Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepuasan Pasien

2.1.1. Defenisi

Kepuasan adalah tingkat kepuasan seseorang setelah membandingkan

kinerja atau hasil yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Jadi kepuasan

atau ketidakpuasan adalah kesimpulan dari interaksi antara harapan dan

pengalaman sesudah memakai jasa atau pelayanan yang diberikan. Apabila

penampilan kurang dari harapan, maka pelanggan tidak dipuaskan, namun apabila

penampilan sebanding dengan harapan, pelanggan puas, dan apabila penampilan

melebihi harapan pelanggan akan sangat puas atau senang (Kotler, 2008).

Pada dasarnya, pengertian kepuasan atau tidak kepuasan konsumen

merupakan perbedaan antar harapan dan kinerja yang dirasakan. Jadi dalam arti

luas pengertian kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah

membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan dibandingkan dengan

harapannya (Ade, Suswitaroza, Aulia, 2012).

Kepuasan pasien merupakan indikator penilaian sistem pelayanan

kesehatan. Oleh karena itu, kepuasan konsumen bagi perusahaan jasa sangat

penting untuk memperluas market dan mcmpertahankan loyalitas konsumen.

Penilaian kepuasan dilakukan secara bertahap, dimulai dengan menentukan

atribut-atribut yang mempengaruhi pengambilan keputusan, proses pengambilan

kinerja, dan sistem pelayanan kesehatan rumah sakit, faktor pendorong kepuasan,

Universitas Sumatera Utara


mengukur tingkat kepuasan keseluruhan maupun tcrhadap masing-masing atribut

(Batara S, 2010).

2.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien

Menurut pendapat Budiastuti (2002) mengemukakan bahwa pasien dalam

mengevaluasi kepuasan terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada

beberapa faktor, antara lain :

1. Kualitas produk atau jasa

Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa

produk atau jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi konsumen terhadap

kualitas poduk atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas

poduk atau jasa yang sesungguhnya dan komunikasi perusahaan terutama

iklan dalam mempromosikan rumah sakitnya.

2. Kualitas pelayanan

Memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan dalam hal ini

pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau

sesuai dengan yang diharapkan.

3. Faktor emosional

Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap

konsumen bila dalam hal ini pasien memilih rumah sakit yang sudah

mempunyai pandangan “rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat

kepuasan yang lebih tinggi.

Universitas Sumatera Utara


4. Harga

Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan

kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini

mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin

mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar.

Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah,

memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.

5. Biaya

Mendapatkan produk atau jasa, pasien yang tidak perlu mengeluarkan biaya

tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa

pelayanan, cenderung puas terhadap jasa pelayanan tersebut.

2.1.3. Pengukuran Kepuasan Klien

Pengukuran kepuasan klien merupakan elemen penting dalam

menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien dan lebih efektif. Apabila

klien merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka

pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Tingkat

kepuasan klien terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam

mengembangkan suatu sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap

kebutuhan klien, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak

pelayan terhadap pelanggan. Tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan

antara kinerja yang dirasakan dengan harapan apabila kinerja dibawah harapan,

maka klien akan kecewa. Bila kinerja sesuai dengan harapan, klien akan sangat

puas. Klien yang puas akan setia lebih lama, kurang sensitive terhadap harga dan

Universitas Sumatera Utara


memberi komentar yang baik tentang pelayanan jasa yang diterimanya (Sugito,

2005).

2.1.4. Komponen Mutu Pelayanan Kesehatan

1. Tangible (dapat diraba)

Mutu jasa pelayanan kesehatan juga dapat dirasakan secara langsung oleh

penggunanya dengan menyediakan fasilitas fisik dan perlengkapan yang

memadai. Para penyedia layanan kesehatan akan mampu bekerja secara

optimal sesuai dengan keterampilan masing-masing. Dalam hal ini perlu

dimasukkan perbaikan sarana komunikasi dan perlengkapan pelayanan yang

tidak langsung seperti tempat parkir dan kenyamanan ruang tunggu. Karena

sifat produk jasa yang tidak bias dilihat, dipegang, atau dirasakan, perlu ada

ukuran lain yang bisa dirasakan lebih nyata oleh para pengguna pelayanan.

