Anda di halaman 1dari 14

Eksipien Untuk Sediaan Cair Oral

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Farmasi dan


Rancangan Formulasi

Dosen Pengampu: Dr. Anita Sukmawati, Ph.d, Apt.

Kelompok 3:
Nursalinda Kusumawati (V100180013)
Anggun Mahiroton Nur Sholihah (V100180014)
Indriyanti Widyaratna (V100180015)

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS FARMASI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
PENDAHULUAN

Obat oral sebagai salah satu produk dari industri kefarmasian tersedia dalam
berbagai bentuk sediaan, seperti sediaan padat yang meliputi tablet, kapsul,
pulveres, pil, dan kaplet. Selain tersedia dalam sediaan padat, beberapa obat juga
tersedia dalam bentuk sediaan cair seperti larutan, emulsi, suspensi, dan
konsentrat. Jika dibandingkan dengan sediaan padat, sediaan cair lebih
menawarkan banyak keuntungan kepada beberapa kategori pasien. Misalnya, obat
dalam bentuk cair dapat memberikan tingkat kepatuhan minum obat yang tinggi
bagi mereka yang sulit menelan obat dengan sediaan padat. Selain itu, obat
sediaan cair juga memberikan kontrol dosis yang lebih baik dibandingkan dengan
dosis obat dalam sediaan padat. Selain itu, keuntungan sediaan cair oral
dibandingkan dengan sediaan padat oral, salah satu yang terpenting adalah
sediaan cair oral tidak ada waktu disolusi dan cepatnya waktu absorpsi pada usus
sehingga dapat meminimalisir rasa sakit. Namun keuntungan yang dimiliki oleh
sediaan cair oral tidak melepasnya dari kerugiaan sediaan tersebut, yaitu risiko
obat mencapai puncak kadar plasma yang terlalu cepat, yang dapat memberikan
bahaya bagi konsumen.
Oleh karena itu, industri farmasi dalam tahap mengembangkan sediaan cair
oral untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Dalam pengembangan sediaan cair
ini bertujuan untuk mengatasi kerugian sediaan cair oral yang cepat dalam
mencapai puncak kadar plasma. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan
memodifikasi eksipien untuk menciptakan profil pelepasan obat yang terkendali
pada sediaan cair oral. Maka dalam makalah ini akan dibahas tentang eksipien
untuk sedian cair oral meliputi jenis eksipien yang sering digunakan dalam
formulasi sediaan cari oral, pertimbangan-pertimbangan dalam pemilihan eksipien
untuk sediaan cair oral dan perubahan polimorfi yang terjadi pada sediaan cair
oral.
PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Pemilihan Eksipien Sediaan Cair Oral


