Anda di halaman 1dari 23

PATOFISIOLOGI, FARMAKOLOGI, DAN TERAPI DIET

SISTEM PENCERNAAN PENYAKIT APENDIKSITIS

Dosen Pembimbing:

Ns. Aria Wahyuni, S.Kep, M.Kep Sp. MB

Mata Kuliah: Keperawatan Medikal Bedah II

Oleh Anggota Kelompok 3:

Shan Pebri Joalia

Ulfa Zakyiah

Victor Trio Saputra

Kori Susandry

STIKES FORT DE KOCK BUKITTINGGI

TAHUN AJARAN

2017/2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan YME atas rahmatnya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini yang membahas tentang Patofisiologi, Farmakologi, dan Terapi
Diet Penyakit Apendiksitis. Terima kasih kami ucapkan kepada para pengajar atas bimbingan dan
pendidikan yang diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.

Makalah ini merupakan hasil diskusi kelompok kami dengan materi keperawatan.
Pembahasan di dalamnya kami dapatkan dari kuliah, browsing internet, buku, diskusi kelompok,
dll. Kami sadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaannya. Demikian yang dapat kami
sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami yang sedang menepuh
pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi teman-teman dan kami khususnya.

Bukittinggi, 17 Maret 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................ 5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Apendiksitis ......................................................................................................... 6


B. Patofisiologi ........................................................................................................................ 7
C. Etiologi ............................................................................................................................... 8
D. Manifestasi Klinis ............................................................................................................... 9
E. Komplikasi ....................................................................................................................... 10
F. Farmakologi ...................................................................................................................... 11
G. Terapi Bedah ..................................................................................................................... 16
H. Terapi Diet ........................................................................................................................ 17

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 22
B. Saran ................................................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apendiks disebut juga umbai caring. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam
sesungguhnya kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak
diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks
memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.
Apendiks veriformis merupakan suatu struktur berbentuk seperti jari yang menempel pada
sekum dikuadran bawah abdomen. Walaupun apendiks veriformis diketahui tidak mempunyai
fungsi apapun, ia dapat meradang dan menimbulkan penyakit yang disebut apendiksitis.
Peradangan dikuadran kanan bawah dahulu dianggap sebagai penyakit non bedah pada
sekum (tiflitis atau peritiflitis) sampai fitz mengemukakan apendiksitis akut sebagai suatu entitas
tersendiri pada tahun 1886. Inflamasi apendiks diakibatkan oleh obstruksi pada 50% sampai 80%,
biasanya oleh fekalit dan, yang lebih jarang, batu empedu, tumor, atau gumpalan cacing (oxyuris
vermikularis).(Robbins & Cotran, 2009)
Apendisitis merupakan penyakit yang biasa dikenal oleh masyarakat awam sebagai
penyakit usus buntu. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja. Apendisitis akut merupakan masalah pembedahan yang
paling sering dan apendektomi merupakan salah satu operasi darurat yang sering dilakukan
diseluruh dunia. Faktor potensialnya adalah diet rendah serat dan konsumsi gula yang tinggi,
riwayat keluarga serta infeksi. Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan
dengan wanita. Insidensi apendisitis lebih tinggi pada anak kecil dan lansia.
Insiden apendiksitis akut dinegara maju lebih tinggi daripada negara berkembang. Namun
dalam 3-4 dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendiksitis dapat ditemukan pada semua
umur. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, insiden pada laki-laki lebih tinggi.
(Sjamsuhidajat, 2010)

4
B. Rumusan Masalah

1. Defenisi Apendiksitis
2. Patofisiologi
3. Etiologi
4. Manisfestasi klinis
5. Komplikasi
6. Farmakologi
7. Terapi Bedah
8. Terapi diet

C. Tujuan Penulisan

1. Mahasiswa mengetahui apa itu penyakit Apendiksitis.


2. Mahasiswa mengetahui patofisiologi penyakit Apendiksitis.
3. Mahasiswa mengetahui etiologi penyakit Apendiksitis.
4. Mahasiswa mengetahui manifestasi klinis penyakit Apendiksitis.
5. Mahasiswa mengetahui komplikasi penyakit Apendiksitis.
6. Mahasiswa mengetahui farmakologi penyakit Apendiksitis.
7. Mahasiswa mengetahui terapi bedah penyakit Apendiksitis.
8. Mahasiswa mengetahui terapi diet penyakit Apendiksitis.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Apendisitis

Menurut (Chang, 2009) Apendiksitis adalah peradangan pada mukosa apendiks


vermiformis dan merupakan penyebab akut abdomen paling sering. Karena struktur yang terpuntir,
apendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi. Menurut
(Lusianah, 2010) Apendiksitis merupakan peradangan apendiks yang relative sering dijumpai
yangg dapat timbul tanpa sebab yang jelas, atau timbul setelah obstruksi apendiks.