Dalam hal ini, pengguna jasa menggunakan indranya (mata, telinga, dan rasa)

untuk menilai kualitas jasa pelayanan kesehatan yang diterima, misalnya

ruang penerimaan pasien yang bersih, nyaman, dilengkapi dengan kursi,

lantai berkeramik, TV, peralatan kantor yang lengkap, seragam sttaf yang

rapi, menarik, dan bersih.

2. Reliability (kehandalan)

Kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan tepat waktu dan

akurat sesuai dengan yang ditawarkan (seperti dalam brosur). Dari kelima

kualitas jasa , reliability dinilai paling penting oleh para pelanggan berbagai

industri jasa. Karena sifat produk jasa yang nonstandardized output, dan

produknya juga sangat tergantung dari aktivitas manusia sehingga akan sulit

Universitas Sumatera Utara


mengharapkan output yang konsisten. Apalagi jasa diproduksi dan

dikonsumsi pada saat yang bersamaan. Untuk meningkatkan reliability

dibidang pelayanan kesehatan, pihak manajemen puncak perlu membangun

budaya kerja bermutu yaitu budaya tidak ada kesalahan atau corporate

culture of no mistake yang diterapkan mulai dari pimpinan puncak sampai ke

front life staff (yang langsung berhubungan dengan pasien). Budaya kerja

seperti ini perlu diterapkan dengan membentuk kelompok kerja yang kompak

dan mendapat pelatihan secara terus menerus sesuai dengan perkembangan

teknologi kedokteran dan ekspektasi pasien.

3. Responsiveness (cepat tanggap)

Dimensi ini dimasukkan kedalam kemampuan petugas kesehatan menolong

pelanggan dan kesiapannya melayani sesuai prosedur dan bias memenuhi

harapan pelanggan. Dimensi ini merupakan penilaian mutu pelayanan yang

paling dinamis. Harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan cenderung

meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan kemajuan teknologi dan

informasi kesehatan yang dimiliki oleh pelanggan. Nilai waktu bagi

pelanggan menjadi semakin mahal karena masyarakat merasa kegiatan

ekonominya semakin meningkat. Time is money berlaku untuk menilai mutu

pelayanan kesehatan dari aspek ekonomi para penggunanya. Pelayanan

kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan pelanggannya kebanyakan

ditentukan oleh sikap para front line staff. Mereka secara langsung

berhubungan dengan para pengguna jasa dan keluarganya, baik melalui tatap

muka, komunikasi non verbal, atau melalui telepon.

Universitas Sumatera Utara


4. Ansurance

Kriteria ini berhubungan dengan pengetahuan, kesopanan dan sifat petugas

yang dapat dipercaya oleh pelanggan. Pemenuhan terhadap kriteria pelayanan

ini akan mengakibatkan pengguna jasa merasa terbebas dari resiko.

Berdasarkan riset, dimensi ini meliputi faktor keramahan, kompetensi,

kredibilitas, dan keamanan. Variabel ini perlu dikembangkan oleh pihak

manajemen institusi pelayanan kesehatan dengan melakukan investasi, tidak

saja dalam bentuk uang melainkan keteladanan manajemen puncak,

perubahan sikap dan kepribadian staf yang positif, dan perbaikan system

remunerasinya (pembayaran upah).

5. Emphaty (empati)

Kriteria ini terkait dengan rasa kepedulian dan perhatian khusus staf kepada

setiap pengguna jasa, memahami kebutuhan mereka dan memberikan

kemudahan untuk dihubungi setiap saat jika para pengguna jasa ingin

memperoleh bantuannya. Peranan SDM kesehatan sangat menentukan mutu

pelayanan kesehatan karena mereka dapat langsung memenuhi kepuasan para

pengguna jasa pelayanan kesehatan (Muninjaya, 2011).

