Anda di halaman 1dari 21

PSIKOLINGUISTIK DAN KAJIANNYA

https://tutystarlet.wordpress.com/2013/06/01/psikolinguistik-dan-kajiannya/
tutystarlet, juni 1 2013
1. 1.    Pengertian Psikolinguistik
 
Psikolinguistik merupakan sebuah kajian baru yang dimana muncul pertama kali pada tahun
1954 dan merupakan gagasan dari George Miller dan Charles Osgood yang di jabarkan oleh
Sundusiah dalam artikelnya “Sejarah Perkembangan Psikolinguitsik”. Psikolinguistik adalah
gabungan dari dua bidang ilmu yakni Psikologi dan Linguistik seperti yang di paparkan oleh
Carroll pada tahun 1953. Carroll menyatakan bahwa Psikologi adalah sebuah bidang ilmu yang
berfokus pada jiwa, pikiran, atau emosional manusia, sedangkan Linguistik adalah bidang ilmu
yang mempelajari bahasa manusia. Muncullnya sebuah ketertarikan untuk melihat hubungan
antara jiwa, emosional, pikiran manusia dengan mempelajari bahasa menyebabkan terbentuknya
disiplin ilmu baru yang sekarang disebut Psikolinguistik. Adapun objek dari bidang ilmu ini
adalah peroses mempelajari bahasa yang dapat tercermin dari gejala jiwa manusia. Definisi lain
juga terlihat dari John Field yang menyatakan bahwa Psikolinguistik adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana pikiran manusia dalam mempelajari atau menggunakan dan memperoleh
bahasa. Ini lebih mengacu pada bagaimana proses itu terjadi, bagaimana penyimpanan,
penggunaan dan pemerolehan bahasa yang semuanya sangat berhubungan erat dengan aktivitas
otak dan pikiran manusia.
Lado (dalam Hakim (2012) mendefinisikan Psikolinguistik adalah gabungan dua pendekatan
yakni melalui pendekatan Linguistik dan pendekatan Psikologi bagi telaah atau studi
pengetahuan bahasa, penggunaan bahasa, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu yang sulit untuk
dicapai melalui salah satu bidang ilmu tersebut secara terpisah. Melihat dari definisi tersebut,
kajian dari disiplin ilmu Psikolinguitik tidak dapat dipisahkan, dikarenakan masing-masing
bidang ilmu saling mendukung satu sama lain. Selain itu, melihat dari penjabaran  Handke
(2012) bidang ilmu Linguistik dalam Psikolinguistik mempunyai kontribusi yang sangat besar,
Linguistik adalah kajian ilmu tentang bahasa yang mempunyai cabang ilmu tentang pengetahuan
akan bahasa seperti; Phonologi, Morphologi, Semantik dan Pragmatik. Semua cabang ilmu
Linguistik mempunyai kontribusi masing-masing dalam kajian ilmu Psikolinguistik. Misalkan,
kita dapat melihat bagaimana seorang anak kecil yang masih bayi mampu memproduksi suara
atau bunyi, bagaimanakah proses mereka mengerti akan sebuah bunyi atau suara? Hal tersebut
adalah salah satu pembahasan dalam Psikolinguitik. Kajian ilmu Psikolinguistik mampu
menjabarkan proses apakah yang dialami oleh manusia dalam memperoleh atau menggunakan
bahasa di kehidupan ini.
Menurut Field (2003) ada beberapa area penting yang difokuskan dalam kajian ilmu
Psikolinguistik yakni penyimpanan bahasa, bahasa dan otak, penggunaan dan pemerolehan
bahasa pertama. Sedangkan Pateda (dalam Hakim (2012)) menjabarkan kajian Psikolinguitik itu
adalah :

1. Proses bahasa dalam komunikasi dan pikiran;

2.  Pemerolehan bahasa;

3. Pola perilaku berbahasa;

4. Asosiasi verbal dan persoalan makna;

5. Proses bahasa pada orang abnormal, misalnya anak tuli;

6. Persepsi ujaran kognisi.

Dalam hal ini Psikolinguistik lebih mengacu pada apakah yang terjadi dalam pikiran manusia
ketika dia sedang memproduksi bahasa atau tepatnya ketika sedang berbicara. Kemudian,
bagaimanakah anak-anak dalam memperoleh bahasa peratama dan menggunakan bahasa itu,
serta bagaiamanakah bahasa itu mewakili otak manusia (human brain). Semuanya adalah ruang
lingkup kajian Psikolinguistik yang dimana menjadi objek penelitian bagi para ahli
Psikolinguistik.

1. 2.    Ruang Lingkup Kajian Psikolinguistik


 
1. a.      Otak dan Bahasa
 
Otak dan Bahasa adalah salah satu kajian dari Psikolinguistik seperti yang telah dijelaskan diatas.
Otak dan Bahasa lebih dikenal dengan Neurologi, yang dimana adanya hubungan antara organ
otak manusia dengan bahasa, baik itu dalam penyimpanan, penggunaan dan pemerolehan bahasa
itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa otak adalah pusat dari segala aktivitas manusia, otak
yang mengatur langsung pikiran, motivasi, emosional manusia sampai pada saatnya para pakar
neurologi menemukan hubungan akan organ otak dengan bahasa itu sendiri seperti yang
dikatakan oleh salah satu ahli linguistik, Ferdinand de Saussere. Saussere (dalam Hakim (2012))
telah menjelaskan akan kondisi bahasa dalam otak manusia dimana setiap bagian dari organ otak
berkontribusi dalam cognitive process itu sendiri.

