B. Riau
Di Riau, VOC membutuhkan eksistensinya. Sejak tahun 1708, adik Sultan, Raja Muda Mahmud
menentang perdagangan VOC. Ia menekan negara bawahannya agar mengirim barang ke Riau.
Kapal Cina dan Jawa yang menuju Malaka dipaksa berhenti di Riau. Pada tahun 1713, Riau
awalnya menolak kontrak dengan VOC yang memperbaiki kontrak dagang istimewa VOC. Tapi
kemudian, Batavia mendesak sehingga traktat ditandangani, tapi kemudian diabaikan. Ekspor
timah dan lada berkembang dengan pesat. Ketika VOC merosot, kekuatan yang berjaya adalah
Riau dan Johor.
Pada tahun 1718, orang-orang Minangkabau dari Siak melawan Johor di bawah
pimpinan Raja kecil yang mengklaim keturunan bangsawan Malakan Johor. Mereka pada tahun
itu menguasai Johor. Raja Muda Mahmud terbunuh, Sultan Johor, Abd Al Jalil turun tahta dan
menyelamatkan diri ke Pahang. Sultan ini dibunuh oleh Raja kecil pada tahun 1721. Johor
menjadi ajang persaingan antara Minangkabau, Bugis, dan Melayu Johor. Kesepakatan tahun
1721 menetapkan kuasa bersama melayu Bugis atas Johor sampai awal abad ke-20.
Orang Bugis merebut kembali Riau untuk Johor pada tahun 1722. Pada masa ini,
pengembara Bugis terlibat aktif di seluruh bagian barat nusantara dan menjadi kekuatan utama
di Selat Malaka. Ketika Riau di tangan orang Bugis, maka Selat Malaka mempunyai pasukan yang
memberi kontribusi perdagangan yang stabil dan aman. Pada tahun 1728, Bugis menang atas
Raja Kecil, sehingga Selat Malaka aman dari kekacauan dan gangguan perdagangan.
Selain Bugis dan Minangkabau, yang berperan adalah orang Arab dari Hadramaut.
Mereka adalah pedagang cakap dengan jaringan internasional yang membentang dari Timur
Tengah hingga Afrika Timur. Di Siak, mereka berpengaruh seperti orang Bugis di Johor. Di bawah
pemimpin Bugis, Riau menjadi pusat perdagangan swasta. VOC tidak memiliki sarana
mengontrol.
Pada tahun 1782, Raja Haji dari Johor mengetahui pecahnya perang antara Belanda dan
Inggris dan menawarkan diri menjadi sekutu VOC. Tetapi mereka konflik sendiri berkaitan
dengan rampasan perang dari Inggris. Pada tahun 1784, kapal VOC diledakkan oleh Johor di
Riau. Pada tahun 1784, VOC mengirim armada ke Riau sehingga dapat membunuh raja Haji.
Hubungan dengan Maluku diselenggarakan pula oleh Gresik dan Giri di jawa Timur.
Pelabuhan Gresik pada awal ke-17 memberi tempat kepada kapal-kapal besar untuk
berlabuh sampai dekat kita karena lautnya cukup dalam. Kapal-kapal berukuran 40-
100 ton yang dipakai untuk berlayar ke Maluku, dibuat di galangan-galangan Gresik.
Di pelabuhan ini ada dua fasilitas untuk reparasi kapal. Laporan-laporan Belanda
mencatat bahwa pada masa ini sejumlah 60 kapal besar dan kecil tiba di Gresik
setiap tahun dengan muatan rempah-rempah dari Maluku. Dari sumber lain
diketahui bahwa paling banyak 7 jung besar mengangkut pala setiap musim dari
Banda ke Pulau Jawa, jadi jumlah 60 apal tersebut sebagian besar terdiri dari perahu
berukuran kecil. Pada umumnya kapal-kapal Banda sendiri yang mengangkut
rempah-rempah itu ke Gresik, dan seterusnya diangkut dengan kapal-kapal lain.
Pada musim angin timur kapal-kapal berlayar dari Gresik ke Selat Malaka,
Sumatera, Kalimantan, Patani sampai ke Siam. Apabila telah berganti musim angin
barat, kapal-kapal berangkat dari Gresik ke Nusa Tenggara dan Maluku, Buton, Buru,
Mindanau, Kepulauan Kei dan Aru. 1
Maluku
Cengkeh berasal dari Maluku Utara yang meliputi 4 kerajaan : Ternate, Tidore,
Jailolo dan Bacan. Hubungan dengan luar daerah sudah berjalan berabad-abad
lamanya, tetapi baru sekitar abad ke-15 dan 16 daerah Maluku Utara mulai ramai
dikunjungi kapal-kapal dari luar. Sebagai akibat hubungan ini raja-raja Maluku Utara
menerima agama Islam pada abad ke-15, jadi jauh sebelum raja-raja Sulawesi
Selatan yang baru memeluk agama Islam pada awal abad ke-17. 4
1
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 43.
2
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 68.
3
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 44.
4
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 45.
pada tahun 1630 Belanda telah meletakkan hegemoni perdagangan dan
perniagaan melalui penguatan militer. Dia berkuasa di Ambon Maluku, pulau
pengahsl rempah-rempah. Tahun 1641 Malaka dapar direbut oleh VOC. Untuk
menegakkan hegemoni tidak hanya perdamaian saja tetapi juga dengan ekspansi
militer.
Pada tahun 1650 raja Ternate Mandarsyah setelah diturunkan dia meminta
bantuan VOC di benteng dan menandatangaini perjanjian januari 1652 yang
melarang orang menanam cengkeh kecuali Ambon oleh VOC. Karena ambon
adalah pusat cengkeh. Pada tahun 1656 belanda melakukan pelayaran Hongi
(armada tempur untuk mencari pohon engkeh yang ditanam di secara liar.
Pada Oktober 1783, Sultan Tidore mengakui kekuasaan Nuku. Dia menyerang
Pos VOC di Tidore dan membunuh seluruh orang Eropa. Kondisi ini memunculkan
persaingan Ternate-Tidore. Ternate bergabung dengan VOC menentang Tidore tahun
1783 sehingga banyak kerusakan dan korban. Pada Desember 1783, VOC memaksa
Tidore melalukan perjanjian dan mengembalikan pangeran yang pernah dibuang ke
Sri langka, Sultan Hairul Alam Kamludin Kaicili Asgar untuk memerintah sebagai
bonekanya. Pengusasa baru ini di bawah VOC. VOC mempertahankan kekuatan
militenya karena takut serangan ilanum. Nuku tetap mendominasi di perbatasan.
Sultan Nuku
Muhamad Amiruddin alias Nuku adalah putra Sultan Jamaluddin (1757–1779) dari
kerajaan Tidore. Nuku juga dijuluki sebagai Jou Barakati artinya Panglima Perang. Pada zaman
pemerintahan Nuku (1797 – 1805), Kesultanan Tidore mempunyai wilayah kerajaan yang luas
yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai Barat dan bagian Utara Irian Barat serta
Seram Timur. Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan peperangan
untuk mempertahankan tanah airnya dan membela kebenaran.
Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos ke
perairan yang lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan
taktik serta terjun ke medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu
membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas
merdeka. Cita-citanya membebaskan seluruh kepulauan Maluku terutama Maluku Utara (Maloko
Kie Raha) dari penjajah bangsa asing.
Setelah berjuang beberapa tahun, Nuku memperoleh kemenangan Pada 1780 dengan
memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan kesultanannya sebagai sebuah
negara merdeka yang lepas dari kekuasaan Kompeni Belanda. Kesultanan Tidore yang
dimaksudkannya meliputi seluruh wilayah Tidore yang utuh, termasuk Makian dan Kayoa, di
samping Halmahera Tengah dan Timur, kepualaun Raja Ampat dan Papua daratan, seluruh Seram
Timur, pulau-pulau Keffing, Geser, Seram Laut, pulau-pulau Garang, Watubela, dan Tor.
Sebenarnya, sejak 1780, Nuku telah dilantik oleh rakyat Halmahera Timur, Seram,
Kepulauan Raja Ampat dan Papua daratan sebagai “Sultan untuk seluruh wilayah Kesultanan
Tidore” yang berkedudukan di Seram. Ketika itu, ia diberi gelar Jou Barakati (“sultan pembawa
berkah”). Saat dinobatkan sebagai sultan di Soasio, Tidore, pada 1797, Nuku memakai gelar
Saidul Jihad Muhammadanil Mabus Amiruddin.
Nuku bersama dengan pasukannya dan rakyat Tidore berhasil melakukan perlawanan
kepada Kamaludin. Pada 11 April 1797 Kamaludin sebagai Sultan Tidore saat itu melarikan diri
ke Ternate karena terdesaknya ia atas perlawan Nuku dengan pasukannya, atas kejadian itu
Kamaludin melaporkan hal ini kepada Budach, Gubernur Maluku saat itu. Bersama dengan
bantuan kapal Inggris Nuku yang tiba di Tidore pada 12 April hampir tidak ada yang melakukan
perlawanan terhadapnya, padahal sebelumnya Kamaludin memerintahkan rakyatnnya untuk
melawan Nuku. Walaupun rakayat Tidore telah di perinthakan untuk menyerang Nuku akan
tetapi saat nuku tiba di Tidore rakyat Tidore justru malah memihak dan menyambut Nuku dengan
penuh kegembiraan dan antusias. Bertempat di Istana Soasio, Nuku dilantik sebagai Sultan
Tidore, Papua, Seram dan daerah taklukkannya.
Pada 27 April 1797, pasukan penyerbu gabungan antara pasukan Inggris dan Nuku mulai
mengepung Ternate yang dimana sebagian pasukannya telah mendarat di utara Ternate. Pasukan
Nuku yang ikut dalam pengepungan Ternate berjumlah sekitar 4000 orang, beberapa ratus
darinya didaratkan tidak jauh dari Benteng Toloko.
Tujuan utama gerakan militer Nuku adalah untuk mengisolasi Ternate dan menimbulkan
kesulitan bagi Belanda dalam bidang ekonomi ataupun militer.
Raja VOC yang lain 1650 raja Terante Mandarsyah setelah diturunkan dia
meminta bantuan VOC di benteng dan menandatangaini perjanjian januari 1652
yang melarang oarng menanam cengkeh kecuali Ambon oleh VOC. Karena ambon
adalah pusat cengkeh. Pada tahun 1656 belanda melakujna pelayan Hongi (armada
tempur untuk mencaroi poihon engkeh yang ditanam di secara l;iar.
Dalam abad ke-16 hingga abad ke18 pusat perompak yang terkenal adalah
Tibelo (pantai utara halmahera), pulau-pulau dirian yang merompak samapi didekat
Jawa. Dan jga kepulauan Lingga serta pantai barat dan utara Kalimantan. . Laut
Tiongkok dalam abad ke1-17 penuh dengan peropak yang tereknal dari Pipipina,
Mindanao dan kepulaaun Sulu. . Mereka datang denga nagkatan laut yang kuat
dans eringakali menduduki tempat pertahanan yang tetap terutama di Sulawesi,
Kalimantan, di Flores da Kalimantan. Biasanya raja dan kaum bangsawan turut
serta dalam pelayaran perompakan malahan seringakali merke amemegang
tampuk pemrintahan.
Dalam bulan Januari 1801, Komandan tentara Inggris, Kolonel Burr, mengisyaratkan
kepada Gubernur Cranssen segera menyerahkan Ternate.
Nuku dan Inggris menyerang kota Tidore t pada 11 Februari 1801. Sebanyak 7 kapal perang
Inggris dan 40 juanga. Kapal-kapal Inggris menggempur meriam-meriam Kompeni yang
ditempatkan di Santosa dan Kampung Makassar. pasukan Nuku mendarat di Salero dan mencoba
mencapai Benteng Oranje.
Pertempuran sengit di depan Santosa telah menimbulkan korban yang cukup besar di
kedua pihak. Karena tidak dapat menembus pertahanan Ternate, dan untuk mencegah jatuhnya
korban yang lebih banyak, komandan pasukan Nuku memerintahkan pasukannya mundur ke
Salero dan naik kembali ke juanga
Sebuah gencatan senjata akhirnya disepakati kedua pihak dalam rangka menguburkan
korban-korban yang tewas dalam pertempuran dan memindahkan yang terluka. Baik pasukan
Nuku maupun Inggris gagal merebut Ternate dalam pertempuran yang sengit ini. Mereka
kembali ke Tidore tanpa hasil, kecuali meninggalkan sejumlah korban pertempuran. Setelah
kembali ke Tidore, Nuku dan pihak Inggris sepakat bahwa setelah merehabilitasi dan
mengonsolidasi kekuatan militernya, akan dilakukan lagi gempuran terhadap Kompeni dan
Ternate dalam dua bulan mendatang.
Karena situasi semakin genting, pada 13 Mei 1801, Gubernur Cranssen mengundang
anggota Dewan Pemerintahan bersidang membahas situasi perang. Dalam sidang itu, Rodijk dan
Dockum mengusulkan Kompeni menyerah secara terhormat, sebab mempertahankan Ternate
merupakan hal yang sia-sia. Benteng Kayumerah telah jatuh, Benteng Toloko tinggal menunggu
nasib serupa, dan setelah itu pasukan gabungan Inggris-Tidore hanya menanti saat yang tepat
untuk merebut Benteng Oranje.
Setelah syarat-syarat yang diajukan Kompeni kepada Kolonel Burr disepakati, pada 20
Juni disetujui sebuah gencatan senjata. Keesokan harinya, 21 Juni 1801, Kompeni secara resmi
menyerah kepada Inggris dan Nuku. Dengan demikian, berakhirlah pengepungan kota Ternate
yang berlangsung sejak 1797. Kapitulasi ini didasarkan pada syarat-syarat berikut:
1. Semua personil (pegawai) Kompeni bekerja seperti biasa;
2. Sultan Ternate dan para bobato-nya tetap menjalankan fungsinya;
3. Jaminan bahwa orang-orang Nuku tidak akan membalas dendam dan melakukan
perbuatan-perbuatan tidak menyenangkan lainnya;
4. Mantan Sultan Tidore, Kamaluddin, dapat hidup bebas dan memperoleh tunjangan dari
Inggris.