2.2. Teknik Perawatan Luka Modern

2.2.1. Defenisi

Teknik perawatan luka modern adalah mempertahankan isolasi lingkungan

luka yang tetap lembab dengan menggunakan balutan penahan kelembaban,

oklusive dan semi oklusive. Penanganan luka ini saat ini digemari terutama untuk

Universitas Sumatera Utara


luka kronik, seperti ”venous leg ulcers, pressure ulcers, dan diabetic foot ulcers”.

Dan metode moist wound healing adalah metode untuk mempertahankan

kelembaban luka dengan menggunakan balutan penahan kelembaban, sehingga

penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara alami (Tarigan

& Pemila, 2007).

2.2.2. Teknik Perawatan Luka Modern

Prosedur Tindakan Pada Perawatan Luka Kronis Dengan Menggunakan

Metode Time Management:

A. Persiapan Alat Dan Bahan

1. Lembar pengkajian luka.

2. Lembar observasi dan catatan perkembangan.

3. Terapi topikal.

4. Sarung tangan (gloves), wound dressing (balutan luka, kassa, cutisorb,

calcium alginate dan lainnya).

5. Antiseptic, hidrogel.

6. Elastomul half, elastic verban, sabun pencuci luka.

7. Nacl 0.9 %, atau air bersih hangat/dingin.

8. Gunting dan pinset anatomis steril.

9. Plester (hipafix), kamera digital.

10. Alat ukur luka (penggaris).

11. Alat pengecek kadar gula darah.

B. Prosedur Perawatan Luka (Wound Bed Preparation Dengan Time

Management:

Universitas Sumatera Utara


1. Mempersiapkan alat dan bahan, dan mempersiapkan pasien.

2. Menggunakan sarung tangan bersih.

3. Mencuci luka dengan sabun luka, Nacl 0.9 %, atau air hangat.

4. Membuang jaringan yang sudah mati (nekrosis) dengan kassa dan pinset.

5. Mengeluarkan cairan (pus) jika ada didalam luka maupun area sekitar

luka, bila luka banyak eksudat (pus).

6. Membilas luka dengan Nacl 0.9 %/air hangat bersih.

7. Mengeringkan luka dengan kassa dan memberikan antiseptik disekitar

luka.

8. Meletakkan kaki ditempat yang bersih.

9. Mengganti sarung tangan yang bersih.

10. Melakukan pengkajian mengukur luas luka, observasi dan melihat

perkembangan luka.

11. Mendokumentasikannya dengan kamera.

12. Mengoleskan terapi topikal sesuai kebutuhan.

13. Mengoleskan hidrogel pada jaringan nekrosis bila ada jaringan nekrosis.

14. Membalut luka dengan balutan luka sesuai dengan kondisi dan kebutuhan

agar luka dalam keadaan lembab.

15. Membalut luka dengan elostomul half dan elastic verban sesuai kebutuhan

(Buku panduan perawatan luka, 2012).

2.2.3. Fisiologi Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah suatu proses yang kompleks dengan melibatkan

banyak sel. Proses yang dimaksudkan disini karena penyembuhan luka melalui

Universitas Sumatera Utara


beberapa fase. Fase tersebut meliputi koagulasi, inflamasi, proliferasi, dan

remodeling.

