Anda di halaman 1dari 40

Hipotesis glutamat pada skizofrenia

Yota Uno, MD, PhD dan Joseph T. Coyle, MD

Skizofrenia merupakan satu gangguan/ penyakit kejiwaan yang parah dan bersifat

kronis, yang dimana hal ini dapat memberikan dampak yang buruk terhadap

kehidupan penderitanya dan juga terhadap kehidupan masyarakat. Dengan demikian,

pengembangan intervensi terapeutik yang lebih efektif adalah hal yang penting.

Selama seperempat abad terakhir, diketahui banyak bukti dan temuan dari tantangan-

tantangan farmakologis, penelitian-penelitian pasca-mortem, pencitraan otak, dan

penelitian-penelitian di bidang genetik yang mendukung akan peranan disregulasi

glutamatergik di dalam patofisiologi skizofrenia, dan hasil dari beberapa penelitian

klinis acak terbaru yang didasarkan pada bukti ini diketahui telah memberikan hasil

yang cukup menjanjikan. Pada artikel ini, kami pun melakukan reviu bukti yang

menunjukkan bahwa perubahan pada neurotransmisi glutamatergik, khususnya yang

berfokus pada fungsi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDAR), dapat menjadi fitur/

ciri kausatif skizofrenia yang signifikan, pada bagaimana hal ini berkontribusi

terhadap fungsi sirkuit patologis di dalam otak, dan pada bagaimana pandangan-

pandangan ini dapat mengungkapkan jalan yang benar-benar baru untuk

perkembangan penanganan yang dapat menurunkan tingkat gejala-gejala yang

resisten terhadap penanganan dan disabilitas yang bersifat persisten/ kronis.

Kata kunci: D-serine, glutamat, reseptor N-methyl-D-aspartate, skizofrenia, serine

racermase.

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/pcn.12823/full
Skizofrenia merupakan satu gangguan/ penyakit kejiwaan yang parah dan bersifat

kronis, yang dimana hal ini dapat memberikan dampak yang buruk terhadap

kehidupan penderitanya dan juga kehidupan masyarakat. Kondisi ini dicirikan secara

klinis oleh kemunculan gejala-gejala positif (yaitu: halusinasi, delusi/ waham,

pemikiran yang tidak terorganisir, dan perilaku motorik yang tidak terorganisir serta

tidak normal), gejala-gejala negatif (yaitu penurunan ekspresi emosi, avolisi atau

berkurangnya keinginan untuk terlibat di dalam tindakan-tindakan yang berorientasi

tujuan, alogia, anhedonia, dan asosialitas), serta defisit kognitif (yaitu berkurangnya

perhatian, penurunan memori kerja, dan penurunan fungsi eksekutif). Defisit kognitif

diketahui dapat muncul sebelum diagnosis klinis dan sangat berkaitan dengan

outcome-outcome fungsional, seperti contohnya fungsi akademik dan pekerjaan serta

kemampuan untuk hidup secara mandiri.

Menurut estimasi, diperkirakan bahwa tingkat prevalensi skizofrenia adalah 1% dari

seluruh populasi umum, dan diketahui bahwa skizofrenia memiliki tingkat

heritabilitas yang tinggi. Menurut penelitian yang melibatkan subjek kembar dengan

ukuran sampel yang besar dan metode statistik yang berkualitas tinggi, tingkat

heritabilitas diketahui sekitar 79%, dan hal ini pun tidak berbeda dengan beberapa

hasil penelitian sebelumnya. Namun demikian, pola inheritansi (keturunan) untuk

kasus ini tidaklah mengikuti pola Mendel, dan hal ini pun mendukung adanya

peranan genetik yang kompleks. Dengan demikian, faktor-faktor resiko genetik

sangatlah berkontribusi terhadap penyebab skizofrenia, namun juga hal ini

dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Skizofrenia dianggap sebagai satu

gangguan neuro-developmental karena adanya peranan gangguan lingkungan, seperti

contohnya infeksi yang terjadi pada periode perinatal.


Pada artikel ini, kami akan mereviu bukti yang ada yang menunjukkan bahwa

disfungsi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDAR) dapat menjadi ciri kausatif

skizofrenia yang penting, kami juga akan mengkaji tentang bagaimana hal ini

berkontribusi terhadap fungsi sirkuit patologis di dalam sistem kortikolimbik, dan

tentang bagaimana pandangan-pandangan ini dapat menyingkapkan jalan baru untuk

perkembangan penanganan yang dapat menangani gejala-gejala negatif dan kognitif

yang resisten terhadap penanganan yang ada sekarang dan yang menyebabkan

disabilitas persisten/ kronis.

Riwayat hipotesis-hipotesis patologis skizofrenia

Hipotesis-hipotesis sebelum ditemukannya obat-obatan antipsikotik

Keberadaan akan individu-individu yang mengalami gejala-gejala psikiatrik, seperti

contohnya halusinasi dan waham (frenitis) sudahlah diketahui di zamannya

Hippocrates (460-375 SM), yang merupakan bapak ilmu kedokteran. Di saat itu,

diyakini bahwa gangguan-gangguan ini disebabkan karena kondisi tubuh yang tidak

normal yang dikarenakan oleh faktor-faktor fisik. Mereka mencoba untuk menangani

gangguan-gangguan ini dengan beberapa cara yang diyakini dapat memberikan efek

terapeutik, yang diantaranya mencakup pemberian akar Rauvolfia serpentina, yang

mengandung reserpine yang dapat menghambat penyimpanan dan penggunaan amina

biogenik.

Pada tahun 1899, Emil Kraeplin, seorang dokter Jerman, mengintegrasikan beberapa

kondisi kejiwaan, seperti contohnya hebefrenia, katatonia, dan paranoid demensia,

yang sekarang dikenal sebagai sub-sub tipe skizofrenia, dan beliau pun
mengembangkan konsep prekoks demensia. Sejak asumsi beliau yang menyatakan

bahwa kondisi-kondisi tersebut dapat menyebabkan hilangnya fungsi kognitif yang

resisten terhadap penanganan, beliau pun mengklasifikasikannya sebagai demensia.

Istilah “skizofrenia”, yang saat ini digunakan, pun pertama ditemukan pada tahun

1908 oleh Eugen Bleuler, seorang dokter Swiss. Beliau pun merevisi ide tentang

prekoks demensia dan menggantinya dengan nama “skizofrenia”. Beliau pun

mengidentifikasi diskoneksi antara proses afeksi dan pikiran (pemisahan, yaitu schiz)

sebagai ciri mendasar dari skizofrenia dan ambivalensi dengan autisme sebagai

gejala-gejala dasar, sedangkan gejala-gejala positif, seperti contohnya halusinasi dan

waham dianggap sebagai gejala-gejala tambahan. Beliau juga berspekulasi bahwa

gejala-gejala inti dapatlah lebih merespon beberapa penanganan yang berbeda-beda

dibandingkan dengan gejala-gejala tambahan. Hipotesis ini terbukti tetap bertahan

ketika antipsikotik ditemukan cukup efektif di dalam penanganan gejala-gejala

positif, namun antipsikotik tidaklah efektif untuk menangani gejala-gejala negatif

dan kognitif. Kemudian, Kurt Schneider, yang merupakan seorang dokter Jerman,

mengajukan sederet bentuk-bentuk delusi dan halusinasi yang didasarkan pada

gangguan pada identitas diri, yang diistilahkan oleh beliau sebagai “gejala-gejala

peringkat pertama”, sedangkan belaiu menganggap bahwa gejala-gejala negatif dan

kognitif merupakan gejala-gejala sekunder. Namun demikian, spesifisitas gejala-

gejala pertama untuk skizofrenia masihlah dipertanyakan.


Hipotesis dopamine

Antipsikotik pertama, yaitu chlorpromazine, yang pada awalnya dikembangkan

sebagai obat antihistaminergik untuk digunakan di dalam penanganan berbagai

kondisi (yang mencakup mual dan alergi), dan reserpine, yang merupakal alkaloid

Rauvolfia, diketahui dapat memberikan kemanjuran di dalam penanganan psikosis

skizofrenia di awal tahun 1950-an. Tidak lama setelah itu, obat-obatan yang lebih

manjur seperti fenotiazin dan butyrophenon pun dikembangkan dan terbukti sangat

manjur di dalam meredakan gejala-gejala skizofrenia. Namun demikian, obat-obatan

tersebut cenderung memicu efek samping ekstra-piramidal seperti Parkinson. Lebih

jauh lagi, reserpine diketahui dapat menyebabkan penurunan monoamine, seperti

contohnya dopamin, pada vesikula-vesikula sinaptik melalui penghambatan

transporter monoamine vesikular. Alfa-metil-para-tirosin, yang dikenal sebagai

penghambat spesifik tirosin-hidroksilase, yaitu enzim awal di dalam lintasan sintesis

untuk katekholamin, juga diketahui dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia.

Carlsson mensintesakan observasi-observasi ini dan mengusulkan bahwa antipsikotik

dapatlah memberikan efek terapeutiknya dengan menyekat reseptor-reseptor

dopamin, dan beliau pun dianugrahi Piala Nobel.

