Anda di halaman 1dari 63

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmu negara untuk memenuhi tugas ulangan tengah
semester.

Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen


pembimbing yang memberikan tugas serta bimbingannya sehingga makalah ini
dapat disusun dengan baik. Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-
teman yang telah memeberikan kontribusinya baik secara langsung maupun tidak
langsung sehingga makalah ilmu negara ini dapat selesai pada waktu yang telah
ditentukan.

Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang


penyusunan makalah ini, namun kami menyadari bahwa masih terdapat banyak
kesalahan serta kekurangan. Sehingga kami mengharapkan saran serta masukan
dari para pembaca demi tersusunya makalah yang lebih baik lagi.

Akhir kata, kami berharap agar makalah ini bisa memberikan manfaat
kepada semua pihak, khususnya bagi pembaca untuk memperluas wawasan dan
pengetahuan mengenai asal mula negara dari jaman Yunani Kuno sampai jaman
Renaissance.

Surakarta, 19 Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

JUDUL.....................................................................................................................i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ II

DAFTAR ISI ......................................................................................................... III

BAB I ...................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN .................................................................................................. 4

1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................... 4


2.1 RUMUSAN MASALAH ................................................................................ 4
3.1 TUJUAN ..................................................................................................... 4

BAB II ..................................................................................................................... 5

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 5

A. JAMAN YUNANI KUNO ........................................................................... 5


B. JAMAN ROMAWI KUNO ........................................................................ 19
C. JAMAN ABAD PERTENGAHAN ........................................................... 30
D. JAMAN RENAISSANCE.......................................................................... 43

BAB III ................................................................................................................. 61

PENUTUP ............................................................................................................. 61

1.3 KESIMPULAN ........................................................................................... 61


2.3 SARAN ..................................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 64

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara adalah suatu wilayah yang memiliki penduduk tetap dan
mempunyai sistem pemerintahan yang berdaulat serta negara tersebut juga harus
mendapatkan pengakuan dari negara lain. Untuk menjadi sebuah negara tentunya
memiliki asal usul atau proses terbentuknya negara. Dalam makalah ini akan
membahas tentang teori asal mula negara dimulai dari jaman Yunani Kuno
sampai jaman Renaissance.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Ulangan Tengah Semester
(UTS) oleh dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Negara. Dan juga bertujuan
memberikan sedikit bahan bacaan untuk melengkapi pengetahuan kita tentang
topik yang telah diutarakan sebelumnya.
2.1 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana asal mula terjadinya negara;
2. Teori-teori tentang terjadinya suatu negara;
3. Pendapat tokoh-tokoh dalam teori asal mula negara.
3.1 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dalam penulisan makalah ini
sebagai berikut :
1. Menyelesaikan tugas mata kuliah Ilmu Negara;
2. Memberika materi tentang teori asal mula negara;
3. Memaparkan proses tentang teori asal mula suatu negara.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. JAMAN YUNANI KUNO

Yunani Kuno adalah peradaban dalam sejarah Yunani yang dimulai dari
periode Yunani Arkais pada abad ke-8 sampai ke-6 SM, hingga berahirnya Zaman
Kuno dan dimulainya Abad Pertengahan Awal. Peradaban ini mencapai
puncaknya pada periode Yunani Klasik, yang mulai berkembang pada abad ke-5
sampai ke-4 SM. Pada periode klasik ini Yunani dipimpin oleh negara-
kota Athena dan berhasil menghalau serangan Kekaisaran Persia. Masa keemasan
Athena berakhir dengan takluknya Athena kepada Sparta dalam Perang
Peloponnesos pada tahun 404 SM. Seiring penaklukan oleh Aleksander Agung,
kebudayaan Yunani, yang dikenal sebagai peradaban Hellenistik, berkembang
mulai dari Asia Tengah sampai ujung barat Laut Tengah.

Istilah "Yunani Kuno" diterapkan pada wilayah yang menggunakan bahasa


Yunani pada Zaman Kuno. Wilayahnya tidak hanya terbatas pada semenanjung
Yunani modern, tetapi juga termasuk wilayah lain yang didiami orang-orang
Yunani, di antaranya Siprus dan Kepulauan Aigea, pesisir Anatolia (saat itu
disebut Ionia), Sisilia dan bagian selatan Italia (dikenal sebagai Yunani Besar),
serta pemukiman Yunani lain yang tersebar sepanjang
pantai Kolkhis, Illyria, Thrakia, Mesir, Kyrenaika, Galia selatan, Semenanjung
Iberia timur dan timur laut, Iberia, dan Taurika.

Oleh sebagian besar sejarawan, peradaban ini dianggap merupakan peletak


dasar bagi Peradaban Barat. Budaya Yunani memberi pengaruh kuat
bagi Kekaisaran Romawi, yang selanjutnya meneruskan versinya ke bagian
lain Eropa. Peradaban Yunani Kuno juga sangat berpengaruh pada bahasa, politik,
sistem pendidikan, filsafat, ilmu, dan seni, mendorong Renaisans di Eropa Barat,
dan bangkit kembali pada masa kebangkitan Neo-Klasik pada abad ke-18 dan ke-
19 di Eropa dan Amerika.

5
Guna memahami apa sebenarnya suatu negara, akan diungkapkan oleh
teori sifat hakikat negara. Negara sebagai wadah bangsa menggambarkan cita-cita
kehidupan bangsa. Pandangan sifat hakikat negara berkaitan dengan pandangan
hidup yang dianutnya.1 Oleh sebab itu banyak paham sarja yang
mengungkapkannya :

1. Socrates (399 SM)


 Negara bukan semata-semata merupakan suatu keharusan yang
bersifat obyektif.
 Tugas negara adalah menetapkan hokum yang berlaku oleh para
pemimpin atau pengusaha yang dipilih secara saksama oleh rakyat.
 Selalu menentang dan menolak keras yang dianggap bertentangan
dengan undang-undang. Pikiran demokratis mulai muncul.2
 Bentuk negara Yunani Kuno adalah suatu Polis. Polis identik
dengan masyarakat, dan masyarakat identik dengan negara
(organisasi) yang masih berbentuk Polis.
 Jaman Yunani Kuno dapat melaksanakan negara yang bersifat
demokratis, karena:
- Negara Yunani pada waktu itu masih kecil, masih merupakan
apa yang disebut Polis atau City State, negara Kota
- Persoalan di dalam negara dahulu itu tidaklah seruwet dan
berbelit-belit seperti sekarang ini, lagi pula jumlah warga
negaranya masih sedikit.
- Setiap warga negara (kecuali yang masih bayi, sakit ingatan
dan budak-budak belian) adalah negara minded, dan selalu
memikirkan tentang penguasa negara, cara memerintah dan
sebagainya.3

Sistem pemerintahan negara bersifat demokratis yang langsung.


Rakyat ikut secara langsung menentukan kebijaksanaan pemerintahan
1
Abu Daud Busroh. 2013. ILMU NEGARA. Jakarta. Bumi Aksara. hlm. 20
2
Soehino. 2005. ILMU NEGARA. Yogyakarta. Liberty Yogyakarta. hlm. 14
3
Soehino. Ibid. hlm 15

6
negara. Hal ini dapat dilakukan karena negara saat itu hanya merupakan
suatu kota kecil, rakyat hanya sedikit, kepentingan rakyat belum banyak.4

Menurut Socrates: Keadilan (justice) merupakan tujuan politik


yang utama; keadilan merupakan hal esensial bagi pemenuhan alamiah
manusia; Menempatkan keadlian sebagai patokan politik tertinggi sama
dengan memandang tujuan kehidupan politik sebagai aktualisasi bakat-
bakat manusia; Keadilan adalah melaksanakan apa yang menjadi fungsi
atau pekerjaan sendiri sebaik-baiknya tanpa mencampuri fungsi atau
pekerjaan orang lain.

Patokan kebaikan ialah secara alamiah sangat sesuai yaitu


kebajikan setiap hal untuk melakukan aktivitas apa saja secara baik yang
sesuai dengan sifatnya;

Socrates menganalogikan tiga hal tipe manusia dan tipe masyarakat


yaitu :

Pertama : Sifat nafsu (disere) – dilambangkan sebagai seorang pedagang


yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya;

Kedua : sifat semangat (spirit) – dilambangkan sebagai prajurit yang


menjaga tata kehidupan masyarakat;5

Ketiga : sifat akal budi (reason) – dilambangkan sebagai filsuf yang


berfungsi sebagai penguasa.

Menurut Socrates, suatu masyarakat (rezim) dikatakan “adil” bila


masing-masing bisa bekerjasama secara maksimal dan harmonis di bawah
pimpinan “Filsuf raja” yang bijaksana.6

2. Plato (429 SM – 347 SM)

4
Abu Daud Busroh. Op.Cit. hlm 21
5
Kabul Budiyono. 2012. Teori dan Filsafat Ilmu Politik. Bandung. ALFABETA. hlm. 72
6
Kabul Budiyono. Loc.Cit.

7
Kematian Socrates tidak berarti kematian ajaran-ajarannya.
Kematian tersebut justru menjadi awal kebangkitan ajaran-ajarannya di
kalangan kaum muda Yunani Kuno. Hal ini karena menjelang
kematiannya, segala pemikiran Socrates telah memengaruhi tradisi
intelektual kaum muda Athena. Salah satu pemuda yang dipengaruhi
Socrates adalah Plato. Ia adalah murid setia Socrates yang banyak
memperoleh tradisi keilmuan dan filsafat gurunya. Sebagai pemikir,
reputasi Plato barangkali melebihi reputasi gurunya, Socrates. Alfred
North Whitehead berpendapat, sebagaimana dikutip Ahmad Suhelmi,
seluruh sejarah filsafat Barat hanyalah rangkaian dari catatan kaki Plato.7
Plato banyak menulis buku, diantaranya yang terpenting ; Politeia
atau Negara, Politikos atau Akhli Negara, Nomoi atau Undang-Undang.8
Dalam Ploteia, Plato menjelaskan kepada kita tentang negara. Ia
beranggapan bahwa negara merupakan lembaga atau organisasi yang
mementingkan kebajikan umum (virtue) atau kebaikan bersama.
Kebajikan menurutnya adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan atas
nama negara haruslah dimaksudkan untuk mencapai kebajikan. Negara
tersebut menurut Plato adalah negara ideal, yakni negara yang menganut
prinsip mementingkan kebajikan umum. Bagi Plato, negara yang
mengabaikan prinsip kebajikan umum akan jauh dari negara yang
didambakan manusia. Demikian pentingnya prinsip kebajikan, hingga
Plato berpendapat bahwa negara ideal atau negara yang terbaik bagi
manusia adalah negara yang di dalamnya penuh kebajikan.
Politeia ditulis oleh Plato ketika situasi negara sedang kacau sebab
pemerintah tidak lagi memerintahkan keadilan dan kebenaran serta
kesejahteraan masyarakat. Menurutnya, jika kesejahteraan ingin terwujud,
negara harus dipimpin oleh seorang yang berpengetahuan atau filosof.
Dalam Politicos, Plato menceritakan kewajiban warga negara untuk taat
hokum karena dengan taat pada hukumlah, masyarakat bias tertib. Dan
7
Deddy Ismatullah dan Asep A Sahid Gatara. 2007. Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif.
Bandung. Pustaka Setia. hlm. 16
8
Abu Daud Busroh. Op.Cit. hlm. 21

8
dalam Nomaei, ia bercerita tentang penekanan pada ketaatan seluruh
warga dan pemerintah terhadap hukum. Semua orang adalah sama di
hadapan hukum. Pemerintahan yang baik menurut Nomaei ialah
pemerintahan yang diatur oleh hukum.9
Ia juga membuka Sekolah Filsafat di Athena yang bernama
Academia. Paham Plato mengenai negara adalah keinginan kerja sama
antara sifat-sifat manusia untuk memenuhi kepentingan mereka. Plato juga
pencipta ajaran alam – cita (ideenler) dan aliran filsafatnya disebut
idealisme.
Negara timbul karena adanya kebutuhan dan keinginan manusia
yang beraneka ragam. Bentuk negara ditentukan oleh bentuk
pemerintahannya, sedangkan bentuk pemerintahan ditentukan oleh sifat
orang yang memrintah. Bentuk – bentuk negara menurut Plato antara lain
Aristrokrasi – Timokrasi – Oligarki – Demokrasi – (Anarkis) – tyranny.
Aristrokrasi yaitu negara yang pemerintahannya dipegang oleh
para cerdik pandai yang berpedoman pada keadilan. Aristrokrasi tidak lagi
dijalankan untuk kepentingan umum karena pemerintahan hanya
memeintangkan kepentingan sendi dan melalaikan kepentingan umum.
Timokrasi yaitu segala tindakan daripada penguasa hanya
dilaksanakan dan ditujukan untuk kepentingan penguasa itu sendiri,
kekayaan dan pendapatan juga utuk kepentingan sendiri.
Oligarki yaitu orang yang sudak kaya akan ingin lagi untuk
menambah kekayaannya dan rakyat akan menjadi orang – orang yang
miskin.
Demokrasi yaitu bentuk negara yang pemerintahannya pindah ke
tangan rakyat, dan juga memperhatikan kepentingan rakyat. Prinsip yang
diutamakan adalah kemerdekaan dan kebebasan.

9
Deddy Ismatullah dan Asep A Sahid Gatara. Op.Cit. hlm. 17

9
Tyranny merupakan bentuk negara dimana timbul pemimpin yang
keras, kuat, dan dapat mengatasi kekacauan. Pemerintahannya dipegang
oleh satu orang saja. 10
Hasrat penguasa adalah menjaga supaya tidak ada persaingan
terhadap dirinya. Pemerintahan sangat jauh dari cita – cita keadilan karena
selalu menekankan pada rakyat. 11
Kesatuan mereka inilah kemudian disebut masyarakat dan
masyarakat itu adalah negara, antara sifat-sifat manusia ada persamaannya
dengan sifat-sifat negara.

Sifat-sifat manusia : Sifat-sifat negara :

 Pikiran Golongan Penguasa


 Keberanian Golongan Tentara
 Aneka kebutuhan Golongan Pekerja12
Dari sifat-sifat tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut :

Pertama : Kelompok filsuf yang diberi amanah untuk memerintah, karena


mereka mempunyai pengertian tentang “yang baik” sehingga akan lebih
arif dalam memimpin negara;

Kedua : golongan kesatria/prajurit ; mereka sebagai penjaga keamanan


negara yang mengawasi warga negara agar selalu tunduk pada raja filsuf;
dan mereka hidup dalam asrama-asrama dan menunggu perintah dari
negara untuk tugas tersebut.

Ketiga : Golongan rakyat biasa yakni para petani, tukang, yang


menumpang kehidupan ekonomi rakyat.13

10
Soehino. Op.Cit. hlm. 16-21
11
Soehino. Loc.Cit.
12
Abu Daud Busroh. Op.Cit. hlm. 21
13
Kabul Budiyono. Op.Cit. hlm. 74

10
Plato dalam bukunya Politikos mengurai hal-hal pemerintahan.
Dalam bukunya Nomoi menguraikan tentang negara dan hokum dengan
menggapai dunia kenyataan.14

3. Aristoteles (384-322 SM)

Aristoteles adalah murid Plato di Akademia. Ia dikenal sebagai seorang


pemikir politik empiris-realis, berbeda dengan Plato yang dijuluki idealis-
utopianis. Dengan perbedaan itu, dapatlah dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles
(Aristotelianisme) merupakan suatu bentuk pemberontakan terhadap pemikiran
Plato (Platonism). Itu tampak, umpamanya, dari cara keduanya melihat realitas
dan metodologi filsafatnya.

Karya terbesar Aristoteles di bidang pemikiran ketatanegaraan, di


antaranya adalah Politics; The Athenian Constitution. Dalam karya ini Aristoteles
membahas konsep-konsep dasar dalam ilmu politik; asal mula negara, negara
ideal, warga negara ideal, pembagian kekuasaan politik, keadilan dan kedaulatan,
penguasa yang ideal dan sebagainya. Di sini, Aristoteles hanya menekankan
uraian dari konsepsi negara, khususnya konsep pertama. Dalam buku ini
diterangkan bahwa negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat meskipun
bukan berarti negara tidak memiliki batasan kekuasaan. Negara memilki
kekuasaan tertinggi hanyalah karena ia merupakan lembaga politik yang memiliki
tujuan yang paling tinggi dan mulia. Tujuan dibentuknya negara adalah
menyejahterakan seluruh warga negara, bukan individu tertentu. Selain itu,
menurut Aristoteles, tujuan negara hamper sama dengan tujuan hidup manusia,
yaitu agar manusia mencapai kebahagiaan (eudaimonia). Ini artinya, negara
merupakan organisasi politik yang bertujuan menggapai kebaikan bersama
berbentuk kebahagiaan dengan jumlah yang terbesar. Dengan tercapainya
kebaikan bersama, kebaikan individu akan tercapai dengan sendirinya, khususnya
dalam hal kesejahteraan dan kebahagiaan.

14
Soehino. Op.Cit. hlm. 21

11
Negara merupakan suatu kesatuan untuk mencapai kebaikan tertinggi,
persekutuan untuk mempunyai tujuan tertentu. Susunan dan hakekat negara
adalah negara yang merupakan suatu kesatuan dan suatu organisasi.