1. Fase koagulasi

Pada fase koagulasi merupakan awal proses penyembuhan luka dengan

melibatkan platelet. Awal pengeluaran platelet akan menyebabkan

vasokontriksi dan terjadi koagulasi. Proses ini adalah sebagai hemostasis

dan mencegah perdarahan yang lebih luas. Pada tahapan ini terjadi adhesi,

agregasi, dan degranulasi pada sirkulasi platelet didalam pembentukan

gumpalan fibrin. Kemudian suatu plethora mediator dan cytokin

dilepaskan seperti transforming growth factor beta (TGFB), platelet

derived growth factor (PDGF), vaskular endothelial growth factor

(VEGF), platelet activating factor (PAF), dan insulinike growth factor-1

(IGF-1), yang akan mempengaruhi edema jaringan dan awal inflamasi.

VEGF, suatu faktor permeabilitas vaskuler akan mempengaruhi

extravasasi protein plasma untuk menciptakan struktur sebagai penyokong

yang tidak hanya mengaktifkan sel endotelial tetapi juga leukosit dan sel

epiteltial. Untuk proses koagulasi ini ada manfaatnya, akan tetapi pada

perlukaan yang berat seperti luka bakar yang luas, akan berdampak negatif

pada suplai darah yaitu bila terjadi koagulasi dapat mengakibatkan iskemik

pada jaringan.

2. Fase inflamasi

Fase inflamasi mulainya dalam beberapa menit setelah luka dan kemudian

dapat berlangsung sampai beberapa hari. Selama fase ini, sel-sel

Universitas Sumatera Utara


inflammatory terkait dalam luka dan aktif melakukan penggerakan dengan

lekosites (polymorphonuclear leukocytes atau neutrophii). Yang pertama

kali muncul dalam luka adalah neutrofil. Mengapa neutrofil, karena

densitasnya lebih tinggi dalam bloodstrem. Kemudian neutrofil akan

mempagosit bakteri dan masuk ke matriks fibrin dalam persiapan untuk

jaringan baru. Kemudian dalam waktu yang singkat mensekresi mediator

vasodilatasi dan cytokin yang mengaktifkan fibroblast dan keratinucytes

dan mengikat macrophag ke dalam luka. Kemudian macrophag

mempagosit pathogen, dan sekresi cytokin, dan growth factor seperti

fibroblast growth factor (FGF), edpidermal growth factors (EGF),

vascular endothelial growth factors (VEGF), tumor necrosis factor (TNF-

alpa), interferon gamma (IFN-gamma), dan interleukin-1 (IL-1), kimia ini

juga akan merangsang infiltrasi, proliferasi dan migrasi fibroblast dan sel

endotelial. Angiogenesis adalah suatu proses dimana pembuluh-pembuluh

kapiler darah yang baru mulai tumbuh dalam luka setelah injury dan

sangat penting perannya dalam fase proliferasi. Fibroblast dan sel

endotelial mengubah oksigen molecular dan larut dengan superoxide yang

merupakan senyawa penting dalam resistensi terhadap infeksi maupun

pemberian isyarat oxidative dalam menstimulasi produksi growth factor

lebih lanjut. Dalam proses inflammatory adalah suatu perlawanan terhadap

infeksi dan sebagai jembatan antara jaringan yang mengalami injury dan

untuk pertumbuhan sel-sel baru.

Universitas Sumatera Utara


3. Fase proliferasi

Apabila tidak ada infeksi dan kontaminasi pada fase inflamasi, maka akan

cepat terjadi fase proliferasi. Pada fase proliferasi ini terjadi proses

granulasi dan kontraksi. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan

jaringan granulasi dalam luka, pada fase ini macrophag dan lymphocytes

masih ikut berperan, tipe sel predominan mengalami proliferasi dan

migrasi termasuk sel epitelial, fibroblast, dan sel endotelial. Proses ini

tergantung pada metabolik, konsentrasi oksigen, dan faktor pertumbuhan.

Dalam beberapa jam setalah injury, terjadi epitelisasi dimana epidermal

yang mencakup sebagian besar keratinocytes mulai bermigrasi dan

mengalami stratifikasi dan deferensiasi untuk menyusun kembali fungsi

barrier epidermis. Pada proses ini diketahui sebagai epitelialisasi, juga

meningkatkan produksi extraseluler matrik (promotes-extracelluler matrix

atau disingkat (ECM) growth factor, sitokin dan angiogenesis melalui

pelepasan faktor pertumbuhan seperti keratinocytes growth factor (KGF).

