut merupakan salah satu penyebab

dari timbulnya Sindrom Diogenes pada lansia (Masyarakat, Marchira, &

Wirasto, 2007). Angka kejadian Sindrom Diogenes sekitar 5 per 10.000

dalam setahun, dimana terjadi pada seseorang yang berusia di atas 60 tahun

(Zuliani, Soavi, & Dainese, 2013).

Di bawah ini jumlah data lansia di Kabupaten Jembrana pada tahun 2018.

Tabel 1.1 Jumlah data lansia ≥ 60 tahun di seluruh Kabupaten Jembrana


berdasarkan wilayah kerja puskesmas yang ada di Kabupaten
Jembrana.

No Puskesmas Lansia ≥ 60 Persentase


Tahun
1 I Pekutatan 451 7%

2 II Pekutatan 208 3%

3 I Mendoyo 1067 16%

4 II Mendoyo 306 4%

5 I Jembrana 890 13%

6 II Jembrana 359 5%

7 I Negara 482 7%

8 II Negara 431 6%

9 I Melaya 1932 30%

10 II Melaya 303 4%

Melihat data jumlah lansia dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jembrana

dan peneliti melakukan studi pendahuluan langsung maka peneliti

menemukan masalah Sindrom Diogenes pada desa di Wilayah Kerja


Puskesmas I Negara dengan jumlah data lansia yang berusia ≥ 60 tahun di

bawah ini yang berada di wilayah kerja Puskesmas I Negara.

Tabel 1.2. Data jumlah lansia ≥ 60 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas I


Negara.

NO Alamat Jumlah Lansia Persentase


≥ 60 Tahun
1 Baler Bale Agung 1180 22%

2 Banjar Tengah 279 5%

3 Baluk 921 17%

4 Kaliakah 881 17%

5 Berangbang 811 15%

6 Banyubiru 1068 20%

Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada hari Selasa tanggal

12- hari Jumat tanggal 15 Maret 2019 menemukan masalah Sindrom

Diogenes dengan menggunakan cek list yang terdiri dari ciri-ciri Sindrom

Diogenes di Desa Banyubiru, dimana didapatkan jumlah lansia yang

mengalami Sindrom Diogenes sebanyak 49 orang.

Lansia yang mengalami kehilangan pasangannya karena kematian sangat

mempengaruhi psikologis dari lansia tersebut. Seseorang yang kehilangan

pasangannya akan mulai tidak memperhatikan dirinya sendiri bahkan

seseorang tersebut tidak bersosialisasi dengan orang sekitar bahkan bantuan

dari orang terdekat akan ditolak olehnya. Kesehatan pada orang tersebut tidak

akan baik karena ia tidak akan berobat ke pelayanan kesehatan. Reaksi

emosional yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis dapat juga


menyebabkan seseorang akan mengalami Sindrom Diogenes. Sindrom

Diogenes jika tidak diatasi dengan cepat maka dapat menyebabkan kematian

pada seseorang tersebut (Williams, Clarke, Fashola, & Holt, 1998).

Sebagian besar lansia mempunyai kebiasaan masih ingin mengerjakan

suatu pekerjaan walaupun pekerjaan yang kecil. Adanya kebiasaan tersebut

keluarga daripada lansia itu mengkhawatirkan kondisinya karena takut

kelelahan. Perhatian dari keluarga itulah yang sering membuat lansia

beranggapan negatif kepada keluarganya. Melihat keadaan lansia yang seperti

itu jika dukungan keluarga disampaikan dengan baik kepada lansia sehingga

lansia merasa dihargai dan diperhatikan khususnya tentang masalah

kesehatannya dan lansia merasa dibantu dalam mencari solusi dalam

mengatasi masalah kesehatannya yang dimana lansia akan cenderung lebih

tenang dan mempunyai koping yang adaptif dalam memecahkan masalah

(Wahyu Astuti, 2010). Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya dukungan

keluarga akan mengurangi respon emosional yang negatif pada lansia.

Dukungan dari keluarga sangat membantu dalam mencegah maupun

mengatasi depresi pada lansia, keluarga juga mempunyai tugas dalam

pemeliharaan para anggotanya dan saling memelihara dan saling

mempertahankan hubungan timbal balik (Wahyu Astuti, 2010). Penerimaan

diri pada lansia akan semakin baik apabila adanya dukungan dari lingkungan

sekitar (Marni, Psikologi, & Ahmad, 2015). Dukungan sosial keluarga sangat

berperan penting dalam membantu lansia dalam beradaptasi terhadap

perubahan yang terjadi sehingga dapat menurunkan tingkat depresi (Trisna

Parasari & Diah Lestari, 2015). Menurut Maryam (2008) dalam (Handayani
& Wahyuni, 2012) menjelaskan bahwa keluarga merupakan support system

yang utama bagi para lansia dalam menjaga kesehatannya. Memasuki masa

lanjut usia pasti akan mengalami perubahan fisik, mental dan emosional

dengan seiring bertambahnya usia mereka, namun dengan adanya dukungan

dari keluarga, maka sebagian besar masalah mental dan emosional yang berat

pada lansia dapat dicegah (Nusi, Wijayanti, & Rahayu, 2010). Dukungan

sosial keluarga yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya

mortalitas lebih mudah sembuh dari sakit, dan kesehatan emosi (Suardana,

Rasdini, & Kusmarjathi, 2000). Menurut Brunner & Suddart dalam (Wahyu

Astuti, 2010) menjelaskan kebutuhan akan dukungan berlangsung sepanjang

hidup. Dukungan dapat digambarkan sebagai perasaan memiliki atau

keyakinan bahwa seseorang merupakan peserta aktif dalam kegiatan sehari –

hari. Perasaan saling terikat dengan orang lain di lingkungan menimbulkan

kekuatan dan membantu menurunkan perasaan terisolasi.

