Timah
A. Tahap Konsentrasi
yakni pemisahan bijih timah dengan kadar Sn 20-30% dari mineral lainnya. Selain
itu dilakukan pula peningkatan kadar timah menjadi sekitar 72-74%. Kadar timah
yang tinggi merupakan syarat utama proses peleburan untuk mendapatkan logam
timah yang berkualitas tinggi (PT. Timah, 2016).
Dalam operasinya, PT. Timah menggunakan kapal keruk berjenis Bucket Line Dredges
dengan ukuran mangkuk 7-24 cuft, yang dapat beroperasi dari 15 hingga 50 meter di bawah
permukaan laut. Selain itu, PT. Timah juga menggunakan Kapal Isap Produksi (KIP) untuk
meningkatkan produktivitas penambangan lepas pantai. KIP memiliki kemampuan gali
hingga mencapai 25 meter di bawah permukaan laut, dan juga mampu menjangkau cadangan
sisa dari kapal keruk. Dimasa yang akan datang, PT. Timah akan mengembangkan kapal
keruk berjenis Bucket Wheel Dredges dengan kemampuan yang lebih dalam hingga mencapai
70 meter kubik di bawah permukaan laut (PT. Timah, 2016). Selain perusahaan besar,
masyarakat sekitar juga sering melakukan penambangan timah melalui tambang semprot
menggunakan peralatan yang sederhana yakni sekop, saringan dan dulang (Suprapto, 2009).
Sebagian besar pengolahan bijih timah menjadi logam timah terbagi menjadi tiga tahapan
proses. Pertama, tahap konsentrasi yakni pemisahan bijih timah dengan kadar Sn 20-30% dari
mineral lainnya. Selain itu dilakukan pula peningkatan kadar timah menjadi sekitar 72-74%.
Kadar timah yang tinggi merupakan syarat utama proses peleburan untuk mendapatkan
logam timah yang berkualitas tinggi (PT. Timah, 2016).
Proses selanjutnya adalah proses peleburan atau smelting. Proses peleburan merupakan
proses reduksi konsentrat bijih timah dengan suhu yang tinggi. Proses dilakukan menjadi 2
tahap, tahapan pertama peleburan konsentrat bijih timah yang akan menghasilkan timah kasar
atau crude tin dan terak 1 atau slag. Pada peleburan pertama, slag akan mengikat mineral
pengotor lain pada konsentrat. Sebagian besar pengotor lain berasal dari unsur Fe. Pada
peleburan tahap kedua, slag akan kembali direduksi sehingga menghasilkan senyawa SnFe
atau yang disebut dengan hardheard. Hardheard ini merupakan bahan baku untuk peleburan
tahap pertama.10
Proses peleburan yang baik akan menghasilkan crude tin dengan kadar Sn yang tinggi dan
komponen pengotor (impurities) berupa mineral lain seperti As, Pb, Ag, Fe, Cu dan Sb yang
rendah. Tahapan terakhir adalah tahap pemurnian atau refining. Pada tahap ini crude tin dari
hasil peleburan pertama akan dimurnikan melalui kettle refining, eutectic refining dan
electrolytic refining. Proses pemurnian akan menghasilkan logam timah dengan kadar Sn
yang mampu mencapai 99,93%.
Produk akhir yang dihasilkan berupa logam timah dalam bentuk balok atau batangan dengan
skala berat berkisar antara 16 kg sampai dengan 30 kg per batang. Selain itu logam timah
juga dapat dibentuk sesuai dengan permintaan pelanggan (customize form) dan mempunyai
merek dagang yang terdaftar di Bursa Logam London (LME). Produk PT. Timah sebagian
besar di ekspor (95%) dan sisanya untuk pangsa pasar domestik (5%) (Kementerian ESDM,
2013).
Proses pengolahan timah khususnya pada proses penambangan menuai pro dan kontra.