Pada fase proliferasi fibroblast adalah merupakan elemen sintetik utama

dalam proses perbaikan dan berperan dalam produksi struktur protein yang

digunakan selama rekonstruksi jaringan. Secara khusus fibroblast

menghasilkan sejumlah kolagen yang banyak. Fibroblast biasanya akan

tampak pada sekeliling luka. Pada fase ini juga terjadi angiogenesis yaitu

suatu proses dimana kapiler-kapiler pembuluh darah yang baru tumbuh

atau pembentukan jaringan baru (granulation tissue). Secara klinis akkan

tampak kemerahan pada luka. Kemudian pada fase kontraksi luka,

Universitas Sumatera Utara


kontraksi disini adalah berfungsi dalam memfasilitasi penutupan luka.

Menurut Hunt dan Dunphy (1969) kontraksi adalah merupakan peristiwa

fisiologi yang menyebabkan terjadinya penutupan luka pada luka terbuka.

Kontraksi terjadi bersamaan dengan sintesis kolagen. Hasil dari kontraksi

akan tampak dimana ukuran luka akan tampak semakin mengecil atau

menyatu.

4. Fase remodeling

Pada fase remodeling yaitu banyak terdapat komponen matrik. Komponen

hyaluronic acid, proteoglycan, dan kolagen yang berdeposit selama

perbaikan untuk memudahkan perekatan pada migrasi seluler dan

menyokong jaringan. Serabut-serabut kolagen meningkat secara bertahap

dan bertambah tebal kemudian disokong oleh proteinase untuk perbaikan

sepanjang garis luka. Kolagen menjadi unsur yang utama pada matrik.

Serabut kolagen mnyebar dengan saling terikat dan menyatu dan

berangsur-angsur menyokong pemulihan jaringan. Remodeling kolagen

selama pembentukan akar tergantung pada sintesis dan katabolisme

kolagen secara terus menerus (Suriadi, 2004).

2.2.4. Klasifikasi Luka

Berdasarkan waktu atau lamanya proses penyembuhan luka, luka

diklasifikasikan menjadi luka akut dan luka kronis. Luka akut adalah luka yang

sembuh sesuai dengan waktu proses penyembuhan luka (fisiologis), sedangkan

luka kronis adalah luka yang sulit sembuh dan fase penyembuhan lukanya

mengalami perpanjangan.

Universitas Sumatera Utara


Jenis luka akut (luka baru) diantaranya luka operasi, luka kecelakaan, dan

luka bakar jika penaganan betul dan luka menutup dalam 21 hari maka dikatakan

luka akut, jika tidak maka akan jatuh pada luka kronis (luka yang sulit sembuh).

Contoh luka akut adalah luka operasi yang setelah kurang dari 21 hari sudah

menutup, atau luka bakar yang sembuh selama perawatan 21 hari. Luka dikatakan

luka kronis misalkan pada luka kecelakaan, luka baru akan mengalami proses

inflamasi hingga 5 hari, jika ditemukan tanda-tanda inflamasi pada hari ke-7

kemungkinan bukan lagi inflamasi namun infeksi, dan ini sudah dapat dikatakan

dengan luka kronis. Dikatakan luka kronis karena proses inflamasi yang

memanjang tidak sesuai dengan fisiologis waktu penyembuhan luka. Contoh luka

kronis lainnya pada luka dengan dasar luka merah sudah satu bulan (>21 hari)

tidak mau menutup, maka dapat disebut juga sebagai luka kronis.

Luka yang sudah pasti dikatakan luka kronis diantaranya adalah luka tekan

(dekubitus), luka karena diabetes, luka karena pembuluh darah vena maupun

arteri, luka kanker, luka dehiscence dan abses.