Dalam hal ini penelitian mengenai dukungan keluarga terhadap respon

emosional pada lansia yang mengalami Sindrom Diogenes sangat perlu

dilakukan penelitian dalam konteks keperawatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan dari latar belakang di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah Hubungan Dukungan Keluarga

Terhadap Respon Emosional Pada Lansia Dengan Sindrom Diogenes ? ”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Menjelaskan hubungan dukungan keuarga terhadap respon

emosional pada lansia dengan gejala Sindrom Diogenes.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui dukungan keluarga pada lansia dengan Sindrom

Diogenes.

2) Mengetahui respon emosional pada lansia dengan Sindrom

Diogenes.

3) Menganalisa hubungan dukungan keluarga terhadap respon

emosional pada lansia dengan gejala Sindrom Diogenes.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1) Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu

pengetahuan di bidang kesehatan yang berhubungan dengan

dukungan keluarga terhadap respon emosional pada lansia yang

mempunyai gejala Sindrom Diogenes.

2) Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini bermanfaat sebagai acuan untuk meningkatkan

perkembangan penelitian selanjutnya mengenai Sindrom Diogenes.

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Bagi Keluarga

Hasil dari penelitian ini dapat menjadi pedoman dan

memberikan pengetahuan yang baru kepada keluarga untuk lebih


memberikan perhatian yang lebih kepada lansia dan selalu

memberikan dukungan yang positif kepada lansia.

2) Bagi Lansia

Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman perkembangan

pengetahuan pada lansia dengan Sindrom Diogenes dalam mencari

dukungan keluarga.

3) Bagi Perawat

Hasil dari penelitian ini sangat bermanfaat bagi perawat karena

dapat menjadi acuan atau pedoman dalam memberikan asuhan

keperawatan kepada keluarga dan lansia dengan Sindrom Diogenes.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Definisi Lansia

Lansia atau lanjut usia adalah seseorang yang sudah mencapai

umur diatas 60 tahun. Lanjut usia merupakan tahap akhir dari proses

penuaan pada manusia, dimana pada lansia mengalami penurunan daya

tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari luar tubuh (Supriadi,

2015).

2.1.2 Klasifikasi Batasan Usia Lansia

Batasan usia menurut WHO tahun (1999) dalam (Supriadi, 2015)

menjelaskan bahwa sebagai berikut :

1) Usia lanjut (elderly) dengan rentang usia 60-74 tahun

2) Usia tua (old) dengan rentang usia 75-90 tahun

3) Usia sangat tua dengan usia lebih dari 90 tahun

2.1.3 Ciri-Ciri Lansia

Pada lanjut usia mempunyai ciri-ciri sebagai tanda dari proses

manusia menua. Ciri-ciri lansia ditandai dengan adanya perubahan-

perubahan antara lain dari segi fisik, mental dan keberadaannya di


tengah-tengah lingkungan sosialnya. Dilihat dari hal tersebut

perubahan-perubahan yang dialami oleh lansia akan menentukan sejauh

mana lansia dapat melakukan penyesuaian dengan dirinya sendiri

maupun dengan lingkungan sosialnya. Menurut Hurlock (1997) dalam

(Supriadi, 2015) menyatakan bahwa ciri-ciri pada lanjut usia cenderung

lebih menuju atau membawa pada penyesuaian yang buruk dan

berujung dengan kesengsaraan daripada kebahagiaan. Pengelompokkan

ciri-ciri pada lanjut usia antara lain :

1) Adanya perubahan fisik pada lanjut usia

Perubahan fisik pada setiap lansia berbeda-beda walaupun

dengan usia yang sama. tetapi pada umumnya perubahan fisik

dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Perubahan dari penampilan yang muncul tidak

secara serempak, namun tanda-tanda seperti pada

daerah kepala, tanda-tanda kerut wajah, perubahan

pada daerah tubuh dan perubahan pada persendian.

Dari perubahan tersebut membawa seserorang ke

arah kemunduran fisik pada lanjut usia.

b. Perubahan pada bagian tubuh yang terihat dengan

adanya perubahan sistem saraf yaitu pada bagian

otak, sehingga perubahan tersebut mengakibatkan

prnurunan kecepatan belajar dan penurunan

kemampuan intelektual pada lansia.


c. Perubahan pada fungsi fisiologis, dimana pada

umumnya mengakibatkan tingkat denyut nadi,

meningkatnya tekanan darah, berkurangnya

kandungan kreatinin dan terjadinya penurunan

jumlah waktu tidur. Perubahan tersebut

mengakibatkan lansia mengalami kemunduran dari

segi fisiknya.

d. Perubahan panca indera pada lanjut usia dimana

mengakibatkan fungsi seluruh organ panca indera

mengalami penurunan sensitivitas dan efisiensi kerja

seperti mengalami kemunduran kemampuan kerja

dalem penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman

perabaan dan sensitivitas pada rasa sakit.

e. Perubahan seksual pada lansia terlihat setelah terjadi

reproduksi yang berhenti, pada umumnya hal ini

terjadi pada perempuan maupun laki-laki.

Berhentinya reproduksi pada perempuan ditandai

bila terjadi menopause dan pada laki-laki terjadi

klimaterik.

2) Perubahan kemampuan motorik pada lanjut usia

Seseorang yang sudah lanjut usia pada umumnya sudah

menyadari bahwa mereka mengalami perubahan sehingga

beraktivitasnya kurang baik dibandingkan dengan pada saat

muda. Perubahan pada motorik ini dipengaruhi oleh fisik dan


fisiologis, sehingga mengakibatkan penurunan kekuatan dan

tenaga sedangkan dari segi psikologis ditandai dengan

muncunya perasaan rendah diri, kurangnya motivasi dan

lainnya. Perubahan motorik ini sangat berpengaruh terhadap

lansia dalam penyesuaian pada dirinya sendiri maupun pada

lingkungan sosialnya.

