Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PSIKO-SOSIO LINGUISTIK

Landasan Neorologis pada Bahasa


Dosen Pengampu : Erma Martiningsih, MA.

Kelompok VI (enam) :

Nadia Mutmainnah

Nurul Fitriana Rahmatullah

INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI LOMBOK TIMUR

FAKULTAS TARBIYAH

PENDIDIKAN BAHASA ARAB (C)

T.A. 2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin kami tidak akan sanggup
menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW. Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam
pemahaman tentang Landasan Neorologis pada Bahasa. Semoga makalah ini dapat memberikan
pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Dan banyak sekali kelemahan dari penulisan
makalah ini. Serta banyak pula kesalahan yang tidak bisa kami hindarkan. Mohonlah sekiranya
dimaafkan. Karena semua yang baik datangnya dari Allah SWT, dan apa yan khilaf dari kita
sebagai manusia.

Maka kritik, dan saran membangun sangat kami perlukan untuk perbaikan supaya
kedepanya lebih baik lagi dalam membuat makalah. Akhir kata kami ucapkan terimakasih.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………...i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………... 1

A. LATAR BELAKANG…………………………………………………………1

B. RUMUSAN MASALAH………………………………………………………1

C. TUJUAN PENULISAN……………………………………………………….2

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………3

1. Evolusi Otak Manusia.....................................................................................3


2. Otak Manusia vs Otak Binatang……………………………………………..3
3. Kaitan Otak dengan Bahasa………………………………………………….7
4. Peran Hemisfir Kiri dan Hemisfir Kanan…………………………………….9
5. Gangguan Wicara……………………………………………………………9
6. Hipotese Umur Kritis……………………………………………………….10
7. Kekidalan dan Kekinanan………………………………………………….12
8. Otak Pria dan Otak Wanita………………………………………………..13
9. Bahasa Sinyal………………………………………………………………15
10. Metode Penelitian Otak …………………………………………………..15
BAB III PENUTUP………………………………………………………… 15

A. KESIMPULAN………………………………………………………….18

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemahaman manusia terhadap bahasa selain berguna untuk
mempersepsi ujaran, produksi ujaran ada juga faktor yang mempengaruhi
bahasa, faktor biologis dan neurologis. Faktor-faktor ini juga yang
membedakan bahasa manusia dan binatang. Disimpulkan bahwa
perkembangan bahasa manusia memiliki kaitan erat dengan perkembangan
biologisnya. Faktor yang juga sangat penting dalam penguasaan bahasa adalah
faktor neurologis yakni kaitan antara otak manusia dengan bahasa.
Faktor neurologis yang membahas tentang kaitan antara otak
manusia dengan bahasa. Neurologi mempunyai kaitan erat dengan bahasa
karena kemampuan manusia berbahasa ternyata bukan hanya karena
lingkungan tetapi karena kodrat neurologis yang dibawanya sejak lahir. Betapa
besar peranan otak kita di dalam pemerolehan, pemahaman dan pemakaian
bahasa. Proses bahasa itu dimulai dari enkode semantik, enkode gramatika, dan
enkode fonologi, lalu dilanjutkan dengan dekode fonologi, dekode gramatikal,
dan diakhiri dengan dekode semantik bahkan pragmatik. Pada bab ini akan
disajikan struktur dan organisasi otak manusia untuk memberikan pengetahuan
terhadap masalah pemerolehan, pemahaman, dan pemakaian bahasa serta
akibat-akibat yang akan timbul apabila ada gangguan pada otak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas dapat ditarik beberapa
rumusan masalah:
1. Bagaimana evolusi otak manusia?
2. Apa perbedaan otak manusia dan otak binatang?
3. Bagaimana kaitan otak dengan bahasa?
4. Bagaimana peran hemisfir kiri dan hemisfir kanan?
5. Apa saja yang termasuk gangguan wicara?
6. Apa yang dimaksud hipotese umur kritis?

1
7. Apa yang dimaksud kekidalan dan kekinanan?
8. Bagaimana perbedaan otak pria dan otak wanita?
9. Apa yang dimaksud Bahasa Sinyal?
10. Apa sajakah metode Penelitian otak yang sudah ada?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui evolusi otak manusia.
2. Untuk mengetahui perbedaan otak manusia dan otak binatang.
3. Untuk mengetahui kaitan otak dengan bahasa.
4. Untuk mengetahui peran hemisfir kiri dan hemisfir kanan.
5. Untuk mengetahui gangguan wicara.
6. Untuk mengetahui hipotese umur kritis.
7. Untuk mengetahui kekidalan dan kekinanan.
8. Untuk mengetahui perbedaan otak pria dan otak wanita.
9. Untuk mengetahui apa yang dimaksud bahasa sinyal.
10. Untuk Mengetahui metode penelitian otak apa saja yang telah ada.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Evolusi Otak Manusia


