Diabetes Melitus
Diabetes Melitus
I. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat mengetahui efek kenaikan kadar gula darah dengan
pemberian aloksan pada hewan uji kelinci.
2. Mahasiswa dapat mengetahui efek penurunan kadar gula darah dengan
pemberian glibenklamide dan metformin pada kelinci yang diinduksi
aloksan.
3. Mahasiswa dapat mengetahui perbedaan efek penurunan glukosa darah
kelinci kontrol negatif dengan kelinci yang diberi obat glibenklamide
maupun metformin.
4. Mahasiswa mampu mengetahui dan menganalisa faktor - faktor lain
yang mempengeruhi hasil pengamatan.
Biguanida adalah obat diabetik oral yang menekan nafsu makan ( efek
anoreksan ) hingga berat badan tidak meningkat maka layak diberikan pada penderita
yang kegemukan. Penderita ini biasanya mengalami resistensi insulin, sehingga
sulfonilurea kurang efektif. Metformin, golongan biguanida, pada dosis normal
hanya sedikit menigkatkan kadar asam laktat dalam darah (Tjay, 2007)
2. Bahan
a. Aloksan monohidrat
b. Glibenklamide
c. Metformin
d. NaCl 0,9%
e. CMC – Na
f. Aquadest
g. Kelinci Oryotolagus cuniculus umur dua sampai tiga bulan
dengan berat 1 – 2 Kg
2. Induksi Aloksan
Ditimbang aloksan monohidrat yang dibutuhkan
↓
Dilarutkan dalan NaCl sampai larut
↓
Disuntikkan aloksan monohidrat secara subkutan pada daerah tengkuk kelinci
↓
Dicek kadar gula darah kelinci, dua hari setelah penyuntikan
3. Pemberian Terapi
Kelinci I untuk kontrol negatif, kelinci II untuk diterapi glibenklamide
maupun metformin
↓
Setiap kelinci diterapi secara peroral menggunakan spuit setiap sehari sekali,
pemberian terapi mulai dilakukan pada hari ke-3 stelah induksi (bila kelinci
telah mengalami diabetes mellitus)
Kelarutan aloksan :
D x BB = Vp x C
0,35 mg x 3 kg = 10,0 ml x C
1,5 kg
C = 0,07 mg/ml
3. Jumlah bahan
Larutan Stok Glibenklamide
Glibenklamid = 0,07 mg/ml x 250 ml
= 17,5 mg
Glibenklamide tablet = 17,5 mg : 5 mg
= 3,5 tab @ 5 mg
CMC Na = 0,5 % x 250 ml
= 1,25 gram
Aquadest ad 250 ml
4. Tabel Data
H1 H3 H5 H7
1 Kontrol + 72 35 68 95
Kontrol - 83 85 96 112
2 Kontrol + 78 99 145 58
Kontrol - 98 74 73 74
3 Kontrol + 95 100 94 82
Kontrol - 74 85 84 90
4 Kontrol + 89 89 107 113
Kontrol - 73 52 - -
5 Kontrol + 99 86 81 57
Kontrol - 89 63 110 32
6 Kontrol + 93 88 110 95
Kontrol - 88 107 110 88
Grafik
VI. PEMBAHASAN
Praktikum ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui efek obat diabetik oral ,
yaitu glibenklamid dan metformin. Berdasarkan American Diabetic
Association, kadar glukosa dalam darah dapat dinyatakan diabetes, jika lebih
dari 126mg/dl ( kondisi puasa ), atau lebih dari 200mg/dl ( kondisi normal ).
Diabetes melitus ( DM ) ada 4 tipe,yaitu DM tipe I, DM tipe II, DM
gestasional dan DM tipe khusus lain. DM tipe I terjadi karena adanya
kerusakan pada sel beta pankreas bawaan ( dari lahir ) sehingga pasien
tergantung dengan insulin. DM tipe II terjadi berkurangnya kepekaan terhadap
sel sasaran insulin, atau disebabkan oleh gaya hidup. Sedangkan DM
gestasional adalah DM yang terjadi pada masa kehamilan, dan DM tipe
khusus lain adalah DM yang tidak diketahui penyebabnya. Pada praktikum ini
digunakan aloksan monohidrat untuk menyebabkan kondisi hiperglikemi pada
kelinci, sehingga kelinci dinyatakan diabetes. Kondisi diabetes yang terjadi
adalah DM tipe II, walaupun aloksan bekerja merusak sel beta pankreas,
namun kondisi diabetes yang terjadi bukan bawaan dari lahir. Sedangkan
pengobatan yang akan diamati menggunakan glibenklamid dan metformin.
