Anda di halaman 1dari 54

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran pernapasan akut merupakan kasus yang tinggi pada balita

dan anak. Penyakit yang diderita oleh anak dibawah 5 tahun, lima puluh persen

diantaranya adalah infeksi saluran pernapasan akut. Pada anak-anak berusia 5-12

tahun, kurang lebih sebanyak 30% anak menderita penyakit ini. Pada umumnya

infeksi saluran pernafasan akut ini mengenai saluran pernapasan atas dan saluran

pernapasan bawah terutama pneumonia. Angka kematian akibat infeksi saluran

pernapasan akut di negara berkembang sebanyak 20% dimana 1/3–1/2 merupakan

kematian pada balita (Wantania, 2010).

ISPA yang awalnya merupakan infeksi biasa, karena tidak melakukan

pengobatan dengan baik akhirnya menimbulkan batuk dan kerusakan bernafas.

Sebanyak 150.000 balita meninggal tiap tahun karena ISPA, hal ini disebabkan

oleh berbagai faktor seperti kesulitan geografis, budaya dan ekonomi yang dialami

penduduk dalam menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan dan 11 sampai 22

balita yang menderita batuk/ kelainan (Akmal, 2010).

Data Word Health Organization tahun 2013 angka kematian anak di dunia

akibat ISPA yang mempengaruhi paru-paru dinyatakan menjadi penyebab

kematian sekitar 1,2 juta anak setiap tahun. Dapat dikatakan setiap jam ada 230

anak di dunia meninggal karna penyakit ISPA (WHO, 2013).

Di Indonesia kasus ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab

kematian bayi. Sebanyak 36,4% kematian bayi pada tahun 2008 (32,1%) pada

tahun 2009 (18,2%) pada tahun 2010 dan 38,8% pada tahun 2011 disebabkan

1
2

karena ISPA. Selain itu, ISPA sering berada pada daftar sepuluh penyakit

terbanyak penderitanya di rumah sakit. Berdasarkan data dari P2 program ISPA

tahun 2009, cakupan penderita ISPA melampaui target 13,4%, hasil yang

diperoleh 18.749 penderita. Survei mortalitas yang dilakukan Subdit ISPA tahun

2010 menempatkan ISPA sebagai penyebab terbesar kematian bayi di Indonesia

dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Depkes RI, 2012).

Berdasarkan data dari program ISPA di tahun 2015 cakupan penderita ispa

melampaui target 13,4% hasil yang diperoleh 18,749 kasus, sementara target yang

di tetapkan hanya 16,534 kasus survey mortalitas yang dilakukaan di subdit ISPA

tahun 2016 menempatkan ISPA sebagai penyakit terbesar di indonesia dengan

presentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Kemenkes RI, 2017).

Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2015 mencatat kasus ISPA adalah

sebanyak 28,176. Kemudian pada tahun 2016 kasus ISPA mengalami penurunan

menjadi 27,273. Pada tahun 2017 terjadi peningkatan menjadi 32,371 penderita.

Pada tahun 2017 menggunakan hasil Riskesdas 2015 yang berbeda beda untuk

setiap provinsi dan secara nasional sebesar 3.55% (Profil Kesehatan Indonesia,

2017).

Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan Tahun

2015, terdapat 1.807 bayi dibawah 5 tahun (balita) menderita penyakit ISPA

kemudian ditahun 2016 jumlah penderita penyakit ISPA pada balita sebesar 1975

bayi (Dinkes Kota Padangsidimpuan, 2016).

Dalam perjalanannya, penyakit infeksi saluran pernapasan akut

dipengaruhi oleh berbagai macam faktor risiko. Secara umum terdapat tiga faktor

risiko terjadinya ISPA, yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak serta faktor
3

perilaku. Faktor lingkungan meliputi: pencemaran udara dalam rumah (asap rokok

dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang

tinggi), ventilasi rumah dan kepadatan hunian. Faktor individu anak meliputi:

umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor

perilaku meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi atau

peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit ISPA (Prabu, 2009).

Faktor penyebab ISPA pada balita adalah berat badan bayi rendah

(BBLR), status gizi buruk, imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat

tinggal dan lingkungan fisik. Asap rumah tangga yang masih menggunakan kayu

bakar juga menjadi salah satu faktor risiko pneumonia. Hal ini dapat diperburuk

apabila ventilasi rumah kurang baik dan dapur menyatu dengan ruang keluarga

atau kamar. Rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan

mempengaruhi kesehatan penghuni rumah. Organ anak-anak masih lemah

sehingga rentan terhadap gangguan dan masalah sehingga jika terkena dampak

buruk maka perkembangan organnya tidak sesuai dengan semestinya (Suryani et

al, 2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryani et al, 2015 tentang “

Hubungan Lingkungan Fisik dan Tindakan Penduduk dengan Kejadian ISPA pada

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya”, hasil penelitian menunjukkan

ada hubungan yang lemah antara ventilasi (p=0.000, Cc=0.359), pencahayaan

alami (p=0.001, Cc=0.311), kepadatan hunian (p=0.000, Cc=0.381), kebiasaan

merokok di dalam rumah (p=0.002, Cc=0.302), kebiasaan buka jendela (p=0.001,

Cc=0.333) dan penggunaan bahan bakar rumah tangga (p=0.027, Cc=0.210)


4

dengan kejadian ISPA pada balita, sedangkan kelembaban rumah tidak ada

hubungan dengan kejadian ISPA pada balita.

Wilayah kerja puskesmas Pokenjior merupakan salah satu daerah di kota

Padangsidimpuan. Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan peneliti

diketahui data Puskesmas Pokenjior pada tahun 2015 terdapat 10 balita menderita

Penyakit ISPA, pada tahun 2016 berjumlah 70 anak menderita penyakit ISPA.

Sedangkan ditahun 2017 terjadi peningkatan berjumlah 120 anak menderita

penyakit ISPA .

Hasil observasi peneliti, 5 dari 10 rumah warga di wilayah kerja

puskesmas Pokenjior yang mempunyai anak balita memiliki ventilasi yang tidak

memadai (<10% luas lantai), dan berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada 7

orang ibu dari balita semua suaminya adalah perokok.

Dari uraian diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian di desa

Pokenjior dengan judul hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA

pada balita.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan lingkungan fisik rumah dengan

kejadian ISPA pada balita di desa Pokenjior ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian

ISPA pada balita di desa Pokenjior.


5

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi frekuensi karakteristik responden.

2. Mengetahui distribusi frekuensi lingkungan fisik rumah di desa

Pokenjior yang memiliki anak balita dan mengalami kejadian ISPA di

desa Pokenjior tahun 2019.

3. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian ispa pada balita di desa

Pokenjior tahun 2019.

4. Menganalisis hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian

penyakit ISPA pada balita di desa Pokenjior tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Praktis

1. Bagi Pendidikan

Sebagai bahan masukan dalam proses belajar mengajar tentang hubungan

lingkungan fisik rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita .

2. Bagi penulis

Sebagai sarana dan alat dalam memperoleh pengalaman khususnya dibidang

keluarga dan pasien keluarga ISPA.

3. Bagi Dinas kesehatan

Terkait program/rancangan strategis untuk menurunkan angka kejadian ISPA.

1.4.2 Manfaat Teoritis

1. Bagi penulis

Melalui penelitian ini penulis berharap dapat memperoleh pengetahuan dan

memperoses pembelajaran dan memahami hubungan lingkungan fisik rumah


6

dengan kejadian penyakit ISPA pada balita dan dapat menginformasikan

kepada masyarakat.

2. Bagi pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat menjadi salah satu referensi

bagi peneliti lain juga tertarik dalam meneliti hubungan lingkungan fisik

rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ISPA ( Infeksi Saluran Pernapasan Akut )

2.1.1 Pengertian

Menurut Depkes RI (2010), ISPA adalah penyakit akut yang menyerang

salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas)

hingga (saluran bawah) termasuk seperti sinus,rongga telinga tengah dan pleura.

Infeksi saluran pernapasan akut sering disingkat dengan ISPA.istilah ini

diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI).

ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut dengan

pengertian (Yudarmawan, 2012), sebagai berikut:

a. Infeksi merupakan masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

b. Saluran pernapasan adalahorgan tubuh yang dimulai dari hidung hingga

alveoli beserta organ seperti sinus,rongg telinga tengah pleura.

c. Infeksi akut berlangsung selama 14 hari, batas hari ini diambil untuk

menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat

digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung selama 14 hari.

