Anda di halaman 1dari 29

1.

Hiperbola

Tarigan (2013: 55) mengungkapkan hiperbola adalah sejenis gaya bahasa

yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya

atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau

situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya

bahasa hiperbola yang ada pada cerpen “Juru Masak” terdapat enam kalimat.

Berikut merupakan hasil analisis cerpen.

(a) Analisis 1

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“Akibatnya, berseraklah fitnah dan cela yang mesti ditanggung oleh

tuan rumah “.

Kata bercetang miring tersebut merupakan gaya bahasa hiperbola karena

menggambarkan dan mengungkapkan keadaan yang melebih–lebihkan.


Arti kata dari berseraklah fitnah ialah banyaknya fitnah yang

bermunculan atau banyaknya fitnah yang timbul.

(b) Analisis 2

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“Di usia senja, dia masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap gesit

meracik bumbu, masih kuat ia berjaga semalam suntuk”.

Kata bercetang miring tersebut merupakan gaya bahasa hiperbola karena

menggambarkan keadaan yang melebih–lebihkan. Arti kata Semalam

suntuk ialah selama semalaman penuh atau semalaman hingga menjelang

pagi.

(c) Analisis 3

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“Walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya, meski


sepahit empedu tidak pula buru – buru dimuntahkannya, meski matang ia

menimbang”.

Kalimat tersebut merupakan gaya bahasa hiperbola karena

menggambarkan keadaan yang melebih–lebihkan. Arti dari kalimat di

atas Karena gula memang memiliki rasa manis serta suasana yang

digambarkan tidak dapat dirasakan secara langsung.

(d) Analisis 4

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“Adik–adiknya sudah terbang hambur pula ke negeri orang”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa hiperbola karena

menggambarkan keadaan dan melebih–lebihkan. Arti kata dari terbang

hambur ialah pergi entah kemana atau telah pergi jauh.


(e) Analisis 5

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“Banyak yang ingin mengambilnya menjadi menantu, tetapi tak seorang

perempuan pun yang mampu meluluhkan hatinya”.

Kalimat tersebut merupakan gaya bahasa hiperbola karena

menggambarkan keadaan yang melebih – lebihkan. Arti kata dari

meluluhkan hatinya ialah membuat hatinya menjadi suka.

(f) Analisis 6

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“Perempuan itu dapa tmembayangkan sakitnya perasaan lelaki itu karena

wanita pujaan hatinya dipersunting lelaki lain”.

Kalimat tersebut merupakan gaya bahasa hiperbola karena

menggambarkan keadaan yang melebih–lebihkan. Arti kata dari pujaan


hatinya ialah orang yang disayangi.

2. Personifikasi

Tarigan, (2013: 17) mengungkapkan gaya bahasa personifikasi

adalah jenis gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda

yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Gaya bahasa personifikasi yang

ada pada cerpen “Juru Masak” terdapat lima kalimat. Berikut ini merupakan

hasil analisis cerpen.

(a) Analisis 1

Ditemukan dalam cepen “Juru Masak” dalam kalimat.

“Nasi banyak gulai melimpah, helat tak bikin kenyang”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa personifikasi

karena melekatkan sifat – sifat insani pada kata helat yang merupakan

benda mati. Karena kata helat memiliki arti mempunyai sebuah acara
atau sebuah pertunjukan.

(b) Analisis 2

Ditemukan dalam cepen “Juru Masak dalam kalimat.

“belum! akan ayah pikul beban ini hingga tangan ayah tak lincah lagi

meracik bumbu”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa personifikasi

karena melekatkan sifat–sifat insani pada kata pikul beban ini yang

merupakan benda mati. Pikul beban memiliki ari menanggung beban.

Beban merupakan benda mati sehingga beban tidak dapat dipikul.

(c) Analisis 3

Ditemukan dalam cepen “Juru Masak” dalam kalimat.

“Dan tak lama berselang, kabar ini berdengung juga di telinga Arizal”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa personifikasi


karena melekatkan sifat–sifat insani pada kata kabar ini berdengung juga

Karena kabar merupakan benda mati yang tidak dapat bergerak sehingga

kabar tidak dapat berdengung.