Bendera Belanda kemudian diturunkan dari Benteng Oranje dan sebagai gantinya dikibarkan
bendera Inggris. Hadir pula dalam upacara ini Sultan Muhammad Yasin, yang baru beberapa
bulan bertakhta di Kesultanan Ternate.
Pada 1780, ketika Belanda memaksakan perjanjian baru dengan Tidore yang secara
efektif menurunkan status Tidore dari sekutu menjadi vasal VOC. Nuku dalam pelariannya
menciptakan struktur dan organisasi tandingan sebagai ‘Sultan Seram dan Papua’. Tujuan operasi
adalah untuk memperoleh legitimasi para sangaji di Halmahera Utara bagi
Sultan Jailolo. Tetapi, Nuku tidak menyadari bahwa sejak 1635 Jailolo telah lebur dan menjadi
wilayah Kesultanan Ternate, yang melakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga sangat sulit
bagi rakyat di kawasan Jailolo maupun Halmahera Utara mengubah loyalitas mereka kepada
Ternate, terutama di kalangan orang Alifuru, walaupun sebagian rakyat Tobelo dan Galela adalah
pengikut setia Nuku selama belasan tahun. Dengan demikian, upaya Nuku menghidupkan
kembali Kerajaan Jailolo – dalam kenyataannya hanya merupakan kerajaan vazal Tidore, karena
pemerintahan Nuku berada di atasnya – tidak sepenuhnya berhasil lantaran orang-orang Alifuru
tidak mau mengakui Sultan Jailolo yang ditunjuk Nuku sebagai raja mereka. Orang-orang ini
tetap menyatakan kesetiannya kepada Kesultanan Ternate. Hanya beberapa kampung di pantai
barat Halmahera yang dapat dikuasai Jailolo. Orang Tobelo Tai – yakni Tobelo Boenge dan
Tobelo Kao – pimpinan Sangaji Kuwasauwa dan Sangaji Sau mengakui Sultan Jailolo, tetapi
Sangaji Galela serta orang Alifuru Jailolo dan Ibu menolak legitimasinya. Ketika Nuku
dinobatkan sebagai Raja atas Papua serta Seram Timur, kemudian sebagai Sultan Tidore, gagasan
Saifuddin di atas bergema kembali. Seusai dinobatkan sebagai Sultan Tidore, Nuku
menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo dan mengangkat Sangaji Tahane sebagai Sultan
Jailolo dengan gelar Muhammad Arif Billa. Alasan penghidupan kembali Kesultanan Jailolo
sama dengan yang dikemukakan sebelumnya oleh Sultan Saifuddin kepada Gubernur
Padtbrugge. Walaupun demikian, upaya Nuku ini tidak dapat dilepaskan dari
gagasannya untuk mengimbangi hegemoni dan superioritas Ternate. Kesultanan Ternate memang
dengan cerdik telah menunggangi Belanda guna mempertahankan hegemoni dan superioritasnya.
Sultan Jailolo yang diangkat Nuku, Muhammad Arif Billa, bukanlah pendatang baru
dalam struktur Kesultanan Tidore. Di awal karirnya, Billa menjabat sebagai Sangaji Tahane
(Makian), kemudian selama 13 tahun menjadi Jogugu Kesultanan Tidore, sejak berkuasanya
Sultan Kamaluddin (1784-1797), kakak Nuku. Meski Billa adalah seorang Tahane atau Makian,
tetapi lantaran jabatan yang dipangku ia mendapatkan kualifikasi bangsawan setingkat kaicil.
Sudah sejak 1786 Billa memimpin suatu faksi dalam lapisan para bobato Tidore yang memihak
Nuku dalam pergolakan politik kesultanan tersebut. Pada 1796, Billa ditangkap atas perintah
Sultan Kamaluddin, setelah terkuak hubungan yang dijalinnya dengan Nuku. Tetapi, karena
campur tangan VOC, Billa dibebaskan. Menjelang penyerbuan Nuku ke Tidore, Billa melarikan
diri dan bergabung dengannya. Ia bahu membahu dengan Nuku dalam perjuangan pembebasan
Tidore, dan diangkat sebagai salah seorang panglima Nuku yang handal.
Ketika Inggris mengembalikan Maluku kepada Belanda, yang kemudian berkuasa antara
1803-1810, Nuku untuk pertama kalinya menawarkan sebuah perundingan kepada Belanda pada
1804. Perundingan ini ditawarkan Nuku dengan salah satu persyaratan pengakuan Belanda atas
Kesultanan Jailolo sebagai sebuah kerajaan merdeka dan berdaulat penuh.
Bagi Nuku, pengakuan atas Jailolo sebagai salah satu syarat perundingan merupakan
suatu kemestian. Menurut adat, pengangkatan Sultan Jailolo telah memperoleh persetujuan para
bobato Kesultanan Tidore, para bobato Halmahera Timur – Weda, Maba dan Patani – serta
mendapat dukungan bobato Halmahera Utara – Jailolo, Sau, Tobelo, Galela, dan Raja Loloda
serta Kao. Dukungan luas seperti itu cukup memberikan keabsahan bagi Billa sebagai Sultan
Jailolo. Tetapi, Belanda menolak tawaran dan prasyarat Nuku. Setelah berita penolakan Belanda
tersiar, pasukan Sultan Jailolo di Toniku mulai dimobilisasi untuk menggempur Halmahera
Utara. Nuku sendiri merancang rencana penyerbuan, dan Billa ditugasi memimpin serta
melaksanakannya. Armada yang akan ambil bagian dalam operasi militer ini direncanakan terdiri
dari: 1 juanga Sultan Jailolo, 1 juanga putera-putera Sultan Jailolo, 8 juanga orang Tobelo dan
Kao, 6 juanga dari Loloda, 1 juanga dari Tolofuo, 4 juanga dari Sau, 2 juanga dari Galela, 6
juanga dari Patani, 6 juanga dari Weda, 6 juanga dari Tidore, dan 5 juanga dari Papua.
Pada tahap ini Nuku menganggap sudah waktunya untuk menjalani strateginya
mempersatukan seluruh Maluku. Ternate adalah target terpenting karena benteng Belanda di sana
hampir tak tertembus. Sejak 1796, Nuku sudah mengkooptasi Pangeran Ibrahim dari Ternate dan
bahkan meyakinkan Sultan Aharal dari Ternate untuk mendukungnya. Ambisi Nuku untuk
mengalahkan Belanda di Ternate tercapai kemudian berkat kerjasama dengan Inggris pada
1801. Selain itu, Nuku mengendalikan Kesultanan Bacan yang dianggap signifikan karena
merupakan bagian dari empat kesultanan di Maluku. Nuku juga menghidupkan kembali
Kesultanan Jailolo dengan menunjuk seorang pengikutnya sebagai sultan Jailolo. Di sini jelaslah
visi Nuku. Sebagai pemimpin Maluku Utara, kekuasaannya menyebar melalui wilayah
tradisional Tidore. Ia memimpikan Tidore sebagi entitas terkuat di antara ‘empat’ kesultanan di
Maluku yang akan menjadi tulang punggung Maluku yang mandiri dari kekuasaan asing.
