Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Disfungsi ereksi (DE) yang lebih dikenal dengan impoten oleh masyarakat

merupakan masalah kesehatan umum yang banyak dialami pria seiring dengan

bertambahnya usia, yaitu suatu ketidakmampuan untuk mencapai ereksi yang

cukup untuk melakukan senggama bersama pasangannya (Kim, 2018). Walaupun

disfungsi ereksi merupakan gangguan yang tidak membahayakan, hal ini

berhubungan dengan kesehatan fisik dan psikososial, dan mempunyai efek

signifikan terhadap kualitas hidup penderita, pasangan dan keluarga

(Hatzimouratidis et al., 2010). Secara garis besar, disfungsi ereksi dapat

diklasifikasikan menjadi disfungsi ereksi yang disebabkan oleh psikogenik,

organik, penyalahgunaan obat-obatan dan juga dapat disebabkan oleh pasca

tindakan bedah (Stephanie et al., 2013).

Prevalensi dan insideni disfungsi ereksi meningkat pada usia diatas 40 tahun.

Data menunjukkan tingkat kejadian disfungsi ereksi di Asia adalah 7-15% untuk

usia 40-49 tahun dan 39-49% untuk usia 60-70 tahun (Mills et al, 2012). Untuk

data prevalensi disfungsi ereksi di Indonesia belum diketahui secara pasti,

diperkirakan 16% laki-laki usia 20-75 tahun mengalami disfungsi ereksi (Mulhall,

2008).
Berdasarkan hasil penelitian dari Cologne Male Survey oleh Braun,dkk benign

prostat hyperplasia (BPH) merupakan salah satu faktor resiko terjadinya disfungsi

ereksi (Sidney and Felipe, 2013). Selain BPH penyakit seperti hiperlipidemia,

hipertensi, diabetes serta kebiasaan mengkonsumsi rokok juga merupakan faktor

resiko terjadinya disfungsi ereksi (Nugroho et al., 2012).

Benign prostat hyperplasia (BPH) juga merupakan gangguan yang paling sering

dialami pria yang semakin meningkat pada usia diatas empat puluh tahun. Berupa

pembesaran dari kelenjar prostat yang dapat menggangu proses bekemih (Sidney

and Felipe, 2013). Pasien BPH biasanya mengeluhkan ketidakpuasan dengan

fungsi saluran kencing mereka. Umumnya gejalanya seperti merasa penuh pada

kandung kemih (filling), sering buang air kecil di malam hari (nokturia), mengeluh

pada pengosongan kandung kemih (emptying), dan mengeluh bahwa ketika

mengeluarkan urin saat berkemih harus dengan lebih kuat dari biasanya (force and

flow of the urinary stream). Meskipun BPH bukanlah penyakit yang mengancam

jiwa, namun secara serius dapat mempengaruhi kualitas hidup (MK,Li et al., 2015)

Tahun 2013 BPH menjadi penyakit urutan kedua terbanyak di Indonesia setelah

penyakit batu saluran kemih yakni kurang lebih 13 juta penderita, maka dapat

secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 0,8 juta pria atau 2,5% menderita

penyakit BPH (Riset Kesehatan Dasar, 2013).

Hasil studi analisis pada 198 artikel yang relevan oleh Glina juga menyatakan

bahwa terdapat data yang kuat yang menunjukkan BPH merupakan faktor resiko
terjadinya disfungsi ereksi. (Sidney and Felipe, 2013). Berupa adanya peningkatan

tonus adrenergik akan memicu pertumbuhan pada prostat yang lama kelamaan akan

menimbulkan penyumbatan pada kandung kemih sehingga dapat menyebabkan

gangguan berkemih serta pembesaran prostat yang lama kelamaan menggangu

pembentukan prostaglandin yang dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi

ereksi (Purnomo, 2011).

Hasil data penelitian “The Multinational Survey of the aging Male (MSAM-7)”

mengatakan bahwa terdapat korelasi yang kuat dan konsisten antara BPH dan

disfungsi ereksi. Sehinga orang yang mengalami BPH dianjurkan untuk melakukan

evaluasi tentang masalah fungsi ereksi nya dan sebaliknya (Mauro et al., 2011).

Disusul dengan hasil penelitian Nugroho Budi Utomo, dkk di RS Cipto

Mangunkusumo yang dilakukan pada 100 subjek pasien BPH didapatkan delapan

persen tidak memiliki libido, 17% tidak bersenggama, 45% sulit mencapai ereksi,

55% sulit mempertahankan ereksi, 33% tidak mencapai orgasme, 26% tidak

mengalami ejakulasi, dan 41% menyatakan tidak puas dalam berhubungan seksual

(Nugroho et al., 2012).

Untuk menentukan derajat berat ringannya BPH, maka dibuatlah suatu skoring,

salah satunya skoring International Prostate Symptoms Score (IPSS) yang diambil

dari “American Urological Association (AUA)” (Matthew, 2005). Untuk

membantu mengidentifikasi kemungkinan adanya disfungsi ereksi digunakan suatu

indeks fungsi ereksi yang dikenal dengan International Index of Erectile Function-
5 (IIEF-5). (Purnomo, 2011). Selain skor IPSS dan IIEF-5, indeks kualitas hidup

Quality Of Life (QOL) merupakan komponen penilaian yang juga penting untuk

menilai efek keseluruhan klinis dari pasien BPH. Satu pertanyaan pada skor

kualitas hidup yang telah dimasukkan oleh Komite Konsensus Internasional

berguna untuk menilai dampak gejala penyakit BPH pada kualitas hidup pasien

BPH (Alan and David, 2007).

