Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mutu Pelayanan


2.1.1 Pengertian
Mutu merupakan gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan
kebutuhan pelanggan baik berupa kebutuhan yang dinyatakan maupun
kebutuhan yang tersirat (Supriyanto dan Wulandari, 2011).
Mutu pelayanan kesehatan merupakan tingkat kesempurnaan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan sesuai dengan kode etik dan
standar pelayanan yang ditetapkan, sehingga menimbulkan kepuasan
bagi setiap pasien (Kemenkes dalam Muninjaya 2014).
Peningkatan mutu pelayanan adalah derajat memberikan
pelayanan secara efisien dan efektif sesuai dengan standar profesi,
standar pelayanan yang dilaksanakan secara menyeluruh sesuai dengan
kebutuhan pasien, memanfaatkan teknologi tepat guna dan hasil
penelitian dalam pengembangan pelayanan kesehatan/keperawatan
sehingga tercapai derajat kesehatan optimal. (Nursalam, 2015).
2.1.2 Pengukuran Mutu Pelayanan
Dalam Buku Nursalam (2015). Menurut donabedian, mutu
pelayanan dapat diukur dengan menggunkan tiga variabel, yaitu input,
proses, dan output/outcome.
1) Input adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan seperti tenaga, dana, obat, fasilitas
peralatan, teknologi, organisasi, dan informasi.
2) Proses adalah interaksi profesional antara pemberi pelayanan
dengan konsumen (pasien dan masyarakat). Setiap tindakan
medis/keperawatan harus selalu mempertimbangkan nilai yang
dianut pada diri pasien. Setiap tindakan korektif dibuat dan
diminimalkan resiko terulangnya keluhan atau ketidak puasan pada
pasien lainnya. Program keselamatan pasien bertujuan untuk
meningkatkan keselamatan pasien dan meningkatkan mutu
pelayanan. Interaksiprofesional yang lain adalah pengembangan
akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit dengan indikator
pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan Kementrian
Kesehatan RI. ISO 9001:2000 adalah suatu standar internasional
untuk sistem manajemen kualitas yang bertujuan menjamin
kesesuaian dari suatu proses pelayanan terhadap kebutuhan
persyaratan yang dispesifikasikan oleh pelanggan dan rumah sakit.
Keilmuan selalu diperbarui untuk menjamin bahwa tindakan
medis/keperawatan yang dilakukan telah didukung oleh bukti
ilmiah yang mutakhi. Interaksi profesional selalu memperhatikan
asas etika terhadap pasien, yaitu :
a. Berbuat hal-hal yang baik (beneficence) terhadap manusia
khususnya pasien, staf klinis dan nonklinis, masyarakat dan
pelanggan secara umum
b. Tidak menimbulkan kerugian (nonmaleficence) terhadap
manusia
c. Menghormati manusia (respect for person) menghormati hak
otonomi,martabat, kerahasiaan, berlaku jujur, terbuka , empati
d. Berlaku adil (justice) dalam memberikan pelayanan
3) Output/outcome adalahh hasil pelayanan kesehatan atau pelayanan
keperawatan, yaitu berupa perubahan yang terjadi pada konsumen
termasuk kepuasan dari konsumen. Tanpa mengukur hasil kinerja
rumah sakit /keperawatan tidak dapat diketahui apakah input dan
proses yang baik telah menghasilkan output yang baik pula.
2.1.3 Konsep Mutu berdasar SERVQUAL (Service Quality)
Grand teori yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml,
dan Berry dalam Muninjaya (2011), penyampaian jasa oleh pihak
penyedia jasa bisa terancam gagal kalau berbagai kesenjangan
dibiarkan berkembang tanpa ada intervensi untuk mencegahnya, atau
tidak ada upaya khusus untuk mengurangi dampak buruknya.
Penjelasan mengenai kelima kesenjangan tersebut yaitu sebagai
berikut:
1) Kesenjangan antara harapan pengguna jasa dan persepsi
manajemen. Manajemen institusi pelayanan kesehatan belum
mampu secara tepat mengidentifikasi dan memahami harapan
(ekspektasi) para pengguna jasa pelayanan kesehatan.
2) Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas
jasa. Kesenjangan akan terjadi jika pemahaman manajemen RS
(Puskesmas) tentang harapan pengguna jasa pelayanan kesehatan
tidak diterjemahkan menjadi aksi nyata yang spesifik. Misalnya,
standar prosedur pelayanan atau pelaksanaan penyampaian jasa
belum dikemas sesuai dengan harapan pengguna jasa yang semakin
menuntut pelayanan yang bermutu (cepat, ramah, tepat, dan biaya
terjangkau).
3) Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaiannya.
Standar pelayanan dan cara penyampaian jasa sudah tersusun
dengan baik, tetapi muncul kesenjangan karena staf pelaksana
pelayanan di garis depan (front line staff) seperti perawat, bidan
dan dokter umum di sebuah rumah sakit belum mendapat pelatihan
khusus tentang teknik penyampaian jasa pelayanan tersebut.
Akibatnya, jasa pelayanan kesehatan yang ditawarkan kepada
pasien tidak sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh
komite medik rumah sakit tersebut.
4) Kesenjangan antara penyampaian jasa dan harapan pihak eksternal.
Harapan pengguna jasa sangat dipengaruhi oleh cara staf dan
manajemen rumah sakit berkomunikasi dengan masyarakat calon
pengguna jasanya. Cara seperti ini akan memunculkan
kesenjangan. Harapan pengguna jasa pelayanan kesehatan yang
sudah mulai terbentuk melalui pemasaran tidak dapat terpenuhi
karena pelayanan teknis medis dan kelengkapan mutu pelayanan
berbeda dengan ekspektasi mereka.
5) Kesenjangan antara jasa yang diterima pengguna dan yang
diharapkan. Kesenjangan ini terjadi jika konsumen mengukur
kinerja institusi pelayanan kesehatan dengan cara yang berbeda,
termasuk persepsi pengguna yang berbeda terhadap kualitas jasa
pelayanan kesehatan yang diharapkan.
2.1.4 Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan
Dalam buku Nursalam (2015), menurut Parasuraman (2001:26)
mengemukakan konsep kualitas layanan yang berkaitan dengan
kepuasan ditentukan oleh lima unsur yang biasa dikenal dengan istilah
kualitas layanan “RATER” (responsiveness, assurance, tangible,
empathy dan reliability). Konsep kualitas layanan RATER intinya
adalah membentuk sikap dan perilaku dari pengembang pelayanan
untuk memberikan bentuk pelayanan yang kuat dan mendasar, agar
mendapat penilaian sesuai dengan kualitas layanan yang diterima. Inti
dari konsep kualitas layanan “RATER” yaitu :
1) Daya tanggap (responsiveness), yaitu kesediaan petugas untuk
memberikan pelayanan yang cepat sesuai prosedur dan mampu
memenuhi harapan pelanggan.
2) Jaminan (assurance), yaitu berhubungan dengan rasa aman dan
kenyamanan pasien karena adanya kepercayaan terhadap petugas
yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan ketrampilan yang tepat
dalam memberikan pelayanan dan pasien memperoleh jaminan
pelayanan yang aman dan nyaman.
3) Bukti fisik (tangibles), mutu pelayanan dapat dirasakan langsung
terhadap penampilan fasilitas fisik serta pendukung pendukung
dalam pelayanan.
4) Empati (emphaty), yaitu berhubungan dengan kepedulian dan
perhatian petugas kepada setiap pelanggan dengan mendengarkan
keluhan dan memahami kebutuhan serta memberikan kemudahan
bagi seluruh pelanggan dalam menghubungi petugas.
5) Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan
pelayanan tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang ditetapkan.
Berdasarkan inti dari konsep kualitas layanan “RATER”
kebanyakan organisasi kerja yang menjadikan konsep ini sebagai acuan
dalam menerapkan aktualisasi layanan dalam organisasi kerjanya,
dalam memecahkan berbagai bentuk kesenjangan (gap) atas berbagai
pelayanan yang diberikan oleh pegawai dalam memenuhi tuntutan
pelayanan masyarakat. Aktualisasi konsep “RATER” juga diterapkan
dalam penerapan kualitas layanan pegawai baik pegawai pemerintah
maupun nonpemerintah dalam meningkatkan prestasi kerjanya.
2.1.5 Upaya Peningkatan Mutu
Menurut Nursalam (2015), Peningkatan mutu dilakukan dalam
berbagai macam cara yang akan dijelasakan sebagai berikut :
1) Mengembangkan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit
dengan indikator pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan
Kementerian Kesehatan RI.
2) ISO 9001:2000 yaitu suatu standar internasional untuk sistem
manajemen kualitas yang bertujuan menjamin kesesuaian proses
pelayanan terhadap kebutuhan persyaratan yang dispesifikasikan
oleh pelanggan dan rumah sakit.
3) Memperbarui keilmuan untuk menjamin bahwa tindakan
medis/keperawatan yang dilakukan telah didukung oleh bukti
ilmiah yang mutakhir.