Pengganti Nuku, Pangeran Zainal Abidin (1806-1810) adalah seorang yang lemah. Ia
tidak mampu bertindak sebagai figur yang penuh kuasa dan visi ke depan yang mampu
mempertahankan kepatuhan dan rasa hormat dari pemimpin lainnya. Kelemahan terbesar adalah
keegoisannya. Akibatnya ia tidak mampu menjaga kepatuhan para pengikutnya. Prinsip-prinsip
politiknya ambigu dan penuh keraguan. Setelah wafatnya Nuku pada 14 Nopember 1805, Dewan
Kerajaan mengangkat Zainal Abidin sebagai Sultan Tidore menggantikannya. Pada masa Zainal
Abidin inilah Gubernur Wieling meminta agar Sultan Tidore menyerahkan Sultan Jailolo kepada
Belanda. Zainal Abidin, yang menemui kesulitan dalam menyerahkan Sultan Jailolo, menyatakan
kepada Gubernur Wieling bahwa secara politis maupun militer Sultan Jailolo, Muhammad Arif
Billa, tidak punya potensi dan kemampuan untuk membahayakan pemerintah. Karena itu,
menurut Zainal Abidin, ia tidak perlu ditangkap. Argumentasi ini tidak dapat diterima Belanda,
yang kemudian memandang Zainal Abidin sebagai orang yang tidak bisa diajak kerjasama.
Akibatnya, Belanda menyerbu Tidore dan merampas benteng-benteng kesultanan itu pada
Nopember 1806. Zainal Abidin mengerahkan armadanya untuk menangkal serbuan tersebut,
tetapi upayanya menemui kegagalan.16 Tentara Belanda juga menyerbu Soasio, ibukota Tidore,
dan membumihanguskannya, termasuk istana Salero. Para sangaji dan kimalaha yang menjadi
anggota Dewan Kerajaan dipaksa menandatangani perjanjian yang menempatkan Tidore
langsung di bawah pemerintahan Belanda, selama sultan baru belum diangkat. Perjanjian ini
dipaksakan Belanda lantaran naiknya Zainal Abidin ke atas takhta Tidore menggantikan Nuku
tidak sepengetahuan dan seizin Belanda. Demikian juga, Belanda melarang komunikasi antara
para bobato Tidore dengan rekan-rekannya di Halmahera Timur, serta menjanjikan amnesti
kepada seluruh bangsawan Tidore yang bersedia bekerjasama, terkecuali Sultan Jailolo. Sebelum
Belanda menyerbu Tidore, Zainal Abidin, Sultan Jailolo dan sejumlah bangsawan Tidore telah
menyingkir ke Halmahera Timur. Zainal Abidin menuju ke Patani, dan Sultan Jailolo
membangun markasnya di Weda. Ketika Belanda menyerbu Weda dan menghancurkan
markasnya, Sultan Jailolo masuk hutan serta berkelana di pedalaman Weda. Pada 1807, Sultan
Jailolo pertama, Muhammad Arif Billa, wafat karena kecelakaan. Billa mati tergelincir ke dalam
sebuah jurang dan dimakamkan di dekat sebuah sungai di Weda. Setelah Sultan Muhammad Arif
Billa wafat, ia digantikan oleh puteranya, Kimalaha Sugi – sebelumnya menjabat sebagai Ngofa
Jou (putera mahkota). Sultan Jailolo ke-2 ini bergelar Muhammad Asgar. Dalam menghadapi
Belanda, sikap dan strategi politiknya tidak pernah jelas. Dukungan Inggris untuk Tidore yang
berlangsung hingga kematiannya pada 1810 gagal dimanfaatkannya untuk memulihkan kekuatan
Tidore. Kesalahannya yang paling menyakitkan adalah keterbatasannya dalam memahami
perkembangan hubungan antara Inggris dan Belanda. Akhirnya ia sepenuhnya gagal dalam
mengendalikan kekuasaan di wilayah Tidore.
MAKASAR
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar
dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan.
Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung
selatan dan pesisir barat Sulawesi.
1. Tumanurunga
Munculnya nama Gowa dimulai pada tahun 1320, yakni pada masa
pemerintahan Raja Gowa pertama bernama Tumanurunga.
2. Tumassalangga Baraya
3. Tunatangka Lopi
(1400) kerajaan ini dibagi menjadi dua yaitu Kerajaan Gowa dan
Kerajaan Tallo. Pemisahan terjadi karena Tunatangka Lopi memiliki dua anak
yang sama-sama ingin berkuasa. Setelah Tunatangka Lopi meninggal dunia,
Batara Gowa meneruskan tahta ayahnya sebagai Raja Gowa VII. Sementara
saudaranya, Karaeng Loe Ri Sero, menjadi Raja Tallo yang pertama. Selama
hampir satu abad, dua kerajaan ini berjalan sendiri-sendiri.
4. Batara Gowa
Faktor2:
Masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan
atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut
dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to
Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut
dengan golongan “Ata”.
Islam di gowa-tallo
- raja dari Gowa dan Tallo secara resmi memeluk Islam pada tanggal 22
September 1605M
- Sejak Gowa resmi menjadi kerajaan bercorak Islam pada tahun 1605,
gowa meluaskan politiknya agar kerajaan lain memeluk Islam juga dan
tunduk pada kerajaan Gowa-Tallo, antara lain Wajo pada tanggal 10 Mei
1610 dan Bone pada tanggal 23 November 1611
- Islamisasi juga dilakukan oleh Mubalig yang disebut dengan Dalto Tallu
(tiger dalto); Dato’ri Bandang (Abdul makmur atau Khatib Tunggal),
Dato’ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau khatib Sulung), Dato’ri Tiro
(Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal
dari kota tengah Minangkabau.
Tenggara.
Perdagangan
Kontak maritim antara negara-negara Asia Tenggara dengan Cina dan India dapat dirunut ke
belakang sejauh ribuan tahun, dan daya tarik utama wilayah ini adalah rempah-rempah Maluku,
mineral, dan hasil laut maupun hutan. Sriwijaya memelihara hubungan yang erat dengan
pedagang Arab dan India, dan memperoleh sebagian besar kekayaannya dari hubungan eratnya
dengan Cina. Di periode awal, para pedagang berlayar dari Semenanjung Arab hingga Cina,
menaklukan Malaka di tahun 1511, selama sebagian besar abad ke-16 berada di Ambon, Banda,
dan sampai 1574 di Ternate. Kemudian mereka pergi ke Tidore ( 1578-1605 ) untuk sementara
waktu. Di sebelah selatan, kehadiran mereka di Nusa Tenggara yang kaya akan kayu cendana ini
dimulai sejak 1592 ketika mereka membuka satu basis di Solor di sebelah timur Flores. Tempat
tersebut kemudian ditinggalkan di tahun 1613, tetapi orang Portugis tetap kuat di Timor dengan
Orang-orang Portugis bekerja sama dengan penguasa Gowa-Tallo’ dimana mereka disambut
terbuka di istana. Persaingan yang ketat terjadi antara Portugis dan VOC. Belanda mengambil
alih Ambon dari Portugis tahun 1605. Penduduk Banda berkurang dari satu sampai dua ribu
orang ketika VOC menerapkan monopoli buah palanya di tahun 1621. Mereka yang selamat
beralih menjadi pengungsi dan pedagang yang dengan getir bermusuhan dengan VOC.