(d) Analisis 4

Ditemukan dalam cepen “Juru Masak” dalam kalimat.

“ masakannya tak menyenangkan tak mengundang selera”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa personifikasi

karena melekatkan sifat–sifat insani pada kata masakannya tak

menyenangkan karena masakan merupakan benda mati sehingga tiadak

dapat merasa senang.

(e) Analisis 5

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” dalam kalimat.


“Kini juru masak itu sudah berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali,

sebab ia akan menghabiskan hari tuanya didekat anaknya”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa personifikasi

karena melekatkan sifat–sifat insani pada kata menghabiskan hari tuanya

yang merupakan benda mati karena hari tua tidak dapat dihabiskan.

3. Metafora

Metafora adalah pemakaian kata–kata bukan arti sebenarnya,

melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan

(Poerwadarminta,1976: 648). Gaya bahasa metafora yang ada pada cerpen

“Juru Masak” terdapat sepuluh kalimat. Berikut ini merupakan hasil analisis

cerpen.

(a) Analisis 1

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.


“Tanpa campur tangannya,kenduri terasa hambar, sehambar gulai

kambing dan gula irebung karena bumbu – bumbu tak teracik oleh

tangan dingin lelaki itu”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa metafora karena

persamaan dalam arti bukan sebenarnya. Arti kata dari campur

tangannya ialah keikut sertaan atau terlibat dalam suatu pelaksanaan.

(b) Analisis 2

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“Tanpa campur tangannya, kenduri terasa hambar, sehambar gulai

kambing dan gula irebung karena bumbu – bumbu tak teracik oleh

tangan dingin lelaki itu”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa metafora karena


persamaan dalam arti bukan sebenarnya. Tangan dingin memeliki arti

keahlian yang dapat diartikan seseorang yang memiliki keahlian dalam

setiap pekerjaannya.

(c) Analisis 3

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat. “Orang tua mana

yang tak ingin berkumpul dengan anaknya di hari tua? dan kini, gayung

telah bersambut “.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa metafora karena

merupakan persamaan dalam arti bukan sebenarnya. Gayung bersambut

sendiri memiliki arti kesempatan yang telah tiba atau kesempatan yang

telah ditunggu-tunggu.

(d) Analisis 4

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.


“Merah muka padam Arizal mendengar nama itu“.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa metafora karena

persamaan dalam arti bukan sebenarnya. Merah muka padam memiliki

arti menahan amarah atau menahan kekesalan.

(e) Analisis 5

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak pada kalimat.

“Di Lareh Panjang, ia dijuluki tuan tanah, hampir seper tiga dari wilayah

kampung ini miliknya“.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa personifikasi

karena persamaan dalam arti bukan sebenarnya. Tuan tanah memiliki arti

mempunyai tanah yang banyak atau orang yang mempunyai tanah.

(f) Analisis 6

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak pada kalimat.


“Tetapi tidak patut rasanya Mangkudun memandang dengan sebelah

mata “.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa metafora karena

persamaan dalam arti bukan sebenarnya. Memandang sebelah mata

memiliki arti memandang rendah orang lain atau merendahkan orang

lain.

(g) Analisis 7

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“Sedikit demi sedikit dikumpulkannya modal, agar tidak selalu

bergantung pada induk semang “.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa metafora karena

persamaan dalam arti bukan sebenarnya. Bergantung pada induk semang


memiliki arti bergangtung pada ahlinya atau bergantung terhadap orang

lain.

(h) Analisis 8

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“Kuah gulai rebungnya seperti kuah toge. Kembang perut kami

dibuatnya”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa metafora karena

persamaan dalam arti bukan sebenarnya. Kembang perut memiliki arti

sakit perut.

(i) Analisis 9

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak pada kalimat.

“Rombongan pengantar mempelai pria diam–diam juga kecewa pada

tuan rumah “.
Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa metafora karena

persamaan dalam arti bukan sebenarnya. Tuan rumah memilki arti orang

memiliki hajat, acara, atau rumah.