Ketika industri farmasi ingin melakukan pengembangan formulasi untuk
sediaan cair oral, maka yang harus dipertimbangkan adalah karakteristik bahan
aktif obat. Beberapa tantangan yang harus diperhatikan dalam pengembangan
formulasi sediaan cair oral adalah stabilitas obat dalam bentuk larutan, kelarutan
(solubilitas) obat pada tingkat yang dibutuhkan, dan rasa obat yang dapat diterima
oleh konsumen. Untuk mengatasi tantangan ini, maka harus menggunakan
eksipien yang efektif dan sesuai. Karena kompatibilitas suatu eksipien pada obat
sediaan padat akan berbeda dengan obat sediaan cair. Eksipien merupakan bahan
yang ditambahkan dalam formulasi sediaan farmasi selain bahan aktif, yang
digunakan dengan berbagai fungsi dan tujuan (Faridha, 2008). Fungsi dan tujuan
penggunaan eksipien antara lain sebagai pelarut, pemanis, pewarna, pengental,
pengawet, pensuspensi, dan buffer. Jadi, jika mekanisme degradasi obat itu sudah
dipahami oleh formulator, maka proses pemilihan eksipien untuk sediaan cair oral
akan lebih mudah.
Untuk memilih eksipien yang tepat secara efektif, maka perlu pemahaman
tentang karakteristik obat yang akan dibuat, seperti sifat fisika kimia obat yang
meliputi kelarutan, stabilitas pH , serta nilai pKa obat tersebut dan profil
pelepasan obat (liberasi) yang ditargetkan.
1. Tingkat Potensial Hidrogen (pH)
Pertama yang harus diperhatikan dalam pembuatan sediaan obat cair oral
adalah nilai pH dari obat tersebut. Nilai pH pada obat akan mempengaruhi
kelarutan obat dalam tubuh. Kestabilan nilai pH pada sediaan cair oral juga
dapat menjadi faktor pertimbangan dalam memilih bentuk sediaan cair oral
yang tepat. Jika nilai pH cukup stabil dan juga mendekati nilai kelarutan asam
basa (pKa), maka bentuk sediaan larutan atau sirup dapat menjadi pilihan.
Namun, jika dengan nilai pH yang cukup stabil namun belum mendekati nilai
pKa, maka bentuk sediaan cair yang dapat diformulasikan adalah bentuk
suspensi. Dari sini dapat disimpulkan, bahawa nilai pH juga harus
disesuaikan dengan nilai pKa obat.
Untuk mengetahui suatu obat lebih cocok dengan bentuk sediaan larutan
atau suspensi adalah dengan tumpang tindih profil stabilitas pH dan profil
kelarutan pH. Dari hasil tumpang tundih ini, akan memberikan saran bentuk
sediaan yang paling tepat dan kemudian jenis eksipien yang dibutuhkan.
2. Liberasi Obat
Penentuan pengembangan sediaan larutan, sirup ataupun suspensi juga
dipengaruhi oleh faktor lain, seperti profil liberasi obat yang ditargetkan.
Liberasi merupakan peleburan atau pelepasan zat aktif obat ketika memasuki
tubuh. Penggunaan eksipien dalam hal ini bertujuan untuk mengontrol
pelepasan bahan obat sehingga obat menjadi efektif. Dalam konsentrat oral,
eksipien juga digunakan untuk melindungi obat yang tidak stabil dalam
rentang pH yang mudah terhidrolisis atau teroksidasi dengan menghambat
interaksinya dengan air.

Pemilihan eksipien untuk sediaan cair oral dapat dilakukan setelah


menentukan bentuk sediaan cair yang dipilih. Karena karakteristik eksipien harus
sesuai dengan bahan aktif obat dan bentuk sediaan yang akan dibuat. Dalam
pengujian kompatibilitas obat dan eksipien perbandingan campuran adalah 1 : 1.
Ketika mempelajari kompatibilitas obat dan eksipien untuk sediaan cair oral,
beberapa parameter penting yang harus diperhatikan, yaitu perubahan viskositas,
warna, dan pH eksipien selama uji stabilitas, karena dapat mempengaruhi bahan
aktif dalam larutan. Polimerisasi atau kristalisasi eksipien juga dapat
menyebabkan perubahan stabilitas, konsentrasi, dan homogenitas obat dalam
larutan.
Untuk mendapatkan produk sediaan cair oral yang baik, banyak industri
farmasi yang menggunakan pendekatan melalui skrining high-htrough untuk
menentukan kombinasi optimal eksipien dalam formulasinya. Dalam kombinasi
ini, eksipien-eksipien (plasebo) ataupun eksipien-obat inkompatibilitas harus
benar-benar diperhatikan. Namun, obat yang baik adalah obat dengan jumlah
eksipien yang sedikit. Karenanya harus benar mengetahui fungsi eksipien yang
digunakan, sebab beberapa eksipien memiliki fungsi lebih dari satu.
Selain kompatibilitas dan fungsionalitas eksipien dalam formulasi, ada
beberapa parameter lain yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan eksipien.
Berikut tabel yang menunjukkan beberapa parameter yang harus dipertimbangkan
dalam pemilihan eksipien:

Salah satu yang harus dipertimbangkan adalah cost atau biaya produksi.
Penggunaan eksipien harus memperhatikan juga biaya yang dikeluarkan dengan
pertimbangan efektivitas dan efiseiensi eksipien. Karena penggunaan eksipien
tidak akan menguntungkan bagi industri farmasi itu sendiri jika produk yang
dihasilkan tidak baik dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu
dalam pemilihan eksipien, formulator juga mempertimbangkan waktu
pencampuran dan kemudahan dalam produksi dalam jumlah besar. Jika eksipien
sangat sulit untuk diproses, maka dapat menyebabkan masalah dalam peracikan,
seperti berbusa, sedimentasi, flokulasi partikel, atau gelembung pada adonan
formulasi.
Dalam memilih eksipien untuk sediaan cair oral, maka ukuran partikel
eksipien juga harus dipertimbangkan. Karena larutan oral melibatkan proses
penyaringan yang biasanya menggunakan mesh dengan ukuran pori 10 mm untuk
membuang partikel asing yang mengganggu bentuk sediaan tersebut. Penurunan
tekanan pada proses filtrasi dapat dipengaruhi oleh jumlah dan jenis eksipien yang
digunakan. Jika terjadi perubahan tekanan dari yang telah ditentukan, maka
menyebabkan perubahan konsentrasi obat atau karakteristik obat lainnya seperti
viskositas atau kepadatan, dan batch yang tidak memiliki keseragaman yang baik.
Jadi akan sangat baik jika sebelum memilih eksipien, memahami secara jelas
karakteristik, sifat, fungsi, kekurangan, kelebihan, tingkat kemurnian, serta jenis
reologi eksipien dalam formulasi tersebut.

B. Jenis Eksipien Sediaan Cair Oral


Larutan oral adalah sediaan cair yang dibuat untuk pemberian oral,
mengandung satu atau lebih zat dengan atau tanpa bahan pengaroma, pemanis
atau pewarna yang larut dalam air atau campuran kosolven air. Beberapa sediaan
yang termasuk larutan oral:
1. Sirup adalah larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain dalam
kadar tinggi (sirup simplex adalah sirup yang hampir jenuh dengan sukrosa).
Larutan oral yang tidak mengandung gula tetapi bahan pemanis buatan seperti
sorbitol atau aspartam dan bahan pengental seperti gom selulosa, sering
digunakan untuk penderita diabetes.
2. Eliksir adalah larutan yang mengandung etanol (95%) sebagai kosolven
(pelarut). Utuk mengurangi kadar etanol yang dibutuhkan untuk pelarut dapat
ditambahkan kosolven lain seperti gliserin dan propilen glikol.
Bahan tambahan yang biasa digunakan dalam sediaan cair oral sebagai
pelarut dan yang biasa digunakan adalah:
1. Propylene glycol (PG)
2. Alkohol seperti etanol
3. Gula seperti sorbitol
4. Polyethylene glycols seperti PEG-400, polivinil pirolidon

Solubilisasi
Dalam larutan berbasis air, pelarut digunakan untuk memodifikasi polaritas
air untuk memungkinkan peningkatan kelarutan obat nonpolar. Ini adalah
keseimbangan antara kekuatan entropi yang mendorong solubilisasi zat terlarut
dan faktor entalpi yang menentang pencampuran (padat) (biasanya API) dan fase
cair (kendaraan pengiriman) bersama-sama. Beberapa eksipien tipikal yang
digunakan sebagai pelarut dalam bentuk sediaan cairan oral adalah propilena
glikol (PG), alkohol seperti etanol, gula seperti sebagai sorbitol, atau polietilen
glikol seperti PEG-400. Ada banyak jenis turunan untuk masing-masing
kelompok umum ini. Kemampuan polimer seperti polietilen glikol atau polivinil
pirolidon untuk mempengaruhi kelarutan tergantung pada unit polaritas
pengulangan monomerik dan kelompok akhir. Namun, tidak hanya polaritas yang
diubah pada penambahan pelarutan (cosolvent), tetapi juga densitas, tegangan
permukaan, viskositas, titik didih, dan panas spesifik larutan, yang semuanya
dapat terpengaruh dengan berbagai cara yang dipengaruhi berbagai cara.

