ANESTESI
Oleh:
Sahrul Zulham Z. N. G1A014060
Fiqrotul Umam G1A014108
Tyasti Fajri M. J. G1A017060
R. Alif Kuncorojati G1A017061
Alifa Jati Nurul Izza G1A017062
Muhammad Yahya Izzudin G1A017063
Sabrina Ayu S. W. G1A017064
Mahendra DD Luhur Pakarti G1A017065 Commented [F3]: Kalian Angkatan 2017 ya? Barut
ahu seharusnya sudah blok 5.3
Asisten :
Irse Priyaganda Bani Musa
G1A017061
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI Commented [F5]: KONSISTEN
ANESTESI
Kelompok 2
2
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN 4
V. PENUTUP 24
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Mekanisme kerja obat – obat anestesi
B. Waktu Praktikum
Waktu : Pukul 15.00 – 17.00 WIB
Hari : Sabtu, 26 Oktober 2019
C. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa mampu mengenali perbedaan anestesi umum dan anestesi lokal,
2. Mahasiswa mampu mengetahui cara kerja anestesi umum dan anestesi lokal,
3. Mahasiswa mampu mengetahui obat – obatan yang digunakan dalam anestesi
umum dan lokal beserta fungsinya,
4. Mahasiswa mampu mengenali cara – cara pemberian obat anestesi.
D. Manfaat Praktikum
1. Mahasiswa dapat membedakan anestesi umum dan anestesi lokal,
2. Mahasiswa mampu menjelaskan cara kerja dari anestesi umum dan anestesi lokal,
3. Mahasiswa dapat mengenali obat – obatan apa saja yang digunakan dalam
anestesi umum dan lokal serta kegunaan dari tiap – tiap obat,
4. Mahasiswa mengenali rute – rute pemberian obat anestesi. Commented [F9]: LATAR BELAKANG nya mana?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anestesi Umum
1. Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum akan melewati beberapa tahapan dan tahapan tersebut
tergantung pada dosis yang digunakan. Tahapan teranestesi umum secara
ideal dimulai dari keadaan terjaga atau sadar kemudian terjadi kelemahan
dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon nyeri (analgesik), tidak bergerak
dan relaksasi (immobility), tidak sadar (unconsciousness), dan kematian
pada dosis berlebih (Miller, 2010).
Pengaruh obat anestesi menimbulkan efek trias anestesi, pasien akan
mengalami keadaan tidak sadar, reflek-reflek proteksi menghilang akibat
mati rasa dan kelumpuhan otot rangka termasuk otot perafasan. Di samping
pengaruh trias anestesi tersebut pasien juga menderita manipulasi bedah,
mulai dari derajat ringaan sampai berat. Sehigga pada keadaan demikian
pasien sangat memerlukan tindakan bantuan kehidupan selama prosedur
anestesi/diagnostik (Mangku, 2010).
5
2. Mekanisme Kerja Anestesi Umum
6
2) Inhalasi sungkup laring Laringeal Mask Airway (LMA)
c. Anestesi imbang
7
3. Stadium Anestesi Umum
8
menurun,refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi. Semua
operasi dapat dilakukan pada tingkat ini. Plane 3, pernafasan perut lebih
nyata daripada pernafasan dada karena otot interkostal mulai mengalami
paralisis, pupil melebar, tonus otot makin menurun, relaksasi otot lurik
sempurna, refleks laring dan peritonium negatif. Semua operasi dapat
dilakukan pada tingkat ini. Plane 4, ventilasi tidak teratur, tonus otot
menurun, pernafasan perut sempurna karena kelumpuhan otot interkostal
sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks
cahaya hilang.
4. Premedikasi
9
B. Anestesi Lokal
1. Definisi Anestesi Lokal
10
yang stabil, serta pemanasan bila disterilkan tanpa mengalami perubahan
(Malamed, 2014).
