Anda di halaman 1dari 14

PERSPEKTIF ETIS TEOLOGIS TENTANG PERTUMBUHAN IMAN

Kalis Stevanus
Sekolah Tinggi Teologi Jemaat Kristus Indonesia
Salatiga, Indonesia
kalis_stevanus@yahoo.com

Abstrak
Pertumbuhan iman adalah kehendak Allah untuk dialami bagi setiap orang percaya.
Pertumbuhan iman terjadi secara alami, bukan instant dan ajaib (mistis). Pertumbuhan iman
melibatkan kedua pihak secara aktif dan penuh, yaitu pihak Tuhan yang menganugerahkan
pertumbuhan dan pihak manusia (orang percaya) memberi diri digarap oleh Tuhan melalui
firman-Nya, maupun melalui kejadian-kejadian hidup secara konkrit. Bukti dari pertumbuhan
iman itu akan nampak secara konkrit melalui peragaan hidup sehari-hari yang semakin
menyerupai Kristus (Gal. 5:22-23) sebagai prototype manusia yang dikehendaki oleh Allah
Bapa.

Kata Kunci : Pertumbuhan Iman, Perspektif Etis Teologis

PENDAHULUAN
Sebelum membahas perihal pertumbuhan iman, saya akan menjelaskan terlebih dahulu
tentang hakikat manusia secara etis teologis. Bagaimana peran manusia dan peran Allah di
dalam pertumbuhan iman. Apakah kedaulatan Allah bertentangan dengan kehendak manusia?
Pengajaran mengenai “kehendak bebas” merupakan masalah yang penting. Sebab
berbicara mengenai etika, moral, keselamatan tidak dapat dipisahkan dari doktrin ini. Kalau
pemahaman mengenai kehendak bebas tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab, maka
konsepnya mengenai etika, moral, keselamatan dan berbagai pokok doktrin lainnya menjadi
luncas. Bisa mengakibatkan ketidakkonsistenan dalam pandangan dan pengajarannya
(Erastus Sabdono, 2016:1).
Apakah Tuhan secara absolut dan sepihak menentukan nasib seseorang? Jika seseorang
sudah ditetapkan atau ditakdirkan (dipredistinasi) untuk beroleh selamat dan tidak dapat
menolaknya, bagaimana dengan hakikat manusia sebagai makhluk yang berkehendak bebas?
Di manakah peran dan tanggung jawab manusia secara etis?

HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG BEBAS DAN


BERTANGGUNGJAWAB (ETIS)
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berkehendak bebas adalah suatu realitas
(fakta) dan kebenaran yang tidak dapat disanggah. Peristiwa kejatuhan manusia ke dalam
dosa di Taman Eden (Kej 3) sudah cukup jelas memberikan bukti kepada kita tentang kodrat
manusia adalah makhluk berkehendak bebas dan bertanggungjawab. Tuhan melarang Adam
dan Hawa untuk tidak makan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat, yang ada di
Taman Eden. Dalam larangan-Nya itu terkandung unsur bahwa Tuhan memang benar-benar

1
memberikan kehendak bebas kepada manusia untuk menentukan pilihannya (termasuk juga
soal keselamatan).
Hal serupa dinyatakan oleh Dr. Erastus Sabdono mengenai kehendak bebas manusia:
Bila hendak menemukan pengertian kebebasan yang sejati, kita harus melandaskannya
kepada Alkitab secara jujur dan obyketif. Dalam hal ini kitab Kejadian telah meletakkan
landasan pengertian kebebasan kehendak yang benar, jujur, jelas dan cerdas. Tuhan
menaruh dua pohon di tengah taman Eden, menunjukkan dengan sangat jelas bahwa
manusia diberi kehendak bebas. Dalam kehendak bebasnya, manusia harus memilih
antara kehidupan atau kematian dari kerelaan kehendaknya, apakah manusia mau taat
atau tidak taat. Dalam pengertian bebas, Allah harus membiarkan manusia menentukan
sendiri pilihannya, tanpa intervensi dari pihak manapun. Dalam pengertian bebas yang
benar, Allah juga membiarkan ular yang adalah personifikasi iblis masuk ke dalam
taman Eden dan mencobai serta membujuk manusia untuk berbuat sesuatu, yaitu
melanggar apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh Adam (Kej.2:16-17; 3:1-24). Allah
tidak berusaha menghindarkan manusia dari pencobaan tersebut, karena Allah memberi
kehendak bebas kepada manusia (Erastus Sabdono, 2016: 11).
Salah satu keistimewaan yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah kehendak
bebas. Tuhan sendiri dalam kedaulatan-Nya dengan rela memberikan kedaulatan kepada
manusia untuk menentukan keadaannya sendiri. Dengan menghargai kedaulatan manusia itu,
berarti Tuhan menghargai kedaulatan-Nya sendiri. Dalam hal ini Tuhan menunjukkan
konsekuensi-Nya dalam menciptakan manusia dengan kodrat kehendak bebasnya. Itulah
bentuk pengakuan Tuhan terhadap kehendak bebas manusia. Ia menginginkan manusia
mencintai-Nya secara tulus dengan kehendak bebasnya sendiri, tetapi itu hanya mungkin jika
ada kemungkinan untuk tidak mencintai-Nya. Tuhan sebagai hakim menegakkan hukum
kehendak bebas itu dengan segala resiko dan konsekuensinya, baik bagi manusia maupun
bagi Tuhan sendiri. Itu berarti ketika manusia jatuh dalam dosa, Tuhan sendiri yang harus
turun menyelamatkannya (Kalis Stevanus, 2015:1-5).
Ada satu misteri teologis yang hingga sekarang ini belum terjawab, mengapa Allah
menciptakan manusia dengan kehendak bebas? Padahal dengan adanya kehendak bebas akan
memungkinkan manusia untuk salah pilih dan jatuh ke dalam dosa? Jika tidak ada kehendak
bebas tentu tidak dapat berdosa. Sejujurnya pertanyaan ini perlu kita akui memang sangat
sukar dijawab, bahkan boleh dikatakan tidak mungkin dijawab oleh manusia, siapa pun dia.
Sebab Alkitab sendiri diam dan tidak menjelaskan kepada kita, tetapi Alkitab hanya
menyatakan fakta bahwa manusia diciptakan dengan kehendak bebas (Kalis Stevanus,
2008:3-4).
Kehendak bebas merupakan aspek penting yang menyerupai Allah
sendiri,”Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
Kita … maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya…” (Kej 1:26-27). Saya
tegaskan di sini, adalah di luar pengertian (rasio) kita mengapa Allah menciptakan manusia
serupa gambar-Nya dengan memiliki kebebasan memilih? Satu perkara yang harus kita
pahami bahwa tidak semua rencana Allah itu disingkapkan di dalam Alkitab. Ada hal-hal
tertentu yang masih merupakan misteri Allah hingga hari ini (Ul 29:29). Tetapi walaupun