Teimournezhad and Khosravizadeh (2011) bahwa manusia itu unik dibandingkan dengan
makhluk lainnya, itu dikarenakan oleh kemampuan pikiran yang dimilikinya dimana mampu
menolong mereka menemukan fakta-fakta yang ada di dunia. Seperti halnya juga dikatakan oleh
Lenneberg (dalam Hakim (2012) ) menyatakan bahwa manusia mempunyai kecenderungan
biologis khusus dalam memperoleh bahasa dibandingkan dengan hewan. Adapun alasan
mengapa mengatakan hal demikian adalah :

1)    Terdapat pusat-pusat yang khas dalam otak manusia;

2)      Perkembangan yang sama bagi semua bayi;

3)      Kesukaran yang dialami untuk menghambat pertumbuhan bahasa pada manusia;

4)      Bahasa tidak mungkin diajarkan kepada makhluk lain;

5)      Bahasa itu memiliki kesemestaan bahasa (Language Universal)


Berdasarkan alasan yang telah dijabarkan, maka sangat jelas terlihat hubungan antara otak dan
pemerolehan bahasa manusia dimana adanya bagian-bagian otak yang berfungsi dalam
pemerosesan bahasa. Ini terlihat dari pendapat Gall (dalam Saptaji(2011)) yang menyatakan
bahwa otak bukanlah satu organ tanpa bagian-bagian, melainkan terdiri atas bagian-bagian yang
masing-masing memunyai fungsi tertentu. Bagian terbesar, yang merupakan porsi terbesar dari
otak kita 80% disebut otak besar (cerebrum). Otak besar ini terdiri atas miliaran sel dan terbagi
menjadi dua bagian (hemisfer kanan dan kiri). Otak besar inilah yang bertanggung jawab atas
fungsi-fungsi berpikir tingkatan tertinggi dan pengambilan keputusan.
Otak besar manusia terbagi menjadi empat bagian utama yang disebut lobus (lobe), yaitu lobus
depan (frontal), lobus tengah (parietal), lobus penglihatan (occipital), dan lobus pendengaran
(temporalis). Lobus penglihatan (occipital) terletak sedikit di belakang bagian otak dan terutama
bertanggung jawab pada penglihatan. Lobus depan (frontal) terletak di wilayah skitar kening dan
punya andil terhadap tindakan-tindakan yang disengaja, seperti memberi penilaian, kreativitas,
menyelesaikan masalah, dan merencanakan. Lobus tengah (parietal) terletak pada bagian atas
dari otak. Tugasnya adalah memproses sesuatu yang berhubungan dengan sensori yang lebih
tinggi dan fungsi-fungsi bahasa. Lobus pendengaran (temporal) terletak di bagian kiri dan kanan
berada di bagian atas dan sekitar telinga. Bagian ini terutama bertanggung jawab terhadap
pendengaranan, memori, pemaknaan, dan bahasa, meskipun ada beberapa fungsi yang saling
tumpang tindih antara masing-masing lobus ini.
Adapun fungsi dari otak kanan adalah berperan dalam bahasa non verbal, pengendalian emosi,
kesenian, kreativitas dan berfikir holistik. Sedangakan fungsi otak kiri adalah berperan dalam
perkembangan bahasa dan bicara, karena mengatur kemampuan berbicara, pengucapan kalimat
dan kata, pengertian pembicaraan orang, mengulang kata dan kalimat, disamping kemampuan
berhitung, membaca, dan menulis. Kedua belahan otak dihubungkan oleh serabut syaraf dan
kerja sama terjadinya melalui suatu bagian yang disebut korpus kalosum, walau pada
kenyataannya dalam aktivitas tertentu hanya salah satu belahan otak yang berperan (gambar 1).
                                    Gambar 1 (Right Hemysphere and Left Hemysphere)
Perkembangan otak menyebabkan terjadinya Lateralisasi atau dikenal dengan Brain
Lateralization  yang dimana kedua belahan otak mengalami spesialisasi. Lateralisasi yang
dimaksud adalah peristiwa lokalisasi fungsi bahasa pada salah satu belahan otak. ketika anak
lahir, perbedaan fungsi-fungsi kedua belahan otak sangatlah sedikit, namum seiring pertumbuhan
dan perkembangan, fungsi belahan otakpun ikut berkembang. Ada yang mengatakan bahwa
salah satu belahan otak manusia akan berfungsi dominan ketika ia beranjak dua tahun sampai 11
atau 13 tahun, namun ada juga yang menyatakan proses itu hanya berlangsung sampai umur lima
tahun.
Lateralisasi otak sangat mempengaruhi bagaimana kedepannya anak memproduksi bahasa,
dikarenakan peroses lateralisasimempunyai kontribusi yang besar terhadap kemampuan pelafalan
anak dalam pengucapan kata. Menurut Patkowski (dalam Steinberg (1980)) menyatakan bahwa
lateralisasi otak hanya mempengaruhi kemampuan anak dalam pelafalan atau pengucapan dalam
berbahasa, namun belum mampu mencakup pengetahuan sintaktik anak. Sehingga, dalam
peroses lateralisasi input yang didapatkan oleh anak hanya berupa bunyi atau pengucapan setiap
kata yang dimana akan mampu membuat anak fasih dalam berbicara.
Dilain sisi, Lateralisasi sangat berkaitan erat dengan Golden Age yakni masa keemasan anak
dalam memperoleh atau mempelajari bahasa. Pada masa ini merupakan periode yang mudah bagi
anak untuk mempelajari bahasa, dikarenakan saraf-saraf otak masih sangat plastis atau lentur.
Sehingga ketika masa Lateralisasi belum selesai, maka anak dianjurkan untuk menerima lebih
banyak input yang dapat menyebabkan kemampuan berbahasa lebih tinggi dibandingkan
mendapatkan input setelah masa Lateralisasi berakhir. Itulah di katakan periode lateralisasi
beriringan dengan periode kritis yang mampu mempermudah anak dalam memperoleh atau
mempelajari bahasa. Seperti yang dikatakan oleh Christian, et. al (dalam Hakim (2012)) bahwa
yang dimaksud dengan masa keemasan atau periode kritis adalah periode dimana anak mampu
menguasai bahasa secara alami dan lebih cepat tanpa membuang tenaga yang lebih.
Namun, dikondisi yang lain banyak fenomena yang kita temukan tentang masih ada anak atau
orang-orang yang tidak dapat berbicara atau mengalami gangguan dalam berbicara, dimana salah
satu penyebab terjadinya karena adanya gangguan pada otak. Gangguan pada otak bisa
disebabkan oleh sebuah kecelakaan, benturan atau bahkan sudah ada ketika anak baru lahir.
Menurut Faisal, et al (dalam Hakim (2012)) menyatakan bahwa gangguan dalam berbahasa bisa
disebabkan oleh psikolgis atau kejiwaan seseorang. Ketika kejiwaan seseorang tidak stabil atau
terganggu, maka hal itu juga dapat mengganggu kinerja otak. Salah satu contoh gangguan
berbahasa karena faktor psikologi adalah schizoprenia. Orang yang terkena schizoprenia
cenderung melupakan topik yang dibicarakan, mereka sering loncat dari topik yang satu ke topik
yang lainnya.