Kriteria pembeda dalam bentuk negara adalah jumlah orang pemegang


pemerintahan dalam sifat dan tujuan pemerintah, antara lain :

a. Monarki dan Tyranni


Monarki yaitu bentuk negara dimana hanya dipegang oleh satu
penguasa dan ditujukan untuk kepentingan umum, dan bersifat baik.
Tyranni yaitu bentuk negara hanya dipegang oleh satu orang dan
ditujuakan untuk kepentingan si penguasa itu sendiri dan bersifat jelek.
b. Aristokrasi dan Oligarki
Aristokrasi yaitu bentuk negara yang dipegang oleh beberapa orang
dan ditujukan kepada kepentingan umum da sifatnya baik.
Oligarki yaitu bentuk negara dimana dipegang oleh beberapa orang
dan ditujukan kepada kepentingan mereka dan sifatnya jelek.
c. Republik Konstitusionil dan Demokrasi
Republik Konstitusionil adalah bentuk negara yang kekuasaan yang
dipegang oleh rakyat dan memperhatikan kepentingan umum atau
rakyat dan bersifat baik.
Demokrasi yaitu bentuk negara yang kekuasaan yang dipegang oleh
rakyat dan memperhatikan kepentingan pemegang kekuasaan dan
bersifat jelek.

Asal Usul Negara. Kemunculan Negara tak terlepas dari watak politik
manusia yaitu manusia sebagai “zoon poltikon” (makhluk berpolitik); Negara
dibutuhkan sebagai sarana untuk aktualisasi watak manusia itu; Negara
dianalogikan sebagai organisasi tubuh; Negara lahir (dalam bentuk
sederhana/primitif), kemudian berkembang menjadi kuat dan dewasa, seelah itu
hancur, tenggelam dalam sejarah; Komponen Negara adalah unit keluarga, desa
dan tertinggi adalah Negara. Formasi Negara terjadi dalam proses perkembangan
persekutuan hidup sesuai kodratnya; Negara terbentuk karena manusia saling

12
membutuhkan , sehingga dalam kehidupan kemasyarakatan dan Negara, akan
selalu terjadi “hubungan saling ketergantungan” antar individu dalam masyarakat;
Bila Negara bersifat organis, maka semua warga negara berkewajiban memiliki
tanggung jawab memelihara persatuan dan kesatuan, serta keutuhan Negara dan
memelihara keamanan.

Ukuran atau luas wilayah suatu Negara menurut Aristoteles, sebaiknya


tidak terlalu luas, tetapi juga tidak terlalu kecil. Sebab Negara terlalu kecil sulit
mempertahankan diri, mudah dikuasai Negara lain. Terlampau besar dan luas,
sulit menjaganya. Negara ukuran ideal, menurut Aristoteles, seperti “polis” atau
“city state”.

Catatan :

Aristoteles berbeda dengan Alexander Agung yang berambisi menciptakan


Negara imperium yang luas.

Tentang kekuasaan Negara polis, Aristoteles berpendapat, karena Negara,


merupakan jenjang tertinggi (dari keluarga dan desa), maka ia memiliki
“kekuasaan mutlak” atau “absolut”.

Tujuan negara menurut Aristoteles yaitu untuk menyelenggarakan


kepentingan umum. Dalam buku politica dijelaskan tentang pemerintahan sebagai
berikut : menentukan masalah – masalah; mempertimbangkan berapa jumlah
bentuk pemerintahan dan hakekatnya; apakah bentuk pemerintahan itu yang benar
atau yang menyeleweng; konstitusi dan pemerintahan pempunyai arti yang sama;
pemerintahan yang merupakan kekeuasaan yang tertinggi dalam negara, harus
berada ditangan satu orang, atau sejumlah kecil orang, atau banyak orang; bentuk
pemerintahan yang benar adalah bentuk diamana penguasa yang satu; yang
sedikit, dan yang banyak itu, memerintah dengan memperhatikan kepentingan
umum (bukan kepentingan pribadi dan apabila memperhatikan kepentingan
pribadi, merupakan bentuk pemerintahan yang menyeleweng). Selain itu tujuan
dibentuknya negara yaitu utuk menyejahterakan seluruh warga negara agar

13
manusia mencapai kebahagiaan, maka negara bertugas untuk mengusahakan
kebahagiaan para warganya.

Bentuk negara ideal menurut Aristoteles dalam buku “politics”, terkait


erat dengan “aspek moralitas”; Negara yang baik (good state) adalah Negara
yang sanggup mencapai tujuan-tujuan Negara. Sedang Negara yang buruk (bad
state) adalah Negara yang gagal melaksanakan cita-cita itu;

Kriteria dalam melihat bentuk Negara:

Pertama : beberapa jumlah orang yang memegang kekuasaan , apakah satu


orang, beberapa orang ataukah banyak orang?

Kedua : apa tujuan dibentuknya Negara; apakah bertujuan menyejahterakan


dan demi kebaikan umum apakah hanya untuk penguasa saja?

Berdasarkan klasifikasi tersebut, Aristoteles membedakan:

Monarki, apabila kekuasaan terletak di tangan satu orang, bertujuan untuk


kebaikan kesejahteraan semua; Inilah bentuk Negara terbaik, “Negara ideal”;

Tirani, bentuk penyimpangan monarki, dimana kekuasaan di tangan satu orang


dan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan sewenang-wenang.

Catatan :

Idealnya menurut Aristoteles, monarki sebagai Negara ideal, karena ia


diperintah oleh seorang penguasa filsuf, arif dan bijaksana (the philosopher king).

Kekuasaannya untuk kesejahteraan masyarakat.

Tetapi Aristoteles menyadari bahwa monarki nyaris tidak mungkin ada dalam
realitas. Ia hanya refleksi gagasan normatif yang sukar terealisasi dalam dunia
empiris.

Karena itu kemudian Ia menyadari bahwa “aristokrasi” jauh lebih realistis untuk
terwujud dalam kenyataan.

14
Dari ketiga bentuk Negara itu, yang paling mungkin terwujud dalam kenyataan
yaitu “demokrasi” atau “politea” (polis).

Di sini Aristoteles bersifat realistis ketimbang Plato. Jika pemerintahan dikuasai


oleh beberapa orang dnan bertujuan baik demi kepentingan umum, maka bentuk
Negara itu adalah “aristokrasi”.

Penyimpangan terhadap bentuk Negara ini yaitu “oligarki”, kekuasaan pada


sedikit atau beberapa orang dan bukan untuk kesejahteraan dan kebaikan bersama,
kekuasaan untuk pengumpulan kekayaan dan harta semata;

Bila kekuasaan terletak di tangan orang banyak atau rakyat dan bertujuan demi
kepentingan semua masyarakat, maka bentuk Negara itu adalah “politea”;

Tetapi bila Negara dipegang oleh banyak orang (miskin, kurang terdidik,dll) dan
bertujuan hanya demi kepentingan mereka, maka bentuk Negara itu adalah
“demokrasi”. Demokrasi seakan memiliki konotasi negatif dan Aristoteles tidak
menyebutnya sebagai bentuk Negara ideal.

Tentang Hak Kepemilikan . Plato menentang hak milik (property rights)


Aristoteles membenarkan adanya hak milik individu; Hak milik penting karena
memberikan tanggung jawab bagi seseorang untuk mempertahankan
keberlangsungan kehidupan sosial; Hak milik juga memungkinkan orang untuk
memikirkan persoalan Negara. Mereka yang memiliki harta tentu akan selalu
berusaha memperbanyak (akumulasi kapital) dan menjaga hartanya dengan baik.
Dari gagasan untuk mempertahankan kekayaan itulah kemudian timbul gagasan
bagaimana menciptakan sistem keamanan Negara. Orang-orang kaya akan
memiliki perhatian serius terhadap keamanan Negara, karena itu menyangkut
kepentingan pribadinya.15

Tentang Pengetahuan. Menurut Plato, realitas yang sesungguhnya hanya


ditemukan dalam ide-ide arketip, hal-hal yang universal, seperti manusia atau
negara secara umum. Hal-hal partikular yang ditangkap oleh indera hanyalah

15
Kabul Budiyono. Op.Cit. hlm. 88-90

15
bayangan dari ide-ide tersebut –bayangan dari realitas- yang merupakan obyek
opini tetapi bukan pengetahuan sejati. Universal, dalam pandangan ini, berbeda
dari partikular. Ia tidak bisa dihadirkan dengan proses abstraksi atau penguraian
dari obyek yang pantas yang ciri-cirinya tidak asing bagi mereka. Ia hanya hidup
di luar dunia temporal. Aristoteles mengakui bahwa teori Plato mengenai ide tidak
memadai untuk menjelaskan fakta empirik. Sementara menyepakati bahwa obyek
pokok akal adalah mengetahui esensi sesuatu, dia beranggapan bahwa esensi
tersebut tidak boleh dipahami sebagai hal yang berbeda dari obyek pengalaman.
Sebagaiaman universal, esensi ada hanya dalam akal. Meski demikian, tidak
seperti dunia-ide-nya Plato, universal tidak memiliki eksistensi atau realitas
independen yang terpisah dari obyek material di mana universal tersebut melekat.
Bentuk berada dalam seuatu dan bukan sesuatu itu sendiri yang secara terpisah
ada dalam obyek individu.

Aristoteles menyebutkan bahwa esensi suatu obyek diketahui oleh nalar manusia
melalui abstraksi. Dalam proses ini, karakteristik-karakteristik yang aneh bagi
beberapa anggota suatu kelompok diabaikan dan hanya karakteristik yang tidak
aneh buat mereka yang tetap dipakai. Dengan demikian, dengan membuang
keganjilan-keganjilan yang membedakan John, Henry dan James, seperti dalam
hal tinggi, berat dan warna, nalar menggunakan unsur-unsur yang umum bagi
mereka semua – rasionalitas, kepekaan, badan dan kehidupan – dan membentuk
semua itu ke dalam ide tentang manusia. Pengetahuan, dari sisi ini, bermula dalam
perasaan, namun jauh melampaui presepsi karena intelek memberikan
pengetahuan mengenai esensi dan hakikat akan sesuatu yang lebih dari sekedar
hitungan atau koleksi fakta dan pengalaman.

Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles tercium dalam teori politik mereka.
Apa yang diinginkan Plato bukanlah negara yang memiliki kemungkinan terbaik,
namun polis ideal yang didasarkan atas suatu model yang jauh melampaui dunia
empiris dan historis. Ernst Cassier mencatat bahwa sekalipun negara-nya Plato
memberikan suatu pola bagi tindakan-tindakan manusia, ia tidak memiliki status
ontologis yang pasti, tidak memiliki tempat dalam realitas. Akibatnya, filsafat

16
politiknya menekankan karakter ketidak realitisan yang sama sebagaimana
catatannya mengenai segala sesuatu yang alamiah. Penekanannya yang luar biasa
pada kesatuan bisa diikuti secara sama dengan teorinya mengenai pengetahuan.
Karena ide lebih riil daripada obyek atau spesies dan tercakup di dalamnya, dan
karena dalam susunan logis konsep yang lebih universal dibebankan aas yang
sedikit, masyarakat yang lebih kecillah (individu, keluarga atau asosiasi sukarela)
yang secara tepat diserap dalam komunitas yang lebih universal, yakni negara.

Berlawanan dengan Plato, epistemologi Aristoteles memungkinkan untuk


mencari prinsip-prinsip yang determinis, esensi dan hakikat, obyek dalam obyek
itu sendiri. Pemikiran politiknya, pada gilirannya, memiliki feeling mengani
realitas. Ia mencari kemungkinan dan makna, lebih daripada ketidakmungkinan
dan ekstrim. Ini bermula pada hal partikular dan individu, bukan pada hal
universal dan keseluruhan. Teori pengetahuan ini mensyaratkan adanya
metodologi untuk digunakan dalam pengujian dengan dua cara: pertama,
pelacakan harus bermula dengan investigasi empiris bermula dari bagian-bagian
yang memperbaiki keseluruhan. Hanya dengan beralih dari hal sederhana kepada
kombinasi, hakikat dan hak-hak keseluruhan bisa dipahami secara benar.16
(Henry J. Schmandt. Filsafat Politik cetakan 2009 hal 85-87)
Aristoteles memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk tradisi politik
Barat. Kontribusinya yang melampaui batas waktu dan abadi sebagaimana
disaksikan para intelektual sepanjang masa. Ada beberapa aspek pemikiran sosial
dan politiknya yang akan ditolak oleh kalangan demokrasi modern; ada pula yang
lain, termasuk beberapa premis dasarnya, yang diterima secara luas. Kajian
pemikiran politik lebih dari sekedar latihan akademik. Ia merupakan suatu jelajah
ke dunia ide yang sangat relevan dengan masyarakat modern.

Aristoteles mengikuti Plato yang menekankan watak moral dan etik tubuh
politik. Dia memiliki kepedulian bukan hanya dengan teknik-teknik melainkan
juga dengan pilihan-pilihan tujuan. Dia mengingatkan kita bahwa negara, yang
bertindak melalui organ-organ pemerintahannya, lebih dari sekedar agen untuk

16
Henry J Schmandt. 2009. Filsafat Politik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. hlm. 85-87

17
memperkuat hukum dan aturan. Negara didesain untuk membantu manusia
mencapai kehidupan yang baik, untuk menciptakan lingkungan atau iklim –
sosial, ekonomi, moral dan sosial – di mana manusia bisa memenuhi wataknya
secara lebih baik sebagai makhluk yang rasional. Dia menggambarkan bahwa
sementara negara tidak berupaya untuk menggantikan aktivitas-aktivitas pribadi
individu dan kelompok-kelompok sosial yang kecil, energinya harus digunakan
secara aktif dan positif untuk mencapai kebaikan bersama.

Teori politik Aristoteles memperingatkan perlunya kehati-hatian dalam


merencanakan aktivitas negara. Ia mengingatkan akan upaya-upaya untuk
merekonstruksi masyarakat menurut beberapa cetak biru besar reformasi sosial
yang menunjukkan sedikit respek terhadap bijaknya pengalaman, tradisi, adat dan
kapasitas manusia. Teori politik Aristoteles menekankan bahwa pendekatan ini
dapat dengan baik mendorong pada horornya Aldous Huxley dalam karyanya
Brave New World dan dalam karya George Orwell, 1984, di mana elit “ilmiah”
memanipulasi manusia demi kepentingan masyarakat pengadu (complaisant).
“Marilah kita ingat,” Aristoteles memperingatkan, “bahwa kita tidak boleh
mengabaikan pengalaman masa lalu.” Negarawan bukanlah seniman yang bisa
membagi tanahnya menurut bentuk yang dia anggap terbaik. Pada saat yang sama,
pendekatan terhadap perubahan sosial politik harus dinamis dan progresif
sekalipun tidak radikal. Jika institusi-institusi politik ingin bertahan, mereka harus
mengubah status quo.

Aristoteles benar-benar sadar akan peran yang dimainkan dalam proses


politik. Dia mengakui bahwa pembuat kebijakan pemerintah sering tidak lebih
dari sekadar ratifikasi atas keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemegang
kekuasaan ekonomi. Analisisnya, juga menunjukkan hubungan yang dekat antara
ekonomi dan stabilitas politik. Ketika perbedaan kekayaan terjadi dalam negara,
ketika kemiskinan meluas dan berdampingan dengan kemiskinan, ini artinya
masyarakat berada dalam kondisi tidak sehat. Ikatan keadilan dan kehendak
bersama yang akan menyatukan masyarakat yang lemah atau terlepas ke dalam
negara tersebut. Pemerintahan diktator bisa saja menghancurkan kerusuhan sosial

18
dengan kekuatan, namun pemerintahan demokratis tidak bisa mengabaikan
kesejahteraan ekonomi rakyatnya dari kelas mana pun . jika demikian, teori
politik Aristoteles telah menyumbangkan tujuan politiknya dan membuka pintu
kepada filsafat pemerintahan yang kurang diinginkan.

B. JAMAN ROMAWI KUNO

Berbeda dengan pada waktu jaman Yunani, pada jaman Romawi ini ilmu
pengetahuan, terutama ilmu kenegaraan tidak dapat berkembang sedemikian rupa,
sehingga sesungguhnya sedikit sekali pengetahuan yang kita dapatkan dari jaman
ini. Tetapi orang tidaklah boleh memperkecil arti jasa-jasa dari bangsa Romawi,
karena meskipun sistem ketatanegaraannya tidak dituangkan dalam suatu ilmu
pemikiran, melainkan ditanamkan dalam praktek ketatanegaraannya, dapat
mempengaruhi sistem ketatanegaraan seluruh dunia.