Beberapa simultan, seperti contohnya amfetamin, yang dapat menghambat

transporter monoamin vesikular prasinaptik 2 dan transporter dopamin, diketahui

dapat meningkatkan konsentrasi dopamin pada celah sinaptik. Sesuai dengan efek

antipsikotik penurunan dopamin, simultan dengan dosis tinggi dapatlah memicu

psikosis, yang dimana secara klinis hal ini menyerupai fase akut skizofrenia

paranoid. Data dari penelitian yang melibatkan hewan percobaan mengindikasikan


bahwa fenotiazin dan butyrophenon dapatlah meredakan perilaku-perilaku yang

dimediasi oleh dopamin yang dipicu oleh amfetamin atau apomorfin. Dengan

mensintesakan pengaruh terbalik dari simultan dan antipsikotik terhadap

neurotransmisi dopaminergik, Snyder pun mengusulkan hipotesis ‘dopamin”, dimana

skizofrenia diduga disebabkan karena stimulasi reseptor-reseptor dopamin yang

berlebihan.

Hipotesis glutamat

Hiptesis dopamin dapatlah menjelaskan beberapa aspek tertentu psikopatologi

skizofrenia, khususnya gejala-gejala positif. Namun demikian, dengan pengecualian

clozapine, beberapa antipsikotik memiliki efek yang tidak signifikan terhadap gejala-

gejala negatif dan kognitif, yang merupakan prediktor yang kuat akan disabilitas di

dalam pengidapan skizofrenia. Lebih jauh lagi, atrofi kortikal diketahui memiliki

hubungan dengan gejala-gejala negatif dan kognitif pada skizofrenia kronis, namun

hal ini tidaklah berlaku dengan keparahan psikosis. Dengan demikian, fitur-fitur ini

skizofrenia, yang utamanya bertanggungjawab atas disabilitas persisten, diketahui

memiliki hubungan dengan patologi kortikal pervasif dan tampaknya bukanlah

konsekuensi dari disfungsi dopamine saja.

Ketamine dan phencyclidine (PCP), yang dikembangkan sebagai anestetik disosiatif

pada tahun 1970-an telah diketahui dapat memicu gejala-gejala yang mirip

skizofrenia, yang mencakup tidak hanya gejala-gejala psikotik dan gangguan-

gangguan pikiran saja, namun juga mencakup gejala-gejala negatif dan kognitif pada
manusia yang sehat. Lebih jauh lagi, psikosis yang dipicu oleh ketamine atau PCP

secara klinis sulitlah dibedakan dari psikosis primer skizofrenia.

Keberadaan ikatan untuk ketamine dan PCP pertama didekskripsikan pada tahun

1979, yang kemudian diikuti oleh laporan-laporan penelitian di tahun 1980-an awal,

dan diketahui bahwa senyawa-senyawa diatas merupakan antagonis non-kompetitif

sub tipe NMDA, yaitu. reseptor glutamat. Berdasarkan pada observasi klinis para

pasien yang terpapar PCP dan ketamine, dan penelitian-penelitian laboratorium yang

dilakukan secara cermat untuk mengetahui infusi dosis subanestetik ketamin pada

para subjek yang normal, maka diketahui bahwa sepertinya skizofrenia dapat

disebabkan karena hipofungsi NMDAR.

Apa itu Reseptor NMDA?

Glutamat dikenal sebagai neurotransmiter asam amino eksitatori yang paling banyak

pada otak. Senyawa ini diketahui dapat mengaktivasi reseptor-reseptor metabotropik

yang bergandeng dengan protein G (mGlu) dan reseptor-reseptor ionotropik.

Reseptor-reseptor ionotropik dibagi kedalam tiga sub tipe dengan berdasarkan pada

sensitivitasnya terhadap ligan selektif afinitas tinggi: yaitu NMDAR, reseptor-

reseptor alfa-amino-3-hidroksi-5-metilisoksaole-4-propionat, dan reseptor-reseptor

kainite. NMDAR menunjukkan desentisisasi yang lambat dan tak-lengkap jika

dibandingkan dengan reseptor-reseptor glutamat ionotropik non-NMDA.


Struktur dan fungsi (lihat Gambar 1)

NMDAR terdiri dari kompleks heterotetramerik dua sub unit GluN1 obligatori

dengan dua sub unit GluN2 atau kombinasi sub unit GluN2 dan GluN3. Sub unit

GluN1 dikoding oleh gen tunggal (GR1N1) namun memiliki delapan isoform yang

berbeda-beda karena penjalinan alternatif. Sub-sub unit GluN2 dan GluN3 juga

memiliki empat (GluN2A – D) dan dua varian (GluN3A – B), yang dikode/ dikoding

oleh gen-gen terpisah, yaitu masing-masing GRIN2A-D dan GRIN3A-B. Tiap sub

unit GluN diketahui memiliki arsitektur modular yang tipikal/ umum dengan dua

domain ekstraselular yang mirip kulit kerang (domain amino-terminal pada susunan

dan modulasi kanal, dan satu domain yang mengikat ligan), domain transmembran,

dan domain karboksi-terminal yang terlibat di dalam lalulintas dan penyinalan

reseptor. Wilayah domain amino-terminal dan domain karboksi-terminal merupakan

yang paling berlainan/ berbeda dan memiliki peran akan keragaman fungsional

NMDAR. D-serine dan glisin diketahui mengikat ke sub-sub unit GluN1 dan GluN3,

yang merupakan lokasi modulatori glisin (GMS), dan ikatan-ikatan glutamat ke sub

unit GluN2 pada lokasi pengikatan glutamin. Reseptor ini masing-masing dimodulasi

oleh seng divalen antagonis alosterik GluN2A dan GluN2B dan ifenprodil

fenilethanolamin atau Ro25-6981. Lebih jauh lagi, terdapat lokasi-lokasi ikatan

untuk penyesuaian aktivasi saluran ion, seperti contohnya lokasi modulatori redoks

dimana glutation mengikat pada GluN1 dan 2A, lokasi ikatan spermine pada

GluN2B dan Mg2+, MK-901 dan ketamin dan lokasi ikatan PCP pada domain

transmembran.
Aktivasi NMDAR secara unik membutuhkan tiga kejadian simultan/ bersamaan: (i)

yaitu depolarisasi pasca-sinaptik, yang umumnya melalui pengaktifan reseptor-

reseptor alfa-amino-3-hidroksi-5-metilisoxaole-4-propionat, untuk menghilangkan

sekatan magnesium saluran kation GluN1; (ii) okupansi GMS pada GluN1 oleh

glisin atau D-serine; dan (iii) ikatan glutamat neurotransmiter ke reseptor-reseptornya

pada GluN2 untuk membuka saluran dan memungkinkan masuknya kalsium.

Kalsium diketahui dapat memicu kaskade kejadian-kejadian intraselular yang

memediasi plastisitas sinaptik fungsional akut dan perubahan-perubahan pada

ekspresi gen yang meningkatkan plastisitas struktural neural jangka panjang.

Peranan patofisiologis Serine Racemase dan D-Serine

Vertebrata diketahui tidaklah dapat mengutilisasi asam amino D, namun bakteri

diketahui dapat mensintesa beberapa asam amino D. Serine racemase (SR) dan D-

serine ditemukan pada seranggga eukariotik pada tahun 1966. Pada tahun 1992,

laboratorium Nishikawa merupakan institusi pertama yang melaporkan keberadaan

D-serine bebas pada otak mamalia dan membantah bahwa vertebrata tidak dapat

mensintesa asam amino D. Penemuan ini juga menghentikan perdebatan selama

seperempat abad tentang asalan untuk ekspresi asam amino d oksidase (DAAO),

yaitu enzim yang men-aminase asam amino D menjadi asam imino pada otak.

Laboratorium Snyder mengembangkan bukti yang menunjukkan bahwa aktifitas

fungsional NMDAR membutuhan D-serine endogen sebagai ko-agonis dengan

menunjukkan hilangnya aktifitas NMDAR dengan memperfusi DAAO, yang

menurunkan D-serine sinaptik, namun tidak menurunkan glisina. Lebih jauh lagi,
mereka membuktikan bahwa terdapat hubungan yang dekat di dalam ekspresi SR,

NMDAR, khususnya glutamat, glisina, dan lokasi-lokasi ikatan PCP, dan kadar D-

serine pada otak depan, dan adanya hubungan terbalik di dalam ekspresi DAAO dan

kadar D-serine pada serebelum dan otak belakang dimana glisina diketahui

mengalami peningkatan konsentrasi yang tinggi. Dengan demikian, mereka

menyimpulkan bahwa D-serine merupakan ko-agonis primer pada NMDAR sinaptik

di otak depan. Mereka berhasil di dalam pemurnian dan pengkarakterisasian SR dari

otak tikus pada tahun 1999. Enzim ini diklasifikasikan sebagai anggota keluarga

enzim yang tergantung pada pyridoxal-5-fosfat dan mengkatalisasi pembentukkan D-

serine dari L-serine.

Lokalisasi selular

D-serine diperkaya di wilayah kortikolimbik otak dan dilokalisasi ke area-area yang

sama sebagai NMDAR. Sumber sel D-serine pun menjadi perdebatan. Pada beberapa

penelitian in vitro awal, D-serine diyakini diperkaya pada astrosit dan utamanya

disintesiskan pada astrosit, dan dengan demikian, SR dianggap sebagai satu enzim

astrositik. D-serine dan SR diyakini sebagai komponen sistem transmiter glial,

namun penelitian-penelitian imunohistokimia menunjukkan bahwa mayoritas dari SR

diekspresikan pada neuron, bukan pada astrosit. Sebagai contoh, laboratorium Mori

telah mengkaji tentang sintesis glial D-serine satu dekade yang lalu. Pada penelitian

mereka, mereka melaporkan bahwa imunoreaktivitas SR utamanya terlokalisasi ke

neuron: neuron-neuron piramidal pada korteks serebral dan wilayah CA1

hipokampus, neuron-neuron berduri/ runcing sedang pada striatum dan sel-sel

Purkinje GABAergik asam gamma aminobutirik pada sereblum dengan


menggunakan tikus sebagai kendali untuk imunospesifisitas antibodi-antibodi SR

nya. Lebih jauh lagi, dengan menggunakan tikus yang telah mengalami pendelesian

SR baik pada neuron-neuron glutamatergik otak depan eksitatori ataupun astrosit

yang mengekspresikan protein asam fibrilari, Benneyworth dkk melaporkan bahwa

mayoritas dari SR diekspresikan pada neuron-neuron glutamatergik, dan sebaliknya,

kurang dari 15% ada pada astorsit di dalam hipokampus dan tidak ada di dalam

korteks serebral. Lebih jauh lagi, pada neokorteks pasca-mortem manusia, SR

diketahui berada pada neuron eksitatori dan inhibitori, namun tidak ditemukan pada

astrosit.

