Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN TENTANG TEORI KOGNITIF DAN TEORI

SOSIAL

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan

Dosen pengampu : Prof. Dr. Hj. Ulfiah, M.Si

Disusun oleh:

Aryo Bima Fathoni Cahyono 1186000029


Faizah Riyandini 1186000070
Riecha Ilya Hisna 1186000172
Rizqiatul Badriah 1186000178

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

FAKULTAS PSIKOLOGI

2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, dan hidayah-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Teori Kognitif dan Teori
Sosial” sebagai tugas kelompok pada mata kuliah Psikologi Pendidikan.
Makalah ini disusun dalam rangka untuk menyelesaikan tugas dari Prof. Dr. Hj. Ulfiah,
M.Si selaku pengajar mata kuliah Psikologi Pendidikan, dan telah kami susun dengan maksimal,
untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan pada
makalah ini baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Psikologi Pendidikan tentang Teori Kognitif
dan Teori Sosial ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Bandung, 1 Oktober 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... 2
BAB 1 ............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
BAB 2 ............................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN ......................................................................................................................... 5
2.1 TEORI KOGNITIF PIAGET ........................................................................................... 5
A. Perkembangan Intelektual .................................................................................................... 5
B. Tahap Perkembangan Intelektual ......................................................................................... 6
D. Tingkatan Perkembangan Intelektual .................................................................................. 6
2.2 TEORI SOSIAL ............................................................................................................... 7
2.3 Konsep Teori Kognitif Sosial........................................................................................... 9
2.4 Kerangka Pemikiran Teori Kognitif Sosial dalam Pembelajaran .................................. 11
BAB 3 ........................................................................................................................................... 14
PENUTUP..................................................................................................................................... 14
3.1 KESIMPULAN .............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 15

3
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya semua orang pasti setuju bahwa salah satu fungsi penting dari
sekolah adalah membantu murid untuk belajar. Namun, setiap orang juga mempunyai
pandangan yang berbeda-beda mengenai cara yang dianggap efektif untuk mendidik.
Tidak ada kesepakatan utama mengenai cara mendidik yang terbaik. Di dalam Psikologi
pendidikan sendiri, proses pembelajaran dijadikan sebagai fokus utama. Terdapat
bererapa pendekatan dalam Psikologi Pendidikan yang digunakan untuk mengetahui cara
belajar yang efektif agar pembelajaran dapat mengarahkan individu kearah yang lebih
baik secara optimal.

Agar suatu pembelajaran dapat berjalan dengan lebih efektif dan memberi
dampak yang baik bagi individu, maka pendidik perlu memahami teori-teori yang dapat
dijadikan sebagai petunjuk dalam proses pembelajaran. Salah satu teori pembelajaran
yang dapat digunakan adalah teori kognitif piaget dan teori sosial. Dengan begitu, dalam
makalah ini kami akan menerangkan mengenai teori kognitif piaget dan teori sosial
beberapa ahli.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang dibahas dalam teori kognitif Piaget?
2. Apa saja yang dibahas dalam teori sosial Vygotsky?
3. Apa konsep teori kognitif sosial Bandura?
4. Apa saja kerangka Pemikiran Teori Kognitif Sosial dalam Pembelajaran?
C. Tujuan
1. Mengetahui teori kognitif piaget
2. Mengetahui teori sosial Vygotsky
3. Mengetahui konsep teori kognitif sosial Bandura
4. Mengetahui kerangka Pemikiran Teori Kognitif Sosial dalam Pembelajaran

4
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 TEORI KOGNITIF PIAGET


Menurut Piaget, anak dilahirkan dengan beberapa semata sensorimotor, yang memberi
kerangka bagi interaksi awal anak dengan lingkungannya. Pengalaman awal si anak akan
ditentukan oleh skema sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya kejadian yang dapat
diasimilasikan ke skema itulah yang dapat direspon oleh anak oleh sebab itu, kejadian
itulah yang akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi melalui pengalaman
inilah skema awal dimodifikasi. Setiap pengalaman terdapat elemen unik yang harus
dimodifikasi oleh struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur
kognitif akan berubah dan memungkinkan perkembangan pengalaman yang terjadi secara
terus menerus. Tetapi menurut Piaget ini adalah proses yang lambat, karena skema baru
itu terus berkembang dari skema yang sudah ada sebelumnya. Dengan cara ini,
pertumbuhan intelektual yang dimulai dengan respon refleksif anak terhadap lingkungan
akan terus berkembang sampai pada titik dimana anak mampu memikirkan kejadian
potensial dan mampu secara mental mengeksplorasi kemungkinan akibatnya.

