Anda di halaman 1dari 14

Mata Kuliah : Analisis Kebijakan Kesehatan

Dosen : Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS.

“REVIEW UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36


TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN”

Oleh :

Paramita Kurnia Wiguna

K012181097

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB 1
KAJIAN KEBIJAKAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

Pasal 21

(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan


pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan
kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 22

(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.


(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 23

(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.


(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin
dari pemerintah.
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Menteri.

Pasal 24

(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 25
(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 26

(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan


kesehatan.
(2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai
dengan kebutuhan daerahnya.
(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan memperhatikan:
a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat.
b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan
c. c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang
ada
(4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang merata.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 27

(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 28

(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan
atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarZkan pada kompetensi dan
kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.

Pasal 29

Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
1. Kajian
Berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa
kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian kesehatan selain
sebagai hak asasi manusia, kesehatan juga merupakan suatu investasi.
Dalam rencana pembangunan jangka panjang Nasional (RPJP-N) 2005-2025,
dinyatakan bahwa dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan
daya saing, maka kesehatan bersama-sama dengan pendidikan dan peningkatan daya beli
keluarga/masyarakat adalah tiga pilar utama untuk meningkatkan kualitas SDM dan Indeks
Pembangunan Manusia (ipm) Indonesia.
Dalam RPJN-N, dinyatakan pula pembangunan nasional di bidang kesehatan diarahkan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan, hidup sehat bagi setiap orang
agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan
kesehatan diselenggarakan dengan didasarkan kepada perikemanusiaan, pemberdayaan dan
kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusu
kepada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut dan keluarga
miskin. Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, juga diperhatikan dinamikan
kependudukan, epidemiologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan
IPTEK, serta globalisasi dan demokratisasi dengan semagat kemitraan dan kerjasama lintas
sektoral.

2. Tujuan yang ingin dicapai


Berdasarkan pada analisis kebijkan yang telah dilkaukan pada pasal 28 -29, maka tujuan
yang ingin dicapai adalah menambah sumber daya di bidang kesehatan dan meningkatkan
status pelayanan kesehatan yang lebih bak lagi dengan cara memberikan kesadaran dan
pemahaman bagi masyarakat dan tenaga kesehatan bahwa seberapa penting kesehatan.

3. Substansi Kebijakan
Membahas tentang sumber daya di bidang kesehatan

4. Ciri Kebijakan
a. Kriteria
Kriteria dari kebijakan pada pasal 28-29 harus sederhana & jelas (clear) sehingga
dapat membahas secara jelas tentang sumber daya di bidang kesehatan dan bagaimana
peran serta mereka dalam meningkatkan status pelayanan kesehatan.
b. Tipe Kebijakan
1) Distributif policy, yaitu kebijakan yang berkaitan dengan pemberian pelayanan
dan kemudahan kepada masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat, badan-badan ataupun golongan.
2) Redistributif policy, kebijakan yang merupakan pembagian atau pemberian
pelayanan ulang kepada masyarakat.
Pasal 30
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas :
a. Pelayanan kesehatan perseorangan
b. Pelayanan kesehatan masyarakat
(2) Fasilitas Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
pihak pemerintah, pemerintah daerah dan swasta.
(4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pasal 31
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib :
a. Memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang
kesehatan, dan
b. Mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah daerah
atau Menteri.

Pasal 32
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka.

Pasal 33
(1) Setiap pimpinan penyelenggaran fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus
memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.
(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 34
(1) Setiap Pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan harus
memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan.
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang memperkerjakan tenaga
kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
1. Kajian Kebijakan
Hasil analisis kebijakan pasal 30 – pasal 34 diperoleh masalah sebagai berikut :
a. Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk memberikan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat masih tergolong rendah diakibatkan karena minimnya pengetahuan
dari tenaga kesehatan.
b. Kurangnya akses yang luas pada masyarakat dalam menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan.
c. Kurangnya rasa bertanggungjawab akan sumpah yang telah diucapkan dan kepedulian
dari tenaga kesehatan terhadap masyarakat yang membutuhkan fasilitas pelayanan
kesehatan dalam keadaan darurat (meskipun berada dalam keadaan darurat masyarakat
tetap diharuskan menyelesaikan administrasi sebelum diambil tindakan).
d. Kompetensi yang dimiliki dalam menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan masih
belum maksimal.
e. Sebagian tenaga kesehatan memiliki kualifikasi tetapi kurang bertanggungjawab
f. Yang bertanggung terhadap jaminan fasilitas pelayanan kesehatan adalah pemerintah

2. Tujuan yang ingin dicapai


Masyarakat dapat mengakses fasilitas pelayanan kesehatan secara bebas tanpa dibatasi
dengan masalah pembayaran (khususnya dalam keadaan darurat). Selain itu
ditingkatkannnya kompetensi dari tenaga kesehatan dengan tujuan dapat meningkatkan
kualifikasi tenaga kesehatan yang berdampak pada penggunaan fasilitas pelayanan
kesehatan.

