Anda di halaman 1dari 7

Manusia Itu Punya Akal Budi

Saya percaya bahwa setiap manusia memiliki akal budi. Dengan bekal yang sangat berharga ini,
manusia mampu menentukan setiap langkah dalam kehidupannya: apakah akan maju, mundur
atau malah menyimpang? Akal budi yang baik akan mengarahkan manusia ke jalan yang lurus.
Mungkin pada suatu saat manusia akan mundur atau menyimpang salah jalan. Tetapi akal budi
inilah yang akan berupaya meluruskan kembali jalan hidup kita.

Akal budi ini adalah anugerah terbesar dari Tuhan untuk manusia. Inilah yang membedakan kita
dengan hewan atau bahkan dengan tumbuhan. Dengannya kita dapat mempelajari dan
mendalami keimanan. Dengan iman inilah manusia dengan akal budinya mampu mengenali
Tuhan.

Tetapi banyak orang yang tertipu karena keterbatasan akal budinya dan menganggap pikiran
manusia berseberangan dengan iman. Tetapi yang benar adalah iman itu sebagai penuntun akal
budi agar perjalanan hidup manusia tidak menyimpang alias salah jalan. Dan dengan akal budi
kita dapat memperdalam iman. Dengan iman, manusia mampu mengenal Tuhan dan berjalan
lurus menuju kepada-Nya.

Jadi mana yang harus dirunut terlebih dahulu? Akal budi atau iman? Semoga kita tidak terjebak
dengan polemik mana dulu antara telor dengan ayam, karena akal budi dan iman itu berjalan
beriringan dan saling melengkapi.

Misteri Kehendak Bebas


Manusia
Kehendak bebas manusia, kalau boleh dikatakan, inilah satu hal yang sering memusingkan dan
merisaukan hati Allah. Oleh satu hal inilah Allah sering digugat, dipertanyakan bahkan dihujat
oleh manusia ciptaan-Nya sendiri. Kehendak bebas ini membuat manusia bisa berpikir, bertindak,
bahkan bebas memilih dan menentukan hidupnya: beragama atau atheis, mengakui Allah atau
mengingkari Dia, memuji Allah atau menghujat Allah, memilih kehidupan atau maut. Sayangnya,
kehendak bebas ini tidak dipergunakan seperti yang dikehendaki Allah. Banyak orang yang
mewujudkan keluhuran kebebasan dengan cara yang keliru. Mereka mengartikannya sebagai
kesewenang-wenangan untuk berbuat apa pun sesuka hati, sehingga timbullah dosa dan
kejahatan. Dari dosa dan kejahatan muncullah maut dan pelbagai sengsara dan derita di dunia.
Dengan jelas kita melihat maraknya kejahatan dan penderitaan di dunia ini. Tampaknya kejahatan
dan penderitaan begitu akrab dengan kehidupan manusia. Holocaust zaman Hitler telah
merenggut sekitar enam juta orang Yahudi. Peperangan yang tak kunjung henti, pembantaian
etnis yang sadis beberapa tahun yang lalu di Rwanda, juga tak kalah sadisnya yang terjadi di
tanah air — Maluku, Sampit — telah merenggut maut entah berapa banyak orang tak berdosa.
Belum lagi praktek-praktek abortus yang marak di dunia, dipastikan telah mengeliminir lebih dari
seratus juta janin setiap tahunnya. Banyak orang, terutama yang sering secara langsung melihat
atau pun mengalami kejahatan dan penderitaan, bertanya-tanya — menggugat kebaikan dan
eksistensi Allah: “Mengapa ada begitu banyak kejahatan dan penderitaan di dunia ini? Mengapa
Allah diam saja, bukankah Dia merupakan Allah yang mahakasih dan mahakuasa? Di manakah
Allah?” Akibatnya banyak orang yang mulai meragukan agama, bahkan cukup banyak yang
meninggalkan Gereja dan menjadi atheis. Tak aneh, sekularisme dan atheisme praktis kini
menyerap ke pelbagai bidang kehidupan.
Mungkinkah segalanya akan menjadi lain seandainya sejak semula Allah tidak memberikan
anugerah kebebasan ini pada manusia? Memang ada benarnya bahwa pada kebebasan yang
dikaruniakan pada manusia inilah segala jerih payah Allah dalam menyelamatkan manusia
bermula. Sebab seandainya tidak ada kehendak bebas maka tidak akan ada kejahatan dan
sengsara di dunia ini sehingga Allah tidak perlu pusing-pusing merancang karya penyelamatan-
Nya. Maka wajarlah bila ada pendapat yang mengatakan bahwa seandainya Allah pernah
menyesal, Ia pasti menyesal karena telah memberikan kehendak bebas pada manusia.
Menyesalkah Allah? Untuk menjawabnya kita perlu melihat rencana Allah yang indah sejak
semula terhadap kita manusia.

