Anda di halaman 1dari 19

REFLEKSI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Winarman

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Sudah menikah

Warga Negara : Indonesia

Pendidikan / Sekolah : SMP

Alamat / No. Telp. : / 082189754632

Keluarga Terdekat : Tn. Jumadi/ 085267452121

Tanggal masuk RS : 09 oktober 2019

Tanggal Pemeriksaan : 10 oktober 2019

Tempat Pemeriksaan : Ruang Sawo RSD Madani Palu

I. LAPORAN PSIKIATRI
A. Riwayat Penyakit
1. Keluhan utama dan alasan MRSJ / Terapi : Gelisah dan
melukai diri sendiri
2. Riwayat gangguan sekarang, perhatikan :
Keluhan dan gejala : pasien laki-laki umur 33 tahun masuk rumah
sakit jiwa pada tanggal 09 oktober 2019, pasien masuk dengan
keluhan gelisah dikarenakan sering melihat bayangan kilatan
cahaya yang dianggapnya sebagai peringatan Tuhan, bayangan ini
pasien lihat berwarna putih. Pasien juga sering mendengarkan
suara-suara yang tidak jelas. Pasien juga melukai diri sendri
dengan cara mengiris-ngiris tangannya, menurut pasien ini
merupakan sebagai perintah Tuhan. Sebelumnya pasien pernah di
rawat di ruangan srikaya dengan diagnosis Skizofrenia ytt, setelah
agak membaik, pasien dipulangkan, tetapi kurang lebih 1 bulan
yang lalu pasien putus obat.
B. Riwayat Kehidupan Pribadi
 Pada masa prenatal & perinatal, pasien tidak dapat mengingat
riwayat ini dengan jelas
 Pada usia 1-3 tahun, pasien tidak dapat mengingat riwayat ini
dengan jelas.
 Pada usia 3-11 tahun, pasien berhenti sekolah setelah tamat
SMP dan hanya bekerja membantu orang tua di rumah.
 Pada usia 12-18 tahun, pasien tidak melanjutkan pendidikan
ke jenjang berikutya, pasien anya bekerja dirumah membantu
orang tua.
II. EMOSI YANG TERLIBAT
Kasus ini menarik untuk dibahas karena pasien merupakan pasien
yang menderita skizofrenia yang tak terinci.
- Apa yang dimaksud skizofrenia?
- Apa saja kriteria diagnostic demensia menurut PPDG III dan
DSM IV-TR?
- Apa saja klasifikasi skizofrenia?
- Apa saja tatalaksana dari skizofrenia?
III. EVALUASI
a. Pengalaman baik
Pasien cukup kooperatif saat pemeriksaan, dimana pasien
menjawab pertanyaan yang diberikan.
b. Pengalaman buruk
Pasien sulit dibangunkan pada waktu tidur.
IV. ANALISIS
1. Skizofrenia adalah salah satu bentuk gangguan psikosis yang
menunjukkan beberapa gejala psikotik, ditambah dengan cerita lain
seperti jangka waktu, konsekuensi dari gangguan tersebut dan tidak
tumpang tindih dengan gangguan lain yang mirip. Pasien psikotik
tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas.
Beberapa gejala psikotik adalah delusi, halusinasi,
pembicaraan kacau, tingkah laku kacau. Skizofrenia adalah suatu
penyakit otak persisten serius yang mengakibatkan perilaku
psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses
informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah.

2. Gejala- gejala Skizofrenia


a. Gejala Positif Skizofrenia :
1) Delusi atau Waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional.
Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya
itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya
2) Halusinansi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada
rangsangan. Misalnya penderita mendengar bisikan - bisikan di
telinganya padahal tidak ada sumber dari bisikan itu.
3) Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi
pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak
dapat diikuti alur pikirannya.
4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif,
bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.
5) Merasa dirinya “Orang Besar”, merasa serba mampu, serba
hebat dan sejenisnya.
6) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada
ancaman terhadap dirinya.
7) Menyimpan rasa permusuhan (Hawari, 2007).
b. Gejala negatif skizofrenia :
1) Alam perasaan “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam
perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak
menunjukkan ekspresi.
2) Menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain, suka melamun.
3) Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.
4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
5) Sulit dalam berfikir abstrak.
6) Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif
dan serba malas (Hawari, 2007).

