Anda di halaman 1dari 4

Gaya Manajemen Starbucks

Anda semua pasti sudah pernah mampir ke kedai Starbucks atau mencicipi roti abon Breadtalk bukan?
Starbucks, donat J.Co, Breadtalk dan sederet produk sejenis lainnya barangkali memang merupakan
simbol tradisi mutakhir masyarakat metropolitan. Secangkir frappuccino caramel, roti abon a la flosh,
dan dua potong donat rasa lemon pada akhirnya memang bukan sekedar produk makanan dan
minuman. Mereka adalah sejenis produk kultural, dengan mana masyarakat metropolitan
melampiaskan hasratnya untuk melakoni gaya hidup kontemporer.

Toh dibalik kemeriahan gaya hidup mutakhir itu, terselip satu pelajaran penting : produk-produk
simbolis itu ternyata juga merupakan hasil dari sebuah “kejeniusan manajerial”. Starbucks barangkali
layak disebut sebagai contoh yang paling fenomenal. Ditopang dengan strategi manajemen jempolan,
Starbucks tiba-tiba merebak bagai virus dan gerainya memenuhi setiap sudut kolong langit : mulai dari
keramaian di kota Chicago hingga di pinggir jalan tol Cikampek, mulai dari Plaza Senayan hingga Plaza
Del Toro di Barcelona, mulai dari sudut kota di negri Tibet hingga di depan jalanan padat daerah Tebet
Pancoran.

Kisah kejeniusan Starbukcs itu oleh Joseph Michelli dirangkaikan dalam sebuah buku bertajuk The
Starbucks Experience: 5 Principles for Turning Ordinary Into Extraordinary. Melalui buku ini, Michelli
bertutur dengan amat memikat tentang bagaimana kedai kopi itu dibangun dan dikembangkan menjadi
salah satu brand terbaik didunia. Visi dan filosofi Starbucks pada dasarnya ditautkan pada satu konsep
yang simple : bagaimana membangun sebuah kedai dengan sajian kopi berkualitas nomer satu, disertai
dengan atmosfer kafe yang hangat nan bersahabat, lalu disajikan dengan pelayanan yang
menyenangkan. Dan persis disitulah sesungguhnya Starbuck menemukan maknanya : ia hadir sebagai
sebuah tempat dimana racikan kopi terbaik bersenyawa dengan kehangatan pertemuan bisnis/sosial.

Buku ini kemudian juga bercerita mengenai lima pilar dengan mana Starbucks dibangun dan dibesarkan.
Pilar yang pertama adalah menumbuhkan sense of ownership yang kuat pada segenap jajaran
karyawannya, dari level atas hingga level paling bawah. Spirit ini lalu mendorong setiap pekerja memiliki
dedikasi dan tanggungjawab untuk memekarkan keberhasilan perusahaan. Dalam konteks ini, Starbucks
juga memiliki prinsip yang harus dipenuhi oleh setiap karyawannya. Prinsip tersebut bertajuk “Five Ways
of Being” atau : be welcoming, be genuine, be considerate, be knowledgeable, dan be involved.

Pilar kedua adalah keyakinan bahwa dalam bisnis retail seperti kedai kopi, everything matters. Segala
detil mesti diperhatikan dan dijaga untuk menghasilkan proses yang sempurna. Segenap pernik
mengenai kebersihan outlet, desain kursi, keragaman produk, dan pelayanan pelanggan mesti
dieksekusi secara tepat untuk mencapai proses bisnis yang ekselen.

Pilar ketiga adalah surprise dan delight. Setiap pegawai Starbuck, terutama yang ada di bagian frontline
didorong untuk menciptakan serangkaian tindakan yang mampu membikin pelanggan menjadi terkesan
(surprise dan delight). Contoh, jika ada pelanggan yang sudah antri di didepan kedai pada jam 6.30,
maka kedai kopi bisa langsung dibuka, meskipun aturannya mestinya baru buka jam 7 (dus, para
pelanggan tidak mesti dibiarkan menunggu sekitar 30 menit untuk menunggu hanya demi memenuhi
prosedur pembukaan kedai).

Pilar keempat adalah terbuka dan mendengarkan sepenuh hati kritik dan masukan dari para pelanggan.
Starbucks selalu mencoba membangun dialog yang konstruktif untuk mendapatkan umpan balik dari
para pelanggannya. Dan dari sini, mereka kemudian memperlakukan masukan tersebut sebagai satu
elemen penting untuk memperbaiki kinerja pelayanannya.

Dan pilar terakhir yang dilakukan oleh Starbukcs untuk membangun kejayaan adalah memperlakukan
karyawan mereka seperti raja. Sebab mereka percaya, kepuasan karyawan sesunguhnya merupakan
kunci dari kepuasan pelanggan. Tanpa happy employees, Anda pasti tak akan mampu menciptakan
happy customers. Dengan prinsip inilah, Starbucks kemudian menciptakan serangkaian kebijakan yang
mampu membuat karyawan mereka senang bekerja didalamnya – mulai dari kebijakan remunerasi yang
atraktif, lingkungan kerja yang friendly, hingga jam kerja yang fleksibel.

Sekarang, Mari Belajar dari Starbucks! (Human Capital atau Human Resource? Yang Mana?)