(j) Analisis 10

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini ?” begitu

mereka bertanya–tanya”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa metafora karena

persamaan dalam arti bukan sebenarnya. Turun tangan memiliki arti ikut

membantu atau turut campur dalam suatu urusan.

4. Perumpamaan

Tarigan, (2013: 9) mengungkapkan perumpamaan adalah

perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita
anggap sama. Gaya bahasa perumpamaan yang ada pada cerpen “Juru

Masak” terdapat dua kalimat. Berikut ini merupakan hasil analisis cerpen.

(a) Analisis 1

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“Ibarat emas dan Loyang perbedaan mereka”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa perumpamaan

karena membandingkan dua hal yang berlainan atau bertentangan yang

kita anggap sama dan juga terdapat kata ibarat.

(b) Analisis 2

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat.

“Derajat keluarga Arizal memang seumpama lurah tak berbatu, seperti

sawah tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan”.

Kata bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa perumpamaan


karena membandingkan dua hal yang berlainan atau bertentangan yang

kita anggap sama. Dalam kalimat tersebut juga terdapat kata seumpama

dan seperti.

5. Sarkasme

Tarigan, (2013: 92) mengungkapkan sarkasme adalah sejenis gaya

bahasa yang mengandung olok–olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati.

Gaya bahasa sarkasme yang ada pada cerpen “Juru Masak” terdapat satu

kalimat. Berikut ini merupakan hasil analisis cerpen.

(a) Analisis 1

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” pada kalimat :

“ Bahkan kalau ia jadi kepala desapun, tak sudi saya mempunyai menantu

anak juru masak !”.


Kalimat tersebut merupakan gaya bahasa sarkasme karena mengandung

olok–olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati.

6. Ironi

Tarigan, (2013: 61) mengungkapkan ironi adalah majas yang

menyatakan makna yang bertentangan, dengan maksud mengolok–olok. Gaya

bahasa ironi yang ada pada cerpen “Juru Masak” terdapat satu kalimat.

Berikut ini merupakan hasil analisis cerpen.

(a) Analisis 1

Ditemukan dalam cerpen “Juru Masak” terdapat pada kalimat.

“Kuah gulai rebungnya seperti kuah toge. Kembang perut kami

dibuatnya”.

Kalimat yang bercetak miring tersebut merupakan gaya bahasa ironi

karena menyatakan makna yang bertentangan, dengan maksud mengolok –


olok.
JURU MASAK

Damhuri Muahamaad

Perhelatan bisa kacau tanpa kehadiran lelaki itu. Gulai kambing akan terasa

hambar lantaran racikan bumbu tidak meresap ke dalam daging. Kuah gulai kentang

dan gulai rebung bakal encer karena keliru menakar jumlah kelapa parut hingga setiap

menu masakan kekurangan santan. Akibatnya, berseraklah fitnah dan cela yang mesti

di tanggung oleh tuan rumah. Bukan karena kenduri kurang meriah, tidak pula karena

pelaminan tempat bersandingnya pasangan pengantin tak sedap dipandang mata,

tetapi karena bermacam–macam hidangan yang tersuguh tidak menggugah selera.

Nasi banyak gulai melimpah, tetapi helat tak bikin kenyang. Ini celakanya bila

Makaji, juru masak handal itu tidak dilibatkan.

Beberapa tahun lalu, pesta perkawinan Gentasari dengan Rustamadji yang

digelar dengan menyembelih tiga belas ekor kambing dan berlangsung selama tiga
hari, tidak berjalan mulus, bahkan hampir saja batal. Keluarga mempelai pria merasa

di bohongi oleh keluarga mempelai wanita yang semula sudah berjanji bahwa semua

urusan masak–memasak selama kenduri berlangsung akan dipercayakan kepada

Makaji, juru masak nomor satu di Lareh Panjang ini. Namun, di hari pertama

perhelatan, ketika rombongan mempelai pria tiba, gulai kambing, gulai nangka, gulai

kentang, gulai rebung, dan aneka hidangan yang tersaji ternyata bukan masakan

Makaji. Mana mungkin keluarga calon besan itu bisa dibohongi? lidah mereka sudah

terbiasa dengan masakan Makaji.

