Anda di halaman 1dari 30

WRAP UP SKENARIO 4

ROKOK MEMBUNUHKU PERLAHAN

KELOMPOK A-13

Ketua : Anisa Aliya Nurdin 1102018054


Sekretaris : Julita Asmara Putri 1102018087
Anggota : Natasya Milenia 1102018001
Adimas Adienugraha 1102018005
Ratu Bionika 1102018044
Mifta Khuljannah 1102018023
Juliandra Firdaus 1102018102
Ryan Dharmawan 1102018133
Saffa Hasanah 1102018149

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2018/2019

DAFTAR ISI
Daftar isi ......................................................................................................... 1
Skenario.......................................................................................................... 2
Identifikasi Kata Sulit .................................................................................... 3
Menentukan Masalah ..................................................................................... 4
Prior Knowledge / Analisa Masalah .............................................................. 5
Hipotesis......................................................................................................... 6
Sasaran Belajar / Learning Objective ............................................................. 7
1. Memahami dan Menjelaskan Geriatri .......................................................
2. Memahami dan Menjelaskan Perubahan Anatomi dan Fisiologi
Pernafasan Geriatri ....................................................................................
3. Memahami dan Menjelaskan Pneumonia Pada Geriatri ............................
3.1 Definisi ...............................................................................................
3.2 Klasifikasi ...........................................................................................
3.3 Etiologi ................................................................................................
3.4 Patofisiologi ........................................................................................
3.5 Manifestasi Klinis.. ............................................................................
3.6 Cara Diagnosis dan Diagnosis Banding ..............................................
3.7 Tatalaksana .........................................................................................
3.8 Komplikasi ..........................................................................................
3.9 Pencegahan .........................................................................................
3.10 Prognosis ...........................................................................................
4. Memahami dan Menjelaskan PPOK Pada Geriatri ...................................
4.1 Definisi ................................................................................................
4.2 Klasifikas ............................................................................................
4.3 Etiologi ................................................................................................
4.4 Patofisiologi ........................................................................................
4.5 Manifestasi Klinis.. ............................................................................
4.6 Cara Diagnosis dan Diagnosis Banding ..............................................
4.7 Tatalaksana .........................................................................................
4.8 Komplikasi ..........................................................................................
4.9 Pencegahan .........................................................................................
4.10 Prognosis ...........................................................................................
5. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Terhadap Ventilator........
Daftar Pustaka ..................................................................................................

SKENARIO 4
\
ROKOK MEMBUNUHKU PERLAHAN

Seorang laki-laki berusia 70 tahun dibawa ke IGD RS karena mengalami sesak nafas
hebat sejak 4 jam yang lalu. Keluhan lain batuk berdahak dan badan panas. Pasien
mempunyai riwayat merokok sejak usia 20 tahun sebanyak 10 batang perhari dan
baru berhenti sejak 1 tahun yang lalu. Pemeriksaan fisik: Composmentis lemah, TD
120/80 mmHg, nadi 100x/menit, suhu 37.8 C. Pemeriksaan toraks: bentuk dada
barrel chest, fremitus taktil dan vocal meningkat di hemitoraks kanan, hipersonor
kecuali hemitoraks kanan redup dari ICS IV ke bawah, bunyi jantung jauh dan
terdengar ronki basah kasar di hemitorak kanan.

Laboratorium: Hb 16.5 gr/dL, Ht 48 vol%, leukosit 15.000/mm3, trombosit


500.000/mm3

AGD: pH 7.3, pCO2 56, pO2 60, HCO3 22.3.

Kesimpulan hasil Foto toraks: pneumonia dextra dan emfisema paru.

Dokter mendiagnosis pasien menderita: Pneumonia dan PPOK eksaserbasi akut


dengan gagal nafas mengancam dan asidosis respiratorik sehingga pasien dipasang
ventilator.

Terapi yang diberikan berupa nebulizer dan pemberian antibiotiks.

KATA SULIT
1. Barrel Chest
Kelainan bentuk dada yang terjadi karena hiperinflasi paru dimana dada
mengembang dan diameter anteroposterior lebih dari diameter laterolateral.
2. PPOK
Penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran nafas yang bersifat progesif.
3. Composmentis
Kesadaran normal, sadar sepenuhnya dan dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya.
4. Fremitus Taktil dan Vocal
Getaran yang teraba akibat udara/suara yang melalui cabang-cabang
bronkopulmoner ke dinding dada saat ekspirasi dan inspirasi.
5. Hipersonor
Suara perkusi pada daerah yang lebih berongga kosong, terjadi bila udara
dalam paru-paru jauh lebih banyak misalnya pada emfisema.
6. Pneumonia
Penyakit infeksi paru yang menyebabkan kantung paru radang dan
membengkak.
7. Hemitoraks
Kondisi yang terjadi ketika adanya darah pada rongga pleura yang terletak
diantara dinding dada dan paru.
8. Ronki basah
Suara nafas tambahan berupa vibrasi terputus-putus akibat getaran karena
cairan di jalan nafas.
9. Emfisema
Suatu keadaan dimana pelebaran abnormal ruang udara distal dari bronkiolus
terminalis disertai destruksi dinding alveol.
10. Eksaserbasi
kondisi dimana gejala PPOK memburuk.
11. Asidosis Respiratorik
Gangguan ventilasi alveolar yang mengganggu eliminasi karbon dioksida
sehingga Pa CO2 meningkat.
12. Ventilator
Sebuah alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses
ventilasi untuk mempertahankan O2.