Gambar 1. Struktur reseptor N-metil-d-aspartate (NMDAR; GluN1/GluN2).

NMDAR konvensional terdiri dari satu kompleks heterotetramerik dua GluN1 dan

dua sub unit GluN2. ATD: domain amino-terminal; CTD: domain karboxi-terminal;
GMS: lokasi modulatori glisina; LBD: domain pengikatan ligan; PCP:

phencyclidine; TMD: domain transmembran.

Baru-baru ini, astrosit-astrosit reaktif A1 inflamatori diketahui dapat

mengekspresikan SR dan mensintesiskan serta melepaskan D-serine. Astrosit reaktif

umumnya akan berproliferasi setelah terjadinya gangguan/ cedera otak, seperti

contohnya karena trauma (TBI/ traumatic brain injury). TBI hipokampus diketahui

dapat menyebabkan proliferasi astrosit reaktif yang dapat mengekspresikan SR

selama 7 hari, sedangkan SR neuronal pada neuron yang cedera akan mengalami

penurunan. Penghentian ekspresi SR pada astrosit oleh inaktivasi srr kondisional

pada astrosit dapatlah mencegah defisit kognitif dan elektrofisiologis pasca

terjadinya TBI. D-Serine yang dilepaskan dari astrosit-astrosit reaktif akanlah beraksi

pada NMDAR neuronal ekstrasinaptik, yang dimana hal ini dapat menyebabkan

kerusakan neuronal eksitotoksik dan kematian. Sesuai dengan temuan-temuan TBI,

kultur-kultur utama astrosit yang didapat dari otak tikus neonatus dapat

mengekspresikan penanda-penanda yang berkaitan dengan astrosit-astrosit reaktif

dan juga mengekspresikan SR dan melepaskan D-Serine.

Homeostasis D-Serine: Serine shuttle / ulang-alik serine (lihat Gambar 2).

Beberapa penelitian terbaru mengindikasikan bahwa astrosit dewasa yang

beristirahat in vivo merupakan sumber utama L-serine otak dan mengekspresikan

seluruh enzim-enzim yang dibutuhkan untuk mengkonversi glukosa menjadi L-

serine. SR dan D-serine ter-ko-lokalisasi dengan protein 95 densitas pasca-sinaptik

(PSD-95) pada densitas-densitas pasca sinaptik di dalam sinaps-sinaps glutamatergik


pada neuron eksitatori dan inhibitori, namun tidak berada pada transporter-1 glutamat

vesikular pra-sinaptik. Penghapusan/ pelesapan Phgdh pada astrosit-astrosit otak

tikus secara dramatis dapatlah mengurangi D-serine dan L-serine otak setingkat 80%,

dengan defisit D-serine yang terlokalisasi ke neuron. Dengan demikian, L-serine

dianggap disintesiskan dari glukosa melalui lintasan yang tergantung pada 3-

fosfogliserat dehidrogenase pada astrosit-astrosit dewasa dan kemudian

ditransportasikan kedalam neuron pasca-sinaptik untuk dikonversi menjadi D-serine

oleh SR neuronal. Proses ini telah dikenal dengan istilah ‘serine shuttle’, dan hal ini

menyoroti peranan tutur silang glia-neuron untuk fungsi NMDAR yang optimal.

Karena D-serine dilepaskan dari spina pasca-sinaptik pada sinaps glutamatergik, D-

serine tampaknya berfunsi dengan cara autokrin dan bukanlah seperti pen-ko-

transmisi yang terlokaliasi secara pra-sinaptik. Sifat autokrin yang dimiliki oleh D-

serine ini akan memastikan bahwa GMS NMDAR pasca-sinaptik terisi dengan D-

serine untuk secara cepat merespon terhadap glutamat yang dilepaskan. Penghentian

penyinalan D-serine didapat melalui penyerapan kembali kedalam astrosit, dimana

hal tersebut dikatabolisasi oleh DAAO. Disi sisi lain, pada beberapa kondisi

patologis, astrosit-astrosit reaktif A1 dapatlah mengekspresikan SR dan melepaskan

D-serine, yang dimana hal ini berkontribusi terhadap pengaruh neurotoksiknya

dengan beraksi pada NMDAR ekstrasinaptik.

Bukti Yang Mendukung Hipotesis Nmdar

Temuan-temuan klinis

Bukti klinis yang paling kuat yang menunjukkan bahwa psikosis PCP mirip dengan

yang terjadi pada skizofrenia adalah fakta yang mengindikasikan bahwa para
pengguna PCP akan dapat diduga menderita skizofrenia oleh psikiater jika si

psikiater tidak mengetahui individu tersebut merupakan pengguna PCP. Contoh yang

paling dramatis terjadi di Washington DC selama musim gugur tahun 1973. Tingkat

admisi para pasien psikosis yang parah bertambah sebanyak tiga kali lipat di rumah

sakit jiwa. Para pasien ini diketahui semuanya menghisap PCP sebelum mengalami

psikotik, dan presentasi yang ditunjukkannya tidak dapat dibedakan dari episode

skizofrenik florid. Dalam hal gejala-gejala psikotik, asam dietilamid lisergik (yang

dikenal sebagai ‘LSD’) umumnya dapat memicu psikosis pada individu sehat, yang

dicirikan dengan distorsi pada persepsi visual yang berlangsung selama 8-16 jam,

sedangkan antagonis NMDAR, seperti contohnya PCP dan ketamin, tidaknya hanya

memicu psikosis yang mirip seperti psikosis pada skizofrenia (yang mencakup

halusinasi pendengaran), namun juga dapat memunculkan gejala-gejala negatif dan

kognitif yang dapat berlangsung selama 2 minggu. Lebih jauh lagi, pemberian LSD

pada individu yang sehat tidaklah akan memicu pengaruh yang lebih parah daripada

yang dialami oleh para pasien penderita skizofrenia. Sebaliknya, pemberian

antagonis glutamat untuk menstabilisasi para pasien penderita skizofrenia diketahui

malah dapat memperburuk gejala-gejalanya.


Gambar 2. Representasi skematik serine shuttle/ ulang-alik serine. L-serine disintesa

dari glukosa, yang berdifusi dari pembuluh-pembuluh darah dan ditransportasikan

kedalam astrosit oleh transporter glukosa 1 (GLUT1). L-serine kemudian

ditransportasikan kedalam syaraf-syaraf pascasinaptik melalui penukar asam amino

netral (seperti contohnya ASCT1, antiporter asam amino netral, atau transporter

sistem A) untuk dikonversi menjadi D-serine oleh serine racemase (SR). Proses ini

dikenal sebagai ‘serine shuttle/ ulang-alik serine’. SR dan D-serine terkonsentrasi

pada densitas pascasinaptik pada glutamatergik dan neuron-neuron GABAergik yang

mengekspresikan SR. D-serine kemudian dilepaskan dari neuron-neuron oleh Asc-1

atau transporter-transporter lain dan terikat pada lokasi-lokasi modulatori glisina

pada reseptor N-metil-d-aspartat sinaptik (NMDAR). Penghentian penyinalan D-

serine didapat melalui penyerapan kembali kedalam astrosit dimana hal tersebut

dikatabolisasi oleh asam oksidase D-amino (DAAO). Astrosit-astrosit reaktif A1

dapat mengekspresikan SR, dan mensintesiskan serta melepaskan D-serine, yang

dimana hal ini dapat berkontribusi terhadap pengaruh-pengaruh neurotoksiknya

dengan beraksi pada NMDAR ekstrasinaptik. Asc-1: alanine-serine-cysteine-1

(Slc7a10: keluarga pembawa solut 7 anggota 10); ASCAT-1: transporter


alanin/serine/cysteine/theonine 1 (Slc1a4; pembawa solut Keluarga 1 anggota 4);

GLDC: glisina dekarboksilase; GlyT-1: transporter glisina 1; PHGDH: fosfogliserat

3-dehidrogenase; PSD-95: protein densitas pascasinaptik 95; VGLUT: transporter

glutamat vesikular. Diadaptasi dan dengan izin dari Coyle dan Balu dan Wolosker

dkk.

Ensefalitis anti-NMDAR saat ini diketahui sebagai gangguan autoimunitas yang

disebabkan oleh autoantibodi yang melawan domain ekstraselular NMDAR, dan

memiliki gejala-gejala yang mirip dengan apa yang dialami oleh penderita

skizofrenia. Antibodi tertentu dianggap dapat memicu internalisasi kluster NMDAR

pascasinaptik yang dapat memicu penurunan regulasi NMDAR. Gangguan ini

umumnya muncul dengan perilaku yang tidak normal, seperti contohnya agitasi dan

agresi, bicara yang tidak normal, katatonia, awan, psikosis (yang mencakup waham

dan halusinasi), serta gangguan-gangguan kognitif. Diketahui bahwa 6,5% dari

seluruh pasiennya pada saat presentasi psikotik pertama dapat dikategorikan sebagai

penderita gejala skizofrenia.