Mengikuti gempuran yang berhasil atas Ternate di tahun 1679-1681 intervensi Belanda menjadi
semakin menentukan, tetapi baru di tahun 1783 Tidore dan Ternate resmi ditaklukan oleh VOC.
Suku Bugis tersebar di seluruh Malaysia dan Indonesia. Jaringan perdagangan mereka
membentuk satu poros timur-barat dengan Johor-Riau di ujung barat, dan Makassar di timur.
Makassar dalam hal ini harus dipahami sebagai istilah yang mengacu pada satu kumpulan
pelabuhan di Sulawesi Baratdaya, tetapi tidak terbatas pada Makassar yang dikuasai Belanda.
Setelah 1720 Bugis sangat kuat di Kepulauan Riau-Lingga yang strategis di ujung selatan Selat
Para pedagang Cina membentuk faktor penyatu utama yang kedua sesudah orang Bugis dalam
perdagangan di Maluku di abad ke-18. Meskipun orang Cina memainkan peranan kunci dalam
permukiman VOC sebagai pengusaha, tukang, dan pembayar pajak, VOC sangat curiga akan
persaingan ekonomi mereka. Meskipun demikian, para sultan dari Ternate dan Tidore sangat
menentang usaha apa pun dari Belanda untuk membatasi kegiatan orang Cina yang sangat
menghasilkan keuntungan bagi masyarakat dan penguasa terutama di Teluk Tomini, Maluku, dan
New Guinea. Di tahun 1773 para pejabat VOC di Ternate mencatat bahwa 2 dari 3 sampan (jung)
Cina yang penuh beban muatan datang dari Sulu tiap tahun, mempertukarkan barang mereka
Di tahun 1770-an Belanda menganggap Timor, Makassar, Ternate, dan Tidore sebagai
penjaga jalur laut ke Maluku. Akibatnya, garnisun dan kapal penjelajah di Makssar sangat sentral
dalam strategi VOC, tidak hanya karena lokasinya tetapi juga karena Makassar pada mulanya
merupakan pusat utama perdagangan bebas untuk rempah-rempah. Orang-orang Bugis dianggap
sebagai ancaman bagi perdagangan VOC dan karenanya membatasi pelayaran mereka menjadi
kebijakan yang penting bagi Belanda. Tetapi kendali VOC atas Makassar dan Maluku tidak
berminat untuk mendapatkan uang dan karena itulah mereka sangat longgar dalam menafsirkan
dan menerapkan peraturan. Korupsi menjadi umum terjadi terutama di daerah yang didominasi
oleh VOC, penyelundupan juga terus berlangsung. Banyak perdagangan terjadi dibawah tangan,
Tahun 1730, sebagai contoh, Keffing di Seram Timur adalah satu pasar dimana pedagang
Makassar, Bugis, Melayu, dan Jawa mempertukarkan kain dengan rempah-rempah. Pedagang
Makssar membawa bagian mereka melalui Teluk Tomini lewat Mandar ke Makassar atau
Banjarmasin, atau menyusuri pantai Kalimantan Timur ( Berau memainkan peran penting ) dan
Di abad ke-18, pedagang Bugis secara dominan di Pasir dan Kutai Kalimantan Timur,
menghubungkan daerah pedalaman, yang dapat dicapai lewat sungai-sungai Kendilo dan
Mahakam, dengan jaringan di seberang lautan. Pantai Timur Kalimantan menjadi semkain terikat
pada Makassar, dimana Brunei ( partner dagang lama mereka yang lain ) menjadi semakin terkait
dengan orang-orang Spanyol-Filiphina dan Sulu. Bagi para pedagang yang ingin menghindari
Belanda, Brunei merupakan pelabuhan singgah yang tepat. Banjarmasin ( pantai tenggara
Mulai 1740 kapal-kapal Inggris dan Cina mengunjungi pelabuhan yang kaya akan lada ini
secara teratur sehingga pedagang-pedagang lokal mulai pergi kesana meskipun ada larangan.
Belanda terpaksa mengintervensi dengan mendirikan pos perdagangan di tahun 1749. Di tahun
1767 syahbandar Makassar mengeluh akan adanya perdagangan timur-barat ilegal yang berpusat
di Riau. Belanda akhirnya menghancurkan Riau di tahun 1784, mematahkan kekuatan Bugis dan
menjadikan Manila sebagai pangkalan terdepan untuk perdagangan Cina. Karenanya, dengan
membangkang pada para Kaisar Cina, VOC, dan aturan Spanyol, Manila terus menarik saudagar
dari berbagai daerah. Hanya dengan Reformasi Basco di tahun 1770-an perdagangan akhirnya
diizinkan secara resmi untuk dilanjutkan, melegalkan penyelundupan yang sudah berpuluh tahun
dilakukan.
Di abad ke-18 Sulu juga berkeinginan keras untuk menghidupkan kembali perdagangan
mereka dengan Cina, yang sekali lagi terbuka untuk perdagangan, dan diantara tahun 1727 dan
1763 Sulu mengirim lima kali upeti yang membawa misi perdagangan ke Cina. Permukiman
Bugis di Pulau Laut, Pasir, Samarinda, dan Berau akan mempertukarkan barang dengan Sulu
yang menjadi tetangga mereka yang berlokasi di permukiman utara. Perdagangan yang terjadi di
pelabuhan yang kerap dikunjungi Cina, dan setelah 1746 kontak langsung dengan Amoy,
Prioritas utama VOC adalah untuk memonopoli perdangan rempah-rempah dan sekitar tahun
1670 mereka cukup berhasil. Kendali VOC menjadi tidak relevan dalam ekspor yang ditujukan
ke Cina, yang sering berasal dari laut yang terpencil atau daerah hutan. Dalam hal ini termasuk
perdagangan tripang yang didasarkan pada kerjasama pedagang dan pelayan Bugis, Makassar,
dan Bajo dengan saudagar Cina. Daerah-daerah yang berhasil menentang orang-orang Eropa
seperti pelabuhan-pelabuhan Riau, Sulu, dan Kalimantan memperoleh kemakmuran mereka dari
jaringan-jaringan perdagangan ini yang merupakan kelanjutan dari pola-pola di abad
sebelumnya.
pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III, dan kelompok Pangeran
Mangkubumi. Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak dilibatkan dalam
pada tanggal 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai
Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten,
SEJARAH
Disebutkan bahwa Sunan Kabanaran memerintahkan Pangeran
Hartingh yang juga diiirngi oleh para perwira tinggi kompeni. Pertemuan itu
menjadi milik Susuhunan Paku Buwono III di Surakarta (2) Keraton hendak
Surakarta (3) Surabaya dijadikan sebagai lokasi keraton bagi Susuhunan (4)
Banyumas
(4) menuntut pemulangan kembali Adipati Natakusuma, mendiang pepatih
dalem pada masa geger pecinan yang kini hidup alam pengasingan kompeni
di Sailan
(5) Menyetujui Banyumas untuk tetap menjadi milik Sunan PakuBuwono III di
Surakarta.