A. Perkembangan Intelektual
a) STRUKTUR
Piaget berpendapat bahwa ada hubungan fungsional antara tindakan fisik dan
tindakan mental dan tindakan berpikir logis anak anak. Tindakan (action) menuju
pada perkembangan operasi dan operasi selanjutnya menuju pada perkembangan
struktur. (Ratna Willis Dahar, 2011:34 dalam Fatimah Ibda, 2015). Operasi ini
memiliki 4 ciri, yaitu :
1) Operasi merupakan tindakan yang terinternalisasi. Baik tindakan fisik maupun
tindakan mental terdapat pemisah-misah.
2) Operasi-operasi itu reversibel.
3) Tidak ada operasi yang berdiri sendiri, semua operasi selalu berhubungan dengan
struktur atau sekumpulan operasi.
4) Struktur juga disebut skemata merupakan organisasi mental yang tinggi, satu
tingkat lebih tinggi dari individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya.
Struktur yang terbentuk memudahkan individu menghadapi tuntutan yang
meningkat dari lingkungannya. Diperolehnya suatu struktur atau skemata berarti
telah terjadi perubahan dalam perkembangan intelektual anak. (Ratna Willis
Dahar, 2011 : 34 dalam Fatimah Ibda, 2015).

b) FUNGSI
Menurut Piaget perkembangan Intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu
pengorganisasian dan adaptasi. Organisasi yaitu kecenderungan individu untuk
menyatukan berbagai skema menjadi satu sistem yang Koheren (berkait dan menjadi
5
kesatuan). Sedangkan adaptasi adalah kecenderungan bawaan manusia untuk
melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Ada dua macam adaptasi, yaitu
1. Asimilasi ialah mengubah lingkungan agar sesuai dengan diri sendiri (dengan
skema yang ada pada diri kita).
2. Akomodasi ialah individu mengubah dirinya agar bersesuaian dengan apa yang
akan datang pada lingkungannnya. (Mohd. Surya, 2003:56)

B. Tahap Perkembangan Intelektual


Perkembangan kognitif merupakan pertumbuhan berpikir logis dari masa bayi hingga
dewasa. Menurut Piaget perkembangan yang berlangsung melalui empat tahap :

1. Tahap sensorimotor
Tahap ini berlangsung pada usia 0-1.5 tahun. Aktivitas kognitif terpusat pada alat
dria (sensori) dan gerak motor, artinya pada tahap ini anak hanya mampu
melakukan pengenalan lingkungan dengan alat drianya dan alat geraknya. Keadaan
ini merupakan dasar untuk perkembangan kognitif selanjutnya. Aktivitas
sensorimotor terbentuk melalui proses penyesuaian struktur fisik sebagai hasil dari
interaksi dengan lingkungan. (Mohd. Surya, 2003:56)
2. Tahap pra-operasional
Tahap ini berlangsung pada usia sekitar 1.5- 6 tahun. Pada tahap ini, anak
menunjukkan aktivitas kognitif dalam menghadapi berbagai hal yang ada diluar
dirinya. Cara berfikirnya belum mempunyai sistem yang terorganisasi. Anak sudah
dapat mengenali aktivitas dilingkungan dengan menggunakan tanda-tanda atau
simbol. Cara anak berpikir pada tahap ini terbilang tidak sistematis dan tidak logis.
3. Tahap operasional konkrit
Tahap ini berlangsung pada usia 6 - 12 tahun. Pada tahap ini, anak sudah cukup
matang untuk berpikir menggunakan logika, tetapi hanya pada objek fisik yang ada
saat ini. Egosentris nya berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas
konservatif lebih baik. Namun, tanpa ada objek fisik dihadapannya, anak akan
mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. ( Matt Jarvis,
2011:149-150).
4. Tahap operasional formal
Berlangsung pada usia 12 tahun keatas. Pada tahap ini berlangsung operasi-operasi
baru yang menunjukan bahwa anak dapat menggunakan operasi konkretnya untuk
membentuk operasi yang lebih kompleks.

