Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini, Makalah yang berjudul “Tipe – Tipe
Negara” ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Negara yang
diampu oleh Prof. Dr. Made Subawa, S.H., M.S.

Makalah ini memuat tentang tipe – tipe negara. Walaupun makalah ini mungkin kurang
sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca. Seperti pepatah yang
mengatakan “Tak ada gading yang tak retak”, saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dan keterbatasan dalam penyajian makalah ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini berguna dan dapat menambah pengetahuan pembaca.

Demikian makalah ini saya susun, apabila ada kata- kata yang kurang berkenan dan
banyak terdapat kekurangan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Denpasar, 6 November 2020

Ni Made Putri Prami Pratiwi

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................. 1

Daftar Isi .......................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang................................................................................................ 3


1.2. Rumusan Masalah........................................................................................... 3
1.3. Tujuan ............................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Tipe Negara Berdasarkan Sejarah Perkembangannya........................................ 4


2.2. Tipe Negara Berdasarkan Hukum dan Tujuan Negara .................................... 16

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................................................ 25

Daftar Pustaka .............................................................................................................. 26

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Negara adalah insititusi yang dibentuk oleh kumpulan orang-orang yang hidup
dalam wilayah tertentu dengan tujuan sama yang terikat dan taat terhadap
perundang-undangan serta memiliki pemerintahan sendiri”. Negara dibentuk atas
dasar kesepakatan bersama yang bertujuan untuk mengatur kehidupan anggotanya
dalam memperoleh hidup dan memenuhi kebutuhan mereka. Untuk mengatur
bagaimana anggota masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya sebagai warga
negara, negara memberikan batasan-batasan dalam wujud aturan dan hukum. Dan
setiap negara memiliki tipe tipe nya tersendiri.
Tipe negara ialah suatu penggolongan negara yang tidak mempunyai batas-
batas yang tegas. Ini berbeda dengan klasifikasi negara atas bentuk-bentuk tertentu,
misal bentuk negara (Kesatuan atau federasi) dan bentuk pemerintahan (Kerajaan
atau Republik) dimana batas-batas dan ukurannya cukup tegas sehingga mudah
dikenali.
Kajian mengenai tipe-tipe Negara dinyatakan sangat penting sebab kajian
tentang negara akan menelaah secara mendalam mengenai model-model negara dari
masa ke masa yang menjadi latarbelakang lahirnya tipe-tipe negara di zaman
Yunani kuno, masa abad modern, maupun prediksi model negara baru di masa yang
akan datang. Oleh sebab itu makalah ini akan membahas tipe – tipe Negara.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa saja kah tipe – tipe Negara berdasarkan sejarah perkembangannya?
2. Apa saja kah tipe – tipe Negara berdasarkan hukum dan tujuan Negara?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui tipe – tipe Negara berdasarkan sejarah perkembangannya.
2. Untuk mengetahui tipe – tipe Negara berdasarkan hukum dan tujuan Negara.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Tipe Negara Berdasarkan Sejarah Perkembangan Negara


Uraian tipe-tipe Negara menurut sejarah (dehistorische hoofd typen van de
staats) meninjau penggolongan negara berdasarkan sejarah pertumbuhan negara, yang
dimulai dari fase Tipe Negara Timur Purba/Kuno, Tipe Negara Yunani Purba/Kuno,
Tipe Negara Romawi Purba/Kuno, Tipe Negara Abad Pertengahan, hingga pada fase
Negara Modern. Berikut akan dijabarkan tipe-tipe negara berdasarkan sejarahnya.
 Tipe Negara Timur Purba/Kuno.
Tipe Negara Timur Purba/Kuno tampak dari dua ciri dominan yaitu Negara
Teokrasi yakni negara didasarkan pada paham keagamaan; dan jika dilihat dari sudut
kekuasaan maka negara bersifat absolut dan despotisme. Negara Timur Purba/Kuno
dilabeli negara teokrasi karena pemerintahan berada pada dan dijalankan oleh raja-raja
yang diyakini dan dipercaya oleh rakyat merupakan keturunan atau penjelmaan dewa-
dewa. Bahkan, raja dianggap sebagai dewa oleh warganya. Dewasa ini bukti-bukti
keberadaan negara-negara Timur Purba/Kuno sebagai Negara Teokrasi tersebut
diketemukan dalam prasati - prasasti, buku - buku kronik maupun penemuan-penemuan
antropologis. Ciri dominan yang kedua dari Negara Timur Purba/Kuno yaitu negara
absolut, bahkan disebut Tirani atau Despotie. Artinya bahwa raja berkuasa mutlak dan
pemerintahan dijalankan sewenang-wenang. Dengan demikian, pada Negara Timur
Purba/Kuno pemerintahan diselenggarakan oleh seorang penguasa – raja dengan
kekuasan dan kewenangan mutlak. Kekuasaannya tidak dibatasi dan melakukan
pengawasan secara ketat kepada rakyat. Seluruh kekuasaan berada pada tangan seorang
penguasa. Raja sebagai kepala Negara, kepala pemerintahan, kepala kekuasaan
legislatif, dan juga sekaligus sebagai kepala kekuasaan yudikatif, sehingga
pemerintahan dijalankan dengan sewenang-wenang.
 Tipe Negara Yunani Purba/Kuno.
Negara Yunani Kuno mempunyai tipe sebagai negara kota (polis,citystate,
stadtstaat, The Greek State), dan demokrasi langsung. Polis merupakan negara yang
wilayahnya sempit – seluas kota, karena itu disebut citystate, terletak di daerah
pegunungan – dataran tinggi, yang dihuni oleh sedikit penduduk dan diperintah oleh
raja. Pada awalnya merupakan suatu tempat kediaman sedikit orang di puncak bukit.

4
Semakin lama semakin banyak penduduk berkediaman di sana dan untuk kepentingan
keamanan maka dibangunlah benteng – tembok yang mengelilingi wilayah itu untuk
menjaga serangan musuh dari luar. Polis merupakan negara sebagai tempat bermukim
untuk dapat melakukan aktivitas bagi suku-suku bangsa pengembara yang kemudian
berhimpun di dalam kelompok-kelompok tertentu, yang merepresentasikan satu
kesatuan kehidupan. Karena itulah Barker menyatakan bahwa negara Yunani
Purba/Kuno tersebut lebih cocok disebut sebagai negara suku (Stammstaat, tribal
State). Masing-masing polis memiliki corak organisasi pemerintahan tersendiri,
misalnya di Sparta ada raja sedangkan di Athena ada kepala pemerintahan; namun
secara umum ada kemiripan satu dengan yang lain, yakni semua polis memiliki
mahkamah (dikasteria), senat atau dewan (bule), dan sidang umum (ekklecia) yang
berhak dihadiri oleh semua warga kota – warga negara. Corak organisasi pemerintahan
seperti itu berkaitan dengan latar belakang berdirinya polis-polis. Mahkamah atau
badan kehakiman berasal dari kebiasaan pengadilan kepala-kepala suku, sementara itu,
senat dan sidang umum merupakan tranformasi dari tradisi kolektivisme kelompok
suku pengembara di masa pengembaraan.
Sifat pemerintahan pada umumnya yaitu demokrasi langsung (directe
demokratie, klassieke democratie, direct democrac) yang berlangsung di dalam
ekklesia (Ecclesia). Semua warga kota dikumpulkan untuk dapat menyampaikan
pendapat atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan negara.
Hal itu berlandaskan pada ajaran para filosof – dalam hal ini Aristoteles bahwa,
manusia sebagai mahluk zoon politicon. Pemerintahan mewajibkan warga untuk
memenuhi tugas-tugas kenegaraan (Staats Gemeinschaft) dan tugas-tugas keagamaan
(Kult Gemeinschaft). Warga kota wajib berbakti kepada kepentingan negara
sebagaimana halnya berbakti untuk kepentingan keagamaan/kepercayaan. Dalam
demokrasi langsung tersebut setiap warga negara – warga kota berpartisipasi langsung
dalam pembuatan undang-undang. Selain itu, juga setiap saat dapat datang ke kantor
pemerintah – kantor publik secara berbanyak atau pun melalui relasi.
Hal demikian dapat terlaksana di Yunani Purba karena pengertian negara sama
dengan kota yakni tempat di sekitar itu saja sehingga wilayahnya sangat terbatas; dan
warga kota juga sedikit. Selain itu, yang lebih penting yaitu polis mengutamakan status
activus, dalam mana warga kota diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
berpartisipasi mengemukakan persoalan-persoalan dan pendapat mengenai hal-hal
kenegaraan dan masyarakat umum. Pergantian sifat pemerintahan yang sering terjadi,