3. Farmakokinetik
Kehadiran anestesi lokal dalam sistem peredaran darah membuktikan
bahwa obat ini disalurkan ke seluruh tubuh. Anestesi lokal mempunyai
kemampuan untuk mengubah fungsi beberapa sel. Pada hal ini anestesi
11
lokal dapat memblokir konduksi saraf di akson dari sistem saraf peripheral
(Malamed, 2014).
a. Absorbsi
Pada saat diinjeksikan ke jaringan lunak, anestesi lokal
menghasilkan reaksi farmakologi pada pembuluh darah. Semua jenis
anestesi lokal memiliki tingkatan reaksi yang berbeda, yang sering terjadi
yaitu vasodilatasi pembuluh darah ketika di deposit, dan beberapa juga
menimbulkan vasokontriksi. Reaksi yang timbul berpengaruh pada
konsentrasi yang diberikan. Efek signifikan dari vasodilatasi meningkat
ketika anestesi lokal sudah diserap oleh pembuluh darah, sehingga
menurunkan durasi dan kualitas dari rasa sakit, tetapi meningkatkan
konsentrasi anestesi lokal pada pembuluh darah dan potensi overdosis
(reaksi toksik). Tingkatan reaksi anestesi lokal yang diserap oleh
pembuluh darah dan mencapai level maksimum bervariasi sesuai dengan
cara pemberiannya (Malamed, 2014).
b. Distribusi
Setelah diserap ke pembuluh darah, anestesi lokal disalurkan ke
seluruh jaringan dalam tubuh. Organ yang sangat perfusi yaitu otak, hepar,
ginjal, paru-paru, limfe memiliki kadar anestesi yang paling tinggi
dibandingkan dengan organ yang kurang perfusi. Otot-otot skeletal
walaupun tidak berperfusi dengan tinggi, tetapi mengandung anestesi lokal
dengan persentasi yang tinggi dibandingkan organ atau jaringan lain
karena memiliki massa jaringan yang paling banyak di dalam tubuh.
Konsentrasi plasma dari anestesi lokal memiliki pengaruh pada organ
tertentu yang dapat menyebabkan potensi toksisitas (Malamed, 2014).
c. Metabolisme
Perbedaan yang signifikan antara dua jenis anestesi lokal yaitu ester
dan amida adalah mampu mengubah kerja anestesi lokal secara biologis
menjadi obat yang tidak berpengaruh secara farmakologi lagi.
Metabolisme (biotransformasi dan detoksifikasi) anestesi lokal sangat
penting karena secara keseluruhan toksisitasnya ditentukan oleh
keseimbangan antara laju penyerapannya ke dalam aliran darah dengan
12
laju pembuangannya dari pembuluh darah dan proses metabolism
(Malamed, 2014).
d. Ekskresi
Metabolit dan sisa yang tidak termetabolisme, baik dari golongan
amida maupun ester akan dieksresikan oleh ginjal. Sebagian kecil anestesi
dieskresikan dalam keadaan tidak mengalami perubahan. Senyawa anestesi
golongan ester biasanya jarang dijumpai pada urin karena golongan ini
hampir sempurna dimetabolisme di dalam darah; dalam urin, dijumpai
sebagai PABA, dan 2%nya tidak mengalami perubahan. Pada pasien
dengan penyakit ginjal terminal, baik senyawa induk maupun metabolitnya
akan terakumulasi. Oleh karena itu, penggunaan anestesi lokal, baik
golongan ester maupun golongan amida, merupakan kontraindikasi relatif
bagi pasien dengan penyakit ginjal yang signifikan, misalnya pasien yang
menjalani hemodialisis, glomerulonefritis kronis, atau pielonefritis (
Sumawinata, 2013).
4. Farmakodinamik
Ketika anestesi lokal mencapai saluran sodium saraf, menyebabkan
terganggunya aktifitas saraf dengan memblok konduksinya. Untuk
memaksimalkan blok konduksi saraf, saluran sodium saraf harus dalam
keadaan tidak aktif sebanyak 75%. Saluran sodium dapat aktif dan terbuka,
tidak aktif dan tertutup, istirahat dan tertutup selama berbagai aktifitas
potensial terjadi. Pada saat aktif dan terbuka, saluran sodium dapat
memperbanyak impuls. Anestesi lokal dapat mengikat saluran agar tetap
terbuka dan mengubah menjadi tidak aktif atau tertutup. Kecepatan
anestesi lokal membuka dan menutup saluran merupakan hasil kerja dari
agen spesifiknya. Agen intermedit (lidokain, mepivakain) memiliki waktu
kerja yang pendek dan agen bupivakain memiliki waktu kerja yang cepat (
Ganda, 2013).