“Kalau besok gulai nangka sehambar ini, kenduri tak usah di lanjutkan !“ ancam

Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.

“Apa susahnya mengundang Makaji ?“

“Percuma bikin helat besar–besaran bila menu yang terhidang hanya bikin malu.“
Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa hambar,

sehambar gulai kambing dan gulai rebung karena bumbu – bumbu tak diracik oleh

tangan dingin lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tidak pernah keberatan membantu

keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli apakah tuan rumah

hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak atau orang biasa yang

hanya sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji tak pilih kasih, meski ia

satu– satunya juru masak yang masih tersisa di Lareh Panjang. Di usia senja, dia

masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap gesit meracik bumbu, masih kuat

ia berjaga semalam suntuk.

***

“Separuh umur ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampung ini,

bagaimana kalau tanggung jawab itu dibebankan kepada yang lebih muda ?“ saran

Arizal, putra sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam bulan lalu.
“Mungkin sudah saatnya ayah berhenti.“

“Belum ! akan ayah pikul beban ini hingga tangan ayah tak lincah lagi meracik

bumbu.“ balas Makaji waktu itu.

“Kalau memang ingin menjadi juru masak, bagaimana kalau ayah menjadi juru

masak di salah satu rumah makan milik saya di Jakarta ? saya tak ingin lagi

berjauhan dengan ayah.

Sejenak Makaji terdiam mendengar tawaran Arizal. Tabiat orang tua selalu begitu,

walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya, meski sepahit empedu

tidak pula buru–buru dimuntahkannya, meski matang ia menimbang. Makaji

memang sudah lama menunggu ajakan seperti itu. Orang tua mana yang tak ingin

berkumbul dengan anaknya di hari tua? dan kini, gayung telah bersambut, sekali

saja ia mengangguk, Arizal akan segera memborongnya ke rantau. Makaji tetap


akan mempunyai kesibukan di Jakarta, ia akan menjadi juru masak di rumah

makan milik anaknya sendiri.

“Beri ayah kesempatan satu kenduri lagi!“

“Kenduri siapa ?“ Tanya Arizal.

“Mangkudun. Anak gadisnya baru saja dipinang orang. Sudah terlanjur ayah

sanggupi, malu kalu tiba–tiba dibatalkan.“

Merah muka padam Arizal mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis

Mangkudun kalu bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab

hengkangnya ia dari Lareh Panjang tidak lain adalah Renggogeni, anak

perempuan tunggal beleng itu. Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? di Lareh

Panjang, ia dijuluki tuan tanah, hampir sepertiga dari wilayah kampung ini

miliknya. Sejak dulu, orang–orang lareh panjang yang kesulitan uang selalu beres

di tangannya. Mereka tinggal menyebutkan sawah, ladang, atau tambak ikan


sebagai agunan. Dengan senang hati Mangkudun akan memegang gadaian itu.

Masih segar di ingatan Arizal, waktu itu Renggogeni hampir tamat dari akademi

perawat di kota. Tidak banyak orang Lareh Panjang yang bisa bersekolah tinggi

seperti Renggogeni. Perempuan kuning lansat pujaan Arizal itu benar–benar akan

menjadi juru rawat. Sementara Arizal bukan siapa–siapa, hanya tamatan madrasah

aliyah yang sehari–hari bekerja honorer sebagai sekretaris di kantor kepala desa.

Ibarat emas dan Loyang perbedaan mereka.

“Bahkan kalau ia jadi kepala desapun, tak sudi saya mempunyai menantu anak

juru masak !“ bentak Mangkudun. Dan tak lama berselang, kabar ini berdengung

juga di telinga Arizal.