Aloksan monohidrat adalah suatu substrat yang merupakan derivate pirimidin
sederhana, yang mempunyai kemampuan merusak sel beta pankreas sehingga
insulin tidak diproduksi secara cukup oleh tubuh. Dosis aloksan yang
digunakan adalah 180mg/kgBB kelinci ( Wardani, 2014 ). Setelah diinduksi
aloksan, akan terjadi 4 fase pada kelinci. Fase pertama terjadi 30 menit setelah
diinduksi, yakni fase hipoglikemi yang terjadi karena stimulasi sekresi insulin.
Fase kedua adalah kondisi meningkatnya kadar glukosa darah dan
menurunnya kadar insulin plasma. Biasanya terjadi 2-4 jam setelah induksi.
Setelah 4-8 jam akan terjadi fase ketiga, dimana kelinci akan mengalami
hipoglikemi kembali. Hipoglikemi pada fase ini terjadi sangat parah, hingga
dapat menyebabkan kejang bahkan kematian tanpa pemberian glukosa.
Keadaan ini disebabkan keluarnya insulin dari sel beta Langerhans pankreas
akibat kerusakan sel-sel. Dan pada fase keempat, setelah terjadi degranulasi
yang sempurna dan hilangnya integritas dari sel beta pankreas, barulah
kondisi hiperglikemia diabetik terbentuk. Seluruh proses ini normal terjadi
antara hari ke 2 hingga ke 4 setelah diinduksi.
Sebelum diinduksi, semua kelinci yang telah dipuasakan selama 8 jam, dicek
kadar gula darahnya. Setelah hewan uji kelinci diinduksi aloksan monohidrat,
kelinci mulai diatur asupan makanannya, sebanyak 5 g/kgBB/hari.
Pengecekan kadar gula darah dilakukan setiap 2 hari sekali. Metode
pengecekan kadar gula darah ada 2 cara, yaitu secara kimiawi ( memanfaatkan
sifat mereduksi dari glukosa dengan bahan indikator yang berubah warna
apabila tereduksi ), dan enzimatis ( menggunakan kerja enzim glukosa
oksidase atau heksokinase yang hanya bereaksi pada glukosa ). Metode yang
digunakan pada praktikum ini adalah metode enzimatik, menggunakan
glucostick. Prinsip kerja alat ini adalah darah yang diteteskan pada strip uji,
dengan adanya enzim glukosa oksidase akan mengkatalis menghasilkan asam
glukonat. Ketika terjadi reaksi, pelepasan elektron dipindahkan dari
ferricinium+ ke permukaan elektroda, arus yang terjadi diukur melalui sensor,
dan besarnya arus yang terjadi sebanding dengan kadar glukosa.
Dari hasil yang diperoleh, pada awal sebelum penginduksian, kadar gula
darah semua kelinci normal ( antara 72-99 mg/dl ). Pada hari ke 2 setelah
diinduksi aloksan monohidrat, mulai terjadi variasi kondisi. Sebagian kelinci
telah mengalami kenaikan darah gula darah ( masih belum diabetes ), namun
sebagian justru menurun. Hal ini dapat terjadi karena :
1. Penyiapan preparat yang tidak sempurna
Aloksan monohidrat adalah senyawa yang mudah teroksidasi dengan
adanya cahaya dan udara. Walaupun sediaan larutan telah dibuat baru,
pada saat akan disuntikkan, namun kesalahan masih dapat terjadi.
Sehingga kemungkinan pada saat penyiapan preparat ( menimbang,
melarutkan ), aloksan monohidrat telah mengalami oksidasi, yang terlihat
dari warna larutan sediaan. Semakin pekat warna merah yang terjadi,
maka kerusakan semakin besar terjadi. Ketelitian setiap mahasiswa yang
menyiapkan preparat, menjadi faktor yang membedakan hasil.
2. Teknik penyuntikan.
Penyuntikan aloksan monohidrat, pada tiap kelompok dilakukan oleh
mahasiswa yang berbeda. Kemungkinan kesalahan yang terjadi adalah
waktu dan cara penyuntikan. Beberapa kelompok membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk menenangkan kelinci, sehingga waktu penyuntikan
menjadi lebih lama pula. Akibatnya aloksan akan semakin teroksidasi (
meski spuit telah ditutup aluminium foil ). Sedangkan cara penyuntikan
juga merupakan faktor. Pada saat penyuntikan secara subkutan, kondisi
jarum suntik yang belum menembus sempurna ke bawah jaringan kulit,
mengakibatkan aloksan tidak dapat terabsorbsi sempurna. Hal ini dapat
terlihat dari terjadinya warna merah di tengkuk kelinci.
3. Kondisi kelinci
Kondisi kelinci yang dipuasakan setelah diinduksi, mengakibatkan
beberapa kelinci terlihat gemetar. Hal ini menandakan kondisi kesehatan
yang mulai menurun pada kelinci, sehingga dapat mempengaruhi hasil.