3) Perubahan kemampuan mental pada lanjut usia

Pendapat negatif dari lingkungan sosial terhadap

perubahan pada lansia yang secara otomatis mengakibatkan

terjadinya kemunduran kemampuan mental pada lansia

tersebut. perubahan mental pada masing-masing indivisu

berbeda-beda disukung dengan perbedaan pola pikir dan

pengalaman intelektualnya. Lansia yang mengalami

pengalaman intelektual yang lebih tinggi resiko penurunan

kemampuan mental lebih rendah daripada lansia dengan

pengalaman intelektual yang rendah.

4) Perubahan minat pada lanjut usia

Perubahan minat termasuk dalam ciri-ciri lansia karena

perubahan minat pada seluruh tingkat usia berhubunngan

dengan keberhasilan lansia dalam penyesuaian pada dirinya

sendiri maupun pada lingkungan sosialnya. Pada lansia

perubahan minat lebih cenderung terhadap berorietansi pada

diri sendiri atau egois tanpa memperdulikan minat dari orang

lain, keinginan untuk berrekreasi pada lanjut usia masih ada,


keinginan sosial, keinginan keagamaan dan minat terhadap

kematian.

2.1.4 Bentuk Permasalahan Pada Lansia

Kekhawatiran pada lanjut usia menjadi suatu permasalahan bagi

lansia yang muncul karena adanya ketegangan emosional yang

meningkat pada lanjut usia seiring dengan perubahan-perubahan yang

telah terjadi pada seseorang yang memasuku usia lanjut . Reaksi

seseorang terhadap perubahan-perubahan yang dialaminya pada saat

sudah memasuki lanjut usia beragam tergantung dengan kepribadian

individu itu sendiri. Kecenderungan emosional yang meningkat pada

lansia menjadikan perubahan tersebut sebagai suatu permasalahan,

sehingga mengakibatkan adanya gangguan pada kejiwaan yang meiputi

kecemasan dan rasa takut (Supriadi, 2015). Bentuk dari permasalahan

yang ada pada lansia sebagai berikut :

1) Permasalahan pekerjaan

Pekerjaan yang menuntut aktivitas fisik dan mental

banyak banyak di dominasi oleh orang yg masih muda karena

lanjut usia cenderung lebih lambat untuk melakukan tugas-

tugas yang juga menuntut untuk mempelajari hal-hal yang

baru, sehingga lansia tidak dibutuhkan lagi dalam

pekerjaannya dan lansia merasa tidak dihargai lagi.


2) Permasalahan minat

Perubahan yang terjadi pada lansia seperti menurunnya

kemampuan fisik, mental dan sosial yang menjadikan lansia

lebih cepat merasa bosan dan apatis dalam mencoba hal-hal

baru, sehingga keadaan tersebut mempengaruhi lansia dalam

penysuian di lingkungan sosialnya.

3) Isolasi sosial

Semakin menurunnya tingkat intelektual membuat lansia

mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam cara

berpikir dan gaya-gaya baru-baru dari generasi yang lebih

muda dan juga begitu sebaliknya. Adanya jarak antara ikatan

kekeluargaan dan ketidakpeduian keluarga terhadap lansia itu

sendiri yang membuat lansia tersebut menarik diri dari

lingkungan sosialnya.

4) Disinhibisi

Semakin seseorang itu lanjut usia maka semakain pula

kurang mampu mengendalikan perasaan dan kurang bisa

mengontrol diri sendiri dalam bertindak, sehingga hal-hal kecil

yang semestinya tidak menjadi suatu permasalahn akan

menjadi suatu masalah yang besar bagi seorang anjut usia dan

mereka akan bereaksi dengan ledakan kemarahan yang

berlebihan.

5) Perubahan suasana hati


Pada lansia terjadi perubahan suasan hati dan perubahan

beberapa aspek perilaku manusia yang disebabkan adanya

perubahan-perubahan fisiologis dalam otak dan sisten saraf

pada lansia itu sendiri. Hal tersebut dapat terlihat pada periaku

lansia yang bereaksi secara tiba-tiba dan tidak beralasan seperti

marah-marah dan ingin menyendiri. Penyebab dari keadaan

tersebut adalah kurangnya perhatian orang-orang terhadap

lansia itu sendiri.

6) Peranan iman

Perubahan-perubahan yang dialami oleh lansia seperti

penurunan kemampuan fisik dan mental memungkinkan lansia

membenci maupun merasa takut memandang hari-hari

akhirnya, maka dari itu pada usia lanjut memang merupakan

masa dimana keagaaman harus ditingkatkan. Lemahnya

keimanan seorang lansia dalam mengahadapi hari-hari

akhirnya dapat menimbulkan rasa takut dan cemas dalam

mengahadapi kematian.

2.1.5 Penyebab Permasalahan Pada Lansia

Timbulnya permasalahan pada lansia itu tidak semua dipengaruhi

oleh pandangan masyarakat tentang lansia, namun dipengaruhi oleh

masalah-masalah yang muncul dari dalam diri mereka sendiri. Menurut

Schindler (1992) dalam (Supriadi, 2015) menjelaskan bahwa penyakit

fungsional yang disebabkan oleh usia lanjut mungkin saja sudah

bermula pada usia lebih awal, tetapi dia cenderung timbul dengan pola-
pola yang sama, karena picu emosional yang lazim terjadi di kalangan

orang-orang usia tua adalah masalah ketidakpastian (dalam hal

keuangan, kesehatan dan masa depan) kekhawatiran, kekecewaan,

keputusasaan dan seterusnya. Dari beberapa pandangan di atas, ada

bermacam-macam sebab timbulnya permasalahan pada Manula yang

dapat disajikan sebagai berikut :

1) Ketidakpastian keuangan

Sebagian besar manusia lanjut usia merasa tidak puas

dalam hak perekonomian, karena secara pribadi mereka tidak

dapat lagi menikmati keuangan dari hasil keringatnya sendiri.