Meskipun bangsa Romawi dalam beberapa hal hanya mewarisi saja dari
kebudayaan dan peradaban bangsa Yunani, setelah negara Yunani pada tahun 146
SM ditaklukkan Romawi dan kemudian dimasukkan dalam kerajaan Romawi,
tetapi sangatlah berlainan keadaannya daripada kedua negara tersebut. Perbedaan
tersebut antara lain:

1. Pada jaman Romawi ilmu pengetahuan tidak dapat berkembang dengan


pesat. Hal ini disebabkan karena bangsa Romawi adalah bangsa yang lebih
menitik-beratkan soal-soal praktis daripada berpikir secara teoritis.
Sedangkan bangsa Yunani lebih merupakan orang-orang yang suka
berpikir, juga berpikir tentang negara dan hukum. Bangsa Yunani banyak
menghasilkan akhli-akhli filsafat. Dengan demikian maka konsepsi-
konsepsi kenegaraan dari bangsa Romawi ini hanyalah dapat kita ketahui
dari praktek-praktek ketatanegaraannya, karena memang konsepsi-
konsepsi kenegaraannya selalu dilaksanakan dalam lembaga-lembaga
hukum serta lembaga-lembaga kenegarannya, sedangkan konsepsi-
konsepsi kenegaraan dari bangsa Yunani banyak dibukukan, dan dari
sinilah kita dapat mengetahuinya.

19
2. Kerajaan Romawi itu dimulai dari keadaan yang terpecah belah, tetapi
yang kemudian setelah melalui peperangan-peperangan, keadaan di
Romawi mengalami perubahan-perubahan. Perubahan mana yang penting
adalah perubahan dari negara yang bersifat polis atau negara kota (city
state), Romawi menjadi suatu Imperium (kerajaan dunia), yang dapat
mempersatukan seluruh daerah peradaban dalam satu kerajaan. Sedangkan
pada jaman Yunani negara dimulai dengan kesatuan nasional yang
kompak, tetapi akhirnya jatuh karena negara terpecah belah, yang tidak
dapat dikuasai lagi untuk dipersatukan kembali.

Pemerintahan yang pertama kali pada jaman Romawi adalah Monarki


atau Kerajaan, yang meliputi berbagai-bagai suku bangsa. Pemerintahan Monarki
ini didampingi oleh sebuah badan perwakilan yang anggota-anggotanya hanya
terdiri dari kaum patricia (kaum ningrat). Di dalam sistem pemerintahan yang
pertama ini telah terlihat benih-benih demokrasi, yang kemudian dapat
dilaksanakan setelah raja yang terakhir diusir dari takhtanya. Pada waktu itu
kemudian terjadi pertentangan antara kaum patricia (kaum ningrat) dengan kaum
Plebeia (kaum jembel, rakyat jelata). Pertentangan mana kemudian dapat
diselesaikan dengan sebuah undang-undang, yang terkenal dengan nama undang-
undang 12 meja. Kemudian pemerintahannya dipegang oleh dua orang konsul
yang bersama-sama dengan dewan pemerintah menjalankan pemerintahan dan
undang-undang

Jadi dengan demikian negara Romawi telah mengalami perubahan dari


Kerajaan menjadi demokrasi, hanya saja dalam keadaan darurat, misalnya dalam
keadaan bahaya, peperangan, kekuasaan negara dipusatkan pada satu orang yang
dinamakan diktator. Diktator ini mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan
bersifat mutlak, tetapi hanya untuk sementara waktu saja, dengan maksud supaya
segala keputusan dan tindakan dapat diambil dan dilaksanakan dengan cepat.
Tetapi nanti setelah keadaan menjadi normal kembali, pemerintahannya itu
kembali mempergunakan sistem demokrasi.

20
Dalam keadaan darurat tadi kekuasaan perundang-undangan dan
kehakiman dipegang dan dilaksanakan oleh seorang praetor, dan yang di dalam
menjalankan tugasnya itu ia harus menyesuaikan perundang-undangan dengan
kebutuhan-kebutuhan baru di dalam masyarakat yang terus berkembang ke arah
kemajuan. Sehingga dengan demikian dapat menimbulkan yurisprudensi yang
tetap, dan kepastian hukum bagi para warga negaranya.

Di atas telah dikatakan bahwa Romawi dapat mencapai puncak


perkembangan sistem ketatanegaraannya menjadi suatu Imperium (Kerajaan
Dunia). Di dalam stadium Imperium ini bangsa Romawi banyak mempergunakan
ajaran kaum Stoa yang diciptakan oleh Zeno, sebagai dasar daripada sistem
ketatanegaraannya. Dan sesungguhnya bahwa ajaran dari kaum Stoa ini yang
memungkinkan Romawi dapat menjadi suatu kerajaan dunia. Karena ajaran kaum
Stoa tadi bersifat Universalistis, yang tidak terbatas pada city state saja seperti
universalismenya bangsa Yunani, tetapi universalisme dari kaum Stoa tadi
meliputi seluruh dunia dan bersfat kejiwaan.

Hanya saja bedanya, meskipun universalisme dari bangsa Romawi tadi


yang dipergunakan sebagai dasar adalah ajaran kaum Stoa yang juga meliputi
seluruh dunia, ialah: bahwa universalisme bangsa Yunani dahulu, yaitu
universalismenya Aristoteles hanya meliputi polis dan bersifat kenegaraan. Kalau
universalisme dari kaum Stoa, yang diciptakan oleh Zeno, meliputi seluruh dunia
dan bersifat kejiwaan. Sedangkan universalisme dari bangsa Romawi meskipun
juga meiputi seluruh dunia, tetapi bersifat politis, politik ketatanegaraan.

Di atas telah disebutkan adanya dua hal yang menunjukkan adanya


perbedaan antara negara Yunani dan negara Romawi. Tetapi di samping itu
sesungguhnya masih didapatkan perbedaan-perbedaan lagi yang lebih bersifat
prinsipiel. Yaitu, bahwa pada jaman Yunani orang atau warga negara itu
merupakan bagian daripada negara, sehingga dengan demikian warga negara tidak
mempunyai hak apapun dan tidak dapat mengajukan gugatan-gugatan terhadap
negara. Sedangkan pada jaman Romawi orang atau warga negara itu dipisahkan
dari negara, yang keadaannya masing-masing diatur oleh hukum yang berlainan.

21
Hubungan antara warga negara yang satu dengan yang lain diatur oleh hukum
privat (perdata), sehingga mereka akan diadili berdasarkan imbangan yang
obyektif. Sedangkan hubungan-hubungan yang menyangkut negara diatur oleh
hukum publik. Jadi dengan demikian baik individu atau warga negara maupun
negara masing-masing mempunyai hak-haknya sendiri. Bangunan hukum dari
bangsa Romawi yang didasarkan atas perbedaan-perbedaan antara hukum privat
(hukum perdata) dengan hukum publik, ini semata-mata adalah hasil dari pikiran
yuridis, yang menyebabkan negara Romawi menjadi negara yang termasyhur.

Selain daripada itu, kalau bangsa Yunani dahulu masih selalu


mencampur adukkan, dalam arti belum memisahkan antara hukum dengan
kesusilaan, sehingga sifatnya kaku, lagi pula belum memisahkan antara pengertian
negara dengan pengertian masyarakat. Sedangkan kalau bangsa Romawi telah
melahirkan cara berpikir yang bersifat yuridis murni dan praktis. Hukum dengan
kesusilaan dipisahkan benar-benar, juga antara negara dengan masyarakat. Negara
dipandang sebagai bentuk pengertian yang abstrak, yang dapat dibedakan dengan
masyarakat.

Prinsip atau azas yang diciptakan oleh bangsa Romawi sehingga dapat
membentuk Imperium, kerajaan dunia, ialah suatu sistem atau cara yang dengan
itu golongan kecil (minoritas) dapat menguasai golongan besar (mayoritas) yang
terdiri dari bangsa-bangsa asing, dan yang penting lagi, yang pada waktu itu
belum ada, ialah sistem yang bagaimanakah, yang dengan sistem itu dapat
mempertahankan kekuasaan untuk selama-lamanya, dan bagaimana negara harus
mempertahankan diri dari bahaya-bahaya yang mengancam, yang bahaya itu
dapat menimbulkan perpecahan di dalam negara, yang dapat membawa ke
kehancuran.

Sebagai akibat dari semakin berkembang dan meluasnya negara Romawi,


maka pemerintahan, tidak dapat dipimpin dan dilaksanakan secara sentral lagi.
Maka lalu usaha untuk mengatasi hal yang demikian ini, negara dibagi-bagi
menjadi daerah-daerah kerajaan, yang disebut propinsi, yang mempunyai pusat
pemerintahan sendiri (ibukota), yang dipimpin oleh seorang praetor. Dengan

22
demikian sistem demokrasi yang dijalankan dalam polis, juga tidak dapat
dilaksanakan dalam Imperium. Sebab kalau dijalankan akan timbul kemungkinan,
bahwa bangsa-bangsa yang telah ditaklukkannya itu, dan yang telah bergabung
dalam kerajaan Romawi, akan bersatu dan memberontak kepada penguasa: Maka
untuk mengatasi ini bangsa Romawi telah menemukan sistem, yang tanpa
menghiraukan azas-azas kesusilaan kalau mengenai kepentingan negara,
meskipun sistem ini terkenal sangat buruk, tetapi sangat bermanfaat bagi yang
melaksanakannya, yaitu azas memecah belah dan menguasai (devide at impera).
Azas ini megandung pengertian, bahwa masing-masing bangsa yang telah
ditaklukkan itu tidak boleh saling mengadakan perhubungan, karena ikatan0ikatan
yang lahir dari perhubungan ini mungkin akan dapat membentuk suatu kesatuan
dan memberontak kepada penguasa, maka hal yang demikian adalah sangat
berbahaya.

Jadi pokoknya praktek ketatanegaraan yang keras dari bangsa Romawi


itu dipisahkan dengan nyata dari azas-azas kesusilaan. Jika sekiranya timbul
pertalian-pertalian kesusilaan yang dianggap membahayakan negara, negara tidak
akan segan-segan mematahkannya. Dengan demikian maka penipuan,
pengkhianatan dan sebagainya diperkenankan, asalkan itu ditujukan untuk
kepentingan negara. Praktek ketatanegaraan yang demikian ini nanti akan
dirumuskan oleh Niccolo Machiavelli pada jaman renaissance sebagai ajaran
politiknya dalam bentuk teoritis-yuridis.

Setelah negara Romawi dibagi-bagi menjadi propinsi-propinsi, yang


dipimpin oleh seorang praetor, hukum yang berlaku diperluas dengan sistem baru
yaitu yang disebut jusgentium (hukum antar negara), yang memuat aturan-aturan
umum yang berlaku untuk semua bangsa. Hukum ini dianggap sebagai suatu
ketentuan dari ratio yang abstrak, yang sifatnya adil dan dianggap sama untuk
setiap bangsa, dan yang dianggap pula tidak mungkin salah. Dalam hal ini ajaran
kaum Stoa memegang peranan penting, yang kemudian mencapai kesimpulan
bahwa hukum alam dari pikiran yang abstrak di atas jusgentium. Maka sampailah
orang pada pemikiran jusnaturale (hukum alam). Ini berarti bahwa filsafat dari

23
bangsa Yunani yang memuat hukum alam dari kaum Stoa telah mendasari hukum
Romawi.

Demikianlah pandangan terhadap negara pada jaman Romawi, yang


ternyata di sini negara dibedakan dari masyarakat, negara merupakan badan
hukum di samping masyarakat. Negara mempunyai kepentingan dan tujuan
tersendiri, yang kadang-kadang dapat bertentangan dengan kepentingan dan
tujuan masyarakat, tetapi kekuasaan negara tidaklah mutlak, karena kekuasaan ini
didapatkan dari rakyat, dan dalam hukum privat, negara dapat dituntut oleh warga
negara untuk mengganti kerugian, bilamana negara itu mengadakan tindakan-
tindakan yang merugikan warga negaranya.

Kekuasaan rakyat yang diserahkan kepada penguasa, yaitu raja tadi,


sifatnya tidak turun-temurun, jadi setiap pengangkatan raja baru rakyat
menyerahkan kekuasaannya kepada raja yang baru tadi, dan sesudah itu rakyat
tidak dapat mencabut kembali. Hal inilah yang memberi alasan bagi penguasa
untuk bertindak sebagai diktator, dan hal demikian memang pernah terjadi, yaitu
kira-kira pada tahun 48 SM. Julius Caesar menjadi seorang diktator untuk seumur
hidup, yang mengakibatkan Romawi yang mula-mula demokrasi kemudian
menjadi Monarki. Tetapi sekalipun demikian kekuasaan negara yang tertinggi
tetap ada pada seorang rakyat, dan berasal pula dari rakyat. Jadi anggapan mereka
kekuasaan kaisar sama dengan kekuasaan raja. Terhadap keadaan demikian yang
demikian ini Polybius mengatakan bahwa Romawi merupakan pemerintahan yang
mempersatukan unsur-unsur demokrasi, Aristokrasi dan Oligarki.

Polybius ini adalah salah seorang akhli pemikir besar tentang negara dan
hukum pada jaman Romawi. Pada umumnya teori-teori kenegaraan pada jaman
Romawi itu tidak menunjukkan buah pikiran yang asli, karena mereka dalam
banyak hal hanya melanjutkan saja ajaran-ajaran dari sarjana-sarjana klasik
(sarjana-srjana dari Yunani). Bahkan sesungguhnyalah Romawi merupakan akhli
waris daripada Yunani. Tetapi meskipun demikian ajaran-ajaran mereka itu cukup
bernilai tinggi untuk dipelajari, karena teori mereka ditanamkan pada praktek-
praktek ketatanegaraan mereka, yang besar pengaruhnya terhadap negara-negara

24
di dunia, yang bekas-bekasnya masih dapat dilihat hingga dewasa ini, misalnya
sistem hukum mereka. Dengan demikian sampailah kita membicarakan ajaran-
ajaran dari sarjana-sarjana Romawi.

1. Polybius
Polybius itu sebenarnya adalah seorang akhli sejarah yang
berkebangsaan Yunani. Tetapi oleh karena sesuatu hal ia pernah dipenjarakan di
Romawi. Dia adalah seorang yang rajin, tekun dan cakap. Ini terbukti meskipun ia
dipenjarakan, tetapi selama di penjara itu ia sempat dan dapat mengadakan
penelitian tentang sistem dan susunan ketatanegaraan di Romawi. Dan setelah ia
dikeluarkan dari penjara ia mengadakan perjalanan keliling dunia, antara lain ke
Afrika, tujuannya tidak lain adalah juga untuk mengadakan penelitian. Dan
ternyata dari hasil-hasil penelitiannya itu ia dapat menghasilkan teori tentang
perubahan bentuk-bentuk negara. Ajarannya kemudian terkenal dengan nama
cyclus theori.
Karena menurut Polybius bentuk negara atau pemerintahan yang satu
sebenarnya adalah merupakan akibat daripada bentuk negara yang lain, yang telah
langsung mendahuluinya. Dan bentuk negara yang terakhir itu tadi kemudian akan
merupakan sebab daripada bentuk negara yang berikutnya, demikianlah
seterusnya, sehingga nanti bentuk-bentuk negara itu dapat terulang kembali. Jadi
dengan demikian di antara berbagai-bagai bentuk negara itu terdapat hubungan
sebab akibat. Bentuk-bentuk negara itu berubah-ubah sedemikian rupa, sehingga
perubahannya itu merupakan suatu lingkaran, suatu cyclus, maka dari itu teorinya
disebut cyclus theori.
Menurut ajaran Polybius, bentuk-bentuk negara itu dapat
digolongkan menjadi tiga golongan besar, yang kemudian masing-masing
golongan itu dibedakan lagi menjadi dua jenis. Dengan demikian kita dapat
menarik suatu kesimpulan bahwa dalam garis besarnya ajaran-ajaran dari : Plato,
Aristoteles dan Polybius tentang bentuk-bentuk negara pada prinsipnya adalah
sama ialah bahwa mereka berpendapat ada tiga bentuk negara, ini yang pokok,
yang kemudian masing-masing bentuk itu dibedakan lagi menjadi dua jenis,
sehingga lalu ada enam bentuk negara, yang meskipun sesungguhnya tiga bentuk

25
yang lain itu hanya merupakan ekses saja daripada tiga bentuk yang pokok tadi.
Inilah yang kemudian terkenal sebagai ajaran tentang bentuk-bentuk negara pada
jaman kuno yang bersifat klasik tradisional. Perlu juga diketahui bahwa menurut
Polybius, dalam kerajaan Romawi itu dapat dicapai bentuk pemerintahan yang
paling baik karena dipersatukan di dalamnya unsur-unsur yang terbaik dari
bermacam-macam bentuk pemerintahan yang dibedakan olehnya satu sama lain,
semata-mata menurut ajaran Aristoteles.
Hanya saja hubungan kausal, hubungan sebab akibat, antara bentuk
pemerintahan atau bentuk negara yang satu dengan yang lain itu dalam ajaran
Aristoteles belum dikatakan dengan tegas seperti halnya dalam ajaran Polybius.
Hubungan sebab akibat itu oleh Polybius diterangkan sebagai berikut :
Menurut Polybius, di mana-mana bentuk Monarki adalah merupakan
bentuk yang tertua, yang didirikan atas kekuasaan dari rakyat yang mrupakan
kesatuan berhubung dengan kecenderungan-kecenderungannya yang berdasarkan
alam. Cita-cita akan keadilan dan kesusilaan telah menyebabkan orang pada
mulanya sangat menghargai bentuk Monarki tersebut. Dalam Monarki ini
kekuasaan negara dipegang oleh satu orang tunggal yang berkuasa, berbakat, dan
mempunyai sifat-sifat yang lrbih unggul dari warga negara lain, maka lalu
mendapatan kepercayaan untuk memerintah.
Tetapi lama kelamaan keturunan dari raja itu tidak lagi menjalankan
pemerintahan untuk kepentingan umum, melainkan hanya untuk kepentingan diri
sendiri saja. Maka menjadilah sekarang negara itu hanya diperintah oleh satu
orang tunggal yang sifat pemerintahannya sangat jelek. Ini menyebabkan bentuk
negara itu berubah dari Monarki menjadi Tyranni.
Oleh karena pemerintahan dari seorang Tyran ini bersifat sewenang-
wenang, maka muncullah kemudian beberapa orang yang berani dan mempunyai
sifat-sifat baik (kaum bangsawan). Mereka ini bersatu dan mengadakan
pemberontakan. Setelah kekuasaan beralih ke tangan mereka, mereka
menjalankan pemerintahan dengan sangat memperhatikan kepentingan umum. Ini
menyebabkan bentuk negara itu berubah, dari bentuk Tyranni menjadi
Aristokrasi.