Temuan-temuan genetik

Penelitian-penelitian yang melibatkan para subjek kembar dan atau para subjek yang

memiliki hubungan darah selama setengah abad terakhir telah memberikan bukti

yang meyakinkan bahwa skizofrenia dapatlah diturunkan, dengan rasio 0.8. Namun

demikian, pola resiko familial jauh lebih rendah pada saudara kakak-adik

(dibandingkan dengan pada saudara kembar), dan hal ini pun konsisten dengan

temuan yang mengindikasikan bahwa multi gen berperan dalam hal ini, yang
diperkuat oleh faktor-faktor resiko lingkungan. Di awal abad ke-21, banyak dari

penelitian yang dilakukan untuk mengetahui tentang apakah gen yang umumnya

berkaitan dengan hipotesis dopamin memiliki hubungan yang signifikan dengan

resiko skizofrenia. Sejumlah hubungan positif dan signifikan pun banyak dilaporkan,

yang dimana temuan-temuan ini diperkuat oleh meta-analisis. Sayangnya, penelitian-

penelitian tersebut dapat dikatakan lemah secara statistik, yang dimana hal ini dapat

menghasilkan hasil positif lemah, dan hal ini pun dapat memicu kemunculan bias

publikasi (dimana hasil-hasil negatif tidak terpublikasikan).

Beberapa penelitian yang berkualitas tinggi yang secara agnostik mencari hubungan

antara lokasi dan resiko skizofrenia diketahui membutuhkan ribuan subjek sehingga

dapat mencapai ambang batas signifikansi 5x10-8 yang dibutuhkan untuk multi

pembandingan. Secara jelas, kohort-kohort pasien yang berukuran besar tersebut

tidaklah dapat didapatkan di satu rumah sakit, namun membutuhkan kolaborasi yang

luas dan data yang banyak dari banyak lokasi di seluruh dunia. Satu penelitian

hubungan genome terbaru pun dilakukan dan melibatkan 100.000 kendali dan 40.000

subjek penderita skizofrenia, yang mengidentifikasi 108 lokasi pada genom yang

dapat memenuhi ambang batas statistik 5x10-8. Walaupun satu lokasi memiliki

hubungan dengan reseptor dopamin (DRD2), namun beberapa lokasi memiliki

hubungan dengan neurotransmisi glutamatergik atau mediator-mediator hilir: sebagai

contoh: mGlu3 (GRM3), GluN2A (GRIN2A), SR (SRR), dan reseptor AMPA 1

(GR1A1).

Lebih jauh lagi, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan beban

akan varian gen yang jarang, yang berbentuk varian jumlah-salinan besar dan varian
nukleotida tunggal, yang dimana hal ini sering muncul sebagai mutasi de novo,

semuanya diketahui dapat memberikan efek yang lebih besar dibandingkan dengan

polimorfisme nukleotida-tunggal biasa. Menurut penelitian-penelitian CNV skala

besar, CNV de novo dapatlah mengkode NMDAR dan protein-protein yang memiliki

hubungan dengan densitas pascasinaptik dengan peningkatan resiko skizofrenia.

Secara khusus, 11 CNV yang jarang (delesi/ pelesapan pada 1q21.1, NRXN1, 3q29,

15q11.2, 15q13.1, dan 16p11.2) menunjukkan adanya bukti yang sangat signifikan

(nisbah jangkaan 2-60) akan hubungan dengan skizofrenia. Diketahui, sekitar 2,5%

pasien dan 0,9% kendali membawah CNV pada satu dari lokus-lokus ini. Lebih jauh

lagi, hampir dari seluruh subjek diketahui memiliki hubungan dengan berbagai

gangguan neurodevelopmental (perkembangan-syaraf) lainnya, seperti contohnya

gangguan spektrum autisme dan disabilitas intelektual, serta beberapa diantaranya

diketahui memiliki hubungan dengan fenotip-fenotip penyakit-penyakit fisik tertentu,

seperti contohnya epilepsi, gangguan jantung bawaan, mikrosefalus, dan obesitas.

Baru-baru ini, terdapat bukti yang cukup banyak yang juga mendukung peranan

varian-varian tertentu sebagai penyebab skizofrenia. Sebagai contoh, pada penelitian

skrining mutasi baru-baru ini untuk mengkaji wilayah eksonik sub unit NMDAR

pada skizofrenia dan gangguan spektrum autisme, diketahui terdapat 40 varian yang

teridentifikasi, dan dua diantaranya pada GRIN2C dan GRIN2D pada skizofrenia

merupakan mutasi LoF. Temuan-temuan ini mendukung pandangan yang

berpendapat bahwa varian-varian yang sangat jarang dengan LoF pada lintasan

glutamatergik, khususnya gen-gen yang memiliki hubungan dengan NMDAR,

dapatlah meningkatkan resiko pengidapan skizofrenia.


Temuan-temuan neurofisiologis

Perkembangan teknologi neuroimaging diketahui telah memberikan jalan untuk

dapat dilakukannya visualisasi non-invasif struktur otak dan aktifitasnya in vivo.

Secara khusus, spektroskopi resonansi magnetik proton (1H-MRS), tomografi emisi

positron (PET), dan tomografi terkomputasi emisi foton-tunggal (SPECT) telah

membantu para peneliti untuk dapat mengukur beberapa parameter otak, seperti

contohnya fungsi dopamin dan glutamat pada otak manusia.

1
H-MRS

Penelitian-penelitian yang menggunakan modalitas 1H-MRS telah menunjukkan

bahwa pemberian ketamin terhadap para subjek yang sehat dapatlah meningkatkan

glutamin singulat anterior, yang merupakan penanda putatif dari neurotransmisi

glutamatergik, dan peningkatan ini secara marginal memiliki hubungan dengan

fungsi kognitif. Di sisi lain, pada kasus skizofrenia, satu penelitian meta-analisis

melaporkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan dalam hal transmisi

glutamatergik pada sistem limbik, pada indeks glutamat di ganglia basal, kadar

glutamin pada talamus, dan kadar Glx (glutamat + glutamin) pada ganglia basal dan

lobus temporal medial. Poels juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif

antara peningkatan Glx pada hipokampus dan pemburukan fungsi eksekutif, kondisi

klinis global, dan penurunan volume hipokampal pada para pasien yang tidak

mendapatkan penanganan obat.

Beberapa penelitian yang menggunakan modalitas 1H-MRS telah menginvestigasi

kadar glutatione (gamma-L-glutamil-L-cysteinyl-glycine) pada otak para pasien


penderita skizofrenia. glutation adalah satu tripeptida yang disintesis dari glutamat,

sistein, dan glisin. Senyawa ini diketahui memiliki peranan yang penting di dalam

perlindungan otak dari stres oksidatir sebagai antioksidan intraselular. Lebih jauh

lagi, senyawa ini dapat memodulasi lokasi redoks pada NMDAR. Dengan demikian,

peningkatan kadar glutation ekstraselular dapatlah meningkatkan depolarisasi yang

dipicu oleh glutamat melalui pengaktivasian NMDAR. Beberapa penelitian

mengindikasikan bahwa kadar glutation pada korteks prafrontal medial (PFC/

prefrontal cortex) adalah lebih rendah pada pengidap skizofrenia dibandingkan pada

individu yang sehat. Disisi lain, kadar yang lebih tinggi pun dapat ditemukan pada

lobus temporal medial. Namun demikian perbedaan yang signifikan tidaklah

terobservasi pada beberapa penelitian lain pun antara penderita skizofrenia dan juga

pada para subjek yang sehat. Dengan demikian, hasil temuan untuk hal ini pun

beragam.

Satu keterbatasan utama dalam penelitian-penelitian 1H-MRS glutamat adalah bahwa


1
H-MRS hanyalah dapat memberikan ukuran jaringan total, dan tidak dapat

membedakan antara kompartemen intraselular dengan kompartemen ekstraselular,

atau antara kompartemen intra atau ekstraneuronal, yang dimana hal ini dapat

membatasi tingkat spesifisitas pengukuran-pengukuran tersebut. PET dan SPECT

merupakan dua modalitas yang mampu melakukan pengukuran yang lebih selektif

akan neurokimia otak dibandingkan dengan 1H-MRS.


