Anda di halaman 1dari 5

Gaya Bahasa dalam Karya Sastra

Sudjiman (1998: 13) menyatakan bahwa sesungguhnya gaya bahasa dapat digunakan dalam
segala ragam bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan ragam sastra, karena gaya bahasa
adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud
tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra,
khususnya teks sastra tertulis. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur
kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang
terdapat dalam sebuah karya sastra.
Jorgense dan Phillips (dalam Ratna, 2009: 84) mengatakan bahwa gaya bahasa bukan sekedar
saluran, tetapi alat yang menggerakkan sekaligus menyusun kembali dunia sosial itu sendiri.
Lebih jauh menurut Simpson (dalam Ratna, 2009: 84) gaya bahasa baik bagi penulis maupun
pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi kemampuan bahasa khususnya bahasa yang
digunakan. Stilistika dengan demikian memperkaya cara berpikir, cara pemahaman, dan cara
perolehan terhadap substansi kultural pada umumnya.
Retorika merupakan penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis yang diperoleh melalui
kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana seorang pengarang menyiasati bahasa sebagai
sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra mencerminkan
sikap dan perasaan pengarang yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan
pembaca. Untuk itu, bentuk pengungkapan bahasa harus efektif dan mampu mendukung gagasan
secara tepat yang memiliki segi estetis sebagai sebuah karya. Kekhasan, ketepatan, dan kebaruan
pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan yang berasal dari imajinasi dan kreatifitas pengarang
dalam pengungkapan bahasa dan gagasan sangat menentukan keefektifan wacana atau karya
yang dihasilkan. Hal ini bisa dikatakan bahwa bahasa akan menentukan nilai kesastraan yang
akan diciptakan.
Karya sastra adalah sebuah wacana yang memiliki kekhasan tersendiri. Seorang pengarang
dengan kreativitasnya mengekspresikan gagasannya dengan menggunakan bahasa dengan
memanfaatkan semua media yang ada dalam bahasa. Gaya berbahasa dan cara pandang seorang
pegarang dalam memanfaatkan dan menggunakan bahasa tidak akan sama satu sama lain dan
tidak dapat ditiru oleh pengarang lain karena hal ini sudah menjadi bagian dari pribadi seorang
pengarang. Kalaupun ada yang meniru pasti akan dapat ditelusuri sejauh mana persamaan atau
perbedaan antara karya yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat diketahui mana karya yang
hanya sebuah jiplakan atau imitasi.
Pemilihan bentuk bahasa yang digunakan pengarang akan berkaitan fungsi dan konteks
pemakaiannya. Pemakaian gaya dalam sastra selalu dikaitkan dengan konteks yang melatar
belakangi pemilihan dan pemakaian bahasa. Semua gaya bahasa itu berkaitan langsung dengan
latar sosial dan kehidupan di mana bahasa itu digunakan.
Melalui gaya bahasa pembaca dapat menilai kepribadian dan kemampuan pengarang, semakin
baik gaya bahasa yang digunakan, semakin baik pula penilaian terhadapnya. Sering dikatakan
bahwa bahasa adalah pengarang yang terekam dalam karya yang dihaslkannya. Oleh sebab itu
setiap pengarang mempunyai gayanya masing-masing.
Jenis-Jenis Gaya Bahasa dalam Karya Sastra
Beberapa ragam majas dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Gaya bahasa perbandingan, terdiri dari: Metafora, personifikasi, asosiasi, alegori, parable,
metonomia, litotes, sinekdopke (dibagi menjadi 2, pares pro toto dan totem pro tate),