Menurut WHO (2011) Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

merupakan infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran

napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksa/bagian-bagiannya (sinus,

rongga telinga tengah, pleura). Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam

waktu beberapa jam sampai beberapa hari.

7
8

2.1.2 Etiologi

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

penyebaab ISPA antara lain adalah dari genus streptokokus, stafilokokus,

pneumokokus, hemfillus, bordetelia dan korine bakterium. Virus menyebabkan

ISPA antara lain adalah golongan miksovirus, adnovorus, koronavirus,

pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus dan lain-lain (Widiastuti & Yuniastuti,

2017).

ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas.

Salah satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu

yang biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak

menyerang karena masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga selalu melakukan

aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar kayu, gas maupun minyak.

Asap tersebut telah mereka hirupsehari-hari, sehingga banyak masyarakat

mengeluh batuk, sesak nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari bahan bakar

kayu mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur,

Nitrogen dan Oxygen yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2010).

2.1.3 Klasifikasi ISPA

Klasifikasi penyakit ISPAdibedakan untuk golongan umur dibawah 2

bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin, 2011).

1. Golongan umur dibawah usia 2 bulan

a) ISPA Berat

Bila disertai tanda tarikan kuat di dinding bagian bawah atau napas cepat.

Batas cepat golongan umur kurang 2 bulan yaitu 6x per menit atau lebih.
9

b) Bukan ISPA (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu :

1) Kemampuan minum menurun yaitu kurang dari ½ olume yang biasa

diminum.

2) Kejang

3) Kesadaran menurun :

1. Stridor

2. Wheezing

3. Demam/ dingin.

2. Golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun

a) ISPA Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan didinding dada bagian bawah

ke dalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus

dalam keadaan tenanh, tidak menangis atau meronta).

b) ISPA Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas cepat adalah :

1. Untuk usia 2 bulan – 12 bulan = 50 kali per menit atau lebih

2. Untuk usia 1-4 tahun = 40 kalinper menit atau lebih.

c) Bukan ISPA

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun yaitu :

1. Tidak bisa minum

2. Kejang
10

3. Kesadaran menurun

4. Stridor

5. Gizi buruk

Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2010) adalah :

a. ISPA Ringan

Seseorang yangmenderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek

dan sesak.

b. ISPA Sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak napas, suhu tubuh lebih dari 390C

dan bila bernapas mengeluarkan suara seperti mengorok.

c. ISPA Berat

Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan

menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.

2.1.4 Faktor Resiko

Menurut Dharmage (2009), faktor resiko yang dapat mengakibatkan

timbulnya penyakit ISPA adalah:

1). Faktor Demografi

a. Jenis Kelamin

Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki-lakilah yang

banyak terserang penyakit ISPA karena mayoritas orang laki-laki merupakan

perokok dan sering berkendaraan, sehingga mereka sering terkena polusi udara.
11

b. Usia

Anak balita dan ibu rumah tangga yang lebih banyak terserang penyakit

ISPA. Hal ini dis3babkan karena banyaknya ibu rumah tangga yang memasak

sambil menggendong anaknya.

c. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam

kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta

pengetahuan yang kurang di masyarakat akan gejala dan upaya

penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA yang datang kesarana pelatanan

kesehatan sudah dalam keadaan berat karena kurang mengerti bagaimana cara

serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA.

2) Faktor Biologis

Menurut Dharmage (2009) yaitu status gizi, menjaga status gizi yang baik,

sebenarnya bisa juga mencegah atau memghindar dari penyakit terutama penyakit

ISPA. Misal dengan mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna dan

memperbanyak minur air putih, olahraga yang teratur serta istrahat yag cukup.

Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh aka semakin meningkat,

sehingga dapat mencegah virus (bakteri) yang akan masuk kedalam tubuh.

3) Faktor Polusi

Adapun dua aspek penyebab dari faktor polusi menurut (Lamsidi, 2006):

a. Cerobong Asap

Cerobong asap sering kita jumpai di prusahaan atau pabrik- pabrik industri

yang dibuat menjulang tinggi ke atas (vertikal). Cerobong tersebut dibuat agar

asap bisa keluar keatas terbawa oleh angin. Cerobong asap sebaiknya dibuat
12

horizontal tidak lagi vertikal,sebab gas (asap) yang dibuang melalui cerobong

horizontal dan dialirkan ke bak air akan mudaj larit.

b. Kebiasaan merokok

Satu batang rokok dibakar maka akan mengeluarkan sekitar 4.000 bahan

kimia seperti nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida,

amonia, acrolein, acetilen,benzol dehide, urethana, metanol, conmarin, teguk

cathecol, ortcresorperyline dan lainnya, sehingga ditahan kimia tersebut akan

berisik terserang asap.

4) Faktor Timbulnya Penyakit

Faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit menurut Bloom dikutip

dari Effendi (2009) menyebutkan bahwa lingkungan merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Sehat atau tidaknya

lingkungan kesehatan, individu, keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada

perilaku manusia itu sendiri.

Disamping itu, derajat kesehatan juga dipengaruhi oleh lingkungan,

misalnya membuat ventilasi rumah yang cukup untuk mengurangi polusi asap

maupun polusi udara, keturunan, misalnya dimana ada orang terkena penyakit

ISPA disitu juga pasti ada salah satu keluarga yang terkena penyakit ISPA karena

penyakit ISPA juga dapat disebabkan oleh keturunan, dan dengan pelayanan

sehari-hari yang baik maka penyakit ISPA dapat berkurang dan kesehatannya

sedikit demi sedikit akan membaik, dan mempengaruhi satu dengan lainnya.
13

2.1.5 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing,

lemas, tidak nafsu makan, muntah, takut cahaya, gelisah, batuk, keluar sekret,

suara nafas, kesakitan bernafas, adanya tarikan dada, kurang oksigen, dan dapat

berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan

kematian (WHO, 2012).

Faktor lingkungan juga dapat disebabkan dari pencemaran udara dalam

rumah seperti asap rokok. Kebiasaan kepala keluarga yang merokok di dalam

rumah dapat berdampak negatif bagi anggota keluarga khususnya balita. Salah

satu prioritas masalah dalm 16 indikator perilaku hidup bersihdan sehat adalah

perilaku merokok. Menurut laporan dari Dinas kesehatan provinsi jawa tengah

tahun 2009, perilakuanggota rumah tangga yang tidak merokok mencapai 33%

dan 66% rumah tangga belum bebas rokok. Menurut laporan Badan kesehatan

dunia (WHO), tidak kurang dari 900.000.000 (84%) perokok sedunia hidup di

negara berkembang atau transisi ekonomi termasuk di Indonesia.

Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak jumlah perokok yang

mencapai 146.860.000 jiwa. The tobaco atlas mencatat, ada lebih dari 10 juta

batang rokok diisap setiap menit, setiap hari, di seluruhdunia oleh satu milliar

laki laki, dan 250 juta perempuan (Depkes, 2010).

1. Gejala dari ISPA ringan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu

atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :


14

a) Batuk

b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara

(misal pada waktu berbicara atau menangis).

c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.

d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi anak

diraba.

2. Gejala dari ISPA sedang

Seorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA

ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a) Perbatasan lebih dari 50 kali penerbit pada anak yang berumur kurang

dari satu tahun atau lebih dari 40 kali penerbit pada anak yang berumur

satu tahun atau lebih. Cara menghitung perbatasan adalah dengan

menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit, untuk menghitung

gunakan arloji.

b) Suhu lebih dar 390 C (diukur dengan termometer).

c) Tenggorokan berwarna merah

d) Timbul bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak

e) Telinga sakit mengeluarkan nanah dari lubang telinga

f) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).

3. Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dimulai gejala ISPA

ringan atau ISPA sedang disertai satu/ lebih gejala-gejala sebagai berikut :

a) Bibir atau kulit membiru

b) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) saat bernapas


15

c) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun

d) Perbatasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah

e) Sela iga tertarik kenalan pada waktu bernafas

f) Nadi cepat lebih dari 160 kali penerbit atau tidak teraba

g) Tenggorokan berwarna

2.1.6 Pencegahan ISPA

Pencegahan ISPA karena banyaknya faktor yang mempengaruhinya. Usia,

maka dewasa ini terus dilakukan penelitian cara pencegahan ISPA yang efektif

dan spesifik. Cara yang terbukti efektif saat ini adalah dengan pemberian

imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif,

sekitar 11% kematian ISPA pada balita dapat dicegah dengan imunisasi pertusis

(DPT), 6% kematian ISPA dapat dicegah, secara umum dapat dikatakan bahwa

cara pencegahan ISPA adalah dengan hidup sehat, cukup gizi, menghindari polusi

udara dan pemberian imunisasi lengkap (Maryunani, 2010).

Menurut Depkes RI (2015) pencegahan ISPA antara lain :

a) Gizi, menjaga kesehatan gizi agar tetap baik maka itu akan mencegah kita atau

terhindar dari penyakit terutama ISPA. Misalnya dengan mengkonsumsi

makanan empat sehat lima sempurna, banyak minum air putih, olahraga

dengan teratur, srrta istrahat yang cukup, semua itu akan menjaga badan kita

tetap sehat.

b) Imunisasi, pemberian imunisasi sangat diperlukan anak anak dan dewasa.

Imunisasi ini dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh agar tidak mudah

terserang penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri.


16

c) Ventilasi yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi udara (atmosfer) agar

tetap sehat dan segar bagi manusia.

d) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA, ISPA ini disebabkan

oleh virus/bakteri yang ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit

penyakit ini melalui udara yang tercemar dan masuk kedalam tubuh.

2.2 Lingkungan Fisik Rumah

2.2.1 Definisi Rumah

Rumah merupakan sebuah tempat tujuan akhir dari manusia. Rumah

menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan

sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang kehidupan setiap manusia, dan

menjadi dari bagian dari gaya hidup manusia (Wicaksono, 2009).

Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, disamping

kebutuhan sandang dan pangan. Sebagai sebuah bangunan, rumah merupakan

tempat tinggal yang harus memenuhi kriteria kenyamanan, keamanan dan

kesehatan guna mendukung anggota keluarganya agar dapat bekerja dengan

produktif dan dapat menggunakan sebagai tempat tinggal yang sehat dan aman

bagi penghuninya (Afandi, 2012).

Di tempat tinggal (rumah) mempengaruhi kesehatan seseorang karena

kehidupan manusia terlebih dalam usia dini sebagian besar dihabiskan didalam

rumah. Oleh karena itu kondisi tempat tinggal baik fisik maupun non fisik

merupakan prasyarat terwujudnya derajat kesehatan (Depkes, 2009).


17

2.2.2 Kondisi Fisik Rumah

1. Ventilasi

Saluran ventilasi pada sebuah rumah mempunyai berbagai fungsi, fungsi

yang pertama adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga

keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan

kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun. Fungsi kedua adalah untuk

membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen dan

menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Ikhsani,

2017).

Standar luas ventilasi rumah menurut Kepmenkes RI No. 829 adalah

minimal 10% luas lantai. Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33

m3/orang/jam, dengan kelembaban sekitar 60% optimum. Untuk memperoleh

kenyamanan tersebut, luas lubang ventilasi yang permanen minimal 5% dari luas

lantai, apabila ditambah dengan lubang ventilasi insidental seperti jendela dan

pintu sebesar 5% maka luas ventilasi minimal adalah 10% dari luas lantai.

Ventilasi ruang keluarga mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian

ISPA pada balita, dimana dinyatakan balita yang tinggal dirumah dengan ventilasi

ruang keluarga tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2,29 kali untuk

menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal pada rumah dengan

ventilasi ruang keluarga memenuhi syarat (Cahya, 2011).

2. Suhu dan Kelembaban

Kondisi suhu yang terlalu rendah atau terlampau tinggi akan bisa

mempengaruhi kondisi udara dalam ruangan akibat dari pergerakan atau

pertukaran udara yang tidak berjalan dengan baik. Kelembaban yang tidak
18

memenuhi syarat akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan

berkembangnya mikroorganisme patogen terutama mikroorganisme penyebab

infeksi saluran pernafasan (Afandi, 2012). Kepmenkes Nomor 829 menyatakan

bahwa rumah yang memnuhi syarat bila nilai kelembabannya antara 40-70%.

3. Pencahayaan

Penerangan seluruh ruangan dapat berasal dari pencahayaan alam dan atau

buatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Cahaya selain menghasilkan

penerangan juga menghasilkan CO2 dan dapat membunuh kuman patogen. Panas

yang dihasilkan oleh suatu sumber cahaya baik cahaya alamiah maupun buatan

akan mempengaruhi suhu udara didalam rumah. Besarnya panas yang

dipancarkan oleh masing- masing sumber panas berbeda-beda, untuk memperoleh

cahaya yang cukup pada waktu siang diperlukan luas jendela kaca minimum 20%

dari luas lantai. Bila tata letak kurang leluasa dapat dipasang genteng kaca, dan

pada kamar tidur sebaiknya diletakkan dibagian timur supaya sinar ultra violet

yang ada pada sinar matahari memungkinkan masuk untuk membunuh kuman

(Setiawan, 2013).

4. Konstruksi Dinding dan Jenis Lantai

Beberapa ketentuan konstruksi dinding dan jenis lantai diantaranya bahan

bangunan tidak boleh terbuat dari bahan yang mudah melepas, zat-zat yang dapat

membahayakan kesehatan serta tidak terbuat dari bahan yang dapat menajdi

tempat tumbuh kembangnya mikroorganisme pathogen. Komponen dinding lantai

harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis yaitu : lantai kedap air dan mudah

dibersihkan dan dinding rumah yang permanen (Afandi, 2012).


19

5. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian rumah akan meningkatkan suhu ruangan yang

disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban

akibat uap air dari pernafasan tersebut (Yusuf et al, 2009). Bangunan yang sempit

dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya

oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan tubuh penghuninya menurun,

kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA.

Kepadatan hunian dalam rumah merupakan faktor risiko pasti sehingga

perlu diperhitungkan karena mempunyai peranan dalam penyebaran

mikroorganisme di dalam lingkungan rumah atau kediaman. Menurut Kepmenkes

RI 829 kepadatan hunian yang baik adalah 10m2/ orang. Kebutuhan tersebut

dihitung berdasarkan aktifitas dasar manusia di dalam rumah. Aktifitas tersebut

meliputi aktifitas tidur, makan, kerja, mandi, cuci, kakus dan memasak serta ruang

gerak lainnya.

Adanya hubungan bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian

penyakit ISPA pada balita. Dimana balita yang tinggal di rumah dengan

kepadatan hunian tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2,27 kali untuk

menderita penyakit ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal dirumah

dengan kepadatan hunian memenuhi syarat (Cahya, 2011).

2.2.3 Kegiatan Rumah

1. Jenis Bahan Bakar Masak

Pada umumnya bahan bakar yang biasa dipakai dimasyarakat untuk

kegiatan masak sehari-hari adalah minyak tanah, kayu, gas dan listrik. Dalam

laporan Riskesdas 2010 dinyatakan, berdasarkan tempat tinggal, penggunaan


20

bahan bakar untuk memasak jenis listrik, gas dan minyak tanah di perkotaan

(82,7%), sedangkan di perdesaan lebih banyak penggunaan bahan bakar untuk

memasak jenis arang, kayu bakar dan lainnya (64,2%). Penggunaan bahan bakar

kayu dan minyak tanah bakar dapat mengganggu kesehatan manusia, karena dari

hasil pembakaran tersebut mengandung partikulat (PM10, PM2,5), sulfur oksida,

nitrogen oksida, karbon monoksida, fluorida, aldehida dan senyawa hidrocarbon.

2. Penggunaan Obat Anti Nyamuk

Penggunaan obat anti nyamuk sudah menjadi kebiasaan digunakan pada

malam dan siang hari dikota maupun di desa. Disamping fungsinya untuk

mengusir bahkan membasmi nyamuk ternyata obat anti nyamuk dapat menjadi

sumber pencemaran udara dalam rumah. obat anti nyamuk bakar menghasilkan

asap dan racun, jenis elektrikpun tetap menghasilkan racun.

