Anda di halaman 1dari 6

Menurut Badudu (1975: 70-85) Gaya bahasa dapat dibedakan menjadi :

1. Gaya bahasa perbandingan (15 Majas)


2. Gaya bahasa Sindiran (3 Majas)
3. Gaya bahasa penegasan (16 Majas)
4. Gaya bahasa pertentangan (4 Majas)

1. Gaya bahasa Perbandingan


- Metafora  majas yang membandingkan suatu benda dengan benda lain
secara langsung.
Misalnya : a. Pemuda adalah tulang punggung negara (penerus
bangsa, generasi bangsa)
b. Mendadak darah saya mendidih mendengarkan kata-katanya
yang kasar (amarah)
c. Ayah adalah tulang punggung keluarga

- Personifikasi  Biasa disebut benda-benda mati yang digambarkan


memiliki sifat dan perbuatan seperti manusia.
Misalnya : a. Angin menggosok-gosok punggungnya. (merinding)
b. Bulan tersenyum menyaksikan kebahagiaan kedua mempelai.

- Asosiasi (perumpamaan)  gaya bahasa ini memberikan perbandingan


antara suatu benda yang sudah disebutkan. Perbandingan tersebut
menimbulkan asosiasi terhadap benda tadi sehingga gambaran tentang
benda atau hal yang disebutkan itu menjadi jelas.
Misalnya : a. Mukanya pucat bagai bulan kesiangan. (Bulan yang
kesiangan, bulan yang masih tampak ketika matahari sudah
terbit, warnanya kuning pucat, menimbulkan asosiasi terhadap
muka orang yang dilukiskan itu)
b. Semangatnya keras bagai baja.
c. Wajahnya kuning bersinar bagaikan bulan purnama

- Alegori  Gaya bahasa ini memperlihatkan perbandingan utuh. Beberapa


perbandingan yang bertautan satu dengan yang lain membentuk satu
kesatuan yang utuh. Alegori biasanya berbentuk cerita yang penuh dengan
simbol-simbol bermuatan moral.
Misalnya : a. Suami sebagai Nahkoda, istri sebagai Juru Mudi
(diibaratkan suami adalah panutan atau imam dalam rumah
tangga sedangkan istri sebagai penuntun atau pengarah dalam
rumah tangga)

- Simbolik  Gaya bahasa kiasan yang melukiskan suatu keadaan dengan


mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol atau perlambang.
Misalnya : A. Ia terkenal sebagai buaya darat. (playboy)
B. Rumah itu hangus dilalap si jago merah. (api)
C. Sopia dipredikatkan kembang desa di kota itu. (wanita yang
paling cantik di desa itu = primadona)
- Tropen  Gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang tepat dan
sejajar, artinya dengan pengertian yang dimaksud.
Misalnya : A. Besok Bapak Presiden akan terbang ke Surabaya.
B. Dia duduk sambil melamun, hanyut dibawa perasaannya.

- Metonimia  gaya bahasa yang menggunakan nama merek yang


mengasosiasikan sebuah benda yang memang sangat dikenal dengan
nama merek tersebut.
Misalkan : A. Dia minum aqua
B. Dia datang memakai kijang (merk/tipe)

- Litotes  suatu cara mengemukakan sesuatu dengan maksud


merendahkan diri. Namun, hal yang dinyatakan tidak sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya.
Misalnya :A. Jika kamu tidak keberatan, silakan datang ke gubug saya.
B. Terimalah barang yang tidak berharga ini sebagai ucapan
terima kasih.

- Sinekdoke  suatu cara mengemukakan sesuatu dengan menyebutkan


bagian-bagiannya saja atau sebaliknya; menyatakan suatu keseluruhan
dengan maksud sebagian saja.
Yang menyatakan sebagian untuk keseluruhan disebut PARS PRO
TOTO, Sedangkan yang menyebutkan keseluruhan tetapi dimaksudkan
sebagian saja yaitu TOTEM PRO PARTE.

Contoh pars pro toto :


a. Sudah lama saya tidak melihat batang hidungnya
b. Untuk dapat melihat pertunjukkan itu, setiap kepala diharuskan
membayar Rp100.000

Contoh totem pro parte :


a. Dalam pertandingan kemarin petang, Jakarta berhasil meng-unggul-i
Balikpapan dengan 3-0 langsung.

- Eponim  suatu cara melukiskan sesuatu dengan mengambil sifat-sifat


yang dimiliki oleh nama-nama yang telah terkenal.
Misalnya : A. Lihatlah, srikandi-srikandi kita sedang berbaris dengan
tegapnya!