“Dia laki – laki taat, jujur, bertanggung jawab. Renggo yakin kami berjodoh.“

“Apa kau bilang? jodoh? saya tidak rela kamu berjodoh dengan Arizal. Akan saya

carikan jodoh yang bermartabat !“


“Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak ?“

“Jatuh martabat keluarga kita bila laki – laki itu jadi suamimu. Paham kau ?“

Derajat keluarga Arizal memang seumpama lurah tak berbatu, seperti sawah tak

berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tetapi tidak patut rasanya Mangkudun memandang
dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati Arizal

meninggalkan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa luka hati.

Awalnya ia hanya tukang cuci piring di rumah makan milik seorang perantau dari

Lareh Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi sedikit

dikumpulkannya modal, agar tidak selalu bergantung pada induk semang. Berkat

kegigihan dan kerja keras selama bertahun– tahun, Arizal kini sudah menjadi

juragan, punya enam rumah makan dan dua puluh empat anak buah yang tiap hari

sibuk melayani pelanggan.

Barangkali, ada hikmahnya juga Arizal gagal mempersunting anak gadis


Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap disebut orang Lareh Panjang paling sukses di

rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa Makaji ke Jakarta. Lagi pula, sejak ibunya

meninggal, ayahnya itu sendirian saja di rumah, tak ada yang merawat. Adik–

adiknya sudah terbang hambur pula ke negeri orang.

Meski hidup Arizal sudah berada tetapi ia tetap saja membujang. Banyak yang

ingin mengambilnya menjadi menantu, tetapi tak seorang perempuanpun yang

mampu meluluhkan hatinya. Mungkin Arizal masih sulit melupakan Renggogeni,

atau jangan– jangan ia tak sungguh – sungguh melupakan Renggogeni.

***

Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak. Dua kali meriam di tembakkan ke

langit, pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya pusaka peninggalan

sesepuh adat Lareh Panjang dikeluarkan. Bila yang menggelar kenduri orang

berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak sembarang dipertotonkan. Para tetua


kampung menyiapkan pertunjukan puncak guna menyambut mempelai pria. Para

pesilat turut ambil bagian memeriahkan pesta perkawinan anak gadis orang

terkaya di Lareh Panjang itu. Maklumlah, menantu mangudun bukan orang

kebanyakan, tetapi perwira muda kepolisian yang baru dua tahun bertugas, anak

bungsu pensiunan tentara, orang disegani di kampung sebelah. Kabarnya,

Mangkudun sudah banyak membantu laki – laki itu, sejak dari sebelum ia lulus di

akademi perwira kepolisian hingga menjadi perwira muda. Terdengar kabar bahwa perjodohan itu terjadi
karena keluarga pengantin pria hendak membalas

jasa yang dilakukan Mangkudun dimasa lalu.

Betapa beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tetapi, pesta yang digelar

dengan menyembelih tiga ekor kerbau jantan dan tujuh ekor kambing itu tidak

begitu ramai dikunjungi. Orang– orang Lareh Panjang hanya datang di hari

pertama, sekedar hanya melihat benda– benda pusaka adat yang dikeluarkan untuk
menyemarakkan kenduri. Setelah itu mereka berbalik meninggalkan helat.

“Gulai kambingnya tak ada rasa” bisik seorang tamu.

“Kuah gulai rebungnya encer seperi kuah toge. Kembang perut kami dibuatnya.“

“Masakannya tak menyenangkan tak mengundang selera .”

Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai pria diamdiam juga kecewa pada
tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan menu

masakan asal – asalan kurang bumbu, kuah encer, dan daging yang tak kempuh.

“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini ?“ begitu mereka

bertanya – Tanya.

***

Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Arizal, anak laki – laki Makaji datang dari

Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu sudah berada di

Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan menghabiskan hari tuanya

didekat anaknya. Orang–orang Lareh Panjang akan kehilangan juru masak handal
yang pernah ada di kampung itu. Kabar kebergian Makaji sampai juga ke telinga

pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat membayangkan sakitanya

perasaan lelaki itu karena wanita pujaan hatinya dipersunting lelaki lain.

(sumber: Damhuri Muhamad,2009,juru masak: sehimpun cerita pendek, Depok:

Koekoesan)

Anda mungkin juga menyukai