Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mutu pelayanan keperawatan sebagai indikator kualitas pelayanan kesehatan menjadi salah satu faktor
penentu citra institusi pelayanan kesehatan di mata masyarakat. Hal ini terjadi karena keperawatan merupakan
kelompok profesi dengan jumlah terbanyak, paling depan dan terdekat dengan penderitaan, kesakitan, serta
kesengsaraan yang dialami pasien dan keluarganya. Mutu pelayanan keperawatan memiliki beberapa outcome yang
menjadi indikator dalam menentukan mutu pelayanan keperawatan. Indikator tersebut meliputi aspek  pelayanan,
tingkat efisiensi, kepuasan pasien, cakupan pelayanan, dan keselamatan pasien. Oleh karena itu rendahnya indikator
dari mutu pelayanan keperawatan dapat menurunkan kualitas mutu pelayanan kesehatan (Nursalam, 2014).

Salah satu indikator dari mutu pelayanan keperawatan itu adalah apakah pelayanan keperawatan yang
diberikan itu memuaskan pasien atau tidak. Kepuasan merupakan perbadingan antara kualitas jasa pelayanan
yang didapat dengan keinginan, kebutuhan, dan harapan (Tjiptono, 2004 dalam Nursalam, 2014). Pasien sebagai
pengguna jasa pelayanan keperawatan menuntut pelayanan keperawatan yang sesuai dengan haknya, yakni pelayanan
keperawatan yang bermutu dan paripurna. Pasien merupakan individu yang memerlukan pelayanan secara
optimal khususnya oleh perawat. Perawat hendaknya memberikan pelayanan meliputi aspek bio, psiko,
sosio, dan spiritual pasien. Adapun indikator kepuasan pelayanan keperawatan bagi pasien, yaitu pendekatan dan
sikap perawat, emosi pasien saat kunjungan pertama, kualitas informasi, proses kontrak masa tunggu dan sarana
publik yang tersedia, sehingga baik buruknya pelayanan keperawatan dapat dilihat dari pelayanan
keperawatan yang diberikan petugas rumah sakit itu sendiri terhadap respon masyarakat (Nursalam, 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ema (2015) tentang pelayanan rawat inap, hasil penelitian
menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara mutu pelayanan dengan tingkat kepuasan pasien yaitu sebesar
49% dari total responden menyatakan bahwa mutu pelayanan rawat inap kelas 3 kurang baik. (Fitriyanah,
Noer’aini and Utomo, 2015) Penelitian yang juga dilakukan oleh Andhika (2020) menunjukkan bahwa
sebesar 56,7% responden menyatakan pelayanan keperawatan kurang baik dan 86,8% merasa tidak puas akan
pelayanan keperawatan di Ruang IGD RSU Dr. Slamet Garut (Perceka, 2020).
Berkaitan dengan data diatas penting kiranya dilakukan analisa lebih dalam tentang pengendalian mutu pelayanan
keperawatan, agar dapat dirancang rencana strategis yang komprehensif sehingga mampu meningkatkan kualitas
pelayanan rumah sakit dimasa yang akan datang dan untuk menyusun rencana strategis tersebut dibutuhkan berbagai
metode yang dapat mengambil keputusan akan apa yang dilakukan untuk menyelesiakan semua permasalahan yang
ada saat ini dengan menajemen keperawatan (Jayanti and Haryati, 2020). Oleh karena fungsi manajemen yang dapat
memberikan proses dalam peningkatan mutu  pelayanan keperawatan. Manajemen pelayanan keperawatan
merupakan suatu proses  perubahan atau tranformasi dari sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan
pelayanan keperawatan melalui pelaksanaan fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengaturan, ketenagaan,
pengarahan, evaluasi dan pengendalian mutu (Suryaningsih, 2012).
Kegiatan menilai mutu pada tingkat rumah sakit akan diawali dengan penetapan kriteria pengendalian,
mengidentifikasi informasi yang relevan dengan kriteria, menetapkan cara mengumpulkan informasi/data. Kemudian
melakukan pengumpulan dan menganalisis informasi/data, membandingkan informasi dengan kriteria yang telah
ditetapkan, menetapkan keputusan tentang kualitas, serta memperbaiki situasi sesuai hasil yang diperoleh, lalu
menetapkan kembali cara mengumpulkan informasi (Marquis dan Huston, 2000). Ada enam indikator utama kualitas
pelayanan kesehatan di rumah sakit, yaitu:
1. keselamatan pasien ( patient safety), yang meliputi: angka infeksi nosokomial, angka kejadian
pasien jatuh/kecelakaan, dekubitus, kesalahan dalam pemberian obat, dan tingkat kepuasan pasien terhadap
pelayanan kesehatan;