Menurut KBBI (2005:311) evolusi adalah perubahan (pertumbuhan,
perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi
sedikit). Otak adalah alat sentral supervisor dari sistem saraf yang mengatur
dan mengkoordinasi sebagian besar gerakan, perilaku, dan fungsi tubuh
homeotasis seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan tubuh dan suhu
tubuh serta bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi, ingatan,
pembelajaran motorik dan segala bentuk pembelajaran atau fungsi lainnya.
Jadi, menurut pemakalah evolusi otak adalah perubahan secara perlahan fungsi
otak baik itu dalam proses pengenalan, emosi, ingatan, pembelajaran motorik
yang merupakan perubahan sifat-sifat yang terwariskan dari generasi
sebelumnya yang berlangsung secara bertahap.
Manusia tumbuh kembang secara bertahap dari suatu bentuk ke bentuk
yang lain selama berjuta-juta tahun. Salah satu pertumbuhan yang telah
diselidiki oleh para ahli palaneurologi menunjukkan bahwa evolusi otak dari
primata Austrotopithecus sampai dengan manusia masa kini telah berlangsung
sekitar 3 juta tahun.
Jadi, menurut pemakalah otak manusia telah mengalami evolusi otak
(perubahan secara perlahan fungsi otak) dari yang sederhana menjadi yang
paling rumit.
2. Otak Manusia vs Otak Binatang
Manusia tentu berbeda dengan binatang, di samping perbedaan
fisiknya, manusia dengan binatang memiliki perbedaan pada otaknya. Menurut
Dardjowidjojo (2012:202) volume otak manusia memang lebih besar, tetapi
yang memisahkan manusia dari kelompok binatang khususnya dalam hal
penggunaan bahasa bukanlah ukuran dan bobot otaknya. Manusia berbeda dari
binatang karena struktur dan organisasi otaknya berbeda sehingga fungsi dan
penggunaannya berbeda pula dalam hal bahasa. Dalam hal ini manusia

3
memiliki kemampuan yang lebih dengan makhluk yang lain terutama dalam
hal berbahasa. Berikut perbedaan antara otak manusia dengan otak hewan:
a. Otak Manusia
Otak merupakan pusat saraf untuk manusia. Otak menyedot 15%
dari seluruh peredaran darah ke jantung dan memerlukan 20% dari
sumberdaya metabolik manusia (Dardjowidjojo, 2012:203). Hal tersebut
membuktikan bahwa otak manusia memerlukan perhatian yang lebih
dibandingkan organ yang lainnya. Dari segi ukurannya berat otak manusia
adalah 1 sampai 1,5 kilogram dengan rata-rata 1330 gram menurut
Halloway (Dardjowijdjojo, 2012:203). Jadi, menurut pemakalah hal tersebut
menunjukkan bahwa otak manusia berbeda dengan makhluk lainnya baik
dari segi fungsi maupun bentuknya.
Seluruh sistem saraf kita terdiri dari dua bagian utama: (a) tulang
punggung yang terdiri dari sederetan tulang punggung yang bersambung-
sambungan (spinal cord) dan (b) otak. Otak itu sendiri terdiri dari dua
bagian. (i) batang otak (Brain Stem) dan (ii) korteks selebral (cerebral
cortex). Tulang punggung badan korteks sereberal ini merupakan sistem
sentral untuk manusia (Dardjowidjojo, 2012:203). Jadi, menurut pemakalah
antara tulang punggung dengan korteks sereberal adalah satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian sentral untuk manusia, dan
segala yang dilakukan manusia baik berupa kegiatan fisik maupun mental
dikendalikan oleh sistem saraf tersebut.
Batang otak terdiri dari bagian-bagian yang dinamakan Medulla, Pons,
Otak tengah, dan Cerebellum. Bagian-bagian ini terutama berkaitan dengan
fungsi fisikal tubuh, termasuk pernapasan, detak jantung, gerakan, refleks,
pencernaan, dan pemunculan emosi menurut Steinberg (Dardjowidjojo,
2012:203). Menurut Dardjowidjojo (2012:203) korteks selebral menangani
fungsi-fungsi intelektual dan bahasa, korteks serebral manusia terdiri dari
dua bagian: hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Kedua hemisfer ini
dihubungkan oleh sekitar 200 juta fiber yang dinamakan korpus kalosum.
Jadi, antara hemisfer kiri dan kanan itu satu kesatuan tetapi dipisahkan