eupisme, hiperbola, alusio, antonomasia, perifrase, simile, sinestesia, aptronim,
hipokorisme, dipersonifikasi, disfemisme, fabel, eponym, dan simbolik.
2. Gaya bahasa sindiran, terdiri dari: Ironi, sinisme, sarkasme, innuendo, dan satire.
3. Gaya bahasa penegasan, terdiri dari: Pleonasme, repetisi, paralelisme, klimaks, anti-
klimaks, inversi, elepsi, retoris, koreksio, asimdeton, polisindeton, interupsi, eksklamasio,
enumerasio, preterito, apofagis, pararima, aliterasi, tautologi, sigmatisme, antanaklasis,
alonim, kolokasi, silepsis, dan zeugma.
4. Gaya bahasa pertentangan, terdiri dari: Paradoks, oksimoron, antithesis, kontradiksio
interminis, anakronisme.
1. Gaya bahasa perbandingan
a. Metafora
Penggunaan perbandingan langsung dalam mengungkapkan perasaan penulis. Benda
yang dibandingkan biasanya memiliki persamaan sifat.
Contoh :
 Dewi malam telah keluar dari peraduannya. (dewi malam menggantikan bulan).
 Demi menghidupi keluarganya, ia rela memeras otak dan membanting tulang.
(memeras otak berarti berpikir keras, membanting tulang berarti bekerja keras).
b. Personifikasi
Gaya pengorangan,menganggap benda mati atau tak bergerak dilukiskan seperti manusia.
Contoh :
 Karena terdesak, pisau pun ikut bicara.
 Bulan mengintip dibalik awan, sementara angin semilir membelai rambutku.
c. Asosiasi
Gaya bahasa ini memberikan perbandingan terhadap benda yang sudah disebutkan.
Perbandingan ini memberikan gambaran sehingga hal yang disebutkan menjadi lebih
jelas.
Contoh :
 Mukanya pucat bagai bulan kesiangan.
 Suaranya merdu bagai bulu perindu.
d. Alegori
Penggunaan perbandingan secara utuh, biasanya berupa kiasan.
Contoh :
 “…Aduhai bunga melati. Putih berseri. Ingin kusentuh kelopakmu. Semerbak
wangimu kurindu. Mahkotamu menjulai lunglai permai. Tidurku selimutkan
mimpi atasmu…”
e. Simbolik
Gaya yang menggunakan bahasa tertentu sebagai symbol atau lambang.
Contoh :
 Melati lambing kesucian.
 Bunglon lambing bagi orang yang tidak tetap pendiriannya.
f. Metonimia
Penggunaan ungkapan sebagai pengganti nama atau keadaan yang sebenarnya.
Contoh ;
 Ia tengah menyasikan film Si Pincang.
 Si Belang datang
g. Litotes
Penggunaan ungkapan yang berlawanan dengan keadaan sebenarnya dengan maksud
untuk merendahkan diri.
Contoh :
 Bila ada waktu mampirlah ke gubuk kami.
 Usaha kami ini hanya setitik kecil dari samudra yang luas.
h. Sinekdoke
Penggunaan gaya dengan cara menyebutkan bagian atau keseluruhan. Gaya ini dibagi
menjadi dua macam, yaitu :
 Pars pro toto
Penggunaan bagian suatu benda atau keadaan sedangkan yang dimaksud adalah
keseluruhan. Contoh : Hamdan memelihara dua puluh ekor lembu.
 Totem proparte
Gaya bahasa yang terjadi oleh sebab menyebutkan keseluruhan benda, sedangkan
yang diaksud adalah sebagian. Contoh : Rakyat Indonesia bahu-membahu melawan
Belanda, Pati merebut piala bergilir Gubernur Jawa Tengah dalam perlombaan itu.
i. Eufemisme
Gaya bahasa pelembut, dengan maksud untuk berlaku sopan.
Contoh :
 Amin tidak naik kelas karena kurang pandai (bodoh)
 Kami mohon izin ke belakang sebentar
j. Hiperbola
Penggunaan ungkapan dengan cara yang berlebihan.
Contoh :
 Suaranya menggelegar membelah angkasa.
 Kenaikan harga BBM mencekik leher.
k. Parifrasis
Penggunaan sepatah kata pengganti dengan serangkaian kata yang mengandung arti yang
sama dengan kata yang digantikan itu.
Contoh :
 Pagi-pagi berangkatlah kami. Kalimat ini diganti : ketika sang surya keluar dari
peraduannya, berangkatlah kami.
 Kereta api berlari terus. Kalimat ini diganti : kuda besi itu berlari terus
 