Usulan penempatan lokasi keraton di surabaya dengan harapan agar
dan kebijaksanaan Susuhunan justru ditolak dan mataram yang cukup jauh
dari pusat-pusat kekuatan militer kompeni menjadi tuntutan susuhunan
Banyumas yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan Kompeni itu, justru
perdamaian oleh pihak Kompeni Hartingh, pihak Sunan Paku Buwono ll yang
diwakili oleh Patih Adipati Priggalaya, dan pihak Sunan Kabanaran yang
Kompeni.
5. Sultan diwajibkan untuk mengampuni seluruh kesalahan-kesalahan
dari para bupati yang pada masa perang terdahulu berpihak kepada
Kompeni.
6. Sultan tidak boleh lagi untuk menuntut wilayah Mataram, terutama
segenap keturunannya.
8. Sultan diwajibkan menjual seluruh hasil buminya hanya kepada
dapat memegang teguh isi dari Perjanjian tersebut, adalah menjadi hak
Kompeni untuk dapat mencabut gelar Sultan dan menghapuskan kerajaan
yang dilakukan oleh Patih Adipati Pringgalaya yang Juga berisikan ucapan
selamat dan terima kasih atas kesediaan Sunan Kabanaran untuk berdamai
antara lain :
1. Gelar Susuhunan yang disandang sejak saat itu dirubah menjadi Sultan
2. Gelar yang disandangnya adalah Hamengku Buwono
3. Keraton atau pusat kerajaan akan didirikan di Mataram, tepatnya di
Mataram
5. Sebutan lengkap raja adalah Ngarsadalem Sampeyan Dalem Ingkang
dalem dengan gelar Kangjeng Raden Adipati Harya Danureja dan berhak atas
Lurung tengah.
Pada tanggal Jumadilawal 4 Februari 1755, bertempat di Pura
Tumenggung Suranata
8. Tumenggung Alap-Alap menjabat sebagai Bupati Kliwon Siti Sewu di
Tumenggung Prawirasakti
11. Ngabehi Ranadirado menjabat sebagai Bupati Kliwon Keparak
Urawan
12. Ngabehi Ranadimurti dan Ngabehi lidanegara menjabat masing-
Mangunyuda
13. Ngabehi Ranawijaya menjabat sebagai Bupati Jaksa dengan gelar
Tumenggung Sasmintasastra
14. Ngabehi Muhyidin menjabat sebagai Bupati Lurah Carik dengan
Dipaningrat.
Selesai penyampaian susunan perangkat kerajaannya Sultan
perjanjian perdamaian.
Tidak disebutkan jangka waktu pelaksanaan perundingan pembagian
Sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 orang Belanda, Inggris,
Denmark, dan Prancis datang ke Indonesia. Inggris lebih banyak mengekor pada
Belanda. Bila Belanda mendirikan kontor dagang, maka Inggris juga demikian.
Apabila timbul ketegangan antara penguasa pribumi dengan Belanda, maka Inggris
berpihak pada pribumi.
Pada tahun 1521, Sebastian del Cano, berangkat dari Tidore dan tiba kembali di Sevilla (Eropa
Barat). Del Cano berangkat dari Tidore ke selatan, mampir di Timor, lalu kapalnya dikemudikan
menyeberang samodera Indonesia ke ujung selatan Afrika, lalu ke laut Atlantik sampai di Iberia Selatan.
Inilah pertama kali, rempah-rempah dari Maluku langsung diangkut ke Eropa. Sebelumnya diangkut
bertahap-tahap, dari Maluku Utara ke Hitu dan Banda kemudian diangkut ke Indonesia bagian barat
seperti pelabuhan di pesisir Jawa, pantai timur Sumtera, dan Selat Malaka. Dari Malaka diangkut ke
India, Gujarat Lalu ke Barat melintasi laut Arab, dan kemudian bercabang dua. Pertama ke utara menuju
ke Teluk Oman, melalui selat Ormus, masuk ke Teluk Persia, Syah Ismail I. Kota Ormus sebagai kota
terkaya di dunia karena posisi geografis. Kedua, melalui Teluk Aden dan Laut Merah dan dari kota Suez
melalui daratan ke Kairo dan Iskandariyah. Di sini kekuasan di tangan raja Mameluk yang mempunyai
imperium besar meliputi Mesir, Suriah. Pada zaman Sriwijaya, pedagang kita telah mengunjungi
pelabuhan Cina dan Pantai Timur Afrika.
Karena pentingnya jalan tersebut, maka Alfonso d”albuquergue berhasil menduduki Ormus
tahun 1515, Goa 1510, Malaka 1511 sehingga pusat penting jalan ini jatuh ke Portugis. Orang Portugis
memasuki perairan Asia melalui jalan selatan yakni via Tanjung Harapan Baik dan Pantai Timur Afrika.
Setelah Malaka dikuasai oleh Portugis, pusat perdagangan beralih ke Aceh dan Banten melalui pantai
barat Sumatera dan selat Sunda. Jalan langsung antara perairan Indonesia dan Tanjung Harapan Baik
melintasi Samudera Indonesia yang dirintis oleh del Cano, dipergunakan oleh kapal Belanda pertama
tahun 1596.
Di Nusantara, pelayaran orang Makassar dan Bugis, telah meliputi hampir seluruh perairan
Nusantara. Pada abad ke-17 telah tersusun sebuah hukum yang terkenal dengan hukum laut Amanna
Gappa, selain itu telah ada peta yang berasal dari pelaut Bugis. Orang Makassar dan Bugis ini telah
berlayar ke Aceh, Kedah, Kamboja, Ternate, kemudian ke utara (Filipina), Sulu, dan Kalimantan Utara
(Berau).
Pasca kejatuhan Malaka, Aceh menjadi bergairah. Dan dari Aceh ini, kapal berlayar menyusuri
pantai Barat Sumatera lalu masuk selat Sunda menuju pelabuhan di pantai Utara Jawa. Lahirlah Banten
sebagai pusat perdagangan baru di Jawa, yang ingin menguasai Pariaman dan Tiku (Sumatera Selatan).
Pada tahun 1527 Banten menduduki Sunda Kelapa sehingga namanya diganti menjadi Jayakarta.
Perdagangan yang semula banyak di Sunda Kelapa kemudian dialihkan ke Banten. Daerah pantai utara
Jawa yang berkembang adalah Jepara. Jepara dipandang sebagai pelabuhan penting dalam perjalanan
antara Malaka dan Mauluku. Karena mempunyai hasil beras yang dapat dijadikan komoditas ekspor.
Pada abad ke-16 Jepara telah melakukan hubungan dagang dengan Malaka, Aceh, Johor, Hitu, dan
daerah yang lain. Kemudian, pada tahun 1615, Jepara masih melakukan hubungan dengan pantai
Sumatera, Malaka, dan Jambi. Di Jepara ini telah banyak pedagang yang berasal dari Cina. Ke Timur,
kapal tiba di Tuban yang merupakan salah satu pelabuhan terkenal pada abad ke-11 hingga ke-16. Lalu
pada abad ke -16 para pedagang yang pada mulanya di Tuban pindah ke Gresik. Mereka lebih suka ke
Gresik karena cukai di Tuban tinggi dan banyak perompak.