26
Pemerintahan Aristokrasi ini memang mula-mula adalah baik, tetapi
lama-kelamaan, mungkin juga keturunan mereka, yang kemudian memegang
pemerintahan itu, tidak lagi menjalankan pemerintahan itu untuk melaksanakan
keadilan dan kepentingan umum, tetapi yang diperhatikan hnaya kepentingannya
sendiri. Ini menyebabkan bentuk negara itu berubah dari bentuk Aristokrasi
menjadi Oligarki.
Karena Oligarki ini tidak terdapat keadilan, maka rakyatlah kemudian
yang memberontak, mengambil alih kekuasaan negara untuk mempebaiki nasib
mereka. Ini menyebabkan berubahnya bentuk negara dari bentuk Oligarki menjadi
Demokrasi.
Semula pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat ini memang
baikbaik, karena sangat memperhatikan kepentingan umum, dan sangat
menghargai persamaan serta kebebasan. Tetapi kemudian, kebebasan itu tak lagi
dihargai, akibatnya timbul kekacauan, kebobrokan dan korupsi merajalela
dimana-mana. Sehingga peraturan hukum yang ada tidak lagi mempunyai
kekuatan mengikat, bahkan mereka bebas untuk berbuat sesuka hatinya. inilah
yang menurunkan derajat Demokrasi dan merubah bentuk negara dari Demokrasi
menjadi Okhlokrasi.
Dari keadaan yangs serba kacau-balau di atas, di mana rakyat
hidupnya berada di luar batas-batas ketertiban dan kesusilaan, timbullah keinginan
untuk memperbaiki nasibnya. Bersamaan dengan itu muncullah seorang yang kuat
dan berani, yang dengan jalan kekerasan akhirnya dapat memegang kekuasaan.
Maka kekuasaan pemerintahan beralih ke tangan seorang tunggal lagi dan dengan
demikian timbullah kembali bentuk negara Monarki. Ini berarti peredaran
perubahan bentuk negara mulai lagi dari asal mulanya.

2. Cicero
Cicero adalah seorang ahli pemikir terbesar tentang negara dan
hukum dari bangsa romawi. Ia hidup pada tahun 106-43 s.M. ia juga seorang ahli
kesusastraan dan ahli pidato, pernah pula ia menjadi seorang advokat. Dalam
banyak hal ia meniru hasil-hasil karya dari sarjana-sarjana Yunani. Negara

27
menurut cicero adanya itu adalah merupakan suatu keharusan, dan harus
didasarkan atas ratio manusia. Ajaran cicero ini sebetulnya meniru dan
disesuaikan dengan ajaran kaum Stoa. Pengertian ratio di sini yang dimaksud oleh
Cicero adalah ratio yang murni, yaitu yang didasarkan atau menurut hukum alam
kodrat.
Mengenai bentuk pemerintahan Cicero berpendapat bahwa yang
baik itu adalah bentuk yang merupakan campuran dari tiga bentuk pemerintahan
yang baik-baik pula. Kiranya disini yang dimaksudkan adalah campuran dari
bentuk pemerintahan : Monarki, Aristokrasi, dan Republika. Tetap meskipun tiap-
tiap orang itu dapat mengambil bagian dalam pemerintahan, kiranya Demokrasi
adalah merupakan lawan daripada bentuk gabungan tersebut.
Mengenai pendapatnya tentang hukum, Cicero mengatakan bahwa
hukum yang baik adalah hukum yang didasarkan atas ratio yang murni tadi, dan
oleh karena itu hukum positif harus berdasarkan atas dalil-dalil atau azas-azas
hukum alam kodrat, (ratio yang murni), jika tidak demikian maka hukum positif
tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat. Bagi Cicero hukum adalah satu-
satunya ikatan dalam negara. Sedangkan keadilan itu hanya dapat dicari melalui
keadilan itu sendiri tanpa dicampuri pamrih tersebut. Akan tetapi hukum alam
dengan kesusilaan atau moral yang berdasarkan alam kodrat itu tidak dapat
dipisah-pisahkan satu sama lain.
Demikianlah ajaran kaum Stoa itu selalu mempengaruhi cara
berpikir tetang negara dan hukum. Hal ini ada pula pada Seneca.

3. Seneca
Seneca yang pernah menjadi guru kaisar Nero, ia meninggal pada
tahun 65 sesudah Masehi. Pada waktu hidupnya Romawi telah mengalami
kebobrokannya. Kekuasaan negara hanya tinggal pada kekuatan bala tentaranya,
raja-raja yang memegang pemerintahan telah rusak akhlaknya. Sedangkan orang
hanya mempunyai kemungkinan menatik diri ke alam kebatinannya sendiri.
Demikianlah juga yang dijalankan oleh Seneca. Mulai saat itu orang mulai
melepaskan diri dari adat kebiasaan luhur yang turun-temurun pada bangsa

28
Romawi untuk mengabdi pada negara. Ini merupakan suatu perubahan yang besar
sesudah orang berabad-abad lamanya memegang teguh adat kebiasaan yang
demikian. Orang mulai menjauhkan diri dari urusan-urusan kenegaraan, dan
mendalami kebatinannya. Pemerintahan dari kaisar Marcus Aurelius yang
tersusun dengan baikpun menunjukkan ketidakmampuannya melawan
perkembangan sejarah yang berdasarkan alam kodrat itu.
Dengan kemudian, Kerajaan Dunia Romawi yang bagaimanapun
kuatnya, dan yang disusun menurut sistem ketatanegaraan yang praktis dan secara
yuridis, tetapi kaku, kerajaan ini jatuh dala keadaan bobrok. Hal ini disebabkan
karena adanya bagian yang lemah daripada susunan ketatanegaraannya, yaitu
bagian sosial-etis. Juga kelemahan itu terdapat pada sistem atau politik
pemerintahannya, yaitu sistem devide et impera. Oleh karena itu imperium
Romawi tidak dapat mencapai kerajaan nasional yang mempunyai kesatuan adat
kebiasaan, bahasa, agama serta ketatanegaraan seperti kerajaan Yunani. Kerajaan
Yunani dahulu sebagai negara yang kecil, telah mempunyai kesatuan yang kuat,
dapat menaklukkan kekuasaan yang besar dari Persia.
Tadi telah dikatakan bahwa kelemahan daripada bangsa Romawi juga
terletak pada sistemnya : divide et impera. Karena di sini orang dapat
menggunakan tipu muslihat dan sebagainya asal itu untuk kepentingan negara, hal
ini menyebabkan setelah bangsa-bangsa yang ditaklukkan itu menjadi sadar
kembali mengadakan perlawanan terhadap Romawi. Inilah hal-hal yang
menyebabkan Kerajaan Dunia Romawi menjadi terpecah belah dan jatuh.
Setelah jatuhnya imperium Romawi, maka sejarah pemikiran tentang
negara dan hukum memasuki jaman abad pertengahan. Pemikiran tentang negara
dan hukum pada jaman abad pertengahan ini tidak secara langsung dikuasai oeleh
masalah-masalah keduniawian, terutama yang berhubungan dengan kepentingan-
kepentingan materiel, dan bukan lagi dari sudut filsafat, melainkan ditinjau dari
segi ketuhanan, dari segi agama. Dan memang sesungguhnya perkembangan
sejarah pemikiran tentang negara dan hukum pada jaman abad pertengahan ini

29
berbarengan dengan timbul dan berkembangnya agama kristen, yag nantinya akan
menimbulkan ajaran-ajaran tentang negara dan hukum yang bersifat Teokratis.17

C. JAMAN ABAD PERTENGAHAN

Biasanya orang berpendapat bahwa jaman abad pertengahan ini dimulai


pada tahun 476 yaitu tahun keruntuhan Kerajaan Romawi Barat. Akan tetapi
Augustinus, ahli pemikir besar tentang negara dan hukum, yang menciptakan
ajaran-ajaran baru pada jaman itu, hidup setengah abad lebih dulu, yaitu pada
tahun 354-430. Sedangakan jatuhnya Kerajan Romawi Barat, yang ditandai
dengan penutupan praktek tentang negara dan hukum dari bangsa Romawi, baru
terjadi setengah abad kemudian (dihitung dari tahun 476 tadi), yaitu dengan
diselenggarakannya kodifikasi undang-undang oleh raja Justinianus dari Kerajaan
Romawi Timur.

Pada jaman abad pertengahan ini tidak banyak memberikan kesempatan


terhadap perkembangan pemikiran tentang negara dan hukum, serta ilmuilmu
pengetahan lainnya, karena cara orang berfikir pada abad pertengahan itu kurang
kritis. Segala hal di dunia selalu dikembalikan kepada asalnya yaitu Tuhan. Jadi
terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena sudah dikehendaki oleh Tuhan.
Dengan demikian lenyaplah alasan yang kuat bagi orang untuk mengadakan
pemikiran tentang negara dan hukum. Pemerintah kerajaan membiarkan segala
sesuatunya di lapangan agama, kesulisaan dan adat istiadat, asal saja hal itu semua
tidak membahayakan kerajaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Yang menarik perhatian istimewa dari pemerintah Kerajaan Romawi


adalah penganut-penganut agama Kristen, karena adanya sikap yang istimewa dari
mereka terhadapa pemerintahan kerajaan, sebab mereka tidak mau mengenal dan
menerima sikap yang lazim terhadap aliran-aliran lain, dan berpendapat bahwa
hanya mereka saja yang memiliki pengetahuan yang sempurna dan lebih tinggi
artinya daripada yang lain-lain, dan pendirian mereka sekali-kali tidak dapat dan
tidak mau mengakui yang lain-lain itu sederajat. Dengan demikian agama Kristen
17
Soehino. Op.Cit. hlm. 33-43

30
sejak semula telah menumbulkan persoalan-persoalan baru, yaitu persoalan
tentang gereja dan negara. Inilah yang antara lain diangkat oleh raja-raja sebagai
alasan untuk mengejar, menangkap dan mengusut secara kejam terhadap
penganut-penagnut agama tersebut. Tetapi hal ini semua tidaklah mematikan
agama tersebut, melainkan malah semakin menambah banyaknya penganut-
penganut agama tersebut.18

Menurut penganut agama Kristen, perintah penguasa hanya boleh ditaati


apabila perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Tuhan. Agama Kristen
mendirikan suatu organisasi yang kuat, yaitu organisasi gereja dengan dikepalai
oleh seorang Paus, sebagai wakil daripada Tuhan untuk memerintah di dunia.
Menurut pandangan yang teokratis dari agama Kristen ini, segala sesuatu yang
ada di dunia ini adanya atas kehendak Tuhan, juga negara, itu pada hakekatnya,
dan pada hakekatnya adalah atas kehendak Tuhan.

Pada jaman abad pertengahan semua orang telah sepakat bahwa yang
mempunyai kekuasaan yang tertinggi adalah Tuhan. Hanya saja pelaksanaanya di
dunia ini siapakah yang mewakilinya. Raja ataukah Paus. Inilah yang
dipersoalkan.

Mengenai hal ini ada yang mengatakan bahwa yang menjadi wakit Tuhan
di dunia ini adalah Raja. Tetapi ada pula yang mengatakan Paus. Mereka yang
menjadi penganut raja itu disebut Kaum Legist sedangakan mereka yang
menganut Paus disebut Kaum Canonist. Dari masing-masing pihak ini tidak ada
yang mau mengalah. Segala tulisan-tulisan dan perdebatan-perdebatan berkisar
pada soal-soal keagamaan dan kekuasaan. Kaum Canonist dan Kaum Legist
keduanya berpendapat bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi, yang
meliputi alam semesta ini adalah Tuhan, Cuma pelaksanaannya di dunia ini
siapakah yang mewakili.19

Kaum Legist berpendapat bahwa tidak hanya gereja yang mempunyai


tugas dan tujuan ethis, memelihara keadilan dan ketertiban hukum, tetapi negara
18
Soehino. Op.Cit. hlm. 43-44
19
Soehino. Op.Cit. hlm. 45

31
juga mempunyai, bahkan negara itu adanya lebih dahulu daripada gereja. Maka
kekuasaan di dunia dipegang oleh seorang raja. Sedangakan Kamu Canonist
berpendapat bahwa kekuasaan yang asli di dunia ini ada pada Paus, dan raja itu
hanya mendapatkan kekuasaan tersebut dari Paus. Jadi raja itu sebetulnya tidak
memiliki kekuasaan yang asli. Oleh Kaum Canonist kekuasaan yang ada pada
Paus yang ada pada raja, itu diumpamakan seperti halnya : matahari dengan bulan.
Bahwa sinar yang asli itu ada pada matahari, sedangakan bulan tersebut hanya
mendaparkan sinar dari matahari.

Dengan timbulnya pertentanggan-pertentanggan tersebut, maka akibatnya


ada dua macam hukum, yaitu :

1. Hukum yang mengatur soal-soal kenegaraan atau keduniawian.


2. Hukum yang mengatur soal-soal keagamaan atau kerohanian.

Dengan demikian juga terdapat dua macam kedifikasi hukum yaitu :

1. Kodifikasi hukum yang diselenggarakan oleh Raja Theodosius dan


juga oleh Raja Justinianus. Ini adalah kodifikasi daripada
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh negara. Kodifikasi ini
disebut Corpus Juris.
2. Kodifikasi yang diselenggarakan oleh Paus Innocentius. Ini adalah
kodifikasi dari pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
gereja. Kodifikasi ini disebut Corpus Juris Canonici.

Corpus Juris ini terdiri dari empat bagian yaitu :

1. Instituten adalah sebuah ajaran, tetapi mempunyai kekuatan yang


mengikat seperti undang-undang.
2. Pandecten merupakan penafsiran dari para sarjana terhadapa suatu
peraturan.
3. Codex adalah peraturan-peraturan atau undang-undang yang di
tetapkan oleh raja.

32
4. Novellen adalah tambahan-tambahan daripada suatu peraturan atau
unadng-undang.20

Teori teokrasi berkembang pada abad pertengahan dan mempunyai


hubungan yang erat dengan perkembangan agama Kristen. Sebelum timbulnya
agama Kristen, di Romawi ada pengertian atau ajaran tentang ke-Tuhanan yang
berdasarkan mitologi yaitu bahwa menurut anggapan mereka ada dewa-dewa,
yang tidak berbeda halnya dengan manusia. Hanya saja dewa-dewa itu lebih
berkuasa dan mempunyai kekuatan gaib yang melebihi kekuatan yang ada pada
manusia. Jadi kepercayaan yang dianut oleh Bangsa Romawi pada waktu itu
adalah Pantheisme (percaya pada banyak dewa). Oleh karena itu tidaklah
mengherankan kalua kemudian timbul agama yang mengajarkan satu Tuhan yaitu
agama Kristen.

Mula-mula agama Kristen merupakan agama yang terlarang, penganutnya


selalu dikejar-kejar kemudian dibuang atau dibunuh, karena bertentangan dengan
kepercayaan yang dianut oleh Bangsa Romawi pada waktu itu, yaitu Pantheisme.
Akan tetapi berkat ketabahan dan keuletan dari para penganutnya lama kelamaan
agama ini tidak mati atau musnah, melainkan malah mendapatkan lingkungan
hidup yang makin meluas, dan akhirnya oleh penjabat-penjabat negara kemudian
diakui oleh negara sebagai agama resmi.

Setelah agama Kristen ini diterima sebagai agama resmi, kemudian


tumbuhlah suatu susunan gereja, sebagai bentuk organisasi dari pada agama
tersebut, yang ada hubungannya dengan soal-soal keduniawiaan dan kenegaraan,
suatu kekuasaan yang semula ditolak sama sekali oleh gereja, karena semua gereja
hanya berkecimpung dalam soal-soal keagamaan saja akan tetapi lambat laun
soal-soal keduniawiaan dan kenegaraan itu dalam perkembangan agama
selanjutnya merupakan suatu hal yang tidak diabaikan. Susunan organisasi gereja

20
Soehino. Op.Cit. hlm. 46

33
tersebut, yang dipimpin oleh seorang Paus, organ-organnya menyerupai dengan
organ-organ organisasi negara yang dipimpin oleh raja.21

Terbentuknya susunan organisasi gereja yang organ-organnya sama


dengan organ-organ susunan organisasi negara, maka di dunia ini lalu terdapat
dua organisasi kekuasaan yaitu:

1. Organisasi yang dikepalai oleh seorang Raja.


2. Organisasi gereja yang dikepalai oleh seorang Paus.

Kedua organisasi tersebut mempunytai subyek yang sama yaitu manusia.