2. pengelolaan nyeri dan kenyamanan;

3. tingkat kepuasan  pasien terhadap pelayanan;

4. perawatan diri;

5. kecemasan pasien;

6. perilaku (pengetahuan, sikap, keterampilan) pasien (Nursalam, 2014).


B. Konsep Mutu Pelayanan Keperawatan
a. Definisi

Peningkatan mutu pelayanan adalah derajat memberikan pelayanan secara efisien dan efektif sesuai dengan
standar profesi, standar pelayanan yang dilaksanakan secara menyeluruh sesuai dengan kebutuhan pasien,
memanfaatkan teknologi tepat guna dan hasil
 penelitian dalam pengembangan pelayanan kesehatan/keperawatan sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal.
b. Pengukuran Mutu Pelayanan
Menurut Donabedian, mutu pelayanan dapat diukur dengan menggunakan tiga
variabel, yaitu input, proses, dan output/outcome:
1. Input

Input adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan seperti tenaga, dana,
obat, fasilitas peralatan, teknologi, organisasi, dan informasi
2. Proses
Proses adalah interaksi profesional antara pemberi pelayanan dengan konsumen (pasien dan
masyarakat). Setiap tindakan medis/keperawatan harus selalu mempertimbangkan nilai yang dianut pada diri
pasien. Setiap tindakan korektif dibuat dan meminimalkan risiko terulangnya keluhan atau
ketidakpuasan pada pasien lainnya. Program keselamatan pasien bertujuan untuk meningkatkan
keselamatan pasien dan meningkatkan mutu pelayanan. Interaksi profesional yang lain
adalah pengembangan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit dengan indikator  pemenuhan
standar pelayanan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI. Interaksi profesional selalu
memperhatikan asas etika terhadap pasien, yaitu berbuat hal hal yang baik (beneficence), tidak menimbulkan
kerugian (nonmaleficence), menghormati manusia (respect for persons), dan berlaku adil ( justice).
3. Output
Output/outcome adalah hasil pelayanan kesehatan atau pelayanan keperawatan, yaitu berupa perubahan
yang terjadi pada konsumen termasuk kepuasan dari konsumen
c. Konsep Mutu Berdasarkan SERVQUAL ( Service Quality)

Tinjauan mengenai konsep kualitas layanan sangat ditentukan oleh berapa besar  kesenjangan (gap) antara
persepsi pelanggan atas kenyataan pelayanan yang diterima,

dibandingkan dengan harapan pelanggan atas pelayanan yang harus diterima. Kelima

kesenjangan (gap) tersebut disajikan dalam skema grand theory Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985) dan diuraikan
berikut ini:
Gambar 2.1. The Integrated Gaps Model of Service Quality (Parasuraman, Zeithaml, Berry, 1985)
Penjelasan mengenai kelima kesenjangan tersebut yaitu sebagai berikut.

1. Kesenjangan antara harapan pengguna jasa dan persepsi manajemen. Manajemen institusi pelayanan
kesehatan belum mampu secara tepat mengidentifikasi dan memahami harapan (ekspektasi) para
pengguna jasa pelayanan kesehatan.
 b) Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas jasa. Kesenjangan akan terjadi jika
pemahaman manajemen RS (Puskesmas) tentang harapan
 pengguna jasa pelayanan kesehatan tidak diterjemahkan menjadi aksi nyata yang spesifik.
c) Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaiannya. Standar 

 pelayanan dan cara penyampaian jasa sudah tersusun dengan baik, tetapi muncul kesenjangan karena
staf pelaksana pelayanan di garis depan (front line staff) seperti
 perawat, bidan dan dokter umum di sebuah rumah sakit belum mendapat pelatihan khusus tentang teknik
penyampaian jasa pelayanan tersebut. Akibatnya, jasa

 pelayanan kesehatan yang ditawarkan kepada pasien tidak sesuai dengan standar  yang sudah ditetapkan

d) Kesenjangan antara penyampaian jasa dan harapan pihak eksternal.