(Price & Wilson, 2005) Mengatakan apendiksitis merupakan penyakit bedah mayor yang
paling sering terjadi. Walaupun apendiksitis dapat terjadi pada setiap usia, namun paling sering
terjadi pada remaja dan dewasa muda. Angka mortalitas penyakit ini sangat tinggi sebelum era
antibiotik.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa apendiksitis adalah peradangan
apendiks veriformis yang timbul akibat obstruksi apendiks atau invasi agen infeksi. Apendisitis
dapat terjadi pada segala usia kendati lebih sering ditemukan pada remaja dan dewasa awal.

Klasifikasi apendiksitis terbagi atas 2 yakni:

1. Apendiksitis akut, dibagi atas: apendiksitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah
sembuh akan timbul striktur lokal, dan apendiksitis purulenta difusi, yaitu sudah
bertumpuk nanah. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise dan demam ringan
2. Apendiksitis kronis, dibagi atas: apendiksitis kronik fokalis atau parsial, setelah sembuh
akan timbul striktur lokal, apendiksitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya
ditemukan pada usia tua. Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik.

6
B. Patofisiologi

ETIOLOGI

Obstruksi Infeksi bakteri STRIKTUR


pada lamen
apendiks

Biasanya disebabkan Terjadinya peradangan pada Karena


karena adanya apendiks oleh infeksi bakteri penyempitan usus
timbunan tinja yang ascheria colli yang banyak besar yang
keras (fekalit), terdapat dibagian usus besar disebabkan oleh
hiperplasia jaringan juga bakteri streptoccus peradangan dan
limfoid, penyakit cacing, jaringan parut.
parasit, benda asing
dalam tubuhn cancer
primer dan striktur.

APENDIKSITIS

TANDA DAN GEJALA

1. Nyeri dekat pusar.


2. Kehilangan selera
makan
3. Mual atau muntah
segera setelah sakit
perut dimulai.
4. Pembengkakan perut.
5. Demam
6. Ketidakmampuan
untuk flatus (kentut)

7
Makin lama makin bertambah dan
terbentuk lah bendungan mukus

Peningkatan Sekresi mukosa Aliran terganggu diikuti


penekanan berlanjut gonggren
dinding
apendiks
Tekanan Apendiksitis gonggrenosa
meningkat
Aliran limfe
terganggu
perforasi
Obstruksi
vena
Edema
MK :
Kekurangan
Edema
Apendisitis Volume
bertambah
Akut Cairan

Peradangan
Mual dan
meluas dan
muntah
mengenai
peritoneum
MK :
Kekurangan
volume cairan Nyeri perut
dan Nutrisi kanan bawah

MK : Nyeri

C. Etiologi

Apendiksitis disebabkan oleh obstruksi pada lamen apendiks, infeksi bakteri, dan striktura
pada dinding usus.

8
1. Obstruksi atau penyumbatan pada lamen apendiks yang dapat disebabkan oleh fekalit
(massa feses yang keras, terutama disebabkan oleh kekurangan makanan berserat).
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional
apendiks dan meningkannya pertumbuhan flora normal kolon, hiperplasia jaringan limfoid,
benda asing tumor, cacing atau parasit lain.
2. Infeksi bakteri (seperti, proteus, klebsiella, streptococcus dan pseudomona, dan bakteri
anaerobik terutama bacteroides fragilis), parasit.
3. Striktura karena fibrosa pada dinding usus.

Makan cabe beserta bijinya atau makan jambu klutuk berserta bijinya sering kali tak
tercerna dalam tinja dan menyelinap ke saluran apendiks sebagian benda asing. Begitu pula terjadi
pengerasan tinja/feses dalam waktu lama sangat mungkin ada bagian yang tersalip masuk kedalam
apendiks yang pada akhirnya menjadi media kuman/bakteri bersarang dan berkembang biak
sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan usus buntuk tersebut.

Menurut penelitian epidemilogi (Hidayatullah, 2014) menunjukkan kebiasaan makan-


makanan rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan apendiksitis. Hal
tersebut akan meningkatkan tekanan intrasekal, sehingga timbul sumbatan fungsional apendiks
dan meningkatkan penimbulan kuman flora pada kolon.

