Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI KEDOKTERAN Commented [F1]: KONSISTEN

BLOK NEUROENDOKRIN DISORDER Commented [F2]: KONSISTEN

ANESTESI

Oleh:
Sahrul Zulham Z. N. G1A014060
Fiqrotul Umam G1A014108
Tyasti Fajri M. J. G1A017060
R. Alif Kuncorojati G1A017061
Alifa Jati Nurul Izza G1A017062
Muhammad Yahya Izzudin G1A017063
Sabrina Ayu S. W. G1A017064
Mahendra DD Luhur Pakarti G1A017065 Commented [F3]: Kalian Angkatan 2017 ya? Barut
ahu seharusnya sudah blok 5.3

Asisten :
Irse Priyaganda Bani Musa
G1A017061

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER UMUM
PURWOKERTO
Commented [F4]: Oh sekarang 2018 ya bukan 2019
2018 lagi? Time Traveller apa ?

1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI Commented [F5]: KONSISTEN

BLOK 3.3 NEUROENDOCRINE DISORDER Commented [F6]: KONSISTEN

ANESTESI

Kelompok 2

Sahrul Zulham Z. N. G1A014060


Fiqrotul Umam G1A014108
Tyasti Fajri M. J. G1A017060
R. Alif Kuncorojati G1A017061
Alifa Jati Nurul Izza G1A017062
Muhammad Yahya Izzudin G1A017063
Sabrina Ayu S. W. G1A017064
Mahendra DD Luhur Pakarti G1A017065 Commented [F7]: Benar2 Time Traveller ya kalian,
jadi Angkatan 2017 . Teorinya Albert Einstein dan
Stephen Hawking ternyata benar-benar ada.

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Farmakologi


Kedokteran Blok NeuroendocrineDisorder
Fakultas Kedokteran, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Diterima dan disahkan


Purwokerto, 27 Oktober 2019
Asisten,

Irse Priyaganda Bani Musa


G1A017061

2
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 5

III. METODE PRAKTIKUM 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17

V. PENUTUP 24

VI. DAFTAR PUSTAKA 25 Commented [F8]: REVISI SESUAI BUKU PANDUAN


SKRIPSI FK UNSOED

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum
Mekanisme kerja obat – obat anestesi
B. Waktu Praktikum
Waktu : Pukul 15.00 – 17.00 WIB
Hari : Sabtu, 26 Oktober 2019
C. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa mampu mengenali perbedaan anestesi umum dan anestesi lokal,
2. Mahasiswa mampu mengetahui cara kerja anestesi umum dan anestesi lokal,
3. Mahasiswa mampu mengetahui obat – obatan yang digunakan dalam anestesi
umum dan lokal beserta fungsinya,
4. Mahasiswa mampu mengenali cara – cara pemberian obat anestesi.
D. Manfaat Praktikum
1. Mahasiswa dapat membedakan anestesi umum dan anestesi lokal,
2. Mahasiswa mampu menjelaskan cara kerja dari anestesi umum dan anestesi lokal,
3. Mahasiswa dapat mengenali obat – obatan apa saja yang digunakan dalam
anestesi umum dan lokal serta kegunaan dari tiap – tiap obat,
4. Mahasiswa mengenali rute – rute pemberian obat anestesi. Commented [F9]: LATAR BELAKANG nya mana?

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anestesi Umum
1. Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum akan melewati beberapa tahapan dan tahapan tersebut
tergantung pada dosis yang digunakan. Tahapan teranestesi umum secara
ideal dimulai dari keadaan terjaga atau sadar kemudian terjadi kelemahan
dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon nyeri (analgesik), tidak bergerak
dan relaksasi (immobility), tidak sadar (unconsciousness), dan kematian
pada dosis berlebih (Miller, 2010).
Pengaruh obat anestesi menimbulkan efek trias anestesi, pasien akan
mengalami keadaan tidak sadar, reflek-reflek proteksi menghilang akibat
mati rasa dan kelumpuhan otot rangka termasuk otot perafasan. Di samping
pengaruh trias anestesi tersebut pasien juga menderita manipulasi bedah,
mulai dari derajat ringaan sampai berat. Sehigga pada keadaan demikian
pasien sangat memerlukan tindakan bantuan kehidupan selama prosedur
anestesi/diagnostik (Mangku, 2010).

Menurut Mangku (2010) General anestesi merupakan tindakan


meniadakan nyeri secara entral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
pulih kembali (reversible). General anestesi menyebabkan mati rasa karena
obat ini masuk ke jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi.
Selama masa induksi pemberian obat bius harus cukup untuk beredar
didalam darah dan tinggal didalam jaringan tubuh. Anestesi umum yang
baik dan ideal umumnya harus memenuhi kriteria trias anestesi (sedasi,
analgesi, dan relaksasi), penekanan refleks, ketidaksadaran, aman untuk
sistem vital (sirkulasi dan respirasi), mudah diaplikasikan, dan ekonomis.
Dengan demikian, tujuan utama dilakukan tindakan anestesi umum adalah
upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan penekanan
refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan prosedur
diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan hemodinamik, respiratorik,
dan metabolik yang dapat mengancam.