PERTANYAAN
1. Apa yang menyebabkan terjadinya barrel chest pada perokok ?
2. Mengapa fremitus taktil dan vocal meningkat pada hemitoraks kanan ?
3. Mengapa terjadi asidosis respiratorik ?
4. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk menilai keparahan PPOK eksaserbasi
akut ?
5. Apa saja faktor risiko pneumoni dan PPOK ?
6. Apa hubungan PPOK dan pneumoni ?
7. Mengapa bisa terdengar ronki basah di hemitoraks kanan ?
8. Berapa nilai normal pada pemeriksaan laboratorium dan AGD ?
9. Apa saja perbedaan asma dan PPOK ?
10. Bagaimana gambaran fototoraks pada pneumoni ?
11. Apa saja antibiotik yang diberikan ?
12. Apa saja gejala PPOK disertai pneumoni ?
13. Pemeriksaan fisik apa yang dilakukan ?
14. Apa saja tingkatan pada PPOK ?
15. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan ?
16. Apa saja komplikasi PPOK ?
17. Bagaimana tatalaksana pada kasus tersebut ?
18. Apa saja penyebab pneumoni ?
19. Bagaimana cara mencegah pneumoni ?
20. Bagaimana pandangan islam tentang ventilator ?
PRIOR KNOWLEDGE / ANALISA MASALAH
1. Karena ada penambahan volume paru akibat adanya hambatan aliran
udara yang berlangsung secara kronik.
2. Ada daerah paru yang harusnya terisi udara malah cairan.
3. Karena pCO2 meningkat dan pO2 menurun karena hambatan yang
mengakibatkan hipoventilasi.
4. Tes fungsi paru, pemeriksaaan AGD, fototoraks, kultur dan tes
sensitivitas.
5. Anak < 2 tahun, orang dewasa > 65 tahun, orang yang mempunyai
kelainan sistem imun, perokok, penderita DM, penderita gangguan
jantung/paru, keturunan, orang yang sering terpapar polusi, alkoholik, dan
kurang aktivitas fisik.
6. PPOK tingkat lanjut beresiko tinggi pneumoni.
7. Karena ada cairan bebas dalam suatu cavitas dari sekret alveoli.
8. AGD : pH 7,35-7,45
pCO2 35-45
pO2 80-100
HCO3 22-26
Lab : leukosit = 5000-10000/uL
Trombosit = 150000-400000/uL
Hemoglobin = pria 13-16 g/dL Wanita 12-15 g/dL
Hematokrit = pria 40-54 % Wanita 36-47 %
9. Asma : efek inflamasinya reversibel, di saluran nafas, penebalan epitel,
tidak ada pembesaran parenkim dan mukus, karena penambahan bahan
sensitif.
PPOK : ireversibel, di saluran nafas perifer dan alveoli, terjadi metaplasia
epitel, destruksi pada kelenjar mukus dan parenkim, karena bahan
berbahaya.
10. Ada infiltrat, kondolidasi air bronchogram, ada cavitas.
11. Cefalosporin generasi ketiga, quinolol, penicillin, amoxicillin,
kotrimoksazol, makrolida.
12. Batuk berlendir, sesak nafas, penurunan aktivitas, demam pada orang
muda, dan pada usia lanjut kadang demam.
13. Inspeksi : barrel chest dan pelebaran sela iga
Palpasi : fremitus meningkat
Perkusi : hipersonor, batas jantung mengecil, diafragma letaknya rendah,
hepar terdorong ke bawah.
Auskultasi : ada suara vesikuler, ada ronki dan mengi, ekspirasi
memanjang.
14. Mild : FEV1 80%
Moderat : FEV1 50-79%
Parah : FEV1 30-49%
Sangat parah : FEV1 < 30 %
15. Uji faal paru, fototoraks AP dan lateral, AGD, pemeriksaan sputum,
pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan EKG, spirometri.
16. Otitis media, efusi pleura, abses otak, gagal nafas, korpulmonal, infeksi
berulang, dan keganasan.
17. Beta agonis short acting seperti salbutamol, antikolinergik, dan antibiotik
melalui oral atau intravena.
18. Penurunan imun, infeksi Streptococcus pneumoniae dari droplet dan
Staphylococcus aureus dari ventilator.
19. Vaksin pneumococcus, berhenti merokok, kebiasaan hidup sehat,
perbaikan gizi, pakai masker, dan aktivitas fisik.
20. Boleh dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa.
HIPOTESIS