5
dari monarki ke aristokrasi, dari aristokrasi ke tirani, kemudian dari tirani ke demokrasi
menimbulkan motivasi bagi warga kota untuk memikirkan dan melakukan pencarian
yang ideal mengenai hal-hal kenegaraan dan masyarakat umum tersebut. Cara
menyelesaikan permasalahan dengan mengutamakan melalui bicara – beragumentasi
daripada menggunakan kekerasan fisik, senjata – perang; dan memprioritaskan
penyelesaian permasalahan secara bersama-sama – musyawarah turut berkontribusi
atas eksisnya status activus tersebut. Karena itulah di Yunani Purba/Kuno terdapat ahli-
ahli pikir besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Yunani Purba/Kuno mengalami
puncak kejayaan pada sekitar abad ke-5 SM. Koloni-koloninya tersebar luas di sekitar
laut Tengah, pantai Asia Kecil, bahkan sampai ke pantai laut Hitam. Tetapi tidak ada
niat untuk menggabungkan seluruh polis-polis menjadi suatu kerajaan yang luas, yang
menguasai dunia. Masing-masing polis lebih memilih hidup bebas dan mandiri,
walaupun saling bersaing dan bertempur demi mempertahankan eksistensinya. Namun
karena terdapat ikatan yang selalu mempersatukan, yakni persamaan asal-usul, bahasa,
kebudayaan, agama, memiliki satu tempat pesta olah raga di Olympus, dan satu tempat
peramalan yaitu orakel di Delphi maka, mereka akan segera bersekutu jika menghadap
serangan dari luar.
Yunani Purba/Kuno mengalami kemuduran dan akhir runtuh sama sekali dalam
abad yang sama dengan puncak kejayaannya. Keruntuhan itu disebabkan antara lain
karena peperangan tiga kali melawan Persia yaitu pada tahun 492, 490, dan 480 SM.
Walaupun mendapatkan kemenangan gemilang, tetapi telah mengakibatkan
kegoncangan dan menderita kehancuran di bidang militer, sosial, ekonomi, dan
perdagangan. Faktor yang mempercepat kehancuran itu yaitu peperangan yang
berlangsung selama 30 tahun (431-404 SM) antara Sparta dan Athena, yang sangat
dikenal dengan perang Peloponesos.
 Tipe Negara Romawi Purba/Kuno.
Ciri-ciri yang dominan tipe Negara Romawi Purba/Kuno yaitu: primus inter
pares, caesarismus, dan kodifikasi hokum serta imperium yang tampak pada fase-fase
perkembangan mulai dari fase kerajaan, republik, principaat, dan fase dominaat.
Berdasarkan catatan arkeologis, kota Roma mulai terbentuk sekitar tahun 600-575 SM,
dibangun oleh dua orang bersaudara ialah Romulus dan Romus sebagai polis yang
kemudian menimbulkan kerajaan. Raja yang pertama ialah Romulus. Sesudah wafat, ia
digantikan oleh Numa Pompilius yang berhasil menentapkan institusi, keimamatan dan
tradisi religius serta dikenal sebagai pencipta kalender tahunan dengan pembagian satu
6
tahun terdiri dari 12 bulan. Raja yang terakhir sebelum Romawi menjadi Republik ialah
Tarquinius Superbus yang dinyatakan sebagai tiran karena memerintah secara
sewenang-wenang dan lalim sehingga menimbulkan kebencian rakyat. Tarquinius
Superbus digulingkan oleh rakyat yang dipimpin oleh Lucius Junius Brutus. Setelah
itu, bentuk negara Romawi berubah menjadi Republik yang berdiri sejak 509-31 SM.
Organisasi pemerintahan terdiri dari dua orang Konsul sebagai pemimpin negara yang
dipilih oleh rakyat, dengan masa jabatan selama dua tahun. Selain itu, terdapat pula
majelis permusyawaratan rakyat yang keanggotaannya terdiri dari golongan partisius
(golongan bangsawan) dan plebeius (golongan rakyat jelata). Lembaga ini dibentuk
untuk memberikan perlindungan kepada rakyat. Kepemimpinan negara didominasi
oleh golongan partisius. Dalam masa pemerintahan Republik, kekuasaan Romawi
meliputi seluruh Italia. Kemudian dengan keberhasilan dalam perang Phunesia I (264-
242 SM), II (218-202 SM), dan III (149-146 SM) wilayah Romawi bertambah hingga
ke pulau Sicillia. Kemudian, sampai dengan tahun 163 SM wilayah Romawi telah
mencapai Syria, Macedonia, dan Yunani. Dengan demikian Romawi telah berkembang
dari Polis menjadi Vlakte Staat (Country State). Namun pada tahun 30 SM, Republik
Romawi runtuh sebagai akibat dari perebutan kekuasaan dan perang saudara yang
dipicu oleh pemaksaan supremasi kekuatan militer di dalam negeri. Akhirnya, Republik
Romawi tamat dan berubah menjadi kekaisaran Romawi – mulailah masa caisarismus.
Kedua fase perkembangan sejarah politik Romawi di atas menunjukkan bahwa
Romawi menggunakan teori-teori dari Yunani. Teori kerajaan diambil dari Spartha,
sedangkan teori Republik diambil dari Athena. Namun dilakukan adaptasi tertentu
berkaitan dengan perkembangan Romawi menjadi country state. Konsep polis dan
demokrasi langsung tidak dapat diterapkan secara utuh di Romawi sehingga perlu
dilakukan penyesuaian. Konsep polis diadopsi dengan mengkonstruksikan Kota Roma
sebagai polis, sedangkan daerah-daerah lainnya di luar Roma dinyatakan sebagai
lampiran-lampiran (aanghangsels). Konsep ecclesia diadopsi dengan melakukan
konstruksi-konstruksi sedemikian rupa seakan akan terdapat kedaulatan rakyat untuk
melegitimasi kekuasaan. Para pemimpin negara berdalih sejarah kekaisaran Romawi
karena berhasil mengembangkan kota Roma menjadi kota besar yang berpenduduk
sekitar satu juta jiwa dan melakukan pembaharuan di bidang politik, sosial, budaya, dan
pendidikan serta agama dengan membangun banyak tempat ibadah bagi rakyat. Pada
masa itu, orang-orang Romawi menikmati kehidupan yang tenang, aman, adil dan
makmur. Saat itu pula Yesus Kristus lahir di Betlehem pada 4 SM.