Anestesi lokal juga dapat mengikat saluran sodium menjadi tidak
aktif, tetapi kekuatan mengikatnya lemah. Pada serabut saraf mielin,
pemblokiran saraf dapat terjadi pada nodus ranvier dengan menghalangi
13
sinyal propagasi yang menyebabkan terjadinya lompatan depolarisasi
antara nodus ranvier. Serabut mielin lebih peka terhadap blok konduksi
daripada serabut non-mielin karena memblok dua nodus dapat
meningkatkan kemungkinan kematian impuls, sementara memblok tiga
atau lebih nodus dapat menyebabkan kematian impuls yang lebih banyak.
Kematian impuls pada serabut saraf non-mielin meningkatkan
pemanjangan serat yang terlihat oleh agen anestesi lokal. Serat yang kecil
lebih 19 peka pada pemblokiran oleh anestesi lokal karena pada serabut
yang bermielin, ada jarak pendek antara nodus, sedangkan pada serabut
non-mielin saraf terlihat lebih panjang dan terpapar dengan serabut saraf
yang lebih besar (Ganda, 2013).
5. Efek Samping Obat
a. Eksitasi Sistem saraf pusat dan neurotoksisitas local
b. Kolaps kardiovaskular
c. Kejang
d. Hipertensi
e. Stroke ( Katzung, 2015)
6. Teknik Pemberian
Anestesi local dapat membantu dokter menjalin kerjasama yang
baik dengan pasien karena selain sebagai pereda nyeri, pasien masih dalam
keadaan sadar selama melakukan perawatan.
a. Anestesi Topikal
Teknik anestesi topikla dilakukan dengan mengaplikasikan sediaan
anestesi pada daerah membrane mukosa yang dapat dipenetrasi sehingga
mencapai ujung sara superfisial, teknik anestesi intraligamen dilakukan
dengan syringe khusus melalui jaringan periodontal gigi dan larutan
dideponirkan saraf pada ujung akar. Anestesi topical adalah obat bius lokal
yang digunakan untuk mematikan permukaan bagian tubuh saja. Semua
bahan anestesi local dapat menganastesi sedalam 2-3 mm dari permukaan
jaringan dan dapat memberikan efek anesteso selama 10 menit apabila
digunakan dengan tepat ( Malamed, 2013).
Contoh obat:
14
i. Kokain
ii. Dibukain
iii. Tetrakain
iv. Benzokain
v. Lidocaine
b. Anestesi Infiltrasi
Anestesi infiltrasi merupakan teknik yang paling umum untuk
anestesi local pada rahang atas. Teknik infiltrasi ini adalah teknik anestesi
yang relative mudah oleh karena itu memiliki tingkat keberhasilan yang
tinggi. Suntikan subperiosteal harus dihindari untuk pencabutan gigi lebih
dari satu, biopsy jaringan lunak, atau prosedur tindakan lainnya karena
jaringan periosteum dari tulang dapat menyebabkan pecahnya pembuluh
darah yang akan menyebabkan darah berpentrasi ke dalam tulang dan
dapat menyebabkan hematoma subperiostal serta nyeri pasca operasi yang
berkepanjangan. Suntikan subperioteal akan memberikan anestesi local
yang lebih baik ketika metide subperiostal tidak efektif (Malamed, 2013).
Contoh Obat :
i. Prokain
ii. Lidokain
iii. Bupivakain
iv. Mepivakain
v. Prilokain
15
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
Alat: Bahan:
Beaker glass Lidokain
Kapas Eter
Sput tuberkulum Ketamin
aquades
B. Hewan Percobaan
Rattus navergicus
C. Cara Kerja
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil dan Pembahasan
1. Hewan Uji Coba Kontrol
Hasil :
2 Menit ke- RR Motilitas Mata
1 Naik Tetap Normal
2 Normal Tetap Normal
3 Normal Tetap Normal
4 Normal Tetap Normal
5 Normal Tetap Normal
Pembahasan :
Pada hewan uji kelompok kontrol atau dengan pemberian aquades, tidak
didapatkan penurunan kesadaran maupun reaksi analgesik. Selama 10
menit setelah disuntikkan aquades, frekuensi pernafasan rata-rata normal
atau tidak mengalami peningkatan, motilitas normal, dan pergerakan
bola mata normal.
