Anda di halaman 1dari 12

Tugas Sajian Seminar Pengajaran

Nama : Frando Hermanto Hutauruk


NPM : 06. 2208
Dosen : Pdt. Dr. Ir. F. Sihombing
Pdt. DR. D. Lumbantobing
Pembanding : Freddy A. Limbong

Teodise
Mangndung; Tangis

I. Pendahuluan
Manusia sering sekali merasa bahwa dia diperlakukan tidak seperti apa yang dia
harapkan, dan sering juga merasa apa yang diperolehnya tidak sesuai dengan perbuatan
yang telah dijalankannya selama ini. Konsep nilai yang banyak dianut manusia adalah
bahwa perbuatan akan membawa hasil sesuai dengan sifat perbuatan itu sendiri:
perbuatan baik akan mendapatkan upah yang baik dan perbuatan jahat akan
mendatangkan hukuman.
Orang-orang percaya meyakini bahwa TUHAN, Allah Israel lah yang telah
menciptakan semua alam semesta ini dan yang mencukupkan semua kebutuhannya serta
memeliharanya. Sekaligus seluruh kehidupan kita, dipercayakan kepada Dia sebab
TUHAN lah yang paling tahu yang terbaik bagi manusia. Namun ketika manusia harus
menerima sesuatu di luar konsep nilai yang dianut, kita mulai mempertanyakan:
“apakah benar Dia yang paling berkuasa dan paling Baik? Jika kematian ribuan orang di
Sumatera Barat merupakan jalan terbaik bagi manusia, yang sengaja dirancang
TUHAN, bukankah itu berarti bahwa TUHAN itu jahat dan tidak berkuasa untuk
memilih jalan yang lebih baik? Mengapa TUHAN membiarkan orang yang tidak
berdosa mati sedangkan pendosa besar masih menyombongkan keberdosaannya?”
Dalam pertanyaan yang seperti ini orang-orang yang percaya kepada-Nya
bersikap seolah-olah tidak mengenal TUHAN, Allah Israel yang telah memperkenalkan
dan menyatakan diri-Nya kepada manusia itu. Bukankah TUHAN adalah yang
menciptakan dan memelihara? Bukankah TUHAN adalah awal dan akhir? Lalu

1
mengapa manusia mempertanyakan kesempurnaan TUHAN ini? Pembahasan sajian ini
akan memuat bagaimana teologi menanggapi pernyataan dan kenyataan yang dijelaskan
sebelumnya.

II. Etimologi
Istilah Teodise pertama sekali digunakan oleh filsuf Jerman yang bernama
Gotfried W. Leibenz. Ia menggunakan ‘teodise’ secara positif dengan asumsi bahwa
keadilan dan kebenaran Allah adalah hal yang penting bagi dunia, dan bahwa Allah
yang maha baik tidak akan membawa dunia dan segala isinya pada keburukan atau
penderitaan. Defenisi ini sekaligus merupakan usaha Leibenz untuk menjawab
anggapan Marcionistic, yang memandang dunia ini diciptakan oleh Allah yang kurang
baik.1
Bahasa Inggris menyebut teodise dengan ‘theodicy’2 yang berasal dari bahasa
Yunani yakni Theos yang berarti Allah dan dike yang berarti hukuman dan atau
keadilan ilahi. Oleh karena itu ada beberapa defenisi teodise:
 Teodise adalah pembenaran Allah yang dilakukan oleh manusia secara
khusus dalam usaha untuk membenarkan tindakan-tindakan Allah.
 Uraian tentang terjadinya alam semesta yang bermaksud membenarkan
tindakan-tindakan Allah.
 Teodise berarti usaha untuk mempertahankan nama Baik Allah
khususnya dalam keadilan-Nya, hikmat-Nya, kebaikan-Nya, serta kasih-Nya.
Pokok yang menentukan dalam masalah teodise ini terletak pada keadaan
moralitas yang tidak seimbang di satu pihak dan pengalaman keberuntungan
atau ketidakberuntungan.3
 Istilah teodise digunakan untuk menyebutkan suatu pandangan filsafat
atau teologi yang mengajarkan bahwa Tuhan itu Mahabenar dan Mahabaik, dan
bahwa perbuatan-perbuatan-Nya adalah adil dan benar.4

1
Marthinus T. Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual, (Jakarta: BPK GM, 2008), 233
2
Henk ten Napol, Kamus Teologi, (Jakarta: BPK GM, 2006), 309
3
Binsar Nainggolan, “Budaya Indonesia dan Teologi Bencana” dalam Thomson Sinaga (ed.),
Mewujudkan Komunitas Damai untuk Semua-Buku Pengucapan Syukur Jubelium 50 Tahun CCA,
(Sumatera Utara: Rony Printing House, 2007 ), 131
4
Mawene, Op.Cit., 232

2
 Lorens Bagus5 merumuskan pengertian teodise sebagai berikut: 1) Ilmu
yang berupaya membenarkan cara-cara (jalan-jalan) Allah bagi manusia. 2)
Usaha untuk mempertahankan kebaikan dan keadilan Allah dalam menakdirkan
atau membiarkan kejahatan moral dan alamiah maupun penderitaan manusia. 3)
Usaha untuk mempertahankan keyakinan bahwa dunia inilah yang terbaik dari
semua kemungkinan.
Dengan demikian, teodise merupakan usaha yang dilakukan oleh orang-orang
yang telah percaya melalui teologi dan filsafat, yang bertujuan untuk mengekspresikan
sifat Allah yang Mahabaik kepada seluruh manusia dan bahwa segala sesuatu yang
dilakukan Allah adalah tindakan yang adil dan baik menurut maksud Allah, baik dalam
suka atau pun penderitaan.

III. Pembahasan
3. 1. Kesempurnaan Allah6
Setiap kesempurnaan Allah menguraikan keseluruhan keberadaan-Nya. Namun
berbagai kesempurnaan ini bukanlah bagian-bagian komponen dari Allah. Misalnya
Kasih, bukanlah sebagian dari sifat Allah melainkan Allah dalam keseluruhan-Nya
adalah kasih. Walaupun Allah mungkin menunjukkan satu sifat pada waktu tertentu,
tidak ada sifat yang berdiri sendiri ataupun mengatasi yang lain. Apabila Allah
menunjukkan murka-Nya, Allah tetap kasih. Ketika Ia menunjukkan kasih-Nya, Ia tidak
melepaskan kekudusan-Nya.
Kesempurnaan Allah diberitahukan kepada kita melalui penyataan. Manusia
tidak memberi sifat-sifat itu kepada Allah; Allah menyatakannya kepada manusia.
Tentu saja manusia dapat mengutarakan sifat-sifat Allah, tetapi ini tidak dapat dianggap
benar kecuali Allah sendiri yang menyatakannya.
Kategori kesempurnaan Allah antara lain:
 Kekekalan
Kekekalan Allah berarti bahwa Allah selalu ada dan tidak pernah berakhir.
Keberadaan Allah tidak berawal-akhir, baik di masa lalu maupun di masa depan.
Kekekalan dan keberadaan Allah adalah konsep yang saling berhubungan. Jika Allah

5
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: BPK GM, 2002), 1089
6
Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 1-Panduan Populer untuk Memahami Kebenaran Alkitab,
(Yogyakarta: Andi Offset, 1991), 47-59

3
ada tanpa permulaan dan tanpa akhir, maka Ia tidak pernah menjadi ada dan tidak
pernah disebabkan untuk menjadi ada. Kekekalan Allah ialah keyakinan bahwa Allah
tidak pernah dan tidak akan pernah berhenti ada. Oleh karena itu kuasa-Nya yang terus-
menerus mengatur segala sesuatu dan segala peristiwa juga kekal dan terjamin.
“Kesempurnaan Allah di mana Ia ditinggikan di atas segala batas-batas sementara dan
segala rangkaian waktu, dan memiliki seluruh keberadaan-Nya di dalam satu saat
sekarang dan tidak dapat dibagi-bagi.”7

 Kebebasan
Kebebasan Allah berarti bahwa Ia tidak dari atau pada mahluk-mahluk dan
ciptaan-Nya. Karena bebas, maka Allah tidak berkewajiban apa-apa kepada kita kecuali
Ia memilih untuk berkewajiban. TUHAN tidak harus melakukan apapun kepada kita
kecuali Ia memilih untuk melakukannya. Akibatnya, kita tidak dapat menuntut Dia.

 Tetap
Allah tidak dapat berubah dan karena itu tidak berubah. Ketidak-berubahan
Allah memberikan penghiburan dan jaminan bahwa janji-janji-Nya tidak akan gagal.
Ketidak-berubahan mengingatkan kita bahwa sikap Allah terhadap dosa, misalnya, tidak
berubah. Oleh karena itu, Allah tidak dapat dibujuk atau dikompromikan untuk berubah.

 Tak Terbatas
Allah tidak terikat atau terbatas. Ia tidak mungkin dibatasi opleh alam semesta
atau ruang dan waktu. Tetapi itu bukan berarti bahwa Ia terpencar-pencar.

 Kesucian/Kekudusan
Untuk kategori kesucian yang berkenaan dengan Allah, kesucian tidak hanya
berarti bahwa Ia terpisah dari segala sesuatu yang najis dan jahat, tetapi juga bahwa Ia
dengan sangat nyata bersih dan karena itu Ia berbeda dari segala sesuatu. Kesucian
Allah menadi standart kehidupan dan kelakuan orang percaya. 8Kekudusan Allah
menunjukkan kesempurnaan segala sesuatu di dalam diri Allah. Artinya kekudusan itu
dipandang sebagai keselarasan kekal dari diri Allah dan kehendak-Nya.
7
L. Berkhof. Systematic Theology, (Grand Rapids: Eerdmans, 1978), 60
8
Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang: Gandum Mas, 2008), 127

4
 Kasih
Kasih di dalam Allah meminta kebaikan dan kemuliaan tertinggi dari
kesempurnaan-Nya. Alkitab secara langsung menyatakan bahwa Allah adalah kasih (1
Yoh. 4:8). Allah yang adalah kasih adanya mengizinkan diri-Nya mengasihi orang
berdosa. Itulah anugerah. Anugerah adalah kebaikan Allah yang tidak pantas kita terima
yang dinyatakan kepada manusia terutama di dalam pribadi Yesus Kristus. Semua
konsep ini berasal dari kasih Allah yang adalah kasih.

 Mahakuasa
Mahakuasa berarti bahwa Allah kuat dalam segalanya dan sanggup melakukan
apa saja sesuai dengan sifat-Nya sendiri. Namun bukan berarti bahwa TUHAN tidak
memberitahukan kehendak-Nya dan tindakan-Nya kepada manusia. Allah menyatakan
diri-Nya sebagai yang Mahakuasa kepada Abraham, kepada Musa, kepada orang-orang
percaya, dan kepada Yohanes di dalam Kitab Wahyu.
Batasan kekuasaan ini ditentukan oleh Allah sendiri, yakni hal-hal yang tidak
dapat dilakukan-Nya karena bertentangan dengan sifat-Nya, seperti Allah tidak dapat
berdusta; Allah tidak dapat mengingkari janji-Nya, dan hal-hal yang tidak dipilih Allah
untuk dimasukkan dalam rencana-Nya: Allah tidak memilih untuk tidak mengorbankan
Anak-Nya, Ia tidak memilih semua Bangsa untuk menjadi umat pilihan-Nya. Meskipun
TUHAN dapat melakukan semuanya ini dengan kemahakuasaan-Nya, Dia tidak
memilih untuk melakukannya di dalam rencana-Nya.
Pertanyaan seperti “Dapatkah Allah membuat 2+2=6”, bukan berarti bahwa
kekuasaan Allah terbatas. Pertanyaan ini sama saja dengan mempertanyakan apakah
ledakan nuklir dapat membuat 2+2=6; ini adalah masalah ilmu hitung, bukan persoalan
kemahakuasaan.
Pada zaman dahulu, kuasa Allah tampak dalam penciptaan, penopangan atas
segala sesuatu, pembebasan Israel dari perbudakan Mesir, dll. Bagi orang-orang
percaya, kuasa Allah berhubungan dengan Injil, dengan keselamatannya, dengan
pengharapannya akan kebangkitan tubuh, dan dengan kehidupan sehari-hari.

5
 Mahahadir, berarti bahwa Allah hadir di mana-mana dengan segala keberadaan-
Nya pada segala waktu.

 Mahatahu
Allah mengetahui semua karya-Nya sejak dari permulaan. Ia menghitung dan
menamai semua bintang-bintang. Tuhan menunjukkan kemahatahuan-Nya ketika
menyatakan apa yang akan terjadi di Tirus dan Sidon. Allah mengetahui segala sesuatu
mengenai hidup kita sebelum kita dilahirkan.
Oleh karena Allah maha tahu, maka tidak ada sesuatu apapun yang terjadi
kepada orang percaya tanpa sepengetahuan TUHAN. Setiap peringatan dari Dia
menuntut kepekaan orang percaya sebab Dia maha tahu apa yang akan terjadi. Bahkan
Ia selalu mengtahui kebaikan dan kemulian yang akan muncul bagi kita dari kejadian-
kejadian yang tidak dapat kita mengerti. Oleh karena itu, jika TUHAN adalah maha
tahu, maka ciri khas dari orang percaya adalah memiliki ketenangan hati dal
kepercayaannya kepada TUHAN.

 Keadilan
Jika kesucian berkenaan dengan keterpisahan Allah, maka keadilan berkenaan
dengan hukum, moralitas, dan peradilan. Allah itu adil; tidak ada hukum baik di dalam
diri-Nya sendiri atau yang dibuat-Nya yang bertentangan dengan sifat-Nya, yang
disebut dengan keadilan mutlak. Terhadap ciptaan-Nya, Allah itu juga adil; tidak ada
tindakan yang diambil-Nya bagi manusia yang bertentangan dengan seluruh sifat-Nya,
yang disebut keadilan relatif

 Kedaulatan
Kedaulatan Allah berbicara tentang kedudukan Allah sebagai pribadi yang
terutama di alam semesta ini, dan tentang kuasa Allah di mana kekuasaan-Nya lah yang
tertinggi dari segalanya. Dengan demikian Allah berkuasa atas segala sesuatu meskipun
mungkin Ia memilih untuk membiarkan peristiwa-peristiwa tertentu terjadi sesuai
dengan hukum alam yang telah dibuat-Nya. Allah mempunyai rencana yang mencakup
semuanya yang dikuasai-Nya, yang tidak melibatkan-Nya ke dalam kejahatan, dan
akhirnya menjadi pujian bagi kemuliaan nama-Nya.

6
Kedaulatan tidak menghapus kehendak bebas dan kehendak bebas tidak pernah
harus menipiskan kedaulatan.

 Kebenaran
Kebenaran berarti ‘sesuai dengan apa yang digambarkan’ dan mencakup
gagasan tentang kejujuran, kesetiaan, dan konsisten. Mengatakan bahwa Allah adalah
kebenaran adalah mengatakan dalam pengertian yang paling luas bahwa Ia konsisten
dengan diri-Nya sendiri, bahwa Ia adalah semua sebagaimana seharusnya, bahwatelah
menyatakan diri-Nya sebagaimana sebenarnya, dan bahwa Ia dan pernyataan-Nya
sepenuhnya dapat dipercaya. Allah adalah satu-satunya Allah yang benar, dan karena itu
Ia tidak dapat berdusta dan selalu dapat dipercaya.
Karena Allah adalah benar, Ia tidak dapat melakukan sesuatu yang tak konsisten
dengan diri-Nya. Janji-janji-Nya tidak pernah dapat Dia ingkari, dan Alkitab juga
adalah perkataan-Nya yang haruslah juga benar tanpa salah.
 Keesaan
Keesaan berarti hanya ada satu Allah yang tidak dapat dibagi-bagi. Keesaan
Allah dalam Ul. 6:4, memuat penekanan yang khusus atas keesaan TUHAN itu sendiri.

3. 2. Manusia: Mahluk Ciptaan TUHAN


Allah adalah pencipta dan manusia adalah ciptaan-Nya, yang diciptakan dalam
kesegambaran dan keserupaan dengan Allah. Allah berbeda dengan manusia dalam
kebedaraan Allah dan kekekalan-Nya. Tetapi manusia dalam kesegambaran dan
keserupaannya dengan Allah, Ia membuat manusia memiliki sifat-sifat keilahian: Allah
bijaksana dan berhikmat, dan manusia juga bijaksana dan berhikmat; Allah berkuasa,
dan manusia juga berkuasa. Tetapi sifat yang dimiliki Allah tidak terbatas, manusia
hanya memiliki hikmat dan kebijaksanaan serta kuasa yang terbatas.9
Dalam keterbatasannya, manusia diciptakan sebagai mahluk yang bebas secara
moral, serta tanpa dosa, dengan kemampuan untuk berbuat dosa atau tidak berbuat
dosa10. Kemudian datang cobaan dari luar diri manusia untuk melakukan dosa.
Kemampuan manusia untuk berbuat dosa sama besarnya dengan kemampuan manusia
untuk tidak berbuat dosa. Jadi tidak ada kekuatan yang memaksa manusia untuk berbuat
9
F. Pieper, Christian Dogmatics, (Saint Louis, Missouri: Concordia Publishing House, 1950), 515
10
Dosa yang dimaksud adalah perbuatan yang melanggar perintah Allah.

7
dosa, melainkan perbuatan itu muncul dari keinginan manusia. Jelaslah bahwa
pencobaan tidak membuat manusia berdosa; keberdosaan manusia adalah karena
keinginannya sendiri. Dampak dari kecenderungan manusia yang mengikuti keinginan
ini adalah manusia tidak lagi tidak berdosa, dan manusia harus menerima hukuman atas
perbuatannya.11
“Jika Allah maha tahu, berarti dalam cerita ini Allah tidak adil!” Faktanya ini
bukanlah tentang Allah yang adil atau tidak adil, melainkan ini adalah perwujudan sifat
Allah secara keseluruhan. Jika manusia pada saat itu dengan tegas memilih untuk tidak
berbuat dosa, maka hukuman, keburukan, bahkan iblis pun tidak ada dalam kehidupan
manusia, dan manusia menjadi semakin kuat dengan keadaan ketidakberdosaannya.
Tetapi meskipun manusia lebih memilih untuk berbuat dosa, Allah tetap menyediakan
penebusan dan pengampunan, bahkan keselamatan bagi manusia.12
Alam ciptaan, demikian juga manusia, adalah tidak sempurna.
Ketidaksempurnaan ini bukan berarti bahwa ciptaan itu memiliki cacat atau belum
lengkap. Ciptaan, termasuk manusia, diciptakan-Nya dan ditempatkan-Nya di luar diri-
Nya, yang berarti manusia tidak memiliki kesempurnaan seperti yang Allah miliki.
Agustinus, dalam kutipan Nico Syulur Dister 13 mengatakan: “manusia diciptakan oleh
Allah yang merupakan Ada mutlak dan Kebaikan mutlak. Akan tetapi, ia diciptakan dari
ketiadaan,dan itulah yang membuatnya berubah-ubah dan tidak sempurna, sebagaimana
terungkap dalam kebebasan kehendak yang memungkinkan manusia untuk berpegang
teguh pada Allah, “Ada” yang mutlak dan “Kebaikan” yang mutlak, tetapi juga untuk
memalingkan diri dari pada-Nya lalu menghukum dirinya sendiri dengan mengalami
kekurangan dalam bidang “ada” dan “kebaikan” ketiadaan kebaikan yang seharusnya
ada itulah yang memungkinkan kejahatan”.
Manusia sebagai mahluk ciptaan TUHAN harus kembali menyadari hakikat
penciptaannya untuk melihat keberaan manusia itu sendiri. Baik penciptaan yang
menyatakan manusia diciptakan dari debu tanah maupun penciptaan yang menyatakan
manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, memberikan penekanan yang
mendasar:14

11
Thiessen, Op.Cit., 269-270
12
Ibid., 271
13
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 117
14
William A. Dyrness, Agar Bumi Bersukacita, (Jakarta: BPK GM, 2004), 34-43

8
 Diciptakan dari debu, manusia memiliki naluri dan nafsu alamiah; manusia juga
memiliki saling ketergantungan terhadap ciptaan yang lain, bahkan benar-benar
tergantung kepada udara, air, dan bahan pangan dari alam untuk hidup. Ukuran
kebahagiaan hidup manusia juga mencakup unsur-unsur materi ini.
Unsur-unsur materi ini sudah pasti merupakan ciptaan Allah, yang
diciptakan bersamaan dengan manusia. Manusia menggantungkan kehidupan
dan kebahagiaan fisik dan ukuran penderitaannya pada unsur-unsur materi ini.
Dengan demikian, jalan yang paling tepat adalah manusia menggantunggkan
kehidupan, kebahagiaan, dan ukuran penderitaan secara total kepada Allah.
Bukan menuntut TUHAN atas ketidakbahagiaan dan penderitaan yang diukur
dengan unsur-unsur fisik.
 Diciptakan sebagai gambar Allah, manusia diikutsertakan dalam maksud-
maksud baik Allah bagi dunia, dan manusia memiliki fungsi untuk
mencerminkan Allah di dalam dunia ini. Allah juga memberikan manusia
anugerah yang berbeda dari ciptaan lain, yaitu nafas kehidupan, kemampuan
rasional, dan kemampuan rohani.
Mencerminkan Allah berarti menempatkan landasan, ukuran, dan
penilaian sepenuhnya kepada Allah. Manusia cenderung melupakan ini.
Mencerminkan bukan berarti menjadi Allah bagi dunia. Mungkin inilah
sebabnya mengapa manusia itu diciptakan dengan keterbatasan-Nya. Oleh
karena itu, tidak sepatutnya yang terbatas manghakimi bahkan menilai Yang
Tidak Terbatas, yang memberikan kemampuan yang terbatas tersebut.
 Diciptakan untuk bertanggung jawab, manusia mencerminkan Allah dengan
memberi respon kepada Allah. Manusia dipanggil untuk bertanggung jawab
kepada Allah: mengatur dan menguasai dirinya dan ciptaan lainnya.
Bertanggung jawab kepada-Nya dengan melakukan perintah Allah. Semakinm
manusia melakukan perintah Allah, semakin di mengenali-Nya.
 Diciptakan untuk bekerja demi rencana Allah , manusia bekerja untuk
mencerminkan Allah di dunia ini sebab Allah memiliki rencana untuk dunia ini.
Untuk itulah Allah memakai manusia dan segala kemampuannya. Oleh karena
itu focus dari manusia pada dasarnya adalah pewujudan rencana Allah di dunia,
bukan kepentingan individu manusia itu sendiri.

9
 Diciptakan untuk bekerja sama, kuasa yang diberikan kepada manusia ialah
untuk melayani dunia dan sesama di dalam pekerjaan mereka sehari-hari, untuk
membangun sebuah dunia sosial yang berpusat pada keluarga. Semua tugas ini,
bagaimanapun sederhanya, mengandung nilai. Semua hal ini yang dikerjakan
secara jujur berarti memuliakan Allah. Paling sedidikit, mustahil Allah
dimuliakan kalau semua ini diabaikan.

Keadilan TUHAN atau Keadilan Manusia?


Dalam ketidaksempurnaannya, manusia cenderung menggunakan
keterbatasannya: keterbatasan hikmat, keterbatasan rasio, keterbatasan rohani, untuk
membuat sebuah batasan-batasan dan memberlakukannya terhadap Yang Tak Terbatas.
Pada masa pembuangan Babel, umat Israel telah mempertanyakan keadilan TUHAN
atas pengalaman empiris mereka.15 Sebagai umat yang telah dipilih, Israel memahami
bahwa perjanjian YHWH16 tidak akan diingkari. Inilah yang adil bagi umat itu.
Pembuangan Babel menunjukkan bahwa batasan manusia yang terbatas tidak berlaku
bagi YHWH yang hidup dan Tidak Terbatas. Pada masa itu, simbol-simbol yang
dimaknai umat untuk membatasi YHWH hancur: Yerusalem sebagai kota TUHAN, Bait
Suci di bukit Sion sebagai simbol kehadiran TUHAN, dan kekekalan dinasti Daud
sebagai jaminan TUHAN atas stabilitas umat, semuanya hancur.
Keterbuangan Israel ke Babel menurut mereka adalah tanda bahwa TUHAN
tidak adil. Bagi mereka pembuangan itu menunjukkan bahwa YHWH tidak lagi
bermurah hati dan sudah melupakan janji-Nya. Kekecewaan atas YHWH diutarakan
dalam Mzm. 77:11 “Maka kataku: inilah yang menikam hatiku, bahwa tangan kanan
Yang Maha Tinggi berubah”. Di Pembuangan kaum Yehuda mengeluh bahwa YHWH
tidak memperhatikan kehidupan dan hak-hak mereka (Yes. 40:27; 49:14).
Faktanya, TUHAN sama sekali tidak berubah dan tidak mengingkari janji-Nya.
Menurut kesaksian Deutero Yesaya, Israel sendirilah yang tidak memenuhi kewajiban-
kewajiban perjanjiannya dengan TUHAN. Pengingkaran Israel inilah yang membuat
TUHAN menyerahkan mereka kepada bangsa asing.17 Setelah waktunya tiba, ternyata
TUHAN mengambil kembali bangsa itu dan membawa mereka kembali ke Yerusalem.
15
Mawene, Op.Cit., 237-238
16
Perjanjian yang dimaksud bukan hanya perjanjian YHWH di Gunung Sinai pada peristiwa keluaran,
tetapi juga mengenai kekekalan kerajaan Daud yang telah dijanjikan YHWH.
17
Ibid., 237

10
Bahkan dinasti Daud menjadi kekal dengan lahirnya seorang Raja Kekal yaitu Yesus
Kristus dari keturunan Daud. Keadilan Tuhan harus dikembalikan kepada
kesempurnaan Tuhan sebagaimana eksistensi Tuhan itu sendiri.
Dalam Kitab Ayub, Allah menegaskan bahwa Ayub adalah seorang yang sangat benar dan saleh
melebihi semua orang yang lain (Ayb 1:8). Kalau begitu adilkah Allah dengan menjatuhkan
penderitaan kepada Ayub? Ini adalah pertanyaan utama yang menjadi pokok pergumulan Ayub
yang luar biasa. Pada akhirnya diketahui bahwa penderitaan Ayub merupakan kehendak Tuhan
dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan dosa Ayub. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
hikmat yang umum dan ortodoks di masa itu tidak dapat menagkap maksud dan tindakan Allah
dalam kehidupan manusia. Fenomena tindakan Allah yang bebas dari berbagai prediksi dogmatis
inilah yang menimbulkan perkataan penilaian Pengkhotbah atas bangunan hikmat di masa itu
sebagai “usaha menjaring angin” belaka (Pkh. 5:15).

3. 3. Mencoba Merumuskan Makna Keadilan Allah


J.S. Feinberg18 mengatakan bahwa dugaan tentang yang jahat dan yang baik
diprasyaratkan oleh sebuah pertahanan kehendak bebas dalam bentuk non-
konsekuensitisme, dimana yang baik dan yang jahat tidak ditentukan pada dasar
konsekuensi tindakan. Dalam hal permasalahan tentang iblis, dunia sebagai ciptaan dari
tangan Tuhan tidak memiliki kejahatan dan kejahatan di dalam dunia itu diperkenalkan
oleh tindakan-tindakan perantara yang diciptakan Tuhan.
Feinberg juga mengutip John Hick19 yang mengatakan bahwa dalam penciptaan
manusia, Tuhan tidak bermaksud menciptakan manusia yang sempurna melainkan
manusia yang dapat berkembang secara moral. Allah bermaksud agar waktu manusia di
dunia dihabiskan untuk membangun moral dan karakter spiritualitas manusia dalam
persiapannya untuk berpartisipasi dalam Kerajaan Allah.
Dengan memfokuskan perhatian pada kesempurnaan Allah, maka makna dari
sebuah keadilan tidak lagi di dasarkan pada pemenuhan kebutuhan, perlindungan, dan
konsep-konsep manusiawi lainnya melainkan pada rancangan-rancangan Allah yang
didasarkan pada kesempurnaan Allah itu sendiri. Karena manusia hanya dapat membuat
keputusan yang terbatas oleh semua keterbatasannya tetapi rancangan, perbuatan, dan
keputusan yang ditentukan Allah telah diambil dari kesempurnaan Allah yang
mengetahui awal dan akhir dari seluruh alam semesta ini; dan yang paling penting,
18
J.S. Feinberg, “Theodicy” dalam Walter A. Elwell (ed.), Evangelical Dictionary of Theology,
(Michigan: Baker Book House), 1085
19
J.S. Feinberg, “Theodicy” dalam Elwell (ed.), Op.Cit., 1085

11
Allah sudah mengetahui yang dahulu dan yang akan jadi, merancang yang terbaik, dan
memberitahukan jalan-jalan yang terbaik yang harus ditempuh manusia. Memang jalan-
jalan ini tidak selalu mulus dan menyenangkan, dan manusia diberikan kehendak bebas
untuk memilih layaknya manusia pertama. Tetapi orang beriman tahu akan rahasia
“ciptaan baru” yang dijanjikan Allah, yang membuat orang-orang beriman bertahan
dalam situasi apapun hingga mencapai kesempurnaan relasi dengan Allah di dalam
kesejatiannya.

IV. Kesimpulan
 Allah adalah yang sempurna dan merancang serta melakukan semua tindakan-
Nya tidak pernah bertentangan dengan kesempurnaan-Nya.
 Manusia di dalam keterbatasan dan ketidaksempurnaannya ketika mengalami
atau memikirkan sesuatu yang sangat menyulitkan dirinya yang terbatas itu,
sering mempertanyakan kesempurnaan Allah di dalam tindakan-Nya.
 Keadilan Allah ada di dalam semua tindakan Allah berdasarkan kesempurnaan-
Nya.

12

Anda mungkin juga menyukai