3. Substansi KebijakanPasal 30-pasal 34 membahas tentang fasilitas pelayanan kesehatan


4. Ciri Kebijakan
a. Kriteria Kebijakan dari pasal 30 – pasal 34 harus jelas sehingga dapat membahas secara
jelas masalah-masalah yang terjadi dalam penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan
dan bagaimana penyelesaian.
b. Tipe Kebijakan harus mengarah pada tujuan yang ingin dicapai yakni peningkatan pada
fasilitas pelayanan kesehatan .

5. Hasil Analisis Kebijakan untuk ke-7 Pasal


a. Isu Publik
1) Bagaimana meningkatkan status kesehatan rakyat Indonesia pada setiap tahap
kehidupan (mulai dari bayi hingga lansia).
2) Mengenai penyakit menular dan penyakit tidak menular.
3) Pembangunan sistem kesehatan nasional Jaminan Kesehatan agar lebih optimal.
4) Yang sering dikeluhkan masyarakat mengenai JKN itu kan karena mereka kurang
mengetahui dan juga salah intrepretasi dalam JKN.
5) Meningkatkan akses pelayanan kesehatan. Jadi semua diharapkan merata sehingga
tiap rakyat bisa mengakses pelayanan kesehatan yang komprehensif.

6. Tujuan Kebijakan
Tujuan yang ingin dicapai dari dimasukkannya pembahasan tentang ke-7 pasal dan
akibatnya bagi rumah sakit (instansi kesehatan) adalah menambah sumber daya tenaga
kesehatan sehingga setiap masyarakat (pasien) dapat menerima pelayanan kesehatan lebih
baik lagi, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata
dengan tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan yang dibutuhkan dan
meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan di rumah sakit.

7. Tipe Pendekatan
a. Pendekatan Empiris, memusatkan perhatian pada masalah pokok, yaitu apakah sesuatu
itu ada (menyangkut fakta). Pendekatan ini lebih menekankan penjelasan sebab akibat
dari kebijakan. Contoh, Analisis dapat menjelaskan atau meramalkan masalah yang
terjadi dalam kesehatan. Jenis informasi yang dihasilkan adalah Penandaan.
b. Pendekatan evaluatif, memusatkan perhatian pada masalah pokok, yaitu berkaitan
dengan penentuan harga atau nilai (beberapa nilai sesuatu) dari beberapa kebijakan.
Jenis informasi yang dihasilkan bersifat Evaluatif. Contoh: setelah menerima informasi
berbagai macam kebijakan, analis dapat mengevaluasi bermacam cara untuk
mendistribusikan biaya, alat, atau obat-obatan menurut etika dan konsekuensinya.
c. Pendekatan normatif, memusatkan perhatian pada masalah pokok, yaitu Tindakan apa
yang semestinya di lakukan. Pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan
masalah problem kebijakan, merupakan inti pendekatan normatif. Jenis informasi
bersifat anjuran atau rekomendasi. Contoh: peningkatan pembayaran pasien puskesmas
(dari Rp.300 menjadi Rp.1000) merupakan jawaban untuk mengatasi rendahnya
kualitas pelayanan di puskesmas. Peningkatan ini cenderung tidak memberatkan
masyarakat.

8. Substansi Kebijakan
Untuk pasal 28 – pasal 29 membahas tentang sumber daya di bidang kesehatan,
sedangkan pasal 30 – pasal 34 membahas tentang fasilitas pelayanan kesehatan.
9. Masalah yang timbul akibat masalah tersebut
a. Munculnya penyakit baru sedangkan penyakit lama belum tertangani
b. Terjadi penurunan dalam pembangunan kesehatan
c. Menurunnya kepercayaan masyarakat pada instansi kesehatan karena minimnya
fasilitas pelayanan kesehatan yang diberikan.
d. Menurunnya kredeabilitas dari instansi kesehatan
e. Instansi kesehatan menggunakan tenaga kesehatan yang kurang berkompeten dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
f. Minimnya tanggungjawab baik dari instansi kesehatan maupun tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
g. Terbatasnya jumlah tenaga kesehatan dengan komptensi yang baik.
BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI

1. Perilaku yang muncul dari ke-7 Pasal (positif/negatif)


Dari ke-7 pasal yang telah dianalisis sebelumnya perilaku yang muncul adalah perilaku
positif dan perilaku negatif. Hal ini disebabkan karena :
a. Perilaku Positif
Perilaku positif yang dapat muncul yaitu, setiap pembangunan dan
pengembangan sebuah rumah sakit (instansi kesehatan) akan mulai lebih
memperhatikan dan mengupayakan kesehatan dan keselamatan pasien dan tenaga
kesehatan dirumah sakit melalui persyaratan perlatan yang meliputi peralatan medis
dan nonmedis harus mempunyai standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan,
keselamatan dan layak pakai melalui pengujian kalibrasi, pengawasan, penggunaan
peralatan sesuai indikasi, serta pengoperasian dan pemeliharaan oleh tenaga yang
kompeten dan didokumentasikan agar izin mendirikan rumah sakit diberikan atau
tidak adanya pencabutan izin operasional rumah sakit.
Selain itu ada jaminan kelayakan dan terstandarisasinya peralatan bagi pihak-
pihak yang terlibat dalam suatu proses operasional sebuah rumah sakit (pasien, RS
dan tenaga kesehatan), sehingga memberi rasa aman dan nyaman dalam proses
penyelenggaraannnya.

b. Perilaku Negatif
Perilaku negatif yang biasanya muncul ialah berbagai bentuk resistensi dari
pihak-pihak yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pembuatan undang-undang
ini atau pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan diberlakukannya undang-undang
tersebut.

2. Resisten dan Ciri Kebijakan


Resistensi dapat diartikan sebagai sebuah sikap untuk berperilaku bertahan,
berusaha melawan dan menentang. Secara umum ke-7 pasal telah diatur untuk dapat
menjadi acuan dan faktor pendorong agar sebuah rumah sakit dapat memberikan jaminan
mutu, dan profesionalitas dengan memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik. Namun
ketika dikaitkan dengan kondisi khusus, seperti ketidaksiapan rumah sakit, baik dari segi
biaya (fasilitas pelayanan kesehatan) maupun tenaga yang kompeten, maka bisa jadi akan
menimbulkan resistensi di kemudian hari dan menjadi masalah baru sebagai akibat dari
pelaksanaan UU RS ini dan tentunya akan berdampak negatif bagi kinerja pelayanan
rumah sakit (instansi kesehatan).
Sebagaimana ciri, sifat dan kriteria kebijakan yang dikemukakan ke-7 pasal
memiliki ciri dan karakter sebagai berikut :
Pasal-pasal ini merupakan kebijakan yang berfungsi untuk mengatur tentang
sumber daya tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan.
a. Memiliki tujuan yang ingin dicapai (telah dipaparkan sebelumnya)
b. Tidak berdiri sendiri atau terpisahkan dari kebijakan lain, tetapi berkaitan dengan
berbagai kebijakan masyarakat.
c. Kebijakan untuk ke-7 pasal berbentuk positif (pengarahan untuk melaksanakan
atau menganjurkan).

3. Masalah yang baru timbul (dampak dari ke-7 pasal)


Masalah baru yang mungkin dapat timbul dengan adanya ke-7 pasal ini adalah dari
pihak-pihak yang resisten. Keresistensian ini bisa jadi berupa ada rumah sakit yang tidak
atau belum mencukupi tenaga kesehatannya dan berlangsungnya penyelenggaraan fasilitas
pelayanan kesehatan secara baik yang disebabkan karena kondisi keuangan rumah sakit
maupun tenaga yang kompeten. Ketika ke-7 pasal akan dibenturkan, maka masalah lain
yang akan muncul adalah kemungkinan penggunaan kebijakan yang sifatnya negatif dari
pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan sendiri tanpa mempertimbangkan dampak
yang akan ditimbulkan nantinya terhadap keselamatan dan kepuasaan pasien.
BAB III
PREDIKSI