D. Tingkatan Perkembangan Intelektual


a. Kedewasaan Perkembangan sistem saraf sentral yaitu otak, koordinasi motorik dan
manifestasi fisik lainnya menpengaruhi perkembangan kognitif. Kedewasaan atau

6
maturasi merupakan faktor penting dalam perkembangan intelektual. (Matt Jarvis,
2011: 141).

b. Penalaran Moral Interaksi dengan lingkungan fisik digunakan anak untuk


mengabstrakkan berbagai sifat fisik benda-benda. Bila anak menjatuhkan benda dan
menemukan benda itu pecah atau kalau ia meletakkan benda itu di udara, kemudian ia
melihat benda itu terapung ia sudah terlibat dalam proses abstraksi sederhana atau
abstraksi empiris. Pengalaman ini disebut sebagai pengalaman fisik untuk
membedakannya dengan pengalaman logika-matematika, tetapi juga paradoks
pengalaman fisik ini selalu melibatkan asimilasi pada struktur-struktur logika-
matematika. Pengalaman fisk ini meningkatkan kecepatan perkembangan anak sebab
pengamatan objek-sifat serta sifat-sifat benda itu menolong timbulnya pikiran yang
lebih kompleks. (Matt Jarvis, 2011: 141

c. Pengalaman Logika-Matematika

Pengalaman yang dibangun oleh anak, yaitu ia membangun atau menkonstruks


hubungan-hubungan antara objek-objek. Sebagai contoh, anak-anak yang sedang
mempelajari beberapa kelereng yang dimunculkan dan ia menemukan "jumlah"
Kelereng. Konsep "sepuluh" membahas sifat kelereng-kelereng itu, sebagian
kontruksi lain yang serupa, yang disebut pengalaman logis-matematika. (Matt Jarvis,
2011: 141)

d. Transmisi Sosial
Dalam tansmisi sosial, tahu itu datang dari orang lain, Seperti interaksi bahasa,
percakapan formal dan membaca, interaksi dengan teman-teman dan orang dewasa
juga termasuk faktor transmisi sosial dan memegang peranan dalam pengembangan
(Matt Jarvis, 2011: 142)
e. Pengaturan Sendiri Pengaturan sendiri atau ekuilibrasi mencapai kembali
keseimbangan (equilibrium) selama periode ketidakseimbangan (disequlibrium).
Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat-b erfungsi kognitif yang
iebih tinggi melalui asimilasi dan persiapan tingkat demi tingkat. (Matt Jarvis, 2011:
143). Jika disetujui sendiri sudah disetujui anak, ia mampu menjelaskan hal-hal yang
diterima anak dari lingkungannya, kondisi ini dinamakan keseimbangan. Namun,
anak yang bisa menyelesaikan pembicaraan baru tidak bisa membicarakan tentang
pengaturan diri yang sudah ada, anak-anak yang memecahkan kegelisahan yang tidak
menyenangkan Secara naluriah, kita harus mendapat pemahaman tentang dunia dan
yang terhindar dari disequlibrium. (Matt Jarvis, 2011: 142)

2.2 TEORI SOSIAL


Menurut vygotski bahwa anak-anak lebih banyak belajar melalui interaksi sosial.
Adapun tokoh lain yang membahas mengenai teori sosial yaitu erikson, beliau
menjelaskan perkembangan psikososial. teori Erikson (1968) mengenai psikososial

7
mengklasifikasikan delapan tahap perkembangan yang terungkap ketika manusia melalui
rentang kehidupan. Setiap tahap terdiri atas tugas perkembangan yang dihadapi individu
dengan krisis. Bagi Erikson, setiap krisis bukan bencana melainkan titik balik
peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi. Semakin berhasil individu mengatasi
setiap krisis, akan lebih sehat individu secara psikologis. Setiap tahap memiliki kedua sisi
positif dan negatif.

a) Tahap “kepercayaan vs ketidakpercayaan”.