5
2. Mekanisme Kerja Anestesi Umum

Menurut Mangku (2010) anestesi umum menurut dapat dilakukan dengan 3


teknik, yaitu:

a. Anestesi umum intravena

Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan


dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam
pembuluh darah vena. induksi intravena paling banyak dikerjakan dan
digemari, apa lagi sudah terpasang jalur vena, karena prosesnya
cenderung berlangsung cepat. Induksi intravena hendaknya dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikan dengan kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang
koperatif.

b. Anestesi umum inhalasi

Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan


dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa
gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi. Beberapa teknik general anestesi inhalasi
antara lain :

1) Inhalasi sungkup muka

Inhalasi melalui sungkup muka dengan pola nafas spontan.


Komponen trias anestesi yang dipenuhinya adalah hipnotik,
analgetik dan relaksasi otot ringan. Dilakukan pada operasi kecil
dan sedang di daerah permukaan tubuh, berlangsung singkat dan
posisinya terlentang.

6
2) Inhalasi sungkup laring Laringeal Mask Airway (LMA)

Pemakaian salah satu kombinasi obat seperti tersebut diatas


secara inhalasi melalui sungkup laring Laringeal Mask Airway
(LMA) dengan pola nafas spontan. Komponen trias anestesia yang
dipenuhinya adalah : hipnotik, analgesia dan relaksasi otot ringan.
Dilakukan pada operasi kecil dan sedang di daerah permukaan
tubuh, berlangsung singkat dan posisinya terlentang.

3) Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas spontan

Pemakaian salah satu kombinasi obat seperti tersebut diatas


secara inhalasi melalui PET dengan pola nafas spontan. Komponen
trias anestesi yang dipenuhinya adalah hipnotik, analgetik dan
relaksasi otot (ringan).Dilakukan pada operasi di daerah kepala-
leher dengan posisi terlentang, berlangsung singkat dan tidak
memerlukan relaksasi otot yang maksimal.

4) Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas kendali

Pemakaian salah satu kombinasi obat seperti tersebut diatas


secara inhalasi melalui PET dan pemakaian obat pelumpuh otot
non depolarisasi, selanjutnya dilakukan nafas kendali. Komponen
trias anestesi yang dipenuhinya adalah hipnotik, analgetik dan
relaksasi otot. Teknik ini dilakukan pada operasi yang berlangsung
lama (> 1 jam), kraniotomi, torakotomi, laparatomi, operasi dengan
posisi lateral dan pronasi.

c. Anestesi imbang

Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat


– obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.

7
3. Stadium Anestesi Umum

Menurut Sardjana dan Kusumawati (2011), stadium anastesi umum


dibagi menjadi empat tingkatan.

Stadium I (stadium analgesia) yang dikenal juga sebagai stadium


eksitasi yang disadari atau disorientasi, stadium ini berlangsung antara saat
induksi dilakukan sampai hilangnya kesadaran hewan penderita. Pada
stadium ini pupil tidak melebar (midriasis) akibat terjadinya rangsangan
psikosensorik.

Stadium II dimulai dari hilangnya kesadaran, terjadi reaksi berlebihan


maupunrefleks yang tidak terkendali terhadap segala bentuk rangsangan,
refleks faring yang berhubungan dengan menelan dan muntah meningkat.
Pada stadium ini pupil mengalami midriasis akibat rangsangan simpatik
pada otot dilatator. Stadium I dan II adalah stadium menyulitkan ahli
anestesi karena bisa berbahaya bagi hewan penderita, oleh karena itu
diupayakan bisa melewati secepatnya untuk mencapai stadium III (Sardjana
dan Kusumawati, 2011).

Stadium III adalah stadium anestesi (stadium pembedahan), pupil


mengalami midriasis disebabkan pelepasan adrenalin. Stadium pembedahan
ini dilakukan bila pupil dalam posisi terfiksasi di tengah dan respirasi
teratur. Pada anestesi yang dalam pupil mengalami dilatasi maksimal akibat
paralisis saraf kranial III. Stadium pembedahan ini dibagi menjadi 4 plane.
Plane 1, ventilasi teratur bersifat torakoabdominal, pernafasan dada dan
perut seimbang, pernafasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata yang
tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya positif, lakrimasi
meningkat, refleks faring dan muntah negatif, tonus otot menurun,belum
tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.Plane 2, operasi kecil dapat
dilakukan pada tingkat ini. Pernafasan teratur tetapi kurang dalam
dibandingkan tingkat I, ventilasi teratur bersifat abdomino torakal, bola
mata tidak bergerak, pupil midriasis, refleks cahaya menurun dan refleks
kornea negatif, refleks laring negatif, relaksasi otot sedang, tonus otot

8
menurun,refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi. Semua
operasi dapat dilakukan pada tingkat ini. Plane 3, pernafasan perut lebih
nyata daripada pernafasan dada karena otot interkostal mulai mengalami
paralisis, pupil melebar, tonus otot makin menurun, relaksasi otot lurik
sempurna, refleks laring dan peritonium negatif. Semua operasi dapat
dilakukan pada tingkat ini. Plane 4, ventilasi tidak teratur, tonus otot
menurun, pernafasan perut sempurna karena kelumpuhan otot interkostal
sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks
cahaya hilang.

Stadium IV disebut stadium overdosis, hewan mengalami henti napas


dan henti jantung yang berakhir dengan kematian (Sardjana dan
Kusumawati, 2011)

4. Premedikasi

Pemberian premedikasi juga untuk mengurangi metabolisme basal


sehingga induksi dan pemeliharaan anestesi menjadi lebih mudah dan
memerlukan obat anestesi yang lebih sedikit dengan mengurangi dosis
anestesi, akan membuat hewan penderita sadar lebih cepat setelah operasi
selesai. Trauma pembedahan sering menyebabkan gerak refleks dari hewan
penderita sehingga pemberian analgetika dapat diberikan untuk menekan
refleks yang tidak diinginkan atau mencegah gerak tubuh yang tidak
disadari (Sardjana dan Kusumawati, 2011).