Di sekitar Surabaya, bandar utamanya adalah Gresik Jaratan. Dari Gresik, kapal berlayar ke
Maluku. Hubungan dengan Maluku menjadi penting karena di sinilah orang Ternate dan Tidore pergi ke
Giri memperdalam pengetahuannya dalam hal agama Islam. Di pelabuhan ini mempunyai fasilitas
reparasi kapal. Gresik juga melakukan hubungan dengan Banda. Pada Musim Timur, kapal kecil dari
Gresik berlayar ke selat Malaka, Sumatera, Kalimantan, Patani, dan pelabuhan Siam. Saat musim Barat,
mereka berlayar ke pulau Nusatenggara, Bali, Maluku, Buton, Buru, Mondanao, Kei, dan Aru. Ketika VOC
menguasai jalan perdagangan, kapal pribumi dan Portugis mencari jalan lain dari Malaka berlayar ke
Pulau Karimata dekat Kalimantan lalu mengunjungi Ujung Pandang. Sebelumnya mereka melalui pulau
Lingga dan Bangka. Orang Portugis mencari jalan dari Malaka ke Maluku melalui pantai Kalimantan
Utara dan menyeberang laut Sulawesi.
Ada tiga jalan laut yaitu melalui pesisir utara Jawa, pantai Selatan Kalimantan, serta melalui
Brunei dan Mindanao akhirnya kapal tiba di Maluku
Dari Banda ke Utara, tiba di Ternate dan Tidore tempat penghasil cengkeh. Meskpin
pelabuhannya tidak begitu bagus, namun karena penghasil cengkeh, terpaksa kapal-kapal mengunjungi
daerah ini. Di Maluku Utara ini, tanaman rempah dipentingkan sehingga bahan makana harus
didatangkan dari luar. Misalnya beras dari Sulawesi. Pedagang Cina datang ke Malku membawa tenunan,
perak, gading, manik-manik, dan piring mangkok buatan Cina.
Di Kalimantan, pelabuhan terkenal adalah Brunai atau Borneo. Di sebelah tenggara kota
ada Lawe, dan Tangjungpura, sebelum banjramasin sebagai pelabuhan besar. Mereka mengadakan
hubungan dengan kota pantai di Jawa. Barang yang diekspor diperdagangkan ke Jawa adalah Emas,
intan, bahan makanan, damar, dan kayu-kayuan.
Bagian barat Indoensia seperti Pasai, Pidie, Jambi, Palembang, Lampung, pantai barat
Sumatera seperti Pariaman, Tiku, Barus, Jawa Barat, Banten, dan Sunda Kelapa bahan yang diekspor
terpenting adalah Lada. Barang yang lain adalah Emas, Kelambak, Kapur Barus, kemenyan, sutera, damar,
madu, Ekspor ditujukan ke Malaka dan ada pula pedagang Gujarat yang membawa langsung ke
negerinya.
Barang lain yang diekspor adalah budak belian. Mereka diperlukan istana, rumah
bangsawan, dipekerjakan sebagai buruh kasar di kapal, terutama untuk kapal perang. Orang dapat
menajdi budak karena kalah perang, tebusan bayar utang, atau melanggar adat. Budak yang di ekspor
dari Palembang ke Malaka banyak berasal dari daerah pedalaman. Setaip tahun 2 hingga 3 pedagang
berangkat dari Malaka ke pelabuhan Sunda Kelapa untuk membeli budak, beras, dan lada. Budak yang
ada di Kalapa ada yang dari pedalaman dan ada yang dari Maladiwa (dia mengeskpor dan mengimpor
budak).
Di Jawa Timur, Blambangan terkenal sebagai penghasil budak. Budak berasal pula dari Nusatenggara.
Budak yang dijjual oleh kapal Bugis dan Makassar berasal dari pembajakan di laut mauun di daerah
pedalaman (Toraja). Portugis juga ikut dalam perdagangan budak. Kompeni Belanda juga memerlukan
tenaga budak dalam usahanya untuk perkebunan Pala di Banda yang diduduki tahun 1621. Budak
didatangkan oleh VOC dari berbagai tempat perwakilan VOC, budak inilah yang menjadi penduduk asli
Banda. Penduduk asli Banda telah dikirim sebagai budak di Btavais.
Pelayaran dalam negeri dialkuakn oleh kerajaan pribumi dan wilayah ekspansinya.
Awalnya samudera Pasai pada posisi yang cukup penting kemudian harus mengalah ada Malaka. Lalu
Aceh mengantikan Malaka setelah dikuasai Portugis. . Dampaknya Kapal memilih berlayar menyususr
pantai barat sumatera serta mengausai bahan produksi hutan dan perkebunan yang dihasilkan oleh
daerah sepanjang jalan ini.
Dari Sumatera, kapal memasuki Selat Sunda menuju pelabuhan di pantai utara Jawa. Di Bagian
Barat Banten menduduiki tempat penting sejak awal abad ke-16. Munculnya Banten sebagai bandar
penting justru pada saat Malaka jatuh ke tangan Portugis. Sehingga bandar Malaka beralih ke selata
Sunda. Banten menguasai Lampung dan melakukan ekspansi ke daerah Palembang untuk emmegang
hegemoni di wilayah selat sunda. Disamping ingin menguasai lada di Sumatera Selatan. Namun pada
masaTome pires, Banten hanya menduduki posisi kedua setelah sudan kelapa. Di Sunda Kelapa ini
pedagang dari bara dan timur berkumpul. Ada Palembang, pariaman, lawe, tanjung Pura, Malaka,
Makasar, Jawa Timur, Madura.
Pada tahun 1527 Banten menduduki Sunda Kelapa sehingga perdagangan banyak beralih ke
Banten. Pelabuahn di pesisir Jawa bertambah makmur karena ada surplus beras di daerah pedalaman.
Jumlah jung terbesar adalah demaka yang mencapai 40 buah.
Selain itu ada Jepara meskipun penduduknya lebih kecilo dari Demak tetapi mempunyai
pelabuhan yang penting. Letaknya didalam teluk yang bisa sebagai pelabuhan penting dalamjalan
perdagangan anatara Malaka dan Maluku. Hasil sawah dipedalaman memungkinkan jepara menajdi
tempat ekspor beras yang penting di daerah Malaka dan maluku. Drai pelabuhan Jepara ekspedidi
penyeberangan laut jawa bertolak meluaskan kekuasaanya ke bangka dan akalimatan selatan (tanjung
pura dan Lawe).
Setelah Jepara diduduki Mataram tahun 1599 Jepara tetap penting, bahkan pada tahun 1615
Belanda telah bertmu 60-80 jung di pantai sumatera yang sebagian besar dari Jepara. Kapal itu memuat
makanan di bawa ke Malka. Ada hubungan anatara Jambi dengan Jepara. Dari Jambi Jepara mengangkut
lada, dari Jepara jambi mengangkut beras dan garam. Sehingga menarik pedagang China datang ke
Jepara. .