2
demikian, ada satu alasan (subyektif) yang mungkin bisa menjelaskan alasan Allah
menciptakan manusia dengan kehendak bebas karena Allah ingin mendapatkan suatu umat
yang memuliakan Dia atas dasar kehendak bebasnya sendiri. Untuk memenuhi persyaratan
persekutuan dengan Allah atas dasar pilihan etis, yaitu kehendak bebasnya sendiri tanpa ada
unsur paksaan, maka Allah perlu memberi pilihan, pilihan untuk diuji. Dengan demikian,
manusia harus ditempatkan di bawah hukum dan perintah Allah. Itulah sebabnya perlu ada
ujian; perlu ada pohon terlarang di dalam taman Eden; perlu ada kebebasan bagi manusia
untuk memilih, karena itulah cara Allah mendesain (menciptakan) manusia (Kalis Stevanus,
2015:3-4)
Dr. Wesley L. Duewel menyatakan sebagai berikut:
Dalam kemahatahuan-Nya, Allah melihat bahwa secara tak terbatas akan lebih
memuliakan-Nya dan lebih membawa berkat bagi makhluk suci jika mereka diberi
kehendak bebas. Di dalam 1Ptr 1:18-19 dan Luk 15:10 berbicara tentang nilai khusus
dari umat tebusan (Wesley L. Duewel, 1995:7).
Ujian memang memungkinkan ketidaktaatan dan bisa berdosa. Tetapi hal itu bukan
berarti Allah menginginkan kejatuhan manusia (Ul 30:19). Ingat, bahwa Allah tidak
membutuhkan adanya dosa untuk memuliakan nama-Nya (Ul 25:16; Mzm 5:5).

KEJATUHAN MANUSIA KE DALAM DOSA BUKAN SEBAGAI TAKDIR


Alkitab mencatat bahwa manusia jatuh ke dalam dosa karena melanggar hukum Tuhan.
Mereka jatuh ke dalam dosa bukan karena ditakdirkan Tuhan melainkan dari akibat kesalahan
dalam menggunakan kehendak bebasnya. Rasul Yakobus mengatakan bahwa dosa adalah
akibat dari penyerahan pada keinginan yang salah (Yak 1: 14-15). Pencobaan itu bukan
dosa (Yak 1:3), tetapi menyerah kepada pencobaan itulah dosa. Sebab tidak ada pencobaan
yang tak mampu dilawan oleh anak-anak Tuhan (I Kor 10:13). Tentunya kemampuan itu
berasal dari Dia.
Tuhan tahu betul bahwa manusia yang diciptakan-Nya itu bisa (kemungkinan) jatuh
dosa, namun Dia tidak pernah menghendaki apalagi mentakdirkan mereka jatuh ke dalam
dosa! Memang perlu diakui bahwa pencobaan memungkinkan ketidaktaatan (berdosa).
Karena inilah cara Allah menciptakan manusia.
Saya coba menjawab dengan ilustrasi (tentunya sangat terbatas): apakah pesawat itu bisa
jatuh? Jelas bisa! Apakah pesawat tersebut sengaja dirancangkan untuk jatuh? Jelas tidak!
Pesawat dirancang untuk menjadi alat transportasi dan bukan untuk jatuh, bukan?
Demikianlah halnya dengan penciptaan manusia! Tuhan adalah Tuhan Yang Maha Kudus
sehingga di dalam Dia tidak ada dosa sama sekali (I Ptr 1:15-16; I Yoh 1:5). Tuhan tidak
merancang manusia untuk berbuat dosa karena hal itu bertentangan dengan karakter-Nya
yang suci dan benar.
Dr. Erastus Sabdono menegaskan demikian: pertama, Tuhan tidak pernah menjadi
kausalitas atau penyebab kejatuhan (dosa). Allah tidak pernah menetapkan manusia untuk
jatuh dalam dosa. Allah tidak mengendalikan manusia tetapi manusialah yang mengendalikan
dirinya sendiri. Jadi, kalau manusia melakukan sebuah tindakan itu bukan karena rekayasa
atau skenario Allah. Memang Allah yang menciptakan kemungkinan ciptaannya bisa

3
melakukan kesalahan, tetapi bukan dirancang untuk (harus) melakukan kesalahan. Kedua,
manusia berinisiatif melakukan tindakan dari diri sendiri yang melanggar larangan Tuhan.
Allah tidak ikut terlibat dalam kesalahan yang dilakukan manusia. Manusia sepenuhnya
bertanggungjawab atas apa yang dilakukan. Kalau Allah ikut terlibat dalam kejatuhan
manusia, maka Allah tidak seharusnya mengusir manusia keluar dai taman Eden. Betapa
jahatnya sosok “allah” yang menetapkan suatu kejadian atau perbuatan seseorang, lalu
menghakimi dan menghukum manusia tersebut. Allah yang benar tidaklah demikian. Allah
adalah Hakim yang adil maka Ia harus berdiri di luar tindakan yang dihakimi. Ketiga, Allah
memang mengijinkan dosa masuk dalam kehidupan, tetapi Ia tidak menetapkan, apalagi
mengupayakan agar dosa dilakukan manusia (Erastus Sabdono, 2016: 12).
Manusia bisa jatuh ke dalam dosa karena memang ia memiliki kehendak bebas. Manusia
memiliki kehendak bebas adalah takdir Tuhan, tetapi soal jatuh atau tidak, berdosa
atau tidak, itu adalah kehendak manusia sendiri, bukan takdir Tuhan. Manusia tidak
diciptakan seperti robot yang hanya dikendalikan dengan remote kontrol. Tidak seperti
wayang di tangan dalang (suka-suka dalang).
Tuhan adalah Tuhan yang memberi tanggung jawab kepada manusia adalah suatu fakta
yang harus diakui dan diterima sebagai kebenaran. Tuhan sendiri menyatakan hal itu setelah
manusia jatuh ke dalam dosa,” Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman
kepadanya: Di manakah engkau? (Kej 3:9). Jika Tuhan bertanya kepada manusia demikian,
itu bukan berarti karena Dia tidak tahu, tetapi Dia sedang meminta dari manusia itu adalah
pertanggungjawaban (Kalis Stevanus, 2013:74).
Lebih lanjut Dr. Wesley L. Duewel menyatakan:
Justru manusia bisa dikatakan sebagai makhluk yang berkualitas secara etis (moral), bila
manusia punya kehendak bebas untuk memilih dan bertanggungjawab atas segala
tindakannya. Makhluk bermoral haruslah sadar bahwa ia adalah bebas. Ia tidak dapat
bebas tanpa menyadari hal itu. Dengan demikian, manusia harus menyadari adanya suatu
pengadilan Tuhan yang akan menuntut pertanggungjawaban atas tindakannya (Wesley L.
Duewel, 1995: 26-27).