3. PEDOMAN DIAGNOSTIK SKIZOFRENIA MENURUT PPDGJ


III (Maslim, 2003) :
1) Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas
(dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang
tajam atau kurang jelas) :
a. -“Thought echo“ = isi pikiran dirinyasendiri yang
berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak
keras) , dan isi pikiran ulangan, walaupun isi sama,
namun kualitasnya berbeda; atau
- “Thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang
asing dari luar masuk kedalam pikirannya
(insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- “Thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar
sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
b. “Delusion of control” = waham tentang dirinya
dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar;
atau
- “Delusion of influence” = waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar;
atau
- “Delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan
tertentu dari luar; (tentang “dirinya“ = secara jelas
merujuk ke pergerakan tubuh atau anggota gerak
atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);
- “Delusional perception” = pengalaman inderawi yang
tak wajar, yang bermakna, sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
c. Halusinasi auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
- jenis suara halusinasi lain yang berasla dari salah satu
bagian tubuh
d. Waham – waham menetap jenis lainnya, yang menurut
budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang
mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
2) Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu
ada secara jelas :
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas,
ataupun disertai oleh ide – ide berlebihan (over loaded
ideas) yang menetap, atau yang apabila terjadi setiap hari
selama berminggu – minggu atau berbulan – bulan terus
menerus;
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami
sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme;
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah
(excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor;
d. Gejala – gejala “negatif”, seperti sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak
wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi
harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
3) Adanya gejala – gejala khas tersebut diatas telah berlangsung
selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk
setiap fase nonpsikotik prodormal);
4) Harus ada suatu perbuatan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek
perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan
penarikan diri secara sosial.

4. Klasifikasi skizofrenia
a. Skizofrenia Paranoid (Maslim, 2003).
1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
2. Sebagai tambahan :
 Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
a) Suara – suara halusinasi yang mengancam pasien
atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik
tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau
bersifat seksual, atau lain – lain perasaan tubuh;
halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi
waham dikendalikan (delusion of control),
dipengaruhi (deusion of influence), atau “passivity”
(delusion of passivity), dan keyakinan dikejar –
kejar beraneka ragam, adalah yang paling khas;
 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan
pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak
nyata/tidak menonjol.

b. Skizofrenia Hebefrenik (Maslim, 2003).


1. Memenuhi kriteria umu diagnosis skizofrenia.
2. Diagnosis henefrenia untuk pertama kalinya hanya
ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (onset
biasanya mulai 15 – 25 tahun)
3. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan
senang menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian
untuk menentukan diagnosis.
4. Untuk diagnosis henefrenik yang meyakinkan umumnya
diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan
lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas
berikut ini memang benar bertahan :
a. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat
diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan
untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku
menunjukkan hampa tujuan atau hampa perasaan;
b. Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar
(inappropiate), sering disertai oleh cekikikan (giggling)
atau perasaan puas diri (self satisfied), senyum sendiri
(self absorbed smilling) atau oleh sikap, tinggi hati
(lofty manner), tertawa menyeringai ( grimaces),
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks),
keluahan hipokondriakal, dan ungkapan kata yang
diulang – ulang (reiterated phrase).
5. Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu (rambling) serta inkoheren.
6. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan
proses pikir umumnya menonjol halusinasi atau waham
mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and
fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan
kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita
memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan
(aimless)dan tanpa maksud ( empty of puspose) adanya
suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat – buat
terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahamijalan pikiran pasien.

c. Skizofrenia Katatonik (Maslim, 2003).


1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofenia
2. Satu atau lebih perilaku berikut ini harus mendominasi
gambaran klinisnya :
a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktifitas terhadap
lingkungan dan dalam gerakan serta aktifitas spontan)
atau mutisme (tidak berbicara);
b. Gaduh gelisah ( tampak jelas aktifitas motorik yang tak
bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal);
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela
mengambil dan mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau
aneh);
d. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak
bermotif terhadap semua perintah atau upaya untuk
menggerakkan, atau pergerakan kearah yang
berlawanan);
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuhyang kaku untuk
melawan upaya menggerakan dirinya);
f. Fleksibilitas cerea/”waxy flexibility (mempertahankan
anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat
dibentuk dari luar); dan
g. Gejala – gejala lain seperti “command automatism”
(kepatuhan secara otomatis terhadap perintah), dan
pengulangan kata - kata serta kalimat – kalimat.
3. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku
dan gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus
ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya
gejala – gejala lain. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala –
gejala katatonik bukan petunjuk untuk diagnosis skizofrenia.
Geja katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat – obatan, serta dapat juga
terjadi pada gangguan afektif.

d. Skizofrenia Tak Terinci (Maslim, 2003).


1. Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
2. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
3. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi
pasca skizofrenia.

e. Depresi Pasca Skizofrenia (Maslim, 2003).


1. Diagnosis harus ditegakan hanya kalau:
a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria
umum skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi ggambaran klinisnya) dan ;
c) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu,
memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif
(F32.-), dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2
minggu.
2. Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia,
diagnosis menjadi episode depresif (F32.-). Bila gejala
skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap
salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0-F20.3).

f. Skizofrenia Residual (Maslim, 2003).


1. Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini
harus dipenuhi semua :
a) Gejala “negatif” dari skizofrenia yan menonjol, misalnya
perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan
dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal
yang buruk sperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara dan posisi tubuh, erawatan diri dan kinerja
sosial yang buruk;
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotikyang jelas dimasa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia;
c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom “negatif” dari skizofrenia;
d) Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik
lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat
menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

g. Skizofrenia Simpleks (Maslim, 2003).


1. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara
meyakinkankarena tergantung pada pemantapan perkembangan
yang berjalan perlahan dan progresif dari :
a) Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain
dari episode psikotik; dan
b) Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang
bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang
mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan
penarikan diri secara sosial.
2. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan
subtipe skizofrenia lainnya.
1. Terapi skizofrenia
a. Non farmakologis
1) Terapi psikososial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu
kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan
mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang
lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat,
pasien diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak
kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul.
2) Terapi psikoreligius Terapi keagaman terhadap penderita
skizofrenia ternyata mempunyai manfaat misalnya, gejala-gejala
klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat hilang. Terapi
keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual
keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian
kepada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.
3) Terapi fisik berupa olahraga.
4) Berbagai kegiatan seperti kursus atau les