Percakapan di atas tentu sudah sering anda dengar terutama jika anda adalah profesional di bidang
pengembangan manusia. Tulisan ini saya tulis setelah beberapa kali dalam menjalankan fungsi konsultasi
dengan beberapa perusahaan, saya terkejut ternyata ada beberapa perusahaan yang lebih memilih
menggunakan Human Capital (Management) sebagai identitas divisi atau departemen yang
mengelola manusia, sedangkan yang lainnya "masih" menggunakan Human Resource (Management).
Istilah itu sendiri sebenarnya tidak mengejutkan untuk saya, namun mendengar alasan dari beberapa
manajer atau pimpinan perusahaan soal mengapa menggunakan istilah "Human Capital" itulah yang lebih
menarik untuk saya bahas. Sebagian besar dari mereka hanya memahami bahwa Human Capital
(HC) lebih strategis daripada Human Resource (HR). Apakah itu benar? Lalu apa bedanya Human
Capital dan Human Resource? Mana yang seharusnya anda pakai?

Sebelum kita mengulas itu, mari mengingat satu peristiwa soal keputusan bisnis yang menarik. Starbucks
Corporation go public pada Juni 1992. Di hari pertama perdagangan, sahamnya ditutup pada
$21,50 - naik dari harga pembukaan $17. Retailer kopi ini pun sejak saat itu masuk ke liga besar
bisnis retail F&B dunia. Yang menarik adalah CEO Starbucks saat itu, Howard Schultz, memutuskan
untuk memberikan kepada para karyawan kepemilikan sebagian saham. Saat manakala banyak
perusahaan lain hanya menawarkan sahamnya pada jajaran eksekutif (baca: top management), Schultz
justru menawarkannya pada siapapun yang bekerja di perusahaan selama 20 jam per minggu atau
lebih, termasuk mereka yang bekerja di kedai Starbucks. Apa latar belakang keputusan tersebut?
Starbucks memahami ini adalah salah satu cara untuk menciptakan budaya di mana karyawan sadar
akan pentingnya hubungan langsung antara kerja keras mereka dengan
kemajuan perusahaan. Ya, kesuksesan perusahaan memiliki kaitan erat dengan kesuksesan
karyawan.

Contoh keputusan bisnis Starbucks di atas adalah kerangka berpikir utama dari konsep Human Capital.
Secara sederhana dapat disimpulkan, HC berfokus pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan perusahaan
untuk mempersiapkan masa depan perusahaan melalui investasi pengetahuan dan/atau
kemampuan pada karyawannya.

Sebenarnya, baik HC ataupun HR sama-sama mengatur semua aspek karyawan dengan menggunakan
fungsi-fungsi manajemen. Keduanya menjalankan fungsi pengelolaan SDM berupa sistem administrasi
karyawan, rekrutmen, talent management, pelatihan/pembelajaran dan
pengembangan, compensation and benefit, waktu & kehadiran, manajemen biaya, manajemen kinerja,
kesehatan & keselamatan, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan proses bisnis. Lalu, di mana
letak perbedaannya?

Kembali ke kisah keputusan Starbucks di awal 90-an, Schultz sebagai CEO melakukan serangkaian
aktivitas bisnis perusahaan sambil mempersiapkan masa depan perusahaan melalui investasi
pengetahuan atau kemampuan pada karyawannya. Ia menambahkan value pada pengembangan
manusianya sehingga pengetahuan dan kemampuan karyawan yang meningkat akan paralel dengan
kinerjanya, dan pada akhirnya, kesuksesan perusahaan. Ya, Schultz berinvestasi pada karyawan
karena tahu itu akan menghasilkan return (baca: keuntungan). Secara singkat, karyawan
adalah aset. Apa bentuk investasi yang diambil oleh Schultz? Compensation and benefit yang
menarik agar orang terbaik tetap bertahan, budget pengembangan dan pendidikan karyawan untuk
belajar hal baru tadi, dan penyediaan fasilitas kerja yang lebih optimal sesuai dengan perkembangan
teknologi dan pasar.

Inti alasan mengapa Starbucks melakukan itu juga menjadi fondasi berpikir konsep HC. Maka, dapat
disimpulkan bahwa manajemen HC menitikberatkan pada sudut pandangan yang menganggap
bahwa karyawan adalah aset, sama seperti uang dan peralatan kerja lain (misal: mesin-mesin,
peralatan kerja, gedung, kendaraan, dll), bukan sekadar sumber daya yang diberdayakan. Karyawan ikut
membangun bahkan berkontribusi terhadap kesuksesan perusahaan. Jika mesin-mesin, yang merupakan
aset, tidak diperbarui sesuai teknologi dan perkembangan pasar maka mesin-mesin tersebut sulit
meningkatkan kapasitasnya di kemudian hari. Sama halnya, jika karyawan tidak diperbarui dengan
kondisi pasar dan teknologi terkini, maka karyawan akan sulit berkontribusi. Inilah konsep
penting Human Capital.

Secara singkat, tabel berikut mungkin akan memberi gambaran perbedaan dan persamaan konsep
berpikir Human Resource dan Human Capital.

Jelaslah bahwa baik HR maupun HC sebenarnya menjalankan fungsi pekerjaan dan manajemen yang
sama. Letak bagaimana perusahaan memperlakukan dan memandang karyawan serta apa yang mereka
lakukan terhadap karyawan sebagai bentuk sudut pandang tersebut, itulah yang membedakan praktik HR
dan HC di sebuah perusahaan.

Jika kita kembali pada rasa keheranan saya dengan beberapa perusahaan yang menggunakan
istilah Human Capital namun pada hakikatnya tidak mempraktikkan konsep itu sama sekali, bagi saya
itu sama saja kehilangan visi pengelolaan karyawan. Merasa strategis pada satu sisi, namun di sisi lain
pengelolaan yang dilakukan belum cukup strategis untuk bisnis. Maka coba bandingkan praktik yang
sedang anda jalankan dengan pertanyaan berikut.

Anda mungkin juga menyukai