Harapan pengguna jasa pelayanan kesehatan yang sudah mulai terbentuk melalui

 pemasaran tidak dapat terpenuhi karena pelayanan teknis medis dan kelengkapan mutu pelayanan
berbeda dengan ekspektasi mereka.

e) Kesenjangan antara jasa yang diterima pengguna dan yang diharapkan. Kesenjangan ini terjadi jika
konsumen mengukur kinerja institusi pelayanan kesehatan dengan cara yang berbeda, termasuk
persepsi pengguna yang berbeda

terhadap kualitas jasa pelayanan kesehatan yang diharapkan

Menurut Parasuraman (2001: 162) bahwa konsep kualitas layanan yang diharapkan dan dirasakan ditentukan
oleh kualitas layanan. Konsep kualitas layanan adalah suatu
 pengertian yang kompleks tentang mutu, tentang memuaskan atau tidak memuaskan. Lebih

 jelasnya dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.2. Penilaian Pelanggan terhadap Kualitas layanan (Parasuraman, 2001) Konsep kualitas layanan
dari harapan yang diharapkan seperti dikemukakan di atas,

ditentukan oleh empat faktor, yang saling terkait dalam memberikan suatu persepsi yang jelasdari harapan pelanggan
dalam mendapatkan pelayanan. Keempat faktor tersebut antara lain sebagai berikut
a) Komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication)
WOM dapat diartikan sebagai aktivitas komunikasi dalam
 pemasaran yang mengindikasikan seberapa mungkin pelanggan akan bercerita kepada orang lain tentang
pengalamannya dalam proses pembelian atau mengonsumsi suatu
 produk atau jasa. Pengalaman pelanggan tersebut dapat berupa pengalaman positif  atau pengalaman negatif.
Sebenarnya hubungan dari mulut ke mulut berbentuk U, apabila seseorang puas maka ia akan
menyebarkan berita positif dari mulut ke mulut, tapi apabila mengeluh tidak puas maka ia akan
menyebarkan berita negatif dari mulut ke mulut.
 b) Kebutuhan pribadi ( personal need) 
Harapan pelanggan bervariasi tergantung pada karakteristik dan keadaan individu yang memengaruhi
kebutuhan pribadinya.

c) Pengalaman masa lalu ( past experience)

Pengalaman pelanggan merasakan suatu pelayanan jasa tertentu di masa lalu yang memengaruhi
tingkat harapannya untuk memperoleh pelayanan jasa yang sama di masa kini dan yang akan datang.
d) Komunikasi eksternal (company’s external communication)

Komunikasi eksternal yang digunakan oleh organisasi jasa sebagai pemberi


 pelayanan melalui berbagai bentuk upaya promosi juga memegang peranan dalam pembentukan
harapan pelanggan. Berdasarkan pengertian di atas.
Berdasarkan pengertian di atas terdapat tiga tingkat konsep kualitas layanan yaitu:
a) Bermutu (quality surprise), bila kenyataan pelayanan yang diterima melebihi
 pelayanan yang diharapkan pelanggan.