Compleksasi
Adapun cara untuk meningkatkan kelarutan obat dalam larutan adalah dengan
menggunakan agen pengompleks seperti siklodekstrin. Siklodekstrin memiliki
berbagai ukuran cincin, yang membentuk kompleks dengan obat untuk
meningkatkannya kelarutan dan / atau stabilitas. Selain berbagai ukuran cincin,
siklodekstrin telah dimodifikasi pada gugus hidroksil gula dengan substituen
nonpolar dan polar seperti dimetil, hidroksialkil, atau gugus glukosida. Tingkat
substitusi juga dapat mempengaruhi ukuran dan bentuk rongga cincin dan karena
itu kompleksnya obat.
Penambahan surfaktan atau kosolvent ke kompleks cyclodextrin-drug
mungkin memiliki berbagai efek. Komplek dapat distabilkan dengan peningkatan
koefisien dengan pengikatan alkohol yang mengelilingi obat di dalam rongga
siklodekstrin mengarah ke 'kecocokan' yang lebih baik. Jika alkohol menghalangi
secara sterosis obat dari pembentukan kompleks, maka efek pelarutan
siklodekstrin akan menurun.

Bahan Pemanis
Bahan pemanis dapat memainkan sejumlah peran penting dalam formulasi
cairan oral seperti meningkatkan rasa, menutupi rasa pahit, dan / atau
meningkatkan viskositas. Bahan pemanis dibagi menjadi 2 yaitu bahan pemanis
sintetik dan bahan pemanis alami.
1. Bahan pemanis alami
Agen pemanis dapat memainkan peran yang penting dalam bentuk oral
oral seperti meningkatkan rasa, rasa pahit, dan / atau meningkatkan
viskositas.

2. Pemanis sintetik
Salah satu karakteristik yang dimiliki pemanis sintetik adalah rasa manis
nya yang lebih manis daripada sukrosa. Hasilnya, akan dibutuhkan pemanis
dengan konsentrasi kecil yang akan memperkecil biaya maupun resiko
incompactible dengan obat atau dengan bahan tambahan.
Kelarutan pada beberapa surfaktan ionik dapat meningkatkan pH. Kelarutan
dalam surfaktan ionik dalam sediaan ionik sebuah senyawa adalah permukaan
aktif (yang memiliki CMC rendah dari pada sediaan ionik) dengan merubah pH
dapat menginduksi CMC.

C. Perubahan Polimorf Pada Sediaan Cair Oral


Kata Polymorphism ’berasal dari kata Yunani, Polus = banyak dan morph =
bentuk. Ini adalah kemampuan suatu zat untuk ada sebagai dua atau lebih fase
kristal yang memiliki pengaturan atau konformasi yang berbeda dari molekul
dalam kisi kristal. Hal ini berpotensi dapat ditemukan dalam bahan kristal
termasuk polimer, mineral, logam dan terkait dengan allotropy yang mengacu
pada padatan unsur. Morfologi lengkap dari suatu material dijelaskan oleh
polimorfisme dan variabel lain seperti kebiasaan kristal, amorf atau defek
kristalografi. Polimorfisme relevan dengan bidang farmasi, agrokimia, pigmen
dan bahan peledak. Unsur karbon adalah contoh paling umum yang menunjukkan
polimorfisme. Itu ada dalam bentuk grafit (heksagonal), berlian (kubik) dan
sebagai fullerene (C60, C70), dan ditunjukkan pada Gambar. 1. Secara
konformasional molekul kaku menunjukkan polimorfisme orientasi atau
pengepakan. Polimorfisme konformasi muncul ketika molekul fleksibel
mengadopsi konformasi yang berbeda dalam struktur kristal yang berbeda.

Gambar 1. Bentuk Polimorf Karbon

Sifat fisikokimia dari bahan farmasi aktif adalah faktor kunci untuk
pengembangan bentuk sediaan yang tepat. Sebagian besar zat organik ada dalam
keadaan padat sebagai polimorf, pseudo-polimorf (solvat) atau bentuk amorf.
Karena semua sifat fisikokimia di negara padat dipengaruhi terutama dalam hal
kelarutan, pembubaran, bioavailibility, kemampuan proses dan stabilitas, itu wajib
untuk menyelidiki perilaku polimorfik bahan aktif. Pseudo-polymorphism berlaku
untuk hidrat dan solvat. Penelitian saat ini dan sifat material senyawa obat aktif
dan eksipien (eksipien adalah bahan yang termasuk dalam sediaan farmasi untuk
tujuan meningkatkan kualitas fisiknya) merupakan bagian integral dari
pengembangan obat.