D. Manifestasi Klinis

1. Apendiksitis akut timbul dalam sekitar 7% individu di daerah barat, dan merupakan sebab
terlazim aku abdomen yang memerlukan intervensi bedah.
2. Awitan mendadak atau secara bertahap nyeri difusi di daerah epigastrium atau peri
umbilikus sering terjadi.
3. Dalam beberapa jam, nyeri menjadi lebih terlokalisasi dan dapat dijelaskan sebagai nyeri
tekan di daerah kuadran kanan bawah abdomen.
4. Nyeri lepas (nyeri yang timbul sewaktu tekanan dihilangkan dari bagian yang sakit)
merupakan gejala klasik peritonitis dan umum ditemukan di apendiksitis. Terjadi defans
muskular atau pengencangan perut.(J. Corwin, 2009)

9
5. Nyeri jenis visera (yang disebabkan oleh peningkatan tekanan didalam lumen apendiks)
biasanya menetap dan kontineu.(Sabiston, 1994)
6. Panas (infeksi akut) bila timbul komplikasi. Gejala lain yang muncul yaitu demam yang
tidak terlalu tinggu dengan suhu antara 37,50-38,50C, tetapi bila suhu lebih tinggi diduga
telah terjadi perforasi.
7. Mual dan muntah dengan anoreksia akibat nyeri visceral.
8. Obstipasi karena klien takut mengejan, klien apendiksitis akut juga mengeluh obstipasi
sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa klie mengalami diare, hal tersebut timbul
biasanya pada klien apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum.
9. Pada inspeksi, klien berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang saki, timbul
kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada abses apendiks.
Posisi klien biasanya miring kesisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha,
karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri.
10. Regiditas abdomen (keras seperti papan)

E. Komplikasi

1. Perforasi

Komplikasi utama apendiksitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi
peritonitis atau abses.

Tanda peritonitis umum (perforasi):

a. Nyeri seluruh abdomen.


b. Pekak hati hilang.
c. Bising usus hilang.
d. Dapat terjadi peritonitis jika apendiks yang membengkak pecah. Peritonitis secara
bermakna meningkatkan resiko komplikasi pasca pembedahan.
2. Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh
omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak

10
terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai
dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis,
lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang telah mereda ditandai
dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis, teraba
massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal.

F. Farmakologi

Adapun antibiotik yang digunakan untuk apendiksitis adalah sebagai berikut:

1. Cefotaxime
Cefotaxime merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang lebih
aktif terhadap gram negative, termasuk enterobacteriaceae dan pseudomonas, tetapi kurang
aktif terhadap terhadap coccus Gram positif dibandingkan generasi pertama. Spectrum
antibakterinya lebih luas dibandingkan generasi sebelumnya, secara umum generasi ini
aktif terhadap gram negative yang telah kebal, lebih tahan terhadap betalaktamase, tetapi
kurang aktif terhadap gram positif.
Mekanisme kerja. Seperti halnya antimikroba betalaktum lain yakni menghambat sistesis
dinding sel bakteri dengan berikatan dengan satu atau lebih ikatan protein penisilin yang
selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding sel
bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel. Bekteri akan mengalami lisis karena
aktivitas enzim autolitik (autolisin dan murein hidrolase) saat dinding sel bakteri
terhambat.
Farmakokinetik. Cefotaxime diberikan dengan injeksi sebagai garam natrium. Ia secara
cepat diabsorsi setelah injeksi IM dan berarti kontraksi puncak plasma 12-20
mikrogram/mL, yang telah dilaporkan 30 menit setelah dosis 0,5 dan 1 gr cefotaxime.
Waktu paruh plasma dan cefotaxime kira-kira 1 jam. Waktu paruh meningkat pada balita
dan pasien dengan beberapa kerusakan ginjal. Efek penyakit hati dan cefotaxime dan
metabolitnya bervariasi, tapi secara umum penyesuaian dosisnya tidak harus
dipertimbagkan secara cermat . 40% cefotaxime dilaporkan berkaitan dengan protein
plasma. Cefotaxime secara luas didistribusikan dalam jaringan tubuh, konsentrasi