7
Setelah kaisar Augustus wafat terjadi berulang kali penggantian kaisar hingga
wafatnya kaisar yang terakhir, Kaisar Theodosius, Romawi pecah menjadi dua bagian
yaitu kekaisaran Romawi di bagian Barat dan kekaisaran Romawi di bagian Timur.
Kekaisaran Romawi di bagian Barat dengan ibu kotanya Roma runtuh pada abad ke-5
(476). Kekaisaran Romawi di bagian Timur berpusat di Constantinopel mampu
bertahan sampai dengan peretengahan abad ke-15.
Mengenai runtuhnya Romawi, Edward Gibbon menunjukkan faktor penyebab
yaitu desakan bangsa-bangsa barbar (bangsa-bangsa yang dianggap masih biadab) dan
menyebarnya kekristenan yang melemahkan struktur tradisional masyarakat Romawi.
Selain itu, sebagian besar kaisar - kaisar Romawi memerintah sewenang-wenang: lebih
mengutakan kesenangan diri, mengejar kemewahan dan menindas rakyat. Perang
saudara sering terjadi sebagai akibat perebutan kekuasaan sehingga menjadikan
kekaisaran Romawi lemah dan rapuh.
Fase Principaat merupakan suatu fase perkembangan sejarah politik Romawi
memasuki masa kekaisaran. Princep sesungguhnya berarti de eerste onder de gelijken
atau primus inter pares artinya yang pertama di antara rekan-rekan/yang sederajat.
Kekuasaan kaisar bersifat mutlak karena kekuasaan berlandaskan pada prinsip
caesarismus dimana kaisar menyatakan mewakili seluruh rakyat sehingga kedaulatan
rakyat terserap ke dalam kekuasaan raja (absorptive representation atau absorberende
vertegenwoordiging). Kaisar memegang dan melaksanakan kekuasaan secara absolut
dengan berlindung di balik tirai rakyat. Karena itulah para ahli hukum menggunakan
kedaulatan rakyat untuk melegitimasi caesarismus agar kekuasaan kaisar dapat
diterima oleh seluruh rakyat sebab demokrasi langsung yang berwujud ecclesia di masa
Yunani Purba/Kuno tidak dapat diterapkan secara utuh di Romawi.
Para ahli hukum yang berusaha sangat keras mencarikan landasan hukum atas
kekuasaan kaisar, ialah: Gaius, Papinianus, Paulus, Ulpianus, dan Modestinus. Diantara
kelima tersebut yang paling terkenal ialah Ulpianus, yang mengintroduksi teori
ketatanegaraan baru sebagai landasan pembenar atas caesarismus. Ulpianus
menyatakan bahwa penyerahan kedaulatan dari rakyat ke tangan kaisar dilakukan
berdasarkan perjanjian yang termuat di dalam Lex Regia. Dengan demikian seluruh
kekuasaan yang ada pada tangan rakyat beralih oleh kaisar sehingga kaisar berkuasa
secara mutlak. Dalam perjanjian tersebut tampak bahwa hanya kaisar yang memiliki
kekuasaan, dan tidak ada kekuasaan lain (no rival authority). Sebagi konsekuensinya
maka, hanya kaisar pula yang memiliki kekuasaan membentuk undang-undang –

8
hukum, dan undang-undang tersebut untuk kepentingan umum. Karena itulah, di dalam
Lex Regia tersimpul dua prinsip, sebagai pepatah romawi, yaitu: Princep Legibus
Solutus Est, dan Salus Publica Suprema Lex.
Prince Legibus berarti bahwa kaisar (princep) yang memiliki kekuasaan
membentuk undang-undang (princep is de wetgever). Sedangkan Solutus Est artinya
satu-satunya yang berkuasa ialah kaisar. Jadi, Princep Legibus Solutus Est berarti hanya
kaisar yang memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Salus Publica berarti
kepentingan umum. Suprema artinya tertinggi atau menguasai, sedangkan Lex artinya
undang-undang atau hukum. Jadi Salus Publica Suprema Lex berarti kepentingan
umum mengatasi atau menguasai undang-undang atau hukum. Dengan demikian,
kedua prinsip tersebut saling berkaitan dan komplementer, serta menegasi pertanggung
jawaban kaisar kepada rakyat.
Fase Dominaat, dalam mana kaisar secara terang-terangan dan tanpa malu-malu
menjalankan kekuasaan secara mutlak, bertindak sewenang-wenang, tidak
berperikemanusiaan dan melanggar hukum. Praktik buruk yang dilakukan kaisar seperti
mengadu manusia dengan manusia – antar para gladiator, bahkan mengadu manusia
dengan binatang buas seperti singa di arena terbuka, dipertontonkan kepada rakyat dan
sebagai hiburan bagi kaisar beserta pengikutnya sambil minum anggur dan makan
makanan yang lezat; sedangkan rakyat dalam kondisi kelaparan saat itu, merupakan
bukti untuk itu.
Dalam fase dominaat terjadi pembedaan pengertian negara dan masyarakat.
Negara dikonstruksikan sebagai badan hukum (rechtpersoon) dengan ciri-ciri yaitu:
hidup sendiri; memiliki kepentingan sendiri yang adakalanya bertentangan dengan
kepentingan para warganya; pimpinan negara merupakan penjelmaan dari kemauan
negara yang memiliki hak-hak sendiri, di samping hak-hak rakyat yang dijamin oleh
hukum. Walaupun demikian, dalam hal negara berhadap-hadapan dengan masyarakat
maka, masyarakat tunduk kepada ketentuan-ketentuan dari negara. Sebagai
konsekuensi atas pembedaan tersebut maka, hukum pun dibedakan atas hukum publik
(ius publicum) dan hukum perdata (ius privatum).
Saat itu Romawi berkembang menjadi Imperium Romawi karena wilayah
taklukannya sangat luas, meliputi dataran Eropa Barat, pesisir pantai utara Afrika,
Mediterania, dan jauh hingga ke Persia (Irak -Iran). Karena itu, untuk mengatur bangsa-
bangsa yang tergabung dalam sistem ketatanegaraan Romawi, atas usul dari Zeno
maka, dibentuk dan diberlakukan ius gentium, yang merupakan embrio – cikal bakal

9
dari hukum antar bangsa – Hukum Internasional (HI), dan Hukum Perdata
Internasional. Hal itu berimplikasi pada bidang pengadilan. Semula pengadilan
dijalankan oleh Praetor, tetapi karena terdapat banyak daerah jajahan maka, untuk
melaksanakan pengadilan di daerah jajahan tersebut diangkat wakil Praetor. Selain itu,
diadakan pembagian tugas di antara dua macam hakim yaitu Praetor dan Judex.
Praetor ialah organ negara yang memiliki kekuasaan. Sedangkan Judex hanya
melaksanakan hal yang dikemukakan oleh Praetor. Judex hanya bisa bertindak jika ada
putusan (vonnis) dari Praetor, sebab Praetor-lah yang berwenang menetapkan putusan
(rechtsbeslissing). Praetor memiliki tugas yaitu: menentukan hukum yang berlaku atas
suatu kasus tertentu (ik zeg wat het recht is); menunjuk hakimnya (ik wijs een rechter
aan); dan memberikan kekuasaan kepada hakim yang ditunjuk (ik bekleed hem met
gezag). Dalam kaitan dengan putusan atas suatu perkara maka, Praetor bertugas untuk
memberikan pertimbngan-pertimbangan hukum yang tepat (ten aanzien van het recht:
de rechtsoverwegingen) dan memberikan putusan (dictum – rechtdoende) atas perkara
tersebut. Judex bertugas berkaitan dengan hal-hal yang praktis yakni mengenai dasar
faktual sengketa (de feitelijke grondslag van het geschil) dari suatu putusan pengadilan.
Pada masa Imperium Romawi, undang-undang 12 (dua belas) meja – kodifikasi
12 (dua belas) meja (twaalf tafelen wet) tidak dapat diterapkan terhadap seluruh
penduduk Romawi, terutama terhadap persoalan - persoalan yang timbul antara orang-
orang Romawi dengan bangsa-bangsa lainnya, karena bersifat agraris dan religius
magis. Solusi untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum tersebut maka
diadakanlah dua jenis Praetor, yaitu Praetor Urbanus dan Praetor Peregrinus. Praetor
Urbanus bertugas untuk melaksanakan ius civilis – hukum privat yang terdapat di dalam
undang-undang 12 meja terhadap warga negara Romawi. Praetor Urbanus berwenang
untuk melakukan penyesuaian, penambahan, atau perubahan apabila undang-undang
12 meja tidak memadai. Praetor Peregrinus bertugas melaksanakan ius gentium
terhadap persoalanpersoalan yang timbul antara warga negara Romawi dengan bangsa-
bangsa lain – orang asing, atau antar sesama orang-orang asing. Dalam melaksanakan
tugas tersebut, Praetor Peregrinus menyelenggarakan peradilan dengan formula-
formula tertentu (rechtspraak per formulae) berdasarkan pada
pertimbanganpertimbangan rasa keadilan, sehingga disebut billijkheidsrechtspraak.
Praetor Peregrinus merumuskan sendiri putusan atas suatu persoalan – perkara
berdasarkan rasa keadilan, tidak berdasarkan pada peraturan yang ada. Hukum baru
timbul ketika ada perkara, dan putusan tersebut diterapkan terhadap perkara yang sama