Pemilihan premedikasi dipertimbangkan sesuai dengan spesies, status fisik


pasien, derajat pengendalian, jenis operasi, dan kesulitan dalam pemberian
anestetikum. Premedikasi yang paling umum digunakan pada hewan adalah
atropin, acepromazin, xylazin, diazepam, midazolam, dan opioid atau narkotik.
Atropin digunakan untuk mengurangi salivasi, peristaltik, dan
mengurangibradikardia akibat anestesi. Xylazin, medetomidin, diazepam, dan
midazolam digunakan sebagai agen sedatif dan merelaksasi otot (Mangku, 2010).

9
B. Anestesi Lokal
1. Definisi Anestesi Lokal

Anestesi lokal adalah suatu upaya untuk menghilangkan berbagai


macam sensasi seperti rasa nyeri untuk sementara waktu yang terjadi pada
beberapa bagian tubuh tanpa diikuti dengan hilangnya kesadaran .Bahan
anestesi local yang digunakan dengan kadar yang cukup dapat
menghambat penghantaran impuls ke ujung saraf bebas dengan
menghasilkan blockade gerbang sodium yang akan menurunkan sensassi
rasa sakit pada sebagian tubuh tanpa merusak serabut atau sel saraf dan
sifatnya adalah reversible. Anestesi local bersifat ringan dan hanya
digunakan untuk tindakan yang memerlukan waktu singkat, karena efek
yang diberikan bahan anestetikum local hanya dapat bertahan selama
kurun waktu sekitar 30menit setelah diinjeksikan (Malamed,2014).
Anestesi lokal secara garis besar tersusun atas tiga gugus yaitu gugus
lipofilik, gugus hidrofilik, dan gugus perangkai atau gugus antara, yakni
gugus yang menyambungkan gugus lipofilik dan hidrofilik. Gugus
lipofilik biasanya suatu gugus aromatik sedangkan gugus hidrofilik
biasanya suatu gugus amino. Gugus perangkai berupa gugus ester atau
gugus amida. Gugus lipofilik adalah suatu struktur aromatik yang
mengandung cincin benzene sedangkan gugus hidrofilik tersusun atas
amin sekunder atau amin tersier. Gugus perangkai, gugus ester atau gugus
amida umunya bersifat polar. Kedua kelompok tersebut berbeda dalam
cara dimetabolismenya di dalam tubuh (Sumawinata, 2013).
Anestetikum local sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak
jaringan saraf secara permanen, harus efektif dengan pemberian injeksi
atau penggunaan setempat pada membrane mukosa dan memiliki
toksisitan sistemik yang rendah. Mula kerja bahan anestetikum local harus
sesingkat mungkin, sedangkan masa kerja harus cukup lama sehingga
operator memiliki waktu yang cukup untuk melakukan tindakan operasi,
tetapi tidak demikian lama sampai memperpanjang masa pemulihan. Zat
anestesi local juga harus mudah larut dalam air dan menghasilkan larutan

10
yang stabil, serta pemanasan bila disterilkan tanpa mengalami perubahan
(Malamed, 2014).

2. Indikasi dan Kontraindikasi


a. Indikasi
1) Tindakan pembedahan yang menyebabkan rasa nyeri (Pencabutan
gigi, bedah periodontal, dan kista)
2) Mengurangi rasa nyeri saat penetrasi jarum pada mukosa mulut.
3) Insisi abses.
4) Pasien yang sangat sensitive mencetak rahang.
5) Mengurangi nyeri pasca operasi (Mangku,2010).
b. Kontraindikasi
1) Adanya infeksi akut pada daerah operasi.
2) Penderita penyakit gangguan darah yang langka seperti hemophilia,
penyakit van wiliie brand menyebabkan pendarahan didaerah
injeksi.
3) Tempat inflamasi pada daerah tempat penyuntikan.
4) Keadaan lingkungan periodontal yang tidak memungkinkan
pemberian anestesi yang sepurna.
5) Anak dibawah umur yang belum mengerti akibat anestesi.
6) Penderita lemah saraf dan penakut.
7) Pasien yang tidak dapat membuka mulut yang lebar (fraktur tulang
rahang).
8) Pasien yang alergi terhadap bahan anestesi local.
9) Pasien dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
10) Pasien yang tidak kooperatoif (Mangku,2010)

3. Farmakokinetik
Kehadiran anestesi lokal dalam sistem peredaran darah membuktikan
bahwa obat ini disalurkan ke seluruh tubuh. Anestesi lokal mempunyai
kemampuan untuk mengubah fungsi beberapa sel. Pada hal ini anestesi