Walaupun merupakan penopang ekonomi utama Pulau Bangka, namun penambangan timah
saat ini juga banyak menimbulkan kerugian secara sosial dan lingkungan. Penambangan
timah darat seringkali mengambil lahan hutan sebagai lahan penambangan, sehingga tidak
menjaga kelestarian hutan. Selain itu, lahan bekas penambangan timah darat juga tidak lagi
dapat digunakan untuk menanam pohon karena sudah tandus dan rawan erosi, sehingga kerap
merusak lingkungan. Penambangan timah darat juga menimbulkan dampak sosial yakni
kondisi tempat kerja yang tidak aman dan eksploitasi buruh di bawah umur. Bukan hanya
penambangan timah darat, penambangan lepas pantai juga menimbulkan dampak negatif.
Penambangan menggunakan kapal keruk dan kapal isap produksi kerap merusak terumbu
karang, sehingga mengganggu ekosistem laut. Selain itu, penggunaan kapal tersebut juga
akan mematikan usaha nelayan sekitar karena penggunaan kedua kapal tersebut menimbulkan
laut yang kotor dan keruh, sehingga mengurangi potensi ikan dan produk laut lainnya di
wilayah penambangan tersebut. Penggunaan kapal keruk dan kapal isap produksi dalam
penambangan timah akan memaksa nelayan untuk berlayar lebih jauh untuk mencari ikan,
sebagai akibatnya biaya operasional nelayan menjadi lebih mahal karena pelayaran yang jauh
akan memakan bahan bakar yang lebih banyak.
kecil dengan kedalaman mencapai 40 m),
overburden
(timbunan liat hasil
galian), dan hamparan
taling
yang
berupa rawa atau lahan kering (Sujitno 2007).
Tailing
merupakan bahan dengan komponen utama berupa
fraksi pasir bercampur kerikil, dan sejalan dengan
waktu timbunan tailing ini akan membentuk hamparan
tailing
(Latifah, 2
000). Menurut Majid
et al
. (1994)
tailing
timah adalah hamparan sisa pencucian bahan
galian timah pada tambang aluvial.
Gambar 1 Lokasi lahan bekas penambangan timah di
selatan Gunung Mangkol Kabupaten
Bangka Tengah (Dokume
n Sub Dinas
Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
2004)
Sebagian besar biji timah ditemukan pada
deposit alluvial dan operasi penambangan dilakukan
dengan dua metode yang menggunakan air untuk
memisahkan timah sec
ara mekanis dari tanah yang
mengandung timah. Hal ini menyebabkan tanah
menjadi terbagi dua, yaitu pasir (
sand
) dan lumpur
(
slime)
, karena itu tailing sisa penambangan
dikategorikan menjadi
sand tailing
dan
slime tailing
(Tanpibal dan Sahunalu, 1989).
S
and tailing
bertekstur sangat kasar dan memperlihatkan tidak
adanya perkembangan profil dan agregasi
)Gambar 2ª)
.
Slime tailing
terutama terdiri dari mineral dan tanah
yang sangat halus (
silt
dan
clay
), serta memiliki
struktur lempeng (Gambar 2b).
Sifat
Fisik.
Karakteristik fisik lahan bekas
tambang timah, terutama
tailing
telah banyak
dilaporkan oleh peneliti. Hasil analisis
tailing
di lahan
bekas tambang timah PT. Koba Tin di Bemban
Kabupaten Bangka Tengah menunjukkan kandungan
fraksi pasir sangat ti
nggi (88
-
96%) (Pusat Penelitian
Bioteknologi Hutan dan Lingkungan IPB 2002). Santi
(2005) melaporkan,
sand
tailing timah Kedangkal IV
PT. Koba Tin Kabupaten Bangka Tengah memiliki
fraksi pasir 90,94%, sementara liat 7,06% dan debu
2,00%. Hanura (2005) ju
ga melaporkan sandy tailing
timah di lahan reklamasi TB 1.9. PT. Timah Desa
Riding Panjang Kabupaten Bangka fraks
reklamasi gundukan