Tahap ini merupakan tahap psikososial pertama Erikson. Hal ini terjadi pada
tahun pertama kehidupan. Perkembangan kepercayaan membutuhkan
pemeliharaan yang penuh pengasuhan dan kehangatan. Hasil positifnya adalah
perasaan nyaman dan minim rasa takut. Ketidakpercayaan terjadi ketika bayi
diperlakukan terlalu negatif dan diabaikan.

b) Tahap “otonomi vs malu dan ragu”.

Tahap ini merupakan tahap psikososial kedua Erikson. Hal ini terjadi pada akhir
masa bayi dan balita. Setelah memperoleh kepercayaan pengasuh mereka, bayi
mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah mereka sendiri. Mereka
menyatakan kemerdekaan mereka dan menyadari kemauan mereka. Jika bayi
terlalu banyak dibatasi atau dihukum terlalu keras, mereka akan mengembangkan
rasa malu dan keraguannya.

c) Tahap “inisiatif vs rasa bersalah”.

Tahap ini merupakan tahap psikososial ketiga Erikson. Hal ini sesuai dengan
masa anak usia dini, sekitar usia sampai 5 tahun. Ketika anak- anak mengalami
dunia sosial yang melebar, mereka ditantang lebih dari mereka sebagai bayi.
Untuk mengatasi tantangan ini, mereka harus terlibat secara aktif, perilakunya
yang memiliki tujuan yang melibatkan inisiatif. Anak-anak akan mengembangkan
perasaan bersalah yang tidak nyaman jika mereka melihat diri mereka sebagai
tidak bertanggung jawab atau dibuat merasa terlalu cemas.

d) Tahap “industri dan inferioritas”.

Tahap ini merupakan tahap psikososial keempat Erikson. Hal ini sesuai kira- kira
dengan masa sekolah dasar, dari usia 6 tahun hingga pubertasatau remaja awal.
Ketika mereka pindah ketahun sekolah dasar, anak mengarahkan energy mereka
terhadap pengetahuan dan menguasai keterampilan intelektual. Bahanya di tahun-
tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, tidak produktif, dan
ketidakmampuan.

e) Tahap “identitas vs kebingungan identitas”.

8
Tahap ini merupakan tahap psikososial kelima Erikson. Hal ini sesuai dengan
masa remaja. Remaja mencoba untuk mencari tahu siapa mereka, mengenai
tentang apa mereka semua, dan di mana mereka akan hidup. Mereka dihadapkan
dengan banyak peran baru dan status dewasa (seperti kejuruan dan romatis).
Remaja perlu diizinkan untuk mengeksplorasi jalan yang berbeda untuk mencapai
identitas yang sehat. Jika mereka tidak cukup mengeksplorasi peran yang berbeda
dan gagal untuk mengukir jalan yang positif di masa depan, mereka akan tetap
bingung mengenai identitas mereka.

f) Tahap “keintiman vs isolasi”.

Tahap ini merupakan tahap psikososial keenam Erikson. Hal ini sesuai dengan
masa dewasa awal, dua puluhan dan tiga puluhan. Tugas perkembangan adalah
untuk membentuk hubungan positif yang erat dengan orang lain. Hal yang bahaya
dalam tahap ini adalah bahwa seseorang akan gagal untuk membentuk hubungan
intim dengan pasangan romantis atau teman dan menjadi terisolasi secara sosial.

g) Tahap “pembangkitan vs stagnasi”.

Tahap ini merupakan tahap psikososial ketujuh Erikson. Hal ini sesuai dengan
masa dewasa pertengahan, empat puluhan, dan lima puluhan. Pembangkitan
berarti menstransmisi sesuatu yang positif kepada generasi berikutnya. Hal ini
dapat melibatkan peran seperti pengasuhan dan pengajaran di mana orang dewasa
membantu generasi berikutnya dalam mengembangkna hidup yang bermanfaat.
Erikson menggambarkan stagnasi sebagai perasaan yang telah tidak melakukan
apa-apa lagi untuk membantu generasi berikutnya.

h) Tahap “integritas vs putus asa”.