3. Perokok Dalam Rumah

Penggunaan tembakau terus menjadi penyebab utama kematian global.

rokok telah Membunuh hampir 6 juta orang dan sebagai penyebab miliaran dolar

keterpurukan ekonomi di seluruh dunia setiap tahunnya. Sebagian besar kematian

terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan perbedaan ini

diperkirakan akan memperluas lebih lanjut selama beberapa dekade berikutnya.

Jika kecenderungan ini terus berlanjut, pada tahun 2030 tembakau akan

membunuh lebih dari 8 juta orang di seluruh dunia setiap tahun (WHO Report On

The Global Tobacco Epidemic, 2011).

4. Anggota Keluarga ISPA

Pola penyebaran ISPA yang utama adalah melalui droplet yang keluar dari

hidung/mulut penderita saat batuk atau bersin. Penularan juga dapat terjadi
21

melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan oleh sekret saluran pernapasan,

hidung, dan mulut) dan melalui udara dengan jarak dekat saat dilakukan tindakan

yang berhubungan dengan saluran napas (WHO, 2011).

5. Keberadaan Hewan Ternak/ Peliharaan

Keberadaan hewan ternak atau peliharaan dilingkungan rumah

memungkinkan tersebarnya spora mikroorganisme yang berasal dari permukaan

atau bulu-bulu hewan dan kotoran hewan tersebut mencemari udara dalam rumah.

Penelitian Fitria (2009) menyatakan bahwa walaupun secara statistik tidak

menunjukan hubungan yang bermakna antara memelihara hewan/ternak dengan

total koloni mikroorganisme udara, akan tetapi terbukti koloni mikroorganisme

udara dalam rumah yang memelihara hewan, lebih tinggi daripada dalam rumah

yang tidak memelihara hewan.

2.3 Kerangka Teori

Skema 1. Kerangka Teori

Lingkungan fisik rumah

ISPA pada Balita

1. PENGERTIAN SAKIT
2. ETIOLOGI
3. KLASIFIKASI
4. FAKTOR RISIKO
5. GEJALA
6. PENCEGAHAN Pencegahan Pengobatan

Pemerintah- Tenaga
kesehatan
keluarga
22

2.4 Kerangka Konsep

Variable Independen
Lingkungan fisik rumah:
Variabel Dependen
1. Kepadatan hunian
rumah Kejadian ISPA pada Balita
2. Ventilasi
3. Kelembaban udara di
dalam rumah

Skema 2. Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak ada hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA

pada balita di desa Pokenjior tahun 2019.

Ha : Ada hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada

balita di desa Pokenjior tahun 2019.


23

BAB III

METODEPENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analitik yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan

antar variabel dan menjelaskan hubungan yang ditemukan antara kedua variabel

tersebut. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional yaitu penelitian

yang menekankan satu kali pengukuran yaitu variabel independen dan variabel

dependen diukur satu kali dalam satu waktu (Nursalam, 2016).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Pokenjior Angkola Julu kota

Padangsidimpuan. Alasan peneliti memilih desa tersebut karena angka kejadian

ISPA pada balita di desa tersebut semakin meningkat setiap tahunnya, lokasi

tersebut juga mudah dijangkau peneliti.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai sejak perumusan masalah (penentuan judul) pada

bulan Januari-Februari 2019, kemudian penyusunan proposal bulan Maret-Mei

2019, seminar proposa pda bulan Juni 2019, pelaksanaan penelitian pada tanggal

8-20 September 2019, dilanjutkan dengan pengolahan data dan seminar hasil.

23
24

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia,

benda, tumbuhan-tumbuhan dan peristiwa sebagai sumber data yang mempunyai

karatekristik tertentu dalam sebuah penelitian (Hidayati, 2010).

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai balita

dengan kejadian ISPA di desa Pokenjior yang berjumlah 120 orang.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian-bagian dari elemen populasi yang di hasilkan dari

strategi sampling, idenya sampel yang diambil adalah sampel yang mewakili

populasi (Swarjana, 2015). Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik

yang dimiliki oleh populasi tersebut bila populasi besar, dan peneliti tidak

mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena

keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel

itu, kesimpulannya dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang

diambil dari populasi harus betul-betul representative mewakili (Hidayati, 2010).

Besar sampel yang akan diambil dengan menggunakan Rumus Slovin :

n = N
1 + N(e)2

Keterangan :

n = Ukuran sampel/jumlah populasi

N = Ukuran populasi

e = Presentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel yang

masih ditolerir, e = 0,2


25

n= 120

1 + 120(0,05)2

n = 120

1,3

n = 92,3

Berdasarkan perhitungan di atas, sampel yang menjadi responden dalam

penelitian ini disesuaikan menjadi 92 orang. Pengambilan sampel dilakukan

dengan simple random sampling adalah pengambilan sampel secara acak

sederhana setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang

sama untuk diseleksi dari 120 populasi sampel yang akan di ambil sebanyak 92

sampel yang dilakukan secara acak (Notoatmodjo, 2010).

3.4 Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini alat pengumpulan data adalah kuesioner yaitu

sejumlah pertanyaan yang digunakan untuk memperoleh informasi dari

responden. Kuesioner penelitian ini diadopsi dari penelitian Cahya (2011) dengan

judul “Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Infeksi Saluran

Pernafasan Akut Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Mergangsan Kota

Yogyakarta Tahun 2011”. Penelitian mengumpulkan data dengan membagikan

kuesioner peneliti kepada responden dan mengobservasi keadaan lingkungan fisik

rumah responden. Dimana dalam kuesioner yang dibuat ada tiga kategori yaitu :

a. Identitas Responden

Identitas responden terdiri dari nama ibu, pendidikan terakhir, pekerjaan,

nama responden dan umur responden.


26

b. Kejadian ISPA

Kejadian ISPA terdiri dari 5 pertanyaan, kemudian dinilai apakah pernah

mengalami ISPA atau tidak, dikatakan pernah mengalami kejadian ISPA jika

balita pernah mengalami sakit batuk pilek/demam pada kurun waktu 1 tahun

terakhir.

c. Lembar Observasi Lingkungan Fisik Rumah

Terdiri dari 3 kategori yaitu kepadatan hunian, ventilasi udara, dan

kelembaban udara di dalam rumah. Dari hasil observasi tersebut akan dinilai

apakah lingkungan fisik rumah memenuhi syarat atau tidak, dengan ketentuan :

1. Tidak memenuhi syarat, jika :

a) Penghuni rumah yang tinggal dengan balita < 10 m²/org

b) Ada luas lubang ventilasi udara kurang dari 10% dari luas lantai yang

ada.

c) Kelembaban udara < 40% atau > 70%.

2. Menurut Kepmenkes RI No.829 lingkungan fisik rumah yang memenuhi

syarat, jika :

a) Penghuni rumah yang tinggal dengan balita > 10 m²/org.

b) Ada luas lubang ventilasi udara dalam rumah 10% dari luas lantai yang

ada.

c) Kelembaban udara 40 – 70%.

3. Kepadatan hunian rumah diobservasi dengan cara :


Luas rumah (m2)
Jumlah penghuni (org)
27

Jika hasil < 10 m²/org maka kepadatan hunian tidak memenuhi syarat

sedangkan, Jika hasil yang diperoleh > 10 m²/org maka kepadatan hunian

memenuhi syarat.

4. Ventilasi rumah diobservasi dengan cara :


Ventilasi > Luas lantai (m2) x 10
100

Ventiasi rumah yang memnuhi syarat jika luas ventilasi rumah > 10 % luas

lantai, sedangkan yang tidak memenuhi syarat jika luas ventilasi rumah < 10

% luas lantai.

5. Kelembaban udara diuku dengan menggunakan hygrometer, kemudia dilihat

hasilnya. Memenuhi syarat jika hasil kelembaban udara yang didapat 40 –

70%, sedangkan tidak memenuhi syarat jika hasil kelembaban udara <

40% atau > 70%.