Kondisi Yang Bertanggung Jawab Atas Pengembangan Berbeda Pada


Bentuk Polymorphic
Polimorf memiliki stabilitas yang berbeda dan dapat secara spontan
mengkonversi dari bentuk metastabil ke bentuk stabil pada suhu tertentu. Mereka
menunjukkan titik leleh, kelarutan, kristal X-ray dan pola difraksi yang berbeda.
Berbagai kondisi dalam proses kristalisasi adalah alasan utama yang bertanggung
jawab untuk pengembangan berbagai bentuk polimorfik. Kondisi ini mencakup:
1. Efek pelarut (pengemasan kristal mungkin berbeda dalam pelarut polar dan
nonpolar).
2. Kotoran tertentu menghambat pola pertumbuhan dan mendukung
pertumbuhan polimorf metastabil.
3. Tingkat kejenuhan dari mana bahan mengkristal (di mana pada umumnya
semakin tinggi konsentrasi di atas kelarutan, semakin besar kemungkinan
pembentukan metastabil).
4. Temperatur di mana kristalisasi dilakukan.
5. Geometri ikatan kovalen (perbedaan yang mengarah pada polimorfisme
konformasi).
6. Ubah kondisi pengadukan.

Polimorf secara luas diklasifikasikan menjadi dua jenis: monotrop dan


enantiotrop. Untuk sistem monotropik, sebidang energi bebas dari berbagai
polimorfik terhadap suhu tidak melintas sebelum semua polimorf meleleh —
dengan kata lain, setiap transisi dari satu polimorf ke lainnya akan menjadi tidak
dapat diubah. Untuk sistem enantiotropik, plot energi bebas terhadap suhu
menunjukkan titik persimpangan sebelum berbagai titik leleh, dan dimungkinkan
untuk mengkonversi secara reversibel antara dua polimorf pada pemanasan dan
pendinginan. Enantiotrop adalah anggota dari sepasang polimorf yang suhu
transisi bersama kurang dari titik leleh dari salah satu polimorf. Setiap
enantiotrope memiliki rentang stabilitas temperaturnya sendiri. Monotropes
adalah anggota dari sepasang polimorf yang tidak memiliki suhu transisi bersama.
Satu monotrop selalu lebih stabil daripada polimorf lainnya di bawah semua
kondisi di mana keadaan padat bisa ada.
Kedua jenis polimorf dapat dengan mudah dipahami dengan melihat grafik.
Pada Gambar. 3 (a), polimorf A stabil di bawah suhu Tt (suhu transisi), memiliki
GA energi lebih rendah daripada polimorf B. Tetapi ketika suhu meningkat dan
menjadi lebih dari Tt, energi bebas GB polimorf B menjadi kurang dari GA ;
sehingga polimorf B menjadi lebih stabil daripada polimorf. Hal ini menimbulkan
sistem enantiotropik dari fase padat. Untuk sistem enantiotropik, transisi
reversibel dapat diamati pada suhu transisi yang pasti di mana kurva energi bebas
melintas, sebelum titik lebur tercapai.
Sedangkan pada Gambar. 3 (b), polimorf A memiliki energi bebas kurang
dari polimorf lainnya di seluruh rentang di bawah titik leleh. Untuk sistem
monotropik, kurva energi bebas tidak melintas, dan karena itu transisi non
reversibel dapat diamati di bawah titik leleh; polimorf dengan kurva energi bebas
yang lebih tinggi dan kelarutan adalah polimorf yang tidak stabil. Secara umum,
adalah mungkin untuk membedakan antara monotrop dan enantiotropes dari
panasnya fusi. Transisi polimorfisme endotermik menunjukkan enantiotropes
sedangkan eksotermik menunjukkan monotrop.
Gambar 2. Variasi energi dengan suhu untuk sistem enantiotropik dan monotropik. Kurva
HA, HB dan HL adalah untuk entalpi, sedangkan ∆Hf1A dan ∆Hf1B mewakili entalpi fusi dan
∆Ht mewakili entalpi transformasi