11
lokal dapat memblokir konduksi saraf di akson dari sistem saraf peripheral
(Malamed, 2014).
a. Absorbsi
Pada saat diinjeksikan ke jaringan lunak, anestesi lokal
menghasilkan reaksi farmakologi pada pembuluh darah. Semua jenis
anestesi lokal memiliki tingkatan reaksi yang berbeda, yang sering terjadi
yaitu vasodilatasi pembuluh darah ketika di deposit, dan beberapa juga
menimbulkan vasokontriksi. Reaksi yang timbul berpengaruh pada
konsentrasi yang diberikan. Efek signifikan dari vasodilatasi meningkat
ketika anestesi lokal sudah diserap oleh pembuluh darah, sehingga
menurunkan durasi dan kualitas dari rasa sakit, tetapi meningkatkan
konsentrasi anestesi lokal pada pembuluh darah dan potensi overdosis
(reaksi toksik). Tingkatan reaksi anestesi lokal yang diserap oleh
pembuluh darah dan mencapai level maksimum bervariasi sesuai dengan
cara pemberiannya (Malamed, 2014).
b. Distribusi
Setelah diserap ke pembuluh darah, anestesi lokal disalurkan ke
seluruh jaringan dalam tubuh. Organ yang sangat perfusi yaitu otak, hepar,
ginjal, paru-paru, limfe memiliki kadar anestesi yang paling tinggi
dibandingkan dengan organ yang kurang perfusi. Otot-otot skeletal
walaupun tidak berperfusi dengan tinggi, tetapi mengandung anestesi lokal
dengan persentasi yang tinggi dibandingkan organ atau jaringan lain
karena memiliki massa jaringan yang paling banyak di dalam tubuh.
Konsentrasi plasma dari anestesi lokal memiliki pengaruh pada organ
tertentu yang dapat menyebabkan potensi toksisitas (Malamed, 2014).
c. Metabolisme
Perbedaan yang signifikan antara dua jenis anestesi lokal yaitu ester
dan amida adalah mampu mengubah kerja anestesi lokal secara biologis
menjadi obat yang tidak berpengaruh secara farmakologi lagi.
Metabolisme (biotransformasi dan detoksifikasi) anestesi lokal sangat
penting karena secara keseluruhan toksisitasnya ditentukan oleh
keseimbangan antara laju penyerapannya ke dalam aliran darah dengan

12
laju pembuangannya dari pembuluh darah dan proses metabolism
(Malamed, 2014).
d. Ekskresi
Metabolit dan sisa yang tidak termetabolisme, baik dari golongan
amida maupun ester akan dieksresikan oleh ginjal. Sebagian kecil anestesi
dieskresikan dalam keadaan tidak mengalami perubahan. Senyawa anestesi
golongan ester biasanya jarang dijumpai pada urin karena golongan ini
hampir sempurna dimetabolisme di dalam darah; dalam urin, dijumpai
sebagai PABA, dan 2%nya tidak mengalami perubahan. Pada pasien
dengan penyakit ginjal terminal, baik senyawa induk maupun metabolitnya
akan terakumulasi. Oleh karena itu, penggunaan anestesi lokal, baik
golongan ester maupun golongan amida, merupakan kontraindikasi relatif
bagi pasien dengan penyakit ginjal yang signifikan, misalnya pasien yang
menjalani hemodialisis, glomerulonefritis kronis, atau pielonefritis (
Sumawinata, 2013).

4. Farmakodinamik
Ketika anestesi lokal mencapai saluran sodium saraf, menyebabkan
terganggunya aktifitas saraf dengan memblok konduksinya. Untuk
memaksimalkan blok konduksi saraf, saluran sodium saraf harus dalam
keadaan tidak aktif sebanyak 75%. Saluran sodium dapat aktif dan terbuka,
tidak aktif dan tertutup, istirahat dan tertutup selama berbagai aktifitas
potensial terjadi. Pada saat aktif dan terbuka, saluran sodium dapat
memperbanyak impuls. Anestesi lokal dapat mengikat saluran agar tetap
terbuka dan mengubah menjadi tidak aktif atau tertutup. Kecepatan
anestesi lokal membuka dan menutup saluran merupakan hasil kerja dari
agen spesifiknya. Agen intermedit (lidokain, mepivakain) memiliki waktu
kerja yang pendek dan agen bupivakain memiliki waktu kerja yang cepat (
Ganda, 2013).
Anestesi lokal juga dapat mengikat saluran sodium menjadi tidak
aktif, tetapi kekuatan mengikatnya lemah. Pada serabut saraf mielin,
pemblokiran saraf dapat terjadi pada nodus ranvier dengan menghalangi

13
sinyal propagasi yang menyebabkan terjadinya lompatan depolarisasi
antara nodus ranvier. Serabut mielin lebih peka terhadap blok konduksi
daripada serabut non-mielin karena memblok dua nodus dapat
meningkatkan kemungkinan kematian impuls, sementara memblok tiga
atau lebih nodus dapat menyebabkan kematian impuls yang lebih banyak.
Kematian impuls pada serabut saraf non-mielin meningkatkan
pemanjangan serat yang terlihat oleh agen anestesi lokal. Serat yang kecil
lebih 19 peka pada pemblokiran oleh anestesi lokal karena pada serabut
yang bermielin, ada jarak pendek antara nodus, sedangkan pada serabut
non-mielin saraf terlihat lebih panjang dan terpapar dengan serabut saraf
yang lebih besar (Ganda, 2013).
5. Efek Samping Obat
a. Eksitasi Sistem saraf pusat dan neurotoksisitas local
b. Kolaps kardiovaskular
c. Kejang
d. Hipertensi
e. Stroke ( Katzung, 2015)
6. Teknik Pemberian
Anestesi local dapat membantu dokter menjalin kerjasama yang
baik dengan pasien karena selain sebagai pereda nyeri, pasien masih dalam
keadaan sadar selama melakukan perawatan.
a. Anestesi Topikal
Teknik anestesi topikla dilakukan dengan mengaplikasikan sediaan
anestesi pada daerah membrane mukosa yang dapat dipenetrasi sehingga
mencapai ujung sara superfisial, teknik anestesi intraligamen dilakukan
dengan syringe khusus melalui jaringan periodontal gigi dan larutan
dideponirkan saraf pada ujung akar. Anestesi topical adalah obat bius lokal
yang digunakan untuk mematikan permukaan bagian tubuh saja. Semua
bahan anestesi local dapat menganastesi sedalam 2-3 mm dari permukaan
jaringan dan dapat memberikan efek anesteso selama 10 menit apabila
digunakan dengan tepat ( Malamed, 2013).
Contoh obat:

14
i. Kokain
ii. Dibukain
iii. Tetrakain
iv. Benzokain
v. Lidocaine
b. Anestesi Infiltrasi
Anestesi infiltrasi merupakan teknik yang paling umum untuk
anestesi local pada rahang atas. Teknik infiltrasi ini adalah teknik anestesi
yang relative mudah oleh karena itu memiliki tingkat keberhasilan yang
tinggi. Suntikan subperiosteal harus dihindari untuk pencabutan gigi lebih
dari satu, biopsy jaringan lunak, atau prosedur tindakan lainnya karena
jaringan periosteum dari tulang dapat menyebabkan pecahnya pembuluh
darah yang akan menyebabkan darah berpentrasi ke dalam tulang dan
dapat menyebabkan hematoma subperiostal serta nyeri pasca operasi yang
berkepanjangan. Suntikan subperioteal akan memberikan anestesi local
yang lebih baik ketika metide subperiostal tidak efektif (Malamed, 2013).
Contoh Obat :
i. Prokain
ii. Lidokain
iii. Bupivakain
iv. Mepivakain
v. Prilokain

15
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan

Alat: Bahan:
Beaker glass Lidokain
Kapas Eter
Sput tuberkulum Ketamin
aquades

B. Hewan Percobaan
Rattus navergicus

C. Cara Kerja

16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil dan Pembahasan
1. Hewan Uji Coba Kontrol
Hasil :
2 Menit ke- RR Motilitas Mata
1 Naik Tetap Normal
2 Normal Tetap Normal
3 Normal Tetap Normal
4 Normal Tetap Normal
5 Normal Tetap Normal

Pembahasan :
Pada hewan uji kelompok kontrol atau dengan pemberian aquades, tidak
didapatkan penurunan kesadaran maupun reaksi analgesik. Selama 10
menit setelah disuntikkan aquades, frekuensi pernafasan rata-rata normal
atau tidak mengalami peningkatan, motilitas normal, dan pergerakan
bola mata normal.

2. Hewan Uji Coba dengan Pemberian Lidokain


Hasil :

2 Menit Ke- RR Motilitas


1 36 Menurun
2 156 Menurun
3 120 Menurun
4 132 Tetap
5 120 Tetap

Pembahasan :
Setelah dilakukan penyuntikan lidokain dengan cara infiltrasi pada
daerah abdomen, terlihat pada hewan uji coba frekuensi pernafasan yang

17
relatif teratur dan motilitas yang menurun. Pada menit ke-7 sudah tidak
ada penurunan pergerakan. Pada menit pertama sudah dapat dilihat
hilangnya rasa sakit pada daerah lokasi penyuntikan. Ketika diberikan
rangsang nyeri, sebelum disuntikkan lidokain terdapat pergerakan
meronta pada hewan uji, namun setelah penyuntikan tidak ada
pergerakan meronta.
3. Hewan Uji Coba dengan Pemberian Ketamin
Hasil
2 Menit Gerakan Respiratory Rate Mata
ke-
1 Normal Normal Normal
2 Tidak Aktif Melemah Normal
3 Tidak Aktif Tetap Melemah Normal
4 Tidak Aktif Menurun Normal
5 Tidak Aktif Menurun Normal

Pembahasan
Ketamin merupakan obat anestetik umum yang diberikan
melalui injeksi intramuskular. Ketamin bekerja dengan menurunkan
aktivitas sistem saraf pusat. Ketamin mengalami metabolisme hepatik dan
diekskresikan melalui urin dan empedu. Obat ini memiliki volume
distribusi yang besar dan bersihan yang cepat, sangat cocok untuk infus
kontinu (Hardman, 2015).
Ketamin memiliki tiga sifat khas, yaitu analgesik, anestetik, dan
kataleptik. Setelah pemberian ketamin pasien akan mengalami
analgesiamendalam, tidak responsif terhadap perintah, amnesia,
menggerakkan otot tubuh tanpa sadar, dan bernapas spontan. Keadaan
khas yang akan dialami penderita setelah diberikan ketamin adalah
amnesia disosiatif(Hardman, 2015).
Pada percobaan, tikus coba terlihat mengalami ketiga sifat khas
dari ketamin. Dapat terlihat bahwa tikus mengalami hilang kesadaran yang

18
diikuti dengan gerak tidak sadar walaupun dengan mata terbuka. Tikus
coba juga mengalami hilang keseimbangan.