 b) Memuaskan ( satisfactory quality), bila kenyataan pelayanan yang diterima sama dengan pelayanan yang
diharapkan pelanggan.
c) Tidak bermutu (unacceptable quality), bila ternyata kenyataan pelayanan yang diterima lebih rendah dari
yang diharapkan pelanggan.
Parasuraman (2001:26) mengemukakan konsep kualitas layanan yang berkaitan dengan kepuasan
ditentukan oleh lima unsur yang biasa dikenal dengan istilah kualitas layanan “RATER” (responsiveness, assurance,
tangible, empathy dan reliability). Konsep kualitas layanan RATER intinya adalah membentuk sikap dan
perilaku dari pengembang  pelayanan untuk memberikan bentuk pelayanan yang kuat dan mendasar, agar
mendapat penilaian sesuai dengan kualitas layanan yang diterima. Lebih jelasnya dapat diuraikan mengenai
bentuk-bentuk aplikasi kualitas layanan dengan menerapkan konsep “RATER” yang dikemukakan oleh
Parasuraman (2001:32) sebagai berikut:
a. Daya Tanggkap
Pada prinsipnya, inti dari bentuk pelayanan yang diterapkan dalam suatu instansi atau aktivitas
pelayanan kerja yaitu memberikan pelayanan sesuai dengan tingkat ketanggapan atas permasalahan
pelayanan yang diberikan. Kurangnya ketanggapan tersebut dari orang yang menerima pelayanan, karena
bentuk pelayanan tersebut baru dihadapi pertama kali, sehingga memerlukan banyak informasi mengenai
syarat dan prosedur pelayanan yang cepat, mudah dan lancar, sehingga
 pihak pegawai atau pemberi pelayanan seyogyanya menuntun orang yang dilayani sesuai dengan penjelasan-
penjelasan yang mendetail, singkat dan jelas yang tidak  menimbulkan berbagai pertanyaan atau hal-hal yang
menimbulkan keluh kesah dari orang yang mendapat pelayanan. Apabila hal ini dilakukan dengan
baik, berarti pegawai tersebut memiliki kemampuan daya tanggap terhadap pelayanan yang diberikan yang
menjadi penyebab terjadinya pelayanan yang optimal sesuai dengan tingkat kecepatan, kemudahan dan
kelancaran dari suatu pelayanan yang ditangani oleh pegawai (Parasuraman, 2001). Kualitas layanan
daya tanggap adalah suatu
 bentuk pelayanan dalam memberikan penjelasan, agar orang yang diberi pelayanan tanggap dan menanggapi
pelayanan yang diterima, sehingga diperlukan adanya unsur  kualitas layanan daya tanggap sebagai berikut.
• Memberikan penjelasan secara bijaksana sesuai dengan bentuk-bentuk 

 pelayanan yang dihadapinya. Penjelasan bijaksana tersebut mengantar  individu yang mendapat
pelayanan mampu mengerti dan menyetujui segala bentuk pelayanan yang diterima.

• Memberikan penjelasan yang mendetail yaitu bentuk penjelasan yang substantif dengan persoalan
pelayanan yang dihadapi, yang bersifat jelas, transparan, singkat dan dapat dipertanggung
jawabkan
• Memberikan pembinaan atas bentuk-bentuk pelayanan yang dianggap masih kurang atau belum
sesuai dengan syarat-syarat atau prosedur pelayanan yang ditunjukkan.
• Mengarahkan setiap bentuk pelayanan dari individu yang dilayani untuk  menyiapkan,
melaksanakan dan mengikuti berbagai ketentuan pelayanan yang harus dipenuhi.

• Membujuk orang yang dilayani apabila menghadapi suatu permasalahan yang dianggap
bertentangan, berlawanan atau tidak sesuai dengan prosedur  dan ketentuan yang berlaku

Inti dari bentuk pelayanan yang meyakinkan pada dasarnya bertumpu kepada kepuasan pelayanan
yang ditunjukkan oleh setiap pegawai, komitmen organisasi yang menunjukkan pemberian
pelayanan yang baik, dan perilaku dari pegawai dalam memberikan pelayanan, sehingga dampak
yang ditimbulkan dari segala aktivitas pelayanan tersebut diyakini oleh orang-orang yang
menerima pelayanan, akan dilayani dengan baik sesuai dengan bentuk-bentuk pelayanan yang
dapat diyakini sesuai dengan kepastian pelayanan. Suatu organisasi kerja sangat memerlukan
adanya kepercayaan yang diyakini sesuai dengan kenyataan bahwa organisasi tersebut mampu
memberikan kualitas layanan yang dapat dijamin sesuai dengan:
• Mampu memberikan kepuasan dalam pelayanan yaitu setiap pegawai akan memberikan
pelayanan yang cepat, tepat, mudah, lancar dan berkualitas, dan hal tersebut menjadi bentuk
konkret yang memuaskan orang yang mendapat
 pelayanan
• Mampu menunjukkan komitmen kerja yang tinggi sesuai dengan Bentuk bentuk
integritas kerja, etos kerja dan budaya kerja yang sesuai dengan aplikasi dari visi, misi suatu
organisasi dalam memberikan pelayanan
• Mampu memberikan kepastian atas pelayanan sesuai dengan perilaku yang ditunjukkan, agar
orang yang mendapat pelayanan yakin sesuai dengan
 perilaku yang dilihatnya.