Anak kurang dari 2 tahun, orang dewasa lebih dari 65 tahun, orang yang
mempunyai kelainan sistem imun, perokok, penderita DM, penderita gangguan
jantung/paru, keturunan, orang yang sering terpapar polusi, alkoholik, dan kurang
aktivitas fisik menyebabkan PPOK. Pada PPOK tingkat lanjut menyebabkan
pneumoni dengan gejala batuk berlendir, sesak nafas, penurunan aktivitas, demam
pada orang muda, dan pada usia lanjut kadang demam.Untuk menegakkan diagnosis
dapat dilakukan tes fungsi paru, pemeriksaaan AGD, fototoraks, kultur dan tes
sensitivitas. Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu inspeksi dimana ada barrel chest
dan pelebaran sela iga, palpasi yang ditandai fremitus meningkat, perkusi yang
ditandai dengan hipersonor, batas jantung mengecil, diafragma letaknya rendah,
hepar terdorong ke bawah dan auskultasi ditandai dengan adanya suara vesikuler, ada
ronki dan mengi, ekspirasi memanjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu
uji faal paru, fototoraks AP dan lateral, AGD, pemeriksaan sputum, pemeriksaan
darah rutin, pemeriksaan EKG, dan spirometri. Dengan tatalaksana pemberian beta
agonis short acting seperti salbutamol, antikolinergik, dan antibiotik melalui oral atau
intravena, cefalosporin generasi ketiga, quinolol, penicillin, amoxicillin,
kotrimoksazol, makrolida. Dengan komplikasi otitis media, efusi pleura, abses otak,
gagal nafas, korpulmonal, infeksi berulang, dan keganasan. Pencegahan yang dapat
dilakukan yaitu vaksin pneumococcus, berhenti merokok, kebiasaan hidup sehat,
perbaikan gizi, pakai masker, dan aktivitas fisik. Pandangan islam terhadap ventilator
yaitu boleh dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa.
1. Memahami dan Menjelaskan Geriatri
2. Memahami dan Menjelaskan Perubahan Anatomi dan Fisiologi Pernafasan Geriatri
3. Memahami dan Menjelaskan Pneumonia Pada Geriatri
3.1 Definisi Pneumonia

Menurut WHO (2014), pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan


akut yang mempengaruhi paru-paru, dimana alveoli paru- paru terisi dengan
cairan sehingga membuat asupan oksigen terbatas untuk bernafas.

Pneumonia adalah peradangan dari parenkim paru dimana asinus terisi dengan
cairan radang dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam
dinding dinding alveoli dan rongga interstisium yang ditandai dengan batuk
disertai nafas cepat dan atau nafas sesak pada anak usia balita (Ridha, 2014;
Pudiastuti, 2011).

3.2 Klasifikasi

Hariadi (2010) membuat klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan


epidemiologi, kuman penyebab dan predileksi infeksi.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi :

a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia) adalah pneumonia


infeksius pada seseorang yang tidak menjalani rawat inap di rumah sakit.

b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia) adalah pneumonia


yang diperoleh selama perawatan dirumah sakit atau sesudah karena penyakit
lain atau prosedur

c. Pneumonia aspirasi disebabkan oleh aspirasi oral atau bahan dari lambung,
baik ketika makan atau setelah muntah. Hasil inflamasi pada paru bukan
merupakan infeksi tetapi dapat menjadi infeksi karena bahan yang teraspirasi
mungkin mengandung bakteri anaerobik atau penyebab lain dari pneumonia.

d. Pneumonia pada penderita immunocompromised adalah pneumonia yang


terjadi pada penderita yang mempunyai daya tahan tubuh lemah.
Menurut Depkes RI (2008), klasifikasi pneumonia berdasarkan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai berikut :

1). Pneumonia Berat dengan tanda gejala : terdapat tanda bahaya umum, atau
terdapat tarikan dinding dada ke dalam, atau terdengan bunyi sridor.

2). Pneumonia dengan tanda gejala : nafas cepat dengan batasan (anak usia 2
bulan - < 12 bulan, frekuensi nafas 50 kali/menit atau lebih dan anak usia 1
tahun - < 5 tahun frekuensi nafas 40 kali/menit atau lebih).

3). Batuk bukan Pneumonia apabila tidak ada tanda yang mengarah ke
pneumonia, atau pneumonia berat.

3.3 Etiologi Pneumonia


Jenis infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai usia lanjut
adalah pneumonia bakterial.2 Kendati telah ditemukan sekitar 100 agen
mikroba yang dapat menyebabkan pneumonia, hanya beberapa mikroba yang
merupakan penyebab tersering dari kasus pneumonia.3 Pada sekitar setengah
dari pneumonia komunitas yang terjadi pada usia lanjut agen penyebab
terjadinya pneumonia tidak dapat diidentifikasi. Dari perkiraan, sekitar 20-
30% dari total keseluruhan kasus pneumonia komunitas disebabkan oleh
kuman Streptococcus penumoniae, sedangkan agen penyebab lain dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:2
Hampir sebagian besar (50-60%) pneumonia yang didapat dirumah
sakit disebabkan oleh aerob gram negatif, dapat juga disebabkan oleh
Streptococcus ureus, Hemophillus influenza.3 Streptococcus pneumonia
merupakan penyebab paling banyak dari pneumonia pada usia lanjut.4
Streptococcus pneumoniae memiliki virulensi yang ditentukan oleh
polisakarida kapsular pneumokokal, yang memungkinkan bakteri untuk
menghalangi fagositosis dari sel penjamu.3 Sementara pada pneumonia
nosokomial, penyebab terbanyak dari kelompok usia lanjut yang dirawat di
rumah sakit adalah virus, yang menyebabkan terjadinya pneumonia viral.3
Berdasarkan penelitian dari Raul Riquelme et al. penyebab terbanyak
dari pneumonia komunitas pada usia lanjut adalah Streptococcus pneumoniae.
Sebagai tambahan, sebanyak 17% dari kasus disebabkan oleh mikroorganisme
atipikal seperti C. Pneumoniae, M. pneumoniae, dan C. burnetti.4
Dari Aging, Immunity, and Infection. George Washington University
School of Medicine, 2003.2
3.4 Patofisiologi Pneumonia
Dalam kondisi normal, cabang tracheobronchial bersifat steril. Saluran
nafas memiliki sederet mekanisme perlindungan untuk mencegah masuknya
patogen ke dalam paru, yaitu :3,7
1. Didalam hidung terdapat concha dan rambut-rambut yang menahan benda
asing untuk masuk ke dlam paru.
2. Epiglottis menutupi trachea dan mencegah sekresi maupun makanan
masuk kedalam trakea.
3. Cabang trakeobronkial terdiri atas sel-sel yang mensekresikan musin.
Musin ini mengandung zat antibakterial seperti antibodi IgA, defesins,
lisozim, dan laktoferin. Selain itu musin juga bersifat lengketsehingga
bakteri dan benda asing lainnya yang berhasil melewati epiglottis akan
terjebak.
4. Silia yang berada sepanjang dinding trachea dan bronkus bergetar sangat
cepat, berperan sebagai sabuk konveyer yang menggerakan musin keluar.
5. Ketika sejumlah cairan atau benda asing masuk ke dalam trakea, reflek
batuk akan bekerja, dan isi yang tidak diinginkan segera dikeluarkan dari
cabang-cabang trakeobronkial.
6. Apabila patogen dapat melewati seluruh mekanisme perlindungan
tersebut dan masuk ke dalam alveoli, patogen akan berada di ruangan
yang pada keadaan normal kering dan tidak dapat dihuni. Masuknya
patogen akan memicu masuknya netrofil dan makrofag alveolar yang
akan memangsa dan membunuh patogen tersebut. Immunoglobulin dan
komplemen dapat ditemukan pada area ini. Surfaktan juga memiliki
fungsi perlindungannya sendiri.
7. Kelenjar getah bening yang berada di alveoli bertugas untuk
mengeringkan dan mengalirkan cairan, makrofag dan limfosit ke kelenjar
getah bening mediastinum.