4
dengan korpus kalosum yang berfungsi sebagai penghubung dan
mengkoordinasikan hemisfer kiri dan hemisfer kanan.
Hemisfer kiri mengendalikan semua anggota badan yang ada di
sebelah kanan, termasuk muka bagian kanan. Sebaliknya hemisfer kanan
mengontrol anggota badan dan wajah sebelah kiri (Dardjowijojo, 2012:204).
Jadi, menurut pemakalah antara hemisfer kiri dan kanan keduanya saling
mengontrol dalam hal pengontrolan gerak gerik dan tingkah laku manusia,
sedangkan korpus kalosum sebagai penghubung antara hemisfer kiri dan
hemisfer kanan bertugas mengintegrasi dan mengkoordinasikan apa yang
dilakukan kedua hemisfer tersebut.
Waktu manusia dilahirkan belum ada pembagian tugas antara hemisfer.
Namun, menjelang anak mencapai umur sekitar 12 tahun terjadilah
pembagian fungsi yang dinamakan lateralisasi (Dardjowijojo, 2012:205).
Menurut Chaer (2009:124) lateralisasi merupakan belahan korteks dominan
(hemisfer kiri) bertanggung jawab untuk mengatur penyimpanan
pemahaman dan produksi bahasa alamiah. Jadi, menurut pemakalah ketika
anak berusia di bawah 12 tahun ia cenderung menggunakan hemisfer kiri
saja untuk berbahasa tetapi setelah ia berusia 12 tahun hemisfer kiri dan
kanannya berfungsi dan bertanggung jawab dalam berbahasa.
Kaitannya dengan bahasa yang paling banyak berperan adalah hemisfer
kiri menurut Geschwind (Dardjowidjojo, 2012:206). Pada dasarnya hemisfer
kiri dan hemisfer kanan merupakan pantulan cermin yang keduanya saling
berkaitan tidak dapat dipisahkan. Menurut Dardjowidjojo (2012:206) hemisfer
kiri terdiri dari empat daerah besar yang dinamakan:
1) Lobe frontal (frontal lobe) yang bertugas mengurusi ikhwal yang berkaitan
dengan kognisi.
2) Lobe temporal (temporal lobe) yang bertugas mengurusi hal-hal yang
berkaitan dengan pendengaran.
3) Lobe osipital (occipital lobe) yang berfungsi menangani ikhwal penglihatan.
4) Lobe parietal (parietal lobe) yang berfungsi mengurusi rasa somaestetik
yakni, rasa yang ada pada tangan, kaki, muka, dsb.

5
Pada semua lobe tersebut terdapat girus (gyrus) dan sulkus (sulcus).
Girus adalah semacam gunduk atau bukit dan lereng-lerengnya. Girus ini
memiliki fungsi untuk menghubungkan apa yang kita lihat dan apa yang kita
pahami di daerah Wernicke, sedangkan sulkus adalah seperti lembah, bagian
yang masuk ke dalam. Menurut Dardjowidjojo daerah broca terdapat pada lobe
frontal. Pada dasarnya daerah ketika manusia berbicara memakai hemisfer kiri.
Hal ini dapat dibuktikan katika seorang ahli bedah saraf yang bernama Piere
Paul Broca menemukan seorang pasien yang mengalami gangguan dalam
berbicara, ia hanya dapat merespon dengan kata tan. Setelah ia meninggal
kemudian Broca menelitinya dengan melakukan operasi sehingga dokter
tersebut menyimpulkan bahwa dalam berbicara yang berperan adalah hemisfer
kiri yang terdapat lobe frontal.
Daerah Wernicke terdapat di lobe temporal dan agak menjorok ke
daerah parietal dan bagian yang berkaitan dengan komprehensi. Hal ini dapat
dibuktikan ketika seorang ahli dari Jerman yang bernama Carl Wernicke
memiliki pasien yang dapat berbicara lancar tetapi maknanya tidak karuan,
sehingga dapat disimpulkan komprehensinya sangat terganggu dan hal tersebut
terdapat pada wilayah lobe temporal dan agak menjorok ke daerah parietal.
Menurut Dardjowidjojo (2012:208) yang diproses di daerah Wernicke adalah
pendengaran, penglihatan, dan pemahaman yang ada kelompok fiber yang
bertugas menghubungkan apa yang kita lihat dengan apa yang kita dengar yang
disebut fasikalus arkuat, sedangkan yang diproses di daerah broca adalah
proses pengujaran, pada daerah broca terdapat korteks motor yang yang
bertugas untuk mengendalikan alat-alat ujaran seperti lidah, rahang, bibir, gigi,
dan pita suara. Jadi, menurut pemakalah yang lebih condong dalam hal
berbahasa adalah daerah broca sedangkan untuk menunjang makna dalam
berbahasa adalah daerah Wernicke.
b. Otak Hewan
Otak manusia dengan otak hewan berbeda, bukan hanya bentuknya
saja yang berbeda tetapi fungsinya juga berbeda. Menurut Dardjowidjojo
(2012:208) pada makhluk seperti ikan, tikus, dan burung, misalnya, korteks