Salah satu yang menjadi ciri khas dari luka kronis adalah adanya jaringan

nekrosis (jaringan mati) baik yang berwarna kuning maupun berwarna hitam. Ciri

khas lainnya dari luka kronis adalah adanya penyulit sistemik yang menghambat

penyembuhan luka. Sehingga manajemen luka kronis menjadi sedikit berbeda

dengan manajemen luka akut. Pada dasarnya luka akut yang fisiologis dapat

sembuh dengan sendirinya, selama tidak ada faktor penyulit yang sering

ditemukan pada luka kronis. Salah satu metode yang dikembangkan adalah

manajemen luka kronis (Arisanty, 2012).

Universitas Sumatera Utara


2.2.5. Manajemen modern dressing meliputi:

a. Pencucian Luka

Pencucian bertujuan untuk membuang jaringan nekrosis, cairan luka yang

berlebihan, sisa balutan yang digunakan, dan sisa metabolik tubuh pada

cairan luka. Mencuci dapat meningkatkan, memperbaiki dan mempercepat

proses penyembuhan luka serta menghindari kemungkinan terjadinya

infeksi. Cairan yang digunakan untuk membersihkan luka adalah cairan

normal salin/NaCl 0,9% atau air yang steril sangat dianjurkan untuk

membersihkan luka. Bahan cairan rumah tangga juga dapat digunakan

seperti penggunaan rebusan air jambu biji. Formulasinya adalah lima

lembar daun jambu biji dan satu liter air direbus hingga menjadi setengah

liter. Teknik pencucian luka diantaranya adalah swabbing dan scrubbing,

teknik ini tidak terlalu dianjurkan pada pencucian luka karena dapat

menyebabkan trauma pada jaringan granulasi dan epithelium, juga

membuat bakteri berdistribusi ke area luka. Teknik showering (irigasi),

whirlpool, dan bathing. Teknik yang paling sering digunakan karena

dengan teknik tekanan yang cukup dapat mengangkat bakteri yang

terkolonisasi, mengurangi terjadinya trauma.

b. Debridemen

Autolisis debrideman adalah suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang

dilakukan oleh tubuh sendiri dengan syarat utama, lingkungan luka harus

dalam keadaan lembab. Pada keadaan lembab, proteolytic enzyme secara

selektif akan melepas jaringan nekrosis dari tubuh. Pada keadaan melunak,

Universitas Sumatera Utara


jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan sendirinya ataupun dibantu

dengan surgical atau mekanikal debridemen.

c. Bahan Topical Therapy

Tujuan dari pemilihan balutan adalah membuang jaringan mati, balutan

dapat mengontrol kejadian infeksi, mempertahankan kelembaban,

mempercepat proses penyembuhan luka, dapat mengabsorbsi cairan yang

berlebihan, membuang jaringan mati, nyaman digunakan, steril, dan cost

effective. Beberapa topical therapy yang biasa digunakan dalam modern

dressing adalah Calcium Alginate, Hydrocoloid, Hydrofobik,

Semipermiable Film Dressing, Hydrofobier, Hydroactive Gel, Gamge,

Polyuretane Foam, Metcovazin, dan Silver Dressing (Putri, 2012).

2.2.6. Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Faktor sistemik :

1. Usia

Pada usia lanjut proses penyembuhan luka lebih lama dibandingkan

dengan usia muda. Faktor ini karena kemungkinan adanya proses

degenarasi, tidak adekuatnya pemasukan makanan, menurunnya

kekebalan, dan menurunnya sirkulasi.

2. Nutrisi

Faktor nutrisi sangat penting dalam proses penyembuhan luka. Pada pasien

yang mengalami penurunan tingkat diantaranya serum albumin, total

limposit dan transferin adalah merupakan resiko terhambatnya proses

penyembuhan luka. Selain protein, vitamin A, E dan C juga

Universitas Sumatera Utara


mempengaruhi dalam proses penyembuhan luka. Kekurangan vitamin A

menyebabkan berkurangnya produksi makrofag yang konsekuensinya

rentan terhadap infeksi, retardasi epitelialisasi, dan sintesis kolagen.