Karakterisasi Polimorf
Senyawa-senyawa farmasi sering kali memiliki fase-fase padat dalam jumlah
besar pada keadaan metastabil dan stabil dan interpretasi mereka sulit karena
faktor kinetik. Oleh karena itu sejumlah teknik digunakan untuk mempelajari dan
mengkarakterisasi polimorf zat obat. Ada dua tipe utama teknik diferensial panas
yang berguna yang tersedia untuk karakterisasi polimorfisme dalam bahan farmasi
yaitu analisis termal diferensial (DTA) dan kalorimetri pemindaian diferensial
(DSC). Kedua teknik ini memberikan informasi kuantitatif tentang kejadian-
kejadian eksotermik, perubahan kapasitas endotermik dan panas tergantung pada
suhu dan waktu (seperti suhu leleh, kemurnian, transisi gelas, dll.).
Perbedaan mendasar antara DTA dan DSC adalah bahwa pengukuran pertama
perbedaan suhu antara sampel dan referensi sementara DSC mengukur perbedaan
energi. Sebuah studi difraksi sinar-X kristal tunggal yang sukses dapat
memberikan posisi atom yang jelas dan informasi struktural yang lengkap, tetapi
memperoleh kristal tunggal yang cocok untuk penelitian ini menjadi sering
menjadi hambatan. Dalam kasus seperti itu, studi difraksi sinar-X bubuk
menggunakan sampel mikrokristalin menjadi alat utama. Metode lain, termasuk
mikroskopi, analisis termal (misalnya analisis gravimetri termal, dan mikroskopi
hotstage), dan spektroskopi (inframerah, Raman) sangat membantu untuk lebih
mengkarakterisasi bentuk polimorfik.
NMR juga digunakan untuk karakterisasi bentuk polimorfik. Ini mempelajari
lingkungan kimia dari inti yang berbeda dalam polimorf karena ketidaksetaraan
magnetik. Puncak resonansi untuk inti nuklear yang secara magnetik tidak ada
akan berbeda dalam polimorf yang berbeda dan dapat menghasilkan informasi
yang sangat berguna. Metode lain yang cepat dan efisien adalah mempelajari
morfologi kristal dengan mikroskop optik. Sebagai pengulangan sel satuan
mengarah ke pembentukan kristal, fitur ini tercermin dalam penampilan luar
kristal yang dapat diamati oleh lensa tangan sederhana atau mikroskop.
Selanjutnya, penelitian rinci dapat dilakukan dengan menggunakan mikroskop
optik polarisasi, mikroskopi elektron dan mikroskop termal.
Obat-obatan yang sebelumnya dikenal hanya ada dalam bentuk tunggal
sekarang terbukti memiliki berbagai bentuk polimorfik. Ini telah membingungkan
perusahaan farmasi dan sekarang mereka harus menyelidiki polimorfisme kristal
untuk mengoptimalkan sifat fisik dari zat padat farmasi sebelum pengembangan
obat.
DAFTAR PUSTAKA

A.W.Newman and S.R. Byrn. 2003. Solid State Analysis of the Active
Pharmaceutical Ingredient in Drug Product. Drug Discovery Today Vol. 8
pp.898- 905.
Departemen Kesehatan Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi.IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan.
Katdare, Ashok and Chaubal, Mahesh V. 2006. Excipient Development for
Pharmaceutical, Biotechnology, and Drug Delivery System. New York:
Informa healthcare.
Sharma A. et al. 2011. Polymorphism in Pharmaceutical Compounds,
Advancements and Futuristic Trends in Material Science, accessed from
Research Gate.
Soewandhi, Sundani N. 2006. Kristalografi Farmasi I hal: 6-12. Bandung: ITB.

Anda mungkin juga menyukai