Dengan memasuki masa pensiun berarti berkurang pula

aktivitas serta kemandirian dalam pekerjaan, hal itu berarti

semakin berkurang pula penghasilan mereka dibandingkan

pada masa sebelumnya. Ketidakpastian pekerjaan atau tidak

mendapat kesempatan kerja Tertutupnya kesempatan kerja

bagi Manula di atas usia 45 tahun menjadikan Manula merasa

menjadi orang yang tak berguna dan tidak dibutuhkan lagi

dalam dunia kerja, karena profesi mereka telah digantikan oleh

orang yang lebih muda walaupun sebenarnya dalam

kemampuan intelektualnya ada Manula yang masih mampu

memegang tanggung jawab dalam pekerjaannya.

2) Ketidakpastian pekerjaan atau tidak mendapat kesempatan

kerja.
Tertutupnya kesempatan kerja bagi Manula di atas usia 45

tahun menjadikan Manula merasa menjadi orang yang tak

berguna dan tidak dibutuhkan lagi dalam dunia kerja, karena

profesi mereka telah digantikan oleh orang yang lebih muda

walaupun sebenarnya dalam kemampuan intelektualnya ada

Manula yang masih mampu memegang tanggung jawab dalam

pekerjaannya.

3) Ketidakpastian karena keacuhan anak-anak

Dewasa ini anak-anak dari Manula sudah sangat terbiasa

untuk hidup tanpa perasaan apapun dan tidak memperdulikan

orangtua mereka, bahkan kadangkala bersikap tak mau tahu

dengan kebutuhan orangtua mereka yang telah berusia lanjut.

Kenyataan seperti ini sangat memberatkan bagi Manula setelah

apa yang mereka lakukan selama ini terhadap anaknya hanya

dibalas dengan ketidakacuhan yang membuat mereka merasa

tidak dihargai dan dihormati keberadaannya.

4) Ketidakpastian karena keacuhan lingkungan

Secara umum, orang-orang di sekitar Manula, yaitu

lingkungan masyarakat tempat tinggal Manula, menganggap

bahwa Manula adalah seseorang yang tidak dapat lagi

bersosialisasi dengan baik di lingkungan masyarakat, sehingga

masyarakat pun cenderung kurang memperulikan Manula di

tengah lingkungan sosial tersebut.

5) Ketakutan terhadap kesehatan yang memburuk


Berkaitan dengan penyakit fungsional pada Manula,

mengakibatkan Manula merasa selalu tidak sehat dan mereka

selalu merasa khawatir akan digerogoti oleh berbagai macam

penyakit yang akan melumpuhkan mereka.

6) Ketakutan terhadap kematian

Semakin lanjut usia seseorang, maka ia tidak hanya

memikirkan bagaimana kehidupan sesudah kematian, tetapi

mereka lebih memikirkan tentang kematian itu sendiri yang

hampir dekat dengan mereka. Ketakutan tersebut mungkin

disebabkan mereka belum siap dalam menghadapinya.

7) Kehilangan teman dan orang-orang yang terdekat

Perasaan kesepian muncul pada Manula juga disebabkan

karena diting-galkan oleh orang-orang yang selama ini begitu

dekat dengan mereka dan orang-orang yang disayanginya,

seperti kematian suami atau istri dan teman-teman

seperjuangannya dulu

2.2 Konsep Sindrom Diogenes

2.2.1 Definisi Sindrom Diogenes

Sindrom Diogenes diambil dari dua kata yaitu “Sindrom” dan

“Diogenes” yang mana sindrom dapat diartikan sebagai sekumpulan

tanda dan gejala yang muncul secara bersamaan dan diogenes diambil

dari nama seorang filsuf yunani yang menolak bantuan dari orang lain
dan juga menarik diri, jadi Sindrom Diogenes merupakan gejala

menarik diri dan pengabaian diri yang terjadi pada lansia yang berusia

60 tahun ke atas (Waserman et al., 2014).

2.2.1 Ciri-Ciri Sindrom Diogenes

Menurut (Williams et al., 1998) Sindrom Diogenes mempunyai

beberapa ciri-ciri sebagai berikut :

1. Isolasi sosial

2. Menolak bantuan

3. Rumah yang berantakan dan kotor

4. Pengabaian diri

5. Pribadi yang kotor

6. Penimbunan sampah di lingkungan rumah

7. Tinggal sendirian (janda/duda)

2.2.3 Penyebab Sindrom Diogenes

Penyebab dan patogenesis dari Sindrom Diogenes belum pasti

diketahui tetapi dapat dikaitkan oleh proses penuaan. Penelitian yang

dilakukan waserman menjelaskan bahwa sampel pada penelitian

tersebut dapat mengalami Sindrom Diogenes diawali dengan

kehilangan pasangannya karena kematian kemudian mulai menolak

bantuan, mengisolasikan diri, berpakaian kotor, lingkungan rumah yang


kotor dan terus-menerus menyangkal bahwa dirinya depresi, dari

penyebab sampel tersebut mengalami sindrom diogenes dapat

disimpulkan bahwa sindrom diogenes dapat disebabkan oleh keadaan

depresi karena kematian pasangannya dan juga kurangnya dukungan

sosial (Waserman et al., 2014).

2.3 Konsep Respon Emosional

2.3.1 Definisi Emosi

Menurut Bimo Walgito (1989) dalam (Tine Donsu, 2017) emosi

adalah suatu keadaan di mana perasaan seseorang keluar dari batas

normal, sehingga mengganggu hubungan sosialnya.

Menurut pendapat Maramis (1990) dalam (Tine Donsu, 2017)

menyatakan bahwa emosi sebagai manifestasi yang disertai banyak

komponen fisiologik yang berlangsung secara singkat.

Emosi muncul karena dorongan khusus, dorongan khusus tersebut

akan meluapkan emosi dalam bentuk perilaku yang ditandai dengan

perilaku kejasmanian dan ekspresi baik itu perilaku yang mengarah

kepada dorongan khusus (approach), atau menghindar (avoidance).