Gangguan berbahasa yang paling dikenal dalam kajian Psikolinguistik adalah aphasia, yang


dimana terjadinya kerusakan pada otak. Broca Aphasia dan Wernick Aphasia adalah jenis
aphasia yakni bilamana terjadi kerusakan pada area Broca maka disebut Brocca Aphasia, dan
anak akan mengalami gangguan berbahasa seperti tidak lancar dalam berbicara, kata-kata tidak
terbentuk dengan baik, dan ujaran pelan dan menyatu. Sedangkan Wernick aphasia yaitu adanya
gangguan pada daerah wenick yang dapat menyebabkan anak kehilangan kemampuan berbahasa.
Anak tersebut dapat berbicara dengan sangat jelas tetapi kata-kata yang diucapkan tidak masuk
akal, kata-katanya bercampur menjadi satu. Akan tetapi merujuk pada Schuel dan Jenkins (dalam
Hakim (2012)) membagi beberapa jenis aphasia yaitu :
1. Aphasia penghantar, yaitu kerusakan pada pusat otak dan kerusakan pada saluran
serabut, mereka menyebutnya gangguan tingkat atas dan bawah.

1. Aphasia kata kerja (verbal aphasia) disebabkan oleh kerusakan pada lobus, baik di depan
maupun di belakang pusat.
2.  Aphasia sintaksis (syntactical aphasia) disebabkan oleh kerusakan-kerusakan pada
belitan (gyrus) otak di daerah lobus frontal.
3. Aphasia kata benda (nominal aphasia) disebabkan oleh kerusakan di daerah “angular
gyrus” (belitan bersiku).
4. Aphasia semantik (semantic aphasia)  disebabkan oleh kerusakan pada “supra marginal
gyrus
Kesemua jenis gangguan dalam berbahasa yang dialami oleh setiap orang tidak selamanya
permanen pada diri mereka. Melainkan, gangguan tersebut dapat disembuhkan seiring
berjalannya waktu, terlebih jika diberikan perlakuan yang lebih seperti pengobatan, terapi dan
hal yang terpenting lingkungan sekitar mendukung kesembuhan mereka.

1. b.      Pikiran dan Bahasa


 
Keterkaitan antara pikiran dan bahasa menjadi salah satu yang menarik dalam kajian
Psikolinguistik. Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa adalah alat penyambung lidah seseorang,
yang dimana bahasa adalah alat komunikasi kita dalam kehidupan sehari-hari untuk
menyampaikan berbagai macam ide, ekspresi, dan perasaan kepada orang lain. Disisi lain kita
juga dituntut untuk memahamai setiap ujaran dan ucapan yang disampaikan oleh orang lain.
Dengan melihat hal demikian, kita dapat mengkaitkan hubungan antara pikiran dan bahasa
dimana bahasa adalah media manusia dalam menyampaikan aspirasi atau ide-ide mereka. Seperti
yang dikatakan oleh Supendi (2012) menyatakan bahwa dalam penggunaan bahasa terjadi proses
mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis
dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil
analisis kode.

Menurut Whorf dan Sapir (dalam Widhiarso (2005)) memaparkan bahwa pikiran manusia
ditentukan oleh sistem dari klasifikasi bahasa tertentu yang digunakan oleh manusia dan  bahasa
mampu mempengaruhi cara pandang manusia terhadap dunia. Jadi dengan melihat pemikiran ini
dapat kita katakan bahwa bahasa mampu mempengaruhi pikiran manusia, yang dimana dunia
mental orang akan terlihat berbeda dari bahasanya, seperti mental orang Indonesia dengan
mental dunia orang Inggris. Namun disisi lain, para ahli psikolinguistik juga berendapat bahwa
pikiran juga mampu mempengaruhi bahasa. Hal ini terjadi karena ahli Psikolinguistik fokus pada
perkembangan kognitif anak. Pendapat ini pun di dukung oleh Choamsky dengan mengatakan
bahwa pekembangan aspek bahasa merupakan sebuah faktor penting dalam perpindahan prilaku
menjadi pendekatan kognitif dalam bahasa dan pikiran. Singkatnya, Choamsky melihat
keterkaitan akan bahasa dan pikiran lebih merujuk pada bagaimana kemampuan dan penampilan
setiap orang dalam menggunakan bahasa. Terakhir, keterkaitan antara pikiran dan bahasa dapat
saling mempengaruhi satu sama lain, karena disini pakar Psikolinguistik lebih melihat pada
hubungan timbal balik kata-kata atau bahasa dengan pikiran.