- Hiperbola  suatu cara untuk menyatakan sesuatu dengan berlebih-


lebihan.
Misalnya : A. Suaranya menggelegar membelah angkasa

- Eufimisme  Ungkapan penghalus; suatu cara mengemukakan pikiran


atau perasaan dengan menggunakan kata-kata yang baik agar tidak
menyinggung perasaan orang lain.
Misalkan : A. Pelayan toko disebut pramuniaga
- Alusio  pernyataan atau maksud yang disampaikan secara kiasan, tetapi
hanya sebagian saja karena masyarakat dianggap sudah mengetahui
kelanjutan dan maksud yang sebenarnya.
Misalkan : A. Sudah selayaknya dalam setiap usaha kita harus selalu
berakit-rakit ke hulu. (bersusah dahulu)
- Antonomasia  Gaya bahasa yang menggunakan ciri fisik seseorang
untuk dipakai sebagai nama panggilan, seperti orang gemuk yang
dipanggil Si Gemuk, dll.

- Perifrasis  Gaya bahasa penguraian. Sepatah kata diganti dengan


serangkaian kata yang mengandung arti yang sama dengan kata yang
digantikan.
Misa lnya : A. Kereta Api itu berlari terus. (Motor)
B. Budi ke Surabaya menumpangi burung besi.

Gaya Bahasa Sindiran


1. Ironi  suatu cara menyindir dengan mengatakan yang sebaliknya.
Misalnya : Wah, pintar memang kau, mengerjakan soal semudah itu tidak
satu pun yang betul.
2. Sinisme  Gaya bahasa sindiran, tetapi lebih kasar daripada ironi.
Perbedaannya terletak pada nada sindiran yang kasar. Contohnya :
- Muntah aku melihat perangaimu yang tak juga pernah berubah ini!
3. Sarkasme  suatu ejekan atas sindiran dengan kata-kata yang kasar.
Misalnya : A. Tulikah kamu, dipanggil sejak tadi tidak datang-datang juga.

Gaya Bahasa Penegasan (16 Majas)


1. Pleonasme  suatu cara memperjelas maksud dengan menggunakan
kata berlebih. Biasanya dengan memberi keterangan di belakang kata
atau bagian kalimat yang diperjelas maksudnya tersebut.
Misalkan : A. Benar, peristiwa itu kusaksikan dengan mata kepalaku
sendiri.

2. Repetisi (pengulangan)  Suatu cara untuk memperkuat makna atau


maksud dengan mengulang kata atau bagian kalimat yang maksudnya
hendak diperkuat.
Misalnya : - Untuk mencapai cita-citamu itu, satu hal jangan kau
lupakan ialah belajar, belajar, dan sekali lagi belajar.

3. Pararelisme (kesinambungan) Jika dalam bahasa prosa gaya


pengulangan kata untuk penegasan dinamakan repetisi, maka dalam
puisi hal tersebut dinamakan pararelisme.
Bila kata yang diulang terdapat pada awal kalimat disebut anafora dan
jika pada akhir kalimat disebut epifora.
Contoh anafora :
Junjunganku,
Apatah kekal
Apatah tetap
Apatah tak bersalin rupa
Apatah boga sepanjang masa
(Amir Hamzah)

Contoh epifora :
Kalau kau mau, aku akan datang
Jika kau kehendaki, aku akan datang
Bila kau minta, aku akan datang

4. Tautologi
Gaya bahasa penegasan dengan mengulang beberapi kali kata dalam
sebuah kalimat. Dapat juga dengan mempergunakan beberapa kata
bersinonim berturut-turut dalam sebuah kalimat, yang seperti ini
disebut gaya bahasa sinonimi, karena menggunakan kata-kata yang
bersinonim.
Contoh :
o Disuruhnya aku bersabar, bersabar, dan sekali lagi aku bersabar,
tetapi aku tak tahan lagi.

Contoh tautologi / sinonimi :


o Kehendak dan keinginan kami ialah supaya dia menjadi seorang
yang berguna juga kelak.
o Siapa orang takkan tertarik kepada orang yang ramah, baik hati,
serta berbudi seperti dia.
5. Klimaks
Gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali
semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan
sebelumnya. Misalnya :
o Bukan hanya beratus, beribu, malah berjuta orang yang telah
menderita akibat peperangan.
o Dari kecil hingga dewasa, malah sampai setua ini engkau belajar?
Tapi tak juga pandai-pandai.

6. Antiklimaks
Gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang diurutkan
dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting.
Contoh :
o Kakeknya, ayahnya, dia sendiri, dan kini anaknya semuanya tak
ada yang luput dari penyakit turunan itu.