Tindakan manusia selalu ada dampak atau konsekuensi yang ditimbulkannya seperti
yang dinyatakan oleh firman Tuhan tentang “hukum tabur tuai”. Hukum tabur tuai adalah
realitas yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun (Gal 6:7-9). Yang melanggar akan
menerima akibatnya sebab dosa itu adalah hal yang sangat serius di hadapan Tuhan. Tuhan
tidak bisa dipermainkan. Dosa itu beresiko. Tidak ada orang yang berbuat dosa luput dari
hukuman Tuhan walaupun ia adalah orang percaya bahkan hamba Tuhan sekali pun
(Nahum1:3).

FAKTA: TUHAN YESUS TIDAK DIKENDALIKAN MUTLAK OLEH BAPA


Alkitab mengatakan,”Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari
apa yang telah diderita-Nya” (Ibr 5:8). Tuhan Yesus adalah sungguh-sungguh menjadi
manusia sama seperti kita. Sebagai manusia, Tuhan Yesuspun belajar taat kepada Bapa.
Ketaatan sejati hanya bisa lahir tergantung kehendak individu manusia sendiri. Ketaatan
tanpa kehendak bebas dan potensi bisa gagal adalah ketaatan yang palsu dan tidak
berkualitas secara etis.

4
Seperti Tuhan Yesus melakukan kehendak Bapa atas kehendak-Nya sendiri, demikian
seharusnya orang Kristen melakukan kehendak Bapa atas kehendaknya sendiri dengan sadar
dan sengaja dengan niat serta usaha yang sungguh-sungguh. Tuhan Yesus tidak dikendalikan
mutlak oleh Bapa dalam menjalankan tugas sebagai Mesias, seperti wayang di tangan dalang.
Tuhan Yesus bertindak dalam kehendak bebas-Nya sebagai bukti cinta-Nya kepada Bapa-
Nya. Kalau semua gerak hidup Tuhan Yesus dalam kendali mutlak oleh Bapa tanpa
memiliki kehendak bebas sama sekali dalam melakukan tugas sebagai Mesias, maka
semua itu hanyalah sandiwara belaka. Jelas ini bertentangan dengan sifat Allah yang adil
dan mulia. Allah tidak melakukan sandiwara demikian (Dr. Erastus Sabdono).
Marilah kita mempelajari pergumulan yang dialami Tuhan Yesus dari Mat 26:36-46.
Pergumulan Tuhan Yesus sebelum disalibkan dimulai di Taman Getsemani. Tuhan Yesus
sungguh-sungguh (riil) menderita baik fisik maupun mental demi ketaatan-Nya tanpa syarat
kepada Bapa supaya kita beroleh keselamatan. Tuhan Yesus membawa Petrus dan kedua
anak Zebedeus serta-Nya. Maka mulailah Ia merasa sedih dan gentar, lalu kata-Nya kepada
mereka:”Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mata rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga
dengan Aku” (ayat 37-38). Tuhan Yesus menjadi sedih dan tergoncang serta ketakutan. Ini
menunjukkan bahwa Dia benar-benar manusia sama seperti kita. Paulus mengatakan dalam
Filipi 2:7,”...melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi sama dengan manusia”. Jadi, penderitaan yang dialami Tuhan Yesus
adalah nyata, bukan sandiwara. Dengan demikian, Ia sungguh-sungguh mengerti dan
merasakan penderitaan dan pergumulan kita (Ibr 4:15).

MANUSIA MENENTUKAN KESELAMATANNYA SENDIRI


Apakah seseorang mau selamat atau tidak, tergantung masing-masing individu.
Keselamatan telah disediakan Allah, tetapi apakah seseorang berniat selamat atau tidak, tidak
tergantung mutlak pada pihak Allah melainkan pihak diri manusia sendiri. Jelas Alkitab
mengatakan bahwa seseorang berdosa atau tidak, bukan karena iblis atau Tuhan, melainkan
karena dicobai oleh keinginannya sendiri,”Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata:
"Pencobaan ini datang dari Allah!" Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia
sendiri tidak mencobai siapa pun. Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri,
karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia
melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut” (Yak 1:13-15).
Dari kebenaran di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah tidak intervensi mutlak atas apa
yang dilakukan manusia. Kalau dalam hal keselamatan, Allah intervensi mutlak maka
manusia tidak perlu bertanggungjawab atas perbuatannya sebab Ia yang menentukan segala
sesuatu. Apakah masuk akal manusia diminta bertanggungjawab atas apa yang tidak
disebabkannya? Alkitab jelas mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab atas apa yang
diperbuatannya,”Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan
jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.” (Rm.14:12) dan juga dikatakan,”Sebab kita
semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa
yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun
jahat” (2 Kor 5:10) (Kalis Stevanus, 2014:11).
Ternyata Bapa memberikan kebebasan kepada masing-masing individu untuk mengambil
sikap, keputusan dan pilihannya sendiri. Iblis tidak dapat memaksa seseorang untuk berbuat

5
dosa, demikian juga Allah tidak mau memaksa manusia mengikuti kehendak-Nya. Allah
adalah pribadi yang agung dan punya integritas sehingga Ia tidak akan melanggar kehendak
bebas yang ditaruh di dalam diri manusia. Allah menghormati kehendak bebas tersebut yang
memberikan pilihan bebas kepada manusia untuk menentukan keadaan mereka sendiri:
apakah mau selamat atau tidak.
Tepatlah kata Alkitab bahwa apa yang ditabur, itu juga yang dituainya (Gal 6:7). Kalau
Tuhan sendiri yang membuat skenario kejatuhan manusia ke dalam dosa, Ia pasti bukanlah
Tuhan yang baik. Alkitab berulang-ulang menegaskan bahwa manusia adalah makhluk
yang diberi kehendak bebas untuk menentukan nasibnya sendiri : berpihak kepada
Tuhan atau setan. Hukum tabur tuai jelas menunjukkan bahwa manusia bertanggungjawab
atas apa yang disebabkannya atau diperbuatnya. Manusia bukanlah makhluk yang
dikendalikan mutlak dan sepihak oleh Tuhan. Jadi sungguh manusia adalah mahkluk etis
yang harus memilih dan menentukan nasibnya sendiri.