Salah satu pembahasan yang ada dalam hubungan antara bahasa dan pikiran adalah Mental
Lexicon (kosakata yang sudah ada dalam pikiran manusia). Menurut Wilson dalam (dalam
Ratjczak (1994)) menyatakan bahwa kosa kata merupakan pusat yang menghubungakannya
dalam pemerosesan bahasa. Hal ini dikarenakan bahwa kosa kata merupakan cerminan dari pada
pengetahuan manusia akan bahasa yang telah dipelajari atau diperolehnya. Manusia telah
dianugrahi Mental Lexicon yang dimana merupakan kamus kosa kata yang telah ada di dalam
pikiran manusia. Kosa kata atau input yang didapatkan dalam pemerolehan bahasa akan
tersimpan didalam Mental Lexicon itu sendiri dan sampai pada akhirnya akan mampu diproduksi
oleh manusia ketika berbicara.
Menurut Miller dan Jackendof (dalam Ratjczak (1994)) menjelaskan bahwa kata-kata yang
masuk di dalam Mental Lexicon berupa sebuah kata yang berupa bunyi, sebuah rangkaian
morphologi kata, dan informasi makna. Kesemuanya merupakan model dari Lexicon itu sendiri,
yakni phonology Lexicon, Morphologi Lexicon dan Semantik Lexicon, yang dimana semuanya
adalah sebuah bagian pengorganisasian berdasarkan bidang ilmu mereka. Menurut Carrol (dalam
Ratjczak (1994)) menyatakan bahwa semantik Lexicon fokus pada makna yang dimana dalam
pengorganisasiannya melibatkan gabungan kata (word association), dan kesalahan berbicara
(speech error). Gabungan kata (word association) disini lebih kepada bagaimana subject’s
response (atau respon pelaku) terhadap informasi apa yang telah disimpan di dalam mental
Lexicon itu sendiri. Kata yang telah menjadi input akan mampu dikaitkan dengan kata yang
lainnya. Misalkan kata “bulan”, akan ada kemungkinan respon katanya adalah “matahari, malam
atau bintang”, ini dikarenakan berada pada kelompok kata yang sama.

Mental Lexicon juga berkaitan dengan Human memory (ingatan manusia), dimana ketika kata
yang telah masuk kedalam mental lexicon, itu berarti kata tersebut telah disimpan dalam pikiran
manusia, dan akan diterima oleh memory yang dimana akan mampu menjadi pengetahuan bagi
mereka. Menurut Fauziati (2008) menyatakan bahwa memori adalah sebuah rekaman
pengalaman yang permanen dimana input tersebut secara permanen telah tersimpan di dalam
mental lexicon. Memori atau ingatan manusia terbagi menjadi dua, yaitu memori pendek
(shorterm memory) dan memori panjang (longterm memori). Akan tetapi Taylor (dalam Fauziati
(2008)  membagi menjadi 3 bagian yaitu sensory register, shorterm memory, dan longterm
memori. Sensory register disini adalah sebuah tempat dimana sebuah rangsangan diterima untuk
pertama kali yang nanti akan diteruskan ke shor-term memori. Sedangkan short-term memori
merupakan sebuah tempat dimana informasi disimpan sementara selama memperoses pesan,
informasi ini berasal dari sensory register. Sementara informasi yang disimpan dalam jangka
waktu yang lama atau permanen untuk di proses, dimengerti, terjadi dalam long-term memory.
Misalkan, untuk short-term memori anak mampu mengingat digit nomor yang diacak pada saat
itu, namun setelahnya akan lupa. Sedangkan untuk long-term memori lebih mengacu kepada
pengalaman atau informasi yang telah dialami sebelumnya.
Kata yang telah tersimpan di dalam memori, harus mengalami proses latihan atau pengulangan
yang disebut dengan (retrieval process) yakni prosess dimana kata tersebut akan selalu
mengalami pengulangan penggunaan sehingga dia mampu memahami dan menggunakan kata
tersebut dengan baik. Tepatnya kata tersebut akan tersimpan dalam memory panjang (longterm
memory). Seperti yang dipaparkan oleh Fauziati (2008) menyatakan bahwa anak harus
mengulang informasi dari memori untuk mampu membetuk kata atau kalimat yang sebelumnya
pernah didengar atau dibaca olehnya. Apa dan seberapa banyak anak mengingat kata atau
kalimat tersebut tergantung dari bagaimana mereka mendapatkan kata atau kalimat pertama
kalinya. Mereka mungkin tidak akan mampu mengerti arti kata atau kalimat tersebut jika mereka
belum menyimpan arti itu ke dalam memori selama mereka belajar. Jadi, pengetahuan yang
didapatkan oleh seorang anak dalam mempelajari atau memperoleh bahasa merupakan hasil
penyimpanan dari memori yang kemudian mampu diproduksi oleh anak tersebut..
Memori mempunyai peranan penting dalam mempelajari atau memproduksi bahasa, dikarenakan
memori berperan dalam memproses wacana atau kalimat. Pemerosesan bahasa mengacu pada
cara manusia menggunakan kata-kata untuk mengkomunikasi ide-ide atau ekspresi mereka,
sehingga dapat dipahami satu sama lain. Ada dua jenis pemerosesan bahasa yaitu pemerosesan
kalimat dan pemerosesan wacana. Pemerosesan kalimat fokus pada sintaktik dari kalimat itu
sendiri, jadi dalam hal ini anak akan mengetahui makna kalimat berdasarkan sintaktiknya. Jadi
dia menempatkan arti dalam memori berdasarkan struktur kalimatnya. Sedangkan pemerosesan
wacana fokus pada bagaimana anak mengintrepetasi ide yang merupakan sebuah text atau
wacana yang merupakian hasil dari pada pengetahuan yang ada dalam memori. Menurut
Lebowitz (1985) memberikan contoh dari penggunaan memori dalam pemerosesan wacana yaitu
pada kalimat “ Lina menyapu lantai”, maka anak akan secara langsung memahami kalimat
tersebut bahwa Lina menyapu dengan sapu lidi. Hal ini dikarenakan jenis kalimat tersebut telah
menjadi input dan tersimpan dalam memori yang dimana telah menjadi pengetahuan anak bahwa
ketika mendengar kata “menyapu”, maka secara spontan akan menginterpretasikan kata “sapu”.
Jadi dalam hal ini kata sapu dan kalimat tersebut telah tersimpan dalam memori jangka panjang
anak, sehingga dengan spontan memproduksi kata tersebut selama proses wacana berlangsung.