Mengapa kehendak bebas diberikan


Dalam Katekismus Gereja Katolik, artikel 1730, kita bisa melihat martabat luhur manusia: “Allah
telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan telah memberi kepadanya
martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendaknya sendiri dan mengusai segala
perbuatannya." Atas dasar apakah Allah menyerahkan manusia pada keputusannya sendiri?
Akarnya adalah bahwa kita diciptakan secitra dengan diri-Nya. (Kej. 1:26-27) Kebebasan
merupakan konsekuensi logis dari keluhuran martabat manusia yang diciptakan segambar dengan
Allah.
Kita percaya bahwa Allah tidak lain adalah Roh, Yang berpribadi, Yang berakal budi, dan Yang
berkehendak bebas. Karena kita diciptakan segambar dengan Allah maka hakekat ini pun harus
terdapat pula dalam diri manusia. Ternyata Allah konsekuen dengan sabda-Nya yang mengatakan
bahwa kita diciptakan secitra dengan-Nya. Ia benar-benar menjadikan kita sebagai makhluk yang
berpribadi, mempunyai roh, berakal budi — bisa berpikir, dan mempunyai kehendak yang bebas.
Jadi karena kita ini citra Allah dan berbudi maka kita memiliki kehendak yang bebas, seperti
yang ditegaskan oleh seorang Bapa Gereja, St. Ireneus: “Manusia itu berakal budi dan karena ia
citra Allah, diciptakan dalam kebebasan, ia tuan atas tingkah lakunya.”

Keluhuran kehendak bebas


Bebas, inilah gambaran diri Allah. Karena diciptakan segambar dengan-Nya maka Dia mau
supaya kita juga menjadi seorang pribadi yang bebas—hidup dalam kebebasan dan kemerdekaan
anak-anak Allah. Sebab seandainya rasa kebebasan ini tidak ada, manusia hanya menjadi mesin
dan robot, bukan lagi makhluk yang berbudi dan berkehendak. Hanya dengan kebebasan kita bisa
berkembang mengarah kepada kebaikan dan kesempurnaan hidup. Tanpa kebebasan, bagaimana
manusia bisa dengan baik mengemban tugas luhurnya ketika diciptakan dahulu, bagaimana bisa
berkuasa atas “ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh
bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi (Kej. 1:26)”? Jadi kebebasan ini
diberikan Allah dengan maksud dan tujuan yang luhur:
Supaya manusia bisa menjadi rekan kerja Allah yang baik. Allah mau supaya manusia ikut
bertanggung jawab atas dunia di mana dia hidup, serta menguasai dan memelihara alam beserta
isinya. Kebebasan ini memungkinkan pula manusia menjadi kreatif seperti Allah, sehingga
manusia bisa menjadi rekan kerja Allah yang baik . Dengan demikian Allah bisa terus mencipta
melalui manusia.
Supaya manusia bisa mencintai Allah dan mencapai kebahagiaan sejati di surga. "Allah
bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya (Sirakh 15:14), supaya ia dengan rela
mencari Penciptanya dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas mencapai kesempurnaan
sepenuhnya yang membahagiakan." (Gaudium et Spes art. 17, Dok. Konsili Vatikan II)