Pembahasan :
Setelah dilakukan penyuntikan lidokain dengan cara infiltrasi pada
daerah abdomen, terlihat pada hewan uji coba frekuensi pernafasan yang
17
relatif teratur dan motilitas yang menurun. Pada menit ke-7 sudah tidak
ada penurunan pergerakan. Pada menit pertama sudah dapat dilihat
hilangnya rasa sakit pada daerah lokasi penyuntikan. Ketika diberikan
rangsang nyeri, sebelum disuntikkan lidokain terdapat pergerakan
meronta pada hewan uji, namun setelah penyuntikan tidak ada
pergerakan meronta.
3. Hewan Uji Coba dengan Pemberian Ketamin
Hasil
2 Menit Gerakan Respiratory Rate Mata
ke-
1 Normal Normal Normal
2 Tidak Aktif Melemah Normal
3 Tidak Aktif Tetap Melemah Normal
4 Tidak Aktif Menurun Normal
5 Tidak Aktif Menurun Normal
Pembahasan
Ketamin merupakan obat anestetik umum yang diberikan
melalui injeksi intramuskular. Ketamin bekerja dengan menurunkan
aktivitas sistem saraf pusat. Ketamin mengalami metabolisme hepatik dan
diekskresikan melalui urin dan empedu. Obat ini memiliki volume
distribusi yang besar dan bersihan yang cepat, sangat cocok untuk infus
kontinu (Hardman, 2015).
Ketamin memiliki tiga sifat khas, yaitu analgesik, anestetik, dan
kataleptik. Setelah pemberian ketamin pasien akan mengalami
analgesiamendalam, tidak responsif terhadap perintah, amnesia,
menggerakkan otot tubuh tanpa sadar, dan bernapas spontan. Keadaan
khas yang akan dialami penderita setelah diberikan ketamin adalah
amnesia disosiatif(Hardman, 2015).
Pada percobaan, tikus coba terlihat mengalami ketiga sifat khas
dari ketamin. Dapat terlihat bahwa tikus mengalami hilang kesadaran yang
18
diikuti dengan gerak tidak sadar walaupun dengan mata terbuka. Tikus
coba juga mengalami hilang keseimbangan.
Pembahasan
Pada 2 menit pertama, morbiditas diam, pernapasan cepat dan
spontan, dan pupil dilatasi. Pada 2 menit kedua, tidak terdapat morbiditas,
pernapasan cepat dan spontan, dan pupil dilatasi lebih lebar. Pada 2 menit
ketiga, tidak terdapat morbiditas, pernapasan teratur, dan pupil dilatasi lebih
lebar. Pada 2 menit keempat, tidak terdapat morbiditas, pernapasan teratur,
dan pupil dilatasi hampir maksimal. Pada 2 menit kelima, tidak terdapat
morbiditas, pernapasan teratur, dan pupil dilatasi maksimal.
Eter merupakan anestetik yang sangat kuat. Memiliki sifat analgesik
yang kuat sehingga sudah terjadi analgesia, tetapi pasien masih sadar. Eter
pada kadar tinggi dapat menimbulkan relaksasi otot. Eter menyebabkan iritasi
saluran napas dan merangsang sekresi kelenjar bronkus. Eter pun dapat
menyebabkan depresi napas (Gunawan et al., 2016).
Eter dapat menurunkan tekanan darah sistemik yang utamanya
disebabkan oleh vasodilatasi langsung dan depresi miokard. Efek lain yang
19
ditimbulkan adalah hilangnya dorongan untuk mempertahankan ventilasi,
hilangnya berbagai refleks saluran pernapasan. Depresi napas dapat timbul
oleh semua stadium selama anestesia inhalasi (Gunawan et al., 2016).
Eter menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit sehingga timbul
kemerahan terutama di daerah muka, pada anestesia yang lebih dalam kulit
menjadi lembek, pucat, dingin dan basah. Terhadap pembuluh darah ginjal,
eter menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan produksi urin secara
reversibel. Sedangkan pada pembuluh darah otak, eter menyebabkan
vasodilatasi. Eter menyebabkan mual dan muntah terutama pada waktu
pemulihan, tetapi dapat pula terjadi pada waklu induksi. Aktivitas saluran
cerna dihambat selama dan sesudah anestesia. Eter diabsorpsi dan diekskresi
melalui paru, sebagian kecil diekskresi juga melalui urin, air susu, keringat
dan difusi melalui kulit utuh (Katzung, 2013).