4. Hewan Uji Coba dengan Pemberian Eter


Hasil
2 Menit ke- Morbiditas Pernapasan Pupil
1 Diam Cepat dan Dilatasi
Spontan
2 - Cepat dan Dilatasi lebih
Spontan Lebar
3 - Teratur Dilatai hampir
maksimal
4 - Teratur Dilatasi hampir
maksimal
5 - Teratur Dilatasi
maksimal

Pembahasan
Pada 2 menit pertama, morbiditas diam, pernapasan cepat dan
spontan, dan pupil dilatasi. Pada 2 menit kedua, tidak terdapat morbiditas,
pernapasan cepat dan spontan, dan pupil dilatasi lebih lebar. Pada 2 menit
ketiga, tidak terdapat morbiditas, pernapasan teratur, dan pupil dilatasi lebih
lebar. Pada 2 menit keempat, tidak terdapat morbiditas, pernapasan teratur,
dan pupil dilatasi hampir maksimal. Pada 2 menit kelima, tidak terdapat
morbiditas, pernapasan teratur, dan pupil dilatasi maksimal.
Eter merupakan anestetik yang sangat kuat. Memiliki sifat analgesik
yang kuat sehingga sudah terjadi analgesia, tetapi pasien masih sadar. Eter
pada kadar tinggi dapat menimbulkan relaksasi otot. Eter menyebabkan iritasi
saluran napas dan merangsang sekresi kelenjar bronkus. Eter pun dapat
menyebabkan depresi napas (Gunawan et al., 2016).
Eter dapat menurunkan tekanan darah sistemik yang utamanya
disebabkan oleh vasodilatasi langsung dan depresi miokard. Efek lain yang

19
ditimbulkan adalah hilangnya dorongan untuk mempertahankan ventilasi,
hilangnya berbagai refleks saluran pernapasan. Depresi napas dapat timbul
oleh semua stadium selama anestesia inhalasi (Gunawan et al., 2016).
Eter menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit sehingga timbul
kemerahan terutama di daerah muka, pada anestesia yang lebih dalam kulit
menjadi lembek, pucat, dingin dan basah. Terhadap pembuluh darah ginjal,
eter menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan produksi urin secara
reversibel. Sedangkan pada pembuluh darah otak, eter menyebabkan
vasodilatasi. Eter menyebabkan mual dan muntah terutama pada waktu
pemulihan, tetapi dapat pula terjadi pada waklu induksi. Aktivitas saluran
cerna dihambat selama dan sesudah anestesia. Eter diabsorpsi dan diekskresi
melalui paru, sebagian kecil diekskresi juga melalui urin, air susu, keringat
dan difusi melalui kulit utuh (Katzung, 2013).
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, eter menyebabkan pupil
semakin dilatasi hingga maksimal dimana pupil dilatasi maksimal merupakan
stadium terakhir dalam penggunaan anestesi. Namun, pernapasan yang
ditimbulkan adalah pernapasan yang teratur padahal seharusnya
menyebabkan depresi napas jika didasari oleh teori di atas.
B. Aplikasi Klinis
1. Intubasi endotrakeal
Beberapa tindakan pembedahan membutuhkan anestesi
umum. Kerja dari anestesi umum akan menyebabkan relaksasi dari otot –
otot, termasuk otot pernapasan. Hal ini berarti diperlukan suatu teknik
untuk mempertahankan jalan napas dari pasien. Intubasi endotrakeal
merupakan suatu teknik memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam
saluran pernapasan bagian atas. (Thomas, 2014)
Pipa dalam intubasi endotrakeal berfungsi sebagai sarana
pembawa anestesi ke saluran pernapasan bagian atas. Pipa tersebut akan
membawa obat anestesi langsung ke saluran napas pasien. Pipa ini juga
dapat memfasilitasi oksigenasi dan ventilasi. Pipa berbentuk lengkung
dan mengikuti anatomi dari saluran pernapasan itu sendiri dan biasanya
terbuat dari bahan PVC (Polyvinylchlorida). Pada pipa biasanya terdapat

20
penanda yang berfungsi sebagai penanda dalam posisi pita suara.
(Kakamu et al, 2018)
Intubasi endotrakeal bertujuan untuk mempertahankan jalan
nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi,
mencegah terjadinya aspirasi lambung pada saat keadaan tidak sadar dan
membersihkan saluran trakeobronkial. (Thomas, 2014)
Tindakan dari intubasi dapat menyebabkan penekanan pada
nervus laryngeus recurrens dan nervus laryngeus superior. Hal ini dapat
menyebabkan suara serak pada pasien. Penekanan pada kedua nervus
tersebut juga dapat menyebabkan peningkatan rangsang simpatis pada
tubuh. Selain itu, tindakan intubasi endotrakeal juga dapat menyebabkan
efek samping lain yang diantaranya ialah disritmia, peningkatan tekanan
darah, spasme laring, spasme bronkus, hipoksia, hiperkarbia, peningkatan
tekanan intrakranial, peningkatan tekanan intraokuler, serta mual dan
muntah. (Kakamu et al, 2018)
2. Sectio caesarea
Sectio caesarea ialah suatu tindakan pembedahan yang
bertujuan untuk melahirkan bayi melalui insisi dari abdomen sang ibu.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya seperti anatomi
panggul ibu yang tidak memungkinkan untuk persalinan normal, pre
eklampsia ataupun kondisi gawat darurat lainnya. (Sandall, 2018)
Sectio caesarea sendiri dibagi menjadi 4 macam, yaitu Sectio
cesaria transperitonealis profunda, sectio caesaria klasik atau section
cecaria corporal, sectio caesaria ekstra peritoneal dan section cesaria
hysteroctomi. Pada sectio caesarea klasik, insisi longitudinal di garis
tengah dibuat dengan skapal ke dalam dinding anterior uterus dan
dilebarkan ke atas serta ke bawah dengan gunting berujung tumpul,
sedangkan pada sectio caesaria ekstraperitoneal, pembedahan
ekstraperitoneal dikerjakan untuk menghindari perlunya histerektomi
pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan mencegah
peritonitis generalisasi yang sering bersifat fatal. (Sandall, 2018)