2. Gaya Bahasa Sindiran
a. Ironi
Ialah salah satu majas sindiran yang dikatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya
dengan maksud menyindir orang dan diungkapkan secara halus. Contoh-contoh:
 Hambur-hamburkan terus uangmu itu agar bias menjadi jutawan.
 Kota Bandung sangatlah indah dengan sampah-sampahnya.
b. Sinisme
Gaya bahasa sindiran yang lebih kasar dari gaya ironi.
Contoh :
 Otakmu otak udang.
 Harum benar bau badanmu, ya?
c. Sarkasme
Gaya bahasa sindiran yang terkasar dimana memaki orang dengan kata-kata kasar dan tak
sopan.
Contoh:
 Soal semudah ini saja tidak bisa dikerjakan. Goblok kau!
1. 3.        Gaya Bahasa Penegasan
1. a.    Pleonasme
Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan
yang sebenarnya tidak diperlukan.
Contoh-contoh:
 Dia turun ke bawah => Dia turun
 ·      Dia naik ke atas => Dia naik
1. b.    Paralelisme
Pengulangan kata-kata untuk menegaskan yang terdapat pada puisi. Bila kata yang diulang pada
awal kalimat dinamakan anaphora, dan jika terdapat pada akhir kalimat dinamakan evipora.
Contoh-contoh:
 Kau berkertas putih
Kau bertinta hitam
Kau beratus halaman
Kau bersampul rapi.
 Kalau kau mau aku akan datang
Jika kau menginginkan aku akan datang
Bila kau minta aku akan datang
Andai kau ingin aku akan datang
 
1. c.    Interupsi
Gaya bahasa penegasan yang mempergunakan sisipan di tengah-tengah kalimat pokok, denagn
maksud untuk menjelaskan sesuatu dalam kalimat tersebut.
Contoh: Tiba-tiba Ia-kekasih itu- direbut oleh perempuan lain.
 
1. d.   Retoris
Gaya bahasa penegasan ini mempergunakan kalimat Tanya-tak-bertanya. Sering menyatakan
kesangsian atau bersifat mengejek.
Contoh-contoh:
 Mana mungkin orang mati hidup lagi?!
 Inikah yang kau namai bekerja?!
 
1. e.    Koreksio
Dipakai untuk membetulkan kembali apa yang salah diucapkan baik yang disengaja maupun
tidak.
Contoh-contoh:
 Dia adikku! Eh, bukan, dia kakakku!
 Gedung Sate berada di Kota Jakarta. Eh, bukan, Gedung Sate berada di Kota Bandung.
 
1. Asimdeton
Beberapa hal keadaan atau benda disebutkan berturut-turut tanpa menggunakan kata
penghubung.
Contoh:
 Meja, kursi, lemari ditangkubkan dalam kamar itu.
1. 4.      Gaya Bahasa Pertentangan
1. a.       Paradoks
Majas ini terlihat seolah-olah ada pertentangan.
Contoh:
 Gajinya besar, tapi hidupnya melarat.
Artinya, uang cukup, tetapi jiwanya menderita.
 
1. b.      Antitesis
Majas pertentangan yang menggunakan paduan kata yang berlawanan arti.
Contoh:
 Tua muda, besar kecil, semuanya hadir di tempat itu.
 
1. c.       Kontradiksio Interminis
Yaitu majas yang memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang sudah dikatakan
semula. Apa yang sudah dikatakan, disangkal lagi oleh ucapan kemudian.
Contoh:
 Semuanya sudah hadir, kecuali Si Amir.
Kalau masih ada yang belum hadir, mengapa dikatakan “semua” sudah hadir.

Anda mungkin juga menyukai