6
serebral dikatakan tidak tampak, padahal korteks inilah yang sangat
berkembang pada manusia. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar otak
manusia digunakan untuk proses mental, termasuk proses kebahasaan,
sedangkan binatang hanya untuk kebutuhan fisik saja. Hal ini membuktikan
perbedaan neurologis yang membuat manusia dapat berbahasa sedangkan
hewan tidak.
Manusia dapat berbahasa, sedangkan hewan tidak dapat berbahasa.
Menurut Chaer (2009:140) Bahasa dan berbahasa adalah dua hal yang berbeda.
Hewan-hewan yang dilatih, seperti dalam sirkus, memang mengerti bahasa
karena dia dapat melakukan perbuatan yang diperintahkan kepadanya. Namun,
kemengertiannya itu sebenarnya bukanlah karena dia mengerti bahasa,
melainkan sebagai hasil dari respon-respon yang dikondisikan. Lain halnya
dengan burung beo dan burung nuri yang dapat berbicara, hal itu bukan karena
burung tersebut dapat berbicara melainkan burung tersebut memiliki alat
artikulasi yang dapat menirukan ujaran manusia yang didengar atau dilatih.
Maka dapat disimpulkan hewan tidak dapat berbahasa, burung nuri dan burung
beo itu hanya dapat mengucapkan kalimat yang pernah didengarnya saja dan
tidak dapat berbicara dengan kalimat yang baru sebelum kalimat itu
didengarnya.
3. Kaitan Otak dan Bahasa
Berbicara tentang otak dan bahasa diantaranya Aristoteles pada tahun
384-322 SM telah berbicara soal hati yang melakukan hal-hal yang kini kita
ketahui dilakukan oleh otak. Dari struktur serta organisasi otak manusia
memegang peranan yang sangat penting dalam bahasa. Apabila input-input
yang masuk adalah dalam bentuk lisan maka bunyi akan ditanggapi di lobe
temporal khususnya oleh korteks primer pendengar (di sini input tadi diolah).
Setelah diterima, dicerna, dan diolah maka bunyi-bunyi bahasa tadi dikirim
kedaerah wernicke untuk diinterpretasikan dan di daerah inilah bunyi-bunyi
tadi dipilah-pilah menjadi suku kata, frase, klausa, dan akhirnya kalimat.
Setelah itu akan muncul dua kemungkinan, yang pertama jika masukan hanya
sekedar informasi yang tidak perlu tanggapan maka masukan dapat disimpan di

7
memori karena suatu saat nanti masukan tersebut akan berguna untuk ke
depannya. Jadi, menurut pemakalah masukan-masukan yang masuk akan
melalui tahapan yang terdapat dalam otak, selanjutnya akan tersimpan di
memori.
Contoh kalimat : Dia belum pulang.
Bunyi /d/ mempunyai fitur [+vois], di samping fitur-fitur lain seperti
[+konsonatal], [+anterior], [-bilabial], [+alveolar], [-nasal], maka korteks
motor akan menyuruh pita suara untuk bergetar 30 milidetik lebih awal. Hal ini
dikarenakan pita suara letaknya paling jauh dibandingkan dengan alat-alat
penyuara yang lain. Bunyi /p/ pada kata pulang, pita suara harus diperintahkan
untuk bergetar paling awal 25 milidetik setelah bunyi /p/ itu diucapkan. Ini
untuk menjamin bahwa bunyi bilabial yang keluar itu benar-benar /p/, dan
bukan /b/.
Perpindahan dari bunyi /d/ ke /i/ dan ke /a/ untuk kata dia juga
memerlukan koordinasi yang sangat akurat. Ujung lidah yang menempel pada
daerah alveolar di mulut untuk bunyi /d/ yang harus dengan tepat berubah
bentuk menjadi lengkung dan tinggi-depan untuk /i/, misalnya, harus
dikoordinasikan dengan rapi sekali sehingga hasilnya benar-benar
mencerminkan bunyi natif. Tanpa ketepatan ini maka pembicaraan akan
kedengaran seperti orang asing.
Bila input yang masuk dalam bentuk tulisan, maka jalur
pemrosesannya agak berbeda, masukannya tidak ditanggapi oleh korteks
primer pendengaran, tetapi oleh korteks visual di lobe osipital. Masukan ini
tidak langsung dikirim kedaerah wernicke, tetapi harus melewati girus angular
yang mengkoordinasikan daerah pemahaman dengan daerah osipital. Setelah
tahap ini, input tadi dipahami oleh daerah wernicke untuk diinterpretasikan
dengan cara dikirim ke daerah broca untuk tanggapan verbal, sedangkan untuk
tanggapan visual, maka informasi dikirim ke daerah parietal untuk diproses
visualisasinya. Jadi, menurut pemakalah proses tulisan masuk melewati korteks
visual di lobe osipital, melewati girus angular, selanjutnya diinput oleh
wernicke untuk diinterpretasikan.

8
4. Peran Hemisfer Kiri dan Hemisfer Kanan
Penelitian Wada (Dardjowidjojo, 2012:212) yang memasukkan cairan
ke kedua hemisfer menunjukkan bahwa bila hemisfer kiri yang ditidurkan
maka terjadilah gangguan wicara. Menurut pemakalah maksudnya di sini
adalah jika cairan diteteskan ke hemisfer kiri, maka hemisfer kiri akan terjadi
gangguan dalam hal berbicara. Bila hemisfer kiri yang diambil maka
kemampuan berbahasa orang itu menurun dengan drastis, sedangkan bila yang
diambil hemisfer kanan, orang tersebut masih bisa berbahasa, meskipun tidak
sempurna.
Otak kanan berfungsi dalam perkembangan EQ (Emotional Quotient),
seperti hal persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik,
dan warna. Daya ingat otak kanan bersifat panjang (long term memory). Bila
terjadi kerusakan otak kanan misalnya pada penyakit stroke atau tumor otak,
maka fungsi otak yang terganggu adalah kemampuan visual dan emosi.
Otak kiri berfungsi sebagai pengendali IQ (Intelligence Quotient)
seperti hal perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan, dan logika.
Daya ingat otak kiri bersifat jangka pendek (short term memory). Bila terjadi
kerusakan pada otak kiri maka akan terjadi gangguan dalam hal fungsi
berbicara, berbahasa dan matematika.
Walaupun keduanya mempunyai fungsi yang berbeda, tetapi setiap
individu mempunyai kecenderungan untuk mengunakan salah satu belahan
yang dominan dalam menyelesaikan masalah hidup dan pekerjaan. Setiap
belahan otak saling mendominasi dalam aktivitas tetapi keduanya terlibat
dalam hampir semua proses pemikiran. Jadi, menurut pemakalah hemisfer
kanan dan hemisfer kiri sama-sama memiliki peran yang penting untuk
melengkapi satu sama lain.
5. Gangguan Wicara
Meskipun ukuran otak hanya maksimal 2% dari seluruh ukuran badan
manusia, dia banyak sekali menyedot energi diantaranya 15% dari seluruh
aliran darah dan 20% dari sumber metabolis tubuh. Apabila aliran darah pada