21
Sebelum dilakukannya tindakan sectio caesarea, akan
diberikan anestesi terlebih dahulu pada sang ibu. Anestesi yang diberikan
dapat berupa anestesi umum ataupun anestesi regional. Namun, anestesi
umum lebih berpengaruh terhadap tingkat keselamatan sang bayi.
Anestesi umum dapat menyebabkan bayi mengalami apneu sehingga
dapat menyebabkan kematian. Selain itu, anestesi umum dapat
menyebabkan atonia uteri sehingga terjadi perdarahan yang banyak.
(Keag, 2018)
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi dari
tindakan sectio caesarea. Pada sang ibu, komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya ialah perdarahan, sepsis, serta cedera dan kurang kuatnya
parut pada dinding uterus. Pada sang bayi, komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya ialah hipoksia, depresi pernapasan, trauma persalinan serta
sindrom gawat pernapasan. (Keag, 2018)
3. Intubasi
Intubasi endokodral adalah teknik untuk menjaga jalan napas agar
pertukaran CO2 dan O2 antara udara bebas dengan sistem respirasi
berjalan baik. Metode yang sering digunakan adalah intubasi orotrakeal.
Dalam melakukan intubasiharus memperhatikan jenis pipa yang
digunakan benar pada tempat yang tepat. Indikasi utama melakukan
intubasi adalah 1) menjaga patensi jalan napas; dan 2) mempermudah
ventilasi posiif dan oksigenasi (Oentari dkk, 2014).
Pada pasien keadaan normal intubasi dilakukan dengan cara
intubasi elektif. Proses ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu persiapan,
oksigenasi, laringoskop, pemasangan pipa, posisi pipa, dan ventilasi.
Namun, pada pasien dalam keadaan gawat darurat intubasi dilakukan
dengan metode rapid sequence intubation. Perbedaan metode ini dengan
intubasi biasa adalah pasien belum dipuasakan sebelumnya dan juga
penggunaan obat yang berbeda. Pada RSI obat yang digunakan
merupakan obat-obat dengan awita cepat seperti propofol, sodium
thiopental, dan etomidat karena pada RSI membutuhkan induksi atau
hilangnya kesadaran dengan cepat ( Latief dkk, 2009).

22
4. Seksio Caesarea
Seksio Caesarea (SC) merupakan upaya persalinan dengan jalur
lahir melalui insisi pada dinding perut dan rahim. Indikasi melakukan SC
adalah panggul ibu sempit absolute, tumor jalan lahir, stenosis serviks,
plasenta pervia, kelainan letak fetus, gawat janin, bayi besar, dan
hidrosefalus. SC memiliki beberapa jenis, yaitu SC trans peritoneal
profunda, klasik, dan ekstrapeitoneal (Oentari dkk, 2014).
Sebelum melakukan SC pasein terlebih dahulu mendapat
medikasi pre-anestesi dengan obat seperti ondansentron dan ranitidin. Di
ruang operasi pasien di pasang monitor tanda vital serta diberikan
preloading dengan larutan kristaloid rnger laktat selama 15 menit
sebelum dilakukan anestesi (Arif dan Setiawan, 2015)
Anestesi yang diberikan melalu metode anestesi spinal. Anestesi
ini menggunakan jarum spinal yang di insersi pada celah vertebrata
lumbal 3-4 menggunakan jarum disposable dengan posisi pasien left
lateral decubitus. Contoh obat yang dapat di gunakan pada Anestesi ini
adalh bupivakain hiperbarik. Salah satu komplikasi dari anestesi spinal
ini dapa menyebabakan menggigil yang membuat pasien tidak nyaman
dan membahayakan pasien. Untuk terapa menggigil pada SC akibat
anestesi spinal dapat di berikan meperidin, ketain, dan klonidin
(Budiono, 2015) Commented [F10]: Bedanya dengan no 1 dan 2 apa?
Sama-sama ETI dan SC. Kurang 1 Aplikasi Klinisnya

23
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara umum anestesi terbagi menjad anestesi lokal dan umum. Anestesi
umum dan lokal dibedakan berdasarkan tempat kerja dan efeknya.
Anestesi umum bekerja langsung pada SSP dan dapat menurunkan
kesadaran. Anestesi lokal bekerja pada SST dan hanya menyebabkan
paralisis motorik. Anastesi umum juga terbagi lagi menjadi anestesi
inhalasi dan intravena.
2. Pembedahan dengan anestesi lokal merupakan pasien tetap sadar selama
proses pembedahan dilakukan, bius yang diterima bersifat lokal. Cara
pemberiannya diantaranya anestesia topikal, anestesia infiltrasi, anestesia
blok, anestesiafield blok, dan anestesiaintravaskular, Bronkospasme, Day
Surgery (Bedah Rawat Jalan), Persalinan, Postoperative Nausea and
Vomiting (PONV), Persalinan. Commented [F11]: Barut tahu ad acara pemberian
obat seperti ini…

24
DAFTAR PUSTAKA

Arif, S., K., Setiawan, I. 2015. Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk
dan 0,2 ml/dtk Prosedur Anestesi Spinal terhadap Kejadiann Hipotensi pada
Seksio Sesaria. Jurnal Anestiologi Indonesia. Vol (7) no (2) hal:79-88.
Berman, Audrey, et.al. 2012. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier &
Erb.Edisi 5. Jakarta: EGC.
Budiono, U. 2015. Meperidin, Ketamin, dan Klonidin Efektif untuk Terapi
Menggigil pada Sectio Secaria dengan Anestesi Spinal. Jurnal Anestesiologi
Indonesia.Vol ( 7) no (2) hal:120-132.
Destiara, A.P., Yadi, D.F. and Kadarsah, R.K., 2016. Perbandingan Waktu Awitan
dan Lama Kerja Kombinasi Bupivakain 0, 5% dan Lidokain 2%
dengan Bupivakain 0,5% pada Blokade Infraklavikular untuk Operasi
Lengan Bawah. Jurnal Anestesi Perioperatif, Vol 4(3) : 183-190
Djauzi, A., Sundaru, H., Mahdi, D. Sukmada, N. Alergi Obat. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi 6. Jakarta : Internal Publishing; 2017
Fitriyani, j., Alrastida, F. 2019. STEVENS JOHNSON SYNDROME. Jurnal
Averrous. Vol.5 (1)
FK UI. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Jakarta: Bagian Farmakologi FK
UI.
Ganda K. 2013. Dentist guide to medical conditions and complications. Iowa:
Wiley-Blackwell.
Gunawan, S., Rianto, S., Nafriadi, Instiaty. 2016. Farmakologi dan Terapi. Edisi
ke-6. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Handoko, Tony. 2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi 8. Jakarta: Gaya Baru FK
UI.
Handoko, Tony. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru FK UI.
Hardman, Joel G. &Limbird Lee E. 2015. Goodman& Gilman Dasar
Farmakologi Terapi Edisi 10. Jakarta : EGC.
Karen, J. M., et al. 2014. Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam. Singapore
: Saunder Elevasier.
Katzung, B.G. 2013. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Edisi 12. Jakarta: EGC.
Katzung, Bertran G., Masters, Susan B., Trevor, Anthony J. 2015. Farmakologi
Dasar & Klinik Edisi 12 . Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kakamu, T, Kikuchi, H, Mori, Y, Ono, Y, Shinohara, H, Watanabe, K.
2018. Expert-Performed Endotracheal Intubation-Related
Complications in Trauma Patients: Incidence, Possible Risk
Factors, and Outcomes in the Prehospital Setting and Emergency
Department. Emergency Medical Int.
Keag, O. 2018. Long-term risks and benefits associated with cesarean
delivery for mother, baby, and subsequent pregnancies:
Systematic review and meta-analysis. PloS.

Latief, S., A., Suryadi, K., A., Dachlan, M., R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

25
Longnecker, David E., David L.B., Mark F.N., Warren M.Z. 2009. Anesthesiology
Edisi 2. United States : The McGraw-Hill Company
Malamed, S.F. 2014. Handbook of Local Anesthesia 6th edition. St. Louis :
Elsevier.
Mangku, G. dan Senapathi, I.G.A. 2010 .Buku Ajar Ilmu Anastesi dan Reanimasi.
Jakarta : Indeks Jakarta.

Miller RD. 2010. Anesthesia for obstetrics. United Kingdom: Elsevier Churchill
LivingstonePemayun, I.G.A.G.P. and Sudisma, I.G.N., 2018. Anestesi Tetes
Infus Gravimetrik Ketapol sebagai Alternatif Bius Umum Secara
Inhalasi Guna Menjaga Status Teranestesi pada Babi. Jurnal Veteriner,Vol
19(1) : 126-136.

Oentari, W., Gaol, H., L., Rosani, S., Marcelena, R., lilihata, G., Wibisono, E.
dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran edisi VI. Jakarta: Media Aesculapius.
Sandall, J. 2018. Short-term and long-term effects of caesarean section on the
health of women and children. The Lancet. Vol 392 (10155): 1349 - 1357

Sarjana, I.K.W., Kusumawati, D. 2011. Anestesi Veteran.Yogyakarta: Universitas


Gajah Mada

Simanjuntak, V.E., Oktaliansah, E. and Redjeki, I.S., 2013. Perbandingan Waktu


Induksi, Perubahan Tekanan Darah, dan Pulih Sadar antara Total
Intravenous Anesthesia Profopol Target Controlled Infusion dan Manual
Controlled Infusion. Jurnal Anestesi Perioperatif, Vol 1(3) : 158-166.
Sularsito SA, Suria D. Stevens-johnson syndrome. Dalam: Djuanda A, editor.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2013
Sumawinata N. 2013.Anestesia lokal dalam perawatan konservasi gigi. Jakarta:
EGC.
Thomas, E. 2014. Tracheal intubation. Anaesthesia and Intensive Care
Medicine

Waller, D. G., et al. 2014. Medical Pharmacology and Therapeutics. UK: Elsevier
Windasari, P. 2015. Infomasi Dasar untuk Laboratorium Farmakologi. Jurnal
Farmakologi. 22(5): 203-208.

Latief, S., A., Suryadi, K., A., Dachlan, M., R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

Miller RD. 2010. Anesthesia for obstetrics. United Kingdom: Elsevier Churchill
Livingstone

Sarjana, I.K.W., Kusumawati, D. 2011. Anestesi Veteran.Yogyakarta: Universitas


Gajah Mada

26

Anda mungkin juga menyukai