Tidak hanya itu ada juga emosi yang termanajemen namun tidak

terlihat dalam perilaku kejasmanian yang disebut dengan display rules.

Display rules dikemukakan oleh Paul Ekman bersama Friesen yang


dijelaskan dalam (Tine Donsu, 2017), yaitu masking, modulation, dan

simulation.

a. Masking

Masking merupakan upaya individu dalam

menyembunyikan jati diri dan emosi yang tengah

dialami.Masking sebagai topeng agar tidak memperlihatkan

jati diri dan perasaan yang sebenarnya. Misalnya ketika kita

mendapatkan kabar yang buruk kita masih mampu tersenyum

dengan orang sekeliling kita seolah-olah tidak memiliki

masalah sama sekali.

b. Modulation

Jika masking mampu menutupi perasaan sebenarnya

samapai gejala kejasmaniannya tidak terlihat, maka berbeda

dengan modulation atau modulasi. Modulasi hanya mampu

mengurangi emosi dan tidak dapat menghilangkan emosi.

c. Simulation

Individu yang di golongkan ini sebenarnya tidak

mengalami emosi. Hanya saja, seolah-olah mengalaminya. Hal

tersebut tampak perilakunya yang seolah-olah mengalami

emosi tersebut.

2.3.2 Macam-Macam Emosi

Menurut Syamsu Yusuf (2003) dalam (Tine Donsu, 2017), emosi

individu dapat di kelompokkan ke dalam dua bagian yaitu :


a. Emosi Sensoris

Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh

rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti dingin, manis,

sakit lelah, kenyang dan lapar.

b. Emosi Psikis

Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan

kejiwaan, seperti perasaan intelektual yang berhubungan

dengan ruang lingkup kebenaran perasaan sosial, yaitu

perasaan yang beruhubungan dengan orang lain, baik yang

bersifat perorangan maupun kelompok.

2.3.3 Komponen Emosi

Emosi dan gejala kejasmanian seringkali digunakan sebgai tolak

ukur untuk menilai seseorang. Seseorang yang mengalami emosi

negatif maka akan mempengaruhib jasmaninya. Perubahan jasmani

dapat dengan beberapa tanda dan gejala seperti berdebar-debar, wajah

pucat au memerah, Namun gejala yang timbu pada setiap orang

berbeda-beda. Menurut Atkinson R.L dalam (Tine Donsu, 2017)

mengungkapkan ada 4 komponen seseorang saat emosi anatara lain

yaitu :

a. Respons Internal

Ketika seseorang mengalami emosi negatif, misalnya

dalam kondisi marah orang tersebut secara tidak sadar akan


menaikkan nda suara saat berbicara hal ini terjadi karena reaksi

tubuh internal.

b. Pengaruh Kognitif

Pengaruh kognitif turut andil dalam mengelola emosi,

ketika kita berpikir positif maka perilaku yang keluar didorong

oleh emosi positif beruupa optimisme dan sebaliknya ktika

berpikir negatif, maka perilaku yang keluar akan didorong oleh

pikiran negatif yang hanya akan menjatuhkan semangat,

menguji mental, dan mengeluarkan energi lebih besar. Pada

dasarnya energi kita akan lebih cepat habis ketika berpikir

negatif daripada berpikiran positif.

c. Mikro Ekspresi

Mikro ekspresi diperkenalkan pertama kali oleh Paul

Ekman, beliau meneliti ekspresi wajah dari berbagai belahan

dunia hanya untuk melihat perasaan mereka. Mikro ekspresi

adalah perubahan wajah yang dipengaruhi oleh dorongan

emosi dari dalam dirinya, misalnya mengerutkan dahi, senyum

sinis sebagai bentu ketidaksetejuan, dan masih banyak lagi.

d. Reaksi Emosional

Salah satu bentuk dari reaksi emosional pernah dirasakan

oleh setiap orang, misalnya pada saat menerima pengumuman

bahwa anda diterima sebagai mhasiswa keperawatan karena

terlalu senang anda sampai meneteskan air mata dan contoh

lain dari reaksi emosional yang berlebihan adalah rasa marah.


Marah yang berlebihan dapat menimbulkan agresi dan

pemberontakan. Emosi memiliki kekuatan yang besar, karena

emosi mampu mempengaruhi perubahan fisiologis seseorang.

2.4 Konsep Dukungan Keluarga

2.4.1 Definisi Dukungan Keluarga

Menurut Ali (2009) dalam (Tamara, Nauli, Studi, Keperawatan, &

Riau, n.d.) dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan

keluarga terhadap penderita yang sakit. Dukungan bisa berasal dari

orang lain (orangtua, anak, suami, istri atau saudara) yang dekat dengan

subjek dimana bentuk dukungan berupa informasi, tingkah laku tertentu

atau materi yang dapat menjadikan individu merasa disayangi,

diperhatikan dan dicintai.

Menurut Friedman (1998) dalam (Nusi et al., 2010), dukungan

keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga dengan

penderita yang sakit. Keluarga juga berfungsi sebagai sistem

pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa

orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan

dan bantuan jika diperlukan.

Dukungan keluarga merupakan salah satu bentuk terapi keluarga,

dimana melalui keluarga berbagai macam masalah terutama masalah

kesehatan dapat teratasi (Handayani & Wahyuni, 2012).

Kesimpulannya adalah dukungan keluarga merupakan sikap,

tindakan dan penerimaan suatu keluarga terhadap penderita yang


sedang sakit karena dukungan keluarga adalah salah satu bentuk dari

terapi keluarga berupa informasi, tingkah laku maupun materi yang

dapat mengatasi berbagai masalah salah satunya adalah masalah

kesehatan.