Farmakologi
Obat-obat antipsikotik juga dikenal sebagai neuroleptik dan juga
sebagai trankuiliser mayor. Obat antipsikotik pada umumnya membuat
tenang dengan mengganggu kesadaran dan tanpa menyebabkan
eksitasi paradoksikal.
Antipsikotik pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu
gangguan jiwa yang berat. Ciri terpenting obat antipsikotik adalah:
1) Berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas
emosional pada pasien psikotik.
2) Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun
anesthesia.
3) Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau
ireversibel.
4) Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik
dan psikis
Mekanisme Kerja Antipsikotik menghambat (agak) kuat
reseptor dopamine (D2) di sistem limbis otak dan di samping itu juga
menghambat reseptor D1/D2 ,α1 (dan α2) adrenerg, serotonin,
muskarin dan histamin. Akan tetapi pada pasien yang kebal bagi obat-
obat klasik telah ditemukan pula blokade tuntas dari reseptor D2
tersebut. Riset baru mengenai otak telah menunjukkan bahwa
blokade-D2 saja tidak selalu cukup untuk menanggulangi skizofrenia
secara efektif. Untuk ini neurohormon lainnya seperti serotonin (
5HT2), glutamate dan GABA (gamma-butyric acid) perlu
dipengaruhi.
Golongan obat antipsikotik ada 2 macam yaitu:
1) Golongan antipsikotik tipikal : chlorpromazine, fluperidol,
haloperidol, loxapine, molindone, mesoridazine, perphenazine,
thioridazine, thiothixene, trifluperezine.
2) Golongan antipsikotik atipikal : aripiprazole, clozapin,
olanzapine, quetiapine, risperidone, ziprasidone.
Chlorpromazine dan thioridazine : menghambat α1
adrenoreseptor lebih kuat dari reseptor D2. Kedua obat ini juga
menghambat reseptor serotonin 5-HT2 dengan kuat. Tetapi afinitas
untuk reseptor D1 seperti diukur dengan penggeseran ligan D1 yang
selektif, relatif lemah .
Perphenazine : bekerja terutama pada reseptor D2; efek pada
reseptor 5-HT2 dan α1 ada tetapi pada reseptor D1 dapat
dikesampingkan. Klozapin : bekerja dengan menghambat reseptor-D2
agak ringan (k.I.20%) dibandingkan obat-obat klasik (60-75%).
Namun efek antipsikotisnya kuat, yang bias dianggap paradoksal. Juga
afinitasnya pada reseptor lain dengan efek antihistamin, antiserotonin,
antikolinergis dan antiadrenergis adalah relative tinggi. Menurut
perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh blokade kuat dari
reseptor-D2,-D4, dan -5HT2. Blokade reseptor-muskarin dan –D4
diduga mengurangi GEP, sedangkan blokade 5HT2 meningkatkan
sintesa dan pelepasan dopamin di otak. Hal ini meniadakan sebagian
blokade D2, tetapi mengurangi risiko GEP.
Risperidone: bekerja dengan menghambat reseptor-D2 dan -
5HT2, dengan perbandingan afinitas 1:10, juga dari reseptor-α1,-α2,
dan –H1. Blokade α1 dan α2 dapat menimbulkan masing-masing
hipotensi dan depresi sedangkan blokade H1 berkaitan dengan sedasi.
Olanzapine : menghambat semua reseptor dopamine (D1s/d D5)
dan reseptor H1,-5HT2,-adrenergis dan –kolinergis, dengan afinitas
lebih tinggi untuk reseptor 5-HT2 dibandingkan D2. Efek samping
penggunaan antipsikotik:
1) Gejala ekstrapiramidal (GEP) dapat berbentuk antara lain:
- Parkinsonisme (gejala penyakit parkinsonisme) yakni
hipokinesia (daya gerak berkurang, berjalan langkah demi
langkah) dan kekakuan anggota tubuh , kadang- kadang
tremor tangan dan keluar liur berlebihan.
- Akathisia yaitu selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk
diam tanpa mengerakkan kaki, tangan atau tubuh.
- Dyskinesia tarda yaitu gerakan abnormal tak-sengaja,
khususnya otot-otot muka dan mulut yang dapat menjadi
permanen.
- Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan
otot dan GEP (gejala ekstrapiramidal).
- Sedasi
- Efek antikolinergis yang bercirikan mulut kering,
penglihatan guram, obstipasi, retensi kemih, terutama pada
lansia.
- Gejala penarikan, bila penggunaannya dihentikan mendadak
dapat terjadi sakit kepala, sukar tidur, mual, muntah,
anorexia dan rasa takut.
Efek samping yang ireversibel : tardive dyskinesia (gerak,
di mana tidur akan berulang involunter pada lidah, wajah,
mulut/rangka, dan anggota gerak, di mana waktu tidur gejala
tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka
panjang dan pasien lanjut usia. Bila terjadi, obat antipsikosis
harus dihentikan perlahan-lahan, biasa dicoba pemberian obat
2,5 mg/hari (dopamine depleting agent).
Obat pengganti antpsikosis yang paling baik adalah
klozapin 50-100 mg/hari. Pada pemakaian obat jangka panjang
secara periodik harus dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.
Dapat terjadi sindrom neuroleptik maligna (SNM) yang
dapat mengancam kehidupan terutama pada pasien dengan
kondisi dehidrasi, kelelahan, atau malnutrisi, SNM ditandai
dengan hiperpireksia, rigitas, inkontinensia urin, dan perubahan
status mental serta kesadaran. Apabila terjadi dengan
penghentian obat, perawatan suportif, dan agonis dopamine
(bromokriptin 3 x 7,5-60 mg/hari, L-dopa 2x 100mg/ hari atau
amantatadin 200mg/hari).
Dalam memilih pertimbangan gejala psikosis yang dominan
dan efek samping obat. Contoh klorpromazin dan thioridazine
yang efek samping sedatif kuat terutama digunakan untuk
sindrom psikosis dengan gejala dominan gaduh gelisah,
hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, perilaku, dan
lain-lain. Sedangkan trifluperezine, fluperidol dan haloperidol
yang memiliki efek sedatif lemah di gunakan untuk sindrom
psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, perasaan
tumpul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham,
halusinasi, dan lain-lain.
Obat dimulai dengan awal sesuai dengan dosis anjuran.
dinaikkan dosisnya setiap 2-3 hari sampai mencapai dosis
efektif (mulai timbul peredaan gejala). Evaluasi dilakukan tiap
dua minggu dan bila perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai
dosis optimal. Dosis ini dipertahankan sekitar 8-12 minggu
(stabilitas), kemudian diturunkan setiap dua minggu, sampai
mencapai dosis pemeliharaan. dipertahankan 6 bulan sampai 2
tahun (diselingi masa bebas obat 1-2 hari/minggu). Kemudian
tapering off, dosis diturunkan tiap 2-4 minggu dan dihentikan.
Obat antipsikosis long acting (flufenazin dekanoat 25mg/ml
atau haloperidol dekanoat 50 mg/ml i.m, untuk 2-4 minggu)
sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur
makan obat ataupun yang efektif terhadap medikasi oral. Dosis
mulai dengan 0,5 ml setiap 2 minggu pada bulan pertama,
kemudian baru ditingkatkan menjadi 1 ml setiap bulan.
Penggunaan klorpromazin injeksi sering menimbulkan
hipotensi ortostatik. Efek samping ini dapat dicegah dengan
tidak langsung bangun setelah suntik atau tiduran selama 5-10
menit. Haloperidol sering menimbulkan gejala eksrapiramidal,
maka diberikan tablet triheksifenidil (Artane®) 3-4 x 2 mg/hari
atau sulfus atropine 0,5-0,75 mg i.m. Kontraindikasi untuk obat
ini adalah penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan
jantung, febris yang tinggi, ketergantungan alkohol, penyakit
susunan syaraf pusat, dan gangguan kesadaran