Pembagian jaman abad pertengahan dibagi dua dengan ditandai terjadinya


peristiwa besar, yaitu perang salib. Kedua jaman tersebut ialah:

1. Jaman abad pertengahan sebelum perang salib, abad ke V sampai abad


XII.
2. Jaman abad pertengahan sesudah perang salib, abad ke XII sampai abad
XV.22

Dalam kedua jaman ini terdapat ajaran-ajaran tentang negaradan hukum yang
saling berbeda. Pada jaman abad pertengahan sebelum perang salib, ajaran-
ajaran tentang negara dan hukum yang ada sifatnya adalah sangat teokratis.
Segala sesuatu didasarkan atas kehendak Tuhan.

Sedangkan pada jaman abad pertengahan sesudah perang salib, ajaran-


ajaran kenegaraan, ajaran-ajaran tentang negara dan hukum, yang ada telah
banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari sarjana-sarjana Yunani kuno misalnya
ajaran dari Plato dan Aristoteles. Hal tersebut disebabkan karena waktu terjadinya
perang salib banyak dari penganut-penganut agama Kristen yang pergi ke Timur
Tengah antara lain ke Palestina, dengan maksud untuk membela dan
menyelamatkan makam-makam Kristen yang terancam. Setelah perang salib

21
Soehino. Op.Cit. hlm 48
22
Soehino. Op.Cit. hlm 49

34
selesai mereka kembali ke negaranya masing-masing dengan membawa
kebudayaan di Yunani kuno.

Ajaran pada jaman abad pertengahan sebelum perang salib merupakan


ajaran dari Augustinus dan Thomas Aquinas. Sedangkan jaman abad pertengahan
sesudah perang salib merupakan ajaran dari Marsilius.23 (buku soehino hal 50)

1. Augustinus

Augustinus hidup pada tahun 354-430. Ia adalah seorang Kristen. Dalam


bukunya dikatakan bahwa ia hidup dalam keadaan dualisme, maksudnya ia
mengalami masa peralihan dari peradaban yang satu ke peradaban yang lain.
Pada waktu itu mengalami masa kebobrokan masyarakat yang disebabkan
banyaknya pertentangan-pertentangan yang timbul terutama pertentangan antara
orang-orang yang menganut agama Kristen dengan orang-orang yang tak
beragama.

Peristiwa tersebut menjadi alasan kuat bagi Augustinus untuk menulis


buku yang diberi nama De Civita te Dei tentang negara Tuhan. Isi pokok dari
buku tersebut ditujukan untuk mengadakan pembelaan terhadap agama Kristen,
serta berisi suatu polemik antara penganut-penganut agama Kristen dengan
orang-orang tak beragama. Buku itu juga merupakan filsafat sejarah dan agama,
ajaran tentang kepercayaan dan kesusilaan.

Menurut Augustinus ajarannya sangat bersifat Teokratis, dikatakan


bahwa kedudukan gereja yang dipimpin oleh paus lebih tinggi daripada
kedudukan negara yang diperintah oleh raja. Terciptanya suatu negara seperti
yang diangan-angankan atau dicita-citakan oleh agama, yaitu Kerajaan Tuhan.
Maka, sebenarnya negara merupakan suatu organisasi yang mempunyai tugas
untuk memusnahkan perintang-perintang agama dan musuh-musuh gereja. Jadi,

23
Soehino. Op.Cit. hlm 50

35
negara mempunyai sifat hanyalah sebagai alat daripada gereja untuk membasmi
musuh-musuh gereja.24

Pendapat Augustinus diterangkan dengan jelas dalam bukunya De Civita te


Dei dan yang isi seluruh karangannnya terjalin suatu pertentangan dan
perbedaan yang tajam dan mencerminkan pikiran pada abad pertengahan dimana
ia hidup. Dalam buku tersebut menyebutkan adanya dua macam negara, yaitu :

1. Civitas Dei, atau negara Tuhan. Negara ini sangat dipuji oleh Augustinus,
karena adalah negara yang diangan-angankan, dicita-citakan oleh agama.
2. Civitas Terrena, atau Djaboli, atau negara iblis, atau negara duniawi.
Negara ini sangat dikecam dan ditolak oleh Augustinus.

Negara yang paling baik adalah negara Tuhan, akan tetapi negara ini tidak
akan pernah dicapai didunia, tetapi semangatnya dimiliki oleh sebagian orang-
orang didunia ini, dan mereka selalu berusaha untuk mencapainya. Dan orang
hanya dapat mencapai negara Tuhan dengan perantara gereja, sebagai wakil
daripada negara Tuhan didunia. Tetapi orang-orang yang berada diluar gereja pun
dapat juga mengusahakan tercapainya negara Tuhan, asal mereka mentaati
perintah Tuhan.

Jadi sesungguhnya negara duniawi dan gereja itu tidaklah seluruhnya sama
dengan pengertian Negara Tuhan dengan Negara Iblis. Akan tetapi kerajaan-
kerajaan duniawi kebanyakan adalah Civitas Terrena atau Diaboli sungguh-
sungguh.
Seluruh pikiran Augustinus ditujukan kepada hari esok dengan
mengesampingkan sejarah dari masa-masa yang lampau, dan pikirannya tidak
lebih hanya merupakan pernyataan yang sifatnya samar-samar, artinya belum
merupakan pengertian yang tegas.
Dengan adnya teori dua pedang, saat itu baru saja dilahirkan suatu politik dari
Paus yang bersifat membebaskan gereja dari segala urusan keduniawian, dan
bertujuan memperdalam kehidupan keagamaan. Dengan ajaran tersebut, Paus

24
Soehino. Op.Cit. hlm. 51

36
menghadiahkan pedang duniawi, yang hakikatnya berarti Paus telah melepaskan
dari tangannya kekuasaan keduniawian. Sehingga tinggal padanya adalah
kekuasaan keagamaan, atau kerohanian saja.

Akan tetapi sesungguhnya teori dari dua pedang itu dapat diterangkan
dengan cara lain, oleh karena teks kitab injil tidak mengatakan sesuatu apapun
tentang perhubungan dua pedang tersebut. Maka dari itu kemudian dicarilah bukti
yang lebih kuat, demikianlah sepertinya Paus Innocentius ke III. Innocentius ke
III memperkuat pendiriannya tentang hubungan antara kekuasaan kerohanian,
keagamaan dengan kekuasaan keduniawian, kekuasaan negara atau kekuasaan
raja, tidak lagi dengan teori dua pedang, melainkan dengan suatu gambaran dari
Genisis (kejadian).25

Cara berfikir pada jaman abad pertengahan sangatlah sederhana dan


mengalami kemunduran, serta kurang rasionil. Segala sesuatu dipikirkan secara
teokratis. Tetapi ungtungnya secara berangsur-angsur terjadi perubahan cara
berfikir yang menuju kea rah pikiran secara rasionil. Dengan demikian lahirlah
filsafat dari jaman abad pertengahan. Ajaran filsafat dari jaman abad pertengahan
disebut Scholastik. Ajarannya bersifat memahamkan dan menjelaskan secara
rasionil daripada ajaran-ajaran yang telah dikeluarkan oleh gereja. Pencipta ajaran
filsafat Scholastik adalah Anseimus Canterbury, yang hidup pada tahun 1033-
1109. Dasar pokok daripada filsafatnya adalah : bahwasannya orang itu harus
percaya untuk dapat mengerti. Tetapi ini kemudian diubah oleh Abaelard, yang
hidup pada tahun 1079-1142 menjadi sebaliknya, yaitu bahwa pengertian itu harus
didahulukan dari pada kepercayaan.26
Jadi jalan pikiran inilah yang merupakan jalan keluar dari jaman abad
pertengahan yang bobrok, yang gelap gulita itu. Pemikiran-pemikiran yang telah
dinilai sejak terjadinya perang salib, perkenalan-perkenalannya dengan orang-
orang asing, serta pemikiran-pemikiran dari jaman kuno telah melahirkan jalan
keluar tersebut. Terlebih setelah orang mengenal kembali ajaran Aristoteles,

25
Soehino. Op.Cit. hlm. 52-53
26
Soehino. Op.Cit. hlm. 56

37
timbullah perubahan besar itu dan mulai saat itu timbul filsafat baru yang bersifat
rasional. Maka timbul pula hasrat untuk memasukan hal-hal yang baru kedalam
hal-hal yang lama, sehingga terjalilah suatu sistem yang dapat mempertahankan
atau melangsungkan terus keselarasannya. Tujuan ini adalah merupakan kunci
daripada ajaran filsafat sarjana yang kemudian menyusul, ialah Thomas Aquinas.
2. Thomas Aquinas
Thomas Aquinas hidup pada tahun 1225-1274. Alam pikirannya tentang
negara dan hukum dapat diketemukan dalam bukunya De Regimine Principum
atau tentang pemerintahan raja-raja, dan dalam bukunya yang lain yang diberi
nama Summa Theologica, atau pelajaran tentang ke-Tuhanan. Dalam ajaran-
ajaran Thomas Aquinas banyak terpengaruh oleh ajaran Aristoteles. Pengaruh ini
terjadi pada waktu terjadinya perang salib. Pada waktu itu orang-orang dari Eropa
Barat banyak yang pergi ke Timur Tengah, untuk menyelamatkan makam-makam
Kristen. Disitulah mereka berkenalan dengan ajaran Aristoteles.
Filsafat Thomas Aquinas bersifat finalistis, ini berarti bahwa apa yang
menjadi tujuannya itu ditemukakan terlebih dahulu, baru kemudian harus
diusahakan supaya tujuan itu dapat tercapai.
Tujuan manusia adalah identik dengan tujuan negara. Dan menurut Thomas
Aquinas, kalua orang ingin mengetahui tujuan negara ia harus terlebih dahulu
mengetahui apa yang menjadi tujuan manusia itu. Tujuan manusia adalah
mencapai kemuliaan abadi. Yaitu kemuliaan abadi dalam waktu sesudah manusia
itu mati. Kemuliaan abadi hanya dapat dicapai dengan tuntutan gereja.
Tujuan negara adalah membuka atau memberi kesempatan bagi manusia agar
tuntutan dari gereja dapat dilaksanakan, yang demikian ini berarti bahwa negara
itu harus menyelenggarakan keamanan dan perdamaian agar masing-masing orang
itu dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan bakatnya dan suasana ketentraman.
Jadi, tujuan negara itu memberikan kemungkinan kepada manusia agar mencapai
kemuliaan abadi.
Pendapat Thomas Aquinas tentang perimbangan kedudukan atau kekuasaan
antara negara dengan gereja, yang dikatakan olehnya bahwa organisasi negara
yang dipimpin oleh raja mempunyai kedudukan sama dengan organisasi gereja

38
yang dipimpin oleh Paus. Hanya saja masing-masing organisasi mempunyai tugas
yang berlainan. Tugas kekuasaan negara adalah dalam lapangan keduniawian,
sedangkan tugas kekuasaan gereja adalah dalam lapangan kerohanian dan
keagamaan.
Thomas Aquinas memberikan tempat khusus pada manusia didalam
kedudukannya, tanpa kehendak, tetapi manusia itu adalah sebagai suatu makhluk
sosial yang berhasrat untuk hidup bermasyarakat. Ini disebabkan karena manusia
itu mempunyai ratio, dan tak dapat memenuhi kebutuhannya tanpa dengan
bantuan orang lain.27
Thomas Aquinas telah memberi kedudukan yang pasti kepada manusia, yaitu
sebagai makhluk sosial, yang hasrat untuk hidup bermasyarakat, tetapi manusia
belum begitu merupakan unsur-unsur yang mutlak dalam pembentukan
masyarakat.
Bentuk pemerintahan dari ajaran Thomas Aquinas yang masing-masing
dibedakan menurut sifat pemerintahannya ialah :
1. Pemerintahan oleh satu orang. Ini yang baik disebut Monarki, yang jelek
disebut Tyranni.
2. Pemerintahan oleh beberapa orang. Ini yang baik disebut Aristokrasi, yang
jelek disebut Oligarki.
3. Pemerintahan oleh seluruh rakyat. Ini yang baik disebut Politeia, ini kalua
menurut Aristoteles disebut Republik Konstitusionil, yang jelek disebut
Demokrasi

Menurut Thomas Aquinas yang paling baik adalah Monarki. Oleh karena itu
tujuan negara adalah selain memeberi kemungkinan supaya manusia dapat
kemuliaan abadi juga supaya manusia itu hidup susila. Bentuk pemerintahan
Monarki dapat berubah menjadi yang terburuk, bila sifat pemerintahannya tidak
lagi adil, dan tidak lagi ditujukan untuk kepentingan umum dan bentuk negara
tersebut berubah menjadi Tyranni.

27
Soehino. Op.Cit. hlm 57-59

39
Pemerintahan Oligarki, meskipun tidak adil dan tidak ditujukan untuk
kepentingan umum, tetapi hanya ditujukan untuk kepentingan yang memegang
pemerintahan itu sendiri, namun masih untuk kepentingan beberapa orang.
Sedangkan Demokrasi berarti untuk kepentingan orang-orang yang memegang
pemerintahan, pada asasnya adalah seluruh rakyat.
Tyranni merupakan bentuk pemerintahan untuk kepentingan satu orang saja
dan hanya dipegang oleh satu pemegang pemerintahan. Tyranni merupakan
pemerintahan yang terjelek, terburuk, Karena sangat jauh dari cita-cita keadilan.
Untuk mencegah timbulnya Tyranni, Thomas Aquinas berpendapat supaya suatu
negara diadakan undang-undang dasar atau konstitusi, yang mengatur dan
membatasi tindakan-tindakan pemerintah.28

Menurut Thomas Aquinas undang-undang atau hukum merupakan kesimpulan


daripada ratio manusia dan yang berbentuk kemauan. Maka undang-undang itu
merupakan pokok pangkal dari pemikirannya dan merupakan perintah dari ratio
untuk kepentingan umum.

Thomas Aquinas membagi perbedaan hukum dalam empat golongan yaitu:

1. Hukum Abadi atau lex aeterna, ini adalah hukum dari keseluruhan
yang berakar dalam jiwa Tuhan.
2. Hukum Alam. Manusia merupakan sebagai makhluk yang berfikir,
maka ia merupakan bagian daripada Tuhan.
3. Hukum positif. Adalah pelaksanaan daripada hukum alam oleh
manusia, yang disesuiakan dengan syarat khusus untuk mengatur
soal duniawi didalam negara.
4. Hukum Tuhan. Ini adalah hukum yang mengisi kekurangan
daripada pikiran manusia dan memimpin manusia dengan wahyu
kearah kesucian.
3. Marsillius
Marsillius hidup pada tahun 1270-1340. Ia adalah tokoh terbesar dari
aliran filsafat nominalist, bersama-sama dengan rekannya William Occam yang
28
Soehino. Op.Cit. hlm. 60-61

40
hidup pada tahun 1280-1317. Marsillius adalah ahli pemikir tentang negara dan
hukum Franciscan, ia sekitar tahun 1324 menerbitkan bukunya yang sangat
terkenal, yang diberi nama Defensor Pacis (pembela perdamaian).
Manurut Marsillius terbentuknya negara itu tidaklah semata-mata karena
kehendak Tuhan, atau karena kodrat Tuhan, melainkan negara itu terjadi karena
perjanjian dari pada orang-orang, yang hidup bersama untuk menyelenggarakan
perdamaian.29
Menurut Marsillius factum subjectiones ini ada dua macam yaitu :
1. Bila penundukan itu sifatnya terbatas pada apa yang
dikehendaki oleh rakyat, maka kekuasaan penguasa, atau
raja, hanya untuk menyelenggarakan atau menjalankan
kekuasaan dari rakyat, jadi sifatnya hanya eksekutif. Raja
tidak boleh dan tidak berwenang menentukan peraturan
atau undang-unadang. Yang menciptakan peraturan da
undang-undang itu adalah rakyat sendiri. Penyerahan
kekuasaan atau sifat penundukan yang demikian disebut
concession.
2. Sedang kalua rakyat itu secara mutlak tunduk kepada
penguasa atau raja yang mereka pilih itu, dan hak untuk
membuat peraturan atau undang-unadang itu ada pada
tangan raja, maka kekuasaan yang mereka serahkan kepada
raja itu tidak hanya bersifat eksekutif melainkan juga
bersifat konstitutif. Penyerahan kekuasaan yang demikian
disebut translation.