10
yang timbul di kemudian hari. Keputusan-keputusan rechtspraak per formulae dari
Praetor Peregrinus tersebut muncul sebagai case law di kemudian hari.
Ciri yang lain dari tipe negara Romawi Kuno yaitu kodifikasi hukum. Ini
orisinal dari orang-orang Romawi, tidak ada pengaruh Yunani. Perkembangan hukum
Romawi diawali dengan kodifikasi hukum yaitu twaalf tafelen wet dan diakhiri juga
dengan kodifikasi yang disebut Corpus Iuris Civilis. Twaalf tafelen wet merupakan
peraturan – hukum yang dilukiskan di atas 12 (dua belas) meja yang terbuat dari batu
yang dibentuk sebagai akibat adanya tuntutan persamaan hak dari golongan plebejers
(orang-orang desa/budak) terhadap golongan patriciers (bangsawan/ningrat). Twaalf
tafelen wet dibentuk oleh suatu panitia yang beranggotakan 10 orang sehingga dibuatlah
10 meja hukum. Tetapi karena kepala negara terdiri dari 2 (dua) orang konsul, yang
memerlukan dua meja lagi, sehingga terdapatlah 12 meja hukum. Masing-masing meja
memuat mengenai bidang-bidang yang khusus, misalnya jual beli, perkawinan, warisan
dan lain-lain.
Kodifikasi yang memuat peraturan-peraturan bidang hukum perdata, hukum
pidana, dan hukum acara ini baru selesai sekitar tahun 450 SM. Kodifikasi yang kedua
dan yang terakhir yaitu Corpus Iuris Civilis yang terbentuk di Romawi Timur sebagai
usaha dari Kaisar Justinianus (527-565). Kodifikasi ini disebut juga Corpus Iuris
Civilistiniani. Kemajuan pembangunan bidang hukum yang menakjubkan itu
menyebabkan orang-orang Romawi dikenal sebagai yang mewariskan hukum bagi
dunia Barat. Dalam kaitan dengan negara, salah seorang ahli hukum Romawi, Cicero
(106-43) mengkonstruksikan bahwa negara sebagai suatu bentuk masyarakat yang
diciptakan oleh hukum, bukan sebagai gejala sosiologis, dan tidak dilandasi pandangan
etika. Negara sebagai suatu bentuk perjanjian dimana hak-hak masing-masing pihak
yang berjanji menjadi pokok masalah. Ikatan bernegara merupakan suatu ketentuan
yang diberikan oleh hukum alam, bahwa hukum alam menentukan setiap manusia
terikat pada hukum negara masing-masing.
 Tipe Negara Abad Pertengahan.
Tipe negara abad pertengahan memiliki ciri-ciri khas, yaitu: teokratis,
feodalisme, dan dualisme dalam bernegara. Bahkan, Beerling mengungkapkan
pandangan umum Eropa terhadap masa Abad Pertengahan sebagai masa biadab, hingga
sekarang dinamakan the dark ages. Orang Inggris menyebut sebagai antitesa dari zaman
Renaisance. Negara Teokratis artinya suatu negara yang cara memerintahnya
berdasarkan kepercayaan bahwa Tuhan langsung memerintah negara, hukum negara yg
11
berlaku yaitu hukum Tuhan, dan pemerintahan dipegang oleh ahli agama atau
organisasi keagamaan. Dalam Abad Pertengahan, negara Teokrasi timbul setelah
Imperium Romawi runtuh, yang disertai dengan hancurnya ketatanegaraan. Saat itu,
agama Kristen berkembang sangat pesat. Para penganut menyatakan bahwa tidak ada
kekuasaan apa pun di dunia yang harus dipatuhi, karena yang pertama tama harus ditaati
yaitu perintah Tuhan. Perintah penguasa akan ditaati jika sesuai dengan perintah Tuhan.
Kedudukan agama Kristen semakin kuat setelah dibentuk organisasi gereja yang
dipimpin oleh Paus, sebagai wakil Tuhan untuk memerintah di dunia. Organisasi Gereja
semakin berjaya, dan pada akhirnya menimbulkan pembatasan terhadap kebebasan
berpikir bagi rakyat termasuk bagi para penganut agama Kristen. Sebab segalanya harus
tunduk pada perintah Tuhan, dan jika terdapat perintah Tuhan yang kurang jelas maka
hanya pemimpin-pemimpin Gereja terutama Paus yang dapat memberikan interpretasi.
Gereja Katolik-Yunani mempertahankan kehidupan Gereja lama dengan sistem
pemerintahan episkopal. Uskup Agung (Patriark) Constantinopel sebagai pemimpin
kehormatan, tetapi tidak dapat berhak menetapkan keputusan-keputusan dan kebijakan-
kebijakan yang akan dilaksanakan oleh Gereja. Kekuasaan itu ada dalam tangan Sinode
(persidangan Gereja). Para Uskup berkedudukan sederajat. Gereja Katolik Yunani lebih
menekankan pada perenungan mengenai ketuhanan. Orangorang Kristen lebih
menunjukkan sikap kristiani seperti: kasih, kejujuran, kerendahan hati dan loyalitas
terhadap masalah-masalah sosial, politik, dan kenegaraan. Kaisar dipandang sebagai
wakil Tuhan di dunia, sehingga berkembanglah paham Caesaropapisme
Gereja Katolik-Roma berkembang sedemikian rupa dengan sistem
pemerintahan papacy. Paus memegang kekuasaan dan wewenang tertinggi, para uskup
berada di bawah kekuasaan Paus. Di sini lebih mengutamakan pengamalan atau
perbuatan daripada perenungan. Perbuatan kasih seperti: pengorbanan, amal, dan jasa;
serta penitensia (tindakan penyesalan dan pengakuan dosa) dan rahmat haruslah
memperoleh tempat yang khusus. Gereja Katolik-Roma menolak Caesaropapisme.
Uskup yang pertama menolak ialah Ambrosius yang menyatakan bahwa kaisar juga
patut mengabdikan diri kepada Tuhan, sebab hanya Tuhan yang patut disembah dan
setiap orang – termasuk yang menjadi kaisar sebagai prajurit Tuhan. Kaisar berada di
dalam Gereja, tetapi tidak menguasai Gereja itu. Karena itu kedudukan Gereja semakin
strategis, pengaruh dan kekuasaan Gereja semakin besar sehingga semakin banyak
uskup yang pada prinsipnya telah menjadi pejabat pemerintah sebab berjasa dalam
menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan dan masyarakat. Dengan demikian,

12
lahirlah paham papocaisarisme yang memperlebar kesenjangan antara Gereja Katolik-
Roma dengan Gereja KatolikYunani.
Adanya dualisme dalam bernegara sebagai ciri dominan negara pada Abad
Pertengahan artinya bahwa dalam kehidupan bernegara terdapat dua prinsip atau
pandangan yang saling bertentangan atau satu sama lain tidak sejalan. Dualisme
tersebut yaitu: dualisme antara penguasa dan rakyat; dualisme kekuasaan antara
penguasa negara ialah Kaisar dan penguasa Gereja ialah Paus; serta dualisme antara
pemilik tanah (modal) dan penyewa tanah (modal).
Dualisme antara penguasa dan rakyat atau antara penguasa dan yang dikuasai
timbul sebagai akibat dari adanya dua macam hak yang menjadi dasar terbentuknya
negara yaitu Rex (hak raja/kaisar untuk memerintah) dan Regnum (hak rakyat/yang
dikuasai). Hal itu merupakan suatu konstruksi yang berlandaskan pada teori-teori dalam
Hukum Perdata sebagai pengaruh dari sisa-sisa masa Romawi Kuno. Adanya dua jenis
hak tersebut menimbulkan keinginan dari rakyat untuk saling membatasi hakhak dan
kewajiban-kewajiban raja dan rakyat, yang diintrodusir oleh aliran Monarchomachen
(golongan anti raja yang mutlak). Pembatasan tersebut disepakati dan dituangkan dalam
suatu perjanjian yakni Leges Fundamentalis yang berlaku sebagai undang undang. Di
situ ditentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban raja dan rakyat. Jika raja melampuai
batas hak-haknya maka, rakyat dapat memberontak. Sebaliknya, jika rakyat tidak
mematuhi pemerintahan maka, raja dapat menghukumnya.
Dualisme antara pemilik tanah/modal dan penyewa tanah/modal melahirkan
feodalisme. Artinya bahwa pemilik tanah memegang kekuasaan yang besar terhadap
rakyat sebagai penyewa tanah. Pada masa Abad Pertengahan rakyat berada dalam
keadaan kurang aman dan tidak tentram sehingga kesatuan-kesatuan politik dan
ekonomi lingkupnya sangat terbatas – bersifat kecil-kecil. Pemerintahan – kerajaan pun
bersifat lokal. Kekacauan sering terjadi sehingga rakyat dihantui kecemasan dan rasa
takut, kemudian menyerahkan soal keamanan kepada seorang yang lebih berkuasa
seperti para pemilik tanah (modal) atau golongan bangsawan yang disertai dengan
penyerahan sebagian dari hasil tanah dan memberikan jasajasa tertentu kepada yang
memberikan perlindungan tersebut. Bahkan, orang yang memiliki tanah sedikit, tetapi
tidak mampu menjaga keamanannya sendiri, juga meminta perlindungan dari golongan
bangsawan dengan menyerahkan tanahnya menurut persyaratan yang berlaku bagi si
penyewa tanah. Dengan demikian terjadilah ikatan ekonomi dan hubungan pribadi
antara kedua belah pihak yaitu pemilik tanah/modal atau golongan bangsawan dengan