A. Axis I
1. Aksis I :
 Berdasarkan autoanamnesa didapatkan adanya gejala klinis
yang bermakna berupa rasa gelisah, halusinasi berupa
auditorik dan visual, waham sehingga melukai dirinya sendiri
dengan cara melukai dirinya sendiri, sehingga menimbulkan
distress dan hendaya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
hasil normal, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami Gangguan Jiwa.
 Pada pasien tidak ditemukan hendaya berat dalam menilai
realita berupa halusinasi maupun waham, sehingga pasien
didiagnosa sebagai Gangguan Jiwa Psikotik.
 Pada riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan status
interna dan tidak ditemukan adanya kelainan yang
mengindikasi gangguan medis umum seperti infeksi berat di
otak, trauma kapitis, tumor pada daerah kepala, penggunaan
NAPZA, maupun alkohol sehingga, pasien didiagnosa
Gangguan Jiwa Psikotik Non Organik.
 Pada pasien ditemukan adanya gejala-gejala berupa:
halusinasi auditorik, psikomotor gaduh gelisah dan arus pikir
yang terputus berupa kontinuitas kadang irelevan yang
memenuhi kroteria dua gejala skizofrenia, sehingga pasien
didiagnosis menurut PPDG III yaitu F 20 ( skizofrenia)
 Pasien memenuhi kriteria skizofrenia. Pada pasien tidak ada
gambaran yang memenuhi skizofrenia paranoid, skizofrenia
hebefrenik, skizofrenia katatonik, sehingga pasien
didiagnosis F 20.3 (skizofrenia tak terinci)

2. Aksis II :

Pasien memiliki gangguan kepribadian

3. Aksis III :

Vulnus Scisum

4. Aksis IV :
Tidak jelas

5. Aksis V :
GAF Scale 50-41 : gejala berat (ide bunuh diri, ritual
obsesional), disabilitas berat dalam fungsi sosial, pekerjaan
atau sekolah)

3. RENCANA TERAPI
a. Umum
- Terapi psikososial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu
kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan
mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang
lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat,
pasien diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak
kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul.
- Terapi psikoreligius Terapi keagaman terhadap penderita
skizofrenia ternyata mempunyai manfaat misalnya, gejala-gejala
klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat hilang. Terapi
keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual
keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian
kepada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.
- Terapi fisik berupa olahraga.
- Berbagai kegiatan seperti kursus atau les
b. Khusus
1. Clozapin 25 mg 1x1 (malam)
2. Haloperidol 1,5 mg 2x1
3. Trifluoperazine 5 mg 2x1

4. KESIMPULAN
Skizofrenia adalah salah satu bentuk gangguan psikosis yang
menunjukkan beberapa gejala psikotik, ditambah dengan cerita lain seperti
jangka waktu, konsekuensi dari gangguan tersebut dan tidak tumpang
tindih dengan gangguan lain yang mirip. Pasien psikotik tidak dapat
mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas.
Skizofrenia memiliki gejala positif dan negatif. Pada saat
mendiagnosis harus memenuhi kriteria 2 gejala atau 1 gejala.
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim, Rusdi. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan


Ringkas dari PPDGJ – III. Jakarta: Nuh Jaya.

Anda mungkin juga menyukai