Menurut Marsillius kekuasaan negara yang tertinggi itu ada pada rakyat,
jadi kedaulatan itu ada pada rakyat, sebab rakyatlah yang berhak membuat
peraturan-peraturan hukum atau undang-undang. Hal ini disebabkan karena
negara itu merupakan kesatuan dari orang orang yang bebas, yang merdeka, jadi
tudaklah mungkin seseorang itu emnguasai orang lain secara mutlak. Jadi

29
Soehino. Op.Cit. hlm. 62-64

41
perimbangan antara kekuasaan rakyat dengan kekuasaan raja adalah, rakyar ang
berdaulat, raja yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Jadi dengan demikian yang
dianut Marsillius adalah factum subjectiones yang bersifat concessio.30

Hubungan antara negara dengan gereja menurut ajaran Marsillius yaitu


telah mengadakan pemisahan secara tegas antara negara dan gereja. Dan dengan
tegas dikatakan bahwa negara berkedudukan lebih tinggi dari pada gereja. Oleh
karena didasarkan perjanjian antara orang-orang telah dibentuk suatu negara untuk
menyelenggarakan perdamaian. Jadi negara itu adanya lebih dahulu daripada
gereja. Negara dapat membuat peraturan-peraturan hukum atau undang-undang
yang bersumberkan pada kekuasaan rakyat, yang bersifat mengikat, dan dapat
menjatuhi sanksi kepada siapa saja yang melanggarnya. Sedangkan gereja tidak
dapat berbuat demikian itu tadi. Jadi tegasnya negaralah yang lebih tinggi
kedudukannya dan lebih berkuasa daripada gereja.

Ajaran marsillius tentang nrgara dan hukum yang dikemukakan dalam


abad ke XIV sangat menarik perhatian karena tidakadanya sedikitpun cita-cita
besar dari jaman abad pertengahan, yaitu tidak mengenal kerajaan dunia. Maka
sebagai ganti daripada pandanagn idialisme diciptakanlah pandanagn realisme
yang nanti banyak persamaannya dengan Rousseau dalam abad ke XVIII dan
monarki konstitusionil dalam abad ke XIX.

Akibat dari ajaran Marsillius ini, dapat menimbulkan kekuasaan raja yang
bersifat mutlak dalam arti didunia ini tidak ada yang mengatasi, dan kekuasaan ini
dapat menimbulkan kekuasaan raja yang bersifat mutlak, dalam arti didunia ini
tidak ada yang mengatasi, dan kekuasaan ini dapat meliputi apa saja. Jadi sifat
mutlaknya itu baik dalam tingkatannya, maupun mengenai luasnya. Maka timbul
sistem-sistem pemerintahan yang sifatnya absolut. dengan timbulnya kekuasaan
raja-raja yang absolit ini, yang mana raja tidak bertanggung jawab kepada
siapapun, kecuali kepada Tuhan maka timbul penyalahgunaan kekuasaan.

30
Soehino. Op.Cit. hlm. 65

42
Aliran inilah yang nanti akan membatasi kekuasan raja, dengan cara
menguraikan kembali asal usul daripada kekuasaan raja. Kalau teori teokrasi pada
jaman abad pertengahan mengatakan bahwa kekuasaan raja itu berasal darei
Tuhan, karena raja dianggap sebagai wakil tuhan didunia, sedangakan kekuasaan
tuhan itu sifatnya absolut, jadi raja kekuasaannya pun juga harus absolut. maka
aliran monarkomaken lalu mencari dasar-dasar baru bagi kekuasaan raja.31

D. JAMAN RENAISSANCE

Istilah renaissance berasal dari bahasa Italia renescimento yang berarti


kelahiran kembali. Dalam bahasa Prancis, istilah ini menjadi Renaissance yang
secara etimologi terbentuk dari kata re: kembali dan naissace: kelahiran. Apa
yang dilahirkan kembali? Yaitu kerinduan masyarakat barat terhadap kejayaan
dan keunggulan peradaban-peradaban antik, khususnya peradaban Yunani dan
Romawi klasik, karena dinilai peradaban ini memiliki prestasi yang telah
melahirkan pemikir-pemikir ulung yang melampaui jamannya dan memiliki
keunggulan teknik yang tinggi. Konsep-konsep demokrasi dan pemerintahan yang
bermoral dari Plato dan Aristoteles tidak terperikan lagi masih menjadi bacaan
penting umat manusia sepanjang sejarah di berbagai belahan dunia, bahkan
sampai hari ini. Gerakan pembaharuan ini dilakukan oleh para kaum humanis
Italia.

Secara historis renaissance adalah suatu gerakan yang meliputi suatu


zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali dalam keadaban
atau kebangkitan intelektual. Khususnya yang terjadi di Eropa. Dalam
kelahirannya itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi
pengetahuan. Dengan demikian orang memiliki normal-norma yang senantiasa
berlaku bagi kemaslahatan manusia. Orang yang pertama menggunakan istilah
tersebut adalah Jules Michelet, seorang sejarawan Prancis. Menurutnya,
renaissance adalah periode penemuan manusia dan dunia, bukan sekedar
kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan modern.

31
Soehino. Op.Cit. hlm 66-67

43
Kemunculan aktivis intelektual dan para sarjana di Italia itu tentu saja
tidak tumbuh begitu saja, Namun, itu diawali oleh kejatuhan Konstatinopel
ketangan Turki tahun 1435 yang telah menyebabkan banyaknya sarjana timur
melakukan eksodus dan mengungsi ke Barat. Dengan demikian mobilitas
pengetahuan dan ilmu terjadi pula menyertainya. Italia tanpa dapat dicegah segera
berkenalan dengan pemikir-pemikir timur, dan selanjutnya terjadi kebudayaan
transalpin yang merambah bagian-bagian Eropa yang masih bergulat dengan
kegelapan (dark ages) abad oertengahan (abad 5 – 15). 32
Jaman renaissance ini
dimulai pada kira-kira pertengahan abad pertengahan bagian yang kedua sampai
33
pada akhir abad ke 16. Selain itu pertumpahan darah karena perang saudara-
agama atau perang salib yang berlangsung sebanyak delapan gelombang, yang
merupakan rekonsiliasi antara Paus di Roma dan raja-raja Kristen Eropa telah
menghasilkan asimilasi dan adopsi sempurna atas kejayaan dan kekayaan
peradaban Timur.

Pemikiran dan pengaruh Islam berkat panglima Thariq bin Ziyad yang
sampai nke Spanyol Utara (Cordova, Toledo). Zaman keemasan Islam turut
mempengaruhi munculnya renaissance di Barat. Melihat begitu tingginya
peradaban yang dihasilkan oleh intelektual Islam pada saat itu, para ilmuwan
Eropa Banyak yang berminat untuk memepalajari tradisi intelektual umat Islam
pada saat itu. Di Perancis abad ke 8-11 telah menyumbangkan pengetahuan dan
ilmu yang sangat berguna bagi kepustakaanrenaissance Eropa. Pemikir-pemikir
dan sarjana Islam ada yang menjembatani dan meneruskan kejayaan peradaan
yunani. Helenisme sebelum berkenalan dengan Eropa, para sarjana Barat dari
berbagai wilayah beramai-ramai ke kota Toledo dan sekitarnya untuk melakukan
penerjemahan karya-karya ilmuwan Islam dalam berbagai bidang. Pada akhirnya
groso modo, berkat transfer berbagai ilmu dan pengetahuan itu, lahir dan
berkembang institut dan Universitas-Universitas besar di Eropa, misalnya
Sorbonne (1250).

32
Alwi Wahyudi. 2014. Ilmu Negara Dan Tipologi Kepemimpinan Negara. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar. hlm. 155-157
33
Soehino. Op.Cit. hlm. 68

44
Perkembangan renaissance menemukan bentuknya yang matang dimana
gerakan humanisme dan reformasi dicanangkan. Humanisme adalah gerakan yang
mengangkat manusia dengan berbagai seginya sebagai sasaran ultim, sementara
reformasi adalah upaya memandang agama kristiani secara kritis dan rasional.
Pada abad pertengahan, manusia kurang dihargai sebagian manusia. Kebenaran
diukur berdasarkan ukuran dari gereja, bukan menurut ukuran yang dibuat
manusia. Humanisme menghendaki kebebasan akal manusia karena manusia
mempunyai kemampuan berfikir, mengatur dirinya dan mengatur negara.34

Pandangan hidup dan ajaran-ajaran tentang negara dan hukum pada jaman
pertengahan sangat berbeda dengan pandangan hidup dan ajaran-ajaran tentang
negara dan hukum pada jaman renaissance. Sebab pandangan hidup pada jaman
abad pertengahan adalah bersifat universalistis, dalam arti orang menganggap
dirinya sebagai bagian daripada dunia Kristen yang umum. Segala kehidupan
dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan yang langgeng, yaitu kehidupan di
dunia akhirat. Ajaran-ajaran tentang negara dan hukum tidak mempunya
kepribadian sendiri, karena ditentukan oleh pandangan yang teologis.

Akan tetapi mulai abad ke 12 terjadilah perubahan-perubahan, karena


filsafat nominalistis telah memutar balikan hubungan antara hal yang umum dan
hal yang khusus. Dan amulai saat itu pula perhatian terhadap penghidupan di
dunia ini mulai bertambah besar. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
kehidupan manusia mulai berkembang. Akal manusia mulai menjiwai kehidupan,
maka apabila dahulu sikap menerima itu dianggap sebagai kebajikan yang
tertinggi, sekarang, pada jaman renaissance hasil perseoranganlah, dimana orang
lain tidak dapat melakukannya, mendapatkan pujian dan penghargaan yang
tertinggi. Maka kemudian orang berlomba-lomba untuk mendapatkan kedudukan
dan sebagainya meskipun dengan akal yang licik, tetap ditempuhnya.

Calvin (1509-1564) dan Luther mengkritisi kesewenang-wenangan gereja


dan pengingkaran terhadap kebebasan ekspresi manusia. Pada pandangan mereka,
spekulasi teologi adalah sia-sia. Keperluan agama baru yang mengangkat harkat
34
Alwi Wahyudi. Op.Cit. hlm 157-158

45
dan martabat manusia yang memiliki akal pikiran dan jiwa sangat mendesak, al-
Kitab harus dikritisi. Aksi propaganda yang menyatakan perlawanan terhadap
misi Paus di Roma menggoncang kerajaan dan menceraiberaikan keluarga istana.
Mereka terpisah dalam dua kelompok, reformator dan Katolik. Dan satu hal yang
paling dramatis akibat langsung dreformis sebagai konsekuensi logis dari
renaissance adaalah munculnya oerang agama antara Katolik dan Protestan selama
30 tahun (1618-1648). Deligitimasi dan dekonstruksi agama membawa pengaruh
besar terhadap pola pikir masyarakat Eropa, termasuk dalam kaitannya dengan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Perancis, undang-undang tahun 1905,
pasal 1 menyatakan negara terlepas dan tidak membantu segala urusan agama.

Demikianlah sebenarnya bahwa pandangan hidup dan ajaran-ajaran


tentang negara dan hukum pada jaman renaissance ini sangat dipengaruhi oleh
berbagai-bagai paham, pengaruh itu sedemikian kuatnya sehingga dapat merubah
dan membelokkan pandangan hidup dan ajaran-ajaran tentang negara dan hukum
yang ada pada waktu itu. Paham-paham yang mempenn garuhi itu antara lain :

1. Berkembangnya kembali kebudayaan Yunani kuno, jadi pengaruh


kebudayaan Yunani Kuno. Pengaruh ini timbul karena terjadinya perang
salib. Kalau pada jaman abad pertengahan segala sesuatu harus tunduk
kepada kodrat Tuhan atau kehendak Tuhan, orang tidak boleh berpikir
sendiri-sendiri untuk menentukan bagaimana ia harus hidup, karena yang
menentukan segala-galanya itu adalah pemimpin-pemimpin negara atau
pemimpin-pemimpin gereja, sebab para pemimpin itulah yang dianggap
sebagai wakil dari Tuhan di dunia ini. Maka sesudah perang salib karena
akibat dari kebudayaan Yunani tadi, terutama ajaran Aristoteles, masuklah
unsur rasio, dan orang mulai berpikir secara rasionil.
2. Paham kedua yang mempengaruhi keadaan jaman renaissance adalah sistem
feodalisme yang berakar pada kebudayaan Jerman Kuno. Sistem ini
mempengaruhi Romawi Barat sebagai akibat ditaklukannya Romawi Barat
oleh bangsa Jerman. Sistem feodalisme ini menimbulkan kekacauan dan
perpecahan daerah.

46
Untuk mengetahui sebab-sebabnya harus menyelidiki terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan sistem feodalisme itu, dan apa dasarnya. Yang dimaksud
dengan sistem feodalisme dalam lapangan ketatanegaraan ialah bahwa hukum itu
mempunyai sifat kepribadian. Ini berarti bhawa mereka yang kehilangan haknya
menjadi tugas pemilik itu sendiri untuk mendapatkan kembali haknya. Begitu pula
daerah juga merupakan kepribadian. Dan dalam hal ini yang penting adalah
bahwa negara adalah merupakan hak milik pribadi daripada raja.

Para bangsawan, apalagi rakyat jelata, tidak mempunyai hak apa-apa,


terutama dalam susunan ketatanegaraan. Tetapi dalam waktu negara mengalami
bahaya, peperangan misalnya, kaum bangsawan itu dan juga rakyat biasa harus
selalu memberikan bantuannya kepada raja, berupa apaapun. Maka nanti kepada
mereka yang berjasa, raja memberikan hadiah yang berupa pinjaman sebidang
tanah. Pemberian hadiah itu dengan suatu perjanjian bahwa sebagian daripada
hasilnya harus diserahkan kepada raja, sebagai suatu pajak atau merupakan suatu
tanda bahwa mereka itu adalaha bawahan raja. Orang-orang yang meminjamkan
tanah itu disebut leenheer atau tuan tanah.

Hubungan anatar leenheer dengan leenman ini semula adalah baik,


leenheer semula rajin berkeliling ketempat-tempat leenman, atau sebaliknya
leenman yang berkunjung ketempat leenheer. Tetapi lama-kelamaan hubungan ini
menjadi renggang dan akhirnya malahan terputus sama sekali. Maka setelah
putusnya hubungan ini para leenman-lah yang menjadi berkuasa di daerah-daerah
tersebut. Kekuasaan ini makin lama makin menjadi kuat. Kedudukan raja
tergantung pada bantuan dan dukungan apra leenman. Ahirnya kekuasaan raja
semaking berkurang dan malahan habis sama sekali. Keadaan demikianlah
dipergunakan sebaik-baiknya oleh para leenman untuk memproklamirkan dirinya
sebagai raja. Demikianlah timbul raja-raja kecil dan mereka ini saling berebutan
kekuasaan. Keadaan inilah yang menimbulkan kekacauan dan perpecahan daerah
negara.

Hal-hal tersebut di atas itulah yang kemudia menyebabkan para sarjana


kenegaraan pada jaman renaissance itu selalu berusaha untuk memikirkan atau

47
menadakan konsepsi-konsepsi tentang sistem pemerintahan sentral dan mutlak
pada negara atau staats-absolutisme. Sedang tujuannya adalah untuk
menghentikan perang perebutan kekuasaan yang selalu menimbulkan kekacauan
itu. Banyaklah kiranya negara yang terjerumus ke dalam keadaan ini. Italia
misalnya, telah mengalami keadaan ini semenjak pada pertengahan abad ke XIII.
Proses mana berjalan terus semenjak raja-raja Jerman lenyap dari Italia dan
akhirnya memuncak pada abad ke XVI. Maka mulai saat itu masalah kenegaraan
menjadi hangat dan sangat menarik perhatian. Masalahnya ialah, bagaimanakah
kekacauan dan perebutan kekuasaan itu dapat diakhiri dan diganti dengan suatu
ketertiban. Masalah inilah yang sangat menarik perhatian dan kemudian diselidiki
serta dicari pemecahannya oleh seorang tokoh kenegaraan yang sangat
mentakjubkan pada masa itu. Tokoh tersebut yang dimaksud tidak lain adalah
Nicolo Machiavelli.35

1. Niccolo Machiavelli
Niccolo Machiavelli dilahirkan di Florence. Ia hidup pada tahun 1469 –
1527. Ajarannya tentang negara dan hukum ditulis dalam bukunya yang sangat
terkenal yang diberi nama Il Principe artinya Sang Raja atau Buku Pelajaran untuk
Raja. Buku ini dimaksudkan untuk dijadikan tuntutnan atau pedoman bagi apra
raja dalam menjalankan pemerintahannya, agar raja dapat memegang dan
menajalankan pemerintahan dengan baik, untuk menyatukan kembali negara Italia
yang apda waktu itu mengalami kekacauan dan daerah negara terpecah-belah.
Dalam buku tersebut juga menerangkan pendirian Machiavelli terhadap azas-azas
moral dan kesusilaan dalam susunan ketatanegaraan.
Meskipun dahulu Aristoteles telah mengadakan pemisahan dan
pembedaan antara ajaran kesusilaan dengan ajaran tentang negara dan hukum,
namun ia masih cenderung untuk mendasarkan ajaran tentang negara dan hukum
itu pada azas-azas kesusilaan. Akan tetapi tiak demikianlah bahwa dengan
Niccolo Machiavelli. Ia menunjukkan dengan terang dan tegaspemisahan antara
azas-azas kesusilaan dengan azas-azas kenegaraan, yang berarti bahwa orang