4) Good corporate governance yang mengatur aspek institusional dan
aspek bisnis dalam penyelenggaraan sarana pelayanan kesehatan
dengan memperhatikan transparansi dan akuntabilitas sehingga
tercapai manajemen yang efisien dan efektif.
5) Clinical governance merupakan bagian dari corporate governance,
yaitu sebuah kerangka kerja organisasi pelayanan kesehatan yang
bertanggung jawab atas peningkatan mutu secara
berkesinambungan. Tujuannya adalah tetap menjaga standar
pelayanan yang tinggi dengan menciptakan lingkungan yang
kondusif. Clinical governance menjelaskan hal hal penting yang
harus dilakukan seorang dokter dalam menangani konsumennya
(pasien dan keluarga).
6) Membangun aliansi strategis dengan rumah sakit lain baik di dalam
atau luar negeri. Kerja sama lintas sektor dan lintas fungsi harus
menjadi bagian dari budaya rumah sakit seperti halnya kerja sama
tim yang baik. Budaya dikotomi pemerintah dengan swasta harus
diubah menjadi falsafah “bauran pemerintah- swasta (public-
private mix) yang saling mengisi dan konstruktif.
7) Melakukan evaluasi terhadap strategi pembiayaan, sehingga tarif
pelayanan bisa bersaing secara global, misalnya outsourcing
investasi, contracting out untuk fungsi tertentu seperti cleaning
service, gizi, laundry, perparkiran.
8) Orientasi pelayanan. Sering terjadi benturan nilai, di satu pihak
masih kuatnya nilai masyarakat secara umum bahwa rumah sakit
adalah institusi yang mengutamakan fungsi sosial. Sementara itu di
pihak lain, etos para pemodal/ investor dalam dan luar negeri yang
menganggap rumah sakit adalah industri dan bisnis jasa, sehingga
orientasi mencari laba merupakan sesuatu yang absah.
9) Orientasi bisnis dapat besar dampak positifnya bila potensial
negatif dapat dikendalikan. Misalnya, tindakan medis yang
berlebihan dan sebenarnya tidak bermanfaat bagi pasien
menciptakan peluang terjadinya manipulasi pasien demi
keuntungan finansial bagi pemberi layanan kesehatan. Perlu
mekanisme pembinaan etis yang mengimbangi dua sistem nilai
yang dapat bertentangan, yaitu antara fungsi sosial dan fungsi
bisnis.

2.2 Keselamatan Pasien


2.4.1 Pengertian
Menurut Nursalam (2015), Keselamatan pasien (patient safety)
merupakan suatu variabel untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas
pelayanan keperawatan yang berdampak terhadap pelayananan
kesehatan. Sejak malpraktik menggema di seluruh belahan bumi
melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik hingga ke jurnal-
jurnal ilmiah ternama, dunia kesehatan mulai menaruh kepedulian yang
tinggi terhadap isu keselamatan pasien.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Keselamatan Pasien pasal 1:
Keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien
lebih aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden
dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil.

2.3 Fishbone
2.3.1 Pengertian Fishbone
Fishbone diagram (diagram tulang ikan — karena bentuknya
seperti tulang ikan) sering juga disebut Cause-and-Effect Diagram atau
Ishikawa Diagram diperkenalkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa, seorang
ahli pengendalian kualitas dari Jepang, sebagai satu dari tujuh alat
kualitas dasar (7 basic quality tools). Fishbone diagram digunakan
ketika kita ingin mengidentifikasi kemungkinan penyebab masalah dan
terutama ketika sebuah team cenderung jatuh berpikir pada rutinitas
(Tague, 2005, p. 247).
Fishbone Diagrams (Diagram Tulang Ikan) merupakan konsep
analisis sebab akibat yang dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa
untuk mendeskripsikan suatu permasalahan dan penyebabnya dalam
sebuah kerangka tulang ikan. Fishbone Diagrams juga dikenal dengan
istilah diagram Ishikawa, yang diadopsi dari nama seorang ahli
pengendali statistik dari Jepang, yang menemukan dan
mengembangkan diagram ini pada tahun 1960-an. Diagram ini pertama
kali digunakan oleh Dr. Kaoru Ishikawa untuk manajemen kualitas di
perusahaan Kawasaki, yang selanjutnya diakui sebagai salah satu
pioner pembangunan dari proses manajemen modern.