INJIL TANPA RESPONS ADALAH BERITA KOSONG YANG TAK BERARTI


Dr. Erastus menyatakan jika ada orang berpendapat bahwa manusia ditempatkan Tuhan
pada posisi tidak dapat menolak anugerah Tuhan. Jika seseorang sudah ditentukan Tuhan
untuk selamat, ia tidak dapat menolaknya. Ini membangkitkan rasa syukur bagi yang selamat.
Namun di sisi lain, konsep ini berarti juga bahwa ada manusia ditempatkan Tuhan pada posisi
tidak dapat menolak hukuman Tuhan. Jika seseorang sudah ditentukan untuk binasa, ia tidak
dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan diri. Tentu ini membangkitkan rasa marah bagi
yang tidak selamat. Konsep demikian adalah keliru sebab beranggapan bahwa segala sesuatu
yang terjadi dalam kehidupan seseorang sudah ditentukan mutlak oleh Tuhan dan tidak dapat
diganggu gugat. Manusia hanya bisa menjalani apa yang ditentukan Tuhan dan menerimanya
tanpa bisa mengelak. Di sini menempatkan Tuhan sebagai sutradara yang membuat skenario
dari segala sesuatu, termasuk kejatuhan manusia dalam dosa dan neraka bagi yang ditentukan
binasa (Erastus Sabdono, 2016: 12).
Bagaimanakah yang benar? Jika nasib manusia sudah ditentukan Tuhan, berarti manusia
tidak perlu bertanggungjawab atas hidupnya karena itu sudah ditentukan-Nya, bukan
disebabkan oleh dirinya. Jadi sangat tidak adil bila manusia harus bertanggungjawab atas apa
yang tidak disebabkannya. Tuhan Yesus berkata,”Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit
yang dipilih” (Mat 22:14).
Untuk memahami perkataan Tuhan Yesus tersebut, kita harus membaca ayat-ayat
sebelumnya yang mengisahkan tentang pesta perjamuan. Banyak orang yang dipanggil atau
diundang ke pesta itu tetapi ada yang datang dengan tidak mengenakan pakaian pesta lalu
ditolak. Artinya, mereka yang dipanggil itu tidak otomatis layak masuk ke pesta itu jika tidak
memenuhi syaratnya yaitu mengenakan pakaian pesta. Berarti panggilan tersebut
membutuhkan respon yang bertanggungjawab dengan mengenakan pakaian pesta.
Tentang respon juga dapat kita temukan dalam perumpamaan tentang lima gadis bodoh
dan lima gadis bijak di Matius 25:1-12. Keduanya sama-sama mempersiapkan diri
menyongsong mempelai laki-laki. Tetapi gadis yang bodoh tidak memiliki persiapan minyak
yang cukup dan gadis yang bijak memiliki persediaan minyak yang cukup. Minyak di sini
bukan minyak urapan Roh Kudus seperti dipahami banyak orang. Sebab urapan Roh Kudus
tidak dapat diperjual-belikan. Minyak di sini jelas berbicara tentang sikap berjaga-jaga. Itulah

6
disebut respons yang bertanggungjawab. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa banyak
yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih artinya banyak orang yang mendengar Injil, tetapi
sedikit yang meresponi dengan benar.
Ternyata kedaulatan Tuhan tidak meniadakan respons manusia. Peran manusia tetap
ada dan penting bagi Tuhan. Tanpa respon, maka Injil hanya menjadi berita kosong yang
tak berarti. Bila manusia tidak memiliki kehendak bebas untuk memilih dan hidupnya sudah
ditentukan oleh penentuan mutlak atau takdir, tentu Tuhan Yesus tidak akan
menyerukan,”bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:15). Ayat ini jelas
menunjukkan bahwa respons itu penting dalam menyambut anugerah keselamatan, termasuk
di dalam proses pertumbuhan iman seseorang di dalam Kristus.

KEDAULATAN ALLAH DAN KEHENDAK BEBAS MANUSIA


Kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia tidak pernah bertentangan melainkan
bersinergi secara harmonis. Pertumbuhan iman seseorang mutlak 100% melibatkan Tuhan
dan juga sekaligus melibatkan respon manusia secara penuh, 100%. Banyak orang Kristen
beranggapan bahwa respon manusia tidak dibutuhkan dalam keselamatan karena keselamatan
adalah anugerah. Anggapan ini sangat keliru dalam memahami Firman Tuhan dalam Efesus
2:8-9 yang berkata,” Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan
hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang
memegahkan diri. Kata “bukan hasil usahamu dan bukan hasil pekerjaannmu” sering
dipahami bahwa manusia tidak perlu bertindak apa-apa. Peran manusia tidak dibutuhkan
sebab semuanya dikerjakan oleh Allah semata sehingga manusia tidak menjadi sombong.
Memang benar bahwa segala usaha manusia untuk selamat adalah usaha yang sia-sia
sebab keselamatan bukan usaha manusia mencapai perkenanan Tuhan. Keselamatan terjadi
atas manusia karena perbuatan Kristus yang mati di kayu salib. Inilah yang disebut anugerah.
Namun mengenai siapa yang akan selamat tentu tidak ditentukan mutlak oleh usaha Allah
melainkan respon manusia menyambut karya penyelamatan yang telah dikerjakan oleh
Kristus di kayu salib.
Bapa menghendaki kita kembali pada rancangan-Nya semula, yaitu menjadi manusia
sempurna (Mat 5:48). Tanpa perjuangan untuk mencapai kesempurnaan berarti seseorang
menolak untuk diselamatkan. Padahal Tuhan Yesus menyatakan bahwa orang Kristen harus
sempurna. Pekerjaan Roh Kuduslah yang menghasilkan karakter Kristus di dalam kita.
Ketika Roh Kudus bekerja di dalam diri kita, kita menjadi makin hari makin menyerupai
Kristus (2 Kor 3:18). Itu artinya kita harus bekerjasama dengan pekerjaan Roh Kudus. Jadi,
kalau kita mau diselamatkan maka kita harus ada kesediaan untuk memberi diri dibentuk,
digarap dan diserupakan oleh Bapa dengan karakter Anak-Nya,”Sebab semua orang yang
dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa
dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara
banyak saudara” (Rm 8:29).
Dilahirkan oleh Roh berarti menerima penggarapan Roh Kudus untuk mengenakan
karakter ilahi. Dalam hal ini, bukan hanya Roh Kudus yang aktif untuk bisa melahirkan
seseorang, melainkan individu sendiri juga harus meresponinya dengan serius. Respon yang
serius ditunjukkan dengan sikap hidup untuk mengerti firman. Dari pengertian terhadap
firman, selanjutnya melakukan kebenaran itu sehingga hidupnya benar-benar menjadi