3) Bukti Fisik (Tangible)


Berarti dalam memberikan pelayanan, setiap orang yang menginginkan pelayanan dapat
merasakan pentingnya bukti fisik yang ditunjukkan oleh pengembang  pelayanan, sehingga  pelayanan
bukti fisik biasanya berupa sarana dan prasarana pelayanan yang tersedia, teknologi pelayanan yang
digunakan, performance pemberi pelayanan yang sesuai dengan karakteristik pelayanan yang diberikan
dalam menunjukkan prestasi kerja yang dapat diberikan dalam bentuk pelayanan fisik yang dapat dilihat.
Bentuk-bentuk pelayanan yang diberikan memberikan kepuasan. Bentuk  pelayanan fisik yang
ditunjukkan sebagai kualitas layanan dalam rangka meningkatkan prestasi kerja, merupakan salah
satu pertimbangan dalam manajemen organisasi. Identifikasi kualitas layanan fisik (tangible) dapat
tercermin dari aplikasi lingkungan kerja berikut:

• Kemampuan menunjukkan prestasi kerja pelayanan dalam menggunakan alat dan perlengkapan
kerja secara efisien dan efektif.
• Kemampuan menunjukkan penguasaan teknologi dalam berbagai akses data dan inventarisasi
otomasi kerja sesuai dengan dinamika dan perkembangan dunia kerja yang dihadapinya.
• Kemampuan menunjukkan integritas diri sesuai dengan penampilan yang menunjukkan
kecakapan, kewibawaan dan dedikasi kerja.
• Empati ( Empathy)

Empati dalam suatu pelayanan adalah adanya suatu perhatian, keseriusan, simpatik,
pengertian dan keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dengan pelayanan untuk
mengembangkan dan melakukan aktivitas pelayanan sesuai dengan tingkat pengertian dan pemahaman
dari masing-masing pihak tersebut. Bentuk  kualitas layanan dari empati orang-orang pemberi
pelayanan terhadap yang mendapatkan pelayanan harus diwujudkan dalam lima hal berikut:
• Mampu memberikan perhatian terhadap berbagai bentuk pelayanan yang diberikan, sehingga
yang dilayani merasa menjadi orang yang penting.
• Mampu memberikan keseriusan atas aktivitas kerja pelayanan yang diberikan, sehingga yang
dilayani mempunyai kesan bahwa pemberi pelayanan menyikapi pelayanan yang diinginkan.
• Mampu menunjukan rasa simpatik atas pelayanan yang diberikan, sehingga yang dilayani
merasa memiliki wibawa atas pelayanan yang dilakukan.
• Mampu menunjukkan pengertian yang mendalam atas berbagai hal yang diungkapkan,
sehingga yang dilayani menjadi lega dalam menghadapi bentuk bentuk pelayanan yang
dirasakan.
4) Keandalan ( Reliability)
Inti pelayanan keandalan adalah setiap pegawai memiliki kemampuan yang
andal, mengetahui mengenai seluk belum prosedur kerja, mekanisme kerja, memperbaiki berbagai
kekurangan atau penyimpangan yang tidak sesuai dengan

 prosedur kerja dan mampu menunjukkan, mengarahkan dan memberikan arahan yang

 benar kepada setiap bentuk pelayanan yang belum dimengerti oleh masyarakat, sehingga memberi dampak
positif atas pelayanan tersebut yaitu pegawai memahami, menguasai, andal, mandiri dan profesional atas
uraian kerja yang ditekuninya (Parasuraman, Zeithamal, Berry, 1985 dan (Parasuraman, 2001). Keandalan
dari seorang pegawai yang berprestasi, dapat dilihat dari berikut:
• Keandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat  pengetahuan terhadap
uraian kerjanya.

• Keandalan dalam memberikan pelayanan yang terampil sesuai dengan tingkat keterampilan kerja
yang dimilikinya dalam menjalankan aktivitas pelayanan yang efisien dan efektif.
• Keandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan pengalaman kerja yang dimilikinya,
sehingga penguasaan tentang uraian kerja dapat dilakukan secara cepat, tepat, mudah dan berkualitas
sesuai pengalamannya.
• Keandalan dalam mengaplikasikan penguasaan teknologi untuk memperoleh  pelayanan yang akurat
dan memuaskan sesuai hasil output penggunaan teknologi yang ditunjukkan.Upaya Peningkatan
Mutu.