7. Inversi
Gaya bahasa inversi dipergunakan bila predikat kalimat hendak lebih
dipentingkan daripada subjeknya, lalu ditempatkan di depan subjek.
Contoh :
o Tak terkabul permintaannya. (tak terkabul = predikat, permintaan =
objek, -nya = subjek)
8. Elipsis
Kalimat yang subjeknya atau predikatnya tak lagi disebutkan karena
dianggap sudah diketahui.
Contoh :
- Pergilah!

9. Retoris
Gaya bahasa penegasan ini mempergunakan kalimat tanya yang
sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Seringkali, kalimat retoris
menyatakan kesangsian atau bersifat mengejek.
(Dalam bahasa pidato, kalimat retoris digunakan bukan dimaksudkan
untuk bertanya, melainkan untuk menegaskan.
Contoh :
Menegaskan : “Mana mungkin orang mati hidup kembali?”
Ejekan : “Inikah yang kau namai bekerja?”

10. Koreksio
Gaya bahasa koreksio dipakai bila akan membetulkan kembali hal
yang sudah diucapkan baik yang diucapkan dengan sengaja ataupun
tidak.
Contoh :
- Ibu ada di dapur, eh, bukan, di kamar mandi.
- Silakan pulang Saudara-saudara, eh maaf, silakan makan!

11. Asindenton
Beberapa hal, keadaan, atau benda disebutkan berturut-turut tanpa
mempergunakan kata penghubung (konjungsi).

Contoh :
o Meja, kursi, lemari ditaruh saja dalam kamar itu.
o Kain-kain, barang pecah-belah, mainan anak-anak semua ada
dijual di toko tersebut.
12.Polisindeton
Gaya bahasa di polisindenton mempergunakan banyak kata
penghubung dalam sebuah kalimat.
Contoh :
o Setelah pekerjaannya selesai, maka berkemas-kemaslah dia akan
pulang karena hari sudah mulai gelap, lagipula mendung-mendung
tanda hari akan hujan.
13.Interupsi
Gaya bahasa penegasan yang menggunakan sisipan (kata atau
frasa) di tengah-tengah kalimat pokok dengan maksud untuk
menjelaskan sesuatu.
(Biasanya bagian yang merupakan interupsi dituliskan di antara tanda
kurung atau garis tanda pisah.)
Contoh :
- Tiba-tiba ia-suami itu-direbut oleh perempuan lain.

14.Eksklamasio
Gaya bahasa yang menggunakan kata seru untuk penegas. Misalnya :
- Wah, biar, biar kupeluk, ah, dengan tangan menggigil.
- Aduhai hidup. Nikmat nian rasanya “kau hidup.”
15.Enumerasio
Beberapa peristiwa yang membentuk satu kesatuan dilukiskan
satu per satu supaya tampak jelas. Misalnya :
Laut tenang. Di atas permadani biru itu tampak satu perahu nelayan
berlayar perlahan-lahan. Angin berhembus sepoi-sepoi. Bulan bersinar
dengan terangnya. Di sana-sini bintang gemerlapan. Semuanya
berpadu membentuk suatu lukisan yang harmonis. Itulah keindahan
sejati.

16.Preterito
Dalam gaya bahasa ini, pengarang seolah-olah menyembunyikan atau
merahasiakan sesuatu. Pembaca dibiarkan mengungkapkan sendiri
hal yang sengaja dihilangkan atau tidak disebutkan. Contohnya :
o Tentang ramainya pasar malam itu, tak usahlah kuceritakan dulu.
Biarlah engkau sendiri menyaksikannya.
o Saya takkan berpanjang kalam lagi tentang peristiwa itu. Nasi
sudah menjadi bubur, apa hendak dikata.

Gaya Bahasa Pertentangan


1. Paradoks
Gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan
fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang
menarik perhatian karena kebenarannya. Contoh :
- Dia kaya, tetapi miskin.
- Gajinya besar, tapi hidupnya melarat.

2. Antitesis
Gaya bahasa pertentangan yang menggunakan paduan kata yang
berlawanan arti. Misalnya :
- Tua muda, besar kecil, pria wanita hadir dalam keramaian itu.
- Hidup matinya, susah senangnya serahkanlah kepadaku.

3. Kontradiksio in terminis
gaya bahasa ini memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan
hal yang sudah diungkapkan semula.
Contoh :
- Semua sudah hadir, kecuali si Amir.

4. Anakronisme
Gaya bahasa ini menunjukkan dalam uraian ada sesuatu yang tak
sesuai dengan sejarah. Sesuatu yang diceritakan atau disebutkan
dalam sebuah cerita sebenarnya belum ada pada masa itu.
Contoh :

Anda mungkin juga menyukai