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, eter menyebabkan pupil
semakin dilatasi hingga maksimal dimana pupil dilatasi maksimal merupakan
stadium terakhir dalam penggunaan anestesi. Namun, pernapasan yang
ditimbulkan adalah pernapasan yang teratur padahal seharusnya
menyebabkan depresi napas jika didasari oleh teori di atas.
B. Aplikasi Klinis
1. Intubasi endotrakeal
Beberapa tindakan pembedahan membutuhkan anestesi
umum. Kerja dari anestesi umum akan menyebabkan relaksasi dari otot –
otot, termasuk otot pernapasan. Hal ini berarti diperlukan suatu teknik
untuk mempertahankan jalan napas dari pasien. Intubasi endotrakeal
merupakan suatu teknik memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam
saluran pernapasan bagian atas. (Thomas, 2014)
Pipa dalam intubasi endotrakeal berfungsi sebagai sarana
pembawa anestesi ke saluran pernapasan bagian atas. Pipa tersebut akan
membawa obat anestesi langsung ke saluran napas pasien. Pipa ini juga
dapat memfasilitasi oksigenasi dan ventilasi. Pipa berbentuk lengkung
dan mengikuti anatomi dari saluran pernapasan itu sendiri dan biasanya
terbuat dari bahan PVC (Polyvinylchlorida). Pada pipa biasanya terdapat
20
penanda yang berfungsi sebagai penanda dalam posisi pita suara.
(Kakamu et al, 2018)
Intubasi endotrakeal bertujuan untuk mempertahankan jalan
nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi,
mencegah terjadinya aspirasi lambung pada saat keadaan tidak sadar dan
membersihkan saluran trakeobronkial. (Thomas, 2014)
Tindakan dari intubasi dapat menyebabkan penekanan pada
nervus laryngeus recurrens dan nervus laryngeus superior. Hal ini dapat
menyebabkan suara serak pada pasien. Penekanan pada kedua nervus
tersebut juga dapat menyebabkan peningkatan rangsang simpatis pada
tubuh. Selain itu, tindakan intubasi endotrakeal juga dapat menyebabkan
efek samping lain yang diantaranya ialah disritmia, peningkatan tekanan
darah, spasme laring, spasme bronkus, hipoksia, hiperkarbia, peningkatan
tekanan intrakranial, peningkatan tekanan intraokuler, serta mual dan
muntah. (Kakamu et al, 2018)
2. Sectio caesarea
Sectio caesarea ialah suatu tindakan pembedahan yang
bertujuan untuk melahirkan bayi melalui insisi dari abdomen sang ibu.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya seperti anatomi
panggul ibu yang tidak memungkinkan untuk persalinan normal, pre
eklampsia ataupun kondisi gawat darurat lainnya. (Sandall, 2018)
Sectio caesarea sendiri dibagi menjadi 4 macam, yaitu Sectio
cesaria transperitonealis profunda, sectio caesaria klasik atau section
cecaria corporal, sectio caesaria ekstra peritoneal dan section cesaria
hysteroctomi. Pada sectio caesarea klasik, insisi longitudinal di garis
tengah dibuat dengan skapal ke dalam dinding anterior uterus dan
dilebarkan ke atas serta ke bawah dengan gunting berujung tumpul,
sedangkan pada sectio caesaria ekstraperitoneal, pembedahan
ekstraperitoneal dikerjakan untuk menghindari perlunya histerektomi
pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan mencegah
peritonitis generalisasi yang sering bersifat fatal. (Sandall, 2018)
21
Sebelum dilakukannya tindakan sectio caesarea, akan
diberikan anestesi terlebih dahulu pada sang ibu. Anestesi yang diberikan
dapat berupa anestesi umum ataupun anestesi regional. Namun, anestesi
umum lebih berpengaruh terhadap tingkat keselamatan sang bayi.
Anestesi umum dapat menyebabkan bayi mengalami apneu sehingga
dapat menyebabkan kematian. Selain itu, anestesi umum dapat
menyebabkan atonia uteri sehingga terjadi perdarahan yang banyak.
(Keag, 2018)
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi dari
tindakan sectio caesarea. Pada sang ibu, komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya ialah perdarahan, sepsis, serta cedera dan kurang kuatnya
parut pada dinding uterus. Pada sang bayi, komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya ialah hipoksia, depresi pernapasan, trauma persalinan serta
sindrom gawat pernapasan. (Keag, 2018)
3. Intubasi
Intubasi endokodral adalah teknik untuk menjaga jalan napas agar
pertukaran CO2 dan O2 antara udara bebas dengan sistem respirasi
berjalan baik. Metode yang sering digunakan adalah intubasi orotrakeal.