Terdapat tiga rute masuknya patogen ke dalam parenkim paru yaitu,


hematogen, airborne, dan mikroaspirasi. Rute tersering adalah melalui
mikroaspirasi. Penyebaran secara hematogen mungkin disebabkan akibat
adanya infeksi saluran kemih pada lansia. Patogen berupa bakteri biasanya
masuk ke dalam paru melalui aspirasi flora di mulut atau melalui inhalasi
droplet kecil (diameter <3 μm) yang dapat dihantarkan melalui udara ke dalam
alveoli. Ketika patogen dapat masuk dan bertahan, mulailah timbul respon
inflamasi. Respon-respon ini telah dipelajari dengan sangat teliti pada
pneumonia akibat S. pneumoniae.3, 7
Awalnya, akan terjadi dikeluarkannya sekret dan cairan kedalam alveoli
sebagai akibat reaksi inflamasi, yang dimana cairan tersebut adalah media
kultur yang sangat baik bagi bakteri untuk tumbuh. Saat sekret dan cairan
tersebut terakumulasi, cairan tersebut akan menyebar melalui pori-pori Kohn
dan bronkiolus terminalis, menyebabkan terjadinya penyebaran infeksi secara
sentrifugal. Batuk dan pergerakan saat respirasi akan membantu penyebaran.
Patogen akan berperan sebagai chemotractant untuk polimononuklear
leukosit. Mediator proinflamasi (TNF-α, IL-1, dan IL-6) akan dibebaskan dari
leukosit dan akan meningkatkan respon inflamasi. Sel darah merah, fibrin dan
leukosit akan mengisi alveoli dan mengakibatkan timbulnya konsolidasi pada
paru. Akibat dari respon inflamasi ini maka timbulah demam, batuk, sputum
yang purulen, nyeri otot, dan nyeri sendi. Dan apabila sitokin pro-inflamasi
didalam darah cukup tinggi, maka dapat terjadi syok. Konsolidasi pada paru
akan menyebabkan dispnoe (akibat dari berkurangnya komplians) dan
hypoxemia akibat dari gangguan ventilasi dan perfusi (paru yang mengalami
konsolidasi dapat terjadi perfusi akan tetapi tidak dapat mengalami ventilasi).
2,3,7

Gambar 2.4. a) pertahanan paru terhadap benda asing. b) faktor yang


mempengaruhi pertahanan paru
3.5 Manifestasi Klinis
3.6 Cara Diagnosis dan Diagnosis Banding
3.7 Tatalaksana
Terapi pada pneumonia Community Acquired Pneumonia (CAP) dapat
dilaksanakan secara rawat jalan. Dalam mengobati penderita pneumonia perlu
diperhatikan keadaan klinisnya, bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat
dapat diobati di rumah dan juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu
keadaan yang dapat meningkatkan resiko infeksi dengan mikroorganisme patogen
yang spesifik misalnya S. pneumoniae yang resisten terhadap penisilin (PDPI,
2003b). Namun pada kasus yang berat pasien dirawat di Rumah Sakit dan mendapat
antibiotik parenteral. Sedangkan untuk kasus pneumonia nosokomial pemilihan
antibiotik diperlukan kejelian, karena sangat dipengaruhi pola resistensi antibiotik di
rumah sakit (Depkes RI, 2005). Penatalaksanaan terapi pneumonia yang disebabkan
bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan memberikan antibiotik yang
dimulai secara empiris dengan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil hasil
kultur. Setelah bakteri penyebab diketahui pemberian antibiotik diubah menjadi
antibiotik spektrum sempit sesuai bakteri penyebab (Depkes RI, 2005).
3.8 Komplikasi
Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan komplikasi.
Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien risiko tinggi, mungkin
mengalami beberapa komplikasi seperti bakteremia (sepsis), abses paru, efusi pleura,
dan kesulitan bernapas.15 Bakteremia dapat terjadi pada pasien jika bakteri yang
menginfeksi paru masuk ke dalam aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ
lain, yang berpotensi menyebabkan kegagalan organ. Pada 10% pneumonia
pneumokokkus dengan bakteremia dijumpai terdapat komplikasi ektrapulmoner
berupa meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema.