PET/SPECT

Satu penelitian yang memberikan ketamin pada para subjeknya, yang menggunakan

PET, pun mendukung akan ide tentang hipersensitivitas antagonis NMDAR pada

kasus skizofrenia. Pada penelitian ini, pemberian ketamin diketahui dapat

menyebabkan peningkatan aliran darah otak regional, dan hal ini pun mencerminkan

hipermetabolisme pada wilayah frontal dan singulata baik pada kelompok subjek

yang sehat dan juga pada kelompok individu penderita skizofrenia. Namun demikian,

pada pembandingan kedua kelompok, kelompok individu penderita skizofrenia

diketahui memiliki tingkat peningkatan aliran darah relatif yang lebih tinggi pada

singulata anterior, yang dimana menurut banyak penelitian yang menggunakan

modalitas 1H-MRS, wilayah ini merupakan satu wilayah dari fungsi glutamatergik

yang tidak normal. Di sisi lain, ligan PET/SPECT untuk lokasi ikatan glutamat, yaitu

GMS, atau lokasi redoks pada NMDAR masihlah dikembangkan, dan masih berada

pada tahap subklinis. Dalam hal ligan PET, [11C] ABP688 dan [18F] FPEB, yang

mengikat pada lokasi alosterik pada mGlu5, yang ber-ko-lokasi dengan NMDAR

secara fungsional dan memiliki interaksi yang dekat secara fisik dengan aktivasi

NMDAR, telahlah menunjukkan adanya potensi sebagai penanda untuk transmisi

glutamatergik. Ekspresi protein 18 kDA (TSPO) translokasi, yang meningkat dengan

aktivasi mikroglial, diketahui melibatkan aktivasi mikroglial, yang diantaranya

mencakup skizofrenia. diketahui bahwa mikroglia yang teraktivasi dapatlah memicu

astrosit reaktif oleh sitokin, yang mana hal ini dapat berkontribusi terhadap disfungsi

glutamatergik pada skizofrenia melalui aktivasi NMDAR ekstrasinaptik dengan

melepaskan D-serine.
Negativitas ketidaksesuaian/P300/osilasi gelombang gamma

Elektroensefalografi (EEG) merupakan salah satu dari metode yang tidak terlalu

invasif dan mudah dilakukan untuk memonitor fungsi otak neurofisiologis dengan

resolusi temporal tinggi pada individu yang menderita gangguan psikiatrik.

Magnetoensefalografi juga merupakan satu teknik neuro-imaging untuk

memvisualisasi aktifitas neural dengan resolusi spasial yang lebih tinggi daripada

EEG. Negativitas ketidaksesuaian (MMN), P300 (atau P3), dan osilasi gelombang

gamma merupakan fenomena listrik yang muncul sebagai penanda informatif untuk

skizofrenia.

MMN merupakan gelombang negatif pada komponen potensial yang berkaitan

dengan kejadian dan dapat terbangkit oleh stimulus yang menyimpang, yang

terkadang masuk kedalam rangkaian repetitif stimuli standar. Awal respon MMN

auditori muncul dalam 50 mikrodetik stimulus yang menyimpang, dan memuncak

setelah 100-150 mikrodetik kemudian, MMN dianggap dapat merefleksikan memori

sensori auditori atau pemprosesan pra-atentif. P300 merupakan gelombang yang

mengarah positif dan muncul selama paradigma tak biasa dengan latensi 250-300

mikrodetik setelah stimulus menyimpang. Komponen-komponennya (P3a) dianggap

dapat merefleksikan perubahan atensi.

Pemberian antagonis NMDAR non-kompetitif, yaitu ketamin, diketahui dapat

mengatenuasi MMN dan amplitudo P300 pada para subjek yang sehat. Lebih jauh

lagi, pada para individu yang memiliki resiko tinggi, individu yang berada di episode

pertama skizofrenia, ataupun mereka yang sudah kronis menderita skizofrenia,

atenuasi amplitudo MMN pun dapat terjadi. Lebih jauh lagi, beberapa penelitian
telah memberikan bukti langsung, dimana penelitian-penelitian tersebut

menunjukkan adanya hubungan antara atenuasi-atenuasi tersebut dengan hipotesis

glutamat pada skizofrenia. Sebagai contoh, kadar plasma asam amino glutamatergik

diketahui memiliki hubungan dengan atenuasi amplitudo MMN pada para subjek di

awal stage psikosis. Penelitian EEG dan MRS lain menunjukkan bahwa terdapat

hubungan positif antara amplitudo P300 dengan rasio glutamin/glutamat dan

konsentrasi glutamin pada singulat anterior. Dengan demikian, atenuasi amplitudo

MMN dan P300 dihipotesiskan dapat mencerminkan hipofungsi NMDAR, dan hal

ini dianggap sebagai satu penanda untuk skizofrenia. Selama uji performa kontinyu,

diketahui terdapat reduksi yang sangat signifikan pada anteriorisasi no-go, yang juga

terobservasi pada skizofrenia episode pertama dan skizofrenia kronis.

Osilasi neuronal sinkron pada rentang 30-100 Hz, yang dikenal sebagai osilasi

gamma normalnya berkaitan dengan kinerja beragam tugas-tugas kognitif, yang

diantaranya mencakup pengalokasian atensi/ perhatian dan memori kerja. Ritme

gamma dihasilkan oleh interneuron GABAergik positif-parvalbumin yang

meningkat-tajam, yang diregulasi oleh input eksitatori yang tergantung pada NMDA.

NMDAR juga secara langsung terimplikasi pada kemunculan ritme. Dengan kata

lain, ritme gamma spontan dapatlah mencerminkan keseimbangan

eksitatori/penghambatan antara neuron eksitatori dan interneuron inhibitori.

Beberapa antagonis NMDAR dapatlah memicu perilaku kognitif skizofrenik dan

meningkatkan ritme gamma spontan. Bukti yang ada dari banyak penelitian

menunjukkan bahwa kelainan-kelainan pada aktifitas osilatori gamma tersinkronisasi

dapatlah memicu beragam stimuli sensori dan tugas-tugas kognitif dapatlah menjadi

penanda yang penting untuk disfungsi glutamatergik pada kasus skizofrenia.


Temuan-temuan neurokimia pasca-mortem

Beberapa penelitian yang mengkaji tentang ekspresi NMDAR kortikal pada kasus

skizofrenia pada jaringan otak pasca-mortem manusia telah menunjukkan adanya

perubahan-perubahan variabel pada ekspresi protein dan transkripsi yang tergantung

pada wilayah otak dan sub unit reseptor yang diteliti. Satu meta analisis

mengindikasikan bahwa sub unit GluN1 (mRNA dan protein) pada PFC otak pasca

mortem subjek yang menderita skizofrenia diketahui secara signifikan lebih menurun

dibandingkan dengan kendali. Pada penelitian yang sama, mereka juga melakukan

reviu kualitatif tentang GluN2 (A, B, dan D) dan sub-sub unit GluN3A dan

menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan konsisten yang secara statistik

signifikan pada ekspresi mRNA atau kadar protein sub-sub unit ini pada skizofrenia

dibandingkan dengan pada kendali, dengan penurunan ekspresi GluN2C mRNA pada

PFC. Beberapa penelitian juga mengindikasikan terjadinya penurunan ekspresi

GluN1 mRNA secara selektif pada girus dentata subjek penderita skizofrenia

dibandingkan dengan kendali, dan juga penurunan ekspresi pada sub sub unit GluN1

dan GluN2B (mRNA dan protein) pada hipokampus kiri penderita skizofrenia

dibandingkan dengan pada hipokampus kanannya.

Selain kuantifikasi langsung sub-sub unit NMDAR individual, peningkatan densitas

NMDAR pascasinaptik pada PFC dorsolateral pascamortem (dlPFC) pada

skizofrenia juga dilaporkan, walaupuan juga terjadi penurunan penyinalan NMDAR

pada tingkat pasca-reseptor. Lebih jauh lagi, pada satu penelitian autoradiograf

kuantitatif, pengikatan NMDAR pada korteks singulat anterior diketahui meningkat


pada penderita skizofrenia jika dibandingkan dengan kendali, hal ini dikarenakan

kompensasi pascasinaptik untuk neurotransmisi glutamatergik yang terganggu.

Terdapat juga berbagai kelainan pada modulator NMDA GMS yang terjadi tidak

hanya pada otak saja, namun juga pada tepi subjek penderita skizofrenia. Pada

kenyataannya, penurunan SR otak dan D-serine telah dilaporkan pada kasus

pengidapan skizofrenia. Kadar asam kynurenik, yaitu satu antagonis GMS endogen,

diketahui meningkat pada cairan spina serebral dan jaringan otak pasca mortem

penderita skizofrenia.

Lebih jauh lagi, selain NMDAR itu sendiri, perubahan ekspresi dari beberapa protein

densitas pasca-sinaptik yang berkaitan dengan NMDAR juga ditemukan pada otak-

otak pasca-mortem para subjek penderita skizofrenia. Peningkatan mRNA dan

penurunan ekspresi protein pun dilaporkan terjadi untuk PSD-93 dan PSD-95 pada

korteks singulat anterior. Ekspresi mRNA PSD-95 diketahui secara signifikan

menurun pada dlPFC, yang mana hal tersebut meningkat pada korteks oksipital. Hal

serupa, ekspresi mRNA NF-L secara signifikan juga meningkat pada dlPFC,

walaupun protein mengalami penurunan. Lebih jauh lagi, sub tipe kainate reseptor

glutamat pertama diukur pada otak pasca mortem subjek penderita skizofrenia oleh

Nishikawa dkk, yang dimana beliau melaporkan adanya peningkatan setingkat 25-

50% pada pengikatan asam kainik pada PFC. Peningkatan reseptor kainate juga

merefleksikan penurunan aktifitas pada sinaps-sinaps glutamatergik dan gangguan

fungsi-fungsi kognitif pada PFC. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa kadar

N-asetilaspartilglutamat (NAAG) dan glutamat, dan juga aktifitas glutamat

karboksipeptidase II (GCP-II) berubah pada kasus skizofrenia. NAAG, yang


dikatabolisasi oleh enzim GCP-II, diketahui memiliki peran ganda sebagai antagonis

NMDAR endogen dan juga sebagai agonis mGlu3. Peningkatan kadar NAAG dan

penurunan kadar glutamat, serta penurunan aktifitas GCP-II pada skizofrenia

dapatlah mendukung hipotesis bahwa penyinalan yang dimediasi NAAG dapatlah

berkontribusi terhadap hipofungsi NMDAR pada skizofrenia.