Tahapan ini merupakan tahap kedelapan atau tahap yang terakhir dari teori
psikososial Erikson. Hal ini sesuai dengan masa dewasa akhir, tahun enam
puluhan sampai mati. Orang dewasa cenderung untuk meninjau kehidupan
mereka, mencerminkan pada apa yang telah mereka lakukan. Jika evaluasi
retrospektif positif, mereka mengembangkan rasa integritas. Artinya, mereka
melihat hidup mereka sebagai hidup yang terintegrasi secara positif dan layak.
Sebaliknya, orang dewasa menjadi putus asa jika melirik ke belakang mereka,
terutama mengenai hal negatif.

2.3 Konsep Teori Kognitif Sosial


Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory) merupakan penamaan baru dari Teori
Belajar Sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura.
Penamaan baru dengan nama Teori Kognitif Sosial ini dilakukan pada tahun 1970-an dan
1980-an.

9
Asal mulanya teori ini disebut learning, yaitu belajar dengan mengamati perilaku orang
lain. Dasar pemikirannya adalah belajar dengan cara mengamati perilaku individu. Dan
sebagian perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atas
tingkah laku yang ditampilkan oleh orang lain yang disajikan sebagai model.

Menurut teori belajar social, yang terpenting ialah kemampuan seseorang untuk
mengabstraksikan informasi dari perilaku orang lain, mengambil keputusan mengenai
perilaku mana yang akan ditiru dan kemudian melakukan perilaku-perilaku yang dipilih

Berdasarkan pernyataan diatas konsep utama dari teori kognitif sosial adalah pengertian
tentang obvervational learning atau proses belajar dengan mengamati. Semua informasi
yang dipelajari dan kita peroleh berasla dari interaksi kita dengan orang lain. Jika ada
seorang "model" di dalam lingkungan seorang individu, misalnya saja teman atau
anggota keluarga di dalam lingkungan internal, atau di lingkungan publik seperti para
tokoh publik di bidang berita dan hiburan, proses belajar dari individu ini akan terjadi
melalui cara memperhatikan model tersebut. Terkadang perilaku seseorang bisa timbul
hanya karena proses modeling. Modeling atau peniruan merupakan "the direct,
mechanical reproduction of behavior, reproduksi perilaku yang langsung dan
mekanis(Baran & Davis, 2000: 184). Sebagai contoh, ketika seorang ibu mengajarkan
anaknya bagaimana cara mengikat sepatu dengan memeragakannya berulang kali
sehingga si anak bisa mengikat tali sepatunya, maka proses ini disebut proses modeling.
Sebagai tambahan bagi proses peniruan interpersonal, proses modeling dapat juga terlihat
pada narasumber yang ditampilkan oleh media. Misalnya orang bisa meniru bagaimana
cara memasak kue bika dalam sebuah acara kuliner di televisi. Meski demikian tidak
semua narasumber dapat memengaruhi khalayak, meski contoh yang ditampilkan lebih
mudah dari bagaimana cara membuat kue bika. Di dalam kasus ini, teori kognitif sosial
kembali ke konsep dasar "rewards and punishments" -- imbalan dan hukuman- tetapi
menempatkannya dalam konteks belajar sosial.

Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa ada dua jenis pembelajaran melalui
pengamatan (observational learning). Pertama, pembelajaran melalui pengamatan dapat
terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain atau vicarious conditioning. Contohnya,
seorang pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya kerana perbuatannya,
maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji
oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami
orang lain atau vicarious reinforcement. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan
meniru perilaku suatu model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan atau
pelemahan pada saat pengamat itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan
sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian
atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak
harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan
seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur, M. 1998a:43).
10
2.4 Kerangka Pemikiran Teori Kognitif Sosial dalam Pembelajaran
a) Interaksi Reciprocal (Reciprocal Determinism)
Interaksi reksiprokal menjelaskan bahwa ada tiga faktor penting yang saling
berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam proses pembelajaran. Faktor ini bisa
saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Bandura berpendapat bahwa sesorang
berperilaku tentu karena adannya interaksi antara orang, lingkungan, dan perilaku
orang tersebut, menghasilkan perilaku berikutnya. Dari konsep ini bisa dikatakan
bahwa perilaku mempengaruhi lingkungan, atau lingkungan atau orang
mempengaruhi perilaku.