9
otak tidak cukup atau ada penyempitan pembuluh darah maka akan terjadinya
kerusakan pada otak atau yang biasa dinamakan dengan stroke.
Stroke mempunyai berbagai akibat karena adanya kontrol silang dari
hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Apabila stroke terdapat pada hemisfer kiri
maka akan menyebabkan gangguan pada belahan kanan dan sebaliknya.
Biasanya kerusakan pada hemisfir kiri mengakibatkan munculnya gangguan
wicara. Gangguan wicara yang disebabkan oleh stroke disebut dengan afasia
(aphasia).
a. Macam-macam Afasia
Macam-macam afasia yang umum ditemukan oleh Kaplan
(Dardjowidjojo, 2012:214) sebagai berikut:
1) Afasia Broca
Kerusakan yang terjadi pada daerah broca karena daerah ini berdekatan
dengan jalur korteks motor sehingga alat-alat ujaran seperti bentuk mulut bisa
terganggu, kadang-kadang mulut bisa bencong, dan menyebabkan gangguan
pada perencanaan dan pengungkapan ujaran, sehingga kalimat yang yang
diproduksi terpatah-patah.
2) Afasia Wenicke
Jenis kerusakan ini ialah kerusakan bahasa yang disebabkan oleh
kesulihatan dalam memahami pendengaran, ini juga disebut sebagai sensory
aphasia tetapi lebih sering disebut sebagai Wernicke’s aphasia. Orang yang
terkena kerusakan ini sangat lancar dalam berbicara, tetapi mereka sulit untuk
membuat kata tersebut untuk memiliki makna yang sebenarnya. Mereka
kesulitan dalam menentukan kata-kata yang tepat (disebut juga sebagai anomia).
3) Afasia Anomic
Kerusakan otak terjadi pada bagian depan dari lobe pariental atau pada
batas antara lobe pariental dengan lobe temporal. Sehingga penderita ini tidak
mampu mengaitkan konsep dan bunyi. Jadi bila pasien ini diminta untuk
mengambil benda yang bernama gunting dia akan bisa melakukannya. Akan
tetapi, kalau kepadanya ditunjukan gunting,dia tidak dapat mengatakan nama
benda itu.

10
4) Afasia Global
Kerusakan yang terjadi tidak hanya satu daerah saja tetapi dibeberapa
daerah yang lain, kerusakan bisa menyebar dari daerah broca melewati korteks
motor menuju lobe pariental dan sampai ke daerah wernicke sehingga
mengakibatkan gangguan fisikal dan verbal yang sangat besar. Dari segi fisik
penderita bisa lumpuh di sebelah kanan, mulut bisa moncong dan lidah bisa
menjadi tidak cukup fleksibel, dari segi verbal dia bisa sukar memahami ujaran
orang dan ujaran dia tidak mudah dimengerti orang karena kata-kata yang tidak
jelas.
5) Afasia Konduksi
Kerusakan yang terjadi pada fiber-fiber yang ada pada fasikulus arkuat
yang menghubungkan lobe frontal dan lobe temporal, sehingga penderita ini
tidak dapat mengulangi kata yang diberikan padanya.
b. Akibat Lain dari Stroke
Stroke akan mengganggu segala hal yang berkaitan dengan bahasa,
antara lain:
1) Gangguan wicara
2) Tidak dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu
3) Kehilangan ingatan
4) Ketidakmampuan untuk mengenal wajah
6. Hipotese Umur Kritis
Sebelum mencapai umur belasan bawah, sekitar umur 12 tahunan, anak
mempunyai kemampuan untuk memperoleh bahasa mana pun yang disajikan
padanya secara natif. Hal ini tampak terutama pada aksesnya. Gejala ini
dinyatakan dalam hipotese yang bernama Hipotesis Umur Kritis (Critical Age
Hypothesis) yang diajukan oleh Lenneberg (1967) dalam Dardjowidjojo
(2012:218). Pada masa anak berumur 2-12 tahun, ia dapat memperoleh bahasa
mana pun dengan kemampuan seorang penutur asli. Misalnya ada keluarga
Tionghoa yang tinggal di Jawa kemudian mereka melahirkan anak, dan anak
itu bergaul dengan anak Jakarta sampai umur 2-12 tahun, anak itu pasti dapat
berbahasa Indonesia Jakarta seperti anak Jakarta lainnya. Begitu juga