C. Indikator Penilaian Mutu Asuhan Keperawatan


Mutu asuhan pelayanan dalam rumah sakit pada umumnya memiliki tiga aspek  penilaian diantaranya
evaluasi, dokumen, instrumen dan audit (EDIA). Mutu asuhan kesehatan di dalam RS selalu memiliki
keterkaitan dengan struktur, proses dan outcome dari sistem pelayanan rumah sakit (Nursalam, 2014).

1. Aspek struktur (input)

Struktur adalah seluruh input dalam sistem pelayanan rumah sakit yang meliputi M1 (tenaga), M2 (sarana
prasarana), M3 (metode asuhan keperawatan), M4 (dana), M5

(pemasaran) dan lain-lain.


2. Proses
Proses merupakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh dokter, perawat, dan tenaga
 profesi lain yang mengadakan interaksi secara profesional dengan pasien. Interaksi ini diukur dalam penilaian
mengenai penyakit pasien, penegakan diagnosis, rencana tindakan pengobatan, indikasi tindakan, penanganan
penyakit dan prosedur pengobatan.
3. Outcome
Outcome adalah hasil akhir kegiatan yang dilakukan oleh dokter, perawat dan tenaga
 profesi lain terhadap pasien.
4. Aspek struktur (input)

Struktur adalah seluruh input dalam sistem pelayanan rumah sakit yang meliputi M1 (tenaga), M2 (sarana
prasarana), M3 (metode asuhan keperawatan), M4 (dana), M5

(pemasaran) dan lain-lain.

5. Proses

Proses merupakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh dokter, perawat, dan tenaga

 profesi lain yang mengadakan interaksi secara profesional dengan pasien. Interaksi ini diukur dalam penilaian
mengenai penyakit pasien, penegakan diagnosis, rencana tindakan pengobatan, indikasi tindakan, penanganan
penyakit dan prosedur pengobatan.

6. Outcome

Outcome adalah hasil akhir kegiatan yang dilakukan oleh dokter, perawat dan tenaga

 profesi lain terhadap pasien.

1) Indikator-indikator mutu yang mengacu pada aspek pelayanan meliputi:

• Angka infeksi nosokomial: 1–2%

• Angka kematian kasar: 3–4%

• Kematian pascabedah: 1–2%

• Kematian ibu melahirkan: 1–2%

• Kematian bayi baru lahir: 20/1.000

• NDR ( Net Death Rate): 2,5%

• ADR ( Anesthesia Death Rate) maksimal 1/5.000

• PODR ( Post-Operation Death Rate): 1%

• POIR ( Post-Operative Infection Rate): 1%

2) Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi Rumah Sakit:

• Biaya per unit untuk rawat jalan

• Jumlah penderita yang mengalami dekubitus

• Jumlah penderita yang jatuh dari tempat tidur 

• BOR: 70–85%

• BTO ( Bed Turn Over) : 5–45 hari atau 40–50 kali per satu tempat tidur/ tahun

• TOI (Turn Over Interval) : 1–3 hari TT yang kosong


• LOS ( Length of Stay): 7–10 hari (komplikasi, infeksi nosokomial, gawat

darurat; tingkat kontaminasi dalam darah, tingkat kesalahan,dan kepuasan


 pasien)
•  Normal Tissue Removal Rate: 10%.

3) Indikator mutu yang berkaitan dengan kepuasan pasien dapat diukur dengan

 jumlah keluhan dari pasien/keluarganya, surat pembaca di koran, surat kaleng, surat masuk di kotak
saran, dan lainnya.

4) Indikator cakupan pelayanan sebuah Rumah Sakit terdiri atas:

• Jumlah dan persentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak RS dengan asal pasien

• Jumlah pelayanan dan tindakan seperti jumlah tindakan pembedahan dan jumlah kunjungan
SMF spesialis
• Untuk mengukur mutu pelayanan sebuah RS, angka-angka standar tersebut di atas dibandingkan
dengan standar (indikator) nasional. Jika bukan angka standar nasional, penilaian dapat
dilakukan dengan menggunakan hasil
 pencatatan mutu pada tahun-tahun sebelumnya di rumah sakit yang sama, setelah
dikembangkan kesepakatan pihak manajemen/direksi RS yang
 bersangkutan dengan masing-masing SMF dan staf lainnya yang terkait.
5) Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien:

• Pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi

• Pasien diberi obat salah

• Tidak ada obat/alat emergensi

• Tidak ada oksigen

• Tidak ada suction (penyedot lendir)

• Tidak tersedia alat pemadam kebakaran

• Pemakaian obat

• Pemakaian air, listrik, gas, dan lain-lain.