11
terapeutik diterima dalam CSF terutama ketika terjadi meningitis. Cefotaxime menyilang
plasenta dan konsentrasi rendah telah dideteksi ada pada air susu.
Efek samping. Efek samping yang sering terjadi, gejalanya mirip dengan reaksi alergi
yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu anafilaksis dengan spasme
bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya terjadi pada pasien dengan
alergi berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan atau sedang kemungkinan kecil.
Dengan demikian pada pasien dengan alergi penisilin berat, tidak dianjurkan penggunaan
sefalosfarin atau kalau sangat diperlukan harus diawasi sungguh-sungguh.
Indikasi. Infeksi yang disebabkan oleh gram positif atau gram negatif, gonore, bedah,
Haemophilus epiglothitis dan meningitis.
Kontraindikasi. Hypersensitifitas terhadap sefalosporin porfiria.
Dosis. Pemberian injeksi IM, IV atau infus: 1gr tiap 12jam daat ditingkatkan 12gr perhari
dalam 3-4 kali pemberian. Neonatus 50 mg/kg/hari dalam 2-4 kali pemberian. Pada infeksi
berat, dapat ditingkatkan 150-200 mg/kg/hari.
Interaksi obat. Probenecid dapat menurunkan eliminasi sefalosporin sehingga
meningkatkan konsentrasi sefalosporin dalam darah. Kombinasi furosemid,
amonoglikosida dengan cefotaxime dapat meningkatkan efek nefrotoksik.

2. Ceftazidime
Mekanisme kerja. Ceftazidime merupakan antibiotika sefalosporin semisintetik yang
bersifat bakterisidal. Mekanisme kerja antibakteri dengan menghambat enzim yang
bertanggung jawab terhadap sintesis dinding sel. Secara in vitro ceftazidine dapat
mempengaruhi mikroorganisme dalam range/spektrum yang luas, termasuk strain yang
resisten terhadap gentamicin dan aminoglikosid lainnya. Selain itu ceftazidine sangat stabil
terhadap sebagian besar beta-laktamase, plasmid dan kromosomal yang secara klinis
dihasilkan oleh kuman gram negatif dan dengan demikian ceftazidime aktif terhadap
beberapa strain resisten terhadap ampisilin dan sefalosporin lainnya.
Farmakokinetik. Seftazidime diabsorpsi baik setelah pemberian IM, ceftazidime
didistribusi secara luas menembus plasenta dan memasuki ASI dalam konsentrasi rendah.
>90% dieksresikan oleh ginjal tanpa perubahan, waktu paruhnya 1,4-2 jam.

12
Efek samping. Reaksi hipersensitivitas (urticaria, pruritus, ruam, reaksi parah seperti
anaphylaxis bisa terjadi). Efek GI (diare, N/V, diare/rang usus besar). Efek lainnya infeksi
candidal.
Indikasi. Infeksi yang disebabkan oleh gram positif atau gram negatif.
Kontraindikasi. Hypersensitifitas terhadap sefalosporin porfiria.
Dosis. Pemberian injeksi IM, IV atau infus dalam intravena 1gr tiap 8 jam, 2 gr tiap 12
jam, pada infeksi berat 2gr tiap 8-12 jam. Pemberian lebih dari 1gr hanya secara IV. Usia
lanjut dosis maksimum 3 gr/ hari.

3. Ceftriaxome
Mekanisme kerja. Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan satu
atau lebih ikatan protein-penisilin yang selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi
sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel.
Bakteri akan mengalami lisis karena aktivitas enzim autolitik (autolisin dan murein
hidrolase) saat dinding sel bakteri terhambat.
Farmakokinetik. Absorbsi ceftrixome di saluran cerna buruk, karena itu dibeikan secara
parentral. Konsentrasi plasma sekitar 40 dan 80 mikrogram/Ml telah dilaporkan 2 jam
setelah injeksi IM 0,5 dan 1 gr ceftriaxome. Eliminasi ceftriaxome tidak tergantung pada
dosis dan bervariasi antara 6 dan 9 jam, tetapi dapat diperpanjang pada neonatus. Eliminasi
tidak berubah pada pasien dengan gangguan ginjal, tetapi mengalami penurunan terutama
ketika ada gangguan hati. Ceftriaxome secara luas didistribusikan dalam jaringan tubuh
dan cairan. Umumnya mencapai konsentrasi erapeutik dalam CSF. Melintasi plasenta dan
konsentrasi rendah telah terdeteksi dalam ASI konsentrasi tinggi dicapai dalam empedu.
Sekitar 33 hingga 67% ceftriaxome dieksresikan dalam urin, terutama oleh filtrasi
glomelurus, sisanya dieksresikan dalam empedu dan akhirnya ditemukan dalam kotoran
(feses).
Efek samping. Gangguan lambung-usus, perubahan hematological, reaksi kulit, gangguan
koagulasi, nyeri pada tempat penyuntikan, sakit kepala, pusing, agramulositosis.
Indikasi. Infeksi yang disebabkan oleh gram positif atau gram negatif, gonore, dan bedah.
Kontraindikasi. Hypersensitifitas terhadap sefalosporin perforia.