11
sebaliknya, anak Indonesia yang lahir dan besar di China dan bergaul dengan
orang-orang China maka anak Indonesia tersebut juga dapat berbahasa
mandarin dengan aksen China yang kental dan tidak kentara sebagai aksen
asing.
Sebelum umur 12 tahun pada anak belum terjadi lateralisasi, yakni
hemisfer kiri dan hemisfer kanan belum “dipisah” untuk diberi tugas sendiri-
sendiri, kedua-duanya masih lentur dan masih dapat menerima tugas apapun
(Dardjowidjojo, 2012:218). Hal tersebut menyebabkan pada umur 12 tahun ke
atas otak sudah tidak sefleksibel sebelumnya, sehingga untuk mempelajari
bahasa asing seperti penutur aslinya sudah berkurang. Misal ketika orang
dewasa belajar bahasa Inggris, meski ia telah menguasai bahasa Inggris dengan
sempurna, aksennya akan tetap terasa sebagai aksen asing. Selain itu hal
tersebut juga menjadi penyebab mengapa orang terkena stroke pada umur di
bawah 12 tahun akan dapat pulih total dalam memperoleh bahasa sedangkan
orang dewasa akan kecil kemungkinannya untuk sembuh total.
7. Kekidalan dan Kekinanan
Kekidalan dan kekinanan bukanlah penyakit berbahaya yang harus
diobati karena kidal bisa terjadi akibat faktor genetik dan kebiasaan semenjak
kecil. Menurut Dardjowidjojo (2012:219) Manusia ada yang kidal (left-
handed) dan ada yang kinan (right-handed). Sementara itu, ada yang dapat
menggunakan tangan kiri atau tangan kanannya secara imbang yang disebut
ambidekstrus (ambidextrous). Dalam hal ini ketika seseorang kidal berarti ia
lebih mendominasi menggunakan hemisfer kanan, sedangkan untuk kekinanan
seseorang cenderung menggunakan hemisfer kiri dalam berbahasa.
Banyak anggapan kalau kekidalan dan kekinanan mempengaruhi
kemampuan intelektual seseorang, tetapi anggapan tersebut tidak dibenarkan
karena sampai sekarang belum ada penelitian yang sudah mengungkapnya.
Namun Lamn dan Epstein (Dardjowidjojo, 2012:220) mengatakan bahwa
kadar dominasi hemisfer kiri pada orang kidal yang tidak sekuat seperti orang
kinan membuat orang kidal mempunyai masalah dalam hal baca tulis. Jadi,
menurut pemakalah antara hemisfer kiri dan hemisfer kanan harus ada

12
keseimbangan ketika kedua hemisfer tersebut kerjanya tidak sesuai maka akan
terjadi kesenjangan.
8. Otak Pria dan Otak Wanita
Menurut Steinberg dkk. (Darjdowidjojo, 2012:221) ada perbedaan
antara otak pria dan otak wanita dalam hal bentuknya, yakni hemisfer kiri pada
wanita lebih tebal daripada hemisfer kanan. Keadaan seperti inilah yang
menyebabkan kelas bahasa pada umumnya didominasi oleh wanita. Jadi,
menurut pemakalah kesimpulannya wanita memiliki hemisfer kiri yang lebih
tebal sehingga umumnya para wanita pandai berbahasa. Akan tetapi, temuan
dari Philip dkk. (Dardjowidjojo, 2012:221) menunjukkan bahwa meskipun ada
perbedaan dalam pemrosesan bahasa antara pria dan wanita, perbedaan ini
hanya mengarah pada pengaruh budaya daripada pengaruh genetik.
Menurut Chaer (2009:134) letak keunggulan otak wanita terbagi menjadi
tiga yaitu:
a. Otak wanita lebih seimbang
Ukuran otak pria lebih besar, mempunyai fungsi lebih baik, lebih cerdas,
dan memiliki kelebihan lainnya bila dibandingkan dengan otak wanita, hal
tersebut diungkapkan oleh Awuy (Chaer, 2009:133). Namun, ada hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa lepas dari soal ukuran, daerah tertentu otak
wanita lebih kaya akan neuron dibandingkan dengan otak pria. Maksud dari
daerah tertentu dari pernyataan tersebut adalah hemisfer kiri pada wanita. Oleh
karena itu, wanita memiliki kemampuan verbal yang tinggi yang ternyata dapat
dilacak ke otaknya. Daerah otak wanita yang mengurus kemampuan kognitif
tingkat tinggi lebih banyak neuronnya dibandingkan dengan daerah yang sama
dengan otak pria.
Penggunaan otak kiri dan otak kanan secara serentak membuat wanita
dewasa lebih lincah dalam soal verbal dibandingkan dengan pria. Di dalam tes
terbukti dalam waktu yang sama wanita dapat menyebutkan lebih banyak dari
suatu huruf serta jauh lebih cepat dalam mengingat huruf-huruf dibandingkan
pria. Begitu juga bila wanita terserang stroke atau cedera otak kemampuan
berbahasanya tidak terlalu terganggu, kalaupun terganggu akan lebih cepat pulih