Berlayar ke timur, kapal tiba di tuban, salah satu pelabuhan yang penitng pada abad ke-11 tetapi
pada akahir abad ke-16 kapal sudah mulai berkurang. Tuban dikelilingi tembok besar dan benteng yang
kokoh. Pada abadke-16 kapal lebih suka ke gresik daripada ke Tuban. Karena tuban endapan lumpurnya
besar, fasilitasnya kurang, cukainya yang tinggi sehingga pedagang tidak memperoleh kutununagan.
Sekaligus adanya pemaksaan untuk datang ke tuban.
Melamahnya perdagangan di pelabuahn jawa karena ada persaingan antar koa pelabuhan
sehingga memudahkan Matram melakukan ekspansi. .
Pada abad ke-17 Suabaya masih merupakan desa kalah dengan Gresik dan jaratan.
Hunbungan gresik dan maluku tidak hanya sebatas hubungan dagang tapi juga hubungan
memperdalam agama Islam yaitu ke Giri.
Ketika Portugis menguasai Malaka, banyak jalan sekunder yang melalui pantai barat
sumatera menjadi sangat ramai. Jalan barat sebelumnya ini sudah dipelopori oleh transportasi perahu
yang mengambil lada, kayu, kapur barus, emas, budak dan sebagainya. Penguasaan Malaka oleh Portugis
membuat perkebunan lada di Tiku dan Pariaman berkembang karena dorongan pelayaran di barat
Sumatera. Di Banten, ketika ketika permintaan lada meningkat, masyarakat menanam lada, tetapi ketika
sepi masyarakat berganti haluan menanam padi. Pada waktu Belanda tahun 1619 menguasai Jayakarta,
dan mnegganti namanya menjadi Batavai (Betawi), menyebabkan kapal yang mengunjungi Banten
berkurang. Pada tahun 1634, perdagangan banten dipindah ke Batavia.
BERDIRINYA VOC
Pelayaran Portugis memang lebih maju daripada sistem angkutan laut pribumi, baik
dalam teknik kemiliteran (angkatan lautnya) maupun dalam teknologi pangkalan
dan taraf pengetahuan navigasi.5
Kehadiran kapal-kapal Portugis membawa suatu sistem baru dalam dunia pelayaran
Asia Tenggara. Untuk pertama kali ada suatu kekuatan laut yang besar yang
beroperasi dari satu pangkalan dengan mempunyai organisasi perdagangan yang
sangat luas jangkauannya.6
5
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 58.
6
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 58.
7
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 59.
8
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 60.
peraturan pelayaran dan perdagangan sering dilanggar sehingga akhirnya
merugikan diri sendiri. Misalnya, kapal-kapal membawa muatan yang jauh
melebihi kapasitas, pimpinan kapal dipercayakan kepada orang yang bukan
ahli navigasi dan tidak berpengalaman dan dengan demikian tidak
berwibawa sehingga sering menimbulkan pertengkaran dan pemberontakan
di kapal dan sebagainya.9
Tetapi perbedaan besar yang nyata adalah dalam hal operasi. Pelayaran dan
perdagangan Portugis dilaksanakan secara terpisah (sejak 1577).
Perdagangan merupakan usaha kerajaan, sedangkan pelayaran dan
pengkutan barang dagangan diserahkan kepada pihak swasta. Oleh sebab itu
pengawasan terhadap pelayaran dan pengangkutan laut tidak lagi dijalankan
secara ketat. Muatan kapal berlebih-lebihan dan kelayakan kapal tidak
diperhatikan lagi. Untuk mendapat laba yang sebesar mungkin, dibuat kapal
yang besar-besar (800-900 ton) dengan biaya yang sekecil mungkin tanpa
memperhatikan keselamaan berlayar. Kapal-kapal yang besar ini, yang
sengaja dibuat untuk mengangkut barang dagangan, tidaklah cocok untuk
berperang sehingga mudah jatuh ke tangan Belanda yang menggunakan
kapal yang lebih kecil, lebih cepat, serta lebih kuat
persenjataannya.Kelemahan Portugis telah dilaporkan oleh orang-orang
Belanda yang pernah bekerja dan berlayar bersama-sama di Samudera
Hindia dan perairan Asia Tenggara dengan kapal Portugis. Yang terkenal
adalah Jan Huygens van Linschoten yang menulis buku Itinerario yang sangat
dimanfaatkan oleh orang Belanda dalam merencanakan pelayarannya ke
sebelah timur.10
Tenaga pelaut Asia, termasuk orang Indonesia, telah dipekerjakan pula dalam
kapal-kapal yang berlayar ke Eropa. Hal ini juga telah dilakukan lebih dahulu
oleh kapal-kapal Portugis. Sebagaimana diketahui, dalam eskader Magalhaes
yang mengadakan pelayaran pertama mengelilingi dunia diketahui terdapat
pelaut “Melayu”.11
9
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 61.
10
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 61.
11
Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid III, Jakarta, 1990, 67.
o Untuk seorang pemimpin maka diberi gelar Gubernur Jenderal sejak 1610 yang
didampingi dewan penasehat (raad van Indie). Pangkat pedagang antara lain
onderkoopman (pedagang muda), koopman (pedagang), opperkoopman (pedagang
utama).
o Pemimpin setiap armada harus memberi laporan pertanggung jawaban ke
parlemen.
o Didalam octrooi ( surat izin berusaha) yang diberikan pemerintah Belanda ke VOC
dicantumkan campur tangan negara dalam perusahaan swasta itu.
o Octrooi memberi wewenang VOC mengadakan perjanjian, da mengumumkan
perang.
o VOC mendapat monopoli pelayaran dan perdagangan. Artinya perusahaan Belanda
lainnya tidak boleh beroperasi di situ.
o Untuk memperoleh monopoli, maka Jenderal Jan Piterszoon Coen merebut
Jayakarta sehingga mendapat pangkalan strategis yang diberi nama Batavia,
sehingga pusatnya di Batavia.
o VOC menjadi kekuatan maritim yang besar. Dengan organisasinya teratur dan
terpadu dan disiplinnya kuat.
o Pada abad ke-17 dan 18 VOC lebih unggul daripada perusahaan lainnya.
o Faktor penting yang menyebabkan keruntuhan VOC adalah adalah pelanggaran
disiplin.
Korupsi yang menyebar khusus pada akhir abad ke-18 di tingkatan pimpinan
Upah pekerja rendah sehingga pekerjanya kurang pengalaman dan kurang
terampil
Keadaan kapal jelek perlengkapan dan kesehatan
Pembrontakan di kapal tinggi.
Belanda tahun 1780-1784 berperang dengan Inggris dan perancis sehingga
memperlemah secara politik
o Peraturan Staten Generaal yang harus ditaati oleh pelayar VOC adalah
Harus mengikuti pelayanan ibadah pada jam yang telah ditentukan.
Pelarangan penggunaan kata-kata kasar
Membuang makan dilarang
yang melanggar gajinya tidak dibayar, dihukum badan atau hukuman
penjara yang dipimpin oleh nahkoda,.
Angka kematian dalam perjalanan abad XVII sekitar 13,5 %, dan abad ke-18
menjadi 23 %.