Pneumonia juga dapat menyebabkan akumulasi cairan pada rongga pleura atau
biasa disebut dengan efusi pleura. Efusi pleura pada pneumonia
umumnya bersifat eksudatif. Pada klinis sekitar 5% kasus efusi pleura yang
disebabkan oleh P. pneumoniae dengan jumlah cairan yang sedikit dan sifatnya sesaat
(efusi parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang mengandung mikroorganisme
dalam jumlah banyak beserta dengan nanah
disebut empiema. Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di drainage
menggunakan chest tube atau dengan pembedahan.

3.9 Pencegahan

9.1 Vaksin pneumococcus

Sekarang ini terdapat 23-valent capsular polysaccharide vaccine yang dapat

digunakan pada orang dewasa, dengan capsular polysaccharide yang paling sering
adalah dari tipe S. pneumonia. Pada pasien lansia, respon antibodi terhadap vaksin

ini kurang baik. akan tetapi, bukti menunjukan efek yang menguntukan dari vaksin

ini. Dosis booster diberikan 5 tahun setelah dosis pertama.2,6,7

II.9.2 Vaksin Influenza

Vaksinasi influenza tahunan pada lansia mengurangi angka perawatan di

rumah sakit untuk pneumonia dan CHF. Imunisasi kepada petugas medis terhadap

influenza melindungi mereka terhadap influenza nosokomial.2,6

II.9.3 Berhenti Merokok

Merokok berhubungan dengan meningkatnya risiko terhadap pneumococcus

sebanyak 2 kali lipat. Maka dari itu, berhenti merokok dapat mengurangi

kemungkinan terjadinya pneumonia. Selain itu, terdapt keuntungan lain seperti

memperlambat penurunan fungsi paru yang berhubungan dengan umur, dan

mengurangi risiko kanker paru. 6,7,10

II.9.3 Pencegahan Pneumonia Aspirasi

Posisi “ chin down” telah diketahui dapat menurukan angka kejadian dari

aspirasi, baik sebelum dan selama menelan. Membersihkan gigi dan gusi setelah

makan juga mengurangi masa laten dari reflex menelan dan meningkatkan

substansi P didalam saliva pada pasien dengan disfagia yang disebabkan oleh

kelainan cerebrovaskular. 6,10

3.10 Prognosis
Prognosis pada kejadian pneumonia, diantaranya adalah sebagai berikut :
 Pneumonia Komunitas
Kejadian PK di USA adalah 3,4-4 juta kasus pertahun, dan 20%
diantaranya perlu dirawat di RS. Secara umum angka kematian
pneumonia oleh pneumokokkus adalah sebesar 5% namun dapat
meningkat pada orang tua dengan kondisi buruk. Pneumonia dengan
influenza di USA merupakan penyebab kematian nomor 6 dengan
kejadian sebesar 59%. Sebagian besar terjadi pada usia lanjut yaitu
sebesar 89%. Mortalitas pasien CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar
20%. Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan factor perubah yang
ada pada pasien.
 Pneumonia Nosokomial
Angka mortalitas PN dapat mencapai 33-50% yang bisa mencapai
70% bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang
dideritanya. Penyebab kematian biasanya adalah akibat bakteriemi
terutama oleh Ps. Aeruginosa atau Acinobacter spp.

4. Memahami dan Menjelaskan PPOK Pada Geriatri


4.1 Definisi

PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara,


bersifat progresif, yang tidak sepenuhnya reversibel. Dua kondisi utama dari
PPOK adalah : (a) bronkitis kronik, sekresi mukus yang kronis atau berulang
secara berlebihan dengan batuk hampir setiap hari minimal 3 bulan dalam
setahun selama minimal 2 tahun berturut-turut; (b) emfisema, abnormal,
pembesaran permanen airspace distal ke terminal bronkiolus, disertai
kerusakan dinding, tanpa fibrosis (Dipiro et al., 2015).

4.2 Klasifikasi

Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut Jackson (2014):

1. Asma
Penyakit jalan nafas obstruktif intermienb, reversible dimana trakea dan
bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu
(Brunner et al., 2010).
2. Bronkhitis Kronis
Bronkhitis Kronis merupakan batuk produktif dan menetap minimal 3
bulan secara berturut-turut dalam kurun waktu sekurang-kurangnya
selama 2 tahun. Bronkhitis Kronis adalah batuk yang hampir terjadi setiap
hari dengan disertai dahak selama tiga bulan dalam setahun dan terjadi
minimal selama dua tahun berturut-turut (GOLD,2010)
3. Emfisema
adalah perubahan struktur anatomi parenkim paru yang ditandai oleh
pembesaran alveolus, tidak normalnya ductus alveolar dan destruksi pada
dinding alveolar. (PDPI,2003).