Model-model hewan

Model-model hewan farmakologis, developmental, dan genetik diketahui memiliki

potensi untuk dapat memberikan satu platform di dalam peningkatan pemahaman

mekanistik tentang perubahan yang dapat menyebabkan skizofrenia dan

kemungkinan untuk mengkompensasi keterbatasan-keterbatasan pada penelitian

pasca-mortem manusia. Terdapat banyak bukti yang didapat dari model-model

hewan ini yang mendukung hipotesis hipofungsi NMDAR yang dapat berkontribusi

terhadap patofisiologi skizofrenia. Pada model-model farmakologis, pemberian

antagonis NMDAR ataupun asam kinurenik kepada hewan dapatlah memunculkan

fitur-fitur neurokimia, morfologis, dan kognitif da/atau fitur-fitur perilaku yang sama

dengan yang terobservasi pada kasus skizofrenia. Model-model developmental,

mengingat faktor-faktor resiko lingkungan untuk pengidapan skizofrenia selama

periode perinatal dan/ atau periode awal pascanatal, yang dimana hal ini dapat

memicu aktivitas NMDAR yang berkaitan dengan perkembangan otak dan

menunjukkan alterasi neuronal dan fitur-fitur kognitif dan/ atau perilaku yang sama

dengan yang terobservasi pada kasus skizofrenia. Model-model hewan genetik juga

telah memberikan banyak data yang mengindikasikan bahwa penurunan aktifitas


NMDAR dapatlah menyebabkan perubahan pada otak dan perilaku yang sama

dengan yang terobservasi pada kasus skizofrenia.

Sebagai contoh, tikus yang tidak memiliki enzim SR (SR-/-), yang terenkode pada

SRR gen resiko skizofrenia, pun teridentifikasi pada satu penelitian ukuran besar

yang menunjukkan adanya >85% penurunan D-serine endogen pada korteks dan

hipokampus serta terjadinya gangguan kognitif yang memiliki hubungan dengan

skizofrenia. Tikus yang tidak memiliki SR-/- juga menunjukkan satu fenotip yang

sama dengan banyak aspek skizofrenia, yang diantaranya mencakup pembesaran

ventrikula lateral, atrofi kortikal, penurunan panjang dendritik, penurunan densitas

spina, penurunan regulasi interneuron GABAergik parvalbumin-positif kortikal,

penurunan ekspresi faktor neurotrofik dari otak, penurunan penyinalan Akt, dan

penurunan kadar microRNA-132. Tikus yang tidak memiliki disbindin protein

sinaptik yang dienkode oleh DTNBP1, yang berkurang pada dlPFC dan hipokampus

skizofrenia, diketahui dapat menunjukkan fenotip yang mirip skizofrenia, yang

diantaranya mencakup hipofungsi NMDAR, gangguan transmisi inhibitori,

hipereksitabilitas pada PFC, dan juga gangguan kognitif, seperti contohnya memori

kerja. Beberapa model genetik lain, seperti contohnya insersi tikus G72 dan

inaktivasi tikus DAO, juga diketahui dapat menunjukkan hipofungsi NMDAR dan

fenotip-fenotip neurokimia, morfologis, dan kognitif dan/ atau fenotip perilaku,

seperti contohnya skizofrenia.


Penanganan yang didasarkan pada Hipotesis Glutamat

Farmakoterapi yang didasarkan pada aktifitas penghambatan reseptor dopamin D2

(D2R) pertama dikembangkan sejak ditemukannya klorpromazine sekitar 50 tahun

lalu, dan hal ini telah secara universal menjadi penanganan utama bagi para pasien

penderita skizofrenia. Ditemukannya antipsikotik diketahui memiliki hubungan

dengan penurunan jumlah para pasien penderita skizofrenia dan gangguan-gangguan

psikotik terkait di rumah-rumah sakit jiwa. Dengan diketahuinya aktifitas penyekatan

reseptor 5-hidroksitriptamine2 (5-HT2) yang diterapkan pada struktur antipsikotik,

antipsikotik generasi kedua (SGA) pun dikembangkan dan dapat menurunkan

propensitas yang dapat menyebabkan kemunculan efek-efek samping neurologis

ekstrapiramidal. Beberapa penelitian klinis mengindikasikan bahwa penundaan di

dalam penanganan dengan antipsikotik diketahui memiliki hubungan dengan tingkat

outcome yang lebih buruk. Dengan demikian, pendekatan yang didasarkan pada

penyekatan D2R telahlah memberikan manfaat yang substansial bagi para pasien

penderita skizofrenia. Namun demikian, gejala-gejala negatif dan kognitif adalah

bersifat kambuhan dan memiliki hubungan dengan disabilitas persisten. Lebih jauh

lagi, resiko-resiko akan kemunculan efek samping, seperti contohnya peningkatan

berat badan, hiperlipidemia, intoleransi glukosa, diabetes tipe 2, dan sindrom

metabolik, semuanya dapat diturunkan melalui penggunaan SGA.

Beberapa meta-analisis mengindikasikan bahwa clozapine, yaitu satu antagonis D2R

yang lemah, diketahui memiliki hubungan dengan tingkat outcome yang lebih baik

dibandingkan dengan seluruh antipsikotik lain dan tampaknya dapat mempengaruhi

gejala-gejala negatif. Namun demikian, mekanisme kenapa clozapine secara


signifikan lebih efektif, belumlah diketahui, hal ini karena clozapine berinteraksi

dengan beberapa reseptor selain D2R, yang diantaranya mencakup muskarinik,

histamin, dan reseptor-reseptor serotonin. Namun demikian, beberapa penelitian

terbaru mengindikasikan bahwa clozapine dapatlah meningkatkan fungsi NMDAR

melalui beberapa mekanisme yang berbeda-beda, yang diantaranya mencakup

pembatasan penyerapan-kembali glisina, peningkatan okupansi GMS, dan proses

interaksi dengan mGlu5.

Lokasi modulatori glisina

GMS NMDAR merupakan satu strategi glutamatergik pertama yang dicapai sebagai

satu mekanisme baru di dalam penanganan skizofrenia, khususnya pada gejala-gejala

negatif dan kognitif. Pendekatan modulatori ini dapat lebih baik dari agonis NMDAR

langsung karena memiliki hubungan dengan penurunan resiko kematian neuronal dan

eksitotoksisitas yang berkaitan dengan agonis NMDAR langsung. Terdapat beberapa

strategi yang dimana ketersediaan atau konsentrasi antagonis dan ko-agonis GMS

dapat dirubah sebagai sarana untuk memperkuat fungsi NMDAR.

Glisina merupakan satu asam amino alfa, yang juga diketahui memiliki peranan

sebagai neurotransmiter inhibitori melalui pengikatan terhadap reseptor-reseptor

glisina yang sensitif terhadap strychnine. Lebih jauh lagi, glisin diketahui dapat

meningkatkan bukaan saluran NMDA melalui GMS NMDAR. Beberapa penelitian

terkendali acak (RCT) yang menggunakan glisina oral menunjukkan bahwa terdapat

peredaan gejala-gejala negatif. D-serine diketahui sebagai ko-agonis endogen pada

NMDAR dan lebih dapat memicu aktivasi NMDAR dibandingkan dengan glisina.
Beberapa RCT yang menggunakan D-serine atau D-alanine juga melaporkan tingkat

efikasi untuk penanganan gejala-gejala negatif.

D-sikloserine (DCS) merupakan satu obat anti tuberkular yang dapat menghambat

sintesis dinding sel bakteri. Gejala-gejala neuropsikiatrik, seperti contohnya depresi,

sedasi, psikosis, dan sawan, merupakan efek samping yang dapat muncul di dalam

penanganan yang menggunakan DCS dosis tinggi. DCS juga merupakan agonis

parsial pada GMS dengan tingkat efikasi 50%. DCS merupakan ligan yang tidak

terlalu efisien untuk fungsi NMDAR jika dibandingkan dengan agonis penuh

endogen, seperti contohnya glisina dan D-serine. Pada dosis yang tinggi, DCS

beraksi sebagai antagonis dengan menggantikan agonis-agonis penuh endogen yang

lebih manjur, namun dengan dosis yang sedang, DCS dapat memfasilitasi

neurotransmisi glutamatergik melalui NMDAR.

RCT DCS yang ditambahkan ke antipsikotik dapatlah memberikan hasil dengan

kualitas yang beragam. Ketika DCS ditambahkan pada antipsikotik generasi pertama,

gejala-gejala negatif pun secara signifikan dapat diredakan, namun gejala-gejala

positif dan kognitif tidak dapat diredakan. Di sisi lain, ketika DCS ditambahkan

dengan clozapine, gejala-gejala negatif pun lebih memburuk jika dibandingkan

dengan ketika ditambahkan dengan glisina atau D-serine. Pada penelitian yang

menambahkan DCS dengan risperidone, yang merupakan SGA, DCS diketahui

memiliki hubunan dengan peredaan gejala-gejala negatif. Namun demikian, tingkat

peredaan ini tampaknya merupakan perantara dari peredaan gejala-gejala negatif

yang terobservasi dengan kombinasi DCS dengan antipsikotik generasi pertama dan

pemburukan gejala-gejala negatif yang terobservasi dari pengkombinasian DCS


dengan clozapine. Pola respon ini menunjukkan bahwa, sebagai agonis parsial pada

beberapa NMDAR, DCS dapatlah memperkuat pengaruh clozapine melalui

pengaktivasian GMS NMDAR.