Berdasarkan penyakit diatas, sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian

tentang gambaran disfungsi ereksi pada pasien BLUD Rumah Sakit Umum Cut

Meutia Kabupaten Aceh Utara dan mengingat besarnya pervalensi BPH serta

terdapat hubungan yang kuat dan konsisten antara BPH dan disfungsi ereksi,

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait penyakit tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian ringkas dalam latar belakang masalah diatas, yang menjadi

rumusan masalah adalah bagaimana Gambaran disfungsi ereksi pada penderita

Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) di BLUD Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Kabupaten Aceh Utara Tahun 2018.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran BPH berdasarkan klasifikasi disfungsi ereksi di

BLUD Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun

2017 – 2018.
2. Bagaimana gambaran disfungsi ereksi berdasarkan derajat BPH di

BLUD Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun

2017 – 2018.

3. Bagaimana gambaran disfungsi ereksi dengan BPH berdasarkan usia,

riwayat penyakit terdahulu, serta kebiasaan mengkonsumsi rokok di

BLUD Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun

2017 – 2018.

1.4 Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui Gambaran difungsi ereksi pada penderita Benigna Prostate

Hiperplasia (BPH).

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran BPH berdasarkan klasifikasi disfungsi ereksi.

2. Mengetahui gambaran disfungsi ereksi berdasarkan derajat BPH.

3. Mengetahui gambaran disfungsi ereksi dengan BPH berdasarkan usia,

riwayat penyakit terdahulu, serta kebiasaan mengkonsumsi rokok.

1.5 Manfaat Penlitan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat


1. Bagi Bidang Penelitian, dengan adanya penelitian ini penulis berharahap

hasil penelitian dapat digunakan sebagai data dasar tentang gambaran

disfungsi ereksi pada penderita Benigna Prostate Hiperplasia (BPH).

2. Bagi Peneliti, dengan adanya penelitian ini bermanfaat dalam memperluas

wawasan mengenai gambaran disfungsi ereksi pada penderita Benigna

Prostate Hiperplasia (BPH).

3. Bagi Institusi Kesehatan, dengan adanya penelitian ini dapat memberi

masukan dalam gambaran disfungsi ereksi pada penderita Benigna Prostate

Hiperplasia (BPH).

4. Bagi Institusi Pendidikan, hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan

penelitian lebih lanjut, dan dapat menambah koleksi kepustakaan di

perpustakaan Universitas Malikulsaleh Lhokseumawe.

5. Bagi Ilmu Pengetahuan, untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan dan

data dasar bagian ilmu pengetahuan bagi semua umat.


2.1.3. Anatomi Alat Reproduksi Pria

1. Penis

(Gambar 2.1 Anatomi penis)

Penis adalah alat kelamin jantan. Penis merupakan organ eksternal, karena

berada di luar ruang tubuh. Pada manusia, penis terdiri atas tiga bangunan silinder

berisi jaringan spons. Dua rongga yang terletak di bagian atas berupa jaringan spons

korpus kavernosa. Satu rongga lagi berada di bagian bawah yang berupa jaringan spons

korpus spongiosum yang membungkus uretra. Ujung penis disebut dengan glans penis.

Uretra pada penis dikelilingi oleh jaringan erektil yang rongga-rongganya banyak

mengandung pembuluh darah dan ujung-ujung saraf perasa. Bila ada suatu rangsangan,

rongga tersebut akan ter isi penuh oleh darah sehingga penis menjadi tegang dan

mengembang (ereksi)(Setiadi, 2007).


Fungsi penis secara biologi adalah sebagai alat pembuangan sisa metabolisme

berwujud cairan (urinasi dan sebagai alat bantu reproduksi) (Wylie and Linda, 2011).

2. Skrotum

(Gambar 2.2 Anatomi skrotum)

Skrotum adalah kantung (terdiri atas kulit dan otot) yang membungkus testis

atau buah zakar. Skrotum terletak di antara penis dan anus serta di depan perineum.

Skrotum berjumlah sepasang, yaitu skrotum kanan dan skrotum kiri. Diantara skrotum

kanan dan skrotum kiridibatasi oleh sekat yang berupa jaringan ikat dan otot polos (otot

dartos). Otot dartos berfungsi untuk menggerakan skrotum sehinggadapat mengerut

dan mengendur. Di dalam skrotum juga tedapat serat-serat ototyang berasal dari

penerusan otot lurik dinding perut yang disebut otot kremaster. Pada skrotum manusia
dan beberapa mamalia bisa terdapat rambut pubis. Rambut pubis mulai tumbuh sejak

masa pubertas (Setiadi, 2007).

Fungsi utama skrotum adalah untuk memberikan kepada testis suatu

lingkungan yang memiliki suhu 1-8°C lebih dingin dibandingkan temperatur

rongga tubuh. Fungsi ini dapat terlaksana disebabkan adanya pengaturan oleh

sistem otot rangka yang menarik testis mendekati dinding tubuh untuk memanasi

testis atau membiarkan testis menjauhi dinding tubuh agar lebih dingin. Pada

manusia, suhu testis sekitar 34°C. Pengaturan suhu dilakukan dengan mengeratkan

atau melonggarkan skrotum, sehingga testis dapat bergerak mendekat atau

menjauhi tubuh. Testis akan diangkat mendekati tubuh pada suhu dingin dan

bergerak menjauh pada suhu panas (Wylie and Linda, 2011)

Anda mungkin juga menyukai