7
kebenaran yang diperagakan. Inilah yang disebut menghidupi firman. Lakukan kebenaran
karena hanya dengan cara itulah kita bekerjasama dengan Roh Kudus, dan karakter kita
berkembang.
Dr. Rick Warren mengatakan keserupaan dengan Kristus merupakan hasil dari
kebiasaan membuat pilihan-pilihan seperti Kristus dan bergantung kepada Roh Kudus untuk
menolong. Begitu kita memutuskan untuk bersungguh-sungguh menjadi seperti Kristus, kita
harus bertindak melepaskan kebiasaan lama, mengembangkan beberapa kebiasaan baru, dan
mengubah cara kita berpikir.
Pertumbuhan iman ini merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu relatif
panjang, sebab tidak mungkin seseorang mendadak menjadi dewasa apalagi sempurna. Di
sini dibutuhkan dua pihak, yaitu pihak Tuhan dan pihak kita bekerjasama. Tuhan tidak
bekerja sendiri dalam hal ini, tetapi kita harus turut terlibat secara aktif dalam proses
pendewasaan iman kita sendiri.
Paulus menyatakan kebenaran ini di Roma 8:28 bahwa Allah “turut bekerja”. Kata
“turut bekerja” dalam bahasa Yunani συνεργεῖ (sunergei) merupakan gabungan dua kata sun
(syn) artinya bersama-sama dan ergon berarti bekerja. Kata συνεργεῖ bisa diterjemahkan to
work together (bekerja bersama-sama). Jadi proses pertumbuhan iman seseorang berlangsung
melalui segala keadaan dan kejadian yang dialami seseorang dan itu terjadi dalam
keterlibatan Tuhan dan kita—Tuhan bekerja bersama-sama kita.
Paulus menjelaskan lagi bahwa ada dua pihak yang berperan menentukan perjalanan
pertumbuhan iman: peran Allah dan peran manusia,” ... tetaplah kerjakan keselamatanmu
dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula
sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik
kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Fil 2:12-13). Perhatikan kata
“kerjakan” dan “mengerjakan”. Kata “kerjakan” adalah peran manusia, dan “mengerjakan”
adalah peran Allah.
Adalah bodoh kalau mengatakan bahwa pertumbuhan iman atau mengalami
keselamatan akan datang dengan sendirinya karena Tuhan yang mengerjakan di dalam diri
kita baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya didasarkan pada Filipi 2:13
tanpa memerhatikan teks lain dalam pasal tersebut. Padahal dalam teks sebelumnya terdapat
perintah agar orang percaya berusaha menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam
Kristus (Fil.2:5). Jelas sekali bahwa kita sendiri (orang percaya) yang harus menaruh pikiran
dan perasaan tersebut. Filipi 2:5 di dalam bahasa aslinya adalah Τοῦτο φρονεῖτε ἐν ὑμῖν ὃ καὶ
ἐν Χριστῷ Ἰησοῦ (touto phroneithe en humin ho kai en Christo Iesou). Dalam versi KJV dan
NKJ menerterjemahkan sama adalah Let this mind be in you which was also in Christ Jesus.
Sedangkan kata “kerjakanlah” di dalam Filipi 2:12 adalah κατεργάζεσθε
(katergazesthe) memiliki bentuk kata kerja κατεργάζ (katergazomai) adalah kata kerja
present imperative yaitu perintah – perintah untuk menyelesaikan (to finish). Sedangkan kata
“mengerjakan” di dalam Filipi 2:13 bukan κατεργάζεσθε (katergazesthe), tetapi ἐνεργῶν
(energon) dari kata ἐνεργenergeo) selain berarti mengerjakan bisa juga berarti
memberikan daya. Penting sekali kita memerhatikan perbedaan kata mengerjakan tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan dalam meresponi keselamatan (termasuk di dalamnya
proses pertumbuhan iman), kitalah yang harus mengerjakan. Bila kita mengerjakan dengan

8
sungguh-sungguh, maka Allah akan memberikan daya (menolong) kita mengerjakannya.
Bagaimana mungkin Allah akan menolong jika seseorang tidak melakukan sama sekali?
Mengerjakan di sini adalah tanggung jawab yang harus kita penuhi dengan sadar dan serius.
Saya menegaskan di sini, bahwa ayat ini tidak bermaksud mengatakan ”bekerjalah”
untuk memperoleh keselamatan kita. Tidak. Sebab kita telah memperolehnya. Seperti seorang
petani bekerja “mengusahakan” tanah, bukan untuk mendapatkan tanah bukan? Ia bekerja
untuk mengolah apa yang telah ia miliki (tanah itu). Memenuhi tanggung jawab ini tidak
boleh dianggap sebagai jasa di mana kita bisa membanggakan diri seolah-olah dengan
kemampuan kita sendiri kita bisa meraih keselamatan. Keselamatan adalah anugerah. Tetapi
anugerah perlu direspon.
Kini, Allah telah memberi hidup baru kepada kita, dan kita dipanggil untuk
mengembangkan apa yang telah kita miliki. Ini berarti kita harus serius memperhatikan
pertumbuhan iman kita menuju kesempurnaan di dalam Kristus. Kesempurnaan ke arah
Kristus yang harus dicapai orang Kristen tidak bisa terwujud tanpa usaha serius dari setiap
individu. Inilah yang dimaksudkan Paulus dengan istilah mengerjakan keselamatan dengan
takut dan gentar (Fil 2:12). Jika demikian, maka Allah melalui Roh Kudus akan mengerjakan
di dalam diri orang Kristen baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya (Fil
2:13). Anugerah tidak membuat setiap orang Kristen menjadi sempurna dengan sendirinya.
Sebaliknya anugerah-Nya tersebut memampukan orang Kristen melakukan kehendak Tuhan
dengan tepat sempurna.