RCT yang berukuran besar dan dilakukan di berbagai pusat penanganan medis yang

menggunakan glisina dan DCS yang ditambahkan dengan antipsikotik menunjukkan

bahwa keduanya tidaklah efektif. Namun penelitian tersebut tidaklah sempurna

karena terdapat beberapa perbedaan yang signfiikan pada outcome di masing-masing

lokasi penelitian. Analisis post hoc mengindikasikan bahwa di lokasi rawat inap,

dimana tingkat komplians atau kepatuhan terhadap penanganan dapat dipastikan

tinggi, glisina dan DCS secara signifikan dapatlah meredakan gejala-gejala negatif.

Bersamaan dengan hal ini, Iwata dkk baru-baru ini menerbitkan satu meta analisis

tentang hasil dari penelitian-penelitian yang menggunakan plasebo sebagai kendali

untuk mengetahui pengaruh modulator positif-NMDAR, dan mereka menyimpulkan

bahwa senyawa-senyawa tersebut tidaklah dapat memberikan pengaruh terhadap

defisit kognitif pada kasus skizofrenia, namun para peneliti ini tidaklah melakukan

pengukuran terhadap tingkat gejala-gejala negatif. Lebih jauh lagi, para peneliti ini

tidaklah mengkaji tentang hal-hal yang dapat mengganggu keabsahan penelitian,

seperti contohnya desentisisasi dengan penanganan DCS kontinyu atau interaksi

negatif DCS dengan clozapine karena pengaruhnya terhadap okupansi GMS

endogen. Terakhir, para peneliti ini juga tidaklah mengkaji tentang bagaimana DCS

dapat memperkuat remediasi kognitif pada kasus skizofrenia.

Peningkatan tingkat okupansi GMS dapatlah memungkinkan peningkatan aktivasi

NMDAR oleh glutamat. Satu strategi yang telah dieksplorasi adalah untuk
menghambat penyerapan kembali ko-agonis, yaitu glisina. Beberapa penelitian

sebelumnya pada sayatan hipokampus akut pada sinaps glutamatergik pada neuron

piramidal CA1 menunjukkan bahwa GMS tidaklah tersaturasi dengan ko-agonis

endogen, dan hal tersebut menghambat transporter glisina (GlyT-1) pada sinaps

dimana D-serine merupakan satu ko-agonis yang dominan. Dengan demikian,

penghambatan GlyT-1 tampaknya dapat menjadi satu cara yang memungkinkan

untuk meningkatkan fungsi NMDAR pada skizofrenia.

Sarcosina, yaitu satu penghambat GlyT-1 endogen, dihasilkan di dalam proses

sintesis glisina. Tiga RCT yang menambahkan sarcosine pada regimen obat

antipsiotik yang stabil (dalam periode 6 minggu) menunjukkan bahwa sarcosine

memiliki hubungan dengan tingkat penurunan yang paling tinggi di dalam skor total

Skala Sindrom Positif dan Negatif (PANSS) dibandingkan dengan plasebo dan di

kelompok pasien penderita skizofrenia kronis stabil yang diberikan D-serine. Lebih

jauh lagi, satu meta analisis menunjukkan bahwa sarcosine cukuplah efektif di dalam

penanganan psikopatologi total, gejala-gejala negatif, dan psikopatologi umum.

Namun demikian, beberapa obat yang mengeksploitasi sarcosine sebagai “tulang-

belakang” untuk penghambat GlyT-1 afinitas tinggi dapatlah memunculkan efek-efek

samping yang tidak diinginkan, seperti contohnya hipoaktifitas dan ataksia, dan

dengan demikian memicu pengembangan penghambat GlyT-1 yang berbasis bahan

non-sarcosine. Sayang sekali, antagonis GlyT-1 nonkompetitif, yaitu bitopertin, gagal

di dalam pencapaian titik akhirnya untuk meningkatkan skor total PANSS dan gejala-

gejala negatif pada penelitian Phase II/III dan III untuk skizofrenia, walaupun hal

tersebut diketahui dapat secara signifikan meredakan gejala-gejala negatif pada

penelitian Phase IIb pada pasien penderita skizofrenia stabil yang ditangani dengan
obat. Lebih jauh lagi, pada satu RCT yang dilakukan untuk menginvestiasi

penanganan penyerta dengan Org25935, penghambat selektif GlyT-1, yaitu

Org25935 tidaklah secara signifikan berbeda dari plasebo di dalam peredaan gejala-

gejala negatif atau di dalam peningkatan pemfungsian kognitif ketika diberkan

sebagai penanganan penyerta SGA. Beberapa tipe penghambat GlyT-1 yang lain,

seperti contohnya PF-03463275 dan ASP2535, telah memberikan harapan pada

penelitian-penelitian praklinis yang mengkaji tentang remediasi kognitif untuk

skizofrenia.

DAAO, yaitu enzim primer yang bertanggungjawab untuk mengkatabolisasi D-

serine, diketahui cukuplah sensitif terhadap penghambatan oleh asam benzoat.

Penghambatan DAAO akanlah meningkatkan ketersediaan D-serine. Pada satu RCT

yang dilakukan untuk menginvestigasi pengaruh penanganan dengan sodium

benzoat, diketahui bahwa benzoat secara signifikan dapatlah meredakan berbagai

domain gejala dan neurokognisi pada para pasien penderita skizofrenia kronis.

Benzoat diketahui dapatlah memicu ekspresi faktor neurotrofik dari otak pada neuron

dan astrosit primer manusia, yang dimana hal ini dapat menjadi satu lintasan lain

dimana benzoat dapat meredakan gejala-gejala skizofrenik.

Dengan menstimulasi lokasi modulatori redoks pada NMDAR juga diketahui dapat

meningkatkan fungsi NMDAR. Dengan demikian, lokasi modulatori redoks

dianggap sebagai satu potensi target lain untuk penanganan skizofrenia. Glutathione

dapatlah melindungi otak dari stres oksidatif reaktif dan xenobiotik yang berbahaya

sebagai penggait nukleofilik dan antioksidan yang dikatalisasi enzim. Glutation juga

diketahui dapat memicu aktivasi NMDAR melalui pengikatan terhadap lokasi


modulatori redoks. Glutatione disintesiskan dari tiga asam amino, yaitu L-glutamat,

glisina, dan L-sistein, yang diregulasi oleh konsentrasi N-asetil-L-sistein (NAC)

ekstraselular. NAC diketahui dapat meningkatkan kadar L-glutamat ekstraselular dan

kadar glutation intraselular melalui anti-porter sistin-glutamat. Lebih jauh lagi, NAC

dapat memicu aktivasi reseptor-reseptor mGlu Kelompok II. Sebagai akibat dari

mekanisme pelengkap ini, NAC dapatlah meningkatkan fungsi NMDAR dan

mengurangi tingkat eksitoksisitas.

Hasil dari beberapa penelitian klinis dengan NAC pada para subjek penderita

skizofrenik yang distabilisasi dengan obat-obatan antipsikotik pun dilaporkan. Pada

satu RCT awal, NAC yang ditambahkan dengan SGA diketahui dapat meningkatkan

skor PANSS (skor Negatif, Umum, dan skor total) dan skala Impresi/ Kesan Global

Klinis (skala Keparahan dan Peredaan) pada skizofrenia kronis. Pada beberapa

penelitian lain, dimana NAC ditambahkan dengan risperidone pada skizofrenia

kronis, atau ditambahkan dengan clozapine pada skizofrenia yang tadinya resisten

terhadap clozapine, NAC diketahui cukup manjur untuk meredakan gejala-gejala

negatif dan kognitif. Lebih jauh lagi, satu RCT melaporkan efikasi yang tidak hanya

berlaku pada gejala-gejala negatif dan kognitif saja, namun juga pada gejala-gejala

positif pada kasus skizofrenia kronis. Lebih jauh lagi, satu RCT terbaru menunjukkan

adanya efek kontinyu dari pendekatan NAC penyerta di dalam penanganan jangka

panjang dan pengaruhnya pada psikosis awal. Satu meta analisis terbaru dari 6 RCT

menunjukkan bahwa NAC sebagai terapi penyerta diketahui cukup manjur untuk

skizofrenia.
Satu strategi lain untuk meredakan gejala negatif dan kognitif pada kasus skizofrenia

adalah penanganan neuropatologi yang berkaitan dengan eksitotoksisitas dengan

memantin ajungtif. Memantine merupakan satu antagonis NMDAR non-kompetitif

dengan tingkat afinitas sedang, yang dapat mengikat lokasi yang sama seperti MK-

801 dan PCP di dalam saluran NMDAR. Seperti Mg2, memantine menunjukkan

dependensi voltase yang kuat. Memantine diketahui dapat memasuki saluran dan

menyekat aliran arus hanya jika saluran terbuka. Dengan demikian, hal ini dapat

didefinisikan sebagai “penyekat saluran terbuka” atau ”penghambat saluran

perangkap” NMDAR. Memantine dianggap dapat secara patologis menghambat

NMDAR ketika konsentrasi glutamat sinaptik secara tidak normal tinggi, namun

tidaklah dapat mempengaruhi fungsi normal pada reseptor-reseptor yang teraktivasi.

Dengan kata lain, memantine dapat menghambat pengaruh-pengaruh dari

peningkatan kadar glutamate yang dapat menyebabkan disfungsi neuronal. Satu meta

analisis (yang mencakup delapan RCT) dan satu artikel reviu sistematik (yang

mencakup 10 penelitian dimana memantine ditambahkan dengan obat-obatan

antipsikotik pada para pasien penderita skifrenia) pun baru-baru ini diterbitkan.