13
Dosis. Pemberian secara injeksi IM dalam, bolus IF atau infus 1 gr perhari dalam dosis
tunggal. Pada infeksi berat 2-4 gr perhari dosis tunggal. Dosis lebih dari 1 gr harus
diberikan 2 tempat atau lebih.
Interaksi obat. Sefalospirin: meningkatkan efek antikoagulan dari derivat kumarin
(dikumarol dan warfarin); agen urikosurik: (probenesid, sulfinpirazon) dapat menurunkan
ekskresi sefalosporin, monitor efe toksik.

4. Cefpiron
Mekanisme kerja. Sefalosporin generasi keempat, memiliki cakupan gram negatif
sebanding dengan ceftazidime tapi gram positif cakupan yang lebih baik dibandingkan
ceftriaxome, antibiotik yang terbaik beta-laktam dalam pemakaian IM, memiliki kapasitas
yang kurang baik untuk menyeberangi penghalang darah-otak dan dengan demikian tidak
digunakan untuk pengobatan meningitis.
Farmakokinetik. Penyerapan IM cepat dan lengkap, waktu puncak dalam plasma; 0,5-1,5
jam (IV), 1-2 jam (IM), didistribusikan menembus kedalam cairan peradangan pada
konsentrasi 80% dari tingkat serum dan mukosa bronkial ke pada konsentrasi 60% dari
kadar plasma melintasi penghalang darah-otak. Sedikit dimetabolisme di hati. Waktu
paruh: 2 jam, dieksresi melalui urin (obat 85% dalam bentuk utuh).
Efek samping. Reaksi hipersensitif, gangguan gastrointestinal, nyeri dada, takikardi, sakit
tenggorokan, dyspnea, sakit kepala, pusing, ansietas, kebingungan, reaksi lokal.
Indikasi. Infeksi yang disebabkan oleh gram positif atau gram negatif, gonore, dan bedah.
Dosis. 1 gr IM/ IV tiap 12 jam.

5. Metronidazole
Mitronidazole adalah (1b-hidroksi-etil) 2-metil-5-nitriimidazol yang berbentuk
kristal kuning muda dan sedikit larut dalam air atau alkohol. Metronidazole merupakan
obat antibakteri dan anti protozoa sintetik derivat nitrimidazole yang mempunyai aktivitas
bakterisid, amebisid dan trikomonosid. Metronidazol diindikasikan untuk pengobatan
uretritis dan vaginitis, amubiasis, infeksi anaerob (terutama pasca bedah) dan giardiasis.
Mekanisme kerja. Dalam sel atau mikroorganisme metronidazol mengalami reduksi
menjadi produk polar. Hasil reduksi ini mempunyai aksi antibakteri dengan jalan

14
menghambat sintesa asam nukleat, mempengaruhi anaerob yang mereduksi nitrogen
membentuk intermediet.
Farmakokinetik. 1 jam setalah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar
plasma kira-kira 10 mikrogram/mL. Waktu paruhnya 8-10 jam diekresikan melalui urin
dalam bentuk asal dan bentuk metabolit, juga dieksresikan melalui air liur, air susu, cairan
vagina, dan cairan seminal dalam kadar yang rendah.
Efek samping. Rasa tidak enak pada mulut, lidah berbulu halus, gangguan saluran cerna.
Angioedema, anoreksia, nyeri ulu hati, meriang, neuropati periter, ruam kulit, pruritus,
leukopenia ringan, dan anafilaksis.
Indikasi. Gonore, bedah, hemophilus epiglotitis dan meningitis.
Dosis. Dosis dewasa adalah 7,5 mg/kg setiap 6 jam (sekitar 500 mg untuk orang dewasa
70 kg), maksimum 4 gr sehari selama 7-10 hari.
Interaksi obat. Efek cytochrome P450 : menghambat CYP2C8/9 9 (lemah), 3A4
(moderate), meningkatkan efek/toksisitas: etanol dapat menyebabkan reaksi seperti
disulfiram. Warfarin dan metronidazol dapat meningkatkan bleeding time (PT) yang
menyebabkan perdarahan. Simetidin dapat meningkatkan kadar metronidazol.
Metronidazol dpat menghambat metabolisme cisaprid, menyebabkan potensial aritmia,
hindari penggunaan secara bersamaan. Metrinidazol dapat meningatkan efek/toksisitas
lithium. Metronidazol meningkatkan efek/toksisitas, benzodiazepin tertentu, calcium
channel bloker, siklosporin, turunan ergot, HMG-Coa reduktase inhibitor tertentu,
mirtazapine nateglinid, nefazodon, sildenafil (dan PDE-5 inhibitor yang lain), takrolimus,
venlafaxime dan substrat CYP3A4 yang lain. Menurunkan efek fenobabital, fenobarbital
(inducer enzim yang lain), dapat menurunkan efek dan waktu paro metronidazol.