Menurut GOLD 2015, penilaian tingkat keparahan atau klasifikasi PPOK dapat
dilihat dari gejalanya, derajat limitasi saluran napas (menggunakan spirometri),
resiko eksaserbasi dan komorbiditasnya. Untuk penilaian dari derajat limitasi
saluran napas dibagi menjadi 4, yaitu :

4.3 Etiologi
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang
tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab
penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan
sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6
menjadi ke-3. Di Eropa, tingkat kejadian PPOK tertinggi terdapat pada
negara-negara Eropa Barat seperti Inggris dan Prancis, dan paling rendah pada
negara-negara Eropa Selatan seperti Italia. Negara Asia Timur seperti Jepang
dan China memiliki kejadian terendah PPOK, dengan jarak antara angka
kejadian terendah dan tertinggi mencapai empat kali lipat4.
Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi
PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan tingkat sebesar 6,3%,
dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5%
dan Vietnam sebesar 6,7%. Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti
mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes
RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial
menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia1.
Etiologi dan Faktor Resiko PPOK :
1. Merokok
Merokok sampai sekarang merupakan etiologi utama terjadinya PPOK.
Hubungan inipun berkaitan langsung dengan jumlah rokok yang dihisap.
Studi menunjukkan adanya perbaikan fungsi respirasi pada perokok yang
berhenti merokok. Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan
intensitas merokok ini juga berkaitan dengan peningkatan kadar
prevalensi PPOK seiring dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok
yang tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi
PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK dikalangan wanita
semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok dari
tahun ke tahun3.
Hal yang dapat membantu penilaian faktor resiko merokok pada PPOK
antara lain :
a. Riwayat merokok, dibagi atas :
 Perokok aktif
 Perokok pasif
 Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
 Ringan : 0-200
 Sedang : 200-600
 Berat : >600

2. Riwayat Pekerjaan
Pada pekerja tambang, misalnya tambang batu bara, PPOK dapat terjadi
disebabkan adanya inhalasi debu dari bahan tambang yang terakumulasi
didalam paru dan dapat merusak jaringan paru. Respon inflamasi terhadap
bahan asing inipun mengakibatkan terjadinya PPOK3.

3. Hiperresponsi Jalan Napas


Meskipun dianggap faktor resiko, hal ini semakin jarang diadaptasi
karena sulit membedakannya dengan asma. Faktor resiko ini pertama
sekali diajukan oleh Orie pada 1961 yang menganggap bahwa adanya
hiperresponsi dan eosinofilia merupakan faktor penyebab terjadinya
PPOK sehingga adanya riwayat alergi dan asma menjadi faktor resiko
PPOK.3

4. Riwayat Infeksi Saluran Napas Bawah Berulang


Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresifitas PPOK pada orang dewasa. Dipercaya
bahwa infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai
faktor predisposisi perkembangan PPOK. Hal ini pertama diungkapkan
oleh Fletcher dalam studi selama 8 tahun di Inggris pada tahun 1976,
yang menjelaskan bahwa infeksi akut bronkopulmonar dapat
menyebabkan penurunan fungsi paru dalam jangka pendek dan
merupakan faktor penting dalam terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK3.

5. Defisiensi Antitripsin Alfa – 1


Alfa-1-antitripsin merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati
dan bekerja menginhibisi neutrophil elastase di paru. Jika konsentrasi
plasma alfa-1-antitripsin dibawah dari 1g/liter maka resiko
berkemabangnya emfisema akan meningkat drastis dan menjadi PPOK.
Defisiensi a1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko
untuk terjadinya PPOK. Hal ini pertama sekali dikemukakan oleh Laurell
dan Eriksen pada 19633.

6. Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran
pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang
berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun
demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK masih tidak
bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil industri
dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK pada
kaum wanita di beberapa negara3,4.

4.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Pada PPOK terjadi penebalan pada saluran nafas kecil dengan


peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar
saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran
nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat
inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit. (Roche et al., 2011)
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya
akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan
mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan
dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8 dan
leukotriene B4, tumor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide
(MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS) . Faktor-faktor tersebut akan
merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat
parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi
mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit
CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. (Anderson, 2006)
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat
menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah
terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur
saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveoli yang menuju ke
arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh polusi dan
asap rokok. (de Boer et al., 2007)
Stress oksidatif meningkatkan patogenesis PPOK. Stres oksidatif
merupakan ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Paru secara
kontinyu terpapar oksidan baik endogen seperti respirasi mitokondria maupun
eksogen misalnya asap rokok. Asap rokok terdiri dari 5000 komponen dan
1017 radikal bebas tiap isapan dan dapat menginduksi pembentukan reactive
oxygen species (ROS) (de Boer et al., 2007). ROS merupakan penyebab
remodeling matriks ekstraseluler dan pembuluh darah, meningkatkan sekresi
mukus, inaktivasi antiprotease, memacu apoptosis, dan proliferasi sel (de Boer
et al., 2007; Roche et al., 2011).
Stres oksidatif terjadi pada paru, darah, dan otot. Stres oksidatif
merupakan kondisi dimana kadar ROS lebih tinggi dari antioksidan pada
tubuh. Hipoksia meningkatkan kadar ROS karena gangguan kerja mitokondria
sel. Penderita PPOK mengalami hipoksia kronik sehingga meningkatkan stres
oksidatif. Stres oksidatif akibat hipoksia disebabkan karena inflamasi efek
dari pelepasan sitokin dan netrofil. Hipoksia menjadi lebih buruk karena
aktivasi nuclear factor kappa-β, faktor sentral sebagai pemicu kaskade
inflamasi. Stres oksidatif semakin berat ketika penderita beraktivitas fisik.
Stres oksidatif dapat mempengaruhi kemampuan kontraksi dan fungsi otot
(Koechlin et al., 2005).
PPOK merupakan suatu penyakit progresif yang mengakibatkan
kemunduran fungsi paru dan pertukaran gas secara bertahap. Manifestasi dini
dari gejala PPOK adalah sesak napas saat beraktivitas dan pengurangan
aktivitas. PPOK merupakan penyakit yang progresif dengan kerusakan dan
remodelling jaringan paru, kurangnya elastic recoil, perubahan ventilasi dan
perfusi. Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada
PPOK yang diakibatkan oleh obstruksi saluran nafas kecil dan emfisema.
(GOLD, 2015)
Kelainan saluran napas dan parenkim paru yang terjadi berpengaruh
pada kerja otot-otot respirasi. Usaha inspirasi penderita PPOK meningkat
lebih dari empat kali dibandingkan orang normal. Kehilangan elastic recoil
menyebabkan volume paru saat relaksasi meningkat dan terjadi penutupan
saluran napas kecil pada awal ekspirasi (hiperinflasi statis). Ventilasi semenit
saat istirahat meningkat 50% sebagai kompensasi terhadap gangguan
pertukaran gas. Meningkatnya frekuensi napas menurunkan compliance paru
dibawah nilai normal. Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang terjadi pada
60% penderita PPOK menghambat proses pengosongan paru sehingga
inspirasi dimulai pada saat paru belum mencapai volume relaksasinya
(hiperinflasi dinamik). (Ferguson, 2006)