Kedua penelitian tersebut menyimpulkan bahwa memantine secara selektif dapat

meredakan gejala-gejala negatif, sedangkan gejala-gejala positif dan kognitif tidaklah

secara signifikan terdampak. Lebih jauh lagi, meta analisis ini juga membuktikan

bahwa pengaruh yang paling kuat terhadap gejala-gejala negatif diketahui memiliki

hubungan dengan para pasien skizofrenia yang berusia dewasa muda. Namun

demikian, efek jangka panjang dan tingkat toleransi dari pendekatan ini tidaklah

diketahui secara mendalam.


Reseptor-reseptor glutamat metabotropik

Reseptor-reseptor mGlu diklasifikasikan kedalam tiga kelompok (Kelompok I:

mGlu1 dan 5; Kelompok II: mGlu2 dan 3; dan Kelompok III: mGlu4, 6, 7, dan 8) yang

dibedakan oleh urutan asam aminonya, selektifitas ligan, dan kaskade penyinalannya.

Sub tipe 2, 3, dan 5 telah diinvestigasi sebagai potensi target terapeutik untuk

skizofrenia.

Reseptor-reseptor mGlu Kelompok II secara luas diekspresikan melalui otak,

khususnya pada wilayah-wilayah yang terimplikasi pada kasus skizofrenia, yang

diantaranya mencakup hipokampus, korteks, nukleus akumben, striatum, dan

amigdala, yang teraktivasi oleh pelepasan glutamat astrositik atau aliran glutamat

dari sinaps selama pelepasan glutamat yang berlebihan. mGlu3 juga diketahui secara

pascasinaptik dan juga pada astrosit, dimana senyawa tersebut memediasi pengaruh

neuroprotektif dan berpartisipasi pada komunikasi astrositik-neuronal. Reseptor-

reseptor mGlu Kelompok II juga memiliki hubungan timbal balik dengan reseptor-

reseptor 5-HT2A. Aktivasi reseptor 5-HT2A diketahui dapat meningkatkan

neurotransmisi talamokortikal pada tikus, dan pengaruh ini diantagonisasi melalui

pengaktivasian reseptor-reseptor mGlu Kelompok II. Di sisi lain, agonis ortosterik

mGlu2/3 secara fungsional mengantagonisasi penyinalan reseptor 5-HT2A.

mGlu5 utamanya diperkaya secara pascasinaptik pada intermeuron GABAergik dan

neuron-neuron piramidal pada hipokampus, korteks, striatum, nukleus kaudat,

akumben nukleus, septum, dan bulbus oflaktori. Reseptor memiliki interaksi tertutup

dengan aktivasi NMDAR melalui lintasan-lintasan penyinalan intraselular dan

protein-protein perancahan, seperti contohnya HOMOR, SHANK, dan GKAP-


PSD95. Dengan demikian, hal ini akan menjadi bahan kajian yang menarik untuk

mengetahui apakah modulator-modulator alosterik positif mGlu5 dapat (atau tidak

dapat) menangani skizofrenia.

Salah satu agonis mGlu2/3, yaitu LY2140023, dapatlah menunjukkan pengaruh untuk

gejala-gejala positif dan negatif jika dibandingkan dengan plasebo tanpa peningkatan

prolaktin, gejala-gejala ekstrapiramidal, ataupun peningkatan berat badan pada

penelitian Phase II/ Fase II. Namun demikian, pada satu penelitian Fase II follow up

yang dilakukan dibanyak rumah sakit, LY2140023 diketahui tidaklah secara

signifikan berbeda dari plasebo karena efek plasebo yang besar. Pembanding aktif

pada penelitian ini tidaklah berbeda dari plasebo, yang dimana hal ini

mengindikasikan bahwa penelitian ini tidaklah valid. PAM mGlu2 lain, yaitu

AZD8529, juga gagal untuk menunjukkan tingkat efikasi pada penelitian Phase II.

Karena agonis-agonis mGlu5, yaitu PAM mGlu5 VU0409551, telah menunjukkan

pengaruh kognitif dan perilaku yang signifikan pada beberapa model hewan

skizofrenia. Penelitian Phase/ Fase II lain baru-baru ini telah dilakukan.

Penelitian-penelitian klinis yang gagal atau outcome-outcome dari obat yang sangat

beragam pada hipotesis NMDAR mengindikasikan bahwa pendekatan kita saat ini

terhadap perkembangan obat yang mendasarkan pada diagnosis kategoris akanlah

menumbangkan kemajuan-kemajuan yang sudah diraih. Pertama, hasil GWAS

mengindikasikan bahwa skizofrenia merupakan gangguan dari genetik kompleks

yang melibatkan lebih dari 100 gen, yang masing-masing memiliki pengaruh yang

tidak signifikan. Dengan demikian, beberapa pihak dapatlah secara genetik

terbiaskan ke arah disfungsi glutamatergik. Kedua, pen-sub-kelompkan dengan


patologi glutamatergik dapatlah dicapai melalui pemetaan gen (skor poligenik) dan

penilaian penanda-penanda hayati yang informatif lainnya, seperti contohnya

glutamat kortikal yang diukur dengan resonansi magnetik. Ketiga, strategi-strategi

tambahan untuk mengurangi tingkat keragaman adalah dengan: berfokus pada klinik

yang memiliki pasien nyata dan bukan melibatkan para sukarelawan yang direkrut,

mengurangi jumlah lokasi dengan jumlah pasien yang lebih banyak, dan berfokus

pada tahap awal skizofrenia karena para pasien kronis tampaknya akan memiliki

patologi yang berbeda.

Kesimpulan

Pada reviu kali ini, kami telah menyusun banyak bukti dari tantangan-tantangan

farmakologis, penelitian-penelitian pasca-mortem, pencitraan otak, dan genetik yang

mendukung akan peranan disregulasi neurotransmisi glutamatergik pada

patofisiologi skizofrenia. Tentu saja, patologi ini haruslah dipahami dalam hal

disrupsinya pada fungsi sirkuit yang krusial, seperti contohnya downregulasi PV +

GABAergik kortikolimbik, penonhambatan neuron-neuron piramidal, dan

peningkatan pelepasan dopamin striatal. Lebih jauh lagi, penurunan fungsi NMDAR

akanlah melemahkan perkembangan spina kortikolimbik pada neuron-neuron

piramidal pada sekitar 30% penurunan pada sinaps glutametergik. Bersamaan dengan

hal ini, patologi kortikal ini memiliki peranan di dalam gejala-gejala kognitif dan

negatif dan juga gejala-gejala positif skizofrenia, yang dimana hal ini merupakan

konsekuensi hilir dari patologi kortikal.


Penguraian sirkuitri patologi di dalam kasus skizofrenia dapatlah memberikan target

baru untuk intervensi terapeutik. Pertama, mengingat bahwa disinhibisi input

dopaminergik striatal, yang berkaitan dengan psikosis, merupakan satu konsekuensi

dari peningkatan output glutamatergik dari korteks serebral, dan hal ini tidaklah

mengejutkan dimana antipsikotik yang menghambat D2R memiliki dampak yang

ringan terhadap gejala-gejala negatif dan kognitif. Kedua, penelitian-penelitian pra-

klinis dengan model genetik skizofrenia mengindikasikan bahwa pengembalian

fungsi NMDAR dengan memperbaiki defisit D-serine atau dengan memperkuat

tingkat responsivitas NMDAR dengan PAM mGlu5 akanlah mengembalikan patologi

yang mirip skizofrenia. Walaupun hasil yang didapat tidaklah konsisten karena

beragam faktor, namun penelitian-penelitian klinis yang menggunakan plasebo

sebagai kendali dengan agonis NMDAR GMS yang ditambahkan dengan

antipsikotik (dosis stabil) dapatlah meredakan gejala-gejala negatif dan

meningkatkan remediasi kognitif. Sayangnya, obat-obatan yang diarahkan untuk

lokasi-lokasi alternatif, seperti contohnya agonis mGlu2/3 untuk men-downregulasi

pelepasan glutamat atau penghambatan GlyT-1, tidaklah terlalu menunjukkan hal

yang baik pada penelitian-penelitian Fase IIb. Kegagalan-kegagalan ini

mencerminkan tingginya respon plasebo dan ketergantungan pada diagnosis

kategoris, yang tidak dikaitkan dengan penanda hayati manapun yang dapat

mengidentifikasi responder dengan penanda-penanda hayati dan gen resiko

glutamatergik.

John F. Nash, yang dianugrahi Piala Nobel di tahun 1994 dalam bidang Ekonomi atas

penelitian tesisnya dalam hal teori permainan, diketahui menderita skizofrenia pada

usia 20 tahunan akhir. Beberapa tahun setelah awal pengidapannya, beliau pun
memberikan kuliah di Kongres Dunia Psikiatri, dan menyatakan: “Saya tidak akan

menganggap saya pulih jika saya tidak dapat menghasilkan hasil yang baik pada

karya saya. Jika saya tidak dapat menghasilkan hasil yang baik dari karya saya, maka

remisi tidaklah akan memberikan hal yang baik bagi saya.” Maka dari itu, beliau pun

mengingatkan kita bahwa tujuan utama bukanlah mengembangkan obat yang dapat

menangani beberapa gejala tertentu, seperti antipsikotik, namun akan lebih baik

untuk mengembangkan obat-obatan yang dapat memperbaiki patologi mendasar

untuk mengembalikan rasa kebahagiaan pikiran yang dirampas dari individu oleh

skizofrenia. Bukti yang terkumpul menunjukkan bahwa pemahaman tentang

disregulasi glutamatergik pada kasus skizofrenia dapatlah memberikan satu jalan di

dalam pengembangan penanganan-penanganan yang bersifat kuratif

(menyembuhkan).

Anda mungkin juga menyukai