Pertimbangan keperawatan:
Sefalosporin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat alergi
atau sensitif terhadap penisilin. Sensitive silang antara obat yang tergolong kelompok
penisilin, dan sefalosporin terjadi pada 5-10% individu. Kita juga harus berhati-hati pada
pasien gangguan ginjal dan mungkin diperlukan penyesuaian dosis. Golongan sepalosporin
dapat pula berinteraksi dengan anti koagulan, yang berakibat waktu pemberkuan

15
memanjang sehingga perawat harus mengawasi tanda peningkatan pendarahan. (Chang,
2009)

G. Terapi Bedah
a) Konvensional
Pembedahan teknik konvensional merupakan prosedur pembedahan yang digunkan unuk
tindakan apendisiti. Prosedur ini dilakukan dengan pembuangan apendiks yang terinfeksi
dengan satu insisi besar pada abdomen kodran bawah. Insisi sepanjang 5-7,5 cm dibuat
pada kulit dan lapisan dinding perut diatas area apendiks yaitu pada kuadran kanan bawah
abdomen. Setelah insisi dibuat oleh ahli bedah akan melihat daerah sekitar apendiks,
apakah ada masalah lain selain apendiksitis, jika ada apendik aka diangkat. Pengangkatan
apendik dialakukan dengan melepaskan apendik dari prlekatan nya dengan mesenterium
abdomen dan kolon, mengguntuing apendik dari kolon, dan menjahit lubang pada kolon
tempat apendik sebelumnya. Jika ada abses, push didraenase. Insisi tersebut lalu dijahit dan
ditutup.

b) Laparoskopi
Pembedahan tekhnik laparoskopi yang juga disebut minimal invasive surgery atau (mis)
adalah tekhnik pembedahan dimana pengoperasian pembedahan pada abdomen dilakukan
melalui insisi kecil sepanjang 0,5-1,5 cm. Dengan pembedahan ini kita bisa melihat
langsung apendiks, organ abdomen dan pelvis yang lain. Jika apendiksitis ditemukan,
apendiks dapat diangkat melalui insisi kecil tersebut. Pada diagnosa apendik yang
meragukan, pembuangan apendiks dilakukan dengan metode laparoskopi.

c) Apendiktomi
Bila diagnosis klinis sudah jelas tindakan paling tepat yang satu-satunya adalah
apendiktom. Pada apendiksitis tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik,
kecuali pada apendisitis gonggrenosa atau apendisitis perforata. Apendiktomi bisa
dilakukan secara terbuka. Bila apendiktomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih
ahli bedah. Pada penderita yang diagnosanya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi

16
terlebih dahulu. Pemeriksa laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila observasi
masih dapat keraguan. Apendiktomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa push
yang telah ditenangkan sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerop dan anaerop. Baru setelah keadaan tenang yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian,
dilakukan apendiktomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara
konservatif tidak baik dan berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. Bila
sudah terjadi abses dianjurkan drainase saja kemudian apendiktomi dikerjakan setelah 6-8
minggu kemudian. (Sjamsuhidajat, 2010)

d) Penatalaksanaan pasca bedah


Perawatan minimun dilakukan setelah apendiktomi bagi apendiksitis akut. Kebanyakan
pasien cepat pulih dan dipulangkan dari rumah sakit hari ke 3-4 pasca bedah. Antibiotik
yang mulai prabedah dalam kasus komplikasi diteruskan 3-10 sampai sepuluh hari setelah
operasi dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi infra abdomen. Koplikasi
pacsa bedah berkemang dalam sekitar 5% kasus tak berkomplikasi dan dalam 20%-30%
kasus berkomplikasi. Kekhawatiran utama adalah infeksi luka, abses intrapritonium serta
fistulafekal, pileflebitis dan absesati. Tomografi komputerisasi atau ultrasonografi secara
cepat melokalisasi banyak akses dan tindakan manapun dapat digunakan untuk drainase
perkutis. Bila pendekatan ini tidak tepat dan berhasil, mak di indikasi kan drainase bedah
segera. (Sabiston, 1994)