4.5 Manifestasi Klinis


4.6 Cara mendiagnosis dan diagnosis banding
4.7 Tatalaksana
4.7.1 Farmakologi
4.7.2 Non-Farmakologi
4.7.3 Tatalaksana Gagal Nafas
 Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak
langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas.
- Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan
secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan
sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi
akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan
hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh
hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive.
Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat
menjadi apnoe.
Pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah
pasien benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk
pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus
diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar
mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang
dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia
akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena
jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan
kematian
Pada kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2
60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik
diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang
dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping.
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam
yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi. Kateter nasal
kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang
digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan
oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2
antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat
mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Alat oksigen
arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer
blenders. Pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe
hipoksemia, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko
retensi CO2 dan memperbaiki hipoksemia. Sistem arus tinggi
ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask,
yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua
indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi
ini adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan
pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal.

- Atasi Hiperkapnia: Perbaiki Ventilasi


Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi,
dan pemberian obat-obat pernapasan. Pada semua pasien
gangguan pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya
obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan
napas buatan seperti endotracheal tube (ETT) berdasarkan
manfaat dan resiko jalan napas buatan dibandingkan jalan
napas alami.
Resiko jalan napas buatan adalah trauma insersi,
kerusakan trakea (erosi), gangguan respon batuk, resiko
aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi,
meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan
jalan napas buatan adalah dapat melintasi obstruksi jalan napas
atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan,
memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi
penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik.
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah sebagai berikut :
Secara Fisiologis:
1. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
2. PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25
3. Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit
neuromuscular
4. Secara Klinis:
- Perubahan status mental dengan dengan gangguan proteksi
jalan napas Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan
hemodinamik
- Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi) Sekret
yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien
Catatan: Perimbangkan trakeostomi jika obstruksi di atas
trakea
Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas
dan potensi manfaat ventilasi tekanan positif tanpa pipa trakea
(ventilasi tekanan positif non invasif).

Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik


Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan
secara mulut kemulut atau mulut ke hidung, biasanya
digunakan sungkup muka berkantung (face mask atau ambu
bag) dengan memompa kantungnya untuk memasukkan udara
ke dalam paru. Hiperkapnia mencerminkan adanya
hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari turunnya
ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada
bagian dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan
dengan asidosis respiratoris. Pasien dengan pemulihan awal
diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau
face mask merupakan alternatif yang efektif.
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya
gagal napas) atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas
(gawat nafas yang tidak segera teratasi). Kondisi yang
mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia yang
refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya. Indikasi
lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia
walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau
eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak
dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang
ventilator harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75
% pasien yang dipasang ventilator umumnya memerlukan alat
tersebut lebih dari 48 jam.
Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam
maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit
(bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara umum
bantuan napas mekanik (ventilator) dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator (IPPV),
dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator
diintubasi terlebih dahulu dan Non Invasive Positive Pressure
Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan
dengan ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini
adalah efek samping akibat tindakan intubasi dapat dihindari,
ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang
bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat.
- Terapi suportif lainnya
Fisioterapi dada
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum.
Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk
tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila
perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan
telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang
efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada, punggung,
dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang
diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.
Bronkodilator (beta-adrenergik agonis/simpatomimetik).
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena
untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping secara inhalasi
lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi.
Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah beta-
adrenergik agonis dua hingga empat kali lebih banyak daripada
yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar
pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga
tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan
obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan
efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi tremor,
takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada
pasien dengan penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri
dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya
dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan
oleh perpindahan kalium dari kompartement ekstrasel ke intrasel
sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik.

Antikolinergik/parasimpatolitik.
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik
tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini
kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas
berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik,
dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan. Obat ini
direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan
bronkitis kronik. Antikolinergik pada pasien gagal nafas harus
selalu dikombinasikan dengan beta adrenergik agonis. Ipratropium
bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau
solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti
takikardia, palpitasi, dan retensi urin.
Teofilin
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan beta
adrenergik agonis. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja
fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium,
antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan
aktifitas anti inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual
dan muntah. Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia,
hipokalemia, perubahan status mental dan kejang.