13
dibandingkan pria. Jadi, menurut pemakalah simpulannya adalah otak wanita
lebih berkualitas daripada otak pria.
b. Otak wanita lebih tajam
Menurut Chaer (2009:134) penglihatan wanita lebih tajam daripada pria,
meski diakui bahwa lebih banyak wanita yang lebih dulu memerlukan bantuan
kacamata daripada pria. Pendengaran wanita lebih tajam daripada pria. Maka
tidak mengherankan jika pada malam hari tangisan bayi biasanya
membangunkan ibu, sementara sang ayah tetap terlelap dalam tidurnya.
Pendengaran wanita juga bisa mendengar lebih banyak ragam bunyi daripada
pria.
Menginjak ke daya ingat, wanita juga lebih tajam ingatannya
dibandingkan dengan pria. Baik wanita maupun pria sama-sama akan
mengalami penurunan daya ingat sesuai dengan pertambahan usia. Namun, daya
ingat wanita akan kosakata dan nama jenis jauh lebih awet dibandingkan dengan
pria karena otak wanita mempunyai cara unik dalam menyimpan informasi ke
dalam memorinya, yakni dengan cara menyangkutkan pada daerah emosi.
Perasaan wanita juga tajam, hal tersebut terbukti ketika wanita diminta
untuk mengenang pengalaman emosionalnya, wanita lebih responsif daripada
pria. Ini juga menjadi bukti mengapa wanita lebih banyak menderita depresi
daripada pria. Jadi, menurut pemakalah simpulannya otak wanita lebih tajam
dalam berbagai hal, yakni penglihatan, pendengaran, daya ingat, dan perasaan.
c. Lebih awet dan selektif
Otak pria mengerut lebih cepat daripada otak wanita. Menurut Ruben Gur
(Chaer, 2009:136) cara kerja otak pria dan wanita dari berbagai usia, jaringan
otak pria menyusut tiga kali lebih cepat daripada wanita. Ketika sama-sama
muda memang otak pria lebih besar daripada otak wanita, tetapi ketika keduanya
mencapai usia empat puluh tahun, otak pria menyusut (terutama pada bagian
depan) sehingga besarnya sama dengan otak wanita. Penyusutan ini membawa
akibat perubahan yang nyata, yakni makin tua seorang pria daya ingatnya,
konsentrasinya, dan kesabarannya ikut menyusut. Penyusutan otak bagian depan
pada wanita tidak terlihat pada usia yang sama.

14
Otak wanita memiliki kemampuan untuk menyesuaikan kecepatan
metabolisme otak (pemakaian energi oleh otak) dengan umurnya, sedangkan
kecepatan metabolisme pria semakin boros energi dengan bertambahnya usia.
Jadi, menurut pemakalah simpulannya otak wanita lebih awet daripada otak pria,
otak pria juga mengalami penyusutan dengan cepat.
9. Bahasa Sinyal
Bahasa sinyal sangat diperlukan bagi seorang tuna wicara dan tuna
rungu. Hanya dengan bahasa sinyal seorang tuna wicara dapat menyampaikan
pesan yang ingin disampaikan. Namun, tak semua orang mengerti mengenai
bahasa sinyal, biasanya seorang tuna wicara didampingi oleh seorang
pendamping penerjemah yang berfungsi untuk menyampaikan pesan kepada
khalayak umum. Orang yang tidak bisa berkomunikasi secara lisan biasanya
menggunakan bahasa sinyal untuk berkomunikasi. Menurut Dardjowidjojo
(2012:221) bahasa sinyal mempergunakan tangan dan jari-jari untuk
membentuk kata dan kalimat. Bahasa sinyal itu ada beberapa macam yaitu
bahasa sinyal Amerika dan Bahasa Sinyal Inggris. Jadi, menurut pemakalah
seorang tuna wicara akan menggunakan tangan dan jari-jarinya dengan cara
digerakkan untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Hemisfer kanan lebih unggul menangani tugas untuk desain dan pola-
pola visual maka kita mengharapkan hemisfer inilah yang mengurusi bahasa
sinyal. Pengguna bahasa sinyal ada yang memakai hemisfir kiri untuk bersinyal
kalau hemisfir kanan rusak, pada umumnya tidak terjadi gangguan dalam
bersinyal. Tata bahasanya utuh dan tidak terbata-bata.
10. Metode Penelitian Otak
Dalam hal ini banyak sekali peneliti yang kemudian menyelidiki
peranan otak dalam memproduksi ujaran atau juga bagian-bagian manakah
yang menghasilkan ujaran secara verbal kemudian bahasa sinyal, dan juga hal-
hal yang lainnya. Namun, menurut Dardjowidjojo (2012:222) pada zamannya
Broca dan Wernicke melakukan penelitian mengenai otak manusia belum
menggunakan alat-alat canggih, mereka melakukan operasi setelah pasiennya
meninggal dan melakukan operasi pemisahan hemisfer kiri dan kanan untuk