3.5 Prosedur Pengumpulan data

Prosedur Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan langkah

awal pengurusan surat izin survey pendahuluan kepada tata usaha Universitas

Aufa Royhan Padangsidimpuan. Setelah peneliti mendapatkan surat izin survey

pendahuluan kemudian peneliti mengajukan permohonan izin survey penelitian

dari institusi pendidikan yaitu Universitas Aufa Royhan Padangsidimpuan kepada

Puskesmas Pokenjior. Setelah mendapatkan surat izin, maka peneliti mulai

melakukan proses penelitian yang dimulai dengan menentukan responden

penelitian, kemudian peneliti menjelaskan kepada responden tentang manfaat dan

tujuan penelitian ini, setelah responden bersedia maka responden menandatangani

informed consent, selanjutnya peneliti mulai melakukan observasi dan kuesioner

terhadap responden.
28

3.6 Sumber Data Penelitian

3.6.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian

dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambil data, langsung pada

subjek sebagai sumber informasi yang dicari (Notoadmodjo, 2010). Data primer

dalam penelitian ini adalah observasi tentang keadaan lingkungan fisik rumah

(kepadatan hunian, ventilasi, dan kelembaban udara rumah) dengan kejadian

kejadia ISPA pada balita di desa Pokenjior. Tujuan utama dalam observasi adalah

untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan survey.

3.6.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang sudah ada

(Notoadmodjo, 2010). Data sekunder bentuknya berupa sumber pustaka yang

mendukung penelitian ilmiah serta diperoleh dari literatur yang relevan seperti

buku referensi, jurnal, artikel, website, maupun keterangan dari kantor yang ada

hubungan dalam penelitian tersebut. Data Sekunder dalam penelitian ini yaitu data

yang diperoleh dari puskesmas Pokenjior.

3.7 Definisi Operasional

Tabel 1. Defenisi Operasional Penelitian

No Variabel Defenisi Alat Skala Hasil Ukur


Operasional Ukur Ukur
1 Independent Keadaan Lembar Nominal 1. Memenuh
Lingkungan lingkungan fisik observasi i syarat
fisik rumah rumah yang terdiri dan 2. Tidak
dari kepadatan hygromete memenuh
hunian,ventilasi, r i syarat
dan kelembaban (pengukur
udara di dalam kelembaba
rumah apakah n udara)
memenuhi syarat
atau tidak
29

2 Dependent Kondisi balita Kuesioner Nominal 1. Pernah


Kejadian apakah mengalami 2. Tidak
ISPA pada ISPA pada 2 pernah
Balita minggu terakhir
atau tidak
berdasarkan
diagnosis tenaga
kesehatan.
3.8 Pengolahan dan Analisa Data

3.8.1 Pengolahan Data

1. Editing

Merupakan hasil wawancara, angket atau pengamatan dari lapangan

harus dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu (Notoadmodjo,

2010).

2. Coding

Merupakan mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi angka

atau bilangan. Coding atau pemberian kode ini sangat berguna dalam

memasukkan data (data entri) (Notoatmodjo, 2010).

3. Processing/Entry

Merupakan jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam

bentuk “kode” angka atau huruf dimasukkan ke dalam program atau

“software” computer (Notoatmodjo, 2010).

4. Cleaning

Cleaning adalah apabila semua data dari sumber data atau respond dan

selesai dimasukkan, perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan

sebagainya, kemudiann dilakukan pembentukan atau korelasi

(Notoaatmodjo, 2010).
30

3.8.2 Analisa Data

a) Analisa Univariat

Analisa Univariat digunakan untuk mengidentifikasi data demografi

pendidikan, pekerjaan, umur, dan jenis kelamin (Notoadmodjo, 2010).

b) Analisa Bivariat

Analisa ini dilakukan dengan menggunakan uji chi-squared (X2) dengan

ketelitian 95% (0,05). Uji chi square digunakan umtuk menguji hipotesis bila

dalam populasi terdiri atas dua atau lebih kelas dimana datanya berbentuk

kategorik. Berdasarkan uji tersebut nilai α yang akan menentukan kebenaran

hipotesis (Notoatmadjo, 2010). Jika nilai α > 0,05 maka Ha ditolak yang berarti

tidak ada hubungan pengetahuan penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian

penyakit kulit pada petugas sampah, sedangkan jika nilai α < 0,05 maka Ho

ditolak. Ha diterima yang berarti ada hubungan pengetahuan penggunaan alat

pelindung diri dengan kejadian penyakit kulit pada petugas sampah.

Ketentuan yang berlaku pada uji chi square yaitu :

1) Bila tabelnya 2 x K dan tidak ada nilai E<5, maka uji yang dipakai sebaiknya

“Continuty Correction”.

2) Bila tabelnya 2 x 2, dan ada nilai E<5, maka uji yang dipakai adalah “Fishers

Exact Test”.

3) Bila tabelnya lebih 2 x 2 jika nilai E (expected count) < 5 maksimal 20 %,

maka digunakan uji “Pearson Chi Square”


31

BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian mengenai Hubungan

Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa Pokenjior

Tahun 2019.

Desa Pokenjior atau desa Joring Lombang Kecamatan Angkola Julu Kota

Padangsidimpuan, secara administrasi adalah sebagai berikut :

a. Sebelah utara berbatasan dengan desa Joring Natobang

b. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Batu Layan

c. Sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Gunung Lubuk Raya

d. Sebelah timur berbatasan dengan desa Mompang.

Desa Pokenjior atau Joring Lombang memiliki jumlah penduduk 863 jiwa

dengan jumlah KK 180 KK.

4.2 Gambaran Responden

Kuesioner dan lembar observasi yang telah dibagikan, diperoleh hasil

mengenai gambaran karakteristik responden :

4.2.1 Analisis Univariat

Analisa univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel yang

diteliti dalam penelitian yaitu melihat distribusi frekuensi variabel independen dan

dependen yang disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

4.2.1.1 Karakteristik Data Demografi

Penelitian ini berdasarkan karakteristik responden yaitu pendidikan ibu,

pekerjaan ibu, dan usia balita.

31
32

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Responden


Karakteristik Responden F %
Pendidikan Ibu
SD 1 1,1
SMP 24 26,1
SMA 60 65,2
PT/Akademi 7 7,6
Total 92 100 %
Pekerjaan Ibu
IRT 23 25,0
Petani 27 29,3
Wiraswasta 38 41,3
PNS 2 2,2
Lainnya 2 2,2
Total 92 100 %
Usia Balita
0-12 bulan 17 18,5
1-2 tahun 30 32,6
2-3 tahun 29 31,5
3-5 tahun 16 17,4
Total 92 100%

Tabel 2 dapat diketahui bahwa mayoritas pendidikan ibu adalah SMA

yaitu sebanyak 60 orang (62,5%), yang berpendidikan SMP sebanyak 24 orang

(26,1%), berpendidikan PT/akademi sebanyak 7 orang (7,6%), dan minorita

berpendidikan SD sebanyak 1 orang (1,1%).

Tabel 2 dapat diketahui bahwa mayoritas pekerjaan ibu sebagai wiraswasta

yaitu sebanyak 38 orang (41,3%), yang bekerja sebagai petani sebanyak 27 orang

(29,3%), yang bekerja sebagai IRT sebanyak 23 orang (25,0%), yang bekerja

sebagai PNS sebanyak 2 orang (2,2%), dan lainnya sebanyak 2 orang (2,2%).

Tabel 2 dapat diketahui bahwa mayoritas responden berusia 1-2 tahun

yaitu sebanyak 30 orang (32,6%), yang berusia 2-3 tahun sebanyak 29 orang

(31,5%), yang berusia 0-12 bulan sebanyak 17 orang (18,5%), dan yang berusia 3-

5 tahun sebanyak 16 orang (17,4%).


33

4.2.1.2 Lingkungan Fisik Rumah

Data lingkungan fisik rumah pada responden yang memiliki anak balita

diperoleh dari lembar observasi yang terdiri dari kepadatan hunian rumah,

ventilasi, dan kelembaban rumah. Data lingkungan fisik rumah kemudian

dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu memenuhi syarat dan tidak memenuhi

syarat. Lingkungan fisik rumah dikatakan memenuhi syarat jika penghuni rumah

yang tinggal dengan balita > 10 m²/org, ada luas lubang ventilasi udara dalam

rumah 10% dari luas lantai yang ada, dan kelembaban udara di dalam rumah 40-

70%. Selain dari keadaan tersebut, lingkungan fisik rumah dikatakan tidak

memenuhi syarat. Hasil analisis univariat data lingkungan fisik rumah dapat

dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah


Lingkungan fisik rumah F %
Tidak memenuhi syarat 47 51,1
Memenuhi syarat 45 48,9
Total 92 100,0 %

Tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 92 responden diperoleh mayoritas

lingkungan fisik rumah tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 47 orang (51,1%),

dan minoritas lingkungan fisik rumah memenuhi syarat yaitu sebanyak 45 orang

(48,9%).