Mengendalikan kebebasan
Nasib hidup kita di dunia ini dibangun oleh kehendak bebas kita sendiri. Kita ini ibarat pilot yang
sedang mengemudikan pesawat terbang. Kendali ada di tangan kita. Dengan kehendak yang
bebas kita bisa saja mengarahkan pesawat ke mana kita mau. Namun demikian kita perlu juga
hati-hati mengemudikannya, keselamatan ada di tangan kita. Satu hal tidak boleh kita lupakan,
biar bagaimana pun kita tetap memerlukan bantuan Menara Pengawas. agar kita bisa menuju arah
yang benar dan mendarat pada tujuan dengan tepat dan selamat. Menara Pengawas dengan
perlengkapan radarnya ini bisa dikatakan sebagai Roh Kudus dengan pelbagai karunia-Nya, yang
diberikan Allah untuk menyertai perjalanan hidup kita agar kita tidak tersesat dan jatuh. Maka
Allah pun berharap agar kita terus setia berkontak dengan Menara Pengawas ini. Bagaimana
caranya?
Roh Kudus hadir di dalam hati. Maka perlu sekali bagi kita untuk sering mengadakan
pemeriksaan batin. Seperti layaknya pilot yang berkontak dengan Menara Pengawas—tinggal
angkat dan tekan radio komunikasi lalu berbicara, begitu pula kalau kita berkontak dengan Roh
Kudus. Kita tinggal mengarahkan diri ke dalam batin kita yang terdalam untuk lalu
mengungkapkan isi hati kita, sebab di sanalah Dia bersemayam. Inilah doa: saat-saat di mana kita
berjumpa dengan Allah secara pribadi di dalam kemurnian hati nurani kita.
Di dalam hati nurani, kita bisa menemukan hukum sejati yang membantu kita untuk memakai
kebebasan dengan cara yang bijaksana: “Di dalam lubuk hati nuraninya manusia menemukan
hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu
menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk
menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya:
jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis
oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu… Hati nurani ialah inti manusia yang paling
rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema
dalam batinnya.”(Gaudium et Spes, 16) Jelaslah bahwa kehendak bebas kita perlu bekerjasama
dengan hati nurani. Kita perlu sering berkontak dengan Allah dalam doa. Inilah jaminan supaya
kita bisa mendarat tepat pada tujuan tanah air surgawi — kesempurnaan sepenuhnya yang
membahagiakan. Hidup doa yang sejati dan hati nurani yang murni dapat dipupuk lewat
seringnya kita menerima Sakramen Ekaristi dan Pengampunan Dosa. Juga baiklah kita hayati
nasihat St. Ignatius Loyola: "Berusahalah seolah-olah semuanya tergantung padamu, dan
berdoalah seolah-olah semuanya tergantung pada Allah."
Selain itu, sebelum mengemudikan pesawat terlebih dahulu kita perlu belajar hal ikhwal
penerbangan, dari instrumen-instrumen cockpit sampai navigasi. Kita perlu mengetahui bahaya-
bahaya, peta-peta, dan mengenal sinyal-sinyal. Allah juga sesungguhnya telah memberikan sinyal
dan peta kehidupan untuk kita pelajari dan taati. “Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik
engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi Tuhan, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan
berpaut pada-Nya, sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang
dijanjikan Tuhan.” (Ul. 30:19-20) Inilah contoh kehendak Allah. Sinyal dan peta itu tidak lain
adalah kehendak-Nya yang terdapat dalam Kitab Suci dan ajaran-ajaran Gereja. Pendalaman ini
bisa kita pupuk lewat rutin dan teraturnya kita melakukan Lectio Divina (metode doa dengan
Kitab Suci), dengan harapan supaya kita pada akhirnya bisa menyelaraskan kehendak kita dengan
kehendak Allah.

Allah dihambat oleh kebebasan manusia?


Kadangkala keraguan mendatangi kita apakah Allah sungguh mahakuasa dan mahakasih:
Mengapa Allah diam saja terhadap semua kejahatan dan kesengsaraan di dunia ini? Dalam arti
tertentu, kemahakuasaan Allah dibatasi dan dihambat oleh kehendak bebas manusia. Tampaknya
Allah terikat pada kehendak bebas kita. Bayangkan, Dia yang adalah Sang Pencipta mau tunduk
kepada ciptaan, mau dibatasi oleh kehendak bebas sang ciptaan! Bukankah ini luar biasa? Karena
kasih-Nya, Allah tidak bisa memaksakan begitu saja kehendak-Nya pada kita. Jadi seolah-olah
Dia tidak lagi mahakuasa. Konsekuensinya, Dia lebih condong untuk mengundang, mendorong,
mengilhami — bukan merasuki. Kini masalahnya terletak pada kerjasama manusia, yaitu
kerelaannya untuk mengikuti dorongan dan ilham-Nya.
Paus Yohanes Paulus II menegaskan perlunya kerjasama ini: “Pada akhirnya hanya Allah yang
dapat menyelamatkan manusia, tetapi Ia mengharapkan manusia bekerja sama. Kenyataan bahwa
manusia dapat bekerja sama dengan Allah menentukan kebesarannya yang sejati. Kebenaran yang
dengan itu manusia dipanggil untuk bekerja sama dengan Allah dalam segala hal, dengan
pandangan ke arah tujuan akhir hidupnya — keselamatan dan pengilahiannya — menemukan
ungkapannya dalam tradisi Timur dalam ajaran synergisme. Bersama Allah, manusia
“menciptakan” dunia; bersama Allah manusia menciptakan keselamatan pribadinya. Pengilahian
manusia datang dari Allah. Tetapi dalam hal ini juga manusia harus bekerja sama dengan Allah.”
(Melintasi Ambang Pintu Harapan)
Lalu apa buktinya bahwa Dia sungguh mahakasih? Penjelmaan, sengsara—wafat—kebangkitan-
Nya, inilah buktinya. Demi membuktikan bahwa Dia tidak mentolerir kejahatan, dengan sukarela
Dia mau menjadi korban kejahatan lewat hukuman salib. Demi menguatkan orang yang
menderita, Dia sendiri sampai mau mengalami penderitaan salib yang luar biasa. Jelaslah bahwa
Allah tidak diam saja. “Kekuatan Salib dan Kebangkitan Kristus lebih besar daripada semua
kejahatan yang dapat atau akan ditakuti manusia.” (Paus Yohanes Paulus II, Melintasi Ambang
Pintu Harapan)
Tidak disangkal bahwa bisa jadi Allah memang membiarkan kejahatan dan penderitaan menimpa
kita. Akan tetapi, ini bukan berarti Dia yang menyebabkannya. Membiarkan tidak sama dengan
menyebabkan. Allah kadang membiarkan hal itu terjadi demi tujuan yang lebih luhur, yang
biasanya tersembunyi dan tidak bisa kita lihat sekarang. Bukankah Dia turut bekerja dalam segala
sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi yang dikasihi-Nya? (Rm. 8:29) Bukankah
penderitaan zaman ini tidak ada bandingnya dengan kemuliaan yang akan dikaruniakan kelak di
surga? (Rm. 8:18) Penderitaan itu mempunyai suatu nilai tersembunyi yang luhur, yaitu bersifat
penebusan. Penderitaan semacam ini bisa mengurangi atau meredam kejahatan dan dosa, asalkan
dijalani dalam kerelaan, iman, dan kasih. Semuanya ini terpenuhi dalam diri orang yang
menanggung penderitaannya sebagai silih dan kurban. Bayangkan apa jadinya dunia ini bila tidak
ada orang yang berkurban demikian?

Perlunya ketaatan
Yesus memanggil kita untuk mempersembahkan kehendak kita kepada Allah. Ketaatan-Nya pada
kehendak Bapa, itulah buktinya. Bagi Yesus kehendak Bapa adalah segala-galanya. “Makanan-
Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.”
(Yoh. 4:34) Untuk itu Dia tidak tanggung-tanggung melakukannya, dengan radikal Ia sendiri
telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan
manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati — bahkan sampai mati di kayu
salib. (Flp. 2:7-8)
Ketaatan merupakan nasihat Injili, suatu kebajikan yang membuat kita dapat menundukkan,
mengembalikan, mengorbankan dan mempersembahkan kehendak bebas kita kepada Allah. Maka
bagi orang Kristen, ketaatan merupakan hal yang essensial, lebih-lebih kaum religius yang
menghayatinya lewat kaul ketaatan. Apa pun profesi atau panggilan hidup kita, ketaatan tetap
perlu dihayati dengan radikal. Kebajikan ini berkaitan langsung dengan kehendak kita. Kebajikan
ini mengundang kita untuk menundukkan kehendak bebas dan mengembalikannya kepada Allah.
Seandainya saja manusia bisa taat, ada begitu banyak dosa dan kejahatan yang bisa dihindarkan.
Dosa Adam dan Hawa pun terjadi oleh karena pelanggaran ketaatan. Dan oleh ketaatan Kristus
pula kita ditebus dan memperoleh kembali kemerdekaan sebagai anak-anak Allah.
Taat kepada Tuhan banyak wujudnya. Anak-anak taat kepada orangtua, pelajar kepada guru,
warga negara kepada hukum dan pemerintah, umat kepada Gereja, para imam, biarawan-
biarawati kepada uskup dan pembesarnya. Menundukkan kehendak bebas kita dalam ketaatan,
sungguh suatu perbuatan yang suci dan luhur. Perbuatan ini amat berkenan kepada Allah,
khususnya bila kita melakukannya dengan iman dan cinta demi Allah. Orangtua, guru, hukum,
uskup dan pembesar, mereka semua merupakan wakil Allah di dunia yang kepadanya kita dapat
menundukkan kehendak bebas kita: “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku.” (Mat.
10:40) Ketaatan membuahkan kesucian dan kedamaian, baik di dunia maupun di hati bagi siapa
saja yang menghayatinya. Terpujilah Kristus yang telah taat sampai mati demi mewujudkan
kebebasan sejati bagi manusia!

RAHASIA DI BALIK MISTERI KEHIDUPAN: Datang dan Pergi

Apa itu datang?


Apa itu pergi?
Manusia datang ke bumi tanpa pernah disadari,
dan manusia akan pergi menghadap ilahi juga tanpa pernah disadari.

KabarIndonesia - Kehidupan menyimpan begitu banyak misteri, sama banyaknya dengan teka-
teki di balik kematian. Memang begitulah, karena kehidupan dan kematian merupakan rahasia
yang abadi, maka pemahaman dan pembahasan tentang keduanya bagaikan berlayar mengarungi
samudera yang luas tiada bertepi.

Datang dan pergi hanyalah sedikit diantara ribuan, bahkan jutaan, fenomena yang datang silih
berganti mewarnai kehidupan yang memang penuh misteri. Sebagaimana fenomena alam, seperti
siang dan malam, keduanya terus menerus hadir dan berlalu dalam dunia kita, dalam kehidupan
kita, terjadi dalam waktu yang relatif singkat, dan tidaklah mungkin kita kendalikan atau kita atur.
Keduanya terjadi begitu alami, dan biasanya, tanpa kita sadari.

Ada beberapa prinsip, fenomena, atau “hukum” tentang datang dan pergi yang tampaknya perlu
diketahui, agar cakrawala pengetahuan kita tentang rahasia kehidupan sedikit terbuka, sehingga
kita menjadi lebih arif dan bijaksana dalam menghadapi berbagai problematika hidup dan
kehidupan ini.

Pertama, semua yang datang pasti akan pergi dan semua yang pergi belumlah tentu akan datang
(kembali). Ini sering, bahkan berkali-kali, terjadi dan kita alami. Kaum kerabat, saudara,
keluarga, tetangga, atau kekasih kita tentu pernah datang mengunjungi kita untuk sesaat, lalu
mereka akan pergi. Ketentuanini juga berlaku pada harta benda atau kepemilikan lainnya, dengan
sedikit perbedaan. Bila harta itu semakin cepat datang, biasanya akan cepat pula pergi. Pepatah
mengatakan easy come easy go.

Kita boleh dan bebas mencintai, memiliki, atau menguasai apapun, siapapun, kapanpun, dan
dimanapun, namun kita haruslah ingat bahwa kita harus siap berpisah dengan yang pernah kita
cintai, kita miliki, atau kita kuasai.

Kedua, tidaklah semua yang datang dan pergi kita sadari, ada sesuatu yang datang dan pergi
secara alami, bahkan sebelum kita ada. Itulah waktu. Ia datang tak pernah diundang dan pergi
tanpa pernah permisi.

Sahabatku, Satu hal yang mengherankan, kita lebih sering merasa “masih ada waktu” atau “masih
ada (hari) esok” daripada merasa “kehilangan, kekurangan, atau kehabisan waktu”. Perlulah
disadari bahwa waktu (hidup) kita amat terbatas dan sangat singkat. Oleh karenanya, nyata sekali
bahwa hidup ini terlalu singkat untuk saling membenci dan berbuat dosa/maksiat. Bukankah
saling bermaafan lebih indah daripada saling bermusuhan atau menyimpan dendam? Bukankah
berbuat kebaikan lebih mudah dan indah daripada berbuat kejahatan?

Ketiga, ada sesuatu yang tak pernah datang dan tak pernah pula pergi, namun kita sadar bahwa
sesuatu itu ada, hadir, dan selalu menyertai kehidupan kita. Itulah ruang. Ia melingkupi
kehidupan, juga mewadahi kematian. Kita menjalani kehidupan dalam ruang yang bernama “alam
dunia”, lalu kita akan melalui kematian dalam ruang yang bernama “alam barzakh”, atau “alam
kubur”, dan akhirnya kita dibangkitkan dalam ruang yang bernama “alam akhirat”.

Sahabatku, singkatnya, kita datang untuk pergi dan kita pergi untuk datang kembali. Kita datang
ke alam dunia dan akan pergi ke alam kubur. Kita datang ke alam kubur untuk kemudian pergi ke
alam akhirat. Kita pergi ke alam akhirat untuk datang kembali ke pangkuan ilahi.

Keempat, ada sesuatu yang amat kita harapkan untuk datang dan kita tidak pernah
mengharapkannya pergi. Itulah kekasih. Ia adalah seseorang yang amat kita nantikan
kedatangannya, sangat kita rindukan kehadirannya. Bukan hanya untuk selalu ada dan hadir,
melainkan juga untuk selalu bersama-sama kita melewati dan menjalani kehidupan ini. Kekasih
hanyalah sesuatu atau seseorang yang kita (amat) cintai. Bentuk dan wujud “sang Kekasih” bisa
bermacam-macam. Kekasih bisa berupa wanita, harta/materi, tahta (kedudukan dan pangkat),
anak, rumah, perhiasan, dll.

Sahabatku, perlulah disadari, hukum cinta sejati menyatakan bahwa “kita boleh memiliki namun
kita tidak boleh dimiliki”. Ini berarti bahwa kita hanya boleh memiliki yang kita cintai sebatas
hak kepemilikan, hak pakai, hak guna, bukan hak untuk menjadikannya bagian dari diri atau
(ke)hidup(an) kita sehingga kita juga dimiliki oleh yang kita cintai. Dengan kata lain, kita boleh
memiliki dunia, namun kita tak boleh dimiliki dunia, karena kita telah dimiliki oleh sang Pemilik
dunia, Allah swt.