Defisiensi vitamin E mempengaruhi pada produksi kolagen. Sedangkan

defisiensi vitamin C menyebabkan kegagalan fibroblast untuk

memproduksi kolagen, mudahnya terjadi ruptur pada kapiler dan rentan

terjadi infeksi.

3. Insufisiensi vaskular

Insufisiensi vaskular jua merupakan faktor penghambat pada proses

penyembuhan luka. Seringkali pada kasus luka ekstremitas bawah seperti

luka diabetik, dan pembuluh arteri dan atau vena kemudian decubitus

karena faktor tekanan yang semuanya akan berdampak pada penurunan

atau gangguan sirkulasi darah.

4. Obat-obatan

Terutama sekali pada pasien yang menggunakan terapi steroid, kemoterapi

dan imunosupresi.

Faktor lokal:

1. Suplai darah

2. Infeksi

Infeksi sistemik atau lokal dapat menghambat penyembuhan luka.

3. Nekrosis

Luka dengan jaringan yang mengalami nekrosis dan eskar akan dapat

menjadi faktor penghambat untuk perbaikan luka.

Universitas Sumatera Utara


4. Adanya benda asing pada luka (Suriadi, 2004).

2.2.7. Metode Pembersihan Luka

1. Pengangkatan jaringan nekrotik dan krusta

Metode untuk mengangkat jaringan nekrotik, seperti jaringan parut keras

yang hitam dan kering serta krusta yang tebal, dalam luka kronik.

2. Membersihkan eksudat kering dan keropeng

Dengan menganggap bahwa luka tidak tertutup oleh jaringan nekrotik

ataupun krusta yang tebal, kira-kira larutan mana yang dapat digunakan

membersihkan eksudat kering dan keropeng.

Untuk luka yang tidak terlalu terkontaminasi, air steril atau larutan garam

0.9% adalah agens pembersih pilihan. Larutan sederhana tersebut, ataupun

larutan yang mirip dengan itu. Pada keadaan dimana terdapat resiko tinggi

terhadap infeksi luka, misalnya pada luka traumatis yang terkontaminasi

dan luka bakar, pada pasien yang sangat lemah, atau pada keadaan dimana

lukanya terletak sedemikian rupa sehingga luka tersebut sangat mungkin

terkontaminasi oleh bahan urine atau feses, maka keadaan tersebut

merupakan indikasi untuk penggunaan larutan antiseptik (Morison, 2003).

2.2.8. Membersihkan luka setiap kali mengganti balutan

Jika luka sangat terkontaminasi oleh bahan-bahan asing, krusta atau

jaringan nekrotik, pembersihan luka diperlukan setiap kali mengganti balutan

untuk mencegah perlambatan penyembuhan. Meskipun demikian, jika lukanya

bersih, hanya terdapat sedikit eksudat, dan bergranulasi sehat, pembersihan yang

berulang dapat lebih membahayakan dibanding keuntungannya, pembersihan

Universitas Sumatera Utara


berulang dapat mengakibatkan trauma pada jaringan halus yang baru terbentuk,

mengurangi suhu permukaan luka, dan mengangkat eksudat yang mempunyai

sifat bakterisida (Morison, 2003).

2.2.9. Keuntungan dari permukaan luka yang lembab

1. Mengurangi pembentukan jaringan parut

2. Meningkatkan produksi faktor pertumbuhan

3. Mengaktivasi protease permukaan luka untuk mengangkat jaringan

devitalisasi/yang mati

4. Menambah pertahanan immun permukaan luka

5. Meningkatkan kecepatan angiogenesis dan proliferasi fibroblast

6. Meningkatkan proliferasi dan migrasi dari sel-sel epitel disekitar lapisan

air yang tipis

7. Mengurangi biaya. Biaya pembelian balutan oklusif lebih mahal dari

balutan kasa konvensional, tetapi dengan mengurangi frekuensi

penggantian balutan dan meningkatkan kecepatan penyembuhan dapat

menghemat biaya yang dibutuhkan (Tarigan & Pemila, 2007).