13
penyewa tanah/modal atau rakyat. Negara pada Abad Pertengahan disebutkan juga
memiliki ciri dominan sebagai Standenstaats, yaitu sifat - sifat negara berdasarkan
lapisan-lapisan yang ada dalam masyarakat, sehingga ada perbedaan yang tajam antara
golongan bangsawan, agama, rakyat dan sebagainya.
Dualisme kekuasaan antara penguasa negara ialah Kaisar dan penguasa Gereja
ialah Paus maksudnya yaitu terjadi pertentangan antara negara dan gereja, satu dengan
yang lain saling menyatakan lebih berkuasa, memiliki kekuasaan lebih tinggi.
Perebutan kekuasaan antara Kaisar/raja sebagai penguasa dunia – politik dan penguasa
rohaniah/Gereja ialah Paus ini sampai memaksakan kepada para pengikutnya masing-
masing, yang pada hakikatnya merupakan orang orang yang sama, untuk menafikan
kekuasaan dari lawan masing-masing. Dualisme ini melahirkan teori teokrasi dan
sekulerisme (yaitu pemerintahan yang meliputi urusan keagamaan dan keduniawian).
Dualisme kehidupan bernegara itulah yang pada umumnya mewarnai seluruh Abad
Pertengahan di Eropa.
Berkaitan dengan pertentangan antara kekuasaan kerajaan dan Gereja maka,
para ahli pikir besar mengenai negara dan hukum yang memberikan pandangan-
pandangan ialah Aurelius Augustinus atau Santo Augustinus (354-430), Thomas
Aquinas (1225-1274), Dante Alighieri (1265-1321), dan Marsiglio di Padua (1275-
1342).175 Augustinus dalam bukunya De Civitate Dei (Civitas Dei) menyatakan
terdapat dua jenis negara yaitu Civitas Dei (Negara Tuhan) dan Civitas Terrana atau
Civitas Diabolis (Negara Keduniawian). Civitas Dei merupakan negara yang warganya
memajukan nilai-nilai Kristen. Sedangkan Civitas Terrana merupakan negara yang
buruk karena dihuni oleh warga yang sesat atau tersesat, dipenuhi dengan kejahatan,
keserakahan, dan hawa nafsu sehingga dinyatakan sebagai negara terkutuk yang akan
mendapatkan hukuman. Kedua jenis negara tersebut dipersepsikan sebagai Gereja dan
kerajaan yang eksis secara faktual. Gereja memiliki kedudukan primer – lebih tinggi
daripada kerajaan. Dengan demikian, Augustinus menegaskan adanya pemisahan
antara Gereja dan Kerajaan, dan menpatkan Paus pada posisi supreme sehingga kaisar
berada di bawah Paus.
Thomas Aquinas dalam bukunya De Regimine Principum, ad Regem Cypri
menyatakan bahwa secara institusional ada pemisahan antara Gereja dengan Kerajaan,
namun tetap ada keseimbangan dan hubungan kerjasama. Sebab kesejahteraan dalam
hidup duniawi tidak cukup bagi manusia tetapi juga kemuliaan dengan menjalankan
perintahperintah Tuhan melalui tuntunan dari Gereja. Kerajaan bertugas mewujudkan

14
kesejahteraan masyarakat berkaitan dengan duniawi, sedangkan Gereja bertugas
mewujudkan kemuliaan kekal dalam ranah keagamaan. Gereja merupakan entitas
spiritual dan personifikasi dari Kerajaan Tuhan di dunia. Hukum yang ditetapkan oleh
raja didukung oleh Gereja. Sebaliknya raja-raja pun sepatutnya patuh terhadap
kekuasaan Gereja dan bekerjasama dengan Paus. Pandangan tersebut menunjukkan
bahwa Thomas Aquinas mendapatkan pengaruh dari Augustinus. Selanjutnya dalam
bukunya Summa Theologica, sebagaimana sudah disinggung di atas, Thomas Aquinas
mengelompokkan hukum kedalam empat kelompok, yaitu:
1. Lex Aeterna yakni hukum abadi yang bersumber dari rasio Tuhan, mengatur
segala hal yang ada sesuai dengan tujuan dan sifatnya serta menjadi sumber
dari segala hukum.
2. Lex Divina yaitu hukum ketuhanan yang memuat sebagian kecil dari rasio
Tuhan yang diwahyukan kepada manusia.
3. Lex Naturalis yaitu bagian dari Lex Devina yang dapat ditangkap oleh rasio
manusia dan sebagai penjelmaan dari Lex Aeterna di dalam rasio manusia;
dan
4. Lex Humana yaitu hukum yang dibuat oleh manusia dan secara faktual
sungguh-sungguh berlaku di dalam masyarakat. Inilah yang dinamakan
hukum positif.
Dengan demikian terdapat perbedaan antara hukum yang dibuat oleh manusia
sebagai hukum positif dengan hukum yang tidak ditetapkan oleh manusia, namun
terdapat hubungan. Negara membentuk hukum sebagai hukum positif dalam bentuk
undang-undang tetapi dijiwai semangat hukum abadi, hukum ketuhanan dan hukum
alam. Undangundang dapat dibuat oleh penguasa yang tirani, tetapi itu tidak dijiwai
oleh hukum yang statusnya lebih tinggi. Hal itu menunjukkan adanya hubungan
kerjasama antara negara dengan Gereja.
Hubungan Negara dengan Gereja diilustrasikan melalui teori yang sangat
terkenal pada abad kedua belas yakni Teori Dua Pedang (Tweezwaarden Theorie).
Walaupun terdapat perbedaan antara pihak Paus dengan pihak Kaisar dalam
menafsirkan dan mengkonstruksikan terosi tersebut, namun simpulannya sama. Pihak
Paus menyatakan bahwa Paus menerima dibelah pedang untuk melindungi agama. Satu
pedang yaitu pedang rohaniah digunakan oleh Paus. Sementara itu, pedang yang lain
yakni pedang duniawiah diserahkan oleh Paus kepada Kaisar untuk digunakan demi

15
kepentingan dan kebutuhan Gereja. Hal itu mengilustrasikan kedudukan Gereja lebih
tinggi daripada Kerajaan, tetapi terdapat hubungan antara keduanya.