ESENSI IMAN
Kata iman dalam bahasa Yunani adalah πίστις (pistis), kata ini adalah kata benda yang
berarti kepercayaan (faith) , keyakinan dan kata kerjanya adalah πίσartinya “percaya
kepada”, “mempercayakan diri kepada” (Kamus Yunani-Indonesia). Atau bisa berarti tetap
“setia kepada”. Beberapa terjemahan bahasa Inggris menerjemahkan iman dengan kata
“faith” adalah kepercayaan atau intellectual evaluation believe (percaya berdasarkan evaluasi
intelektual). Iman adalah tindakan “mempercayakan diri kepada”, yang didasarkan pada
persetujuan akal.
Dalam memahami arti iman yang tepat menurut Alkitab, harus diperhatikan bukan saja
aspek intelektual (persetujuan pikiran/akal), tetapi juga aspek relasional antara orang percaya
dengan Tuhan. Orang percaya sebagai subyek yang percaya dan Tuhan sebagai obyek
kepercayaannya. Jadi, iman yang sejati sangat bertalian erat dengan kualitas hubungan antara
orang percaya dan Tuhan yang dipercayai. Bila iman hanya dikaitkan dengan keyakinan akali
(persetujuan pikiran) walaupun ini sesuai pengertians ecara etimologis, namun belum
mencakup pengertian iman secara lengkap/utuh. Sebab kalau hanya percaya bahwa Tuhan itu
ada (Ibr.11:6), maka kepercayaan ini belum bisa dikategorikan iman yang benar. Sebab jika
hanya kepercayaan dibangun atau didasarkan atas persetujuan pikiran bahwa Tuhan itu ada,
maka setan-setan pun juga percaya akan hal itu (bahwa Tuhan itu ada, Yak.2:19). Jika kita
mempelajari dengan teliti, Ibrani pasal 11, dapat kita simpulkan bahwa iman pada hakikatnya
adalah tindakan penurutan terhadap kehendak Tuhan. Iman seseorang diukur dari kualitas
hubungannya dengan Tuhan sebagai obyek yang dipercayai. Dan kualitas hubungan dengan
Tuhan itu akan terlihat/terekspresi dari perilaku kehidupannya setiap hari. Ditegaskan oleh
penulis Ibrani (Ibr.11:6), bahwa iman kepada Tuhan tidak akan ada dalam diri manusia kalau
9
manusia tidak mengenal Tuhan. Untuk membangun relasinya dengan Tuhan, firman itulah
adalah satu-satunya media manusia mengenal Tuan. Pengenalan akan Tuhan diperoleh
melalui firman Tuhan secara kontinyu (Rm.10:17). Seiring dengan bertumbuhnya pengenalan
akan Tuhan dan mempraktekkan firman itu, bertumbuh pula kualitas ke-iman-annya (2
Ptr.3:18). Jadi, iman adalah sesuatu yang sifatnya progresif. Iman timbul dari pendengaran,
pendengaran oleh Firman Tuhan (Rm.10:17). Iman tidak timbul otomatis dengan sendirinya,
melainkan diusahakan oleh kita dari “mendengar” kebenaran firman Tuhan (Yoh.17:17).

PERTUMBUHAN IMAN TIDAK TERJADI SECARA OTOMATIS, TETAPI
PROSES BERTAHAP
Pertumbuhan iman tidak terjadi secara otomatis. Di dalam Ibrani 5:12 mengatakan
tentang orang-orang yang telah lama menjadi Kristen namun kenyataannya belum
dewasa,”...kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras” (Ibr 5:12). Firman Tuhan
mendorong mereka untuk “terus kepada perkembangan yang penuh” (Ibr 6:1). Tuhan tidak
dapat dipersalahkan karena kurangnya kedewasaan rohani orang Kristen. Setiap orang
Kristen sendiri harus memilih untuk mendisiplin diri guna memelihara kebiasaan doa,
merenungkan firman-Nya, bersekutu dengan saudara seiman lainnya dalam ibadah, dan
sebagainya. Mendisiplin diri dalam hal-hal rohani tergantung pada pilihan masing-masing
individu orang Kristen. Tuhan merindukan pertumbuhan iman kita. Tetapi kita pun juga
harus merindukannya setiap hari.
Bagaimana dengan Yesus? Perlu diketahui bahwa sebagai manusia, Yesus sendiri
juga harus melalui proses belajar dan bertumbuh. Lukas 2:41-52 mencatat ketika berusia
12 tahun, Yesus tertinggal di Bait Allah, mendengarkan dan bertanya kepada para alim
ulama. Yesus bukan mau menguji para alim ulama. Keadaan tanya jawab yang digambarkan
Lukas memang lazim terjadi saat itu. Itu membuktikan bahwa Yesus memang mau tahu.
Dari keempat Injil, hanya Lukas yang melaporkan selama Yesus disunat pada usia
tujuh hari dan diserahkan di Bait Allah pada usia empat puluh hari, dan masa remaja Yesus
usia dua belas tahun sampai Ia mulai mengajar pada usia tiga puluh tahun ditulis dengan dua
kalimat yaitu Lukas 2:40,”Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan
kasih karunia Allah ada pada-Nya (Τὸ δὲ παιδίον ηὔξανεν, καὶ ἐκραταιοῦτο πνεύματι,
πληρούμενον σοφίας· καὶ χάρις θεοῦ ἦν ἐπ᾽ αὐτό)”, dan Lukas 2:52,”Dan Yesus makin
bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah
dan manusia (Καὶ Ἰησοῦς προέκοπτεν σοφίᾳ καὶ ἡλικίᾳ, καὶ χάριτι παρὰ θεῷ καὶ
ἀνθρώποις).