4.2.1.3 Kejadian ISPA Pada Balita

Data kejadian ISPA pada balita diperoleh dengan lembar kuesioner yang

terdiri dari 5 pertanyaan. Data kejadian ISPA kemudian dikategorikan menjadi 2

kategori yaitu pernah dan tidak pernah. Hasil analisis univariat data kejadian ISPA

pada balita dapat dilihat pada tabel 4.


34

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA Pada Balita


Kejadian ISPA F %
Sakit 71 77,2
Tidak sakit 21 22,8
Total 92 100,0%

Tabel 4 dapat diketahui bahwa dari 92 responden mayoritas balita

mengalami kejadian ISPA yaitu sebanyak 71 orang (77,2%), dan yang monoritas

yang tidak mengalami kejadian ISPA sebanyak 21 orang (22,8%).

4.2.2 Analisa Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel

independen dan dependen. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui adanya

hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita dalam

penelitian ini adalah uji Pearson Chi Square karena memenuhi syarat tabel 2x2

(lingkungan fisik rumah : memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat dengan

kejadian ISPA : pernah dan tidak pernah) serta nilai expected count pada uji

statistik yang kurang dari 5 dibawah 20%.

Tabel 5. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada


Balita
Kejadian ISPA Pada Balita
Lingkungan
Pernah Tidak pernah Total p-value
fisik rumah
N % N % N %
Tidak
memenuhi 37 40,2 10 10,9 45 48,9
syarat
Memenuhi 0,007
34 37,0 11 11,9 47 51,1
syarat
Total 71 77,2 21 22,8 92 100,0
*signifikan (p<0,05)

Tabel 5 menunjukkan bahwa responden dengan lingkungan fisik rumah

tidak memenuhi syarat pernah mengalami kejadian ISPA pada balita sebanyak 37

orang (40,2%) dan yang tidak pernah mengalami kejadian ISPA pada balita

sebanyak 10 orang (10,9%), sedangkan responden dengan lingkungan fisik rumah


35

yang memenuhi syarat pernah mengalami kejadian ISPA pada balita sebanyak 34

orang (37,0%), dan yang tidak pernah mengalami kejadian ISPA pada balita

sebanyak 11 orang (11,9%).

Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Pearson Chi Square,

diperoleh p-value= 0,007 (<0,05), artinya H0 ditolak dan Ha diterima dimana

terdapat hubungan yang signifikan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian

ISPA pada balita. Maka dapat ditarik kesimpulan penelitian ini yaitu ada

hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di desa

Pokenjior tahun 2019.


36

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Karakteristik Responden

Hasil penelitian tentang karakteristik responden yang dilibatkan dalam

penelitian adalah sebanyak 92 orang. Dari hasil penelitian dapat diketahui

mayoritas ibu berpendidikan SMA sebanyak 60 orang (62,5%), yang

berpendidikan SMP sebanyak 24 orang (26,1%), berpendidikan PT/akademi

sebanyak 7 orang (7,6%), dan minoritas berpendidikan SD sebanyak 1 orang

(1,1%).

Pengetahuan yang dimiliki oleh orang tua terutama ibu berperan dalam

pengambilan keputusan apabila ada anggota keluarga yang sakit. Pada penelitian

yang dilakukan Nasution et al (2009) di Jakarta yang meneliti ISPA pada balita

menemukan pengetahuan responden tentang ISPA berada dalam kategori cukup.

Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan

seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas

pengetahuannya. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan

formal, akan tetapi juga dapat diperoleh dari pendidikan non formal. Pengetahuan

seseorang tentang sesuatu objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif

dan aspek negatif. Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui,akan

menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek tersebut (Maramis et al, 2012).

Hasil penelitian tentang pekerjaan ibu diperoleh mayoritas bekerja sebagai

wiraswasta sebanyak 38 orang (41,3%), yang bekerja sebagai petani sebanyak 27

orang (29,3%), yang bekerja sebagai IRT sebanyak 23 orang (25,0%), yang

36
37

bekerja sebagai PNS sebanyak 2 orang (2,2%), dan lainnya sebanyak 2 orang

(2,2%).

Status kerja ibu (tidak bekerja atau bekerja) dapat memengaruhi kesehatan

anak karena ibu yang bekerja memiliki waktu yang lebih sedikit untuk merawat

anak. Kerja memengaruhi waktu luang ibu untuk bersama anak. Walaupun

bekerja, ibu tetap memegang tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga.

Seorang ibu yang bekerja memiliki tantangan lebih untuk memenuhi tugas dalam

keluarga dan tanggung jawab di dunia kerja. Ibu tentu saja harus menghabiskan

waktu lebih lama dengan anaknya. Namun, dapat terhambat karena adanya

pembagian peran sebagai seseorang yang merawat anak dan seseorang yang

bekerja (Firdausa, 2013).

Ibu yang bekerja berpengaruh terhadap perawatan yang diterima anak.

Seorang wanita yang bekerja memiliki waktu yang kurang untuk memberi makan

anak, membersihkan dan bermain bersama anak. Hal ini dapat memberi pengaruh

buruk terhadap kesehatan anak. Sebenarnya bukan jenis pekerjaan ibu yang

memberi pengaruh melainkan seberapa banyak waktu luang ibu untuk mengurus

anak. Pekerjaan dapat menjauhkan orang tua dari anak untuk beberapa periode

waktu, namun kebutuhan anak dapat tetap terjaga selama anak mendapat

pengasuhan dan perawatan dalam kesehatannya dengan benar (Chandra, 2017).

Usia responden diperoleh mayoritas berusia 1-2 tahun sebanyak 30 orang

(32,6%), yang berusia 2-3 tahun sebanyak 29 orang (31,5%), yang berusia 0-12

bulan sebanyak 17 orang (18,5%), dan yang berusia 3-5 tahun sebanyak 16 orang

(17,4%).
38

Anak balita memiliki kerentanan terhadap penyakit, salah satunya adalah

penyakit ISPA, dikarenakan daya tahan tubuh yang masih lemah dibandingkan

orang dewasa. Penyakit ISPA pada balita dapat dicegah dengan melakukan

imunisasi lengkap sejak usia 0-12 bulan (hepatitis, BCG, DPT, polio, campak)

dan mendapatkan ASI eksklusif sejak usia 0-6 bulan tanpa memberikan makanan

tambahan kepada anak balita. Anak balita dengan status imunisasi tidak lengkap

lebih berisiko terkena ISPA dibandingkan anak balita dengan status imunisasi

lengkap (Putri & Adriyani, 2017).

Mekanisme hubungan usia dengan kejadian ISPA dapat disebabkan oleh

karena mekanisme yang belum terbentuk secara sempurna. Anak sebenarnya

memiliki kadar sel T yang cukup tinggi, namun sel T tersebut masih berbentuk

naïf. Sel T yang berbentuk naïf tersebut tidak akan berespon terhadap suatu

paparan antigen tertentu, salah satunya adalah paparan antigen bila terjadi infeksi,

ditambah agen paparan infeksi yang paling sering pada anak yaitu melalui saluran

pernafasan. Hal inilah yang menyebabkan infeksi yang sering terjadi pada anak

adalah infeksi saluran pernafasan akut. Mekanisme imunologi lain yang

menyebabkan ISPA lebih sering pada anak terutama usia di bawah 5 tahun adalah

kadar IgG yang belum optimal sehingga memungkinkan terjadi infeksi saluran

pernafasan akut akibat respons imunitas yang tidak adekuat (Baratawidjaja &

Rengganis, 2009).
39

5.2 Gambaran Lingkungan Fisik Rumah di Desa Pokenjior Yang Memiliki


Anak Balita Dan Mengalami Kejadian ISPA Tahun 2019

Hasil penelitian dari 92 responden diperoleh mayoritas lingkungan fisik

rumah tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 47 orang (51,1%), dan minoritas

lingkungan fisik rumah memenuhi syarat yaitu sebanyak 45 orang (48,9%).

Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau

hunian untuk berlindung dari gangguan iklim serta mahkluk hidup lainnya dan

sarana pengembangan keluarga (Notoatmodjo, 2003). Sedangkan rumah sehat

menurut Depkes (2010) adalah rumah yang memenuhi persyaratan fisik,

kimiawi, dan biologi sehingga penghuninya terlindung dari penyakit menular

dan tidak menular. Di tempat tinggal (rumah) mempengaruhi kesehatan

seseorang karena kehidupan manusia terlebih dalam usia dini sebagian besar

dihabiskan didalam rumah. Oleh karena itu kondisi tempat tinggal baik fisik

maupun non fisik merupakan prasyarat terwujudnya derajat kesehatan

(Depkes, 2009). Persyaratan rumah sehat menurut Kepmenkes RI No. 829 yaitu

standar luas ventilasi rumah minimal 10% luas lantai, kelembaban rumah antara

40-70%, dan kepadatan hunian 10m2/ orang.

5.3 Gambaran Kejadian ISPA Pada Balita di Desa Pokenjior Tahun 2019

Hasil penelitian dari 92 responden mayoritas balita mengalami kejadian

ISPA yaitu sebanyak 71 orang (77,2%), dan yang minoritas yang tidak mengalami

kejadian ISPA sebanyak 21 orang (22,8%).

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya ISPA. Kejadian ISPA

dipengaruhi oleh agen penyebab seperti virus dan bakteri, faktor pejamu (usia

anak, jenis kelamin, status gizi, imunisasi dll) serta keadaan lingkungan (polusi

udara dan ventilasi). Usia anak merupakan faktor predisposisi utama yang
40

menentukan tingkat keparahan serta luasnya infeksi saluran nafas. Selain itu,

status gizi juga berperan dalam terjadinya suatu penyakit. Hal ini berhubungan

dengan respon imunitas seorang anak. Penyakit ISPA sering dikaitkan dengan

kejadian malnutrisi dan stunting pada anak (Wantania et al, 2012).

5.4 Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
di Desa Pokenjior Tahun 2019

Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti hubungan lingkungan fisik

rumah dengan kejadian ISPA bada balita yang berjumlah 92 responden,

menunjukkan bahwa responden dengan lingkungan fisik rumah tidak memenuhi

syarat pernah mengalami kejadian ISPA pada balita sebanyak 37 orang (40,2%)

dan yang tidak pernah mengalami kejadian ISPA pada balita sebanyak 10 orang

(10,9%)., sedangkan responden dengan lingkungan fisik rumah yang memenuhi

syarat pernah mengalami kejadian ISPA pada balita sebanyak 34 orang (37,0%),

dan yang tidak pernah mengalami kejadian ISPA pada balita sebanyak 11 orang

(11,9%).

Hasil dari interpretasi diatas diketahui bahwa balita mengalami kejadian

ISPA meskipun lingkungan fisik rumah memnuhi syarat. Namun masyoritas

responden yang mengalami kejadian ISPA dengan lingkungan fisik rumah tidak

memenuhi syarat.

Menurut WHO (2011) Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan

infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai

hidung sampai alveoli termasuk adneksa/bagian-bagiannya (sinus, rongga telinga

tengah, pleura). Usia balita merupakan usia rentan untuk terjadinya masalah

kesehatan khususnya ISPA karena anak bawah lima tahun memiliki daya tahan

tubuh yang rendah. Balita juga sangat sensitif dengan lingkungan, misalnya debu,
41

kepadatan, cuaca, dan lain-lain yang dapat mennyebabkan balita menderita

penyakit. Oleh sebab itu, lingkungan tempat balita berada harus dijaga kondisinya

semaksimal mungkin.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap faktor resiko penyakit ISPA

yaitu faktor lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah pencemaran udara

baik didalam ruangan maupun di luar ruangan serta sanitasi rumah. Pencemaran

udara dalam rumah seperti asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak

dengan konsentrasi yang tinggi, asap rokok, ventilasi rumah dan kepadatan

hunian. Sedangkan pencemaran di luar ruangan seperti Pembakaran, transportasi

dan hasil pembuangan asap pabrik. Lingkungan di dalam rumah sangat

berinteraksi erat terhadap tempat tinggal sehari-hari pada balita, apabila

lingkungan di dalam rumah dimana tempat suatu keluarga berkumpul dan

berlindung tidak sehat karena adanya serangan infeksi oleh bakteri atau virus

maka dapat menimbulkan berbagai penyakit pada balita salah satunya adalah

penyakit ISPA (Jayanti et al, 2018).

Menurut Cahya (2011) kondisi lingkungan fisik rumah dalam penelitian ini

adalah obsevasi tentang kepadatan lingkungan fisik rumah, ventilasi rumah, dan

kelembaban. Kepadatan hunian rumah akan meningkatkan suhu ruangan yang

disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban

akibat uap air dari pernafasan tersebut. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai

dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam

ruangan sehingga daya tahan tubuh penghuninya menurun, kemudian cepat

timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA.


42

Balita yang tinggal dirumah dengan kelembaban yang tidak memenuhi

syarat mempunyai risiko terkena ISPA sebesar 14,4 kali dibandingkan dengan

balita yang tinggal di rumah yang kelembabannya memenuhi syarat. Saluran

ventilasi pada sebuah rumah mempunyai berbagai fungsi, fungsi yang pertama

adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan

O2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O 2 yang

berarti kadar CO2 menjadi racun. Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara

ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah

selalu tetap dalam kelembaban yang optimum. Ventilasi ruang keluarga

mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada balita, dimana

dinyatakan balita yang tinggal dirumah dengan ventilasi ruang keluarga tidak

memenuhi syarat mempunyai risiko 2,29 kali untuk menderita ISPA dibandingkan

dengan balita yang tinggal pada rumah dengan ventilasi ruang keluarga memenuhi

syarat (Cahya, 2011).

Hasil analisa statistik untuk mengetahui hubungan lingkungan fisik rumah

dengan kejadian ISPA pada balita dengan menggunakan uji Pearson Chi Square,

diperoleh p-value= 0,007 (<0,05), artinya ada lingkungan fisik rumah dengan

kejadian ISPA pada balita di desa Pokenjior tahun 2019.

Hal ini sejalan dengan penelitian Afandi (2012) tentang “Hubungan

Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada

Anak Balita Di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012” yang

menyatakan bahwa kondisi bangunan rumah dan lingkungannya yang kurang

memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko dan sumber penularan

berbagai jenis penyakit khususnya penyakit berbasis lingkungan. Penyakit ISPA


43

dan tuberkulosis yang erat kaitannya dengan kondisi higiene bangunan

perumahan. Pada penelitian tersebut juga didapat hasil uji statistik menunjukan

ada hubungan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada anak

balita. Hal ini terlihat dari nilai p <0,001 dan tidak terdapat angka 1 dalam rentang

(95% CI: 1,826-3,209).


44

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian tentang “Hubungan Lingkungan Fisik Rumah

Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa Pokenjior Tahun 2019” adalah

sebagai berikut :

1. Karakteristik responden mayoritas ibu berpendidikan SMA sebanyak 60 orang

(62,5%), pekerjaan ibu mayoritas bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 38

orang (41,3%), dan usia responden mayoritas berusia 1-2 tahun sebanyak 30

orang (32,6%).

2. Lingkungan fisik rumah responden mayoritas tidak memenuhi syarat yaitu

sebanyak 47 orang (51,1%).

3. Kejadian ISPA pada balita mayoritas mengalami kejadian ISPA yaitu

sebanyak 71 orang (77,2%)

4. Terdapat hubungan yang signifikan antara lingkungan fisik rumah dengan

kejadian ISPA pada balita dengan p-value= 0,007 (<0,05).

6.2 Saran

1. Bagi Tempat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

mampu menemukan solusi dari kondisi lingkungan fisik rumah yang

mempengaruhi kejadian ISPA pada balita.

44
45

2. Bagi Masyarakat

Masyarakat mampu memahami bahwa kondisi lingkungan fisik rumah

sangat perlu dijaga dan diperhatikan terutama bagi anggota kelurga yang memiliki

anak balita.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan penelitian ini sebagai referensi dan dan pertimbangan bagi

peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian lain yang belum pernah

diteliti tentang ISPA.


46

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, A.I. (2012). Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian


Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak Balita Di Kabupaten
Wonosobo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. Depok : Universitas
Indonesia.

Akmal, et al. (2010). Ensiklopedi Kesehatan untuk Umum. Jogjakarta: Ar-Ruzz


Media.