 Tipe Negara Modern


Perkembangan negara modern dimulai pada zamannya Thomas Hobbes (1588-1679). Sifat
pokok negara pada masa ini adalah merupakan negara hukum yang demokratis. Menurut
Rousseau jika hanya ada demokrasi dalam suatu negara, maka masih memungkinkan
negara itu menjadi absolut, karena demokrasi adalah bentuk politik bukan bentuk
hukum/yuridis. Prinsip mayoritas yang dilahirkan oleh liberalisme melanggar suara
minoritas. Suara terbanyak tersebut hanyalah bentuk politis, semata-mata merupakan
kehendak mayoritas; sebaliknya nihil atas aspek yuridisnya. Untuk mencegah ekses
demokrasi itu maka, harus dibatasi dengan memberikan unsur negara hukum. Dengan
demikian, ciri dominan yang tampak pada tipe negara modern yaitu kedaulatan rakyat
dengan sistem perwakilan dan negara hukum yang demokratis. Dalam negara modern
kekuasaan tertinggi ada pada rakyat yang melahirkan pemerintahan demokrasi. Pemerintah
menyelenggarakan kehendak rakyat yang direpresentasikan di dalam badan perwakilan dan
diformulasikan dalam bentuk hukum. Sebagai ilustrasi perlu dikemukakan ciri-ciri pokok
tipe negara modern menurut Mustamin Daeng Matutu, yaitu:
1. Bersifat publik murni dari tugas/fungsi negara modern.
2. Adanya pemusatan kekuasaan oleh pemerintah pusat.
3. Adanya alat-alat kekuasaan seperti tentara, birokrasi.
4. Masalah keuangan merupakan hal penting.
Sementara itu, H. Abu Daud Busroh mengemukakan dalam tipe negara modern berlaku
asas demokrasi; dianutnya paham negara hukum; dan susunan negara kesatuan. Di dalam
negara hanya ada satu pemerintahan yaitu pemerintahan pusat yang memiliki wewenang
tertinggi.

2.2.Tipe Negara Menurut Hukum atau dari Segi Tujuan Negara


Tipe Negara ditinjau dari sisi tujuan adalah penggolongan Negaranegara yang melihat
hubungan antara pengusa dan rakyat, dimana terdapat tipe Negara Polisi (Polizie Staats),
Tipe Negara Hukum (Rechts Staats), dan Tipe Negara Kesejahteraan (Wohlfaarts Staats,
Welfare State)

16
 Tipe Negara Polisi (Polizie Staats).
Tipe negara polisi sering juga disebut dengan tipe negara kesejahtraan klasik
(classic welfare state). Di sini negara menyelenggarakan ketertiban dan keamanan serta
kemakmuran rakyat, semua kebutuhan hidup masyarakat – kepentingan umum,
sehingga dikenal slogan sallus publica supreme lex (kepentingan umum harus
diutamakan). Hal itu menunjukkan bahwa kata ”polisi” di sini mengandung dua (2)
pengertian, yaitu:
1. Dalam arti negatif atau sempit (Sicherheit Polizei), diartikan semata-mata
sebagai penjaga keamanan.
2. Dalam arti positif atau luas (Verwaltung Polizei atau Wohfart Polizei),
disamping sebagai penjaga keamanan, juga meliputi usaha untuk mencapai
kemakmuran dan kesejahtraan masyarakat.
Dalam mencapai kemakmuran masyarakat yang menjadi kepentingan umum
segala sesuatunya ditentukan oleh raja atau penguasa, adanya slogan L’etat c’est moi
(negara adalah saya) menegaskan hal itu. Demikian pula, hanya raja atau penguasa yang
dapat membentuk hukum atau undang-undang, yang saat itu dikenal dengan ungkapan
principle legibus solutus est. Dalam kenyataannya yang dipentingkan yaitu
kemakmuran raja atau penguasa, karena jika raja makmur maka rakyat akan makmur.
Kemudian, hal itu menjadi landasan bagi praktik absolutisme bagi semua penguasa
absolut di Eropa maupun Inggris.
 Tipe Negara Penjaga Malam (Nacht Wacker Staat/night watchman
state).
Dalam tipe ini tugas negara hanya menjaga keamanan dan ketertiban umum
serta menjaga keselamatan negara dari serangan negara lain. Negara tidak campur
tangan terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Secara politik tugas Nacht Wacker Staat
atau night watchman state adalah melindungi dan menjamin kedudukan ekonomis dari
mereka yang menguasai alat-alat pemerintahan (dalam arti luas) Nacht Wacker Staat
itu, yakni rulling class yang merupakan suatu golongan yang eksklusif. Karakter dasar
Negara Penjaga Malam yaitu kebebasan – liberalisme yang berkembang pada abad
pertengahan hingga abad 18. Di sini peran negara sangat minim, sehingga negara
penjaga malam dinamakan juga minimum state atau minarchism. Artinya bahwa
pemerintah tidak dapat menggunakan monopoli memaksa terhadap warga negaranya,
tetapi memberikan kebebasan untuk mengurus urusan kesejahteraannya. Negara hanya

17
berperan melindungi warga negara dari tindakan-tindakan yang berkaitan dengan
gangguan keamanan seperti: penyerangan, pencurian, pelanggaran perjanjian,
penipuan. Karena itu, institusi negara yang dibentuk berkaitan dengan aspek keamanan
yaitu: militer, kepolisian, pengadilan, penjara, dan pemadam kebakaran. Atau yang
masih ada juga kaitannya dengan keamanan yakni institusi perpajakan. Prinsip
liberalisme dalam mewujudkan kesejahteraan menimbulkan persaingan bebas antar-
individu menimbulkan ekses bagi negara penjaga malam yaitu kesenjangan sosial dan
ketidakadilan ekonomi.
 Tipe Negara Hukum (Rechts Staats).
Tipe negara hukum merupakan reaksi terhadap absolutisme yang terjadi dalam
masa tipe negara polizie. Negara hukum adalah negara yang bertujuan untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan
hukum yang terdapat pada masyarakat supaya ketertiban hukum tidak terganggu dan
semuanya berjalan sesuai dengan hukum. Dalam hal ini, penyelenggaraan negara
dilakukan berdasarkan atas hukum. Setiap tindakan pemerintah maupun warga negara
harus dilandasi hukum yang berlaku. Artinya bahwa apapun yang akan dilakukan oleh
setiap pejabat negara dalam melaksanakan pemerintahan mesti dilandasi dengan
aturan-aturan yang ditetapkan bersama. Penguasa tidak dapat bertindak sewenang-
wenang. Demikian pula dengan warga negara tidak dapat bertindak sesuka hatinya,
menurut kehendaknya sendiri, main hakim sendiri, yang bertentangan dengan hukum.
Konsep negara hukum pada umumnya dikenal sebagai anak kandung benua
Eropa, lahir pada abad 17-18, yang dipengaruhi oleh liberalisme dan individualisme
sebagai falsafah kebanyakan negara - negara Barat. Namun sesungguhnya itu bukanlah
menjadi monopoli negara-negara Barat. Sebab konsep negara hukum sudah menjadi
pilihan agama Islam sejak abad ke-13. Islam telah menetapkan bahwa hukumlah yang
harus berdaulat dalam negara. Hukum supaya ditegakkan tanpa diskriminatif, tanpa
memandang orangnya, berdasarkan perasaan dan kejujuran. Hukum ditegakkan
berdasarkan kebenaran, tidak mengikuti hawa nafsu yang akan menyesatkan. Menilik
pada perkembangan konsep Negara hukum maka dikenal adanya konsep Negara hukum
liberal, Negara hukum formal, dan Negara hukum material. Tetapi jika dikaitkan
dengan konsep hukum, maka hanya dikenal konsep Negara hukum formal dan Negara
hukum material. Konsep Negara hukum liberal digagas oleh Immanuel Kant, yang
bertolak dari reaksi golongan borjuis liberal terhadap Negara polizie, yang
menghendaki agar peran Negara dibatasi, Negara berstatus pasif. Artinya bahwa
18
Negara harus tunduk pada peraturan-peraturan Negara. Penguasa dalam bertindak harus
patuh pada hukum Negara. Kaum liberal menghendaki agar ada persetujuan dalam
bentuk hukum antara penguasa dan yang dikuasai, dan persetujuan yang menguasai
penguasa. Golongan berjuis menghendaki agar peran Negara dibatasi, sebaliknya hak-
hak dan kebebasan pribadi tidak diganggu. Negara tidak dapat terlibat dalam urusan
perekonomian dan kesejahteraan, melainkan dilakukan sepenuhnya oleh masing-
masing individu berdasarkan prinsip persaingan bebas - laissez faire laiesizealler.
Artinya bahwa keadaan ekonomi negara menjadi sehat jika setiap orang diberikan
mengurus kepentingan ekonominya masingmasing. Dengan demikian, tugas negara
hanya melindungi kedudukan ekonomi kelompok yang menguasai alat-alat produksi
dan pemerintah. Negara tidak dapat campur tangan dalam urusan ekonomi dan sosial
warga negara. Negara bersifat pasif, sebaliknya rakyatlah yang aktif dan berkompetisi
secara bebas dalam mengusahakan kesejahteraan. Negara baru bertindak apabila terjadi
pelanggaran hukum oleh rakyat dalam berkompetisi tersebut. Karena itu, tipe negara
hukum liberal dinyatakan sebagai perkembangan dari tipe negara Nacht Wacker Staat.
Konsep negara hukum (modern) di Eropa Kontinental dikenal dengan sebutan
rechstaat yang dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, F. Julius
Stahl, dan Fichte. Sementara itu, di Negara - negara Anglo Amerika (Anglo Saxon)
konsep negara hukum dikenal dengan istilah The Rule of Law yang dipelopori oleh A.V.
Dicey. Konsep negara hukum yang dikemukakan yaitu negara hukum formal yakni
suatu Negara yang diselenggarakan berdasarkan pengesahan dari rakyat dalam bentuk
undang-undang. Di sini hukum diartikan secara sempit, yakni hanya hukum tertulis
yang berbentuk undang-undang. Dengan demikian, Negara hukum formal berlandaskan
pada asas legalitas.
F. Julius Stahl menyatakan ada empat elemen penting negara hukum, yaitu:
1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia;
2. Pembagian atau pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan
4. Adanya peradilan tata usaha atau administrasi negara.
Sementara itu, A. V. Dicey menunjukkan tiga ciri penting setiap negara hukum,
yaitu:
1. Supremasi hukum (supremacy of law), dalam arti tidak boleh ada kesewenang-
wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum;