Ketiga hal tersebut, berakibat induksi aloksan menjadi tidak sempurna. Reaksi
penginduksian tidak berjalan secara baik. Sehingga kondisi diabetes belum terjadi.
Karena kondisi diabetes belum terjadi, dilakukan penambahan perlakuan dengan
memberikan larutan sukrosa 3 g/kgBB ( Widyastuti, 2011 ). Salah satu kelinci dari
kelompok IV, yang menunjukkan hasil gula darah 52 mg/dl, pada malam harinya
mengalami kematian. Namun melihat dari kondisi kematian kelinci, yaitu kejang
secara tiba-tiba, kemungkinan terjadi fase ketiga penginduksian aloksan. Kondisi
hipoglikemia yang sangat parah yang menimbulkan kejang hingga terjadi kematian.
Pada hari keempat setelah induksi aloksan, kelinci kontrol positif di kelompok II
telah mengalami diabetes ( kadar gula darah 145 mg/dl ). Maka, pemberian terapi
obat diabetes oral, yaitu metformin mulai diberikan. Sedangkan kelinci yang lain
belum mengalami diabetes hingga 6 hari setelah diinduksi aloksan. Kadar gula darah
terlihat tidak beraturan. Dua kelinci kelompok I, satu kelinci kelompok II, dan satu
kelinci kelompok IV mengalami peningkatan, meskipun belum diabetes. Sedangkan
pada kelinci lain kadar gula darah tidak stabil. Sedangkan kelinci kontrol negatif
kelompok V dengan kadar gula darah yang naik dan turun secara signifikan,
kemungkinan karena faktor hormonal, karena jenis kelamin dari kelinci ini adalah
betina.
Obat antidiabetik oral yang diamati efeknya yaitu metformin dan glibenklamid.
Metformin adalah obat antidiabetik oral golongan biguanida yang bekerja dengan
cara meningkatkan sensitifitas reseptor pada insulin ( glukosa diubah menjadi energi
), sehingga metformin lebih efektif diberikan bersamaan dengan makan. Sedangkan
glibenklamid yang merupakan golongan sulfonylurea sebaiknya diberikan sebelum
makan, karena cara kerjanya yang meningkatkan sekresi insulin. Dari data yang ada,
hanya satu kelinci yang mengalami diabetes dan diberikan terapi metformin. Kadar
gula darah kelinci sebelum diberikan obat diabetes oral adalah 145 mg/dl. Setelah
pemberian metformin, kadar gula darahnya menjadi 58 mg/dl. Menurut teori,
glibenklamid seharusnya memberikan efek lebih besar daripada metformin. Karena
efek samping dari glibenklamid adalah terjadinya hipoglikemi. Sedangkan pada
metformin tidak ada efek samping hipoglikemi. Walaupun terbukti metformin
mampu menurunkan kadar glukosa darah, namun pembandingan dengan
glibenklamid tidak dapat dilakukan karena kelinci lain tidak mengalami diabetes.
Sehingga dapat diambil kesimpulan, hasil yang didapat dari praktikum ini, tidak
memenuhi syarat pengamatan.
VII. KESIMPULAN
1. Mahasiswa telah mengetahui sifat dari aloksan monohidrat yang mudah
teroksidasi oleh cahaya dan udara. Serta mempelajari cara kerja aloksan
monohidrat yang merusak sel beta pankreas pada kelinci untuk
menimbulkan hasil kondisi hiperglikemia.
2. Mahasiswa telah mengetahui bahwa obat diabetik oral, metformin, mampu
menurunkan kadar glukosa darah pada kelinci kelompok II, dari 145
mg/dl menjadi 58 mg/dl.
3. Pengamatan perbandingan efek obat diabetik oral antara metformin dan
glibenklamid tidak dapat dilakukan, karena hanya satu kelinci yang
mengalami diabetes dan diberikan terapi obat.
4. Mahasiswa telah dapat menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil pengamatan, seperti cara penyiapan larutan aloksan, teknik
penyuntikan aloksan, dan kondisi kelinci. Jenis kelamin kelinci juga
mempengaruhi hasil glukosa darah yang tidak stabil. Hasil yang didapat
pada praktikum ini, tidak memenuhi persyaratan untuk dapat dijadikan
data pengamatan yang baik.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Bailey, C.J & Krentz, A.J.2010. Oral Antidiabetic Agents. In: Holt RIG, ed.
Textbook of Diabetes, 4th ed. Wiley – Blackwell : 455:456
Suherman, Suharti K. 2007. Insulin dan Anti diabetik Oral. Farmakologi dan
Terapi. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Sukandar, E.Y., J.I. Sigit. I.K. Adnyana, A.A.P. Setiadi, Kusnandar. 2008. Iso
Farmakoterapi. Penerbit PT. ISFI Penerbitan. Jakarta.