15
mengobati penyakit epilepsi ketika pasiennya masih hidup. Jadi, penelitian
otak sangatlah penting di samping untuk mengetahui peranan hemisfer kiri dan
hemisfer kanan penelitian otak juga berfungsi untuk mengetahui penyakit
tertentu.
Seiring dengan adanya kemajuan teknologi, manusia dapat meneliti
otak manusia untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan dan
mempengaruhi seseorang dalam berbahasa. Berikut metode-mmetode
penelitian otak.
a. Sinar-X
Sinar-X adalah gelombng-gelombang elektromagnetik berfrekuensi tinggi
yang dapat menembus benda-benda nonlogam dimana sinar-sinar tersebut
diserap oleh struktur-struktur tubuh (Wolfe, 2001 dalam Schunk, 2012:56).
Sinar-sinar yang tidak diserap akan menbrk sebuah plat fotografis. Interpretasi
yang ditarik dari sii didasarkan pada area terang dan gelap (gradasi warna-warna
kelabu). Sinar-X sifatnya dua dimensi dan berguna untuk struktur-struktur padat.
Misalnya, untuk mengetahui apakah ada daerah yang rusak atau patah dalam
tubuh.
b. CT atau CAT (Computer–ized Axial Tomography)
CT atau CAT scan memanfaatkan sumber sinar-X (X-ray) untuk
merekam berbagai imaji (image) dan komputer kemudian membentuk imaji tiga
dimensi dari seluruh atau sebagian otak. CAT Scan digunakan oleh para dokter
untuk meneliti tumor-tumor dan ktidaknormalan lainnya, tetapi seperti halnya
Sinar-X metode ini tidak dapat memberikan informasi yang rinci mengenai
fungsi otak.
c. PET (Positron Emission Tomography)
Positron Emission Tomography dapat mempertunjukan kegiatan otak
secara langsung. Pada PET bahan yang berisi radioaktif ringan ini disuntikan ke
pembuluh darah dan kemudian pola aliran darah pada otak ditelusuri dengan alat
detektor khusus yang diletakkan pada kepala si pasien. Detector ini memberikan
imaji yang berwarna-warna. Pada waktu pasien melakukan kegiatan verbal
sesuai dengan instruksi dari peneliti, bagian-bagian otak yang melakukan

16
kegiatan ini akan mendapat aliran darah yang lebih banyak dan menyebabkan
daerah itu “menyala” dengan cara ini orang lebih pasti tahu untuk menentukan
bagian-bagian mana dari otak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan verbal
tertentu.
d. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI (Magnetic Resonance Imaging) berfungsi untuk mengukur otak
dengan memanfaatkan jumlah aliran darah pada daerah-daerah otak yang sedang
aktif. Aktivitas seluler diukur melalui medan magnetik yang menelusuri proton-
proton pada aliran darah. Pada saat suatu daerah di otak melakukan sesuatu tugas
kognitif, ada tambahan aliran darah dan aktivitas seluler yang berkaitan dengan
tugas tersebut pada daerah itu.
e. ERPs (Event Related Potentials)
ERPs (Event Related Potentials) berfungsi untuk mengukur perubahan-
perubahan voltase pada otak yang berkaitan dengan hal-hal seperti sensori,
motorik, atau kognitif. Pengukuran perubahan voltase ini mempunyai resolusi
waktu yang ukurannya milidetik. Rekaman dari ERPs menunjukan sederatan
puncak voltase yang positif dan negatif yang muncul dengan jeda waktu tertentu
sejak stimulus diberikan

17
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Evolusi otak adalah perubahan secara perlahan fungsi otak baik itu dalam
proses pengenalan, emosi, ingatan, pembelajaran motorik yang merupakan
perubahan sifat-sifat yang terwariskan dari generasi sebelumnya yang berlangsung
secara bertahap. Hal ini membuktikan perbedaan neurologis yang membuat
manusia dapat berbahasa sedangkan hewan tidak.
Setiap belahan otak saling mendominasi dalam aktivitas namun keduanya
terlibat dalam hampir semua proses pemikiran. Hemisfer kanan dan hemisfer kiri
sama-sama memiliki peran yang penting untuk melengkapi satu sama lain.
Sebelum mencapai umur belasan bawah, sekitar umur 12 tahunan, anak
mempunyai kemampuan untuk memperoleh bahasa mana pun yang disajikan
padanya secara natif. Hal ini tampak terutama pada aksesnya. Gejala ini
dinyatakan dalam hipotese yang bernama Hipotesis Umur Kritis.
Kekidalan dan kekinanan bukanlah penyakit berbahaya yang harus diobati
karena kidal bisa terjadi akibat faktor genetik dan kebiasaan semenjak kecil.
Bahasa sinyal sangat diperlukan bagi seorang tuna wicara dan tuna rungu. Hanya
dengan bahasa sinyal seorang tuna wicara dapat menyampaikan pesan yang ingin
disampaikan. Namun, tak semua orang mengerti mengenai bahasa sinyal,
biasanya seorang tuna wicara didampingi oleh seorang pendamping penerjemah
yang berfungsi untuk menyampaikan pesan kepada khalayak umum. Orang yang
tidak bisa berkomunikasi secara lisan biasanya menggunakan bahasa sinyal untuk
berkomunikasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2015. Psikolinguistik Kajian Teoretik, Jakarta: Rineka Cipta.


Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Schunk, Dale H. 2012. Learning Theories, Jakarta: Pustaka Belajar.

19

Anda mungkin juga menyukai