19
2. Persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law), baik bagi
rakyat biasa maupun bagi pejabat; dan
3. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan - keputusan
pengadilan.
Walaupun F.J. Stahl dan A.V. Dicey dinyatakan sama-sama sebagai pengagas
konsep negara hukum formal, namun jika merujuk pada ciri-ciri negara hukum yang
dikemukakannya masing-masing tampak ada perbedaan sesuai dengan paham atau
tradisi hukum yang melatarinya. Negara hukum formal pada hakikatnya merupakan
organized public power (kekuasaan umum yang terorganisir). Karena itu, setiap negara,
termasuk negara totaliter sekali pun, merupakan negara hukum, yakni negara hukum
formal. Namun, keadilan dan kesejahteraan sebagai tujuan yang dicita-citakan belum
tentu dapat direalisasikan. Sebagai ekses dari terbatasnya peran negara dalam usaha
mewujudkan tujuan negara maka, negara hukum formal mulai ditinggalkan. Para ahli
pikir mengkaji ulang konsep negara hukum. Salah seorang di antaranya ialah Wolfgang
Friedman yang menyatakan bahwa dalam konsep negara hukum itu, keadilan tidak
serta-merta akan terwujudkan secara substantif, seperti dialami negara hukum formal.
Karena itulah konsep Negara hukum formal bergeser ke arah sebuah gagasan baru yaitu
pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Gagasan inilah
kemudian menjadi konsep negara hukum material, sebagai konsep negara hukum abad
20. Dalam hal ini negara turut serta menangani urusan bidang ekonomi dalam rangka
mensejahterakan rakyat. Intervensi pemerintah ini untuk memperkecil disparitas
ekonomi dalam mendistribusikan kekayaan negara.
Dalam negara hukum material tindakan pemerintah tidak hanya berdasarkan hukum
tertulis yakni undang-undang, tetapi juga hukum tidak tertulis. Pemerintah dalam
keadaan dan peristiwa yang mendesak, demi kepentingan warga negaranya dapat dan
dbenarkan bertindak tidak berdasarkan UU, asal tindakan tersebut dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, dalam konsep negara hukum material,
pemerintah bertindak atas dasar asas oportunitas.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kompleksitas kebutuhan hidup
manusia maka tugas Negara menjadi semakin besar sehingga tidak mungkin dapat
bertindak efektif jika harus selalu berdasarkan undangundang. Selain itu, undang-
undang tidak mungkin mengatur kompleksitas kebutuhan tersebut, apalagi berkaitan
dengan keadaan dan peristiwa yang sangat mendesak. Karena itu, dalam konsep Negara
hukum material, pemerintah diberikan diskresi sesuai dengan asas discretionary power

20
atau freies ermessen dalam menyelenggarakan pemerintahan guna mewujudkan tujuan
Negara.
 Tipe Negara Kesejahteraan (Wohl faarts Staats/ Welfare State).
Tipe negara kesejahtraan, adalah merupakan negara yang berperan aktif untuk
menyelenggarakan kesejahtraan umum (beztuurzorg), selain berperan dalam menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakatnya. Alat-alat perlengkapan atau aparatur negara
mengabdi kepada kepentingan, kemakmuran dan kesejahtraan masyarakat, termasuk
memberikan jaminan sosial. Tugas negara terutama untuk menyelenggarakan
kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Konsep negara kesejahteraan berlatar pada
prinsip kesetaraan kesempatan, distribusi kekayaan yang setara, dan tanggung jawab
masyarakat kepada orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup
minimal yang layak. Dalam hal ini kehadiran negara dimaksudkan untuk memastikan
bahwa setiap warga negara beserta keluarganya memperoleh pendapatan minimum
sesuai dengan standar kelayakan, memberikan layanan sosial terkait permasalahan yang
dialami warga Negara, setiap warga negara mendapatkan hak-haknya tanpa adanya
diskriminasi berlandaskan perbedaan status, kelas ekonomi, dan perbedaan lain.
Namun, Negara - negara memaknai konsep negara kesejahteraan secara berbeda-beda.
Tetapi terdapat tiga model yang umum dianut, yaitu:
3. Negara menyetujui kesejahteraan universal yang komprehensif bagi
warganya. Ini merupakan model yang ideal.
4. Kesejahteraan yang diberikan oleh negara. Ini terutama digunakan di
Amerika Serikat.
5. Perlindungan sosial. Ini digunakan oleh banyak negara kesejahteraan,
terutama di Eropa Barat dan Skandinavia. Di kedua negara tersebut
perlindungan sosial tidak hanya dilakukan oleh negara, namun oleh
kombinasi antara layanan publik pemerintah, independen, sukarela, dan
daerah.
Merujuk pada variasi luas lingkup dan ragam program jaminan sosial suatu
negara kesejahteraan dengan negara kesejahteraan yang lain maka, Titmuss
mengidentifikasi terdapat dua tipologi negara kesejahteraan yaitu
1. Residual Welfare State. Artinya bahwa negara sebagai penyelenggara
kesejahteraan sosial jika hanya keluarga/rumah tangga dan pasar gagal
menjalankan fungsinya serta terpusat pada kelompok tertentu dalam
masyarakat.
21
2. Institutional Welfare State. Ini bersifat universal, mencakup semua populasi
warga, terlembaga dalam basis kebijakan sosial yang luas dan vital bagi
kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan pada aktor utama penyediaan kesejahteraan maka, rezim
kesejahteraan terdiri dari rezim kesejahteraan liberal, sosial demokrat, dan konservatif.
Peran Negara dalam Negara kesejahteraan paling kuat pada rezim sosial demokrat
daripada rezim kesejahteraan liberal dan konservatif. Mengacu pada varian rezim
kesejahteraan tersebut, Esping Anderson mengklasifikasikan tiga bentuk Negara
kesejahteraan, yaitu :
1. Residual welfare state. Negara kesejahteraan ini berbasis pada resim
kesejahteraan liberal. Cirinya yaitu: jaminan sosial terbatas pada kelompok
terget yang selektif, dan pelayanan public dilakukan oleh aktor bukan
Negara – pasar. Contoh: Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika
Serikat.
2. Universalist welfare state. Negara kesejahteraan ini berlandaskan pada
resim kesejahteraan sosial demokrat. Cirinya yaitu: jaminan sosial terbatas
pada kelompok terget yang selektif, dan pelayanan publik dilakukan oleh
aktor bukan Negara – pasar. Contoh: Denmark, Finlandia, Norwegia,
Swedia, dan Belanda.
3. Social insurance welfare state. Negara-negara yang termasuk kelompok ini
berdasarkan pada rezim kesejahteraan konservativ. Cirinya yaitu sistem
jaminan sosial tersegmentasi, dan keluarga sebagai aktor penting penyedia
pasokan kesejahteraan. Contohnya: Austria, Belgia, Perancis, Jerman, Italia,
dan Spanyol.
Walaupun terdapat perbedaan makna yang diberikan terhadap konsep negara
kesejahteraan oleh suatu negara, pada prinsipnya dalam suatu negara kesejahteraan,
negara berperan aktif dalam mengorganisasi dan menyelenggarakan perekonomian dan
bertanggung jawab untuk menjamin ketersediaan pelayanan dasar pada tingkat tertentu
bagi warga negara. Selain itu, terdapat empat pilar utama, yaitu: social citizenship; full
democracy; modern industrial relation system; dan rights to education and the
expansion of modern mass education system
Negara Indonesia dalam menyelenggarakan program jaminan sosial
menerapkan model social state model dengan mengakomodasi unsur - unsur welfare
state model. Penyelenggaraan program jaminan sosial menggunakan mekanisme