2.4.4 Jenis Dukungan Keluarga

Menurut Adicondro & Purnamasari (2011) dalam (Noviani Utami,

2013) dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga antara lain:

1. Dukungan emosional

Dukungan yang diberikan oleh keluarga seperti rasa empati,

selalu ada mendampingi individu ketika mengalami

permasalahan, dan keluarga menyediakan suasana yang

hangat di keluarga dapat membuat individu merasa

diperhatikan, nyaman, diperdulikan dan dicintai oleh

keluarga sehingga individu akan lebih mampu menghadapi

masalah dengan lebih baik.

2. Dukungan Penghargaan

Dukungan yang diberikan oleh keluarga yang dapat berupa

pemberian apresiasi ketika individu mencapai suatu

keberhasilan, pemberian semangat, persetujuan pada

pendapat individu dan perbandingan yang positif dengan

individu lain. Dukungan ini membantu individu dalam

membangun harga diri dan kompetensi. Dukungan


penghargaan sangat dibutuhkan oleh individu yang

mengalami asma karena berbagai dampak yang ditimbulkan

oleh asma cenderung dapat membuat rasa percaya diri

individu yang mengalami asma menurun. Adanya

penghargaan yang positif dari keluarga akan membantu

individu untuk meningkatkan rasa percaya dirinya.

3. Dukungan Instrumental

Dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga kepada

individu seperti pinjaman materi, pemberian barang,

makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat

mengurangi kecemasan karena individu dapat langsung

memecahkan masalah yang berhubungan dengan materi.

4. Dukungan Informatif

Dukungan yang diberikan yang dapat berupa masukan,

saran, pemberian informasi pengobatan, pengetahuan,

petunjuk, atau umpan balik tentang situasi dan kondisi

individu juga sangat dibutuhkan oleh individu dalam

mengatasi permasalahan yang dihadapi. Adanya dukungan

informatif akan membuat wawasan individu menjadi lebih

luas sehingga dapat lebih berpikir positif dalam menghadapi

suatu permasalahan

2.4.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan

Menurut (Muharina Amelia et al., 2002) faktor-faktor yang

mempengaruhi dukungan keluarga adalah:


1. Faktor internal

a) Tahap perkembangan Artinya dukungan dapat ditentukan

oleh faktor usia dalam hal ini adalah pertumbuhan dan

perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-

lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap

perubahan kesehatan yang berbeda-beda.

b) Pendidikan atau tingkat pengetahuan Keyakinan seseorang

terhadap adanya dukungan terbentuk oleh variabel

intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang

pendidikan dan pengalaman masa lalu. Kemampuan

kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk

kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang

berhubungan dengan penyakit dan menggunakan

pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan

dirinya.

c) Faktor emosi Faktor emosional juga mempengaruhi

keyakinan terhadap adanya dukungan dan cara

melakukannya. Seseorang yang mengalami respon stress

dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon

terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan

cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat

mengancam kehidupannya. Seseorang yang 15 secara

umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respon

emosional yang kecil selama ia sakit. Seorang individu yang


tidak mampu melakukan koping secara emosional terhadap

ancaman penyakit mungkin.

d) Spiritual Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana

seseorang menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan

keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga

atau teman, dan kemampuan mencari harapan dan arti

dalam hidup.

2. Eksternal

a) Praktik di keluarga Cara bagaimana keluarga memberikan

dukungan biasanya mempengaruhi penderita dalam

melaksanakan kesehatannya. Misalnya, klien juga

kemungkinan besar akan melakukan tindakan pencegahan

jika keluarga melakukan hal yang sama.

b) Faktor sosio-ekonomi Faktor sosial dan psikososial dapat

meningkatkan resiko terjadinya penyakit dan

mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi

terhadap penyakitnya. Variabel psikososial mencakup:

stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan lingkungan kerja.

Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan

persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan

mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara

pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang

biasanya ia akan 16 lebih cepat tanggap terhadap gejala


penyakit yang dirasakan. Sehingga ia akan segera mencari

pertolongan ketika merasa ada gangguan pada

kesehatannya.

c) Latar belakang budaya Latar belakang budaya

mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu,

dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan

kesehatan pribadi.

2.5 Model konseptual keperawatan

Model konseptual keperawatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Imogene M.King yaitu sistem konseptual dan teori middle-range

pencapaian tujuan. Imogene M.King menjelaskan setiap sistem

mengidentifikasi manusia sebagai elemen dasar dalam sistem, sehingga “unit

analisis dalam kerangka itu adalah perilaku manusia dalam berbagai

lingkungan sosial”. King menunjukkan sebuah contoh dari sistem pribadi

sebagai seorang pasien atau seorang perawat. King menentukan konsep

tentang citra tubuh, pertumbuhan dan perkembangan persepsi, diri, ruang dan

waktu untuk mehjmahami manusia sebagai pribadi.

Sistem interpersonal akan terbentuk apabila dua atau lebih individu

berinteraksi, membentuk diad (dua orang) atau triad (tiga orang). Diad dari

seorang perawat dan seorang pasien sebagai salah satu jenis sistem

interpersonal. Keluarga, ketika bertindak sebagai kelompok kecil, juga dapat


dianggap sistem interpersonal. Memahami sistem interpersonal membutuhkan

konsep komunikasi, interaksi, peran, tekanan dan transaksi.

Sebuah sistem interaksi yang lebih komprehensif terdiri dari kelompok-

kelompok yang membentuk masyarakat, disebut sebagai sistem sosial. Sistem

agama, pendidikan dan perawatan kesehatan adalah contoh-contoh dari sistem

sosial. Perilaku berpengaruh dari sebuah keluarga besar pada pertumbuhan

dan perkembangan individu adalah contoh sistem sosial yang lain, dalam

sistem sosial konsep otoritas, pengambilan keputusan, organisasi, kekuasaan,

dan status memandu pemahaman sistem. Dengan demikian, konsep-konsep

dalam kerangka kerja mengorganisasi dimensi-dimensi dan mewakili

pengetahuan untuk memahami interaksi di antara ketiga sistem.