Ketika anak telah mempunyai banyak input di mental lexicon dan pengetahuan yang telah
mereka simpan dalam memori, maka secara langsung anak akan mampu mulai menggunakan
atau memproduksi bahasa itu sendiri. Namun disisi lain, ketika anak telah mulai memproduksi
bahasa, anak akan menemukan kesulitan-kesulitan dalam menggunakan kata-kata ketika mereka
ingin mengkomunikasikan ide mereka, sehingga terjadinya kesalahan berbicara dalam
komunikasi yang lebih dikenal dengan speech error. Kesulitannya bisa berupa rasa ragu untuk
berbicara, takut akan salah dalam kata-kata yang ingin diucapkan, pengulangan  atau bahkan
selip lidah seperti yang diujarkan oleh Fauziati (2008). Hal demikian sejalan dengan pemikiran
menurut Clark dan Clark (dalam Fauziati (2008)) terdapat dua sumber utama kesalahan berbicara
yaitu pertama kesalahan tersebut merupakan hasil dari kesulitan pembicara dalam berkomunikasi
pada saat itu seperti keraguan, koreksi atau perbaikan, dan jeda. Sementara sumber yang kedua
adalah kesulitan pembicara dalam hal membentuk artikulasi bunyi kata, misalkan selip lidah
yang dimana selip lidah disebabkan oleh kelelahan lidah, kehausan, dan gugup.
Selip lidah dapat terjadi pada bunyi, bagian kata, dan struktur kalimat. Namun dalam hal ini,
Fauziati (2008) menjabarkan beberapa jenis selip lidah yang terjadi pada seleksi kata (word
selection). Ada 3 jenis seleksi kata yaitu kesalahan Semantik (makna yang
sama ), malapropism (bunyi yang sama), dan campuran (blend).  Kesalahan Semantik adalah
salah satu kesalahan yang paling umum dan biasanya ini ketika kata-kata tersebut adalah lawan
kata, persamaan kata, hyponim, kata dalam kategori yang sama, asosiasi kata (misalkan roti
memunculkan mentega). Sedangkan malapropism merupakan kesalahan dalam bentuk
kebingungan dalam membunyikan kata yaitu memnggangu kata secara fonetis berhubungan
bahasa target, seperti reprehend untuk apprehend, derangement untuk arrangement. Sementara
untuk blend  yaitu kesalahan pada kata yang terjadi pada dua kata yang bergabung menjadi
sebuah bentuk baru. Seperti ketika anak mengucapkan please exland that ( explain and expand),
not in the sleast (slightest and least), slickery (slick and slippery) and spaddle (spank and
paddle). Dilain sisi Aitchison (dalam Fauziati (2008)) membagi kesalahan menjadi assemblage
errors.  Adapaun yang termasuk kedalamnya adalah  Transposition, anticipations, dan
repetitions. Hampir semua kesalahan dalam berbicara merupakan kesalahan yang tak disengaja,
melainkan itu disebabkan karena faktor dari individu itu sendiri dari segi psikologinya yang
disebut dengan mental state  yaitu lebih berkaitan dengan apa yang dirasakan anak ketika dia
sedang berbicara seperti rasa gugup, tertekan, banyaknya yang dipikirkan sehingga bingung
untuk mengucapkan yang mana, dan rasa panik juga termasuk kedalamnya.
1. 3.    Kesimpulan
 
Psikolinguistik dan kajiannya merupakan sebuah disiplin ilmu yan menarik untuk ditelaah
dimana ketika dua disiplin ilmy digabung menjadi satu kesatuan yang tidak dapat diteliti secara
terpisah. Penggabunga dua disiplin ilmu antara Psikologi dan Linguistik merupakan
penggabungan yang unik, yaitu penggabungan yang melihat dua sisi yang berbeda dalam sebuah
disiplin ilmu yaitu dalam hal ini hubungan antara jiwa dan bahasa. Lebih khususnya yaitu
bagaimana psikologi dari seseorang dalam mempelajari, menggunakan dan memperoleh bahasa
pertama. Hal demikian sangatlah patut untuk direnungkan, mengingat kembali bagaimana proses
seorang individu dalam memahami dan mempelajari sebuah bahasa. Terdapat banyak ruang
lingkup kajian dari disiplin ilmu Psikolinguistik, namun beberapa yang sangat mendukung
disiplin ilmu ini adalah hubungan organ otak manusia dengan bahasa dan hubungan pikiran
dengan bahasa.  Kajian Psikolinguistik ini lebih mengacu pada bagaimana organ otak
berkontribusi dalam mempelajari, menggunakan, dan memperoleh bahasa. Tanpa kita sadari
ternyata, bagian dari organ otak memiliki fungsi-fungsi tersendiri dalam membangun
pemahaman dan pengetahuan kita dalam mempelajari dan menggunakan bahasa. Bahkan
gangguan berbahasapun dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada otak. Lebih penting
lagi, kemampuan seseorang dalam berbahasa juga dipengaruhi oleh kerja otak yang terlihat dari
bagaimana lateralisasi otak berfungsi dengan maksimal.  Sehingga peranan otak dalam
mendukung manusia mempelajari bahasa sangatlah besar, yang perlu diperhatikan dan diketahui
oleh masing-masing individu. Sementara kajian Psikolinguistik dalam hal pikiran dan bahasa
juga sangat berperan, yaitu menyatakan bahwa adanya hubungan timbal balik antara bahasa dan
pikiran manusia. Bagaiamana seorang anak mampu mengekspresikan ide-idenya dengan kata-
kata yang telah dia simpan dalam mental lexicon dan memorinya, sehingga dia pun mampu
mengkomunikasikannya dengan baik kepada orang lain. Kemampuannya dalam berkomunikasi
dipengaruhi oleh keadaan psikologinya, karena ketika psikologi atau perasaan anak tidak tenang,
maka dapat menimbulkan kesalahan berbicara yang sebenarnya tidak seharusnya dilakukan.
Oleh karena itu, kemampuan seseorang atau anak dalam mempelajari, menggunakan , dan
memperoleh bahasa berkaitan dengan Psikologi anak itu sendiri yang dimana ketika psikologi
anak terganggu maka itu juga akan mengganggu penampilannya dalam menggunakan bahasa.
Sehingga keseimbangan antara Psikologi dan pengetahuan akan bahasa akan mampu membuat
anak memproduksi atau menggunakan bahasa dengan baik.
PSYCHOLINGUISTICS AND ITS STUDY
https://tutystarlet.wordpress.com/2013/06/01/psikolinguistics-dan-kajiannya/
tutystarlet, june 1 2013
2. 1. Understanding Psycholinguistics