Kortikosteroid
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan
napas tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah
sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik
dan topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada
gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau
parenteral. Efek samping kortikosteroid parenteral adalah
hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati
steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun,
kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal.
Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non
depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang
memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning.

 Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari
penyebab gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada
etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit
akan berlainan.

4.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah :

1. Gagal nafas

Gagal nafas kronik: hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan

PCO2> 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan:

o Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2


o Bronkodilator adekuat

o Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktiviti atau

waktu tidur

o Antioksidan

o Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik, ditandai oleh:

o Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis

o Sputum bertambah dan purulen

o Demam

o Kesadaran menurun

2. Infeksi berulang. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan

menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya

infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah,

ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.

3. Kor pulmonal: ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%,

dapat disertai gagal jantung kan

4.9 Pencegahan

Menghindari rokok

Nikotin merupakan kandungan terbesar dalam rokok yang dapat menginduksi

aktivasi neutrofil dan makrofag menimbulkan radikal bebas yaitu reactive oxygen

species (ROS) yang pada dapat mengganggu struktur protein, lipid, asam
deoksiribonukleat saluran napas dan merangsang terjadinya apoptosis (Moretti &

Marchioni, 2007). Berhenti merokok dapat memperlambat progresivitas dari PPOK.

Konseling berhenti merokok dapat membantu pasien yang mau berhenti merokok.

Farmakoterapi dilakukan jika konseling tidak efektif. Varenicline dapat membantu

penghentian merokok dengan mengurangi gejala nicotine withdrawal dan

menurunkan efek samping nikotin yang aman dengan efikasi cukup tinggi (Ebbert,

2015).

Mengurangi paparan polutan.

Menurunkan polusi di dalam dan luar ruangan memerlukan sinergi antara kebijakan

politik, sumber daya nasional dan lokal, perubahan budaya, dan langkah protektif dari

individu. Sistem ventilasi yang efektif, bahan bakar memasak yang tidak

menghasilkan polusi dan intervensi sejenisnya harus lakukan (GOLD, 2015).

4.10 Prognosis
Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat
disembuhkan secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat
akan meninggal dalam waktu satu tahun, 95% meninggal dalam waktu 10
tahun. Ini terjadi oleh karena kegagalan napas, pneumonia, aritmia jantung
atau emboli paru (Tomas, 2008).

5. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Terhadap Ventilator

1.jika pasien masih ada kesempatan hidup dibantu dengan alat resusitasi

Maka alat resusitasi harus tetap dibiarkan, tidak boleh dicabut terlebih

keluarga memiliki dana yang cukup untuk membiayai.


2.jika pasien sudah tidak ada kesempatan hidup

Yaitu alat resusitasi hanya sekedar memperpanjang hdup beberapa hari

/minggu saja. Prognosis pasien jelek kedepannya misalnya karena penyakit

yang sudah kornis dan berbahaya (contohnya kanker stadium lanjut yang

sudah menyebar ke paru-paru dan otak). Ditambah lagi keadaan keluarga yang

tidak mampu membiayai, mereka harus menjual bebagai harta, bahkan harus

berhutang untuk membiayai.

Berdasarkan pertimbangan mashalahat dan mafsadat serta memilih mafsadah

yang paling ringan, maka alat resusitasi boleh dicabut. Sebagaimana dalam

kaidah fiqh.

‫الضررين أخف ارتكاب‬

“memilih diantara dua mafsadah yang paling ringan”

3. jika pasien sudah mati batang otak maka boleh dicabut

Yang dimaksud mati batang otak adalah orang tersebut sudah mati secara

medis akan tetapi organ yang lain masih sedikit beraktifitas, misalnya jantung

masih sedikit berdenyut.

Berikut ketetapan Majma’ Fiqh Al-Islami mengenai hal ini:

1) ‫ فيه رجعة ال التوقف هذا بأن األطباء وحكم تاما توقفا وتنفسه قلبه توقف إذا‬.

2) ‫التعطل هذا بأن الخبراء االختصاصيون األطباء وحكم نهائيا تعطل دماغه وظائف جميع تعطلت إذا‬

‫فيه رجعة ال‬، ‫التحلل في دماغه وأخذ‬.


‫مثل كالقلب األعضاء بعض كان وإن الشخص على المركبة اإلنعاش أجهزة رفع يسوغ الحالة هذه وفي‬

‫المركبة األجهزة بفعل آليا يعمل يزال ال‬

1.jika denyut jantung dan nafas telah berhenti secara total dan tim dokter telah

memastikan bahwa hal ini tidak bisa kembali

2.jika semua aktifitas otak telah berhenti total kemudian (mati bantang otak)

dan tim dokter (spesialis) telah memastikan bahwa hal ini tidak bisa kembali

dan otak mulai mengalami kerusakan.

Maka pada (dua) keadaan ini, boleh mencabut alat resusitasi yang terpasang

pada orang tersebut walaupun sebagian anggota badan seperti jantung

misalnya masih berdenyut dengan bantuan alat resusitasi. (Fatawa lit thabibil

Muslim)

DAFTAR PUSTAKA
TOLONG MASUKIN DAFPUS IPD DONG
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/a3094ca3eede2196d8bdb1a6f
ffc6b2c.pdf
https://muslimafiyah.com/hukum-mencabut-alat-resusitasi-pada-pasien-kritis-di-
icu.html

Anda mungkin juga menyukai