2.2.10 Optimalisasi Perawatan Pada Luka

1. Mengurangi dehidrasi dan kematian sel

Seperti telah dijelaskan pada fase penyembuhan luka bahwa sel-sel seperti

neutropil dan magrofag membentuk fibroblast dan perisit. Dan sel-sel ini

tidak dapat berfungsi pada lingkungan yang kering.

Universitas Sumatera Utara


2. Meningkatkan angiogenesis

Tidak hanya sel-sel yang dibutuhkan untuk angiogenesis juga dibutuhkan

lingkungan yang lembab tetapi juga angiogenesis terjadi pada tekanan

oksigen rendah, balutan ”occlusive” dapat merangsang proses angiogenesis

ini.

3. Meningkatkan debridement autolisis

Dengan mempertahankan lingkungan lembab sel neutropil dapat hidup dan

enzim proteolitik dibawa ke dasar luka yang memungkinkan

mengurangi/menghilangkan rasa nyeri saat debridemen. Proses ini

dilanjutkan dengan degradasi fibrin yang memproduksi faktor yang

merangsang makrofag untuk mengeluarkan faktor pertumbuhan ke dasar

luka.

4. Meningkatkan re-epitelisasi

Pada luka yang lebih besar, lebih dalam sel epidermal harus menyebar

diatas permukaan luka dari pinggir luka serta harus mendapatkan suplai

darah dan nutrisi. Krusta yang kering pada luka menekan/menghalangi

suplai tersebut dan memberikan barier untuk migrasi dengan epitelisasi yang

lambat.

5. Barier bakteri dan mengurangi kejadian infeksi

Balutan oklusif membalut dengan baik dapat memberikan barier terhadap

migrasi mikroorganisme ke dalam luka. Bakteri dapat menembus kasa

setebal 64 lapisan pada penggunaan kasa lembab. Luka yang dibalut dengan

Universitas Sumatera Utara


pembalut oklusif menunjukkan kejadian infeksi lebih jarang daripada kasa

pembalut konvensional tersebut.

6. Mengurangi nyeri

Diyakini luka yang lembab melindungi ujung saraf sehingga mengurangi

nyeri (Tarigan & Pemila, 2007).

2.2.11. Waktu Ganti Balutan

Pada luka infeksi dianjurkan menggantu balutan setiap 1-2 hari sekali,

tidak dianjurkan lebih lama dari 2 hari untuk mempercepat proses pengurangan

jumlah bakteri yang berkembangbiak. Gunakan balutan sekunder sesuai dengan

jumlah cairan sehingga balutan dapat dipertahankan maksimal 2 hari. Pada luka

noninfeksi, ganti balutan jika sudah terlihat adanya rembesan ditengah balutan

(bukan dari samping). Karena cairan yang sudah merembes dari samping

menandakan balutan tidak cukup mampu menampung cairan luka yang dapat

menyebabkan maserasi dan iritasi pada sekitar luka. Balutan dapat dipertahankan

lebih dari lima hari pada dasar luka merah dengan cairan luka sedang banyak.

Tentunya balutan yangdipilih adalah balutan yang dapat menampung eksudat

hingga banyak.

Balutan menjadi efektif dalam biaya jika digunakan dengan tepat. Luka

kering tidak dianjurkan menggunakan balutan yang dapat menyerap eksudat

hingga banyak karena menjadi tidak efektif dalam biaya, gunakan balutan yang

cukup menyerap eksudat sedikit sedang (Arisanty, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai