Pitu Sinaga
Nim : 12. 2707
Mata Kuliah : Etika II
Dosen : Pdt. Dr. J. Boangmanalu
MENGASIHI MUSUH
(Ditinjau dari Sudut Etika Kristen)
1. Pendahuluan
Etika Kristen menekankan konsep yang jauh lebih dalam dari etika mana pun. Karena di
dalam Kekristenan manusia dituntut tidak hanya memberikan perbuatan baik kepada
orang yang baik, tidak dituntut hanya dalam batas mengasihi orang yang sefaham dengan
kita. Tapi Alkitab memberikan pengertian kepada kita jauh lebih sulit, jauh lebih dalam
dan jauh lebih besar tuntutannya yaitu supaya kita mengasihi musuh, supaya kita tidak
menganggap dendam, benci dan juga ketidakpedulian sebagai sesuatu yang boleh kita
alami.1
Orang Kristen tidak boleh mendendam, tapi bukan hanya itu orang Kristen tidak boleh
menyimpan benci, bahkan tidak boleh merasakan netral, tidak suka juga tidak benci,
tidak peduli terhadap orang lain. Maka Tuhan menyatakan diriNya sebagai teladan
mengenai bagaimana kita memperlakukan musuh. Itu sebabnya etika Kristen menjadi
etika yang sangat dalam dan tidak disamai oleh ajaran apa pun sebab etika Kristen
diajarkan berdasarkan sifatNya Tuhan. Ini bukan semacam pengajaran yang tidak real,
ini bukan semacam pengajaran yang ideal tapi tidak ditemukan dalam sejarah. Sebab
Allah sendirilah yang menjadi contoh dan Kristus yang membawa contoh itu ketika Dia
ada di dunia. Dan ketika Dia menjalankannya, Dia menjalankan dengan persis sehingga
apa yang Dia kerjakan sebagai manusia yang tinggal di bumi sudah memberikan contoh
yang ideal mengenai sifat-sifat Bapa.
Kekristenan jauh lebih dalam dibandingkan hanya sekedar menjalani hidup yang tidak
berdosa. Kekristenan penuh dengan kelimpahan, penuh dengan pengertian yang
mengaitkan seluruh aspek hidup kembali kepada Tuhan. “Kasihilah musuhmu”, ini
adalah perintah ideal yang real, di mana Allah sudah membawanya ke dalam sejarah
sehingga ini menjadi sesuatu yang real, sesuatu yang nyata. Jika mengasihi menjadi cara
1
A. Widyahadi Saputra, Hidup dalam Persaudaraan Sejati, (Jakarta: APP-KAJ, 2000), 273
1
yang digunakan untuk mengekspresikan diri terhadap orang lain, maka kenyamanan
dalam hubungan sosial akan mudah diwujudkan.
2. Isi
2.1. Pengertian mengasihi
a. Mengasihi sebagai suatu keputusan
Mengasihi merupakan keputusan untuk mewujudkan kasih kepada seseorang dalam
bentuk perasaan, pemikiran, maupun perbuatan. Tujuan dari mengasihi adalah
untuk menjadikannya lebih baik atau meningkatkan kebahagiaannya. Istilah
“keputusan” mendapatkan perhatian karena istilah tersebut dapat diartikan sebagal
sebuah titik akhir dan rangkaian pertimbangan yang bisa saja sangat panjang dan
kompleks. Setiap keputusan yang baik senantiasa menggunakan berbagai bahan
untuk dipertimbangkan. Proses itu sendiri memerlukan waktu yang cukup.
Lamanya waktu yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah keputusan tentu
sangat bervariasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagal faktor antara lain dari
kepribadian si pembuat keputusan, kompleksitas bahan pertimbangan, serta tingkat
urgensi.
Setiap hal memiliki faktor-faktor yang tidak sederhana. Sangat wajar jika
kepribadian memegang peranan terpenting dalam setiap pengambilan keputusan.
Kepribadian tersebut akan mempengaruhi bahan-bahan pertimbangan maupun
skala prioritas. Setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut, kita dapat memberi
kesimpulan bahwa keputusan untuk memberikan kasih secara spesifik bukanlah hal
yang mudah, meski bukan berarti harus sulit.
Keputusan untuk mengasihi merupakan keputusan besar dalam perjalanan hidup
manusia. Karena selain penetapannya melalui suatu proses yang bisa saja sangat
kompleks, konsekuensi dan keputusan tersebut harus dipertanggungjawabkan
seumur hidup.2
2
Bambang Untoro, Benarkah Aku Mengasihimu?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 55-56
2
Mengenal kasih karunia Tuhan dan menebarkannya kepada semua orang sehingga
dapat menjadi berkat bagi orang lain adalah hal yang semestinya kita lakukan.
Kalau kita sudah mengenal kasih karunia Tuhan, biarlah damai Kristus
memerintah atas kita sehingga kita dapat mengasihi dan berdamai dengan orang
lain, karena untuk itulah tujuan kita dipanggil dari kegelapan.(Kolose 3:15). 3
3
Bambang Untoro, Benarkah Aku Mengasihimu?, 62-63
4
Bambang Untoro, Benarkah Aku Mengasihimu?, 66
3
2. Allah menyatakan diriNya sebagai Allah yang jauh lebih unggul, jauh lebih
baik dan jauh lebih berkuasa dari agama manapun dan dari ilah manapun
ciptaan manusia. Banyak kali dalam Perjanjian Lama, Allah menyatakan diri
sebagai Allah yang jauh lebih unggul, lebih tepat, lebih benar, lebih limpah
dari pada dewa-dewa palsu. Contoh paling jelas adalah dalam Kitab Keluaran,
dalam Kitab Keluaran, Tuhan menyatakan 10 tulah, banyak dari tulah itu
Tuhan nyatakan untuk menyatakan “tanpa Aku maka kamu pasti binasa kalau
kamu memutuskan untuk menyembah berhala-berhalamu”.
3. Allah memberikan hati nurani di dalam hati manusia. Sehingga manusia bisa
tahu mana yang cocok, yang benar, yang pantas dan mana yang tidak. Hati
nurani Tuhan berikan sehingga orang yang dibimbing oleh hati nuraninya akan
mengetahui apa yang pantas dan yang tidak. Menurut Thomas Reid ada satu
harapan kembali untuk orang melihat dalam diri dan tahu di dalam diri ada
prinsip-prinsip moral yang Tuhan sudah tetapkan yang kalau ini diselidiki
baik-baik akan membuat kita tahu apakah perbuatan kita itu pantas atau tidak.
Memang hati nurani tidak pernah menggantikan usaha kita untuk mempelajari
dengan teliti serta mendalam prinsip-prinsip dan norma-norma moral yang
harus mengarahkan tingkah laku kita. Namun etika sebagai ilmu menjadi
klengkap dengan adanya hati nurani. Etika harus berusaha keras untuk mencari
kepastian ilmiah dan objektif tentang problem-problem moral yang dihadapi.5
4. Tuhan menawarkan keselamatanNya kepada siapapun. Maka kita mengerti
anugerah khusus itu diberikan bukan karena kita mempunyai kelebihan, tapi
karena kita tidak punya kelebihan apa pun dari orang lain. Dan kalau kita tidak
diberikan anugerah khusus, kita tidak mungkin bertobat, tidak mungkin
kembali kepada Tuhan, tidak mungkin menjadi orang percaya dan
diselamatkan
5
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 64
4
2.3. “Mengasihi Musuh” dalam Alkitab
Dalam “hukum” dunia kata “mengasihi” dan “musuh” adalah dua kata yang
bertolak belakang, karenanya tidak dapat dipersatukan. Dalam bahasa Inggris,
musuh adalah enemy, berasal dari bahasa Latin inimicus, artinya “bukan sahabat”.
definisinya jelas: orang yang membenci, menginginkan hal yang tidak baik,
menyebabkan jatuh, kecewa, sakit, dan sebagainya. Maka nasihat untuk mengasihi
musuh bisa dibilang aneh. Sebab normalnya musuh itu dilawan, dibenci dan
disingkirkan.
Akan tetapi, dalam Alkitab Yesus dengan tegas mengajarkan murid-muridNya
untuk mengasihi musuh: ”Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan
berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:38-48). Ajaran
mengasihi musuh tidak saja berdimensi teologis, berkenaan dengan aspek imani
tetapi juga berdimensi praktis dan logis.6
Dalam membicarakan hubungan mund-murid-Nya dengan orang lain, Yesus
temyata menyampaikan pengajaran yang sangat revolusioner. Pada bagian ini Ia
mengajar mereka untuk mengasihi setiap orang, bahkan musuh mereka sekalipun.
Sebagai catatan, yang dimaksud dengan musuh pada saat itu ialah setiap orang
yang menghambat pekerjaan Yesus dan murid-mund-Nya. Namun, tentu hal ini
kini berarti lebih luas juga, yaitu setiap orang yang membenci kita, entah karena
kita pengikut Kristus, atau juga karena perbuatan baik yang kita kerjakan.7
Kata kasih yang digunakan dalam bagian ini ialah agape. Kasih di sini maksudnya
mengasihi tanpa mempedulikan apa pun yang dilakukan seseorang kepada kita.
Meskipun seseorang melakukan hal yang baik atau buruk, kita tetap mengasihi dia,
menginginkan dan mengharapkan yang terbaik kepadanya. Dengan pengertian
inilah kita diminta untuk mengasihi musuh kita. Apa maksud Yesus memberikan
perintah ini? Tujuannya tentu agar kita menjadi lebih baik daripada orang lain,
bukan agar kita bisa berbangga diri daripada orang lain, melainkan karena memang
itulah bagian dan panggilan kita sebagai seorang Kristen. Inilah etika Kristen.
Kalaupun kemudian kita mendapat pujian orang karena perbuatan kita, itu adalah
hal yang lumrah terjadi di dunia ni. Namun, kalaupun tidak. Allah tetap akan
memperhitungkan perbuatan kita. 8
6
Renu Rita Silvano & Fio Mascarenhas (editor), Cintailah Aku: Belajar dari Ajaran Sang Inspirator,
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), 24
7
Hermin Lambe, Menanti tidak dengan Suam-Suam Kuku, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 68
8
Hermin Lambe, Menanti tidak dengan Suam-Suam Kuku, 69
5
Perintah untuk mengasihi musuh ini, sebagaimana dikemukakan oleh Boland, harus
diperjelas dengan tiga hal: Pertama, hati atau sikap musuh itu harus dibalas dengan
berbuat baik terhadap mereka (Rm. 12:20; Ams. 25:21-22). Kedua, kata-kata kutuk
mesti dibalas dengan ucapan berkat. Akhirnya, kalaupun permusuhan itu berubah
menjadi perbuatan kekerasan dan penindasan, masih ada kemungkinan untuk
mendoakan mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh Yesus (Luk. 23:34), juga
Stefanus (Kis. 7:60). 9
Harus diakui, ajaran Yesus ini memang sulit diikuti. Kemanusiaan yang berdosa
membuat kita lebih mudah berbuat hal yang baik hanya kepada mereka yang dekat
dengan kita, atau kepada orang yang kita senangi. Atau karena kita ingin orang itu
suatu saat melakukan hal yang balk kepada kita sehingga kebaikan yang kita
lakukan justru karena mengharapkan sesuatu. Kalau kepada orang yang tidak
memusuhi saja kita berpikir demikian, bagaimana pula dengan mereka yang
memusuhi? Jangankan melakukan kebaikan secara ekstra, melakukan hal yang baik
kepada mereka yang memusuhi kita itu saja sudah begitu sulit. Namun, Yesus
justru mengajar kita untuk tidak hanya berbuat baik kepada orang-orang yang dekat
dengan kita. Lalu bagaimana kita bisa melakukannya? Memang perlu kerendahan
hati. Selain itu kita juga perlu memiliki hati seperti yang dimiliki Yesus dan mata
sebagaimana Ia melihat. Memiliki hati dan mata seperti yang dimiliki Yesus berarti
kita memiliki belas kasihan dan memandang sesama sebagai pribadi yang berharga.
Hal ini tidak akan terjadi kalau kita belum mengalami pembaharuan. Jadi, kita
perlu memohon kepada-Nya untuk membaharui hati dan pikiran kita tedebih
dahulu.
Kita harus memberi diri dipakai oleh-Nya. Sebagai orang percaya, kita diarahkan
untuk menadi serupa dengan Kristus. Dan keserupaan itu di antaranya ialah dengan
memiliki belas kasih dan kemurahan hati, sebagaimana yang dimiliki oleh Kristus.
Sebagaimana dikemukakan Barclay, hal ini mengungkapkan dua fakta yang
berkenaan dengan etika Kristen: 10
1. Etika Kristen itu bersifat positif karena tidak terdiri dari perintah jangan
melakukan, tetapi “lakukanlah”. Yesus tidak hanya memberi perumusan yang
negatif, sebagaimana kebanyakan guru agama dan filsuf, tetapi juga memberi
rumusan yang positif. Hakikat dari kelakuan Kristen ialah dengan aktif
9
Hermin Lambe, Menanti tidak dengan Suam-Suam Kuku, 70
10
Hermin Lambe, Menanti tidak dengan Suam-Suam Kuku, 71
6
melakukan hal-hal yang baik. Dengan demikian, kita sebenamya didorong
untuk tidak pernah berhenti melakukan perbutan baik.
2. Etika Kristen berdasarkan pada yang ekstra. Dalam perikop di atas, Yesus
rnengajukan pertanyaan yang intinya menanyakan bagaimana agar kita lebih
balk danpada orang-orang biasa itu. Dengan demikian, ajaran ini
sesungguhnya akan membuktikan seberapa serupa kita dengan Dia. Bukankah
Allah yang kita sembah di dalam Yesus itu pun tidak hanya memiliki atribut
keadilan, tetapi juga belas kasihan? Bukankah Ia juga baik kepada mereka
yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang yang jahat? Dua
sikap ini, yaitu cinta kasih dan kemurahan hati, seharusnya sanggup
meredakan segala macam permusuhan yang ada. Dua hal ini bisa kita anggap
sebagai modal dasar dalam kehidupan. Sikap revolusioner dalam hal
mengasihi sangat dibutuhkan oleh zaman ini. Dengan demikian kita
mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai di tengah masyarakat.
11
Sebagaimana yang dikutip oleh Swartley, Guelich melihat bahwa Khotbah di Bukit merupakan
pemenuhan Kristologi. Yesus datang untuk memenuhi nubuatan nabi di dalam Perjanjian Lama dengan
memaklumkan Kerajaan Sorga. Lihat Glen H. Stassen, Just Peacemaking: Transforming Initiatives for Justice
and Peace, (Louisville: John Knox Press, 1992), 39-42.
7
menemukan sebuah gambar diri (being) yang sesuai dengan kehendak Allah dalam
mengasihi musuh.
Gereja sebagai komunitas iman terus mencari panggilannya di tengah-tengah dunia
dalam situasi yang baik maupun tidak baik. Panggilan selalu terkait erat dengan
apa yang dibutuhkan oleh dunia. Oleh karena itu pengalaman Yesus di dalam
Alkitab menjadi salah satu hal yang penting untuk melihat apa yang dibutuhkan
oleh dunia.12
3. Tanggapan
Tindakan mengasihi musuh merupakan salah satu unsur dari pengendalian diri atau
emosi. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mengungkapkan emosi. Ada yang
diam dan memendam emosinya, ada yang menangis, tetapi ada pula yang meluapkannya
dengan tindakan-tindakan yang kasar, misalnya marah-marah, memukul, mengumpat,
merusak, atau tindakan lain yang bisa merugikan diri sendiri, bahkan orang lain.
Sebenarnya mengungkapkan emosi bukanlah tindakan yang buruk. Emosi memang perlu
diungkapkan, namun hendaknya kita bisa mengungkapkannya di tempat yang tepat dan
dengan cara yang tepat pula. Karena kegagalan mengendalikan emosi tidak hanya akan
merugikan diri sendiri, tetapi juga dapat melukai orang lain.
Jadi bagaimana caranya kita bisa mengungkapkannya tanpa melakukan tindakan yang
merugikan diri sendiri dan orang lain? Karena kita mudah kehilangan kendali emosi saat
seseorang yang ingin menyakiti kita tampak telah memenangkan situasi.
Adalah penting untuk mengetahui bahwa emosi berkaitan erat dengan pikiran dan
perbuatan. Emosi berhubungan dengan pikiran. Di dalam Filipi 4:4-7, Paulus menulis
waktu ia di penjara. Ia mempunyai alasan kuat untuk berkecil hati, tetapi ia berkata,
"Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!
15
Surip Stanislaus, Mematahkan Siklus Kekerasa, 58
9
Kedengarannya bagus, tetapi sebetulnya sulit menyuruh diri kita sendiri untuk tidak
cemas, tidak marah, atau tidak kuatir. Dalam sebagian besar kasus, hal itu tidak berhasil.
Jika saya sedih dan seseorang mengatakan, "Anda tidak perlu sedih," saya tidak akan
mulai merasa gembira seberapa kerasnya pun saya berusaha. Penulis Mazmur 56 juga
menjadi sasaran kebencian yang tidak pada tempatnya. Musuh-musuh yang cerdik
mengancam jiwanya. Namun, ia tidak kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Sebaliknya, ia berbicara kepada Allah secara jujur dan terbuka. Ia membicarakan
kenyataan yang ada dan kemudian memohon pertolongan Allah yang kemudian memang
menolongnya.
Tidak mudah bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa kita adalah orang yang dibenci
secara tidak layak dan diserang secara menyakitkan. Namun, kita tidak perlu menyerah
terhadap keadaan emosi kita. Kita dapat berdoa kepada Allah dan menaruh keyakinan
kepada-Nya. Apabila kita melakukannya, Dia akan menanggapinya. Dia akan
membebaskan kita atau memberi kita kekuatan untuk menanggung keadaan itu dan untuk
mengasihi musuh-musuh kita. Kita perlu mengakui bahwa emosi itu dapat sangat
bermanfaat. Namun kita juga adang-kadangmenganggap emosi itu hanya berdampak
negatif, terutama jika kita menjadi marah atau frustrasi, kita berpikir bahwa emosi itu
buruk. Kita berpikir bahwa seorang Kristen seharusnya tidak merasa tidak berbahagia.
Tetapi Tuhan menciptakan emosi-emosi. Emosi adalah bagian dari wujud manusia.
Emosi mendorong kita untuk bertindak. Namun, emosi dapat menimbulkan masalah bila
kita tidak mengendalikannya. Emosi yang tidak terkendali dapat menimbulkan tekanan
darah tinggi, ketegangan otot, infeksi, berbagai macam penyakit, atau menjadi marah
terhadap anak-anak dan pasangan kita. Akibat-akibat negatif itu tidak banyak disebabkan
oleh emosi itu sendiri, tetapi lebih banyak karena ketidakmampuan kita untuk
mengendalikannya dan memanfaatkannya secara konstruktif.
4. Kesimpulan
1. Mengasihi ialah menciptakan suatu keadaan yang lebih baik dengan mengenal kasih
karunia Tuhan dan menebarkannya kepada semua orang.
2. Setiap manusia dipanggil untuk mengasihi karena Tuhan terlebih dahulu mengasihi
dan melibatkan diriNya dalam setiap dinamika kehidupan manusia. Tuhan adalah
sumber kasih sehingga apa pun yang terjadi adalah sebagai wujud dari kasih-Nya.
10
3. Dalam Etika Kristen, Yesus Kristus menjadi teladan bagi orang Kristen mengenai
bagaimana memperlakukan musuh. Itu sebabnya Etika Kristen menjadi etika yang
sangat dalam dan tidak disamai oleh ajaran apa pun sebab etika Kristen diajarkan
berdasarkan sifat Tuhan.
TAR PUSTAKA
Bertens K.
2007 Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lambe Hermin
2005 Menanti tidak dengan Suam-Suam Kuku,
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Palmer Parker J.
2000 Let Your Life Speak: Listening For The Voice of Vocation,
San Fransisco: Jossey Bass Inc. Publishers.
Saputra A. Widyahadi
2000 Hidup dalam Persaudaraan Sejati, Jakarta: APP-KAJ.
11