Anda di halaman 1dari 55

SUMATRA DAN VOC

Palembang dan Jambi


Pada pertengahan abad ke-17 negara utama di nusantara bagian barat adalah Johor
negara Malaysia pengganti Malaka, Palembang dan Jambi di Sumatra Selatan , dan basis VOC di
Batavia di Jawa Bagian Barat. Pada tahun 1641, VOC merebut Malaka dan Portugis dan
mengusir di basis sebelah Timur Selat Malaka.
Palembang dan Jambi adalah esportir Lada. Sejak abad ke-17, kebutuhan lada untuk Cina
dan Eropa cukup besar. Namun pasar lada ini mengalami penurunan drastis sejak tahun 1640
karena perluasan penanaman sehingga harga lada jatuh pada akhir abad ke-17 dan ke-18.
Meskipun pada tahun 1642, VOC mempunyai hak monopoli perdagangan lada dari Palembang.
VOC menawarkan perlindungan politik dan militer kepada raja Palembang dan raja lokal lainnya
yang mau tunduk pada VOC dengan imbalan akses menguntungkan pada produk lokal. Hal ini
dilakukan karena VOC tidak mempunyai produk yang ditawarkan untuk memenuhi kesepakatan
dagang. Pertukaran perdagangan nusantara dengan imbalan politik VOC.
Palembang selain membuat perjanjian dengan VOC, dia juga melakukan traktat dengan
Portugis dengan mengijinkan berdagang di sana, namun pamor perdagangan Portugis menurun.
Posisi Cina cukup strategis karena sebagai makelar dalam dalam perdagangan lada di Palembang
antara pedagang VOC dan Inggris.
Pada tahun 1655, VOC menerapkan traktat di Palembang dengan menghentikan kapal
pedagang lain dan menyita kargo lada mereka. Blokade ini mendapat perlawanan yang sengit.
Pertikaian raja lokal juga mendorong masuknya VOC dalam konflik tersebut. Ketika Jambi
dan Palembang konflik, jambi didukung oleh VOC. Kedua negara ini sebelumnya telah menjadi
vasal Mataram. Kedua pemimpin ini pernah berkunjung ke Mataram secara pribadi pada tahun
1650-an. Tetapi pada masa Amangkurat I, Palembang dan Jambi lepas dari Mataram. Jambi
beralih ke VOC. Perselisihan antara Palembang dan Jambi soal lada membuat prajurit Makasar
ikut-ikutan dalam perselisihan tersebut.
Penguasaan VOC terhadap Malaka tidak membuat Malaka makin makmur karena VOC
lebih memperhatikan Batavia. Para pedagang Cina dan India yang berdagang di Malaka justru
diarahkan ke Batavia. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Johor dengan menggiatkan perdagangannya
di Riau. Pada tahun 1687 banyak pedagang asing di Johor seperti Siam, Cina, Aceh, Perak,
Kedah, Portugis, Inggris, dan liannya. VOC tidak mampu berbuat banyak, tapi Jambi pada tahun
1673 menyerang dari Malaka dan menguasai Riau. Jambi dibebani ekspansi lada karena
kekayaan mengalir bukan ke tangan penguasa. Di sisi lain Palembang mengalami kemakmuran
pada abad ke-17.
Di Palembang kehadiran VOC, seringkali mengudang kebencian terutama berkaitan
dengan pengendalian impor pakaian dan melarang penjualan lada di luar wilayah yang menjadi
kesepakatan monopoli. Raja Palembang, Abdul Rahman menjaga hubungan baik dengan VOC.
VOC memperoleh lada Palembang lebih dari setengah produk lada. Abdul Rahman ikut pula
berpartisipasi dalam perdagangan liar lada yang menjadi sumber kekayaan utama dia.
Penyebaran lada pesat karena adanya budak-budak sebagai pekerja.
Serangan Palembang terhadap Jambi membuat tanaman lada di Jambi menjadi
terbengkalai , sehingga pendapatan sultan menurun dan banyak pedagang Cina pergi. Orang
laut yang merupakan pasukan sultan di selat Malaka yang hidup nomaden cenderung mencari
pendapatan dengan menjadi bajak laut. Penguasa Jambi diturunkan VOC pada tahun 1687
karena konflik saudara selama 3o tahun di Jambi. Banyak penduduk lokal yang pergi ke
Palembang dan daerah lain.
Pada tahun 1712, Sulta Jambi, Kiai Gede (1687-1719) menundukkan Hulu dengan
bantuan VOC. Namun tetap tidak membuat Jambi sejahtera. Pada periode ini Johor menyerang
Jambi dan pada tahun 1719 hulu memberontak. Setelah Kiai Gede meninggal, konflik antara
aristokrat dan perang sipil muncul. Penggantinya sultan Astra Ingalaga(1727-1743) adalah
pecandu opium yang bangun setelah tengah hari. Pada tahun 1744 dia mewariskan tahtanya
pada saudaranya, tetapi kekuasaannaya tetap tidak berkembang.
Ketidakberdayaan penguasa Jambi membuat VOC kadangkala memainkan peran sebagai
penguasa lokal. Penguasa lokal menjadi boneka atau agen kompeni yang memberatkan. Pada
tahun 1754, garnisun milik VOC lari dari Jambi ke Palembang karena takut diserbu rakyat yang
marah. VOC menjadi marah dan memblokade Jambi, sehingga lahir kontrak VOC-Jambi tahun
1756. Konflik VOC-Jambi dipertajam dengan adanya para petualang bugis. Pada tahun 1768, pos
VOC diserang. VOC meninggalkan Jambi hingga abad ke-19. Jambi dikenal sebagai sarang
penyamun.
Sebenarnya Palembang mengalami perselisihan setelah meninggalnya Sultan Abdul
Rahman 1706. Penggantinya adalah Sultan Mahmud Badarudin. (1724-1757). Pada masa ini
produk lada menurun, produk penggantinya adalah timah yang ditambang di Bangka sebagai
negara bawahan Palembang. Awalnya para penambang dari bugis. Sultan Mahmud Badarudin
mampu mengendalikan Bangka dan Belitung.
Pada tahun 1731, VOC membantu perlawanan Bugis terhadap Bangka. Setelah itu,
penambang Cina mulai masuk ke Bangka. Di akhir masa Sultan, ada sekitar 25 hingga 30 ribu
orang Cina di Bangka. VOC memonopoli lada dan timah di Palembang. Tetapi monopolinya
hanya separuh hasil produksi Palembang. Sisanya dijual dalam perdagangan liar, dimana
harganya jauh lebih tinggi dari yang dibeli VOC. Sultan berpartisipasi dalam perdagangan liar ini
sehingga menjadi kaya.
Kekayaan dan gaya Sultan Mahmud Badarudin membuat ia meraih reputasi tertinggi di
Palembang. Dia beruntung berkuasa di masa VOC lemah, keuangan VOC melemah, dan banyak
terlibat dalam urusan Jawa. Bagi VOC, Palembang berbiaya tinggi karena tidak bisa diimbangi
dengan hasil penjualan timah.
Pada masa Mahmud Badarudin, orang Bugis merupakan kekuatan besar di nusantara
bagian barat. Kehadiran Inggris juga menjadi kekuatan penyeimbang dari VOC. Bugis dan Inggris
adalah penjual senjata lebih modern yang didatangkan ke Palembang dalam jumlah besar. Hal
inilah yang menyebabkan koflik lokal menelan banyak korban. Ketika ada penemuan emas di
Lampung pada tahun 1730, yang diperebutkan Palembang dan Banten, orang Bugis dan
Minangkabau ikut menyumbang kekacauan di Lampung.
Perdagangan timah juga menarik orang Arab. Datangnya orang Arab ini membuat
Palembang berkembang sebagai pusat pengetahuan islam pada abad ke-18.
Pengganti Sultan Mahmud Badarudin adalah Sultan Ahmad Tajuddin (1757-1774).
Keberadaan penambang Cina di Bangka sulit dikendalikan. Tetapi para bangsawan Palembang
disuruh mengendalikan. Akibatnya orang Cina berpindah ke tempat lain, terutama di Kalimantan
dan Perak. Pada tahun 1780-an, jumlah orang Cina di Bangka merosot dari 25 – 30 ribu 3 tahun
sebelumnya menjadi 6-13 ribu saja. Produksi menjadi merosot dan perdagangan timah liar
diluar kontrol VOC dan sultan terjadi terutama melalui Riau.

B. Riau

Di Riau, VOC membutuhkan eksistensinya. Sejak tahun 1708, adik Sultan, Raja Muda Mahmud
menentang perdagangan VOC. Ia menekan negara bawahannya agar mengirim barang ke Riau.
Kapal Cina dan Jawa yang menuju Malaka dipaksa berhenti di Riau. Pada tahun 1713, Riau
awalnya menolak kontrak dengan VOC yang memperbaiki kontrak dagang istimewa VOC. Tapi
kemudian, Batavia mendesak sehingga traktat ditandangani, tapi kemudian diabaikan. Ekspor
timah dan lada berkembang dengan pesat. Ketika VOC merosot, kekuatan yang berjaya adalah
Riau dan Johor.
Pada tahun 1718, orang-orang Minangkabau dari Siak melawan Johor di bawah
pimpinan Raja kecil yang mengklaim keturunan bangsawan Malakan Johor. Mereka pada tahun
itu menguasai Johor. Raja Muda Mahmud terbunuh, Sultan Johor, Abd Al Jalil turun tahta dan
menyelamatkan diri ke Pahang. Sultan ini dibunuh oleh Raja kecil pada tahun 1721. Johor
menjadi ajang persaingan antara Minangkabau, Bugis, dan Melayu Johor. Kesepakatan tahun
1721 menetapkan kuasa bersama melayu Bugis atas Johor sampai awal abad ke-20.
Orang Bugis merebut kembali Riau untuk Johor pada tahun 1722. Pada masa ini,
pengembara Bugis terlibat aktif di seluruh bagian barat nusantara dan menjadi kekuatan utama
di Selat Malaka. Ketika Riau di tangan orang Bugis, maka Selat Malaka mempunyai pasukan yang
memberi kontribusi perdagangan yang stabil dan aman. Pada tahun 1728, Bugis menang atas
Raja Kecil, sehingga Selat Malaka aman dari kekacauan dan gangguan perdagangan.
Selain Bugis dan Minangkabau, yang berperan adalah orang Arab dari Hadramaut.
Mereka adalah pedagang cakap dengan jaringan internasional yang membentang dari Timur
Tengah hingga Afrika Timur. Di Siak, mereka berpengaruh seperti orang Bugis di Johor. Di bawah
pemimpin Bugis, Riau menjadi pusat perdagangan swasta. VOC tidak memiliki sarana
mengontrol.
Pada tahun 1782, Raja Haji dari Johor mengetahui pecahnya perang antara Belanda dan
Inggris dan menawarkan diri menjadi sekutu VOC. Tetapi mereka konflik sendiri berkaitan
dengan rampasan perang dari Inggris. Pada tahun 1784, kapal VOC diledakkan oleh Johor di
Riau. Pada tahun 1784, VOC mengirim armada ke Riau sehingga dapat membunuh raja Haji.

C. Perdagangan Budak dan Lainnya


Perdagangan budak merebak di nusantara bagian barat hingga akhir abad ke-18.
Perdagangan ini melahirkan peluang kelompok pendatang untuk berkuasa. Para pedagang
budak dan perompak Ilanum dari kepulauan Sulu berperan. Mereka menyerang kapal VOC dan
membajak kapal Palembang. Pada tahun 1788 membajak bangka. Ketika Riau memberontak
pada VOC 1787, pasukan Ilanum sebanyak 7.000 mendukung Riau. VOC merebut Riau tapi tidak
meraih kendali atas perdagangan timah.
Dalam abad ke-16 hingga abad ke18 pusat perompak yang terkenal adalah
Tibelo (pantai utara halmahera), yang merompak sampai didekat Jawa. Dan juga
kepulauan Lingga serta pantai barat dan utara Kalimantan. Laut Tiongkok dalam
abad ke1-17 penuh dengan perompak yang terkenal dari Philipina, Mindanao dan
kepulaaun Sulu. Mereka datang dengan angkatan laut yang kuat dan seringakali
menduduki tempat pertahanan yang tetap terutama di Sulawesi, Kalimantan, di
Flores dan Kalimantan. Biasanya raja dan kaum bangsawan turut serta dalam
pelayaran perompakan malahan seringakali merke amemegang tampuk
pemrintahan.

Perompakan di bagian Timur Indonesia terutama dimaksudkan untuk


mencari budak yang diperjualbeikan di pasar budak. Motif perompak ada yang
karena agama yaitu memenggal yaitu seperti di Kaimantan Timur.

Hubungan Maluku dan Gresik

Hubungan dengan Maluku diselenggarakan pula oleh Gresik dan Giri di jawa Timur.
Pelabuhan Gresik pada awal ke-17 memberi tempat kepada kapal-kapal besar untuk
berlabuh sampai dekat kita karena lautnya cukup dalam. Kapal-kapal berukuran 40-
100 ton yang dipakai untuk berlayar ke Maluku, dibuat di galangan-galangan Gresik.
Di pelabuhan ini ada dua fasilitas untuk reparasi kapal. Laporan-laporan Belanda
mencatat bahwa pada masa ini sejumlah 60 kapal besar dan kecil tiba di Gresik
setiap tahun dengan muatan rempah-rempah dari Maluku. Dari sumber lain
diketahui bahwa paling banyak 7 jung besar mengangkut pala setiap musim dari
Banda ke Pulau Jawa, jadi jumlah 60 apal tersebut sebagian besar terdiri dari perahu
berukuran kecil. Pada umumnya kapal-kapal Banda sendiri yang mengangkut
rempah-rempah itu ke Gresik, dan seterusnya diangkut dengan kapal-kapal lain.
Pada musim angin timur kapal-kapal berlayar dari Gresik ke Selat Malaka,
Sumatera, Kalimantan, Patani sampai ke Siam. Apabila telah berganti musim angin
barat, kapal-kapal berangkat dari Gresik ke Nusa Tenggara dan Maluku, Buton, Buru,
Mindanau, Kepulauan Kei dan Aru. 1

Maluku

Di samping itu Kompeni menggunakan kapal dan perahu setempat dalam


pelayarannya di perairan Indonesia. Misalnya dalam ekspedisi “hongi”, Kompeni
menggunakan pelaut dan perahu setempat, terutama jenis kora-kora. Sudah tentu
semua kapal dan perahu ini, baik yang dipakai untuk berperang maupun yang
dipergunakan untuk berdagang, diperlengkapi dengan senjata. Kapal-kapal VOC
yang terbesar berukuran 1.000 ton, panjangnya kira-kira 170 kaki atau 50 meter.
(Sebagai perbandingan perlu disebutkan bahwa kapal-kapal dalam penyeberangan
Atlatik pertama di bawah pimpinan Columbus hanya 60 ton, kapal “Trinidad” yang
dipakai Magalhaes berukuran 110 ton, kapal “Beagle” yang dirumpangi Charles
Darwis dalam perjalannya keliling dunia berukuran 242 ton, sedangkan Captain
Cook berlayar dalam kapal “Resolution” yang berukuran 462 ton saja). 2

Sejak dulu Banda sudah menjadi pusat perdagangan di perairan Maluku


Tengah. Pedagang-pedagang luar daerah tertarik karena di pusat ini dikumpulkan
rempah-rempah yang sangat laku di seluruh dunia pada waktu itu, yaitu pala dan
cengkeh. 3

Cengkeh berasal dari Maluku Utara yang meliputi 4 kerajaan : Ternate, Tidore,
Jailolo dan Bacan. Hubungan dengan luar daerah sudah berjalan berabad-abad
lamanya, tetapi baru sekitar abad ke-15 dan 16 daerah Maluku Utara mulai ramai
dikunjungi kapal-kapal dari luar. Sebagai akibat hubungan ini raja-raja Maluku Utara
menerima agama Islam pada abad ke-15, jadi jauh sebelum raja-raja Sulawesi
Selatan yang baru memeluk agama Islam pada awal abad ke-17. 4

2. Perlawanaan Terhadap Maluku

1
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 43.
2
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 68.
3
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 44.
4
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 45.
pada tahun 1630 Belanda telah meletakkan hegemoni perdagangan dan
perniagaan melalui penguatan militer. Dia berkuasa di Ambon Maluku, pulau
pengahsl rempah-rempah. Tahun 1641 Malaka dapar direbut oleh VOC. Untuk
menegakkan hegemoni tidak hanya perdamaian saja tetapi juga dengan ekspansi
militer.

Ekpansi pertama di di Indoensia Timur adalah kepulauan rempah-rempah


Maluku. Tetapi usaha memonopili hanya sedikit yang berhasil baik itu pala maupun
cengkeh. Di Maluku terjadi persekutuan lokal yang terdiri atas kaum muslim Hitu
(Ambon bagian Utara), pasukan Ternate, dan Hoamoal (semenanjung seram
dengan dukungan Gowa). Pemimpinnya adalah Kakiali seorang murid Sunan Giri
di Jawa. Dia tahun 1633 dia menggantian ayahnya sebagai Kapiten Hitoe. Mereka
awalnya pura-pura bersahabat dengan VOC dan mendukung komplotan anti VOC.
Dia mulai membangun benteng di desa-desa dan menyerbu perkampungan kristen.
VOC tidak mampu mengatasinya. dia memperdayai kakiali diatas kapal VOC, tetapi
justru perlawanan semakin besar.

Tahun 1637 VOC melakukan penyerangan pasukan Ternate di Hoamoal dan


berhasil mengusir Ternate dari benteng mereka. Kemudian untuk memperoleh
dukungan Hitu maka dia melepaskan kakiali dan mendudukan pada jabatan kapiten
hitoe. Tetapi Kakiali tetap melakukan koalisi dengan Ternate dan Gowa sekaligus
melakukan perdahgangan repah-rempah secara gelap. VOC melakukan perjanjian
dengan Ternate serta menggaji raja Ternate. Penyeludupan akan dihentikan serta
VOC diberi kekuasan di Maluku Selatan. Kakiali tetap berjuang melawan VOC.

Kakiali menyerang desa dan berkoalsisi dengan Gowa. Prajurit makasar


bergabung dengan kakiali tetapi dapat dikalahkan oleh VOC di Hitu tahun 1643. .
akhirnya perlawanan di Maluku dapat dihentikan. Kedudukan VOC di Maluku selatan
masih belum aman karena orang Ternate dan Makasar tetap berdagang dengan
melanggar VOC. Pada masa gubernur jenderal de Vlaing dia memberantas korupsi
di VOC dan menyebarkan agam kristen .

Pada tahun 1650 raja Ternate Mandarsyah setelah diturunkan dia meminta
bantuan VOC di benteng dan menandatangaini perjanjian januari 1652 yang
melarang orang menanam cengkeh kecuali Ambon oleh VOC. Karena ambon
adalah pusat cengkeh. Pada tahun 1656 belanda melakukan pelayaran Hongi
(armada tempur untuk mencari pohon engkeh yang ditanam di secara liar.

Di Tidore keterlibatan orang Eropa tidak sebanyak di Ternate. Tetapi pengaruh


VOC terhadap Tidore makin besar di akhir abad XVII dan awal abad XVIII. Tahun
1700-an, Tidore mengalami krisis, termasuk krisis kekringan dan cacar. Tahun
1716-1728, para bawahan Tidore di sebelah Tenggara Halmahera dan rakyat Papua
dari Kepualaun Raja Ampat memberontak terhadap Sultan HasanudinKaicili Gasea
(1708-1728), dan VOC turun tangan membantu Tidore.
Pada akhir abad ke-18, hadirnya EIC, adanya pelayaran ke Cina melalui papua
tahu 1760-an dipandang oleh VOC sebagai ancaman. Pada periode tersebut,
pasukan Ilanum dari Mindanao di sebelah selatan Filipina menyerang seluruh
Maluku, dan VOC mencurigai Tidore. Pada Tahun 1779, VOC menurunkan Sultan
Tidore dan tidak menunjuk pengganti sampai 1781. Pada saat ini Kaicili Nuku,
bangsawan Tidore memberontak dan mendapat dukungan dari Halmahera Tenggara
dan orang Papua dari Raja Ampat. Nuku bergelar Sri Maha Tuan Sultan Amir
Muhamad Syaifudin Syah. Perlawanan Nuku ini dapat dipadamkan VOC, dan NUku
tidak berhasil ditangkap.

Pada Oktober 1783, Sultan Tidore mengakui kekuasaan Nuku. Dia menyerang
Pos VOC di Tidore dan membunuh seluruh orang Eropa. Kondisi ini memunculkan
persaingan Ternate-Tidore. Ternate bergabung dengan VOC menentang Tidore tahun
1783 sehingga banyak kerusakan dan korban. Pada Desember 1783, VOC memaksa
Tidore melalukan perjanjian dan mengembalikan pangeran yang pernah dibuang ke
Sri langka, Sultan Hairul Alam Kamludin Kaicili Asgar untuk memerintah sebagai
bonekanya. Pengusasa baru ini di bawah VOC. VOC mempertahankan kekuatan
militenya karena takut serangan ilanum. Nuku tetap mendominasi di perbatasan.

Sultan Nuku
Muhamad Amiruddin alias Nuku adalah putra Sultan Jamaluddin (1757–1779) dari
kerajaan Tidore. Nuku juga dijuluki sebagai Jou Barakati artinya Panglima Perang. Pada zaman
pemerintahan Nuku (1797 – 1805), Kesultanan Tidore mempunyai wilayah kerajaan yang luas
yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai Barat dan bagian Utara Irian Barat serta
Seram Timur. Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan peperangan
untuk mempertahankan tanah airnya dan membela kebenaran.
Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos ke
perairan yang lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan
taktik serta terjun ke medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu
membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas
merdeka. Cita-citanya membebaskan seluruh kepulauan Maluku terutama Maluku Utara (Maloko
Kie Raha) dari penjajah bangsa asing.
Setelah berjuang beberapa tahun, Nuku memperoleh kemenangan Pada 1780 dengan
memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan kesultanannya sebagai sebuah
negara merdeka yang lepas dari kekuasaan Kompeni Belanda. Kesultanan Tidore yang
dimaksudkannya meliputi seluruh wilayah Tidore yang utuh, termasuk Makian dan Kayoa, di
samping Halmahera Tengah dan Timur, kepualaun Raja Ampat dan Papua daratan, seluruh Seram
Timur, pulau-pulau Keffing, Geser, Seram Laut, pulau-pulau Garang, Watubela, dan Tor.

Penobatan Nuku dan Percobaan Serangan ke Ternate

Sebenarnya, sejak 1780, Nuku telah dilantik oleh rakyat Halmahera Timur, Seram,
Kepulauan Raja Ampat dan Papua daratan sebagai “Sultan untuk seluruh wilayah Kesultanan
Tidore” yang berkedudukan di Seram. Ketika itu, ia diberi gelar Jou Barakati (“sultan pembawa
berkah”). Saat dinobatkan sebagai sultan di Soasio, Tidore, pada 1797, Nuku memakai gelar
Saidul Jihad Muhammadanil Mabus Amiruddin.
Nuku bersama dengan pasukannya dan rakyat Tidore berhasil melakukan perlawanan
kepada Kamaludin. Pada 11 April 1797 Kamaludin sebagai Sultan Tidore saat itu melarikan diri
ke Ternate karena terdesaknya ia atas perlawan Nuku dengan pasukannya, atas kejadian itu
Kamaludin melaporkan hal ini kepada Budach, Gubernur Maluku saat itu. Bersama dengan
bantuan kapal Inggris Nuku yang tiba di Tidore pada 12 April hampir tidak ada yang melakukan
perlawanan terhadapnya, padahal sebelumnya Kamaludin memerintahkan rakyatnnya untuk
melawan Nuku. Walaupun rakayat Tidore telah di perinthakan untuk menyerang Nuku akan
tetapi saat nuku tiba di Tidore rakyat Tidore justru malah memihak dan menyambut Nuku dengan
penuh kegembiraan dan antusias. Bertempat di Istana Soasio, Nuku dilantik sebagai Sultan
Tidore, Papua, Seram dan daerah taklukkannya.
Pada 27 April 1797, pasukan penyerbu gabungan antara pasukan Inggris dan Nuku mulai
mengepung Ternate yang dimana sebagian pasukannya telah mendarat di utara Ternate. Pasukan
Nuku yang ikut dalam pengepungan Ternate berjumlah sekitar 4000 orang, beberapa ratus
darinya didaratkan tidak jauh dari Benteng Toloko.
Tujuan utama gerakan militer Nuku adalah untuk mengisolasi Ternate dan menimbulkan
kesulitan bagi Belanda dalam bidang ekonomi ataupun militer.

2. Perlawanaan Terhadap Maluku

pada tahun 1630 Belanda telah meletakkan hegemoni perdagangan dan


perniagaan melalui penguatan militer. Dia berkuasa di Ambon Maluku, pulau
pengahsl rempah-rempah. Tahun 1641 Malaka dapar direbut oleh VOC. Untuk
menegakkan hegemoni tidak hanya perdamaian saja tetapi juga dengan ekspnasi
militer. Gubernur jenderal Belanda yang bersifat ekspansi adalah Antonio van
Dioemen, 1636-1645, Johan Maetsuyeker 1653-1678, Rijklof van Goens 1678-
16881 , dan cornelis Janszoon Speelmen 1681-1684.

Ekpansi pertama di di Indoensia Timur adalah kepulauan rempah-rempah


Maluku. Tetapi usaha memonopili hanya sedidkit yang berhasil baik itu pala
maupuncengkeh. . Di Maluku terajdi persekutuan lokal yang terdiri atas kaum
muslim Hitu (Ambon bagian Utara), pasukan Ternate, dan Hoamoal (seemnjung
seram dengan dukungan Gowa. Pemimpinnya adalah Kakiali seorang murid
Sunan Giri di Jawa. Dia tahun 1633 dia menggantian ayahnya sebaai Kapiten Hitoe.
Mereka awalnya pura-pura bersahabat dengan VOC dan mendukung komplotan
anti VOC. Dia mulai membangun benteng di desa-desa dan enyrbu perkampungan
kristen. VOC tidak mampu mengatasi.nya dia dia memperdayai kakiali diatas
kapal VOC . tetapi justru perlawanan semkain besar. .

Tahun 1637 VOC melakukan peneyrangan pasukan Ternate di Hoamoal dan


berhasil enusir Ternate dari benteng mereka. Kmeudian untuk memeproleh
dukungan Hitu maka dia melepaskan kaialai dan menduudukan pada jabatan
kapiten hitoe. Tetapi dia tetap melakukan koalissi dengan Terante dan Gowa
sekaligus melakukan perdahgangan repah-rempah secara gelap. . VOC melakukan
perjanjian dengan Ternate serta menggaji raja Terante. S dan enyeludupan akan
dihentikan serta VOC diberi kekuasan di Maluku Selatan. . Kakilai tetap berjauang
melawan VOC.

Kakiali menyerang desa dan berkoalsisi dengan Gowa . Prajurit makasar


bergabung dengan kakiali tetapi dapat dikalahkan oleh VOC di Hitu tahun 1643. .
akhirnya perlawanahan di Maluku dapat dihentikan. Tetai kedudukan VOC di maluku
selatan masih belum aman karena orang Terante dan Makasar tetap berdagang
dengan melanggar VOC. S. Pada masa gubernur jenderal de Vlaing dia
memberantas korupsi di VOC dan menyeberakan agam kristen .

Raja VOC yang lain 1650 raja Terante Mandarsyah setelah diturunkan dia
meminta bantuan VOC di benteng dan menandatangaini perjanjian januari 1652
yang melarang oarng menanam cengkeh kecuali Ambon oleh VOC. Karena ambon
adalah pusat cengkeh. Pada tahun 1656 belanda melakujna pelayan Hongi (armada
tempur untuk mencaroi poihon engkeh yang ditanam di secara l;iar.

Di Banten, juga mengalami intervensi VOC. Than 1651-1683, pada masa


Sulatan Ageng Tirtayasa dia empunyai arada model barat. Pelayarannya aktif di
nusantara. Atas batntuan Inggris, Denmark, dan Cina orang Banten berdagang ke
Cina, persia, india, Siam, Vietnam, filipina , dan Jepang. Banten adalah musuh
VOC karena dia ingin menguasa lada Banten. Apalgi letaknya dekat dengan
Batavia. Pada tahun 1645 ditandatangani perjanjian VOC-Banten. . Tahun 1656
Banten menyerang Batavia dan kapal voc dan memblokade pelabuhan. Konflik
internallah yang mendorong Banten terpecah. . Sema pemberontakan Trunojoyo,
Sultan Ageng menyatakan diri berpihak kepada kaum pemebrontak, mengirim
amunisi pada mereka, serta menggganggu kapal VOC dan wilayah Batavia. Dia
menulis susrat pada amngkurat II dan menuduhnya bukan orang muslim amupun
kristen. Melainkan orang VOC. . Pemberontakan Truunajaya ini membuaty istana
plrered hamur dikuasai oleh trunajaya.

Dalam abad ke-16 hingga abad ke18 pusat perompak yang terkenal adalah
Tibelo (pantai utara halmahera), pulau-pulau dirian yang merompak samapi didekat
Jawa. Dan jga kepulauan Lingga serta pantai barat dan utara Kalimantan. . Laut
Tiongkok dalam abad ke1-17 penuh dengan peropak yang tereknal dari Pipipina,
Mindanao dan kepulaaun Sulu. . Mereka datang denga nagkatan laut yang kuat
dans eringakali menduduki tempat pertahanan yang tetap terutama di Sulawesi,
Kalimantan, di Flores da Kalimantan. Biasanya raja dan kaum bangsawan turut
serta dalam pelayaran perompakan malahan seringakali merke amemegang
tampuk pemrintahan.

Perompakan di bagian Timur Indoensia terutama dimaksudkan untuk


mencari budak yang dieprjualbeikan di pasar budak. Motif peropaka ada yang
karena agama yaitu memenggal yaitu seperti di Kaimatnatn Timur.

Berbicara tentang pelayaran VOC, di sini perlu disinggung sebentar mengenai


kapal-kapal yang digunakannya. Masing-masing dari enam Kamar mempunyai
galangan sendiri di mana kapal-kapal dibangun dan dirawat. Jenis kapal yang paling
disukai adalah retourschip yang dipergunakan untuk pelayaran dari Belanda ke
perairan Asia dan kembali. Jenis kapal ini dapat dipakai sebagai kapal dagang
maupun sebagai kapal perang. Namun demikian, banyak jenis lain yang dibuat
dalam galangan-galangan tersebut : kapal-kapal yang lebih kecil seperti “yacht”
dan “pinas” (bahasa Inggris : “yacht” dan “pinnace”) yang ikut melengkapi eskader
VOC.

Serangan Nuku - Inggris atas Ternate


Setelah hampir satu tahun Nuku dan Inggris melakukan percobaan menguasai wilayah
Ternate akhirnya pada 25 April 1798, dari Tidore dua eskader armada Nuku yang masing-masing
dikawal kapal Inggris menuju Ternate. Salah satu armada itu menuju ke Ternate Utara dan
mendaratkan pasukannya tidak jauh dari Benteng Toloko. Sementara eskader lainnya menuju ke
bagian selatan Ternate.
Setibanya di utara Ternate pasukan Nuku mulai bergerak menuju Benteng Toloko,
disepanjang jalan yang dilalui mereka membakar habis semua rumah penduduk dan
perkampungan. Setelah beberapa ratus meter dari tempat pendaratan, pasukan tersebut mulai
menjumpai hambatan. Mereka dihadang pasukan Ternate yang berjumlah cukup banyak dan
berhasil membuat pasukan Nuku mundur. Dengan keadaan yang tidak menguntungkan pasukan
Nuku kembali ke laut dengan meninggalkan prajurit-prajurit yang tewas saat dihadang pasukan
Ternate. Setelah menelan kekalahan dan pasukannya mundur, juanga-juanga Nuku kembali
menuju tidore. Sedangkan kapal perang Inggris yang mengawal eskader Tidore menmbaki
Benteng Toloko dan menimbulkan keruskan serta korban jiwa. Setelah menyerang Benteng
Toloko, kapal Inggris kembali kepangkalannya di Tidore.
Eskader kedua Nuku yang mendarat di selatan Ternate, tepatnya di Kalumata, bergerak
menuju Kayumerah. Sama halnya yang dilakukan pasukan Nuku di utara, semua rumah dan
perkampungan di selatan Ternate yang dilalui habis dibumihanguskan. Ketika mendekati
Benteng Kayumerah, pasukan Belanda yang sudah menunggu kedatangan pasukan Nuku mulai
menembaki pasukan Tidore. Berebda dengan di utara, awalnya pasukan Nuku disini masih dapat
bertahan walaupun pertempuran hebat berkecamuk. Pasukan Nuku mulai melarikan diri setalah
bantuan pasukan Ternate dari Benteng Oranje tiba dan menembaki mereka. Pasukan Nuku
kembali ke Tidore dengan meninggalkan korban 45 prajurit tewas di tangan pasukan Kompeni,
pasukan reguler Kesultanan Ternate, dan pasukan Alifuru. Dalam invasi 25 April yang gagal ini,
Nuku mengerahkan sebanyak 150 juanga dibantu dua fregat Inggris.3
Nuku dan Inggris terus mencoba melakukan penyerangan militer ke Ternate, Pada 20
Desember 1798, dengan kekuatan 160 juanga, pasukan Nuku kembali melakukan invasi ke
Ternate. Dalam invasi ini, armada Nuku mendapat bantuan dan perlindungan dari dua fregat
Inggris, masing-masing Hobart dan Bombay. Tetapi, sama halnya dengan serangan yang lalu, di
sini juga pasukan Nuku dan Inggris berhasil dihalau dan kembali ke laut.
Walaupun beberapa kali gagal menyerang Ternate, Nuku dan Inggris terus mencari cara
untuk menaklukan Ternate. Nuku dan Inggris kemudian menggunakan cara mengisolasi Ternate.
Armada Nuku dan Inggris mengonsentrasikan diri memblokade pulau Ternate dalam rangka
melemahkan kekuatan defensive Kompeni dan pasukan Kesultanan Ternate. Dengan mengisolasi
Ternate dari dunia luar terutama dari pusat-pusat logistik seperti Sahu, Jailolo, Makassar dan
Batavia, isolasi ini dilkukan agar Belanda dan Ternate akan menghadapi bahaya kelaparan dan
menyerah. Strategi isolasi Ternate dimaksudkan untuk membuat penduduk setempat berontak
melawan Kompeni. Tetapi, strategi ini terbukti meleset. Dalam keadaan yang sulitpun rakyat
Ternate tetap patuh kepada sultan yang bahu-membahu dengan Kompeni mempertahankan
Ternate dari serbuan Nuku dan Inggris.
Akhir Mei 1799, Budach dan sekutunya, Ternate, merancang sebuah serangan besar-
besaran ke Tidore untuk membalas serbuan yang telah berkali-kali dilakukan Nuku dan Inggris.
Panglima Perang Kesultanan Ternate, Imam Jiko, dibantu seorang sersan Belanda, bertolak ke
Halmahera merekrut pasukan Alifuru. Keduanya berhasil memperoleh 3000 prajurit dan
sejumlah juanga.
Tetapi, tiga hari sebelum serangan dilakukan, seorang intelijen Nuku bernama Gonone
menginformasikan seluruh rencana penyerbuan Ternate-Kompeni secara rinci kepada Nuku dan
pimpinan militer Tidore. Nuku dan petinggi militernya segera menyusun strategi menghadapi
serbuan besar-besaran itu. Mendengar hal itu Nuku memerinthakan untuk menghancurkan para
penyerbu.
Pasukan Nuku ternyata tidak hanya bersenjatakan panah dan tombak, tetapi juga bedil,
kelewang dan meriam. Bahkan, Nuku memiliki pasukan berkuda (kavaleri) yang dengan cepat
dan gesit membabat para penyerbu dengan pedang dan tombak.
Bocornya informasi memberikan kerugian pada pihak Ternate-VOC, usaha mereka untuk
menyerang Tidore dapat dikalahkan oleh Nuku-Inggris. Kekalahan dan kerugian, baik
persenjataan maupun personal, dalam pertempuran Soasio yang sedemikian besar itu
memberikan beban yang berat kepada Kompeni untuk dapat bangkit kembali dalam waktu
singkat.
Berdasarkan resolusi sidang gabungan Pemerintah Pusat VOC dan Dewan Hindia, pada
25 Mei 1799, Willem Jacob Cranssen diangkat sebagai Gubernur Maluku menggantikan Budach.
Cranssen tiba di Ternate pada 12 September 1799, dan langsung mengambil-alih tugas
pemerintahan dari Budach. Ia tiba dengan empat kapal besar yang memuat beras, senjata,
amunisi, dan 178 serdadu Eropa.
Sementara itu, tindakan pertama yang dilakukan Cranssen segera setelah memangku
jabatan Gubernur Maluku adalah mengkaji dengan saksama situasi pertahanan Ternate yang telah
dirancang dan dilaksanakan Budach. Dalam sebuah rapat Dewan Pemerintahan, Cranssen
mengusulkan memberi pelajaran kepada Nuku dengan menyerbu Tidore dan menangkap Nuku.
Rencana ini disetujui rapat tersebut.
Tetapi, rencana penyerbuan Cranssen kembali dapat diketahui intelijen Nuku dan
dilaporkan ke Soasio, Tidore. Setelah menerima informasi ini, Nuku mengonsentrasikan pasukan
laut dan daratnya. Benteng Kotabaru dan Tahula diperkuat dengan tambahan meriam dan
amunisi serta sejumlah besar tentara. Sebanyak 40 juanga disiapkan di Soasio dan selebihnya di
Teluk Cobo serta Tanjung Dehegila untuk menghadang penyerbuan Kompeni-Ternate.

Dalam bulan Januari 1801, Komandan tentara Inggris, Kolonel Burr, mengisyaratkan
kepada Gubernur Cranssen segera menyerahkan Ternate.
Nuku dan Inggris menyerang kota Tidore t pada 11 Februari 1801. Sebanyak 7 kapal perang
Inggris dan 40 juanga. Kapal-kapal Inggris menggempur meriam-meriam Kompeni yang
ditempatkan di Santosa dan Kampung Makassar. pasukan Nuku mendarat di Salero dan mencoba
mencapai Benteng Oranje.
Pertempuran sengit di depan Santosa telah menimbulkan korban yang cukup besar di
kedua pihak. Karena tidak dapat menembus pertahanan Ternate, dan untuk mencegah jatuhnya
korban yang lebih banyak, komandan pasukan Nuku memerintahkan pasukannya mundur ke
Salero dan naik kembali ke juanga
Sebuah gencatan senjata akhirnya disepakati kedua pihak dalam rangka menguburkan
korban-korban yang tewas dalam pertempuran dan memindahkan yang terluka. Baik pasukan
Nuku maupun Inggris gagal merebut Ternate dalam pertempuran yang sengit ini. Mereka
kembali ke Tidore tanpa hasil, kecuali meninggalkan sejumlah korban pertempuran. Setelah
kembali ke Tidore, Nuku dan pihak Inggris sepakat bahwa setelah merehabilitasi dan
mengonsolidasi kekuatan militernya, akan dilakukan lagi gempuran terhadap Kompeni dan
Ternate dalam dua bulan mendatang.
Karena situasi semakin genting, pada 13 Mei 1801, Gubernur Cranssen mengundang
anggota Dewan Pemerintahan bersidang membahas situasi perang. Dalam sidang itu, Rodijk dan
Dockum mengusulkan Kompeni menyerah secara terhormat, sebab mempertahankan Ternate
merupakan hal yang sia-sia. Benteng Kayumerah telah jatuh, Benteng Toloko tinggal menunggu
nasib serupa, dan setelah itu pasukan gabungan Inggris-Tidore hanya menanti saat yang tepat
untuk merebut Benteng Oranje.
Setelah syarat-syarat yang diajukan Kompeni kepada Kolonel Burr disepakati, pada 20
Juni disetujui sebuah gencatan senjata. Keesokan harinya, 21 Juni 1801, Kompeni secara resmi
menyerah kepada Inggris dan Nuku. Dengan demikian, berakhirlah pengepungan kota Ternate
yang berlangsung sejak 1797. Kapitulasi ini didasarkan pada syarat-syarat berikut:
1. Semua personil (pegawai) Kompeni bekerja seperti biasa;
2. Sultan Ternate dan para bobato-nya tetap menjalankan fungsinya;
3. Jaminan bahwa orang-orang Nuku tidak akan membalas dendam dan melakukan
perbuatan-perbuatan tidak menyenangkan lainnya;
4. Mantan Sultan Tidore, Kamaluddin, dapat hidup bebas dan memperoleh tunjangan dari
Inggris.
Bendera Belanda kemudian diturunkan dari Benteng Oranje dan sebagai gantinya dikibarkan
bendera Inggris. Hadir pula dalam upacara ini Sultan Muhammad Yasin, yang baru beberapa
bulan bertakhta di Kesultanan Ternate.

Usaha Sultan Nuku untuk Mempertahankan Maluku

Penyerahan Seram Timur pada 1768 menimbulkan kemarahan Pangeran Nuku.


Oposisinya semakin menguat ketika ayah dan saudara laki-lakinya diasingkan ke Batavia pada
1779. Setelah serangan di Toloa oleh Belanda pada 1780, Nuku mengambil alih kepemimpinan
pemberontakan di antara para bangasawan terkemuka Tidore. Strategi Nuku pada awalnya tidak
jelas, tetapi ia secara aktif memobilisasi dan konsisten meningkatnya jumlah pendukungnya,
serta menjaga komunikasi dengan para pimpinan Tidore di Kesultanan Tidore.

Pada 1780, ketika Belanda memaksakan perjanjian baru dengan Tidore yang secara
efektif menurunkan status Tidore dari sekutu menjadi vasal VOC. Nuku dalam pelariannya
menciptakan struktur dan organisasi tandingan sebagai ‘Sultan Seram dan Papua’. Tujuan operasi
adalah untuk memperoleh legitimasi para sangaji di Halmahera Utara bagi
Sultan Jailolo. Tetapi, Nuku tidak menyadari bahwa sejak 1635 Jailolo telah lebur dan menjadi
wilayah Kesultanan Ternate, yang melakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga sangat sulit
bagi rakyat di kawasan Jailolo maupun Halmahera Utara mengubah loyalitas mereka kepada
Ternate, terutama di kalangan orang Alifuru, walaupun sebagian rakyat Tobelo dan Galela adalah
pengikut setia Nuku selama belasan tahun. Dengan demikian, upaya Nuku menghidupkan
kembali Kerajaan Jailolo – dalam kenyataannya hanya merupakan kerajaan vazal Tidore, karena
pemerintahan Nuku berada di atasnya – tidak sepenuhnya berhasil lantaran orang-orang Alifuru
tidak mau mengakui Sultan Jailolo yang ditunjuk Nuku sebagai raja mereka. Orang-orang ini
tetap menyatakan kesetiannya kepada Kesultanan Ternate. Hanya beberapa kampung di pantai
barat Halmahera yang dapat dikuasai Jailolo. Orang Tobelo Tai – yakni Tobelo Boenge dan
Tobelo Kao – pimpinan Sangaji Kuwasauwa dan Sangaji Sau mengakui Sultan Jailolo, tetapi
Sangaji Galela serta orang Alifuru Jailolo dan Ibu menolak legitimasinya. Ketika Nuku
dinobatkan sebagai Raja atas Papua serta Seram Timur, kemudian sebagai Sultan Tidore, gagasan
Saifuddin di atas bergema kembali. Seusai dinobatkan sebagai Sultan Tidore, Nuku
menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo dan mengangkat Sangaji Tahane sebagai Sultan
Jailolo dengan gelar Muhammad Arif Billa. Alasan penghidupan kembali Kesultanan Jailolo
sama dengan yang dikemukakan sebelumnya oleh Sultan Saifuddin kepada Gubernur
Padtbrugge. Walaupun demikian, upaya Nuku ini tidak dapat dilepaskan dari
gagasannya untuk mengimbangi hegemoni dan superioritas Ternate. Kesultanan Ternate memang
dengan cerdik telah menunggangi Belanda guna mempertahankan hegemoni dan superioritasnya.

Sultan Jailolo yang diangkat Nuku, Muhammad Arif Billa, bukanlah pendatang baru
dalam struktur Kesultanan Tidore. Di awal karirnya, Billa menjabat sebagai Sangaji Tahane
(Makian), kemudian selama 13 tahun menjadi Jogugu Kesultanan Tidore, sejak berkuasanya
Sultan Kamaluddin (1784-1797), kakak Nuku. Meski Billa adalah seorang Tahane atau Makian,
tetapi lantaran jabatan yang dipangku ia mendapatkan kualifikasi bangsawan setingkat kaicil.
Sudah sejak 1786 Billa memimpin suatu faksi dalam lapisan para bobato Tidore yang memihak
Nuku dalam pergolakan politik kesultanan tersebut. Pada 1796, Billa ditangkap atas perintah
Sultan Kamaluddin, setelah terkuak hubungan yang dijalinnya dengan Nuku. Tetapi, karena
campur tangan VOC, Billa dibebaskan. Menjelang penyerbuan Nuku ke Tidore, Billa melarikan
diri dan bergabung dengannya. Ia bahu membahu dengan Nuku dalam perjuangan pembebasan
Tidore, dan diangkat sebagai salah seorang panglima Nuku yang handal.
Ketika Inggris mengembalikan Maluku kepada Belanda, yang kemudian berkuasa antara
1803-1810, Nuku untuk pertama kalinya menawarkan sebuah perundingan kepada Belanda pada
1804. Perundingan ini ditawarkan Nuku dengan salah satu persyaratan pengakuan Belanda atas
Kesultanan Jailolo sebagai sebuah kerajaan merdeka dan berdaulat penuh.
Bagi Nuku, pengakuan atas Jailolo sebagai salah satu syarat perundingan merupakan
suatu kemestian. Menurut adat, pengangkatan Sultan Jailolo telah memperoleh persetujuan para
bobato Kesultanan Tidore, para bobato Halmahera Timur – Weda, Maba dan Patani – serta
mendapat dukungan bobato Halmahera Utara – Jailolo, Sau, Tobelo, Galela, dan Raja Loloda
serta Kao. Dukungan luas seperti itu cukup memberikan keabsahan bagi Billa sebagai Sultan
Jailolo. Tetapi, Belanda menolak tawaran dan prasyarat Nuku. Setelah berita penolakan Belanda
tersiar, pasukan Sultan Jailolo di Toniku mulai dimobilisasi untuk menggempur Halmahera
Utara. Nuku sendiri merancang rencana penyerbuan, dan Billa ditugasi memimpin serta
melaksanakannya. Armada yang akan ambil bagian dalam operasi militer ini direncanakan terdiri
dari: 1 juanga Sultan Jailolo, 1 juanga putera-putera Sultan Jailolo, 8 juanga orang Tobelo dan
Kao, 6 juanga dari Loloda, 1 juanga dari Tolofuo, 4 juanga dari Sau, 2 juanga dari Galela, 6
juanga dari Patani, 6 juanga dari Weda, 6 juanga dari Tidore, dan 5 juanga dari Papua.

Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk memperbesarkan armada perang di pinggiran


wilayah Tidore. Saat itu orang Papua dari Raja Ampat, orang Gamrange dari Halmahera
Tenggara dan pedagang Seram Timur dengan cepat disatukannya. Di Tidore sendiri, Nuku
menjaga dukungan di kalangan bangsawan Tidore. Pengkhianatan Tempel dan serangan tiba-tiba
di Gane dan Saketa pada 1783 adalah bukti keberhasilan strategi Nuku. Lebih jauh lagi, Revolusi
Tidore, meskipun premutur, menunjukkan keberhasilan dalam mempersatukan kekuatan-
kekuatan Tidore, baik yang di pelarian maupun yang di pulau asal.
Pangeran Nuku tidak hanya menghadapi kekuatan VOC di Ternate, Ambon dan Banda
tetapi juga sekutu dekat VOC, yakni sultan Tidore dan sultan Ternate yang pro-Belanda.
Dibandingkan dengan peran Sultan Patra Alam dari Tidore (1780-1783), penggantinya, Sultan
Kamaludin (1784-1797), tampil sebagai lawan seimbang Nuku yang berhasil mengonsolidasikan
wilayah dan pendukungnya serta memaksa Nuku tetap berada di pinggiran. Sekitar 1790-an
kekuatan Nuku mengecil, tetapi kemudian ia berhasil membesarkannya kembali dengan cepat.
Dukungan baru dari kelompok Gamkonara (Galela, Tobelo dan Tobaru) serta kembalinya
dukungan dari Raja Ampat dan Gamrange sangat menentukan. Sepanjang kekuasaan Sultan
Kamaludin, Nuku juga didukung secara rahasia oleh jogugu perdana menteri Tidore yang
berperan membocorkan informasi dan strategi Kamaludin serta pihak VOC di Ternate. Terlebih
lagi, kembalinya Pangeran Zainal Abidin dari pengasingan di Sailan (Sri Langka) pada 1794
semakin membuat Nuku semakin diatas angin. Pada 1796, berkat kerjasamanya dengan para
dengan pedagang Inggris, posisi Nuku memuncak. Pada saat yang sama, posisi Belanda sangat
lemah karena Ambon dan Banda sudah diduduki oleh pasukan Inggris. Ketika armada Nuku
memasuki perairan Tidore pada 1797, tidak ada perlawanan dari Sultan Kamaludin yang
berkuasa pada saat itu.

Pada tahap ini Nuku menganggap sudah waktunya untuk menjalani strateginya
mempersatukan seluruh Maluku. Ternate adalah target terpenting karena benteng Belanda di sana
hampir tak tertembus. Sejak 1796, Nuku sudah mengkooptasi Pangeran Ibrahim dari Ternate dan
bahkan meyakinkan Sultan Aharal dari Ternate untuk mendukungnya. Ambisi Nuku untuk
mengalahkan Belanda di Ternate tercapai kemudian berkat kerjasama dengan Inggris pada
1801. Selain itu, Nuku mengendalikan Kesultanan Bacan yang dianggap signifikan karena
merupakan bagian dari empat kesultanan di Maluku. Nuku juga menghidupkan kembali
Kesultanan Jailolo dengan menunjuk seorang pengikutnya sebagai sultan Jailolo. Di sini jelaslah
visi Nuku. Sebagai pemimpin Maluku Utara, kekuasaannya menyebar melalui wilayah
tradisional Tidore. Ia memimpikan Tidore sebagi entitas terkuat di antara ‘empat’ kesultanan di
Maluku yang akan menjadi tulang punggung Maluku yang mandiri dari kekuasaan asing.

Meskipun Nuku dalam aliansinya dengan kekuatan Inggris berhasil menaklukkan


Kesultanan Ternate dan Benteng Oranje, tujuannya mengontrol Ternate tidak pernah tercapai.
Mimpinya mempersatukan Maluku tidak pernah terwujud. Perjanjian Amiens pada 1802
memulihkan kembali kekuasaan Belanda di Maluku dan membatalkan perjanjian Nuku dengan
Inggris. Meskipun demikian, Nuku tetap kokoh dengan kekuasaannya hingga hari-hari
terakhirnya pada 1805. Ia mempertahankan kebijakannya yang mandiri terhadap Belanda hingga
nafas terakhirnya.

Pengganti Nuku, Pangeran Zainal Abidin (1806-1810) adalah seorang yang lemah. Ia
tidak mampu bertindak sebagai figur yang penuh kuasa dan visi ke depan yang mampu
mempertahankan kepatuhan dan rasa hormat dari pemimpin lainnya. Kelemahan terbesar adalah
keegoisannya. Akibatnya ia tidak mampu menjaga kepatuhan para pengikutnya. Prinsip-prinsip
politiknya ambigu dan penuh keraguan. Setelah wafatnya Nuku pada 14 Nopember 1805, Dewan
Kerajaan mengangkat Zainal Abidin sebagai Sultan Tidore menggantikannya. Pada masa Zainal
Abidin inilah Gubernur Wieling meminta agar Sultan Tidore menyerahkan Sultan Jailolo kepada
Belanda. Zainal Abidin, yang menemui kesulitan dalam menyerahkan Sultan Jailolo, menyatakan
kepada Gubernur Wieling bahwa secara politis maupun militer Sultan Jailolo, Muhammad Arif
Billa, tidak punya potensi dan kemampuan untuk membahayakan pemerintah. Karena itu,
menurut Zainal Abidin, ia tidak perlu ditangkap. Argumentasi ini tidak dapat diterima Belanda,
yang kemudian memandang Zainal Abidin sebagai orang yang tidak bisa diajak kerjasama.
Akibatnya, Belanda menyerbu Tidore dan merampas benteng-benteng kesultanan itu pada
Nopember 1806. Zainal Abidin mengerahkan armadanya untuk menangkal serbuan tersebut,
tetapi upayanya menemui kegagalan.16 Tentara Belanda juga menyerbu Soasio, ibukota Tidore,
dan membumihanguskannya, termasuk istana Salero. Para sangaji dan kimalaha yang menjadi
anggota Dewan Kerajaan dipaksa menandatangani perjanjian yang menempatkan Tidore
langsung di bawah pemerintahan Belanda, selama sultan baru belum diangkat. Perjanjian ini
dipaksakan Belanda lantaran naiknya Zainal Abidin ke atas takhta Tidore menggantikan Nuku
tidak sepengetahuan dan seizin Belanda. Demikian juga, Belanda melarang komunikasi antara
para bobato Tidore dengan rekan-rekannya di Halmahera Timur, serta menjanjikan amnesti
kepada seluruh bangsawan Tidore yang bersedia bekerjasama, terkecuali Sultan Jailolo. Sebelum
Belanda menyerbu Tidore, Zainal Abidin, Sultan Jailolo dan sejumlah bangsawan Tidore telah
menyingkir ke Halmahera Timur. Zainal Abidin menuju ke Patani, dan Sultan Jailolo
membangun markasnya di Weda. Ketika Belanda menyerbu Weda dan menghancurkan
markasnya, Sultan Jailolo masuk hutan serta berkelana di pedalaman Weda. Pada 1807, Sultan
Jailolo pertama, Muhammad Arif Billa, wafat karena kecelakaan. Billa mati tergelincir ke dalam
sebuah jurang dan dimakamkan di dekat sebuah sungai di Weda. Setelah Sultan Muhammad Arif
Billa wafat, ia digantikan oleh puteranya, Kimalaha Sugi – sebelumnya menjabat sebagai Ngofa
Jou (putera mahkota). Sultan Jailolo ke-2 ini bergelar Muhammad Asgar. Dalam menghadapi
Belanda, sikap dan strategi politiknya tidak pernah jelas. Dukungan Inggris untuk Tidore yang
berlangsung hingga kematiannya pada 1810 gagal dimanfaatkannya untuk memulihkan kekuatan
Tidore. Kesalahannya yang paling menyakitkan adalah keterbatasannya dalam memahami
perkembangan hubungan antara Inggris dan Belanda. Akhirnya ia sepenuhnya gagal dalam
mengendalikan kekuasaan di wilayah Tidore.

MAKASAR

Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal


dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi
pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene,
Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Mereka kemudian bergabung untuk
membentuk Kerajaan Gowa.

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar
dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan.
Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung
selatan dan pesisir barat Sulawesi.

Sumber asing dr catatan Tome Pires, tentang bagaimana kemampuan


pelayaran dan perdagangan yang dilakukan org2 Makasar (bugis). “Orang-
orang Makasar telah berdagang sampai Malaka, Jawa, Borneo, Siam, Pahang.
Mereka benar-benar pelaut ulung

Kerajaan Gowa Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar.


Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya
adalah ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai Ujungpandang.

Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena


dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah
Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal
dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari
daerah Indonesia bagian barat.

Raja-raja Gowa Tallo

1. Tumanurunga

Munculnya nama Gowa dimulai pada tahun 1320, yakni pada masa
pemerintahan Raja Gowa pertama bernama Tumanurunga.

2. Tumassalangga Baraya

Hasil perkawinan Tumanurunga dengan Karaeng Bayo, yaitu seorang


pendatang yang tidak diketahui asal usulnya. Hanya dikatakan berasal dari
arah selatan bersama temannya Lakipadada. Dari hasil perkawinan tersebut
lahirlah Tumassalangga Baraya yang nantinya menggantikan ibunya menjadi
raja Gowa kedua (1345-1370).

3. Tunatangka Lopi

(1400) kerajaan ini dibagi menjadi dua yaitu Kerajaan Gowa dan
Kerajaan Tallo. Pemisahan terjadi karena Tunatangka Lopi memiliki dua anak
yang sama-sama ingin berkuasa. Setelah Tunatangka Lopi meninggal dunia,
Batara Gowa meneruskan tahta ayahnya sebagai Raja Gowa VII. Sementara
saudaranya, Karaeng Loe Ri Sero, menjadi Raja Tallo yang pertama. Selama
hampir satu abad, dua kerajaan ini berjalan sendiri-sendiri.

4. Batara Gowa

Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero. Batara Gowa melanjutkan


kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Wilayahnya meliputi
Paccelekang, Patalassang, Bontomanai Ilau, Bontomanai Iraya, Tombolo, dan
Mangasa. Adiknya, Karaeng Loe ri Sero dengan wilayah : Saumata,
Pannampu, Moncong Loe, Parang Loe.

5. Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna

Kerajaan Gowa mengalami kemajuan di bidang Ekonomi dan


politik. Memindahkan Ibukota dari istana kerajaan dari Tamalate ke Somba
Opu. Kerajaan Gowa dan Tallo disatukan kembali. Wilayah Tallo kembali
menjadi bagian dari Kerajaan Gowa. Membangun sebuah dermaga yang
menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Maritim yang terkenal di wilayah
nusantara bahkan sampai ke luar negeri. Daerah kekuasaan mencapai
Garassi, Katingan, Mandalle, Parigi, Pangkajene, Sidenreng, Lempangan,
Bulukumba, Selayar, Panaikang, Campaga, Marusu, Polongbangkeng ,
Sanrobone, Jipang, Galesong, Agang Nionjok, Tanete (Barru), Kahu, dan
Pakombong.

6. Daeng Bonto Karaeng Lakiyung

(1546-1565 ) memperkuat benteng-benteng pertahanan


kerajaan dengan menjadikan Benteng somba Opu sebagai benmteng utama.
Politik ekspansinya berjalan dengan baik. Kerajaan yang tidak mau tunduk
pada pengaruh Gowa dianggap sebagai saingan yang harus ditaklukkan

7. Daeng Marompa Karaeng Tonibatta

Paling pendek masa jabatannya, yakni hanya 40 hari. Baru saja


menduduki tampuk kekuasaan, ia langsung mengadakan ekspansi ke
kerajaan Bone dan Tonibatta kandas.

8. Daeng Mameta Karaeng Tonijallo


Keadaan damai dimanfaatkan oleh kerajaan bone untuk
menyusun aliansi “tiga puncak kerajaan Bugis” untuk menghadapi agresi
Gowa. Tonijallo memandang aliansi ini sebagai ancaman langsung terhadap
supremasi Gowa. Pada tahun 1583 ia melancarkan serangan terhadap Wajo.
Tujuh tahun kemudian 1590, serangan dilanjutkan kembali tetapi Gowa tetap
tidak mampu mengalahkan. Tonijallo sendiri tewas diamuk oleh pengikutnya.

9.Daeng Manrabbia Sultan Alauddin

Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.


Sultan Alauddin dengan nama asli Karaeng Ma’towaya Tumamenanga ri
Agamanna. Ia merupakan Raja Gowa Tallo yang pertama kali memeluk
agama islam yang memerintah dari tahun 1591 – 1638. Dibantu oleh Daeng
Manrabia (Raja Tallo) bergelar Sultan Abdullah. melakukan peresmian
terhadap agama Islam pada malam Jum’at, 22 September 1605, atau 9
Jumadil Awal 1014 H.

10. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan


Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna

Merupakan awal zaman ke’emasan Gowa kekuasaan dan pengaruhnya


kian meluas dan diakui sebagai pemegang hegemoni dan supremasi di
Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia. mampu menjalin
hubungan internasional yang akrab dengan raja-raja dan pembesar dari
negara luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis,
Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spayol dan Marchente di
Mesoliputan (India), Mufti Besar Arabia dan terlebih lagi dengan kerajaan-
kerajaan di sekitar Nusantara.

11. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape


Sultan Hasanuddin
ketegangan Gowa dengan Belanda kian meruncing. Karena
sikap beliau sangat tegas dan tak mau tunduk pada Belanda. Tahun
1654-1655 terjadi pertempuran hebat antara Gowa dan Belanda di
kepulauan Maluku. April 1655 armada Gowa yang langsung dipimpin
Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta
menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu. Karena
keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het
Oosten oleh Belandayang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur.
12. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah
Tuminanga ri Allu‘

Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674,


dan wafat 7 Mei 1681 beserta I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo
Tuminanga ri Passiringanna

13. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara


Merupakan keturunan dari Sultan Hasanudin yang gugur dalam
tahanan Belanda di Batavia (Jakarta) pada tahun 1680

14. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi.

Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735

15. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan


Husain Tuminang ri Bundu'na

Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai


di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan
terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan
dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat
jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906

16. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan


Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1946-1960)

merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada


tahun 1978 dan sekaligus Bupati Gowa pertama.

Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh DDato’ Ri Bandang dari


Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di
Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja
Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Sultan Alaudin. Sejak
pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai
kerajaan maritim.

Kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa


pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Sultan Hasannudin terkenal
sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia
menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC.

Kerajaan Gowa Tallo mrpkn kerajaan Maritim.

Faktor2:

• Letak yang strategis,

• Memiliki pelabuhan yang baik

• Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan


banyak pedagang-pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.

Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan


internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti
Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di
Makasar. Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan
pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di
bagian Timur Sulawesi Selatan.

Sebagai kerajaan Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah


nelayan dan pedagang.

Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama


Islam yang disebut Pangadakkang. Dan masyarakat Makasar sangat percaya
terhadap norma-norma tersebut.

Masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan
atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut
dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to
Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut
dengan golongan “Ata”.

Kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda


budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai
pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan
nama Pinisi dan Lombo.

Islam di gowa-tallo

- kehadiran agama Islam sudah ada sejak abad sebelum kedatangan


Tome Pires (1512-1515), karena ia menceritakan bahwa Makassar
sudah melakukan hubungsn kerja dengan Malaka, Kalimantan, dan
Siam. tetapi masih banyak penguasa yang belum masuk Islam

- raja dari Gowa dan Tallo secara resmi memeluk Islam pada tanggal 22
September 1605M

- Sebelum memeluk Islam kerajaan ini sering berperang dengan


kerajaan lainnya, , seperti Bone, Luwu, Soppeng, dan Wajo. Hanya
kerajaan Bone yang masih bisa bertahan karena bantuan Wajo secara
rahasia

- Sejak Gowa resmi menjadi kerajaan bercorak Islam pada tahun 1605,
gowa meluaskan politiknya agar kerajaan lain memeluk Islam juga dan
tunduk pada kerajaan Gowa-Tallo, antara lain Wajo pada tanggal 10 Mei
1610 dan Bone pada tanggal 23 November 1611

- Islamisasi juga dilakukan oleh Mubalig yang disebut dengan Dalto Tallu
(tiger dalto); Dato’ri Bandang (Abdul makmur atau Khatib Tunggal),
Dato’ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau khatib Sulung), Dato’ri Tiro
(Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal
dari kota tengah Minangkabau.

- Para Mubalig itu mengislamkan raja Luwu, yaitu Datu’ La Patiware’


Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada tanggal 15-16
Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605). Kemudian disusul oleh raja
Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Motowaya dari Tallo yang bernama I
Malilingkan Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan Syahadat
hari Jumat sore tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H (22 September 1605 M)
dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’
rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada hari Jumat 19
Rajab 1016 H (9 November 1607 M).

- Ajaran dari Syeikh Yusuf al-Makasari juga tersebar di kerajaan Gowa


dan kerajaan lainnya pada medio abad 17 M.

- Akan tetapi, karena banyak tantangan dari kaum bangsawan gowa, ia


meninggalkan Sulawesi Selatan dan pergi ke Banten, disana ia
diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan dijadikan mantu dan
diangkat sebagai mufti di Kesultanan Banten.
- Walaupun kerajaan Gowa-Tallo sudah memeluk Islam, tetapi kerajaan
ini memiliki hubunngan baik dengan orang-orang Portugis. Bahkan
Fransisco Viera dijadikan utusan kerajaan Gowa-tallo di banten dan di
batavia dan Sultan Muhammad Said dan Kareang Patingalong
menanam saham dalam perdagangan yang dilakukan Fransisco Viera.

Hubungan dengan Portugis mulai merenggang karena di tahun 1638


perampokan kapal orang Bugis oleh belanda yang bemuatan kayu cendana
dan telah dijual kepada orang Portugis. Orang Portugis meminta ganti rugi
kepada Raja Gowa tetapi raja Gowa Karaeng Petengaloan menolaknya dan
akhirnya Raja Gowa mengusir orang orang Belanda dari Sombaopu

Hubungan dengan VOC

- Semula Voc tidak menaruh perhatian kepada kerajaan Gowa-


Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang
perdagangan, tetapi setelah kapal Portugis yang dirampas
VOC pada masa Gubernur Jendral Y.P. Coen di dekat perairan
Malaka, ternyata ada orang Makassar, yang memberi info
bahwa makassar merupakan daerah transit bagi para
pedagang rempah-rempah dari Maluku

- Pada 1616 ketika sebuah kapal Belanda turun di Sumbawa


orang-orangnya dibunuh,dan inilah yang membuat Y.P. Coen di
Batavia marah. Sejak itulah permusuhan antar Gowa dan VOC
dimulai.

Peristiwa peperangan dari waktu kewaktu berjalan terus dan baru


berdamai antar 1637-1638

- perjanjian damai itu tidak kekal karena pada tahun 1638


dengan ada perampokan kapal orang Bugis oleh orang belanda
yang bemuatan kayu cendana dan telah dijual kepada orang
Portugis.

- Perang antara kerajaan Gowa dan VOC tidak dapat dielakan,


pada akhir 1653 terjadi perang besar-besaran selama 1 tahun.
Di pelabuahn Sombaopu, Maluku dan rakyatnya membantu
Gowa sebab tidak menyenangi sistem politik monopoli
perdagangan rempah-rempah oleh VOC.
- Dampak dari perlawanan ini, VOC di Batavia menyodorkan
perdamaian pada tanggal 27 Februari 1656. Perjanjian
tersebut diterima Gowa karena menguntungkan, yaitu
dibolehkan menagih utang ke Ambon. VOC Boleh menagih
utang atas perampokan kapal Bugis yang memuat kayu
Cendana seperti yang pernah terjadi, VOC tidak pernah akan
campur tangan dengan urusan dalam kerajaan Gowa, dan akan
membayar kerugian atas penangkapan orang orang Makassar
di Maluku dan sebagainya

- Pada perjanjian ini, VOC merasa dirugikan, kemudian


Speelman dengan dibantu Arung Palaka mempersiakan armada
untuk menyerang Gowa-Tallo

- Sultan Hasanudin tidak gentar melawan kekuatan VOC, dan


terjadi perang hebat dimana-mana

- Namun karena kekuatan VOC lebih besar memaksa kerajaan


Gowa menyerah dan menandatangani perjanjian Bongaya

Isi perjanjian Bongaya

1. VOC menguasai monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan dan


Sulawesi

Tenggara.

2. Makasar harus melepas seluruh daerah bawahannya, seperti


Sopeng, Luwu,

Wajo, dan Bone.

3. Aru Palaka dikukuhkan sebagai Raja Bone.

4. Makasar harus menyerahkan seluruh benteng-bentengnya.

5. Makasar harus membayar biaya perang dalam bentuk hasil bumi


kepada VOC setiap tahun.

Perjanjian tersebut sangat merugikan rakyat Indonesia,


terlebih di Makasar dan politik adu domba Belanda terhadap Sultan
Hasanudin dan Aru Palaka telah menghancurkan persatuan rakyat di
Makasar.

Perdagangan

Kontak maritim antara negara-negara Asia Tenggara dengan Cina dan India dapat dirunut ke

belakang sejauh ribuan tahun, dan daya tarik utama wilayah ini adalah rempah-rempah Maluku,

mineral, dan hasil laut maupun hutan. Sriwijaya memelihara hubungan yang erat dengan

pedagang Arab dan India, dan memperoleh sebagian besar kekayaannya dari hubungan eratnya

dengan Cina. Di periode awal, para pedagang berlayar dari Semenanjung Arab hingga Cina,

menetap di pelabuhan-pelabuhan seperti Kanton.

Rempah-rempah membawa orang Eropa ke Asia, tepatnya ke Maluku. Portugis yang

menaklukan Malaka di tahun 1511, selama sebagian besar abad ke-16 berada di Ambon, Banda,

dan sampai 1574 di Ternate. Kemudian mereka pergi ke Tidore ( 1578-1605 ) untuk sementara

waktu. Di sebelah selatan, kehadiran mereka di Nusa Tenggara yang kaya akan kayu cendana ini

dimulai sejak 1592 ketika mereka membuka satu basis di Solor di sebelah timur Flores. Tempat

tersebut kemudian ditinggalkan di tahun 1613, tetapi orang Portugis tetap kuat di Timor dengan

permukiman di Lifau ( 1702-1769 ) dan di Dili sampai 1975.

Orang-orang Portugis bekerja sama dengan penguasa Gowa-Tallo’ dimana mereka disambut

terbuka di istana. Persaingan yang ketat terjadi antara Portugis dan VOC. Belanda mengambil

alih Ambon dari Portugis tahun 1605. Penduduk Banda berkurang dari satu sampai dua ribu

orang ketika VOC menerapkan monopoli buah palanya di tahun 1621. Mereka yang selamat
beralih menjadi pengungsi dan pedagang yang dengan getir bermusuhan dengan VOC.

Mengikuti gempuran yang berhasil atas Ternate di tahun 1679-1681 intervensi Belanda menjadi

semakin menentukan, tetapi baru di tahun 1783 Tidore dan Ternate resmi ditaklukan oleh VOC.

Suku Bugis tersebar di seluruh Malaysia dan Indonesia. Jaringan perdagangan mereka

membentuk satu poros timur-barat dengan Johor-Riau di ujung barat, dan Makassar di timur.

Makassar dalam hal ini harus dipahami sebagai istilah yang mengacu pada satu kumpulan

pelabuhan di Sulawesi Baratdaya, tetapi tidak terbatas pada Makassar yang dikuasai Belanda.

Setelah 1720 Bugis sangat kuat di Kepulauan Riau-Lingga yang strategis di ujung selatan Selat

Malaka sampai Belanda menyerangnya di tahun 1784.

Para pedagang Cina membentuk faktor penyatu utama yang kedua sesudah orang Bugis dalam

perdagangan di Maluku di abad ke-18. Meskipun orang Cina memainkan peranan kunci dalam

permukiman VOC sebagai pengusaha, tukang, dan pembayar pajak, VOC sangat curiga akan

persaingan ekonomi mereka. Meskipun demikian, para sultan dari Ternate dan Tidore sangat

menentang usaha apa pun dari Belanda untuk membatasi kegiatan orang Cina yang sangat

menghasilkan keuntungan bagi masyarakat dan penguasa terutama di Teluk Tomini, Maluku, dan

New Guinea. Di tahun 1773 para pejabat VOC di Ternate mencatat bahwa 2 dari 3 sampan (jung)

Cina yang penuh beban muatan datang dari Sulu tiap tahun, mempertukarkan barang mereka

dengan mutiara, tempurung penyu, dan lilin.

Di tahun 1770-an Belanda menganggap Timor, Makassar, Ternate, dan Tidore sebagai

penjaga jalur laut ke Maluku. Akibatnya, garnisun dan kapal penjelajah di Makssar sangat sentral

dalam strategi VOC, tidak hanya karena lokasinya tetapi juga karena Makassar pada mulanya

merupakan pusat utama perdagangan bebas untuk rempah-rempah. Orang-orang Bugis dianggap
sebagai ancaman bagi perdagangan VOC dan karenanya membatasi pelayaran mereka menjadi

kebijakan yang penting bagi Belanda. Tetapi kendali VOC atas Makassar dan Maluku tidak

menyebabkan menurunnya perdagangan Asia. Pegawai VOC maupun saudagar-saudagar Asia

berminat untuk mendapatkan uang dan karena itulah mereka sangat longgar dalam menafsirkan

dan menerapkan peraturan. Korupsi menjadi umum terjadi terutama di daerah yang didominasi

oleh VOC, penyelundupan juga terus berlangsung. Banyak perdagangan terjadi dibawah tangan,

menciptakan koneksi dan titik pertukaran di luar jangkauan Belanda.

Tahun 1730, sebagai contoh, Keffing di Seram Timur adalah satu pasar dimana pedagang

Makassar, Bugis, Melayu, dan Jawa mempertukarkan kain dengan rempah-rempah. Pedagang

Makssar membawa bagian mereka melalui Teluk Tomini lewat Mandar ke Makassar atau

Banjarmasin, atau menyusuri pantai Kalimantan Timur ( Berau memainkan peran penting ) dan

kemudian ke arah barat.

Di abad ke-18, pedagang Bugis secara dominan di Pasir dan Kutai Kalimantan Timur,

menghubungkan daerah pedalaman, yang dapat dicapai lewat sungai-sungai Kendilo dan

Mahakam, dengan jaringan di seberang lautan. Pantai Timur Kalimantan menjadi semkain terikat

pada Makassar, dimana Brunei ( partner dagang lama mereka yang lain ) menjadi semakin terkait

dengan orang-orang Spanyol-Filiphina dan Sulu. Bagi para pedagang yang ingin menghindari

Belanda, Brunei merupakan pelabuhan singgah yang tepat. Banjarmasin ( pantai tenggara

Kalimantan ) pernah berhubungan erat dengan Sulawesi Selatan.

Mulai 1740 kapal-kapal Inggris dan Cina mengunjungi pelabuhan yang kaya akan lada ini

secara teratur sehingga pedagang-pedagang lokal mulai pergi kesana meskipun ada larangan.

Belanda terpaksa mengintervensi dengan mendirikan pos perdagangan di tahun 1749. Di tahun
1767 syahbandar Makassar mengeluh akan adanya perdagangan timur-barat ilegal yang berpusat

di Riau. Belanda akhirnya menghancurkan Riau di tahun 1784, mematahkan kekuatan Bugis dan

memantapkan kekuasaannya atas sultan-sultan Melayu.

Di tahun 1660-an, pedagang-pedagang di Gujarat dengan menggunakan koneksi Inggris,

menjadikan Manila sebagai pangkalan terdepan untuk perdagangan Cina. Karenanya, dengan

membangkang pada para Kaisar Cina, VOC, dan aturan Spanyol, Manila terus menarik saudagar

dari berbagai daerah. Hanya dengan Reformasi Basco di tahun 1770-an perdagangan akhirnya

diizinkan secara resmi untuk dilanjutkan, melegalkan penyelundupan yang sudah berpuluh tahun

dilakukan.

Di abad ke-18 Sulu juga berkeinginan keras untuk menghidupkan kembali perdagangan

mereka dengan Cina, yang sekali lagi terbuka untuk perdagangan, dan diantara tahun 1727 dan

1763 Sulu mengirim lima kali upeti yang membawa misi perdagangan ke Cina. Permukiman

Bugis di Pulau Laut, Pasir, Samarinda, dan Berau akan mempertukarkan barang dengan Sulu

yang menjadi tetangga mereka yang berlokasi di permukiman utara. Perdagangan yang terjadi di

pelabuhan yang kerap dikunjungi Cina, dan setelah 1746 kontak langsung dengan Amoy,

menjadi basis fundamental penyusunan ulang perdagangan Makassar.

Prioritas utama VOC adalah untuk memonopoli perdangan rempah-rempah dan sekitar tahun

1670 mereka cukup berhasil. Kendali VOC menjadi tidak relevan dalam ekspor yang ditujukan

ke Cina, yang sering berasal dari laut yang terpencil atau daerah hutan. Dalam hal ini termasuk

perdagangan tripang yang didasarkan pada kerjasama pedagang dan pelayan Bugis, Makassar,

dan Bajo dengan saudagar Cina. Daerah-daerah yang berhasil menentang orang-orang Eropa

seperti pelabuhan-pelabuhan Riau, Sulu, dan Kalimantan memperoleh kemakmuran mereka dari
jaringan-jaringan perdagangan ini yang merupakan kelanjutan dari pola-pola di abad

sebelumnya.

Awal Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap VOC (1651- 1682)


Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran Surya
dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari Mekah mendapat gelar
Sultan Abdulfath Abdulfatah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa setelah
sebelumnya Banten diperintah oleh kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan
Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan anak dari Sultan
Abul Ma’ali Ahmad.
Sultan Ageng Tirtayasa selama memerintah kesultanan Banten sangat menentang
segala bentuk penjajahan asing atas daerah kekuasaannya, termasuk kehadiran VOC yang
hendak menguasai Banten sangat ditentang oleh Sultan Ageng Tirtayasa.Oleh sebab itu,
VOC yang berusaha melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten dengan menyerang
kapal-kapal yang hendak berdagang di Banten mendapatkan perlawanan dari pasukan
Banten.
Perlawanan itu awalnya diwujudkan dengan perusakan terhadap segala instalasi
milik VOC di wilayah kekuasaan kesultanan Banten.Dengan tindakan perlawanan
demikian, Sultan Ageng Tirtayasamengharapkan agar VOC segera meninggalkan Banten.
Tangerang dan Angke dijadikan sebagai garis terdepan pertahanan dalam menghadapi
VOC. Pasukan Banten menyerang Batavia pada 1652 juga dimulai dari Tangerang dan
Angke.
Untuk meredakan perlawanan tersebut, VOC mengirimkan utusan sebanyak dua
kali pada tahun 1655 dengan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai
hadiah-hadiah yang menarik, namun keseluruhannya ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Bahkan Sultan Ageng Tirtayasa menanggapinya dengan memerintahkan pasukan Banten
pada tahun 1656 untuk melakukan gerilya besar-besaran dengan mengadakan
pengerusakan terhadap kebun-kebun tebu, pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran
markas patroli, dan pembunuhan terhadap beberapa orang Belanda yang keseluruhan
dilakukan pada malam hari. Selain itu, pasukan Banten juga merusak kapal-kapal milik
Belanda yang berada di pelabuhan Benten, sehingga untuk memasuki Banten, diperlukan
pasukan yang kuat untuk mengawal kapal-kapal tersebut.
Saat perlawanan sering terjadi, Sultan Ageng Tirtayasa seringkali mengadakan
hubungan kerjasama dengan kesultanan lain, seperti kesultanan Cirebon dan Mataram serta
dengan Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark. Hal ini dilakukan agar Banten dapat
memperkuat kedudukan dan kekuatannya dalam menghadapi kekuatan VOC. Dari Turki,
Inggris, Perancis, dan Denmark inilah Banten mendapatkan banyak bantuan berupa senjata
api. Sultan Ageng Tirtayasa pun melakukan penyatuan terhadap daerah yang dikuasai oleh
kesultanan Banten, yaitu Lampung, Bangka, Silebar, Indragiri dalam kesatuan pasukan
Surosowan.
Menghadapi kenyataan tersebut, VOC pun melakukan penyatuan kekuatan dengan
menyewa serdadu-serdadu dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Bali, Makasar, dan
Bugis karena serdadu Belanda jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi perlawanan, serdadu-
serdadu pribumi inilah yang melawan pasukan Banten, sedangkan serdadu Belanda lebih
banyak berada dibelakang serdadu pribumi tersebut.
Semakin kuatnya pasukan Banten, ditambah dengan kurangnya persiapan VOC
dalam menghadap Banten karena sedang berperang dengan Makasarmembuat VOC pada
sekitar bulan November dan Desember 1657 mengajukan penawaran gencatan senjata.
Pertempuran antara Banten dan VOC ini sangat merugikan kedua belah pihak. Gencatan
senjatapun baru dapat dilakukan setelah utusan VOC dari Batavia mendatangi Sultan
Ageng Tirtayasa pada tanggal 29 April 1658 dengan membawa rancangan perjanjian yang
berisi sepuluh pasal. Diantara pasal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal
perubahan.Namun, hal tersebut ditolak oleh VOC sehingga perlawanan dan peperangan
kembali terjadi.
Penolakan dari VOC tersebut semakin menguatkan keyakinan Sultan Ageng
Tirtayasa bahwa tidak akan ada kesesuaian pendapat antara kesultanan Banten dengan
VOC sehingga jalan satu-satunya adalah dengan kekerasan, yaitu berperang. Oleh sebab
itu, Sultan Ageng Tirtayasa mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu
mengirimkan surat ke VOC pada tanggal 11 Mei 1658. Menurut Djajadiningrat (1983:71)
dan Tjandrasasmita (1967:12-16), pertempuran antara VOC dengan pasukan Banten
berlangsung secara terus menerus mulai dari bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10
Juli 1659.
Pada dasarnya, perlawanan Banten terhadap VOC setelah adanya keinginan untuk
melakukan gencatan senjata dipicu oleh terbunuhnya Lurah Astrasusila diatas kapal VOC.
Lurah Astrasusila yang saat itu menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa
orang Belanda di atas kapal bersama kedua temannya. Namun, apa yang dilakukannya
berhasil diketahui oleh orang-orang Belanda lain diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah
Astrasusila bersama kedua temannya dibunuh diatas kapal tersebut.Berita mengenai
terbunuhnya Lurah Astrasusila diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga memicu
aksi balas dendam dan perlawanan dari Banten (Djajadiningrat, 1983:73).
Penyerangan yang dilakukan Benten secara terus menerus terhadap VOC
membuat kedudukan VOC semakin terdesak sampai medekati batas kota Batavia.
Akhirnya VOC mengajukan gencatan senjata. Menyadari bahwa Banten akan menolak
perjanjan gencatan senjata, maka VOC membujuk sultan Jambi untuk mengakomodasi
perjanjian tersebut. Maka sultan Jambi pun mengirimkan utusannya yaitu Kiyai Damang
Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana.Pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani
perjanjian gencatan senjata antara Banten dan VOC.
Gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan
konsolidasi kekuatan, diantaranya menjalin hubungan dengan Inggris, Perancis, Turki, dan
Denmark, dengan tujuan memperoleh bantuan senjata.Gencatan senjata ini membuat
blokade yang dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan Banten kembali dibuka. Berbagai
cara yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat Banten berkembang dengan
pesat. Hal tersebut memicu Gubernur Jendral Ryklop van Goens sebagai pengganti
Gubernur Jendral Joan Maetsuyker menulis surat yang ditujukan kepada kerajaan Belanda
tertanggal 31 Januari 1679 tentang usaha untuk menghancurkan dan melenyapkan Banten
(Tjandrasasmita, 1967:35).

Perlawanan Kesultanan Banten dan Politik Adu Domba VOC


Setelah perjanjian gencatan senjata, VOC menggunakan kesempatan tersebut
untukmempersulit kedudukan Banten.Cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan
kerjasama dengan kesultanan Cirebon dan kesultanan Mataram.Puncaknya adalah ketika
Amangkurat II menandatangani perjanjian dengan VOC. Selain itu, Cirebon pun berada di
bawah kekuasaan VOC pada tahun 1681.Dengan Mataram dan Cirebon dibawah kendali
VOC, maka posisi Banten semakin terjepit karena Mataram dan Cirebon merupakan
kesultanan yang memiliki hubungan baik dengan Banten.
Posisi tersebut makin sulit dengan terjadinya perpecahan di dalam kesultanan
Banten sendiri.Putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Pangeran Gusti dan Pangeran Arya
Purbaya mendapatkan kekuasaan, masing-masing untuk mengurusi kedaulatan ke dalam
kesultanan. Sementara kedaulatan keluar kesultanan masih dikendalikan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa.Pemisahan kekuasaan ini diketahui oleh wakil Belanda di Banten, yaitu W.
Caeffyang kemudian mendekati dan menghasut Pangeran Gusti untuk mencurigai ayahnya
dan saudaranya sendiri.
Pada saat itu, Pangeran Gusti pergi ke Mekkah dengan meninggalkan
kekuasaannya untuk sementara waktu dan kekuasaan tersebut diberikan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa kepada adiknya yaitu Pangeran Arya Purbaya. Sekembalinya Pangeran Gusti
yang bergelar Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji
dari Mekah, kekuasaan yang dimiliki oleh Pangeran Purbaya semakin meluas sehingga
membuat Sultan Haji iri. Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu-
domba antara Sultan Haji dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan
adiknya, yaitu Pangeran Arya Purbaya. Konflik ini dimanfaatkan oleh VOC untuk
memadamkan dan memperlemah kekuatan Banten.

Akhir Perlawanan Banten terhadap VOC


Rasa iri dan kekhawatiran Sultan Haji akan kekuasaannya melahirkan
persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. VOC bersedia
membantu Sultan Haji dengan mengajukan empat syarat, yaitu menyerahkan Cirebon
kepada VOC, monopoli lada dikendalikan oleh VOC, membayar 600.000 ringgit apabila
ingkar janji, dan menarik pasukan Banten yang berada di daerah pesisir pantai dan
pedalaman Priangan. Syarat tersebut dipenuhi oleh Sultan haji.Pada tanggal 27 Februari
1682, pecahlah perang antara Sultan Haji dengan dibantu VOC melawan ayahnya sendiri,
yaitu Sultan Ageng Tirtayasa.Inilah akhir dari kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di
kesultanan Banten.
Namun, pasukan yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa masih terlalu kuat
sehingga berhasil mengepung VOC bersama dengan Sultan Haji.VOC segera memberikan
perlindungan kepada Sultan Haji dibawah pimpinan Jacob de Roy.Bersama dengan Kapten
Sloot dan W. Caeff, Sultan Haji mepertahankan loji tempatnya berlindung. Kekuatan
pasukan Sultan Ageng Tirtayasa membuat bantuan dari Batavia tidak dapat mendarat di
Banten. Hal tersebut memaksa Sultan Haji untuk mengadakan perjanjian baru dengan VOC
yaitu memberikan hak monopoli VOC di Banten.Setelah perjanjian tersebut, tanggal 7
April 1682, datanglah bantuan dari Batavia yang dipimpin oleh Francois Tack dan De Sant
Martin, dibantu oleh Jonker, tokoh yang memadamkan pemberontakan Trunojoyo.Pasukan
ini berhasil membebaskan loji dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa.
Setelah itu, pemberontakan terus terjadi meskipun VOC telah beberapa kali
meminta Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyerah.Untuk menyelesaikan perlawanan
tersebut, Sultan Haji mengutus 52 orang keluarganya untuk membujuk Sultan Ageng
Tirtayasa.Setelah berhasil dibujuk, Sultan Haji dan VOC menerapkan tipu muslihat dengan
mengepung iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa menuju ke istana Surosowan pada tanggal
14 Maret 1683.Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap, namun Pangeran Arya Purbaya
berhasil lolos.Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai
meninggal pada tahun 1692.Sultan Haji sendiri akhirnya naik tahta dengan restu VOC,
memerintah dari tahun 1682 sampai dengan 1687.Pada tanggal 17 April 1684,
ditandatanganilah perjanjian dalam bahasa Belanda, Jawa, dan Melayu yang berisi 10
pasal.Perjanjian inilah yang menandai berakhirnya kekuasaan kesultanan Banten, dan
dimulainya monopoli VOC atas Banten.Dengan demikian berakhirlah perlawanan Sultan
Ageng Tirtayasasetelah dikhianati oleh anaknya sendiri.

PERJANJIAN GIYANTI (1755)

Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC,

pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III, dan kelompok Pangeran
Mangkubumi. Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak dilibatkan dalam

perjanjian ini. Pangeran Mangkubumi demi keuntungan pribadi memutar

haluan menyeberang dari mendukung kelompok pemberontak bergabung

dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan yang memerangi

pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yang ditandatangani

pada tanggal 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai

berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen.

Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di

Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten,

Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.

Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah

timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh

pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap

berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah

Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia

diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana Iyang berkedudukan

di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat

menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.

SEJARAH
Disebutkan bahwa Sunan Kabanaran memerintahkan Pangeran

Natakusuma untuk membagun pesanggrahan di dusun Giyanti yang harus

diselesaikannya dalam waktu 4 bulan. Pesanggrahan itupun dapat

diselesaikan pembuatannya pada akhir bulan Januari 1755, dan disepakati


bahwa perdamaian akan dilaksanakan pada tanggal 22 Rabiulakhir 1680 Be

atau 12 Februari 1755.


Pada tanggal 8 Februari 1755, susuhunan dengan diiringi para senapati

perangngnya tiba di Pesanggrahan Giyanti yang disusul dengan kedatangan

Hartingh yang juga diiirngi oleh para perwira tinggi kompeni. Pertemuan itu

segera dilanjutkan dengan pembicaraan antara keduannya, dan Hartingh

mengajukan beberapa prinsip usulannya yaitu : (1) Banyumas agar tetap

menjadi milik Susuhunan Paku Buwono III di Surakarta (2) Keraton hendak

dibuat Susuhunan tidak berdekatan dengan keraton yang sudah ada di

Surakarta (3) Surabaya dijadikan sebagai lokasi keraton bagi Susuhunan (4)

Susuhunan tidak menjadkkan pangeran Natakusuma yang sabgat membenci

Kompenio sebgai pepatih dalem (5) Susuhunan hendaknya tidak

mengenakan gelar Susuhunan kembali.


Pada hari berikutnya, pembicaraan dilanjutkan dan Susuhunan

memberikan tanggapannya atas usulun Hartingh itu antara lain adalah


(1) Gelar yang akan disandangnya selaku seorang raja adalah Sultan
(2) Keraton akan didirikan tidak di Surabaya melainkan di Mataram
(3) Yang dijadikan pepatih dalem adalah Tumenggung Yudanegara bupati

Banyumas
(4) menuntut pemulangan kembali Adipati Natakusuma, mendiang pepatih

dalem pada masa geger pecinan yang kini hidup alam pengasingan kompeni

di Sailan
(5) Menyetujui Banyumas untuk tetap menjadi milik Sunan PakuBuwono III di

Surakarta.
Usulan penempatan lokasi keraton di surabaya dengan harapan agar

kompeni lebih mudah melakukan pengawasan terhadap terhadap gerakan

dan kebijaksanaan Susuhunan justru ditolak dan mataram yang cukup jauh
dari pusat-pusat kekuatan militer kompeni menjadi tuntutan susuhunan

untuk dijadikan sebagai pusat kerajaannya. Penyerahan Banyumas yang

diharapkan atas dasar kekhawatiran akan kemungkinan ekspansi di masa

mendatang dari Susuhunan terhadap Kompeni di Batavia dikarenakan lokasi

Banyumas yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan Kompeni itu, justru

ditanggapi dengan penunjukan Tumenggung Yudanegara bupati Banyumas

untuk menjadi pepatih dalem. Dan terakhir adalah masalah pengembalian

Adipati Natakusuma yang dinilai Kompeni sangat berbahaya justru dituntut

oleh Susuhunan Hartingh yang menyadari akan pretensi Sunan Kabanaran

yang tinggi dan juga permintaannya yang sudah dipenuhi Susuhunan

mengenai tuntutannya untuk mengembalikan pesisir utara Jawa kepada

Kompeni, membuatnya tidak dapat menolak tanggapan ataupun tuntutan

dari Susuhunan tersebut.


Pada tanggal 12 Februari 1755, ditanda-tanganilah perjanjian

perdamaian oleh pihak Kompeni Hartingh, pihak Sunan Paku Buwono ll yang

diwakili oleh Patih Adipati Priggalaya, dan pihak Sunan Kabanaran yang

diwakili Pangeran Natakusuma. Perjanjian tersebut berisikan 9 pasal, dan

secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :


1. Susuhunan berhak menjadi raja atas separuh wilayah Mataram dengan

gelar Sultan, namun harus bersumpah setia kepada Kompeni beserta

segenap keluarga dan keturunannya.


2. Kerja sama diantara Kompeni dan orang-orang Jawa (kawula Sultan)

untuk ditingkalkan dan mencegah adanya sikap saling merugikan

diantara kedua belah pihak.


3. Penunjukan pepatih dalem dan bupati serta petinggi kerajaan oleh

Sultan harus mendapatkan persetujuan dari wakil Kompeni di

Semarang dan berjanji untuk tidak melakukan usaha-usaha yang dapat

meregangkan hubungan kerajaan dengan Kompeni.


4. Pemecatan pepatih dalem dan bupati serta petinggi kerajaan oleh

Sultan harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu pula dari

Kompeni.
5. Sultan diwajibkan untuk mengampuni seluruh kesalahan-kesalahan

dari para bupati yang pada masa perang terdahulu berpihak kepada

Kompeni.
6. Sultan tidak boleh lagi untuk menuntut wilayah Mataram, terutama

pesisir utara Jawa yang sudah diserahkan kepada Kompeni melalui

Perianjian Ponorogo 1743, dan sebagai ganti atas wilayah tersebut

Kompeni akan membayar uang sejumlah 20.000 real kepada Sultan

setiap tahunnya. Juga Sultan hans bersedia bekerja sama dengan

Kompeni secara militer terhadap seuap perlawanan yang ditujukan

kepada Kompeni dan sebaliknya.


7. Sultan tidak boleh menuntut haknya atas kerajaan di Surakarta beserta

segenap keturunannya.
8. Sultan diwajibkan menjual seluruh hasil buminya hanya kepada

Kompeni dengan yang ditetapkan oleh Kompeni.


9. Sultan diminua untuk tetap menghargai dan mematuhi seluruh

perjanjian-perjanjian dengan Kompeni yang sudah ada seperti

Perjanjian 1705, Perjanjian 1733, Perianjian 1743, Perianjian 1746,

dan Perjanjian 1749.


Perjanjian tersebut diakhiri dengan ketentuan apabila Sultan tidak

dapat memegang teguh isi dari Perjanjian tersebut, adalah menjadi hak
Kompeni untuk dapat mencabut gelar Sultan dan menghapuskan kerajaan

yang dipimpinnya. Dengan ditanda-tanganinya perjanjian tersebut, Sunan

Kabanaran mengembalikan seluruh daerah pesisir utara dan juga Madura

yang telah kepada Kompeni. Setelah penanda-tanganan perjanjian tersebut,

keesokan harinya pada tanggal 13 Februari 1755 dilangsungkanlah upacara

resmi bersifat kenegaraan yang dilangsungkan di tempat yang sama.

Upacara tersebut dimulai dengan pembacaan naskah pidato Gubernur

Jenderal Jacoob Moesel oleh Hartingh.


Acara kedua adalah pembacaan naskah pidato Sunan Paku Buwono

yang dilakukan oleh Patih Adipati Pringgalaya yang Juga berisikan ucapan

selamat dan terima kasih atas kesediaan Sunan Kabanaran untuk berdamai

dan kerelaan Sunan Paku Buwono III.


Dan terakhir adalah pembacaan pernyataan Sunan Kabanaran oleh

Pangeran Natakusuma yang berisikan pernyataan penegasan Susuhunan,

antara lain :
1. Gelar Susuhunan yang disandang sejak saat itu dirubah menjadi Sultan
2. Gelar yang disandangnya adalah Hamengku Buwono
3. Keraton atau pusat kerajaan akan didirikan di Mataram, tepatnya di

dusun Beringharja dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat


4. Wilayah kekuasaannya meliputi separuh tanah Jawa wilayah kerajaan

Mataram
5. Sebutan lengkap raja adalah Ngarsadalem Sampeyan Dalem Ingkang

Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senapani Hing Alaga

Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumenene Kaping

Sepisan (I) Ngayogyakarta Mataram.


Kalimat dalam naskah tersebut menekankan bahwa terhadap siapapun

yang menentang pernyataan tersebut akan diperlakukan sebagai musuh

negara dan berhak untuk disirnakan (ditumpas).


Pembagian Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta(1755)
Setelah upacara perdamaian selesai, Sultan mulai mempersiapkan

bentuk tata pemerintahan beserta segala perangkatnya. Dimulai dengan

kesediaan Pangeran Natakusuma untuk memberikan jabatannya selaku

pepatih dalem kepada Tumenggung Yudanegara yang menjabat pepatih

dalem dengan gelar Kangjeng Raden Adipati Harya Danureja dan berhak atas

tanah lungguh seluas 2.500 karya di wilayah Banyumas, yang diserahkan

Hartingh kepada Sultan yang meliputi Ngrema, Ngledok, Kalibeber dan

Lurung tengah.
Pada tanggal Jumadilawal 4 Februari 1755, bertempat di Pura

Winangun dengan disaksikan Hartingh, Sultan menyampaikan perangkat

kerajaan yang dibacakan oleh Pangeran Natakusuma yang berisikan antara

lain penetapan-penetapan pejabat-pejabat tinggi kerajaan sebagai berikut :


1. Pepatih Dalem adalah TumenggungnYudanegara yang bergelar

Kangjeng Raden Adipati Harya Danureja


2. Tumenggung Suryanegara menjadi bupati miji (hak turun-temurun)

di Grobogan dengan gelar Tumenggung Yudaneagara


3. Pangeran Pakuningrat menjabat sebagai bupati Nayaka Lurah Siti

Sewu yang mengurusi hal-hal menyangkut pertanahan dan ketata-

prajaan, dengan gelar tetap


4. Tumenggung Rangga Prawirasentika menjabat sebagai Bupati

Nayaka Penumping yang mengurusi hal-hal menyangkut

pertahanan negara, dengan gelar Tumenggung Rangga Prawiradirja


5. Pangeran Natakusuma menjabat sebagai Bupati Nayaka Keparak

Tengen yang mengurusi hal-hal mengenai yayasan-yayasan

kerajaan, dengan gelar tetap


6. Tumenggung Bahureksamenjabat sebagai Bupati Nayaka Keparak

Kiwa yang mengurusi hal-hal mengenai pekejaan-pekejaan umum,

dengan gelar Tumenggung Mangunnegara


7. Ngabehi Jayengsari menjabat sebagai Bupati Nayaka Gedong Kiwa

yang mengurusi hal-hal mengenai keuangan kerajaan yang

berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran uang, dengan gelar

Tumenggung Suranata
8. Tumenggung Alap-Alap menjabat sebagai Bupati Kliwon Siti Sewu di

bawah Pangeran Pakuningrat, dengan gelar Tumenggung Martalaya


9. Tumenggung Kertanadi menjabat sebagai Bupati Kinton Penumping

di bawah Tumenggung Rangga Prawiradirja, dengan gelar tetap


10. Ngabehi Prawirasakti menjabat sebagai Bupati Kliwon Keparak

Kiwa di bawah Tumenggung Mangunne- gara, dengan gelar

Tumenggung Prawirasakti
11. Ngabehi Ranadirado menjabat sebagai Bupati Kliwon Keparak

Tengen di bawah Pangeran Natakusuma, dengan gelar Tumenggung

Urawan
12. Ngabehi Ranadimurti dan Ngabehi lidanegara menjabat masing-

masing sebagai Bupati Kliwon Gedong Kiwa dan Bupati Kliwon

Gedong bawah Tumenggung Suranata, dengan gelar masing-

masing adalah Tumenggung Mangunjaya dan Tumenggung

Mangunyuda
13. Ngabehi Ranawijaya menjabat sebagai Bupati Jaksa dengan gelar

Tumenggung Sasmintasastra
14. Ngabehi Muhyidin menjabat sebagai Bupati Lurah Carik dengan

gelar Tiumenggung Cakrawijaya


15. Penghulu keraton adalah Kangjeng Penghulu Ibrahim

Dipaningrat.
Selesai penyampaian susunan perangkat kerajaannya Sultan

memerintahkan kepada Patih Adipati Danureja dan Patih Adipati Pringgalaya

dari Surakarta untuk menyelesaikan seluruh permasalahan yang

menyangkut penetapan wilayah-wilayah yang akan menjadi milik dari

Surakarta dan Yogyakarta, sebagai tindak lanjut dari penanda-tanganan

perjanjian perdamaian.
Tidak disebutkan jangka waktu pelaksanaan perundingan pembagian

wilayah diantara Adipati Pringgalaya yang dibantu Tumenggung Arungbinang

dari Surakarta dengan Adipati Danureja. Adapun secara garis besar,

pembagian wilayah tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut :


1. Daerah Mancanegara yang menjadi wilayah Surakarta meliputi

Banyumas, Blora, Ponorogo, Pace, Kediri, Blitar, dan Wirasaba.

Sedangkan dari daerah Negara agung, Surakarta menerima

Wanasaba, Bumigede, Nglaroh, Matesih, Boyolali dan Kedimang.


2. Daerah Mancanegarayang menjadi wilayah Yogyakarta meliputi

Remo, Grobogan, Pacitan, Magetan Madiun, Jipang, Kertosono.

Sedayu, Caruban, Japan, dan Kalangbret. Sedangkan dari daerah

Negaraagung, Yogyakarta menerima sebagian besar kedu dan

Bagelen yang subur serta Sukowati Pajang (Sragen).


Setelah penetapan pembagian wilayah kerajaan tersebut selesai

dilaksanakan, oleh Kompeni dilangsungkan pertemuan antara Sultan dan

Susuhunan di dusun Lebak Jatisari. Disebutkan bahwa keduanya duduk


berhadapan, Sultan duduk di sebelah Timur menghadap ke Barat dan

Susuhunan duduk di sebelah Barat menghadap ke Timur, sedangkan

Hartingh duduk di sebelah Utara menghadap ke Selatan.

KONDISI INDONESIA PADA MASA KEDATANGAN BELANDA

Sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 orang Belanda, Inggris,
Denmark, dan Prancis datang ke Indonesia. Inggris lebih banyak mengekor pada
Belanda. Bila Belanda mendirikan kontor dagang, maka Inggris juga demikian.
Apabila timbul ketegangan antara penguasa pribumi dengan Belanda, maka Inggris
berpihak pada pribumi.

Motif kedatangan Belanda hampir serupa dengan kedatangan Portugis, yaitu


ekonomi dan petualangan. Pada tahun 1585 ketika Portugal masuk daerah kuasa
Spanyol, maka tamatlah peranan orang Belanda yang yang biasa menajdi
pengangkur dan penyebar rempah-rempah di bagian Eropah. Mata pencaharia
orang Belanda dalam bidang tersebut hilang. Akibat dari keadaan di Eropah itu,
mereka meutuskan untuk mengambil atau membeli rempah-rempah langsung dari
negeri asalnya yaitu Indoensia.
3. Jalan dan Pusat Pelayaran

Pada tahun 1521, Sebastian del Cano, berangkat dari Tidore dan tiba kembali di Sevilla (Eropa
Barat). Del Cano berangkat dari Tidore ke selatan, mampir di Timor, lalu kapalnya dikemudikan
menyeberang samodera Indonesia ke ujung selatan Afrika, lalu ke laut Atlantik sampai di Iberia Selatan.
Inilah pertama kali, rempah-rempah dari Maluku langsung diangkut ke Eropa. Sebelumnya diangkut
bertahap-tahap, dari Maluku Utara ke Hitu dan Banda kemudian diangkut ke Indonesia bagian barat
seperti pelabuhan di pesisir Jawa, pantai timur Sumtera, dan Selat Malaka. Dari Malaka diangkut ke
India, Gujarat Lalu ke Barat melintasi laut Arab, dan kemudian bercabang dua. Pertama ke utara menuju
ke Teluk Oman, melalui selat Ormus, masuk ke Teluk Persia, Syah Ismail I. Kota Ormus sebagai kota
terkaya di dunia karena posisi geografis. Kedua, melalui Teluk Aden dan Laut Merah dan dari kota Suez
melalui daratan ke Kairo dan Iskandariyah. Di sini kekuasan di tangan raja Mameluk yang mempunyai
imperium besar meliputi Mesir, Suriah. Pada zaman Sriwijaya, pedagang kita telah mengunjungi
pelabuhan Cina dan Pantai Timur Afrika.

Karena pentingnya jalan tersebut, maka Alfonso d”albuquergue berhasil menduduki Ormus
tahun 1515, Goa 1510, Malaka 1511 sehingga pusat penting jalan ini jatuh ke Portugis. Orang Portugis
memasuki perairan Asia melalui jalan selatan yakni via Tanjung Harapan Baik dan Pantai Timur Afrika.
Setelah Malaka dikuasai oleh Portugis, pusat perdagangan beralih ke Aceh dan Banten melalui pantai
barat Sumatera dan selat Sunda. Jalan langsung antara perairan Indonesia dan Tanjung Harapan Baik
melintasi Samudera Indonesia yang dirintis oleh del Cano, dipergunakan oleh kapal Belanda pertama
tahun 1596.

Di Nusantara, pelayaran orang Makassar dan Bugis, telah meliputi hampir seluruh perairan
Nusantara. Pada abad ke-17 telah tersusun sebuah hukum yang terkenal dengan hukum laut Amanna
Gappa, selain itu telah ada peta yang berasal dari pelaut Bugis. Orang Makassar dan Bugis ini telah
berlayar ke Aceh, Kedah, Kamboja, Ternate, kemudian ke utara (Filipina), Sulu, dan Kalimantan Utara
(Berau).
Pasca kejatuhan Malaka, Aceh menjadi bergairah. Dan dari Aceh ini, kapal berlayar menyusuri
pantai Barat Sumatera lalu masuk selat Sunda menuju pelabuhan di pantai Utara Jawa. Lahirlah Banten
sebagai pusat perdagangan baru di Jawa, yang ingin menguasai Pariaman dan Tiku (Sumatera Selatan).
Pada tahun 1527 Banten menduduki Sunda Kelapa sehingga namanya diganti menjadi Jayakarta.
Perdagangan yang semula banyak di Sunda Kelapa kemudian dialihkan ke Banten. Daerah pantai utara
Jawa yang berkembang adalah Jepara. Jepara dipandang sebagai pelabuhan penting dalam perjalanan
antara Malaka dan Mauluku. Karena mempunyai hasil beras yang dapat dijadikan komoditas ekspor.
Pada abad ke-16 Jepara telah melakukan hubungan dagang dengan Malaka, Aceh, Johor, Hitu, dan
daerah yang lain. Kemudian, pada tahun 1615, Jepara masih melakukan hubungan dengan pantai
Sumatera, Malaka, dan Jambi. Di Jepara ini telah banyak pedagang yang berasal dari Cina. Ke Timur,
kapal tiba di Tuban yang merupakan salah satu pelabuhan terkenal pada abad ke-11 hingga ke-16. Lalu
pada abad ke -16 para pedagang yang pada mulanya di Tuban pindah ke Gresik. Mereka lebih suka ke
Gresik karena cukai di Tuban tinggi dan banyak perompak.

Di sekitar Surabaya, bandar utamanya adalah Gresik Jaratan. Dari Gresik, kapal berlayar ke
Maluku. Hubungan dengan Maluku menjadi penting karena di sinilah orang Ternate dan Tidore pergi ke
Giri memperdalam pengetahuannya dalam hal agama Islam. Di pelabuhan ini mempunyai fasilitas
reparasi kapal. Gresik juga melakukan hubungan dengan Banda. Pada Musim Timur, kapal kecil dari
Gresik berlayar ke selat Malaka, Sumatera, Kalimantan, Patani, dan pelabuhan Siam. Saat musim Barat,
mereka berlayar ke pulau Nusatenggara, Bali, Maluku, Buton, Buru, Mondanao, Kei, dan Aru. Ketika VOC
menguasai jalan perdagangan, kapal pribumi dan Portugis mencari jalan lain dari Malaka berlayar ke
Pulau Karimata dekat Kalimantan lalu mengunjungi Ujung Pandang. Sebelumnya mereka melalui pulau
Lingga dan Bangka. Orang Portugis mencari jalan dari Malaka ke Maluku melalui pantai Kalimantan
Utara dan menyeberang laut Sulawesi.

Kondisi kejayaan maritim berangsur-angsur berubah setelah Mataram melakukan ekspansi.


Berturut-turut pada tahun 1619 Tuban menyerah, 1623 Gresik kalah, tahun 1625 Surabaya juga telah
lemah. Persaingan antar kota pelabuhan ini telah memperlemah posisi mereka ketika melawan
Mataram. Pada abad ke-17, hampir seluruh pesisir pantai Utara berada di tangan Sultan Agung.

Ada tiga jalan laut yaitu melalui pesisir utara Jawa, pantai Selatan Kalimantan, serta melalui
Brunei dan Mindanao akhirnya kapal tiba di Maluku

3. Jenis Barang Ekspor dan Impor


Menurut Van Leur, pada masa lalu dengan terbatasnya petak-petak di kapal, barang
yang diperjualbelikan lebih banyak barang yang tidak memakan tempat tetapi berharga tinggi. Tetapi
pada abad ke-16, telah diperdagangkan barang dalam jumlah besar dan diangkut dalam perjalanan jauh.
Seperti beras, garam, kapas, rotan, tembakau, gambir, agar-agar, dan kayu. Pada awal abad ke-16, Banda
mengimpor kain dan tenunan halus dari negeri Asia di sebelah barat yang dibawa oleh kapal Portugis.
Pedagang kecil dari pulau Jawa dan Melayu membawa tenunan kasar. Tenunan kasar sangat laku dibanda
karena ditukar barang rempah dan sagu dari Irian dan Halmahera. Tenunan halus yang dimpor oleh raja
Gresik, kemudian dijual ke Banda dan Maluku. Perdaganagan utama di Indonesia timur adalah rempah-
rempah utamanya cengkeh dan pala. Cengkeh dari Maluku, Pala dari Ambon, Banda, seram dan pulau
sekelilingnya. Pala adalah tanaman ekspor yang harganya tinggi, sehingga untuk tanaman lain diabaikan.
Akibatnya berasa dan bahan makanan lain didatangkan dari luar. Orang Banda lebih suka membuang
pala daripada menjualnya, ketika harga pala jatuh. Di Malaka ada syahbandar yang khusus mengurus
kepentingan orang Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan dan Filipina.

Dari Banda ke Utara, tiba di Ternate dan Tidore tempat penghasil cengkeh. Meskpin
pelabuhannya tidak begitu bagus, namun karena penghasil cengkeh, terpaksa kapal-kapal mengunjungi
daerah ini. Di Maluku Utara ini, tanaman rempah dipentingkan sehingga bahan makana harus
didatangkan dari luar. Misalnya beras dari Sulawesi. Pedagang Cina datang ke Malku membawa tenunan,
perak, gading, manik-manik, dan piring mangkok buatan Cina.

Di Kalimantan, pelabuhan terkenal adalah Brunai atau Borneo. Di sebelah tenggara kota
ada Lawe, dan Tangjungpura, sebelum banjramasin sebagai pelabuhan besar. Mereka mengadakan
hubungan dengan kota pantai di Jawa. Barang yang diekspor diperdagangkan ke Jawa adalah Emas,
intan, bahan makanan, damar, dan kayu-kayuan.

Bagian barat Indoensia seperti Pasai, Pidie, Jambi, Palembang, Lampung, pantai barat
Sumatera seperti Pariaman, Tiku, Barus, Jawa Barat, Banten, dan Sunda Kelapa bahan yang diekspor
terpenting adalah Lada. Barang yang lain adalah Emas, Kelambak, Kapur Barus, kemenyan, sutera, damar,
madu, Ekspor ditujukan ke Malaka dan ada pula pedagang Gujarat yang membawa langsung ke
negerinya.

Barang lain yang diekspor adalah budak belian. Mereka diperlukan istana, rumah
bangsawan, dipekerjakan sebagai buruh kasar di kapal, terutama untuk kapal perang. Orang dapat
menajdi budak karena kalah perang, tebusan bayar utang, atau melanggar adat. Budak yang di ekspor
dari Palembang ke Malaka banyak berasal dari daerah pedalaman. Setaip tahun 2 hingga 3 pedagang
berangkat dari Malaka ke pelabuhan Sunda Kelapa untuk membeli budak, beras, dan lada. Budak yang
ada di Kalapa ada yang dari pedalaman dan ada yang dari Maladiwa (dia mengeskpor dan mengimpor
budak).

Di Jawa Timur, Blambangan terkenal sebagai penghasil budak. Budak berasal pula dari Nusatenggara.
Budak yang dijjual oleh kapal Bugis dan Makassar berasal dari pembajakan di laut mauun di daerah
pedalaman (Toraja). Portugis juga ikut dalam perdagangan budak. Kompeni Belanda juga memerlukan
tenaga budak dalam usahanya untuk perkebunan Pala di Banda yang diduduki tahun 1621. Budak
didatangkan oleh VOC dari berbagai tempat perwakilan VOC, budak inilah yang menjadi penduduk asli
Banda. Penduduk asli Banda telah dikirim sebagai budak di Btavais.

Pelayaran dalam negeri dialkuakn oleh kerajaan pribumi dan wilayah ekspansinya.
Awalnya samudera Pasai pada posisi yang cukup penting kemudian harus mengalah ada Malaka. Lalu
Aceh mengantikan Malaka setelah dikuasai Portugis. . Dampaknya Kapal memilih berlayar menyususr
pantai barat sumatera serta mengausai bahan produksi hutan dan perkebunan yang dihasilkan oleh
daerah sepanjang jalan ini.

Dari Sumatera, kapal memasuki Selat Sunda menuju pelabuhan di pantai utara Jawa. Di Bagian
Barat Banten menduduiki tempat penting sejak awal abad ke-16. Munculnya Banten sebagai bandar
penting justru pada saat Malaka jatuh ke tangan Portugis. Sehingga bandar Malaka beralih ke selata
Sunda. Banten menguasai Lampung dan melakukan ekspansi ke daerah Palembang untuk emmegang
hegemoni di wilayah selat sunda. Disamping ingin menguasai lada di Sumatera Selatan. Namun pada
masaTome pires, Banten hanya menduduki posisi kedua setelah sudan kelapa. Di Sunda Kelapa ini
pedagang dari bara dan timur berkumpul. Ada Palembang, pariaman, lawe, tanjung Pura, Malaka,
Makasar, Jawa Timur, Madura.

Pada tahun 1527 Banten menduduki Sunda Kelapa sehingga perdagangan banyak beralih ke
Banten. Pelabuahn di pesisir Jawa bertambah makmur karena ada surplus beras di daerah pedalaman.
Jumlah jung terbesar adalah demaka yang mencapai 40 buah.

Selain itu ada Jepara meskipun penduduknya lebih kecilo dari Demak tetapi mempunyai
pelabuhan yang penting. Letaknya didalam teluk yang bisa sebagai pelabuhan penting dalamjalan
perdagangan anatara Malaka dan Maluku. Hasil sawah dipedalaman memungkinkan jepara menajdi
tempat ekspor beras yang penting di daerah Malaka dan maluku. Drai pelabuhan Jepara ekspedidi
penyeberangan laut jawa bertolak meluaskan kekuasaanya ke bangka dan akalimatan selatan (tanjung
pura dan Lawe).
Setelah Jepara diduduki Mataram tahun 1599 Jepara tetap penting, bahkan pada tahun 1615
Belanda telah bertmu 60-80 jung di pantai sumatera yang sebagian besar dari Jepara. Kapal itu memuat
makanan di bawa ke Malka. Ada hubungan anatara Jambi dengan Jepara. Dari Jambi Jepara mengangkut
lada, dari Jepara jambi mengangkut beras dan garam. Sehingga menarik pedagang China datang ke
Jepara. .

Berlayar ke timur, kapal tiba di tuban, salah satu pelabuhan yang penitng pada abad ke-11 tetapi
pada akahir abad ke-16 kapal sudah mulai berkurang. Tuban dikelilingi tembok besar dan benteng yang
kokoh. Pada abadke-16 kapal lebih suka ke gresik daripada ke Tuban. Karena tuban endapan lumpurnya
besar, fasilitasnya kurang, cukainya yang tinggi sehingga pedagang tidak memperoleh kutununagan.
Sekaligus adanya pemaksaan untuk datang ke tuban.

Melamahnya perdagangan di pelabuahn jawa karena ada persaingan antar koa pelabuhan
sehingga memudahkan Matram melakukan ekspansi. .

Pada abad ke-17 Suabaya masih merupakan desa kalah dengan Gresik dan jaratan.

Hunbungan gresik dan maluku tidak hanya sebatas hubungan dagang tapi juga hubungan
memperdalam agama Islam yaitu ke Giri.

4. Tempat Penghasil Barang Dagangan

Ketika Portugis menguasai Malaka, banyak jalan sekunder yang melalui pantai barat
sumatera menjadi sangat ramai. Jalan barat sebelumnya ini sudah dipelopori oleh transportasi perahu
yang mengambil lada, kayu, kapur barus, emas, budak dan sebagainya. Penguasaan Malaka oleh Portugis
membuat perkebunan lada di Tiku dan Pariaman berkembang karena dorongan pelayaran di barat
Sumatera. Di Banten, ketika ketika permintaan lada meningkat, masyarakat menanam lada, tetapi ketika
sepi masyarakat berganti haluan menanam padi. Pada waktu Belanda tahun 1619 menguasai Jayakarta,
dan mnegganti namanya menjadi Batavai (Betawi), menyebabkan kapal yang mengunjungi Banten
berkurang. Pada tahun 1634, perdagangan banten dipindah ke Batavia.
BERDIRINYA VOC

a. Pendirian dan Tujuan VOC (1602-1799), 20 Maret 1602

 Tahun 1596 Cornelis de Houtman ke Banten dan Bali


o Teknik Perkapalan dan Navigasi Belanda lebih unggul dari Portugis
 Konstruksi kapal lebih baik
 Lebih ringan, lincah dan lebih cepat . kapal portugis lebih berat.
 Kapal punya senjata arteleri jarak jauh dan harus mendekat.
 Disiplin kerja Belanda ;lebih tertib
 Portugi sering melanggar pelaturan pelayaran seperti muatan melebih
muatan, pemimpin bukan hali navigasi, tidak berpengalaman sehingga serig
timbul pemberontakan di kapal.
 Protugi menggunakan cara berperang kuno, prajurit menghampiri kapal
 Oleh portugis, perdagangan adalah suaha kerjaan, sedangkan pelayaran dan
pengangkutan berang disrahkan oleh sawsta yang terdiri dari bekas prajurit ,
pegawai kerajaan, dan rohaniawan katolik.
 Keselamatn kapal kurang diperhitungkan.
 Kapal portugi cocok untuk berdagang bukan untuk berperang.
 Semua kelemahan portugi itu telah dituilis ileg orang belanda yang pernah
bekerja dab berlayar dengan kapal portugis, yaitu Jan Huygens van
Linschoten yang menulis iItinerario.

Pelayaran Portugis memang lebih maju daripada sistem angkutan laut pribumi, baik
dalam teknik kemiliteran (angkatan lautnya) maupun dalam teknologi pangkalan
dan taraf pengetahuan navigasi.5

Kehadiran kapal-kapal Portugis membawa suatu sistem baru dalam dunia pelayaran
Asia Tenggara. Untuk pertama kali ada suatu kekuatan laut yang besar yang
beroperasi dari satu pangkalan dengan mempunyai organisasi perdagangan yang
sangat luas jangkauannya.6

 Kekuatan Portugis tidak pernah berhasil meniadakan pelayaran dan


perdagangan pribumi. Dalam menjalankan pelayaran di perairan Nusantara
mereka memerlukan bantuan dan kerjasama dari pelaut-pelaut pribumi yang
lebih berpengalaman dan mengenal seluk-beluk alur-alur pelayaran
setempat. Hanya dengan mengadakan kerjasama perdagangan dengan
kekuatan-kekuatan pribumi (yang sebagian telah memeluk agama Islam),
maka usaha-usaha perdagangan Portugis dapat berjalan dengan baik.
 Diantara kekuatan-kekuatan pribumi setempat terdapat persaingan yang
hebat sehingga Portugis tidak menghadapi suatu kekuatan bersama yang
kompak. Hanya pada masa awal ada semacam solidaritas antara kekuatan-
kekuatan ini untuk melawan orang Peringgi (nama yang dulu dipakai untuk
orang Portugis tersebut), tetapi pada waktu itu teknik persenjataan dan
perkapalan Portugis masih lebih unggul. Pada masa kemudian pengetahuan
maritime dan penggunaan senjata api sudah dikenal oleh kekuatan pribumi,
namun pada waktu itu kekuatan ini sudah terpecah belah. 7
 Saingan berat bagi Portugal datang dari pihak Belanda yang sejak 1596
memasuki perairan Nusantara berupa kunjungan suatu Ekspedisi dagang di
bawah pimpinan Cornelis de Houtman yang untuk pertama kalinya
menyinggahi pelabuhan Banten dan Bali. Portugal dapat mencatat kemajuan
pesat pada mulanya karena kemampuannya dalam bidang teknik perkapalan
dan navigasi serta organisasi perdagangannya yang berpusat di Goa, maka
bagi Belanda faktor-faktor ijuga merupakan penyebab utama dari
keberhasilannya, karena dalam hal ini ternyata Belanda lebih unggul
daripada Spanyol / Portugis.8
 Faktor penting yang lain adalah disiplin kerja di mana Belanda jauh lebih
tertib daripada Portugal, Spanyol dan kekuatan setempat lainnya. Peraturan-

5
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 58.
6
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 58.
7
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 59.
8
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 60.
peraturan pelayaran dan perdagangan sering dilanggar sehingga akhirnya
merugikan diri sendiri. Misalnya, kapal-kapal membawa muatan yang jauh
melebihi kapasitas, pimpinan kapal dipercayakan kepada orang yang bukan
ahli navigasi dan tidak berpengalaman dan dengan demikian tidak
berwibawa sehingga sering menimbulkan pertengkaran dan pemberontakan
di kapal dan sebagainya.9
 Tetapi perbedaan besar yang nyata adalah dalam hal operasi. Pelayaran dan
perdagangan Portugis dilaksanakan secara terpisah (sejak 1577).
Perdagangan merupakan usaha kerajaan, sedangkan pelayaran dan
pengkutan barang dagangan diserahkan kepada pihak swasta. Oleh sebab itu
pengawasan terhadap pelayaran dan pengangkutan laut tidak lagi dijalankan
secara ketat. Muatan kapal berlebih-lebihan dan kelayakan kapal tidak
diperhatikan lagi. Untuk mendapat laba yang sebesar mungkin, dibuat kapal
yang besar-besar (800-900 ton) dengan biaya yang sekecil mungkin tanpa
memperhatikan keselamaan berlayar. Kapal-kapal yang besar ini, yang
sengaja dibuat untuk mengangkut barang dagangan, tidaklah cocok untuk
berperang sehingga mudah jatuh ke tangan Belanda yang menggunakan
kapal yang lebih kecil, lebih cepat, serta lebih kuat
persenjataannya.Kelemahan Portugis telah dilaporkan oleh orang-orang
Belanda yang pernah bekerja dan berlayar bersama-sama di Samudera
Hindia dan perairan Asia Tenggara dengan kapal Portugis. Yang terkenal
adalah Jan Huygens van Linschoten yang menulis buku Itinerario yang sangat
dimanfaatkan oleh orang Belanda dalam merencanakan pelayarannya ke
sebelah timur.10
 Tenaga pelaut Asia, termasuk orang Indonesia, telah dipekerjakan pula dalam
kapal-kapal yang berlayar ke Eropa. Hal ini juga telah dilakukan lebih dahulu
oleh kapal-kapal Portugis. Sebagaimana diketahui, dalam eskader Magalhaes
yang mengadakan pelayaran pertama mengelilingi dunia diketahui terdapat
pelaut “Melayu”.11

 VOC adalah perusahaan persatuan dagang untuk Hindia Timur


o Tujuan uama VOC memperoleh sebanyak mungkin keuntungan dengan menekan
keruhian seminaimal mungkin sehingga untuk mencegah itu
o Organisasi pelayaran yang terpusat dan dijaLanjkan secara efektif dan efisien untuk
memperoleh keuntungan semaksimal mungkin
o Awalnya ada 7 perusahaan belanda yang menyelengarakan pelayaran ke Nusantara .
Setelah selesai ekspedisi mereka di bubarkan.
o Untuk menghadapi portugis dan sapnyol, parlemen Belanda (Staten Generaal),
maka kompeni digabung menjadi satu yaitu VOC 20 Maret 1602.
o Kompeni adalah usaha swasta yang didukung oleh pemerintah F1 5000. dans emua
masyarakat menanamkan saham.
o VOC terdiri dari 6 buah kamar yakni Amsterdam, Middelburg, Rotterdam, , Delft,
Enkhuizen dan Hoorn

9
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 61.
10
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 61.
11
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 67.
o Untuk seorang pemimpin maka diberi gelar Gubernur Jenderal sejak 1610 yang
didampingi dewan penasehat (raad van Indie). Pangkat pedagang antara lain
onderkoopman (pedagang muda), koopman (pedagang), opperkoopman (pedagang
utama).
o Pemimpin setiap armada harus memberi laporan pertanggung jawaban ke
parlemen.
o Didalam octrooi ( surat izin berusaha) yang diberikan pemerintah Belanda ke VOC
dicantumkan campur tangan negara dalam perusahaan swasta itu.
o Octrooi memberi wewenang VOC mengadakan perjanjian, da mengumumkan
perang.
o VOC mendapat monopoli pelayaran dan perdagangan. Artinya perusahaan Belanda
lainnya tidak boleh beroperasi di situ.
o Untuk memperoleh monopoli, maka Jenderal Jan Piterszoon Coen merebut
Jayakarta sehingga mendapat pangkalan strategis yang diberi nama Batavia,
sehingga pusatnya di Batavia.
o VOC menjadi kekuatan maritim yang besar. Dengan organisasinya teratur dan
terpadu dan disiplinnya kuat.
o Pada abad ke-17 dan 18 VOC lebih unggul daripada perusahaan lainnya.
o Faktor penting yang menyebabkan keruntuhan VOC adalah adalah pelanggaran
disiplin.
 Korupsi yang menyebar khusus pada akhir abad ke-18 di tingkatan pimpinan
 Upah pekerja rendah sehingga pekerjanya kurang pengalaman dan kurang
terampil
 Keadaan kapal jelek perlengkapan dan kesehatan
 Pembrontakan di kapal tinggi.
 Belanda tahun 1780-1784 berperang dengan Inggris dan perancis sehingga
memperlemah secara politik

o Peraturan Staten Generaal yang harus ditaati oleh pelayar VOC adalah
 Harus mengikuti pelayanan ibadah pada jam yang telah ditentukan.
 Pelarangan penggunaan kata-kata kasar
 Membuang makan dilarang
 yang melanggar gajinya tidak dibayar, dihukum badan atau hukuman
penjara yang dipimpin oleh nahkoda,.
 Angka kematian dalam perjalanan abad XVII sekitar 13,5 %, dan abad ke-18
menjadi 23 %.

Anda mungkin juga menyukai