Sahabatku, yang terkadang kita lupakan adalah hukum cinta suci-sejati tertinggi:
1. Cinta sejati berarti mencintai Allah swt dan makhlukNya yang Dia perintahkan agar kita cintai.
Sebab cinta “diri” adalah kunci untuk mencapai cinta Ilahi. (“Diri” dapatlah dipahami sebagai
manusia dan semesta, sebab sejatinya, manusia dan semesta itu adalah satu dan tak terpisahkan.)
2. Mencintai tidaklah berarti memiliki.
Karena memiliki berarti mengikat, sedangkan cinta suci-sejati bersifat membebaskan,
melepaskan, dan memerdekakan, bukan mengikat.

Kelima, ada sesuatu yang datangnya kita benci dan perginya kita syukuri. Itulah musuh atau
lawan. Ia merupakan seseorang yang amat kita benci sehingga kita berharap agar ia tidak pernah
datang, atau bila datang kita berharap agar ia secepatnya pergi. Kita bersyukur dan bisa merasa
lega bila musuh atau lawan telah pergi, atau tidak (pernah) ada dalam kehidupan kita.

Namun sahabatku, janganlah kita terlalu (berlebihan) dalam membenci sesuatu atau seseorang,
sebab kebencian itu menyiksa hati dan menyakiti diri. Boleh jadi dia yang kita benci telah pergi,
namun bayangan atau kenangan tentangnya selalu datang atau ada dalam kehidupan atau minimal
menghantui mimpi kita. Bila sudah begini, maka diri sendirilah yang akan merugi.

Keenam, ada sesuatu yang datang secara alami dan sekali ia datang, takkan pernah pergi. Itulah
cinta. Ada saat dimana seseorang merasa kosong, hampa, sunyi, sepi, sendiri. Perasaan akan
kekosongan atau kehampaan itu menjadi bukti bahwa ada segi kehidupannya yang belum
lengkap, ada sisi jiwanya yang belum (sepenuhnya) terisi.

Kekosongan akan melahirkan kerinduan, dan benih kerinduanlah yang akan tumbuh menjadi
cinta. Sebab kerinduan adalah hasrat atau keinginan untuk selalu bersama-sama dengan yang
dianggap lebih dari dirinya. Karena manusia itu sebenarnya adalah separuh jiwa dan saat ia
menemukan cintanya, maka sempurnalah jiwanya.

Sahabatku, untuk sekadar diketahui bahwa sekali cinta datang, ia tak mungkin pergi. Sebab cinta
meliputi ruang dan waktu, sedangkan semesta raya dan kehidupan dilingkupi oleh ruang dan
waktu, sehingga tidak ada yang bisa lepas dari cinta. Karena untuk melepaskan diri dari cinta,
manusia harus berada di luar ruang dan waktu, dan … hal itu berarti kematian!

Cinta dan kehidupan adalah sahabat karib yang tak terpisahkan, sehingga dapatlah dikatakan,
“Dimana ada cinta, disitu ada kehidupan.” Bila seseorang telah dipenuhi oleh cinta, maka jiwanya
dan dirinya akan hidup dan ia bisa melimpahkan cintanya untuk memberi “nafas kehidupan”
kepada makhluk, terutama manusia.

Ketujuh, ada sesuatu yang datang dan pergi secara cepat, tidak terduga, tidak terbayangkan
sebelumnya, dan tidak pernah diharapkan. Itulah maut, pembawa kematian. Ia menyebabkan
semua yang hidup menjadi mati, memisahkan manusia dari yang di/mencintainya, membawa
duka, memutuskan segala asa dan cita, menghilangkan bahagia, sukacita, dan segala rasa. Bagi
sebagian manusia yang telah tercerahkan sepenuhnya, kematian hanyalah jalan penyatuan dengan
Kekasih, kematian merupakan jembatan yang mengantarkan ke singgasana kemuliaan, kematian
adalah gerbang menuju keabadian, kematian adalah kehidupan yang sejati atau hakiki. Yang
pasti, dihadapan maut, semua manusia akan terlihat sama.