Psycholinguistics is a new study which first appeared in 1954 and is the idea of George Miller
and Charles Osgood described by Sundusiah in his article "History of Psycholinguistic
Development". Psycholinguistics is a combination of two fields of science, namely Psychology
and Linguistics as described by Carroll in 1953. Carroll stated that Psychology is a field of
science that focuses on the human soul, mind, or emotions, while Linguistics is a field of science
that studies human language. The emergence of an interest in seeing the relationship between the
soul, emotional, and human mind by studying language led to the formation of a new discipline
which is now called Psycholinguistics. The object of this field of science is the process of
studying language which can be reflected in the symptoms of the human soul. Another definition
is also seen from John Field which states that Psycholinguistics is the study of how the human
mind learns or uses and acquires language. It refers more to how the process occurs, how to
store, use and acquire language, all of which are closely related to the activity of the human brain
and mind.
All branches of linguistics have their respective contributions to the study of psycholinguistics.
For example, we can see how a small child who is still a baby is able to produce sounds or
sounds, how is their process of understanding a sound or sound? This is one of the discussions in
Psycholinguistics. The study of Psycholinguistics is able to describe what processes are
experienced by humans in obtaining or using language in this life.
According to Field (2003) there are several important areas that are focused in the study of
psycholinguistics, namely language storage, language and brain, use and acquisition of the first
language. While Pateda (in Hakim (2012)) describes the study of Psycholinguistics as:

7. Language processes in communication and thought;

8. Language acquisition;

9. Language behavior patterns;


10. Verbal association and meaning issues;

11. Language processes in abnormal people, such as deaf children;

12. Perception of speech cognition.

In this case, Psycholinguistics refers more to what happens in the human mind when he is
producing language or precisely when he is speaking. Then, how do children acquire the first
language and use that language, and how does the language represent the human brain. All of
them are the scope of Psycholinguistics study which is the object of research for
Psycholinguistics experts.

2. 2. Scope of Psycholinguistic Studies

2. a. Brain and Language

Brain and Language is one of the studies of Psycholinguistics as described above. Brain and
Language is better known as Neurology, which is where there is a relationship between the
organs of the human brain and language, both in the storage, use and acquisition of language
itself. As we know that the brain is the center of all human activity, the brain that directly
regulates human thoughts, motivations, emotions until the time for neurologists to discover the
relationship between brain organs and language itself, as said by one linguist, Ferdinand de
Saussere. . Saussere (in Hakim (2012)) has explained the condition of language in the human
brain where every part of the brain organ contributes to the cognitive process itself.

Teimournezhad and Khosravizadeh (2011) that humans are unique compared to other creatures,
it is due to the ability of their mind which is able to help them find the facts that exist in the
world. As also stated by Lenneberg (in Hakim (2012)) states that humans have a special
biological tendency to acquire language compared to animals. The reasons for saying this are:

1) There are distinctive centers in the human brain;

2) Equal development for all babies;

3) The difficulties experienced to inhibit the growth of language in humans;


4) Language cannot be taught to other creatures;

5) The language has a universal language (Language Universal)


Based on the reasons that have been described, it is very clear that the relationship between the
brain and the acquisition of human language is where there are parts of the brain that function in
language processing. This can be seen from the opinion of Gall (in Saptaji (2011)) which states
that the brain is not an organ without parts, but consists of parts, each of which has a specific
function. The largest part, which is the largest portion of our brain 80% is called the cerebrum.
This cerebrum consists of billions of cells and is divided into two parts (right and left
hemispheres). This cerebrum is responsible for the highest-order thinking functions and decision-
making.
The human cerebrum is divided into four main parts called lobes, namely the frontal lobe
(frontal), middle lobe (parietal), visual lobe (occipital), and auditory lobe (temporal). The visual
(occipital) lobe is located slightly behind the brain and is primarily responsible for vision. The
frontal lobe is located in the area around the forehead and is responsible for voluntary actions,
such as judging, creativity, problem solving, and planning. The middle (parietal) lobe is located
in the upper part of the brain. Its job is to process something related to higher sensory and
language functions. The auditory (temporal) lobe is located on the left and right above and
around the ear. This section is mainly responsible for hearing,
The function of the right brain is to play a role in non-verbal language, emotional control, art,
creativity and holistic thinking. While the function of the left brain is to play a role in language
and speech development, because it regulates the ability to speak, pronounce sentences and
words, understand people's speech, repeat words and sentences, in addition to the ability to
count, read and write. The two hemispheres of the brain are connected by nerve fibers and
cooperation occurs through a part called the corpus callosum, although in fact in certain activities
only one hemisphere of the brain plays a role (figure 1).
Figure 1 (Right Hemysphere and Left Hemysphere)
Brain development causes Lateralization or known as Brain Lateralization in which the two
hemispheres of the brain specialize. Lateralization in question is the event of localization of
language functions in one hemisphere of the brain. when a child is born, the difference in the
functions of the two hemispheres of the brain is very slight, but as growth and development, the
functions of the hemispheres also develop. Some say that one hemisphere of the human brain
will function dominantly when he is two years old until 11 or 13 years old, but there are also
those who claim that this process only lasts until the age of five.
Lateralization of the brain greatly affects how children will produce language in the future,
because the lateralization process has a major contribution to the child's pronunciation ability in
pronouncing words. According to Patkowski (in Steinberg (1980)) states that lateralization of the
brain only affects the child's ability to pronounce or pronounce the language, but has not been
able to cover the child's syntactic knowledge. Thus, in the process of lateralization, the input
obtained by the child is only in the form of sound or pronunciation of each word which will be
able to make the child fluent in speaking.