H. Terapi Diet

1. Diet Cukup Serat

Serat makanan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, merupakan bagian dari
tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resisten
terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami fermentasi
sebagian atau keseluruhan di usus besar. Berdasarkan kelarutannya serat pangan terbagi menjadi
dua yaitu serat pangan yang terlarut dan tidak terlarut. Didasarkan pada fungsinya di dalam
tanaman, serat dibagi menjadi 3 fraksi utama, yaitu (a) polisakarida struktural yang terdapat pada
dinding sel, yaitu selulosa, hemiselulosa dan substansi pektat; (b) non-polisakarida struktural yang

17
sebagian besar terdiri dari lignin; dan (c) polisakarida non-struktural, yaitu gum dan agar-agar.
Diet cukup serat adalah dimana kebutuhan serat yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan
Gizi (AKG) dapat tecukupi. Untuk nilai serat yang harus dipenuhi seseorang orang dewasa usia
19-29 tahun adalah 38 g/hari untuk laki-laki dan 32 g/hari untuk perempuan.
Untuk wanita angka kecukupan tersebut dapat dicukupkan setara dengan mengkonsumsi
beras ladang 300 gram (dalam 3 kali makan) yang memiliki nilai serat 17,7 gram dengan paduan
lauk tempe 2 potong yang setara dengan 4,2 gram serat dan ditambah sayuran bayam 300 gram
yang memiliki serat 3,6 gram serat, untuk ke depan dapat menkonsumsi ubi dengan nilai serat 4,2
gram dan tambahan buah jeruk ukuran sedang (100 gram) dengan nilai 5,4 gram serat sehingga
asupan konsumsi serat sebanyak 33,5 gram serat dalam satu hari.
Yang termasuk dalam serat pangan larut adalah pektin dan gum yang merupakan bagian
dalam dari sel pangan nabati. Serat ini banyak terdapat pada buah dan sayur. Serat tidak larut
(insoluble dietary fiber) adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin, serat ini banyak ditemukan pada
seralia, kacang-kacangan dan sayuran.
Sayuran dan buah-buahan adalah merupakan sumber serat pangan yang paling mudah
dijumpai dalam menu masyarakat. Sebagai sumber serat sayuran dapat dikonsumsi dalam bentuk
mentah atau telah diproses melalui perebusan.(Almatsier, 2004)

Syarat-syarat diet:
a. Energi cukup sesuai dengan umur, gender, dan aktivitas.
b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total.
c. Lemak cukup, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total.
d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total.
e. Vitamin dan mineral tinggi, terutama Vit B untuk memelihara kekuatan otot saluran cerna.
f. Cairan tinggi, yaitu 2-2,5 liter untuk membantu memperlancar defeksi. Pemberian minum
sebelum makan akan membantu merangsang peristaltik usus.
g. Serat tinggi, yaitu 30-50 gr perhari terutama serat tidak larut air yang berasal dari beras
tumbuk, beras merah, roti whole wheat, sayuran dan buah.

18
Indikasi pemberian:
Diet serat tinggi diberikan pada pasien konstipasi kronis dan penyakit difertikulosis. Lama
pemberian diet disesuaikan dengan perkembangan penyakit. (Almatsier, 2004)

Bahan makanan sehari


Bahan Makanan Berat (gram) Urt
Beras merah 275 4 gls nasi
Daging 100 2 potong sedang
Telur ayam 50 1 butir
Tempe 100 4 potong sedang
Kacang hijau 25 2 setengah sdm
Sayuran 300 3 gelas
Buah 300 3 potong sedang pepaya
Minyak 25 2 setengah sdm
Gula pasir 25 2 setengah sdm

Nilai Gizi
Energi 2100 kkal Vit A 34404 RE
Protein 79 gram Tiamin 1,5 mg
Karbohidrat 329 gram Vit C 186 mg
Kalsium 700 mg Serat 41 gram
Besi 23 mg

Pembagian bahan makanan sehari


1) Pagi (pukul 10.00)
Beras merah 75 gr = 1 gls nasi
Telur ayam 50 gr = 1 butir
Sayuran 100 gr = 1 gls
Minyak 5 gr = 1 setengah sdm