Gambar 2.1: Hubungan antara tingkah laku (behavioristic), person/kognitif, dan


Lingkungan belajar (Learning environment) menurut Bandura.

b) Vicarious Learning dan Enactive Learning


 Vicarious Learning (Belajar Melalui Pengamatan)
Belajar termotivasi oleh harapan bahwa meniru model dengan baik akan
menuju reinforcement. Pelajar berperilaku karena melihat perilaku orang lain
yang diberi penguat, di mana perilaku orang lain tersebut merupakan
pengalaman yang dialami oleh orang lain. Hal inilah yang disebut vicarious
yaitu mengamati apa yang terjadi pada orang lain. Teknik ini diselidiki secara
otomatis oleh Borden, dkk (dalam glover dkk, 1990), pada dua anak yang
duduk bersebelahan, yaitu Edwin dan Grey. Guru mulai memperhatikan dan
menghargai Edwin dalam mengerjakan tugas-tugas dalam kelas. Perilaku
Edwin bertambah baik. Ternyata perilaku Grey juga bertambah baik walaupun
tidak mendapat penguatan dan guru. Nampaknya Grey belajar dari
pengalaman Edwin.

1. Vicarious Reinforcement

11
Pembelajar yang mengamati orang lain diberi penguatan karena
berperilaku tertentu kemungkinan akan menampilkan perilaku yang sama
lebih sering lagi, suatu fenomena yang dikenal dengan istilah vicarious
reinforcement. (Ormrod, 2008, hal.8)

2. Vicarious Punishment

Sebaliknya, ketika melihat seseorang mendapat hukuman karena perilaku


tertentu, kecil kemungkinan bagi pembelajar untuk mengikuti perilaku
yang sama, suatu fenomena yang dikenal dengan istilah vicarious
punishment. (Ormrod, 2008, hal.8)

 Enactive Learning (Belajar Melalui Perbuatan)

Terdapat banyak perbedaan antara pengetahuan dan keterampilan. Dalam


banyak domain, orang perlu melampaui struktur pengetahuannya untuk
mengembangkan tindakan yang terampil. Pengembangan keterampilan
menuntut orang untuk memiliki konsepsi yang tepat mengenai keterampilan
yang ditargetkannya, yang cocok dengan upayanya untuk ditargetkannya,
untuk melaksanakan keterampilannya tersebut. Pengalaman merupakan
kendaraan untuk menerjamahkan pengetahuan menjadi keterampilan. Orang
menerapkan informasi yang diperolehnya dari pengalaman itu untuk
melakukan penyesuaian dalam aspek ruang dan waktu dari kinerjanya, hingga
apa yang dikerjakannya itu mendekati kecocokan dengan konsepsi kognitifnya
mengenai kinerja terampil itu.

Bandura berpendapat perilaku yang kompleks dapat dipelajari ketika manusia


memikirkan dan mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi dari perilakunya
tersebut. Dimana konsekuensi memiliki tiga fungsi:

a. efek dari tindakan

b. memotivasi perilaku kedepan.

c. memperkuat perilaku.

c) Learning and Performance (Pembelajaran dan Kinerja)

Penjelasan mengenai learning and performance dalam makalah ini akan dijelaskan
melalui ilustrasi eksperimen boneka bobo yang dilakukan oleh Albert Bandura.
Eksperimen ini dilakukan pada tahun 1965 yang mengilustrasikan bagaimana
pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati model yang bukan sebagai
penguat atau penghukum. Eksperimen ini mengilustrasikan perbedaan antara
pembelajaran (learning) dan kinerja (performance). Saat pembelajaran seorang anak

12
akan mengobservasi apa yang dilihatnya, sementara itu dalam kinerjanya anak
tersebut dapat menambahkan perilaku lain yang sebelumnya tidak dicontohkan.
Manusia belajar suatu standar performa (performance standards), yang menjadi dasar
evaluasi diri. Apabila tindakan seseorang bisa sesuai atau bahkan melebihi standar
performa, maka ia akan dinilai positif, tetapi sebaliknya, bila dia tidak mampu
berperilaku sesuai standar, dengan kata lain performanya dibawah standar, maka ia
akan dinilai negatif.

13
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

14
DAFTAR PUSTAKA
https://id.scribd.com/document/356783529/Makalah-Teori-Kognitif-SOSIAL

15

Anda mungkin juga menyukai