Watson (2004) dalam Illie G. Dan Ciocoiu C.N. (2010)
mendefinisikan diagram Fishbone sebagai alat (tool) yang
menggambarkan sebuah cara yang sistematis dalam memandang
berbagai dampak atau akibat dan penyebab yang membuat atau
berkontribusi dalam berbagai dampak tersebut. Oleh karena fungsinya
tersebut, diagram ini biasa disebut dengan diagram sebab-akibat.
Illie G. Dan Ciocoiu C.N (2010) mengutip dari Basic Tools for Process
Improvement (2009) bahwa diagram Fishbone (Ishikawa) pada
dasarnya menggambarkan sebuah model sugestif dari hubungan antara
sebuah kejadian (dampak) dan berbagai penyebab kejadiannya.
Struktur dari diagram tersebut membantu para pengguna untuk berpikir
secara sistematis. Beberapa keuntungan dari konstruksi diagram tulang
ikan antara lain membantu untuk mempertimbangkan akar berbagai
penyebab dari permasalahan dengan pendekatan struktur, mendorong
adanya partisipasi kelompok dan meningkatkan pengetahuan anggota
kelompok terhadap proses analisis penyebab masalah, dan
mengidentifikasi wilayah dimana data seharusnya dikumpulkan untuk
penelitian lebih lanjut
Suatu tindakan dan langkah improvement akan lebih mudah
dilakukan jika masalah dan akar penyebab masalah sudah ditemukan.
Manfaat fishbone diagram ini dapat menolong kita untuk menemukan
akar penyebab masalah secara user friendly, tools yang user friendly
disukai orang-orang di industri manufaktur di mana proses di sana
terkenal memiliki banyak ragam variabel yang berpotensi
menyebabkan munculnya permasalahan (Purba, 2008, para. 1–6).
Fishbone diagram akan mengidentifikasi berbagai sebab potensial dari
satu efek atau masalah, dan menganalisis masalah tersebut melalui sesi
brainstorming. Masalah akan dipecah menjadi sejumlah kategori yang
berkaitan, mencakup manusia, material, mesin, prosedur, kebijakan,
dan sebagainya. Setiap kategori mempunyai sebab-sebab yang perlu
diuraikan melalui sesi brainstorming.
2.3.2 Tujuan Diagram Tulang Ikan (Fishbone Diagrams)
Fishbone Diagrams (Diagram Tulang Ikan) adalah diagram sebab-
akibat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi masalah
kinerja. Diagram tulang ikan menyediakan struktur untuk diskusi
kelompok sekitar potensi penyebab masalah tersebut. Tujuan utama
dari diagram tulang ikan adalah untuk menggambarkan secara grafik
cara hubungan antara penyampaian akibat dan semua faktor yang
berpengaruh pada akibat ini.
Fishbone Diagrams adalah alat analisis yang menyediakan cara
sistematis melihat efek dan penyebab yang membuat atau
berkontribusi terhadap efek tersebut. Karena fungsi diagram
Fishbone, dapat disebut sebagai diagram sebab-akibat (Watson,
2004).
2.3.3 Manfaat Diagram Tulang Ikan (Fishbone Diagrams)
Dengan adanya diagram tulang ikan ini sebenarnya memberi banyak
sekali keuntungan bagi dunia bisnis. Selain memecahkan masalah
kualitas yang menjadi perhatian penting perusahaan, masalah-masalah
klasik yang dapat diselesaikan di industri antara lain :
1) Keterlambatan proses produksi.
2) Tingkat defect (cacat) produk yang tinggi.
3) Mesin produksi yang sering mengalami masalah.
4) Output lini produksi yang tidak stabil yang berakibat kacaunya
rencana produksi.
5) Produktivitas yang tidak mencapai target.
6) Komplain pelanggan yang terus berulang.
Namun, pada dasarnya diagram tulang ikan dapat dipergunakan untuk
kebutuhan-kebutuhan berikut :
1) Membantu mengidentifikasi akar penyebab masalah dari suatu
masalah.
2) Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah.
3) Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut.
4) Mengidentifikasi tindakan untuk menciptakan hasil yang
diinginkan.
5) Membuat issue secara lengkap dan rapi.
6) Menghasilkan pemikiran baru.
Beberapa manfaat lainnya dari membangun diagram tulang ikan
adalah membantu menentukan akar penyebab masalah atau
karakteristik kualitas menggunakan pendekatan terstruktur,
mendorong partisipasi kelompok dan memanfaatkan pengetahuan
kelompok proses, serta mengidentifikasi area dimana data harus
dikumpulkan untuk studi lebih lanjut (Balanced Scorecard Institute,
2009).