On the other hand, Lateralization is closely related to the Golden Age, namely the golden age of
children in acquiring or learning languages. At this time is an easy period for children to learn
language, because the nerves of the brain are still very plastic or flexible. So that when the
Lateralization period has not been completed, the child is recommended to receive more input
which can lead to higher language skills than getting input after the Lateralization period ends.
That is called the lateralization period along with a critical period that can make it easier for
children to acquire or learn language. As said by Christian, et.
However, in other conditions, there are many phenomena that we find about there are still
children or people who can't speak or have problems in speaking, where one of the causes is a
brain disorder. Disorders of the brain can be caused by an accident, collision or even present
when a new child is born. According to Faisal, et al (in Hakim (2012)) states that language
disorders can be caused by a person's psychology or psychology. When a person's psyche is
unstable or disturbed, then it can also interfere with brain performance. One example of a
language disorder due to psychological factors is schizophrenia. People affected by
schizophrenia tend to forget the topics discussed, they often jump from one topic to another.

The most well-known language disorder in psycholinguistic studies is aphasia, which is damage
to the brain. Broca's Aphasia and Wernick's Aphasia are types of aphasia, i.e. if there is damage
to Broca's area it is called Brocca Aphasia, and the child will experience language disorders such
as not fluent in speaking, words are not formed properly, and speech is slow and unified. While
Wernick's aphasia is a disturbance in Wenick's area that can cause children to lose language
skills. The child can speak very clearly but the words spoken do not make sense, the words are
mixed together. However, referring to Schuel and Jenkins (in Hakim (2012)) they divide several
types of aphasia, namely:
2. Conductor aphasia, ie damage to the brain center and damage to the . tract

fibers, they call it upper and lower level disturbances.

5. Verbal aphasia (verbal aphasia) is caused by damage to the lobes, both in front and
behind the center.
6. Syntactic aphasia (syntactical aphasia) is caused by damage to the windings (gyrus) of
the brain in the frontal lobe area.
7. Noun aphasia (nominal aphasia) is caused by damage to the angular gyrus.
8. Semantic aphasia (semantic aphasia) is caused by damage to the "supra marginal gyrus".
All types of language disorders experienced by everyone are not permanent in themselves.
Instead, these disorders can be cured over time, especially if given more treatment such as
medication, therapy and most importantly the surrounding environment supports their recovery.

2. b. Mind and Language

The link between thought and language is one of the most interesting aspects of
psycholinguistics studies. As we know that language is a means of connecting one's tongue,
where language is our communication tool in everyday life to convey various kinds of ideas,
expressions, and feelings to others. On the other hand, we are also required to understand every
utterance and utterance conveyed by other people. By looking at this, we can relate the
relationship between thought and language where language is a human medium in conveying
their aspirations or ideas. As Supendi (2012) states that in the use of language there is a process
of changing thoughts into codes and changing codes into thoughts. Speech is a synthesis of the
process of converting concepts into codes,

According to Whorf and Sapir (in Widhiarso (2005)) explained that the human mind is
determined by a system of certain language classifications used by humans and language is able
to influence the human perspective on the world. So by looking at this thinking, we can say that
language is able to influence the human mind, where the mental world of people will look
different from their language, such as the mental world of Indonesians with the mental world of
English people. But on the other hand, psycholinguists also argue that the mind is also capable of
influencing language. This happens because Psycholinguistics experts focus on children's
cognitive development. This opinion is also supported by Choamsky by saying that the
development of aspects of language is an important factor in the transfer of behavior to a
cognitive approach in language and thought. In short, Choamsky sees the relationship between
language and thought as referring to how each person's ability and appearance is to use language.
Finally, the relationship between thought and language can influence each other, because here
Psycholinguists are more concerned with the reciprocal relationship of words or language with
thoughts.

One of the discussions that exist in the relationship between language and thought is the Mental
Lexicon (vocabulary that already exists in the human mind). According to Wilson in (in Ratjczak
(1994)) states that vocabulary is the center that connects it in language processing. This is
because vocabulary is a reflection of human knowledge of the language that has been learned or
acquired. Humans have been awarded the Mental Lexicon which is a dictionary of vocabulary
that already exists in the human mind. Vocabulary or input obtained in language acquisition will
be stored in the Mental Lexicon itself and will eventually be able to be produced by humans
when speaking.
Miller and Jackendof (in Ratjczak (1994)) explain that the words included in the Mental Lexicon
are a word in the form of sound, a series of word morphology, and meaning information. All of
them are models of the Lexicon itself, namely Lexicon phonology, Lexicon Morphology and
Lexicon Semantics, which are all an organizing part based on their field of science. According to
Carrol (in Ratjczak (1994)) states that Lexicon semantics focus on meaning which in its
organization involves word associations and speech errors. The word association here is more
about how the subject's response (or the actor's response) to what information has been stored in
the mental Lexicon itself. Words that have become input will be able to be associated with other
words. For example the word "moon", there will be a possibility that the response will be "sun,
night or stars", this is because they are in the same word group.

Mental Lexicon is also related to Human memory, where when a word has entered the mental
lexicon, it means that the word has been stored in the human mind, and will be accepted by
memory which will be able to become knowledge for them. According to Fauziati (2008),
memory is a permanent record of experience where the input is permanently stored in the mental
lexicon. Human memory is divided into two, namely short memory and long memory. However,
Taylor (in Fauziati (2008) divides it into 3 parts, namely sensory register, short-term memory,
and long-term memory. Sensory register here is a place where a stimulus is received for the first
time which will later be forwarded to short-term memory. While short-term memory is a place
where information is temporarily stored during message processing, this information comes from
the sensory register. While information that is stored for a long period of time or permanently for
processing, understandably, occurs in long-term memory. For example, for short-term memory,
the child is able to remember the digits of a random number at that time, but will forget
afterwards. Meanwhile, long-term memory refers to experiences or information that have been
experienced before. For short-term memory, the child is able to remember the digits of the
random number at that time, but will forget afterwards. Meanwhile, long-term memory refers to
experiences or information that have been experienced before. For short-term memory, the child
is able to remember the digits of the random number at that time, but will forget afterwards.
Meanwhile, long-term memory refers to experiences or information that have been experienced
before.
Words that have been stored in memory must undergo a process of practice or repetition called
the retrieval process, which is a process where the word will always experience repeated use so
that he is able to understand and use the word well. Precisely the word will be stored in long-
term memory (long-term memory). As explained by Fauziati (2008) which states that children
must repeat information from memory to be able to form words or sentences that have previously
been heard or read by them. What and how much children remember the word or sentence
depends on how they got the word or sentence the first time. They may not be able to understand
the meaning of the word or sentence if they have not stored the meaning in memory while they
are studying. So,