Indikator keselamatan pasien yang digunakan dan dilaksanakan oleh Singapore General Hospital
(SGH) pada tahun 2006 antara lain:

1) Pasien jatuh disebabkan kelalaian perawat, kondisi kesadaran pasien, beban kerja perawat, model
tempat tidur, tingkat perlukaan, dan keluhan keluarga
2) Pasien melarikan diri atau pulang paksa, disebabkan kurangnya kepuasan
 pasien, tingkat ekonomi pasien, respons perawat terhadap pasien, dan peraturan rumah sakit
3) Clinical Incident  di antaranya jumlah pasien flebitis, jumlah pasien ulkus dekubitus, jumlah
pasien pneumonia, jumlah pasien tromboli, dan jumlah pasien edema paru karena pemberian cairan
yang berlebih
4. Sharp Injury, meliputi bekas tusukan infus yang berkali-kali, kurangnya keterampilan
perawat, dan komplain pasien
5.  Medication Incident,  meliputi lima tidak tepat (jenis obat, dosis, pasien, cara, waktu).
D. Indikator Utama Kualitas Pelayanan di Rumah Sakit
1. Definisi Keselamatan Pasien
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011,
keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya
risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak  mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
2. Standar Keselamatan Pasien
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang perlu ditangani segera di
rumah sakit di Indonesia maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang
merupakan acuan bagi rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan kegiatannya.
Standar keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini mengacu pada ”Hospital Patient
Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health
Organizations, Illinois, USA, tahun 2002, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
perumahsakitan di Indonesia. Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar
yaitu:
1) Hak pasien
Standarnya adalah pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian
Tidak Diharapkan). Kriterianya adalah sebagai berikut:
a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
 b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.
c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang
 jelas dan benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan,
pengobatan tau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD.
2) Mendidik pasien dan keluarga
Standarnya adalah Rumah Sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban
dan tanggung jawab pasien dalam asuhan keperawatan. Kriterianya adalah keselamatan
dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien adalah partner
dalam proses pelayanan. Karena itu, di Rumah Sakit harus ada sistem dan mekanisme
mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam
asuhan keperawatan. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat:
a. Memberikan info yang benar, jelas, lengkap dan jujur.

 b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab.

c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.

d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.

e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS.

f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.

g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.


3) Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standarnya adalah RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi
antar tenaga dan antar unit pelayanan dengan kriteri sebagai berikut:

a. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk,
pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan

 pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.

 b. Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap
pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.
c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk
memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi
dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut

lainnya.
d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat
tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
4) Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasienStandarnya adalah Rumah Sakit harus mendisain proses
baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD (Kecelakaan Tidak Diharapkan),
dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien dengan
kriteria sebagai berikut:
a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, sesuai
dengan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
 b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja.
c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif.
d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis.

5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, standarnya adalah:


a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program melalui penerapan
“7 Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.

 b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko keselamatan


pasien dan program mengurangi KTD.
c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar  unit dan
individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang

keselamatan pasien.

d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan
meningkatkan kinerja rumah sakit serta tingkatkan keselamatan pasien.
6) Mendidik staf tentang keselamatan pasien, standarnya adalah:
a. RS memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup
keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.

 b. RS menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk 


meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien, dengan kriteria sebagai berikut:
• Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik 
keselamatan pasien.

• Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap


kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang
 pelaporan insiden.

• Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork)  guna


mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani
pasien.
 b. RS menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk 
meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien, dengan kriteria sebagai berikut:
• Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik 
keselamatan pasien.

• Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap


kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang
 pelaporan insiden.

• Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork)  guna


mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani
pasien.
7) Komunikasi merupakan kunci bagi staff untuk mencapai keselamatan pasien, standarnya
adalah:
a. RS merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan

 pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.

 b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat, dengan kriteria sebagai berikut:
• Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk
memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.
• Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk  merevisi
manajemen informasi yang ada.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keselamatan dan Keamanan

Keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang terhindar dari ancaman
bahaya atau kecelakaan. Kecelakaan merupakan kejadian yang tidak  dapat diduga dan tidak
diharapkan yang dapat menimbulkan kerugian, sedangkan keamanan adalah keadaan aman
dan tenteram. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan keselamatan dan keamanan,
yaitu;
1. Usia

Pada anak-anak tidak terkontrol dan tidak mengetahui akibat dari apa yang dilakukan.
Pada orang tua atau lansia akan mudah sekali terjatuh atau kerapuhan tulang.
2. Tingkat kesadaran
Pada pasien koma, menurunnya respon terhadap rangsang, paralisis, disorientasi, dan
kurang tidur.
3. Emosi
Emosi seperti kecemasan, depresi, dan marah akan mudah sekali terjadi dan
 berpengaruh terhadap masalah keselamatan dan keamanan.
4. Status mobilisasi

Keterbatasan aktivitas, paralisis, kelemahan otot, dan kesadaran menurun memudahkan


terjadinya resiko injuri atau gangguan integritas kulit.
5. Gangguan persepsi sensori
Kerusakan sensori akan memengaruhi adaptasi terhadap rangsangan yang

 berbahaya seperti gangguan penciuman dan penglihatan.

6. Informasi / komunikasi

Gangguan komunikasi seperti afasia atau tidak dapat membaca menimbulkan


kecelakaan.

7. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional

Antibiotik dapat menimbulkan resisten dan syok anafilaktik.

8. Keadaan imunitas

Gangguan immunitas akan menimbulkan daya tahan tubuh yang kurang sehingga
mudah terserang penyakit.
9. Ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi sel darah putih Sel darah putih berfungsi
sebagai pertahanan tubuh terhadap suatu penyakit.

10. Status nutrisi

Keadaan nutrisi yang kurang dapat menimbulkan kelemahan dan mudah terserang
penyakit, demikian sebaliknya, kelebihan nutrisi beresiko terhadap penyakit tertentu.

11. Tingkat pengetahuan sebelumnya. Kesadaran akan terjadinya gangguan keselamatan dan
keamanan dapat diprediksi
DAFTAR PUSTAKA

Fitriyanah, E., Noer’aini, I. and Utomo, T. P. (2015) ‘Perbedaan Tingkat Kepuasan Pasien BPJS dan Pasien
Umum Tentang Mutu Pelayanan Keperawatan Unit Rawat Inap Kelas

3 RSUD DR.H Soewondo Kendal’, Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, p. 2015. Jayanti, L. D.
and Haryati, R. T. (2020) ‘Pengembanga Sistem Informasi Manajemen Dengan

Integrated Clinical Pathway Terhadap Mutu Pelayanan Keperawatan’, Malaysian Palm Oil Council
(MPOC), 21(1), pp. 1–9. Available at: http://mpoc.org.my/malaysian-palm- oil-industry/.
 Nursalam (2014)  Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan

 Profesional.  4th edn. Jakarta: Salemba Medika.

Perceka, A. L. (2020) ‘Hubungan Mutu Pelayanan Keperawatan Dengan Kepuasan Pasien Di Ruangan IGD RSUD
Dr. Slamet Garut’, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik,  6(2), pp.

270–277.

Suryaningsih, D. (2012) ‘Model Supervisi Klinis Yang Dapat Meningkatkan Mutu Pelayanan Keperawatan’,
Seminar Nasional dan Call for Paper |, pp. 203–211.
Wahyudi, R. E., & Permanasari, V. Y. (2018). Analysis of the Quality of Nursing Services
According to Hospital Accreditation 2012 Version, Reviewed from Baldrige Malcolm Criteria
in Pasar Minggu Jakarta Selatan Hospital in 2017. KnE Life Sciences, 232-243.

Freitas, J. S. , Silva, A. E. B. C. , Minamisava, R. , Bezerra, A. L. Q. , & Sousa, M. R. G. (2014). Quality of


nursing care and satisfaction of patients attended at a teaching hospital. Revista Latino‐Americana De
Enfermagem, 22(3), 454–460. 10.1590/0104-

1169.3241.2437

Anda mungkin juga menyukai