35
Soehino. Op.Cit. hlm. 68-70

48
dalam lapangan ilmu kenegaraan tidak perlu menghiraukan atau memperhatikan
azas-azas kesusilaan. Orang, bahkan negara kepentingannya akan terugikan
apabilan tidak berbuat demikian.
Ajaran atau pandangan Niccolo Machiavelli tersebut diatas sangat
terpengaruh bahkan dapat dikatakan merupakan pencerminan daripada apa yang
dikenalnya dalam praktek sebagai seorang ahli negara dan apa yang telah
dijalankannya, karena dianggapnya perlu sekali untuk menyelenggarakan
kepentingan-kepentingan negara, diangkatnya menjadi teori umum mengenai
praktek ketatanegaraan dengan cara yang gagah dan berani. Di sinilah Niccolo
Machiavelli kelihatan sangat terpengaruh oleh keadaan di tanah airnya, Italia,
karena keadaan di Italia pada waktu itu sedang mengalami kekacauan dan
perpecahan, maka ia menginginkan terbentuknya Zentral Gewalt (sistem
pemerintahan sentral). Maksudnya ialah agar dengan demikian keadaan dapat
menjadi tenteram kembali.
Dengan demikian akan kelihatan adanya perbedaan yang besar sekali
antara semangat ajara pada jaman abad pertengahan dengan ajaran Niccolo
Maciavelli yang mencerminkan semangat renaissance. Sebab semua ajaran
tentang negara dan hukum yang telah dikemukakan pada jaman abad pertengahan,
sepertinya : teori dua pedang, teori cahaya matahari dan bulan, teori tentang kunci
kekuasaan dari Paus, teori organis mengenai negara, dan sebagainya semacam itu
pada jaman renaissance telah lenyap sama sekali tanpa meninggalkan bekas
sedikitpun, dan dalam buku-bukunya, Niccolo Machaivelli tidak membicarakan
teori-teori tersebut sedikitpun.
Ajaran Niccolo Machiavelli yang menggantikan ajaran-ajaran dari jaman
abad pertengahan yang bersifat teologis adalah suatu ajaran yang bersifat kosmis
Naturalis, suatu realisme modern, yang berdasarkan atas ajaran-ajaran kuno,
khususnya dari praktek pemerintahan bangsa Romawi.
Tujuan negara menurut Niccolo Machiavelli adalah sangat berbeda dengan
ajaran-ajaran yang telah terdahulu, yaitu untuk mencapai kesempurnaan seperti
yang diajarkan sarjana-sarjana jaman abad pertengahan. Sedang menurut Niccolo
Machiavelli tujuan negara adalah mengusahakan terselenggaranya ketertiban,

49
keamanan, dan ketentraman. Dan ini hanya dapaat dicapai oleh pemerintah
seorang raja yang mempunyai kekukasaan absolut. Jadi usahanya itu menuju ke
arah mendapatkan serta menghimpun ekuasaan yang sebesar-besarnya pada
tangan raja. Tetapi itu hanya merupakan sarana saja untuk mencapai tujuan yang
lebih tinggi yaitu kemakmuran bersama. Yang dimaksud adalah kemakmuran
bersama rakyat Italia. Jadi dengan demikian kalau dahulu tujuan negara itu selalu
bersifat kultural, sedangkan menurut Niccolo Machiavelli tujuan negara semata-
mata adalah kekuasaan.
Ajaran-ajaran Niccolo Machiavelli kebanyakan lebih berupa ilmu
kenegaraan praktis (hukum tatanegara) dariapda teori tentang negara dan hukum
(ilmu negara), meskipun sesungguhnya yang terakhir ini merupakan dasar
dariapda yang pertama. Ia adalah seorang realis sejati yang pertama-tama di dalam
ilmu negara.
Maka sesuai dengan ajarannya, yaitu pertama-tama menyusun sistem
pemerintahan sentral, ia dalam ajarannya telah emimsahkan dengan tegas azas-
azas moral dan tatasusila dari azas-azas kenegaraan. Karena moral dan tatasusila
ini adalah merupakan suatu hal yang diharapkan, merupakan dassollen.
Sedangkan ketatanegaraan itu adalah merupakan suatu kenyataan berupakan das-
sein. Padahal sesuatu kenyataan itu selalu berbeda dengan apa yang selalu
diharapkan. Alangkah besar perbedaannya antara cara orang seharusnya hidup
dengan cara orang hidup yang sebenarnya. Apa yang selalu dikatakan tidak selalu
sama dengan apa yang diperbuatnya.
Hingga orang akan lebih membinasakan dariapda menyelamatkan dirinya
bila orang lupa akan kenyataan yang sesungguhnya itu. Di lingkungan orang-
orang yang jahat, orang baik pastilah akan bisana. Jadinya seorang raja harus
belajar supaya tidak menjadi orang baik. Raja tidak perlu terikat oleh pernjanjian-
perjanjian yang telah diadakannya, apabila perjanjian itu bila ditepati akan
merugikan negaranya. Jadi raja boleh ingkar janji bila itu untuk kepentingan
negaranya.
Sesuai dengan sifat realistisnya Niccolo Machiavelli mengtakan bahwa
negara itu adanya untuk kepentingan negara itu sendiri, dan seharusnya negara

50
mengejar tujuan dan kepentingannya seniri dengan cara yang dianggapnya paling
tepat, meskipun dengan cara yang sangat licik sekalipun. Dengan demikian
kepentingan negara dijadikan ukuran tertinggi bagi pelaksanaan pemerintahan dan
segala perbuatan manusia. Untuk itu ia tidak saja menganggap perlu melepaskan
sama sekali pikiran-pikiran yang teologis, tetapi juga kesusilaan dan moral. Oleh
karena praktek kenegaraan yang senyatanya. Ajaran Niccolo Machiavelli tersebut
diatas orang menamakan ajaran tentang kepentingan negara atau Staats-raison.
Untuk lebh jelasnya sekali lagi kita sebutkan bahwa Niccolo Machiavelli
adalah seorang ahli pemikir besar pada jaman renaissance. Ajarannya pada
umumnya merupakan pencerminan daripada apa yang dikenalnya dalam praktek.
Dan dalam ajarannya itu, demi kepentingan negara, yaitu untuk menyusun sistem
pemerintahan sentral dan mutlak pada negara untuk mempersatukan kembali
negara Italia yang pada waktu itu mengalami kekacauan dan perpecahan, ia tidak
segan-segan memisahkan dengan tegas antara azas moral dan kesusilaan dari azas
azas kenegaraan. Ini ternyata dalam kata-katanya antara lain sebagai berikut :
“Alangkah besar perbedaaannya antara cara orang seharusnya hidup dan
cara orang hidup yang sebenarnya. Sehingga orang akan lebih-lebih
menghancurkan atau mebinasakan dirinya dariapda akan menyelamatkan
dirinya, apalbila ia lupa akan kenyataan yang sesungguhnya. Di lingkungan
orang-orang yang jahat pastilah orang yang baik akan binasa. Maka seorang
raja harus belajar supaya tidak menjadi orang baik. Karena itu seorang raja
harus juga sanggup untuk tidak menepati janjinya. Hanya raja-raja yang dapat
berlaku demikianlah yang telah mencapai hasil-hasil yang besar. Sebab orang
yang mempercayai kejujuran orang lain, telah dikalahkan karena itu.
Demikianlah yang diajarkan sejarah kepada kita. Sebab itu orang seharusnya
berjuang dengan menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti binatang-
binatang, yang merupakan kancil dan singa sekaligus. Merupakan kancil,
suapaya ia tidak terjerat dalam jaring-jaring orang lain, dan merupakan singa
supaya ia tidak gentar mendengar raung serigala. Barulah demikian ia dapat
memahamkan tugasnya dengan baik. Jiakalu negara akan dirugikan maka raja
tak perlu menetapi janjinya. Jikalau orang-orang itu baik semuanya, maka

51
peraturan itulah yang buruk sekali, akan tetapi oleh karena orang-orang itu jahat
semua, maka peraturan itu adalah baik. Raja-raja telah memperoleh hasil-hasil
yang besar karena mereka tidak menpati perjanjian-perjanjian perdamaian. Akan
tetapi orang harus pandai memainkan peranan ini, ia harus pandai berpura-pura
dan menyemunyikan sesuatunya. Sebab barangsiapa menipu selalu akan menemui
orang yang suka ditipu.”
Demikianlah antara lain kata-kata Niccolo Machiavelli, sekedar
menjelaskan bagaimana ia telah melepaskan azas-azas moral dan kesusilaan dari
azas-azas kenegaraan.
Selanjutnya, sesuai dengan sifat naturalistis-nya, Niccolo Machiavelli
berpendapat bahwa hukum dan kekuasan itu adalah sama. Sebab siapa yang
mempunya kekuasaan ia mempunyai hukum, dan siapa yang tidak mempunyai
kekuasaan, tidak akan pernah mempunya hukum. Dan yang paling banyak
memainkan peranan raja dalam semangat alam pikiran Niccolo Machiavelli
adalah Kaisar Borgia, penipuan, pembujukan, kelicikan dan sebagainya semacam
itu, sehingga ia banyak mempunyai harapan akan berhasil dalam mencapai
kesatuan Italia, sebagai tujuan.
Selanjutnya dikatakan oleh Van Schmid: “akan tetapu setiap orang yang
masih mempunya cita-cita yang lebih tinggi, jadinya yang meningkat di atas
kenyataan daripada apa yang dapat dialami oleh panca inderanya, dan dengan
demikian masih merasakan idelaismenya seidkit dalam hatinya, di samping
naturalisme ini, tentu dalam hatinya akan mengadakan sedikit perlawanan
terdahap pemandangan Niccolo Machiavelli ini. Dengan demikian tokoh ini (yang
dimaksud Niccolo Machiavelli) akan lebih banyak mendapat nama buruk dariapda
nama masyhur, bukan karena ia kurang tepat menggambarkan kenyataan, atau
karena ian telah menentukan cara bertindak yang salah untuk megnhadapinya,
melainkan karena ia menolak segala sesuatu yang oleh jaman pertengahan
dianjurkan pada umat manusia sebagai staut cita-cita yang tinggi yang dapat
memberi pedoman padanya. Dengan mengajarkan manfaatnya, bahkan keperluan
dari kejahatan, Niccolo Machiavelli telah melukai perasaan kesusilaan yang tinggi
dari banyak orang. Oleh karena itu banyak orang menganggapnya seorang

52
manusia yang jahat sekali dan menolak seluruh pribadi dan ajarannya. Frederik
yang Agung, misalnya, merasa terkena sekali dalam perasaan kesusilaannya
karena petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Niccolo Machiavelli kepada sang
Raja, sehingga ia menyuruh menerbitkan dalam tahun 1740 sebuah karangnnya
Anti Machiavelli, dalam mana buku II Principe dari Niccolo Manchiavelli
dikupasnya bab demi bab”.
Seterusnya: “Akan tetapi kritik kemudian dalam abad ke XIX dari Von
Mohl, Ranke, dan Macaulay mengerti, bahwa alam pikiran Niccolo Machiavelli
belum lagi diselidiki sedalam-dalamnya dan hanya ditafsirkan dari sudut pikiran
apriori dari si-pembaca saja. Sebab Niccolo Machiavelli menghendaki hal yang
baik, bukan yang jahat. Sesungguhnya, kejahatan itu dalam ajarannya bukanlah
tujuan, akan tetapi hanya suatu alat yang perlu untuk mencapai kebaikan, apabila
ini tidak mungkin tercapai dalam hidup ini dengan cara lain. Dalam karangan-
karangan tak adalah bagian, dimana tidak ternyata, bahwa ini adalah pendirian si
pengarang (dimaksud Niccolo Machiavelli). Juga ia tidak pernah menganjurkan
kejahatan itu kepada seseorang, melainkan senantiasa dan melulu untuk
kepentingan orang yang mengabdi para negara, dan tidak sekali-kali untuk
memenuhi keserakahannya sendiri, melainkan untuk menyelenggarakan
kepentingan-kepentingan yang terletak di luar kepentingan orang yang
menjalankan itu”.
Jadi dengan demikian soalnya menjadi bertambah sulit. Dan segala
sesuatunya tergantung penerimaan serta penafsiran seseorang. Tetapi yang terang
sikap yang dianjurkan oleh Niccolo Machiavelli itu untuk para ahli negara
bukannya pikiran yang asli daripadanya. Dahulu sudah ada pikiran itu. Charles
Benoist, misalnya, telah mengarang sebuah buku mengenai Machiavellisme dalam
masa sebelum Niccolo Machiavelli hidup. Terutama di kalangan bangsa Romawi
pikiran Machiavellisme itu sudah mempunyai arti yang besar dalam kehidupan
negara. Akan tetapi belum pernah mempunyai dasar yang teoritis. Sebab sebagai
teori pikiran tersebut amat bertentangan dengan lama pikiran idial dari jaman itu,
terlebih dengan alam pikiran universil-teologis dari jaman abad pertengahan.

53
Dalam pikiran tentang negara dan hukum hanya memandang Marsilius sebagai
seorang realis.
Bagaimana pikiran Niccolo Machiavelli mengenai bentuk-bentuk
pemerintahan? Menurut pendapatanya bentuk yang paling baik adalah Monarki.
Mengapa demikian? Dari alam pikirannya ia mengatakan, apabila orang-orang itu
ekonomis sama kuatnya, maka sebaiknya dilaksanakan sistem pemerintahan yang
demokratis, ia memberikan nilai yang tinggi kepada Demokrasi itu, akan tetapi
untuk itu diperlukan keseluruhan dariapda warga negara yang mengerti dan
mempunyai selera untuk usaha bersama itu. Sedangkan bentuk Aristokrasi
ditolaknya.
Dengan ajaran Niccolo Machiavelli tersebut di atas, kita sesungguhnya telah
langsung memasuki praktek ketatanegaraan dan pikiran-pikiran tentang negara
dan hukum pada jaman renaissance dengan segala kebaikan dan keburukannya
dari paham individualisme yang merajai pada jaman itu.36
2. Thomas Morus
Thomas Morus dilahirkan di London. Ia hidup pada tahun 1478 – 1535.
Ayahnya seorang hakim. Di masa kecilnya Thomas Morus sangat
mengangumkan, ia seorang anak yang ajaib, sebab baru berumur 18 tahun ia telah
termasyhur di seluruh dunia dalam lapangan kesusasteraan berhubung dengan
karangan-karangannya tentang jaman klasik. Jabatannya kemudian adalah sebagai
pengacara yang ulung, dan karena itu ia menjadi dekat dengan raja Henry VIII.
Tetapi karena sesuatu hal, yaitu karena ia tidak mau menyetujui dan tidak mau
memberikan bantuannya dalam hal perceraian raja tersebut dengan permaisurinya,
ia dipenjara di Tower, dan kemudian dihukum mati pada tahun 1535.
Apabila pemikiran tentang negara dan hukum pada jaman renaissance
telah diungkap oleh seorang sarjana besar Italia yang bernama Niccolo
Machiavelli, maka di Inggris pada tahun 1516, jadi beberapa tahun setelah
terbitnya buku 11 Principe dari Niccolo Machiavelli, Thomas Morus menerbitkan
semua buku karangannya, yang sesungguhnya tidak ada sangkutpautnya dengan
masalah pemikiran tentang negara dan hukum, karena buku tersebut bersifat

36
Soehino. Op.Cit. hlm. 70-75

54
roman kenegaraan, yaitu De optimo rei publicae statu dequenova insula Utopia;
tentang susunan pemerintahan yang paling baik dan tentang pulau yang tidak
dikenal, yang dinamakan negara entah berantah, atau dengan singkat disebut
Utopia. Karena tulisannya itulah nama Thomas Morus terkenal di seluruh dunia
dan bahkan namanya dapat diabadikan dalam sejarah pemikiran tentang negara
dan hukum.
Meskipun buku Utipia dari Thomas Morus itu bersifat roman kenegaraan,
tetapi, seperti halnya dengan buku-buku roman kenegaraan lainnya, di dalamnya
itu memuat suatu keanehan. Yaitu bahwa orang dengan berkedok suatu ceritera
yang sifatnya dibuat-buat dan hanya merupakan khayalan belaka, telah
menggambarkan dengan jelas dan gamblang serta dengan berani suatu susunan
masyarakat negara yang sempurna, dan di dalamnya itu sudah megandung atau
tersimpul, suatu keritikan yang tajam serta pendapat yang buruk terhadap negara
yang ada. Dan pokok hakekatnya itu terletak pada keadaan bahwa sifat-sifat dan
cara-cara hidup tertentu yang dikhayalkannya itu, di dalam negara khayalan itu,
tetap hanya merupakan angan-angan karangan Plato, juga Aristoteles itu juga
akan termasuk dalam kategori-roman kenegaraan.
Buku utopia dari Thomas Morus dibagi dalam dua bagian. Buku yang
pertama belum menggambarkan negara model yang dimaksud, melainkan baru
menggambarkan keadaan yang menyebabkan serta mengilhami Thomas Morus
menciptakan negara modelnya. Yaitu keadaan di mana rakyat mengalami tekanan-
tekanan baik dari raja maupun dari para bangsawan, yang menyebabkan
kesengsaraan rakyat terutama dalam lapangan ekonomi. Dengan demikian
kejahatan meraja-lela, dan merosotnya moral. Sedangkan raja dan para bangsawan
yang nganggur itu hidup dengan mewah dan berfoya-foya, padahal rakyat yang
kerja keras siang malam hidupnya tidak lebih baik daripada seeokor lembu
penarik pedati. Jadinya dengan demikian apa yang dinamakan keadilan tidak ada
sama sekali. Itulah keadaan di Inggris pada waktu itu. Sampai soal kepercayaan
atau agama tidak ada kebebasan sama sekali.
Buku kedua menggambarkan negara model yang dikhayalnya oleh
Thomas Morus. Bahwa keadaannya di Utopia lain. Seorang penakluk, Utopis,