Dalam melakukan intubasiharus memperhatikan jenis pipa yang
digunakan benar pada tempat yang tepat. Indikasi utama melakukan
intubasi adalah 1) menjaga patensi jalan napas; dan 2) mempermudah
ventilasi posiif dan oksigenasi (Oentari dkk, 2014).
Pada pasien keadaan normal intubasi dilakukan dengan cara
intubasi elektif. Proses ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu persiapan,
oksigenasi, laringoskop, pemasangan pipa, posisi pipa, dan ventilasi.
Namun, pada pasien dalam keadaan gawat darurat intubasi dilakukan
dengan metode rapid sequence intubation. Perbedaan metode ini dengan
intubasi biasa adalah pasien belum dipuasakan sebelumnya dan juga
penggunaan obat yang berbeda. Pada RSI obat yang digunakan
merupakan obat-obat dengan awita cepat seperti propofol, sodium
thiopental, dan etomidat karena pada RSI membutuhkan induksi atau
hilangnya kesadaran dengan cepat ( Latief dkk, 2009).
22
4. Seksio Caesarea
Seksio Caesarea (SC) merupakan upaya persalinan dengan jalur
lahir melalui insisi pada dinding perut dan rahim. Indikasi melakukan SC
adalah panggul ibu sempit absolute, tumor jalan lahir, stenosis serviks,
plasenta pervia, kelainan letak fetus, gawat janin, bayi besar, dan
hidrosefalus. SC memiliki beberapa jenis, yaitu SC trans peritoneal
profunda, klasik, dan ekstrapeitoneal (Oentari dkk, 2014).
Sebelum melakukan SC pasein terlebih dahulu mendapat
medikasi pre-anestesi dengan obat seperti ondansentron dan ranitidin. Di
ruang operasi pasien di pasang monitor tanda vital serta diberikan
preloading dengan larutan kristaloid rnger laktat selama 15 menit
sebelum dilakukan anestesi (Arif dan Setiawan, 2015)
Anestesi yang diberikan melalu metode anestesi spinal. Anestesi
ini menggunakan jarum spinal yang di insersi pada celah vertebrata
lumbal 3-4 menggunakan jarum disposable dengan posisi pasien left
lateral decubitus. Contoh obat yang dapat di gunakan pada Anestesi ini
adalh bupivakain hiperbarik. Salah satu komplikasi dari anestesi spinal
ini dapa menyebabakan menggigil yang membuat pasien tidak nyaman
dan membahayakan pasien. Untuk terapa menggigil pada SC akibat
anestesi spinal dapat di berikan meperidin, ketain, dan klonidin
(Budiono, 2015) Commented [F10]: Bedanya dengan no 1 dan 2 apa?
Sama-sama ETI dan SC. Kurang 1 Aplikasi Klinisnya
23
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara umum anestesi terbagi menjad anestesi lokal dan umum. Anestesi
umum dan lokal dibedakan berdasarkan tempat kerja dan efeknya.
Anestesi umum bekerja langsung pada SSP dan dapat menurunkan
kesadaran. Anestesi lokal bekerja pada SST dan hanya menyebabkan
paralisis motorik. Anastesi umum juga terbagi lagi menjadi anestesi
inhalasi dan intravena.
2. Pembedahan dengan anestesi lokal merupakan pasien tetap sadar selama
proses pembedahan dilakukan, bius yang diterima bersifat lokal. Cara
pemberiannya diantaranya anestesia topikal, anestesia infiltrasi, anestesia
blok, anestesiafield blok, dan anestesiaintravaskular, Bronkospasme, Day
Surgery (Bedah Rawat Jalan), Persalinan, Postoperative Nausea and
Vomiting (PONV), Persalinan. Commented [F11]: Barut tahu ad acara pemberian
obat seperti ini…
24
DAFTAR PUSTAKA
Arif, S., K., Setiawan, I. 2015. Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk
dan 0,2 ml/dtk Prosedur Anestesi Spinal terhadap Kejadiann Hipotensi pada
Seksio Sesaria. Jurnal Anestiologi Indonesia. Vol (7) no (2) hal:79-88.