Sahabatku, perlulah diingat, bahwa ketika hidup semua orang pada hakikatnya sedang tidur dan
mereka akan bangun ketika mati.

Ada satu pesan menarik untuk direnungkan: matilah sebelum mati. Ini berarti bahwa diharapkan
kita menarik diri dari dunia materi menuju tempat abadi (akhirat) dan telah siap mati sebelum tiba
waktunya. Karena orang yang paling cerdas diantara kamu sekalian adalah yang paling siap
menghadapi kematian, sabda Rasul saw.

Kedelapan, ada sesuatu yang datang secara terus menerus, tidak pernah pergi atau tidak pernah
datang sama sekali pada suatu episode dalam kehidupan ini. Itulah misteri atau rahasia yang
mencakup: (perubahan) nasib, keberuntungan, kesuksesan, kemalangan, suka, duka, dan mimpi.

Hal-hal inilah yang terkadang atau bahkan selalu mewarnai kehidupan kita. Bencana yang
beruntun atau keberuntungan yang terus menerus hanyalah sebagian kecil dari misteri atau
rahasia itu. Selebihnya, banyak peristiwa atau kejadian tak terduga yang terkadang
“mengharuskan” kita untuk mencari hikmah di balik segala sesuatu. Yang pasti, tidak ada
sesuatupun yang terjadi yang tidak mengandung hikmah atau pelajaran. Semuanya mengandung
hikmah yang pada akhirnya menjadikan kita lebih matang dan lebih dewasa dalam berpikir,
bersikap, dan bertindak atau berperilaku.

Kesembilan, ada sesuatu yang tidak bisa dikatakan (pernah) datang atau pergi, namun sesuatu ini
mutlak ada, selalu dan selamanya ada, tidak pernah tiada, bahkan sebelum semuanya ada. Dialah
Allah, sang Diri Sejati. Datang dan pergi adalah perbuatan yang diperuntukkan hanya untuk
makhluk. Bagaimana mungkin Allah bersifat sama dengan makhluk? Bukankah Dialah yang
menjadikan makna, menakdirkan segala sesuatu menjadi datang, menetapkannya pergi, dan juga
menentukan semua itu menjadi ada dan atau tiada?

Maha Suci Allah! Dia mencintai manusia yang datang menghadapNya, dan Dia tidak membenci
mereka yang pergi dariNya. Semua diberi dan dirahmatiNya. Alhamdulillah … .

Datang dan pergi telah sedikit diuraikan, namun penulis yakin masih banyak rahasia yang belum
tergali di balik misteri kehidupan ini.

Sahabatku, untuk memahami kehidupan dan kematian memang hanya ada satu kunci: terus
mencari! Seperti halnya untuk memahami jatidiri, manusia “wajib” mencari dalam dirinya,
menemukan jawabannya di dalam hati, dan akhirnya mengikuti nurani yang telah suci. Demikian
pula untuk memahami “datang dan pergi” memang diperlukan upaya, usaha, ikhtiar, doa yang
sungguh-sungguh, tulus, dan istiqomah. Sehingga suatu saat misteri ini akan terkuak. Ingatlah
sahabatku, siapa yang mencari (dengan sungguh-sungguh) maka dia akan mendapatkan.

Sahabatku, untuk diketahui pula, yang terpenting adalah bukan bagaimana kita datang atau
bagaimana kita pergi, melainkan apa yang kita wariskan setelah kita pergi, atau bagaimana
peradaban ini menjadi jauh lebih maju dan beradab karena kita.

Akhir kata, sudah sepantasnyalah setelah membaca dan merenungkan uraian di atas, kini kita
dapat lebih memahami “apa itu datang” dan “apa itu pergi”. Semoga pemahaman ini dapat
mengantarkan kita kepada ridho Ilahi. Insya Allah.
Daftar pustaka
Posted on Desember 27, 2007 by Emanuel Setio Dewo

Posted on Februari 28th, 2009 at 5:56 pm by wul4n and

Anda mungkin juga menyukai