19
Kacang hijau 25 gr = 2 setengah sdm
Gula pasir 15 gr = 1 setengah sdm

2) Siang atau Malam (16.00)


Beras merah 100 gr = 1 setengah gls nasi
Daging 50 gr = 1 ptg sedang
Tempe 50 gr = 2 ptg sedang
Sayuran 100 gr = 1 gls
Jeruk atau apel 100 gr = 1 buah
Minyak 10 gr = 1 sdm
Nenas 100 gr = 1 ptg sedang
Gula pasir 10 gr = 1 sdm

Bahan Makanan yang di anjurkan:


a. Sumber Karbohidrat: beras tumbuk atau merah, haver mout, roti whole weat.
b. Sumber protein nabati: kacang-kacangan yang dikonsumsi dengan kulitnya seperti kacang
kedelai, kacang tanah, kacang hijau dan hasil oleh kacang-kacangan seperti tempe.
c. Sayuran: sayran yang serat tinggi, seperti daun singkong, daun kacang panjang, daun
pepaya, brokoli, jagung muda, oyong, pare, kacang panjang, buncis dan ketimun.
d. Buaah-buahan: buah-buahan yang berserat tinggi, seperti jeruk (dimakan dengan
selaputnya), nenas, mangga, salak, pisang, pepaya, sirsak serta buah yang dimakan dengan
kulitnya seperti apel, anggur, belimbing, pir dan jambu biji.

Contoh Menu:
Pagi Siang Malam
Nasi Nasi Nasi
Telur mata sapi Sumur daging Ikan , acar
Sup wotel + buncis Opor tempe Tahu goreng
Sayur asam Sup brokoli
Lalapan (selada dan ketimun) Sayur lodeh

20
Sambal Sambal
jeruk apel

Disamping itu minum air putih 8-10 gelas perhari.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Apendiks veriformis merupakan suatu struktur berbentuk seperti jari yang menempel pada
sekum dikuadran bawah abdomen. Walaupun apendiks veriformis diketahui tidak mempunyai
fungsi apapun, ia dapat meradang dan menimbulkan penyakit yang disebut apendiksitis.
(Price & Wilson, 2005) Mengatakan apendiksitis merupakan penyakit bedah mayor yang
paling sering terjadi. Walaupun apendiksitis dapat terjadi pada setiap usia, namun paling sering
terjadi pada remaja dan dewasa muda. Angka mortalitas penyakit ini sangat tinggi sebelum era
antibiotik.

Apendiksitis disebabkan oleh obstruksi pada lamen apendiks, infeksi bakteri, dan striktura
pada dinding usus.

1. Obstruksi atau penyumbatan pada lamen apendiks yang dapat disebabkan oleh fekalit
(massa feses yang keras, terutama disebabkan oleh kekurangan makanan berserat).
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional
apendiks dan meningkannya pertumbuhan flora normal kolon, hiperplasia jaringan limfoid,
benda asing tumor, cacing atau parasit lain.
2. Infeksi bakteri (seperti, proteus, klebsiella, streptococcus dan pseudomona, dan bakteri
anaerobik terutama bacteroides fragilis), parasit.
3. Striktura karena fibrosa pada dinding usus.

B. Saran
Menurut saya, penyakit apendiksitis akut membutuhkan penanganan secepat mungkin
sebelum terjadi peradangan pada usus lebih lanjut. Sebaiknya pada pasien apendisitis yang sudah
melakukan operasi pembedahan tidak melakukan aktivitas atau istirahat total agar tidak terjadi
peradangan kembali.

22
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2004). Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: Gramedia.


Chang, E. (2009). Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta: ECG.
Hidayatullah, R. (2014). UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Efektivitas Antibiotik yang
Digunakan pada Pasca Operasi Apendisitis Di RUMKITAL dr . Mintohardjo UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA Efektivitas Antibiotik yang Digunakan pada Pasca Operasi
Apendisitis Di RUMKITAL dr . Mintoha.
J. Corwin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi (3 Edisi Re). Jakarta: EGC.
Lusianah, S. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan sistem Gastrointestinal. Jakarta:
Trans Info Media.
Price, A. S., & Wilson, M. L. (2005). Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit (Edisi
6). Jakarta: EGC.
Robbins, & Cotran. (2009). Dasar Patologi Penyakit (Edisi 7). Jakarta: EGC.
Sabiston, D. C. (1994). Buku Ajar Bedah (Bagian 2). Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah (Edisi 3). Jakarta: EGC.

23

Anda mungkin juga menyukai