Sistem konseptual King dan teori pencapaian tujuan adalah “didasarkan

pada sebuah asumsi keseluruhan bahwa fokus keperawatan adalah manusia

yang berinteraksi dengan lingkungannya, yang mengarahkan ke keadaan

kesehatan bagi individu, yang mana merupakan sebuah kemampuan untuk

berfungsi dalam peran sosial. Keperawatan adalah sebuah proses aksi, reaksi,

interaksi, dan transaksi interpersonal. Persepsi seorang perawat dan seorang

pasien memengaruhi proses interpersonal (Aligood, 2017).


2.1 Kerangka Teori Model Keperawatan Imogene M.King

Perawat Pasien

Persepsi Tindakan
keputusan keputusan
tindakan persepsi

Reaksi

Interaksi

Sistem sosial Sistem Sistem


interpersonal pribadi

Respon
Reaksi emosional
- Diad ( 2 orang) - Citra tubuh
- Triad (3 orang) - Pertumubuhan dan
Perkembangan
- Situasi
- Persepsi
- Orang
- Diri
- Subjek Dukungan Keluarga
- Ruang
keluarga
- waktu

- Konsep
Faktor komunikasi
internal dan - Interaksi peran
faktor - Tekanan
eksternal

Transaksi

Umpan balik
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Emosi:

a. Respon internal

b. Pengaruh kognitif

c. Mikro ekspresi

d. Reaksi emosional

Faktor internal dukungan :


Dukungan Respon
a. Tahap perkembangan
keluarga emosional
b. Pendidikan

c. Emosi

d. Spiritual

Faktor ekternal dukungan:

a. Praktik di keluarga

b. Sosio-ekonomi, sosial

dan psikososial

c. Latar belakang budaya


Keterangan :

Diukur :

Tidak diukur :

Gambar 3.1Kerangka konseptual Hubunngan Dukungan Keluarga Terhadap


Respon Emosional Pada Lansia Dengan Sindrom Diogenes

3.2 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini yaitu “ ada hubungan antara dukungan

keluarga terhadap respon emosional pada lansia dengan Sindrom Diogenes”.


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian Yang Digunakan

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

Korelasional dengan pendekatan cross sectional, yaitu penelitian ini

menekankan waktu/pengukuran observasi data variabel independen dan

dependen hanya satu kali dan juga penilaian pada variabel independen dan

dependen hanya satu kali saja (Nursalam, 2015).

4.2 Populasi, Sampel (kriteria inklusi, ekskklusi), Besar Sampel (sampel size),

dan Teknik Pengambilan Sampel (sampling).

4.2.1 Populasi

Populasi adalah eseluruhan jumlah anggota dari suatu himpunan

yang ingin diketahui karakteristiknya berdasarkan inferensi atau

generalisasi (Supardi & Rustika, 2013). Populasi dalam penelitian ini

adalah 49 orang lanjut usia dengan Sindrom Diogenes yang mengalami

masalah gangguan respon emosional.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah sebuah gugus atau sejumlah tertentu anggota

himpunan yang dipilih dengan cara tertentu agar mewakili populasi.

Untuk dapat menjadi sampel harus memenuhi kriteria sampel, dimana

kriteria sampel dibagi dua yaitu yang pertama kriteria inklusi yang
merupakan persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh subyek

penelitian/populasi agar dapat diikutsertakan dalam penelitian dan yang

kedua kriteria eksklusi yang merupakan keadaan yang menyebabkan

subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi tetapi tidak dapat

diikutsertakan dalam penelitian (Supardi & Rustika, 2013).

Kriteria inklusi penelitian ini yaitu :

1) Lansia berusia ≥ 60 tahun

2) Lansia dengan Sindrom Diogenes

3) Lansia yang bisa berkomunikasi dengan baik

4) Lansia yang bisa membaca dan menulis

5) Lansia yang tidak sedang sakit parah

6) Bersedia menjadi responden

Kriteria eksklusi penelitian :

1) Memiliki keterbatasan atau kelumpuhan anggota gerak

2) Lansia yang tidak dapat ditemui pada saat penelitian

3) Lansia yang meninngal dunia pada saat penelitian

4.2.3 Besar Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini diambil dari keseluruhan jumlah

populasi lansia dengan Sindrom Diogenes di Desa Banyubiru. Populasi

<1000 maka ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :


𝑁
n=
1 + 𝑁 (𝑑2 )

Keterangan : N = besar populasi

n = besar sampel

d = tingkat signifikasi (0,05)

𝑁
n=
1 + 𝑁 (𝑑2 )

49
n=
1 + 49 (0,052 )

n = 43,65

Besar sampel adalah 44 orang.

Peneliti juga mengantisipasi apabila adanya responden yang drop out pada

sampel penelitian, dengan rumus :

𝑛
𝑛′ =
1−𝑓

44
𝑛′ =
1 − 0,1

𝑛′ = 48,88 (49 orang)

Keterangan :

𝑛′ = Besar sampel yang diteliti

𝑛 = 𝐵𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙


f = konstanta nilai10%

4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel (Sampling)

Dalam penelitian ini menggunakan cara pengambilan sampel yaitu

probality sampling dengan teknik Simple Random Sampling dimana

pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak atau

undian tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi, karena

anggota populasi dalam penelitian ini memiliki kesempatan yang sama

utuk menjadi sampel dalam penelitian .

4.3 Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional Penelitian

4.3.1 Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (Independent Variable) pada penelitian ini adalah

dukungan keluarga.

2. Variabel terikat (Dependent Variable) pada penelitian ini adalah

respon emosional.

4.3.2 Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Kategori


Operasional
Dukungan Memberikan - Dukungan Kuisioner Ordinal 20-33 =
Keluarga dukungan emosional, Dukungan kurang
kepada - Dukungan Sosial 34-47=
anggota informasi, Keluarga cukup
keluarga yang - Dukungan 48-60 =
membutuhkan instrumental baik
pertolongan. - Dukungan
penghargaan.