Kedua kalimat di ayat 40 dan 52 menunjukkan apa yang terjadi dengan Yesus selama
sekian belas tahun dengan kata ηὔξανεν (nuxanen) dari (auksanoo) artinya
bertumbuh προέκοπτεν (proekopten) dari artinya proses maju, bertumbuh,
bertambah. Itulah yang terjadi pada Yesus. Ia bertumbuh secara alami baik hikmat dan usia
serta penilaian baik di depan Allah dan manusia. Dimana Yesus bertumbuh? Tidak lain
adalah di dalam keluarga-Nya (Luk.2:39,51).
Dari apa yang dipaparkan di atas, kita menemukan hukum kehidupan yang ditetapkan
oleh Tuhan yaitu “proses bertahap”. Perlu dikoreksi pelayanan pelepasan yang salah arah,
yang mencoba menciptakan karakter Kristus, pertumbuhan iman yaitu buah Roh (Gal.5:22-

10
23) secara mistik, ajaib dan instant. Mengusir kebiasaan atau karakter buruk dengan doa
pelepasan, misalnya “roh” malas, judi, zinah, mabuk, rokok, dsb adalah keliru. Untuk
mengusir kebiasaan buruk, yang dibutuhkan adalah proses bimbingan dan pengajaran
firman Tuhan secara terus menerus, bukan pelayanan pelepasan.
 Pengajaran mengenai anugerah yang keliru telah membuat banyak orang Kristen tidak
bertanggungjawab atas hidupnya (baca: pertumbuhan iman). Pengajaran yang keliru ini
disebabkan oleh ketidakmengertian terhadap apa yang dimaksud dengan iman itu. Seperti
sudah dijelaskan di atas, iman adalah tindakan (Ibr.11 dan Yak.2:26), bukan sekedar
persetujuan pikiran (intellectual evaluation believe).
Saya tegaskan kembali bahwa pertumbuhan iman terjadi secara proses bertahap dan itu
membutuhkan “perjuangan” kita untuk mencapainya (Ef.4:13). Tuhan Yesus,”Jawab Yesus
kepada orang-orang di situ: "Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu!”
(Luk.13:24). Kata “berjuanglah” di sini adalah Αγωνίζεσθε (agonizesthe) dari kata
 (agonizomai) artinya berjuang, bergumul, berusaha keras”. Dengan demikian,
bahwa pertumbuhan iman seseorang tergantung usaha atau perjuangan masing-masing
individu orang Kristen. Itu melalui proses bertahap melalui memahami firman Tuhan,
bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan, bersekutu dengan Tuhan, memikul salib dan
menyangkal diri serta melalui kejadian-kejadian hidup atau berbagai kesulitan lainnya yang
diijinkan Tuhan untuk mendewasakan imannya. Itu tidak terjadi dengan sendirinya,
melainkan dibutuhkan niat yang kuat untuk berjuang menumbuhkan imannya di dalam
Kristus.

KESIMPULAN (APLIKASI PRAKTIS): WAKTU BERTUMBUH SANGAT


TERBATAS
Pikirkanlah bahwa waktu kita di bumi tidak pernah sebanding dengan waktu di
kekekalan nanti. Hari ini maksudnya di bumi ini adalah satu-satunya kesempatan untuk
memilih dan menentukan nasib di kehidupan yang akan datang: hidup kekal (bersama Allah
selamanya) atau mati kekal (terpisah dari Allah selamanya). Tuhan sudah memperingatkan
kita bahwa waktu ini adalah genting dan usaha mencapai pertumbuhan iman sampai kepada
kesempurnaan di dalam Kristus adalah kebutuhan yang mendesak dan tidak boleh ditunda-
tunda lagi,”Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu; sesungguhnya, hari ini
adalah hari penyelamatan itu.” (2 Kor 6:2). “Hari ini” adalah waktu yang baik untuk
bertobat dan berbuah yang matang.
Waktu kita di bumi sangat singkat. Kita berkejaran dengan waktu. Berbagai ungkapan
Alkitab yang mengisahkan singkatnya hidup manusia. Hidup manusia ibarat mimpi, ibarat
giliran jaga, ibarat rumput yang tumbuh di pagi hari dan layu di petang hari (Mzm 90:4-9; 1
Ptr 1:24); ibarat uap yang ditiup angin (Yak 4:14). Manusia hidup dibatasi pada usia 70-80
tahun (Mzm 90:10) lalu hidup ini kembali pada Tuhan yang mengaruniakan (Pkh 12:7),
bersama dengan Tuhan dalam kekekalan, atau terpisah untuk selama-lamanya. Itulah
sebabnya Tuhan berfirman, gunakanlah kesempatan selagi ada waktu untuk berbuah,”Dan
pergunakanlah waktu yang ada...”(Ef 5:16).
Di sini ada dua kata penting, pertama: kata “pergunakanlah” dalam bahasa Yunaninya
adalah ἐξαγοραζόμενοι (ekzagorasomenoi) artinya mengambil manfaat, membeli, menebus,

11
menyelamatkan, dan kedua, kata “waktu” adalah καιρόν (kairon) sama dengan kairos yang
artinya suatu kesempatan. Kesempatan itu adalah anugerah yang tak ternilai bagi manusia.
Waktu menjadi anugerah bagi orang yang memanfaatkannya secara bijak untuk mengisi peta
kehidupan yang benar, dan sebaliknya waktu menjadi kutuk bagi orang yang mengisi hari-
hari hidupnya dengan tidak bijak dengan meremehkan nilai-nilai kekekalan. Jadi, orang yang
tidak menyadari tentang singkatnya hidup ini tidak akan pernah bisa menghargai
waktu sebagai anugerah Tuhan yang tiada ternilai. Mereka adalah orang-orang yang tidak
bijak (Mzm 90:12) alias bodoh (Ef 5:17)—tidak bertumbuh.
Pernahkah terlintas dalam pikiran kita, apakah dengan rentang waktu 70-80 tahun di
bumi kita bisa sukses menempuh peta perjalanan rohani kita menjadi serupa Kristus?
Menurut pemazmur, umur manusia rata-rata 70-80 tahun saja,”Masa hidup kami tujuh
puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah
kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap” (Mzm
90:10). Tentang singkatnya waktu ini seharusnya menggetarkan jiwa kita lalu mengambil
sikap positif yaitu menyelamatkan waktu yang masih ada. Inilah nilainya waktu.
Nasib seseorang di kekekalan tergantung bagaimana ia mengisi waktu-waktu
hidupnya. Setiap kesempatan harus dimanfaatkan sebab kesempatan yang hilang tidak akan
dapat dikembalikan lagi. Kesempatan ini terbatas dan sengaja dibatasi Tuhan agar manusia
bertanggungjawab penuh atas waktu sebagai anugerah-Nya. Ingat, ruang untuk bertobat dan
berbuah ada batasnya. Peringatan Tuhan Yesus di Lukas 13:6-9 demikian:
Lalu Yesus mengatakan perumpamaan ini: "Seorang mempunyai pohon ara yang
tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi
ia tidak menemukannya. Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu: Sudah
tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak
menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan
percuma! Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan
mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun
depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!"