Barawidjaja, K., Renggannis, I. (2009). Imunologi Dasar FKUI. Jakarta : FKUI.

Chandra (2017). Hubungan Pendidikan dan Pekerjaan Ibu dengan Upaya


Pencegahan ISPA pada Balita oleh Ibu yang Berkunjung ke Puskesmas
Kelayan Timur Kota Banjarmasin.

Cahya, I. (2011). Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Infeksi


Saluran Pernafasan Akut Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Mergangsan Kota Yogyakarta Tahun 2011. Depok : Universitas Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Profil kesehatan Republik


Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. (2012). Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta :


DIY.

Departemen Kesehatan RI. (2015). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi


Saluran Pernafasan. Jakarta : Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehetan.

Dharmage. (2009). Risk Factor of Acute Lower Tract Infection in Children Under
Five Years of Age. Jakarta: Medical Public Health.

Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan. (2016). Cakupan Pelayanan Kesehatan


Balita Kecamatan & Puskesmas Kota Padangsidimpuan Tahun 2016.
Bidang Kesehatan Masyarakat : Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan.

Effendi. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam


Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Firdausia, A. (2013). Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Ibu dengan
Perilaku Pencegahan ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gang
Sehat Pontianak. Naskah Publikasi : Universitas Tanjungpura.

Hartono, R . (2012). ISPA Gangguan Pernafasan pada Anak. Yogyakarta: Nuha


Medika
47

Ikhsani, A. (2017)). Hubungan Cemaran Mikroba Dengan Pengelolaan Rumah


Sehat Pada Rumah Tipe Menengah Sebagai Sumber Belajar Mikrobiologi.
Skripsi Universitas Negeri Malang.

Jayanti, et al. (2018). Pengaruh Lingkungan Rumah Terhadap Ispa Balita Di


Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kabupaten Labuhan Batu
Tahun 2017. Jurnal JUMANTIK Vol. 3 No.2.

Kemenkes RI. (2017). Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan:


Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta :
Kemenkes RI.

Maramis, P. A. (2012). Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Ibu


Tentang ISPA dengan Kemampuan Ibu Merawat Balita ISPA pada Balita
di Puskesmas Bahu Kota Manado. Ejuornal keperawatan (e-Kp), Volume
1, Nomor 1.

Muttaqin, A. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem


Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

Muryunani. (2010). Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta : Rans


Infomedia.

Nasution, K et al., (2009). Infeksi Saluran Napas Akut Pada Balita Di Daerah
Urban Jakarta. Sari Pediatri 11 (4): 223-227. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Nursalam. (2013). Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan.


Jakarta : Salemba Medika.

Prabu. (2009). Penyakit-penyakit Infeksi Umum. Jakarta : Widia Medika.

Putri, M. D. A. (2017). Hubungan Sanitasi Fisik Rumah Dan PM10 Dengan


Kejadian ISPA Pada Anak Balita Di Pemukiman Sekitar Lingkungan
Industri Desa Tumapel Kabupaten Mojokerto, Skripsi. Surabaya: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Pedoman Teknik Penilaian Rumah Sehat. (2007). Jakarta : Direktorat Jendral


Kemenkes RI.

Riskesdas. (2010). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian dan


Pembangunan Kesehatan.

Setiawan, A. (2013). Optimasi Distribusi Pencahayaan Alami Terhadap


Kenyamanan Visual Pada Toko “Oen” Di Kota Malang. JURNAL
INTRA Vol. 1, No. 2, (2013). Universitas Kristen Petra.
48

Suryani I., Edison, Naza J. (2015). Hubungan Lingkungan Fisik dan Tindakan
Penduduk dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Lubuk Buaya. Jurnal Kesehatan Andalas.

Wantania, et al. (2010). Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : EGC.

Wantania JM, Naning R, Wahani A. (2012). Infeksi Respiratori Akut Dalam :


Buku Ajar Respirologi Anak IDAI. Jakarta: EGC.

Wicaksono H. (2009). Nutritional Status Affects Incidence of Pneumonia in


Underfives. Folia Medica Indones.

WHO. (2011). Making Cities Smoke-Free. Switzerland : WHO Document


Production Service.

WHO. (2012). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut


(ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.

WHO. (2013). Pneumonia : Fact Sheet. Geneva.

Yudarmawan IN. (2012). Pengaruh Faktor-Faktor Sanitasi Rumah Terhadap


Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak Balita (Studi Dilakukan Pada
Masyarakat Di Desa Puri Kangin Kecamatan Denpasar Utara Kota
Denpasar Tahun 2012). Denpasar (ID): Poltekkes Denpasar.

Yusuf, A.N., Sulistyorini, L. (2009). Hubungan Sanitasi Rumah secara Fisik


dengan Kejadian ISPA pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan.

Widiastuti & Yuniastuti. (2017). Analisis Hubungan Sikap Perilaku Pengelolaan


Sampah dengan Gejala Penyakit pada Masyarakat di TPI Kota Tegal.
Public Health Perspective Journal 2 (3). Universitas Semarang : Indonesia.
Lampiran
49 1

HASIL UJI SPSS

Distribusi Frekuensi

Pendidikan Ibu

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

SD 1 1.1 1.1 1.1

SMP 24 26.1 26.1 27.2

Valid SMA 60 65.2 65.2 92.4

PT/akademi 7 7.6 7.6 100.0

Total 92 100.0 100.0

Pekerjaan Ibu

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

IRT 23 25.0 25.0 25.0

Petani 27 29.3 29.3 54.3

Wiraswasta 38 41.3 41.3 95.7


Valid
PNS 2 2.2 2.2 97.8

lainnya 2 2.2 2.2 100.0

Total 92 100.0 100.0

Usia Balita

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

13-24 bulan 17 18.5 18.5 18.5

25-36 tahun 30 32.6 32.6 51.1

Valid 37-42 tahun 29 31.5 31.5 82.6

3-5 tahun 16 17.4 17.4 100.0

Total 92 100.0 100.0


50

P1

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Pernah 70 76.1 76.1 76.1

Valid Tidak Pernah 22 23.9 23.9 100.0

Total 92 100.0 100.0

P2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Ya 18 19.6 19.6 19.6

Valid Tidak 74 80.4 80.4 100.0

Total 92 100.0 100.0

P3

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Ya 26 28.3 28.3 28.3

Valid Tidak 66 71.7 71.7 100.0

Total 92 100.0 100.0

P4

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Ya 88 95.7 95.7 95.7

Valid Tidak 4 4.3 4.3 100.0

Total 92 100.0 100.0


51

P5

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Valid Ya 92 100.0 100.0 100.0

P6

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Penghuni rumah < 10m2/org 41 44.6 44.6 44.6

Valid Penghuni rumah > 10m2/org 51 55.4 55.4 100.0

Total 92 100.0 100.0

P7

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Ventilasi < 10% 14 15.2 15.2 15.2

Valid Ventilasi > 10% 78 84.8 84.8 100.0

Total 92 100.0 100.0

P8

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

<40 atau >70% 6 6.5 6.5 6.5

Valid 40-70% 86 93.5 93.5 100.0

Total 92 100.0 100.0


52

Kejadian ISPA

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Pernah 71 77.2 77.2 77.2

Valid Tidak Pernah 21 22.8 22.8 100.0

Total 92 100.0 100.0

Lingkungan fisik rumah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Tidak memenuhi syarat 47 51.1 51.1 51.1

Valid Memenuhi syarat 45 48.9 48.9 100.0

Total 92 100.0 100.0

Hasil Uji Statistik Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian


ISPA Pada Balita

Kejadian ISPA * Lingkungan fisik rumah Crosstabulation

Lingkungan fisik rumah Total

Tidak Memenuhi
memenuhi syarat
syarat

Count 37 34 71
Pernah
Expected Count 36.3 34.7 71.0
Kejadian ISPA
Count 10 11 21
Tidak pernah
Expected Count 10.7 10.3 21.0
Count 47 45 92
Total
Expected Count 47.0 45.0 92.0
53

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .131a 1 .007


Continuity Correctionb .013 1 .110
Likelihood Ratio .131 1 .007
Fisher's Exact Test .036 .045
Linear-by-Linear Association .130 1 .019
N of Valid Cases 92

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.27.
b. Computed only for a 2x2 table
54

Anda mungkin juga menyukai