55
telah membuat pendidik aslinya yang biadab menjadi suatu natie atau bangsa.
Maka menculah sudah 54 kota yang indah. Pusatnya ialah kota Amaurotum. Ia
adalah negara pertanian dan letaknya Amaurotum banyak persamaannya dengan
letak kota London. Penduduk dibagi-bagi dalam keluarga-keluarga pertanian yang
masing-masing terdiri dari 40 orang, diatas keluarga sedemikian itu ada seorang
philarch, sedangkan atas 10 philarch, jadi diatasnya 300 keluarga, ada seorang
protophilarch. Para philarch itu memilih rajanya; dan sebuah senat membuat
undang-undang. Setia orang wajib bekerja tetapi lamanya hanya enam jam sehari,
sedangkan orang-orang boleh tidur selama delapan jam sehari. Hanya mereka
yang mempelajari ilmu pengetahuan dibebaskan dari kewajiban itu. Waktu-waktu
dakan diadakan bersama-sama, meskipun ini tidak diwajibkan. Demikian pula
aturannya untuk pemeliharaan orang-orang sakit. Anehlah pendapat-epndapat dari
kaum utopia tentang hal emas, perak dan mutumanikam. Yang terkahir ini adalah
barang-barang perimainan ana-anak, sedang yang pertama dipakai untuk belenggu
buda-budak. Pengajaran diselenggarakan dengan baik, akan tetapi scholastik dan
dialektik tidak iajarkan, ilmu falak ada. Fisalafat mereka adalah filsafat Epicurus
sebab mereka juga mengejar kebahagiaan, dan kenikmatan. Mereka memajukan
kesehatan dan keindahan, jumlah undang-undang sedikit sekali, pengacara-
pengacara tidak diperlukan. Perceraian diperbolehkan, tetapi hal ini jarang sekali
terjadi. Mereka suka berlapang daada di lapangan keagamaan. Setiap kota berbeda
dalam hal upacara-upacara keagamaannya. Ini menunjukkan adanya kebebeasan
memeluk agama. Soal mati tidak dipikirkan, malahan ini adalah hal yang diharap-
harapkan, karena mati itu untuk mereka berarti beralih ke penghidupan yang lebih
baik. Selanjutnya orang tidak perlu takut akan kekurangan mata pencaharian dan
kekurangan makan.
Demikianlah gamabaran negara model dalam Utopianya Thomas Morus.
Yang tidak lain merupakan kritikan yang tajam terhadap ketidak adilan di Inggris
pada waktu itu, terhadap kaum feodal, kaum bangsawan, dan terutama decara
diam-diam merupakan gugatan terhadap hasrat daripada keluarga raja Tudor yang
apda waktu itu memerintah di inggris untuk mencapai kekuasaan absolut dalam
lapangan ketatanegaraan.

56
Thomas Morus sendiri dalam bathinnya sesungguhnya berkeberatan
terhadap Utopianya itu, oleh karena suatu masyarakat, di mana keadaan hidup dan
harta benda diatur secara komunistis, dan tanpa ada uang, akan mematikan semua
pengertian tentang gengsi, keindahan dan kegemilangan, hal-hal yang justru
penting dalam kehidupan negara. Tetapi oleh karena keadaan, terpaksa ia berbuat
demikian dan menurutp mulutnya rapat-rapat.37
3. Jean Bodin
Jean Bodin adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum
dari negara Perancis, yang banyak juga dipengaruhi oleh keadaan pada jaman
renaissance. Ia hidup pada tahun 1530 – 1596. Ia adalah seorang realistis seperti
halnya dengan Niccolo Machiavelli. Ia hidup dalam suasana sistem pemerintahan
absolutisme di bawah kekuasaan Henry IV. Ini adalah bentuk pemerintahan baru
yang sama sekali tidak dikenal pada jaman abad pertengahan dan yang memebri
sifat kenegaraan yang khusus pada jaman sejarha baru. Di sinipun individualisme
akan kelas diganti oleh bentuk baru ialah kolektivisme, yang akan segera
mengakhiri individualisme itu sama sekali.
Kekuasaan abosulitisme di bawah pemerintahan Henri IV ini telah
berlangsung lama, dari tahun 1589 – 1610, amak telah berakar kuat pada sistem
ketatanegaraan Perancis. Maka sudah barang tentuyuridis secara ilmiah. Hal inilah
yang dilakukan oleh Jean Bodin dalam buku karangannya: Les Six Livres de la
Republique yang diterbitkan pada tahun 1576. Jadinya ajaran Jean Bodin itu
sebetulnya hanyalah memberi dasar-dasar yuridis terhadap kekuasaan absolut di
bawah pemerintahan Henri IV tadi.
Sama halnya dengan Niccolo Machiavelli, Jean Bodin juga menyatakan
bahwa tujuan negara itu adalaha kekuasaan. Difinisinya tentang negara adalah
sebagai berikut: Negara adaalah keseluruhan dari keluarga-keluarga dengan segala
miliknya, yang dipimpin oleh akal dari seorang penguasa yang berdaulat. Jadi
seperti Aristoteles, Jean bodin berpendapat bahwa keluarga itu adalah asal atau
dasar dariapda negara, baik menurut logika maupun menurut sejarah. Kekuasaan
negara mengharuskan membatasi kebebasan bertindak menurut alam. Dalam

37
Soehino. Op.Cit. hlm. 75-77

57
keluarga itu ada pater familias sebagai kepala keluarga, ia melakukan pembatasan-
pembatasan dalam kelaurga. Dasar masayarakat adalah naluri, sedang dasar
negara adalah kekuasaan. Pada mulanya hanya aada satu keluarga, kemudian
keluarga-keluarga lainnya bergabung dan merupakan suatu kesatuan, oleh karena
dengan demikian itu mereka secara bersama-sama dapat mempertahankan diri,
dengan baik. Dan dalam keadaan itu pula kebebasan alam lenyap. Sampai di sini
pendapatnya sama dengan Aristoteles.
Akan tetapi untuk selanjutnya pendapatnya berbeda, yaitu mengenai
pemimpin atau penguasa yang pertama. Kalau menurut Aristoteles penguasa yang
pertama itu dipilih oleh rakyat. Sedangkan menurut Jean Bodin penguasa yang
pertama itu adalah pemimpin militer yang memperlihatkan kekuasaannya.
Sesuai dengan pendapatnya tentang tujuan negara, maka Jean Bodin
mengatakan bahwa negara merupakan perwujudan daripada keuasaan. Untuk
memperkuat pendapatnya itu, maka ia lalu meurumuskan pengertian kedaulatan.
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara dan rakyatnya,
tanpa ada suatu pembatasan apapaun dari undang-undang adaalah hukum positif
jadi bukan hukum Tuhan atau hukum alam.
Perlu diingat bahwa seseungguhnya tentang pengertian kedaulatan itu
dalam sejarah pemikiran tentang negara dan hukum belum pernah mendapatkan
kesatuan pendapat. Dalam arti bahwa masing-masing sarjana memberikan
perumusan pengertian kedaulatan menurut pendapatnya sendiri-sendiri. Juga
apakah pengertian kedaulatan itu sama dengan pengertian sovereigniteit. Kalau
menurut Jean Bodin tadi kedaulatan itu adaalah kekuasaan tertinggi untuk
membuat hukum di dalam suatu negara, yang sifatnya:
1. Tunggal. Ini berarti bahwa hanya negaralah yang memiliki. Jadi di
dalam negara itu tidak ada kekuasaan lainnya lagi yang berhak menentukan atau
membuat undang-undang, atau hukum.
2. Asli. Ini berarti bahwa kekuasaan itu tidak bersifat dari kekuasaan
lain. Jadi tidak diturunkan atau diberikan oleh kekuasaan lain. Jadi misalnya
propinsi atau kotapraja itu tidak mempunyai kedaulatan, karena kekuasaan yang
ada padanya itu tidak asli, sebab diperoleh dari pusat.

58
3. Abadi. Ini berarti bahwa yang mempunya kekuasaan tertinggi atau
kedaulatan itu adalaha negara, yang menurut pendapat Jean Bodin negara itu
adanya abadi.
4. Tidak dapat dibagi-bagi. Ini berarti bahwa kedaulatan itu tidak
dapat diserahkan kepada orang lain atau badan lain, baik sebagian maupun
seluruhnya.

Konsepsi Jean Bodin tentang pengertian kedaulatan tersebut diatas,


sebetulnya mempunya suatu kelemahan, yang meskipun ini telah disadari oleh
jean Bodin sendiri, ialah bahwa ia tidak memisahkan antara pengertian negara
dengan pemerintah. Ini merupakan kelemahan dari teorinya, sebab lalu berarti
bahwa kedaulatan negara sama dengan kedaulatan pemerintahnya. Karena
pemerintah itu tidak abadi, maka ini berarti bertentangan dengan unsur abadi dari
kedaulatan di dalam teorinya.

Tadi dikatakan baha hal ini sebenarnya telah disadari oleh Jean Bodin, jadi
di sini tentu ada maksudnya. Memang ada, ialah: Jean Bodin ingin membentuk
suatu pemerintahan sentral yang absolut dan ini hanya dapat dilaksanakan dalma
pemerintahan, dalam hal ini adalah raja. Mengapa demikian? Sebabnya ialah
negara itu merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedang pemerintah atau raja
itu mempunyai pengertian yang konkrit. Maka akhirnya raja inilah yang memiliki
kedaulatan, dengan pengertian bahwa raja harus dapat mengatasi kekacauan
dalam negara.

Dengan demikian Jean Bodin memberikan kepaada raja kekuasaaan yang


absolut, seperti halnya dengan Machiavelli. Maka tidaklah mengherankan bahwa
Jean bodin tidak menyetujui adanya badan perwakilan yang mempunyai
kekuasaan di samping raja. Ia hanya dapat menerima bila badan perwakilan itu
terdiri dari suatu kelas atau kasta dan yang hanya mempunyai kekuasaan untuk
memberi nasehat saja kepada raja.

Di atas telah dikatakan bahwa Jean Bodin tidak membedakan antara


negara dan pemerintah. Karena pembedaan ini memungkinkan timbulnya

59
bermacam-macam bentuk pemerintahan, dan dengan demikian kedaulatan itu
akan dilakukan dengan berbagai-bagai cara. Sejak Aristoteles telah dibedakan
secara tradisionil bentuk-bentuk: Monarki, Aristokrasi dan Demokrasi. Jean Bodin
itu mendapatkan sambutan baik sekali. Tetapi yang terang ajaran Jean Bodin ini
memperkuat timbulnya sistem pemerintahan yang bersifat absolut. Ini menajdikan
ia seorang ahli pemikir yang asli dan kuat. Dan yang meletakkan dasar-dasar
pemikiran untuk abad-abad yang akan datang.

Hanya saja dari ajarannya ada kelemahannya lagi, yaitu bahwa ia tidak
berani menyingkirkan hukum Tuhan dan hukum alam seluruhnya dari sistemnya
yang sangat positif itu, meskipun penyingkiran yang dimaksud itu perlu. Karena
itu tidak teranglah bagaimana hubungan anatara raja yang berdaulat dengan kedua
macam hukum tadi. Tidak ternyata sama sekali tentang adanya hak dari rakyat
terhadap rajanya untuk mendasarkan kekuasaannya pada hukum Tuhan atau
hukum alam. Kedua hukum tersebut tidak mempunyai arti sama sekali dalam
hukum positif. Maka kemudian timbullah pendapat umum bahwa kekuasaan
absolut daripada raja itu bersifat hukum Tuhan, jadinya dengan demikian raja
tidak bertanggung jawab sama sekali terhadap rakyatnya, kecuali bertanggung-
jawab kepada Tuhan nanti di akhirat.

Yang terang akibat daripada perselisihan itu, yaitu perselisihan antara


hukum Tuhan dengan hak absolut dari raja adalah timbulnya sistem pemerintahan
absolut yang dimulai dari tahun 1572 yang akan berlangsung terus nanti sampai
abad 17. Sistem pemerintahan absolut ini nanti akan dilawan dan akan dibatasi
oleh kaum Monarkomaken dengan dasar-dasar ajaran agama.38

38
Soehino. Op.Cit. hlm. 75-77

60
BAB III
PENUTUP
1.3 Kesimpulan
Ilmu negara adalah ilmu yang mempelajari tentang negara secara umum,
baik mempelajari asal mula, lenyapnya, perkembangnya dan wujud serta jenis-
jenis negara.
Jaman Yunani Kuno ada beberapa tokoh yang berpengaruh dalam teori asal
mula negara antara lain:
1. Socrates, berpendapat bahwa negara bukan organisasi yang dibuat untuk
kepentingan pribadi. Negara adalah susunan yang bersifat objektif yang
memuat keadilan masyarakat umum atau keadilan bersama.
2. Plato, berpendapat asal mula negara adalah karena adanya kebutuhan dan
keinganan manusia yang beraneka ragam.
3. Aristoteles, berpendapat negara terbentuk karena adanya penggabungan
kelompok-kelompok kecil yang kemudian menjadi kelompok yang lebih
besar dan begabung menjadi negara.

Jaman Romawi kuno ada beberapa tokoh yang berpengaruh dalam teori asal
mula negara antara lain:

1. Polybius, bentuk negara atau pemerintahan yang satu sebenarnya adalah


merupakan akibat daripada bentuk negara yang lain, yang telah langsung
mendahuluinya. Dan bentuk negara yang terakhir itu tadi kemudian akan
merupakan sebab daripada bentuk negara yang berikutnya, demikianlah
seterusnya, sehingga nanti bentuk-bentuk negara itu dapat terulang
kembali. Jadi dengan demikian di antara berbagai-bagai bentuk negara itu
terdapat hubungan sebab akibat. Bentuk-bentuk negara itu berubah-ubah
sedemikian rupa, sehingga perubahannya itu merupakan suatu lingkaran,
suatu cyclus.
2. Cicero, Negara menurut Cicero adalah merupakan suatu keharusan, dan
harus didasarkan atas ratio manusia. Ajaran cicero ini sebetulnya meniru
dan disesuaikan dengan ajaran kaum Stoa. Pengertian ratio di sini yang

61
dimaksud oleh Cicero adalah ratio yang murni, yaitu yang didasarkan atau
menurut hukum alam kodrat.
3. Seneca, menurutnya negara adalah suatu susunan pemerintahan beserta
rakyat di suatu wilayah, dimana rakyat sebelumnya harus mengabdi dan
mengutamakan kepentingan negara daripada apapun, sekarang lebih
mengutamakan urusan kebatinan, serta perlunya pemimpin yang jujur dan
bersih dalam kepemimpinan suatu negara.

Jaman abad pertengahan ada beberapa tokoh tokoh yang berpengaruh dalam
teori asal mula negara antara lain:

1. Agustinus, berpendapat bahwa negara adalah suatu organisasi yang


mempunyai tugas untuk memusnahkan perintang-perintang agama dan
mush-musuh gereja.
2. Thomas Aquinas, berpendapat bahwa negara merupakan hasil dari
manusia tergolong sebagai mahkluk social yang mempunyai kebutuhan
yang beraneka ragam.
3. Marsilius, berpendapat bahwa negara muncul akibat adanya perjanjian-
perjanian antar masyarakat untuk menyelanggarakan perdamainan.

Jaman Renaissance ada beberapa tokoh tokoh yang berpengaruh dalam teori
asal mula negara antara lain:

4. Niccolo Machiavelli, berpendapat bahwa negara adalah suatu


keseluruhan dari keluarga-keluarga yang dimpimpin oleh Raja yang
berdaulat serta mengutamakan kepentingan negara yang dapat
mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan dan keterentraman
untuk kemakmuran bersama.
5. Thomas Morus, berpendapat negara adalah suatu kumpulan keluarga-
keluarga yang ada di suatu wilayah dengan pemimpin secara otonom
dengan menguatamakan kepentingan rakrat bersama.

62
6. Jean Bodin, berpendapat negara adalah keseluruhan dari keluarga-
keluarga dengan segala miliknya, yang dipimpin oleh akal dari seorang
penguasa yang berdaulat.
2.3 Saran
Demikianlah makalah ini yang dapat kami paparkan, besar harapan kami
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kalangan mahasiswa maupun
orang yang membutuhkan. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi,
penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
saran dan masukan yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini
dapat disusun menjadi lebih baik lagi dimasa yang akan datang.

63
DAFTAR PUSTAKA

Busroh, AD. 2013. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara


Ismatullah, Deddy dan Asep A Sahid Gatara. 2007. Ilmu Negara Dalam Multi
Perspektif. Bandung: Pustaka Setia
Kabul Budiyono. 2012. Teori dan Filsafat Ilmu Politik. Bandung:
ALFABETA
Schmandt, HJ. 2009. Filsafat Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Soehino. 2008. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Wahyudi, Alwi. 2014. Ilmu Negara Dan Tipologi Kepemimpinan Negara.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

64

Anda mungkin juga menyukai