Berman, Audrey, et.al. 2012. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier &
Erb.Edisi 5. Jakarta: EGC.
Budiono, U. 2015. Meperidin, Ketamin, dan Klonidin Efektif untuk Terapi
Menggigil pada Sectio Secaria dengan Anestesi Spinal. Jurnal Anestesiologi
Indonesia.Vol ( 7) no (2) hal:120-132.
Destiara, A.P., Yadi, D.F. and Kadarsah, R.K., 2016. Perbandingan Waktu Awitan
dan Lama Kerja Kombinasi Bupivakain 0, 5% dan Lidokain 2%
dengan Bupivakain 0,5% pada Blokade Infraklavikular untuk Operasi
Lengan Bawah. Jurnal Anestesi Perioperatif, Vol 4(3) : 183-190
Djauzi, A., Sundaru, H., Mahdi, D. Sukmada, N. Alergi Obat. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi 6. Jakarta : Internal Publishing; 2017
Fitriyani, j., Alrastida, F. 2019. STEVENS JOHNSON SYNDROME. Jurnal
Averrous. Vol.5 (1)
FK UI. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Jakarta: Bagian Farmakologi FK
UI.
Ganda K. 2013. Dentist guide to medical conditions and complications. Iowa:
Wiley-Blackwell.
Gunawan, S., Rianto, S., Nafriadi, Instiaty. 2016. Farmakologi dan Terapi. Edisi
ke-6. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Handoko, Tony. 2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi 8. Jakarta: Gaya Baru FK
UI.
Handoko, Tony. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru FK UI.
Hardman, Joel G. &Limbird Lee E. 2015. Goodman& Gilman Dasar
Farmakologi Terapi Edisi 10. Jakarta : EGC.
Karen, J. M., et al. 2014. Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam. Singapore
: Saunder Elevasier.
Katzung, B.G. 2013. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Edisi 12. Jakarta: EGC.
Katzung, Bertran G., Masters, Susan B., Trevor, Anthony J. 2015. Farmakologi
Dasar & Klinik Edisi 12 . Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kakamu, T, Kikuchi, H, Mori, Y, Ono, Y, Shinohara, H, Watanabe, K.
2018. Expert-Performed Endotracheal Intubation-Related
Complications in Trauma Patients: Incidence, Possible Risk
Factors, and Outcomes in the Prehospital Setting and Emergency
Department. Emergency Medical Int.
Keag, O. 2018. Long-term risks and benefits associated with cesarean
delivery for mother, baby, and subsequent pregnancies:
Systematic review and meta-analysis. PloS.
Latief, S., A., Suryadi, K., A., Dachlan, M., R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
25
Longnecker, David E., David L.B., Mark F.N., Warren M.Z. 2009. Anesthesiology
Edisi 2. United States : The McGraw-Hill Company
Malamed, S.F. 2014. Handbook of Local Anesthesia 6th edition. St. Louis :
Elsevier.
Mangku, G. dan Senapathi, I.G.A. 2010 .Buku Ajar Ilmu Anastesi dan Reanimasi.
Jakarta : Indeks Jakarta.
Miller RD. 2010. Anesthesia for obstetrics. United Kingdom: Elsevier Churchill
LivingstonePemayun, I.G.A.G.P. and Sudisma, I.G.N., 2018. Anestesi Tetes
Infus Gravimetrik Ketapol sebagai Alternatif Bius Umum Secara
Inhalasi Guna Menjaga Status Teranestesi pada Babi. Jurnal Veteriner,Vol
19(1) : 126-136.
Oentari, W., Gaol, H., L., Rosani, S., Marcelena, R., lilihata, G., Wibisono, E.
dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran edisi VI. Jakarta: Media Aesculapius.
Sandall, J. 2018. Short-term and long-term effects of caesarean section on the
health of women and children. The Lancet. Vol 392 (10155): 1349 - 1357
Waller, D. G., et al. 2014. Medical Pharmacology and Therapeutics. UK: Elsevier
Windasari, P. 2015. Infomasi Dasar untuk Laboratorium Farmakologi. Jurnal
Farmakologi. 22(5): 203-208.
Latief, S., A., Suryadi, K., A., Dachlan, M., R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Miller RD. 2010. Anesthesia for obstetrics. United Kingdom: Elsevier Churchill
Livingstone
26