Memory has an important role in learning or producing language, because memory plays a role
in processing discourse or sentences. Language processing refers to the way humans use words
to communicate their ideas or expressions, so that they can be understood by each other. There
are two types of language processing, namely sentence processing and discourse processing.
Sentence processing focuses on the syntax of the sentence itself, so in this case the child will
know the meaning of the sentence based on its syntax. So he puts the meaning in memory based
on the structure of the sentence. Meanwhile, discourse processing focuses on how children
interpret ideas which are texts or discourses that are the result of knowledge in memory.
According to Lebowitz (1985) giving an example of the use of memory in processing discourse,
namely in the sentence "Lina sweeps the floor", the child will immediately understand the
sentence that Lina sweeps with a broom stick. This is because these types of sentences have
become input and stored in memory which has become a child's knowledge that when they hear
the word "sweep", they will spontaneously interpret the word "broom". So in this case the word
broom and the sentence have been stored in the child's long-term memory, so they spontaneously
produce the word during the discourse process. This is because these types of sentences have
become input and stored in memory which has become a child's knowledge that when they hear
the word "sweep", they will spontaneously interpret the word "broom". So in this case the word
broom and the sentence have been stored in the child's long-term memory, so they spontaneously
produce the word during the discourse process. This is because these types of sentences have
become input and stored in memory which has become a child's knowledge that when they hear
the word "sweep", they will spontaneously interpret the word "broom". So in this case the word
broom and the sentence have been stored in the child's long-term memory, so they spontaneously
produce the word during the discourse process.

When children have had a lot of input in the mental lexicon and the knowledge they have stored
in memory, then the child will immediately be able to start using or producing the language
itself. But on the other hand, when children have started to produce language, children will find
difficulties in using words when they want to communicate their ideas, so that speech errors
occur in communication which are better known as speech errors. Difficulties can be in the form
of hesitation to speak, fear of being wrong in the words you want to say, repetition or even
slipping of the tongue as stated by Fauziati (2008). This is in line with the thinking according to
Clark and Clark (in Fauziati (2008)) that there are two main sources of speech errors, namely the
first error is the result of the speaker's difficulties in communicating at that time such as doubt,
correction or improvement, and pauses. While the second source is the difficulty of the speaker
in terms of forming the articulation of the sound of words, for example tongue slippage where
tongue slippage is caused by tongue fatigue, thirst, and nervousness.
Slipping of the tongue can occur in sounds, word parts, and sentence structure. However, in this
case, Fauziati (2008) describes several types of slips of the tongue that occur in word selection.
There are 3 types of word selection, namely semantic error (same meaning), malapropism (same
sound), and blended. Semantic Errors are one of the most common errors and usually these are
when the words are opposites, synonyms, hyponyms, words in the same category, word
associations (eg bread brings butter). Meanwhile, malapropism is an error in the form of
confusion in sounding words, namely disturbing words phonetically related to the target
language, such as reprehend for apprehend, derangement for arrangement. Meanwhile, blend is a
word error that occurs when two words combine to form a new form. Like when a child says
please exland that ( explain and expand), not in the sleast (slightest and least), slickery (slick and
slippery) and spaddle (spank and paddle). On the other hand, Aitchison (in Fauziati (2008))
divides errors into assemblage errors. As for that included in it are Transposition, anticipations,
and repetitions. Almost all errors in speaking are unintentional mistakes, but it is caused by
factors from the individual itself in terms of psychology which is called the mental state which is
more related to what the child feels when he is talking such as nervousness, pressure, a lot of
thinking so that confused to say which one,
2. 3. Conclusion

Psycholinguistics and its studies are an interesting discipline to study where when two scientific
disciplines are combined into a single entity that cannot be studied separately. The merging of
the two disciplines between Psychology and Linguistics is a unique combination, namely a
merger that sees two different sides in a discipline, namely in this case the relationship between
soul and language. More specifically, how the psychology of a person in learning, using and
acquiring the first language. This is very worthy of contemplation, recalling how the process of
an individual in understanding and learning a language. There are many scopes of study from the
discipline of Psycholinguistics, but some that strongly support this discipline are the relationship
of the human brain organ to language and the relationship of the mind to language. This
psycholinguistic study refers more to how the brain organs contribute to learning, using, and
acquiring language. Without us realizing it, part of the brain has its own functions in building our
understanding and knowledge in learning and using language. Even language disorders can be
caused by damage to the brain. More importantly, a person's ability to speak is also influenced by
the work of the brain which can be seen from how the lateralization of the brain functions
optimally. So that the role of the brain in supporting humans to learn language is very large,
which needs to be considered and known by each individual. While the study of
Psycholinguistics in terms of thought and language also plays a very important role, namely
stating that there is a reciprocal relationship between language and the human mind. How a child
is able to express his ideas with words that he has stored in his mental lexicon and memory, so
that he is also able to communicate it well to others. His ability to communicate is influenced by
his psychological state, because when the child's psychology or feelings are not calm, it can
cause speech errors that actually shouldn't be done. Therefore, the ability of a person or child to
learn, use, and acquire language is related to the psychology of the child itself which when the
child's psychology is disturbed it will also interfere with his appearance in using language.

Anda mungkin juga menyukai