2.3.4 Langkah-Langkah Pembuatan Diagram Tulang Ikan (Fishbone
Diagrams)
Diagram tulang ikan atau sebab akibat merupakan pendekatan
terstruktur yang memungkinkan dilakukan suatu analisis lebih
terperinci dalam menemukan penyebab-penyebab suatu masalah,
ketidaksesuaian, dan kesenjangan yang ada (Gasversz (1997: 112)).
Terdapat 6 langkah yang harus dilakukan dalam melakukan analisis
dengan diagram tulang ikan yaitu :
1) Menyepakati permasalahan utama yang terjadi dan diungkapkan
bahwa masalah tersebut merupakan suatu pernyataan masalah
(problem statement).
Masalah merupakan perbedaan antara kondisi yang ada dengan
kondisi yang diinginkan (W. Pounds, 1969 dalam Robbins dan Coulter,
2012). Pada langkah pertama ini, harus dilakukan kesepakatan terhadap
sebuah pernyataan masalah (problem statement). Pernyataan masalah
tersebut kemudian diinterpretasilan sebagai “effect” atau secara visual
dalam fishbone seperti “kepala ikan”. Selanjutnya menuliskan problem
statement disebelah kanan diagram dan menggambar sebuah kotak
yang mengelilingi tulisan pernyataan masalah tersebut dan membuat
panah horizontal panjang menuju ke arah kotak.
2.4. Flebitis
2.4.1 Pengertian
Phlebitis adalah salah satu bentuk infeksi nosokomial yang sering
muncul dirumah sakit,yaitu merupakan peradangan pada dinding vena
akibat terapi cairan intravena, yang ditandai dengan nyeri, kemerahan ,
teraba lunak, pembengkakan dan hangat pada lokasi penusukan jarum
infus.
Phlebitis merupakan infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh
pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan
manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam. Phlebitis
didefinisikan sebagai peradangan pada dinding pembuluh darah balik
atau vena (Hingawati Setio & Rohani, 2010). Kejadian plebitis menjadi
indikator mutu pelayanan minimal rumah sakit dengan standar ≤1,5%
Depkes RI, 2008. Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan
baik oleh iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh
komplikasi dari terapi intravena.
Berdasarkan derajat keparahan, Phlebitis dapat diklasifikasikan
menjadi 4 derajat phlebitis derajat 1 ditandai dengan eritema dengan
atau tanpa rasa sakit. phlebitis derajat 2 ditandai dengan sakit, eritema,
edema dengan atau ada garis lurus tetapi tidak mengikuti garis
pembuluh darah.phlebitis derajat 3 ditandai dengan sakit, eritema,
edema dengan atau ada garis lurus mengikuti garis pembuluh
darah.phlebitis derajat 4 ditandai dengan ditemukannya semua
tandatanda phlebitis.
Phlebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi
trombo flebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun
demikian jika trombus terlepas dan kemudian diangkut ke aliran darah
dan masuk jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang
menyumbat atrio ventikular secara mendadak dan menimbulkan
kematian. Hal ini menjadikan phlebitis sebagai salah satu permasalahan
yang penting untuk dibahas di samping phlebitis juga sering ditemukan
dalam proses keperawatan.
Faktor faktor yang menyebabkan terjadinya phlebitis adalah factor
kimia seperti jenis cairan obat yang digunakan, kecepatan aliran
infus serta bahan kateter,faktor mekanik yaitu terjadi ketika vena trauma
oleh kontak fisik, trauma fisik tersebut bisa ditimbulkan oleh
ukuran kateter dan lokasi penusukan yangtidak sesuai, faktor bakterial
biasanya berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri. Selain ketiga
faktor diatas mengemukakan bahwa faktor lain seperti usia, status gizi,
penyakit yang mendasari dan jenis kelamin berpengaruh terhadap
kejadian plebitis.Usia dan status gizi berpegaruh dikarenakan
pertahanan tubuh seseorang terhadap infeksi dapat berubah sesuaiusia.
Salah satu upaya untuk menekan kejadian phlebitis tersebut adalah
dengan melakukan manajemen yang baik pada saat pemasangan
intravena line atau infus15. Selain itu tingkat pendidikan, keterampilan
serta sikap perawat juga mempunyai peran yang sangat penting dalam
terjadinya kejadian phlebitis. Perawat merupakan front liner di dalam
pemberi layanan di rumah sakit wajib menjaga kesehatan dan
keselamatan dirinya juga orang lain yang dimaksud disini adalah klien
serta bertanggung jawab sebagai pelaksana kebijakan yang telah
ditetapkan oleh rumah sakit dimana perawat bertugas.

Anda mungkin juga menyukai