Respon Reaksi - Reaksi Emotion Ordinal 1-3= Sangat


Emosional emosional emosional Regulation kuat (tidak
akan berbeda- dapat berupa Quetionnaire setuju)
beda pada reaksi negatif (ERQ) 4-5=Netral
setiap lansia - Reaksi 6-7=Sangat
yang emosional kuat
menderita dapat berupa (setuju)
Sindrom reaksi positif
Diogenes,
dimana ada
reaksi yang
diungkapkan
secara
langsung dan
ada reaksi
yang ditahan
dan tidak
diungkapkan
yang
disebabkan
karena adanya
tekanan.

4.4 Instrument Penelitian

4.4.1 Variabel Independent

Variabel independent pada penelitian ini adalah dukungan keluarga dan

instrumen yang digunakan adalah kuesioner Dukungan Sosial Keluarga

yang terdiri dari 20 pertanyaan yang sudah di uji validitas dengan niai r

hitung > r tabel (0,361) yang berarti item pertanyaan tersebut adalah

valid. Setelah di uji realibilitas dan didapatkan hasil Cronbach Alpha

0,752 atau lebih besar dari 0,6 yang berarti item pertanyaan tersebut

adalah reliabel (Priastana, 2018).

4.4.2 Variabel Dependent

Variabel dependent pada penelitian ini adalah respon emosional

dan instrument yang digunakan dalam mengukur respon emosional


yaitu Emotion Regulation Quetionnaire (ERQ) yang terdiri dari 10

pertanyaan.

4.5 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas I Negara

yaitu di Desa Banyubiru, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Penelitian

ini akan dilaksanakan pada bulan April-Mei 2019.

4.6 Prosedur Pengambilan Data Atau Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua cara yaitu

dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh

dari kuesionner yang diberikan kepada lansia dengan Sindrom Diogenes

untuk mengidentifikasi dukungan keluarga dan respon emosional pada lansia

dengan Sindrom Diogenes, Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil

studi pendahuluan dengan menggunakan cek list untuk mengetahui jumlah

lansia dengan Sindrom Diogenes di Desa Banyubiru.

Prosedur pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mengurus surat-

surat ijin kepada Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) Provinsi

Bali selanjutnya peneliti mengurus surat rekomendasi dari Kepala Kesatuan

Bangsa dan Politik (Kesbangpol) menyerahkan surat izin beserta tembusan

penelitian ke Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten

Jembrana, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jembrana, Kepala Puskesmas

I Negara dan Kepala Desa Banyubiru untuk memohon izin melakukan

penelitian tersebut. Peneliti kemudian mengidentifikasi sampel yang akan

diteliti sesuai dengan teknik pengambilan sampel yang telah ditentukan.


Peneliti mengunjungi lansia dengan Sindrom Diogenes ke rumah dan

menjelaskan maksud dan tujuan dari peneliti, kemudian peneliti memberikan

lembar informed consent dan lembar kuesioner kepada responden. Peneliti

mengobservasi data kuesioner yang telah diisi oleh responden. Pengumpulan

data dihentikan apabila jumlah responden sudah memnuhi besar sampel yang

telah ditentukan oleh pneliti.

4.7 Cara Analisis Data

4.7.1 Univariat

Analisa univariat digunakan untuk mengidentifikasi dukungan

keluarga dengan kategori kurang, cukup dan baik. Selain itu untuk

mengidentifikasi respon emosional pada lansia dengan kategori sangat

kuat (setuju), netral, sangat kuat (tidak setuju). Setiap variabel dari

variabel bebas (dukungan keluarga) dan variabel terikat (respon

emosional) akan dicantumkan dalam bentuk distribusi frekuensi.

4.7.2 Bivariat

Analisa data bivariat digunakan untuk menganallisis hubungan

kedua variabel. Jenis analisis yang digunakan adalah korelasi. Hasil

pengukuran dalam penelitian ini adalah dalam skala ordinal dan skala

ordinal, sehingga untuk menganilisis hubungan dukungan keluarga

terhadap respon emosional pada lansia dengan Sindrom Diogenes

dilakukan analisa statistik dengan uji Spearman Rank Test dengan α =

0,05 menggunakan komputerisasi. Jika diperoleh p <0,05 artinya H0


ditolak yang artinya ada hubungan dukungan keluarga terhadap respon

emosional pada lansia dengan Sindrom Diogenes.


4.8 Kerangka Operasional/Kerja

Menentukan lansia dengan Sindrom


Diogenes menggunakan lembar
observasi

Menentukan sampel yang sesuai


dengan kriteria inklusi

Memberikan kuisioner
kepada semua sampel

Menggumpulkan hasil dari


pengisian kuisioner

Melakukan pengolahan data dan


analisis data

Penyajian data dan penulisahan hasil


penelitian

Gambar 4.8 Kerangka Operasional Penelitian Hubungan Dukungan Keluarga


Terhadap Respon Emosional Pada Lansia dengan Sindrom
Diogenes.
4.9 Etika Penelitian

Dalam proses melakukan penelitian sebagai peneliti haru memperhatikan

etika dalam penelitian antara lain :

4.9.1 Menghargai Harkat dan Martabat (Respect For Persons)

Responden akan diberikan lembar persetujuan setelah diberikan

penjelasan terlebih dulu untuk menjadi responden dalam penelitian

tanpa adanya paksaan atau tekanan dan responden berhak untuk

menyetujui lembar persetujuan yang diberikan atau tidak.

4.9.2 Kebaikan (Beneficence)

Penelitian ini dilakukan untuk memcahkan suatu masalah yang

nantinya hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua orang

khususnya pada subjek dalam penelitian ini.

4.9.3 Adil (Justice)

Anda mungkin juga menyukai