22
asuransi sosial dengan kepesertaan bersifat wajib dan biaya dari pajak untuk menjamin
kebutuhan dasar hidup minimal. Program jaminan sosial diselenggarakan untuk
mewujudkan salah satu tujuan Negara yang diamatkan Pembukaan UUD 1945 yaitu
memajukan kesejahteraan umum yang berkeadila sosial. Kemudian, tujuan tersebut
dipatrikan di dalam Pasal 33 dan 34 UUD 1945.
Selain tipe-tipe Negara tersebut di atas, khusus untuk Negara - negara di Asia
Selatan dan secara umum Negara-negara bekas jajahan lainnya, Myrdal menemukan
Negara-negara yang disebut sebagai strong state dan soft state. Negara strong state
bercirikan Negara mampu bertindak mandiri dari intervensi kelompok kepentingan, dan
mampu sebagai penggerak pembangunan dan ekonomi. Sebaliknya Negara soft state
merupakan Negara yang sekedar sebagai alat bagi elit yang mengendalikan untuk
memperkuat diri dan kelompoknya. Dalam kaitan itu, Robert I Rotberg dengan
menggunakan indikator ekonomi, politik dan tingkat kejahatan mengklasifikasikan
Negara atas Negara kuat, Negara lemah, Negara gagal (failed State) dan Negara bobrok
(dilapidated State). Negara kuat mampu memenuhi tujuan bernegara dari warga
Negara, antara lain: menjamin kebebasan berpolitik dan kebebasan masyakat,
lingkungan perekonomian yang kondusif, prinsip Negara hukum ditegakkan, sarana
dan prasarana publik dibangun dan terpelihara dengan baik, public services (seperti
layanan kesehatan dan pendidikan) dapat terpenuhi dengan baik pula.
Negara Lemah. Negara yang kurang dapat mewujudkan tujuan Negara dengan
baik. Itu tampak dari keburukan-keburukan internal, seperti: manajemen cacat;
keserakahan; kelaliman; atau diserang dari luar dan dalam (pemberontakan); tekanan
dari suku, agama, bahasa atau tekanan masyarakat yang meningkat ke permukaan yang
mengakibatkan terjadinya konflik; dan kemampuan untuk menyediakan sarana-
prasarana publik kurang. Contoh, antara lain: Fiji, New Guinea, Kepulauan Solomon,
Filipina, Indonesia, Kolombia, Zimbabwe, Srilanka, Nepal. Negara gagal merupakan
negara yang penuh konflik, tidak aman, dan diwarnai persaingan sengit oleh pihak-
pihak yang sedang berperang. Banyak perbedaan pendapat yang tertuju kepada negara
untuk menuntut perbaikan atau bahkan pergantian rezim. Di daerah terjadi tuntutan
politik untuk pembagian kekuasaan dan otonomi yang rasional dan berimbang antar
pusat-daerah yang berekses pada pemberontakan langsung dan tuntutan yang ketat pada
penguasa. Contohnya, antara lain: Afganishtan, Angola, Burundi, Kongo, Liberia,
Sierra Leone, dan Sudan. Negara bobrok merupakan bentuk ekstrim dari Negara
Gagal. Di sini terjadi kekosongan kekuasaan, sehinggga hanya merupakan ekspresi

23
geografis. Tujuan bernegara diusahakan oleh swasta ataupun sarana ad hoc, dan tidak
mampu menciptakan kedamaian atau sekadar memenuhi tujuan bernegara secara
sewajarnya. Negara borok jarang ditemukan, antara lain: Somalia di akhir 1980-an,
Bosnia, Lebanon, Afganishtan lebih dari satu dekade yang lalu, Sierra Leone di tahun
1990-an. Selanjutnya berdasarkan pada karakter Negara-negara dunia ketiga, Evans
menyatakan ada tiga tipe Negara, yaitu :
1. Predator state (Negara penyamun/perompak). Ciri-ciri yang tampak yaitu:
birokrasi Negara tidak koheren dan tidak efisien, elit mengendalikan serta
mencuri kekayaan dan potensi Negara untuk memperkaya diri sendiri dan
kelompoknya, birokrasi gagal memerankan fungsi pembangunan ekonomi.
Contohnya Zaire di bawah kekuasaan Mobotu Sese-seko, sekarang menjadi
Kongo.
2. Development state. Ciri-cirinya yaitu otorelatif birokrasi dari partai dan
kelompok-kelompok kepentingan lain, didukung oleh aparat birokrasi yang
dekat dengan tipe ideal birokrasi yang dikemukakan oleh Mac Weber, dan
adanya jaringan yang kuat antara aparat birokrasi. Negara yang termasuk
tipe ini yaitu Korea Selatan.
3. Intermediate state. Negara ini ditandai dengan fragmentasi politik; mampu
membangun kapasitas birokrasi tertentu, menjalankan peran sebagai
developmental state, dan mengambil jarak dengan elit dan kelompok
kepentingan lain. Tetapi pada suatu waktu tertentu dikuasai sepenuhnya
oleh elit dan kelompok kepentingan lain. Contohnya Brazil

24
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Dari sekian banyak tipe dan bentuk negara maupun pemerintahan di dalam sejarah
kenegaraan masing-masing punya sistem dan karena itulah negara bisa tertata dan menjungjung
nilai-nilai hukum yang ada pada sistem negara tersebut sehingga rakyat bisa merasakan
kesejahteraan. Tipe Negara dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu berdasarkan sejarah serta
hukum dan tujuannya. Tipe negara ditinjau dari segi sejarah antara lain
a) Tipe negara-negara timur purba, yang ciricirinya : teokratis, absolut, dan despostis.
b) Tipe negara-negara yunani kuno, yang ciri-cirinya : merupakan polis (city state) dan
demokratis (langsung).
c) Tipe negara Romawi kuno, yang sudah merupakan ‘country state” dan
despostis/absolut.
d) Tipe negara-negara abad menengah, yang ciri-cirinya : dualistis, feodalsits, dan
despostis.
e) Tipe negara-negara modern, mulai dari pemikiran Hobbes, locke, dan lain-lain yang
dapat dibedakan dalam Negara.
Tipe Negara ditinjau dari sisi hokum antara lain :
a) Negara Polisi (polizei Staat)
b) Negara Hukum Formal/Liberal (Formeele.Liberal Rechtstaat) negara hukum formil
ini.
c) Negara Hukum Materiil/Modern atau negara Kesejahteraan(welfare state).

25
DAFTAR PUSTAKA

I Nengah Suantara, S.H., M.H., Made Nurmawati, S.H., M.H. 2017. Ilmu Negara. Ponorogo:
Fakultas Hukum Universitas Udayana bekerjasama dengan Uwais Inspirasi Indonesia.

Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., Nur Rohim Yunus, LLM. 2013. Pokok –
Pokok Teori Ilmu Negara Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia. Jakarta: Prodi Ilmu
Hukum UIN Jakarta bekerjasama dengan Fajar Media

26

Anda mungkin juga menyukai