Jangan menjadi Esau di akhir zaman,”Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia
hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk
memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata” (Ibr
12:17). Ratap tangis Esau tidak pernah bisa mengembalikan dan mengubah kesempatan yang
telah hilang. Kata “tidak beroleh kesempatan” ditulis μετανοίας γὰρ τόπον οὐχ εὗρεν
(metanoias gar topon euren) artinya tidak ada tempat untuk bertobat. Di dalam versi Alkitab
bahasa Inggris KJV, NAS dan NKJ diterjemahkan “no place for repentance” (tidak ada
tempat untuk tobat).
Oleh sebab itu, selagi anugerah bertobat itu masih tersedia di depan kita, jangan
mengabaikannya. Berjuanglah seolah-olah tidak ada lagi kesempatan untuk bertobat,
berubah dan berbuah. Hanya dengan cara itulah ekzagorasomenoi (menyelamatkan waktu)
Saudara memiliki kepastian kembali kepada Bapa membawa “buah” kehidupan (iman yang
bertumbuh) dan kepastian untuk memiliki rumah kekal di surga (Yoh 14:1-3). Kairos

12
(kesempatan) bertobat ditutup bila seseorang sudah mengeraskan hati sampai level tidak bisa
diubah seperti Esau karena telah menyia-nyiakan kairos Tuhan tersebut.
Menunda-nunda adalah kebiasaan yang dapat menghambat Saudara melakukan
sesuatu sekarang. Menunda-nunda untuk berubah merupakan langkah-langkah seseorang
mengeraskan hati,”...Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan
hatimu...”(Ibr 3:7-8). Ingat, tidak ada satupun yang dapat kita lakukan untuk mengubah
sesuatu yang telah berlalu. Betapa hebat hari kemarin itu telah berlalu. Dengan demikian,
betapa berharganya setiap hari yang Tuhan berikan, sebab setiap hari merupakan
kesempatan untuk menumbuhkan iman. Berkat yang tiada ternilai yang Tuhan berikan
setiap hari adalah membangun manusia batiniah yang serupa Kristus. Karena itu milikilah
hidup dengan motto: “lakukan sekarang”. Kita harus menyelamatkan setiap menit, jam dan
kesempatan yang ada sekarang, hari ini.
Waktu adalah anugerah yang tidak dapat dibeli dengan uang atau apapun. Sebab itu,
selagi masih dapat dikatakan “hari ini” marilah kita pergunakan waktu untuk memacu
pertumbuhan iman, sebab bila waktu berlalu, hilanglah kesempatan. Kehilangan kesempatan
(tidak mengalami pertumbuhan iman yang dikehendaki oleh Allah) untuk memperbaiki diri
dan bertumbuh dalam iman ke arah kedewasaan penuh berarti gagal mengikut Yesus—binasa.
Terakhir, mari bertobat, berubah dan berbuah, bertumbuh dalam iman hingga
mencapai kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan
Kristus (Ef. 4:13) selagi masih ada kesempatan!!! Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Duewel, Wesley L.1995. Keselamatan Yang Besar Dari Allah. Malang: PINTA.
Newman, Barclay M. 1997. Kamus Yunani-Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Erastus Sabdono. 2016. Kehendak Bebas Manusia. Jakarta: Rehobot Literature
Erastus Sabdono. 2016. Menolak Anugerah. Jakarta: Rehobot Literature
Kalis Stevanus. 2008. Jodoh di Tangan Tuhan, Mitos?. Yogyakarta: Randa’s Family Press.
Kalis Stevanus. 2013. Jadilah Laki-laki. Salatiga: Widya Sari Press.
Kalis Stevanus. 2014. Bagaimana Anda Mengetahui Sudah Selamat? Salatiga: Widya Sari
Press
Kalis Stevanus. 2014. Bahaya Kemunduran Rohani. Salatiga: Widya Sari Press.
Kalis Stevanus. 2015. Bible, Pray, Love. Yogyakarta: Andi.

BIODATA PENULIS
Kalis Stevanus adalah gembala sidang GJKI Gloria Ampel Boyolali. Selain itu, beliau adalah
sebagai Wakil Ketua 1 bidang akademis di STT Tawangmangu dan juga staf pengajar di
STTJKI Salatiga. Gelar Sarjana Teologi diperoleh dari STT Tawangmangu (2000) dan
Magister of Theology dari STT Biwara Wacana Yogyakarta (2007). Sebelumnya pernah
menempuh studi biblika program Magister of Theology di STT Gloria Jakarta (2003). Pernah
menjabat sebagai Pengelola LPK Ekklesia Salatiga (2008-2014). Menulis beberapa buku
diantaranya: 1) Penyesatan Terselubung Dalam Gereja Masa Kini (Randa’s Family:
Yogyakarta, 2007), 2) Jodoh Di Tangan Tuhan, Mitos? (Randa’s Family: Yogyakarta, 2010),
13
3) Cek-cok Tapi Sudah Cocok : Keluarga yang Dipulihkan Tuhan (Widya Sari Press:
Salatiga, 2012), 4) 2013. Jadilah Laki-laki: Panduan Kesembuhan Luka Batin (Widya Sari
Press: Salatiga, 2013), 5) Bahaya Kemunduran Rohani (Widya Sari Press: Salatiga, 2013), 6)
Cekcok Tapi Sudah Cocok: Menuju Keluarga yang Utuh dan Diberkati (Andi Offset:
Yogyakarta, 2014), 7) Soteriologi: Bagaimana Mengetahui Bahwa Anda Sudah Selamat
(Widya Sari Press: Salatiga, 2014), 8) Bible, Pray, Love: Buku Pintar Memilih Jodoh (Andi
Offset: Yogyakarta, 2015), 9) Apologetika (STT Tawangmangu, 2015), 10) Inner Healing
(Kanisius: Yogyakarta, 2016), 11) Menjadi Orangtua Bijak: Solusi Mendidik dan Melindungi
Anak Dari Pengaruh Buruk Pergaulan (Pustaka Nusatama: Yogyakarta, 2016).

14

Anda mungkin juga menyukai