1. Prediksi Trade Off


Sudah menjadi kerancuan sejak dulu, bahwa apapun produk peraturan yang
berkenaan dengan kesehatan, semestinya mengacu atau berpedoman pada Sistem
Kesehatan Nasional. Tapi sebagaimana diketahui, bahwa secara hirarki peraturan
perundang-undangan, Sistem Kesehatan Nasional (SKN) kita malah berada pada tataran
kebijakan setingkat Menteri, jauh di bawa undang-undang yang seharusnyadi tetapkan
oleh DPR. Tidak seperti di indonesia, di negara-negara yang telah maju bidang
kesehatannya, seperti di Amerika serikat dan di singapura ,semua produk kebijakan di
bidang kesehatan mengacu pada satu sistem, yakni sistem yang sudah di sepakati secara
nasional, sehingga produk kebijakan yang di buat menjadi terintegrasi dan sistematis.
Sehingga, Udang-undang tentang Rumah sakit ini mejadi rancu karena sama sekali tidak
terungkap secara eksplisit tentang sistem kesehatan Nasional indonesia.
Bukti lain dari tidak terintegrasinya kebijakan ini adalah, dalam Undang-undang No
44 tahun 2009 ini juga sama sekali tidak menyebutkan kaitannya dengan Udang-undang
kesehatan No 36 tahun 2009 yang telah di berlakukan sebelumnya. Padahal seperti
diketahui bahwa rumah sakit tidak dapat di pisahkan dari bidang kesehatan. Keracuan ini
bisa jadi akan menjadi masalah yang menjadikan pengimplementasian undang-undang ini
sebagai produk kebijakan kesehatan yang gagal dan tidak sesuai dengan harapan
sebelumnya.
Menurut teori implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ada ketidaktetapan
atau ketidaktegasan intern maupun ekstren atas kebijakan itu sendiri, sehingga
menunjukan adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu. Keracuan dan
ketidaktegasan sanksi yang di berikan, sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya,
menyebabkan pasal ini memiliki kemungkinan untuk gagal dalam
pengimplementasiannya.
Selain itu, sosialisasi dan informasi tentang kebijakan yang kurang optimal
dilakukan menyebabkan masih banyak pihak yang tidak mengetahui hal ini, sehingga
berdampak pada kurangnya dukungan dan resistensi yang bisa saja di kemudian hari.
Sampai dengan tahun 2004 terdapat sekitar 274.383 tenaga kesehatan yang bekerja
di Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia, untuk memberikan pelayanan kepada
sekitar 218 juta penduduk. Jumlah ini masih belum mencukupi untuk dapat memberikan
pelayanan yang lebih optimal. Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk yang relatif
masih kecil. Untuk itu dalam Indonesia Sehat 2010, jumlah tenaga kesehatan akan
ditingkatkan menjadi 1.108.913 pada tahun 2010, dengan harapan lebih banyak tenaga
kesehatan per penduduk. Tabel 1.1 menunjukkan rasio jenis tenaga kesehatan di
Puskesmas dan Rumah Sakit pada tahun 2004 dengan kondisi yang ingin dicapai pada
tahun 2010 untuk beberapa jenis tenaga kesehatan Dibandingkan dengan negara-negara
lain, rasio tenaga kesehatan terutama tenaga dokter, dokter gigi, perawat dan bidan
terhadap jumlah penduduk di Indonesia masih rendah terlihat dari tabel berikut.
Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, dapat
dilihat dari masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya
banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau
tenaga kesehatan lainnya. Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003)
juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga
kesehatan belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya dokter yang
dianggap kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien,
atau lamanya waktu tunggu.

2. Prediksi Keberhasilan
Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi
Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan atau program dapat ditunjukan dari tiga faktor, yaitu kepatuhan,
kelancaran rutinitas, dan memberikan manfaat sesuai dengan yang diharapkan. Prespektif
kepatuhan (compliance) mengukur implementasi dari kepatuhan strect level bereau crats.
Keberhasilan implementasi diukur dari kelancancaran rutinitas dan tiadanya persoalan
persoalan. Kelancaran peristiwa dan tiadanya persoalan, sejauh ini Undang-Undang RS ini
sudah berjalan lancar selama kurang lebih 3 tahun namun masih ada persoalan yang timbul
mengenai pelanggaran hak pasien dan pelanggaran pemenuhan kewajiban rumah sakit,
seperti penggunaan peralatan medis maupun nonmedis yang tidak sesuai dengan indikasi
dan SDM yang tidak kompeten dalam menyelenggarakan fasilitas pelayanan kesehatan.
Implementasi yang berhasil tentunya mengarah kepada kinerja yang memuaskan
semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan. Sejauh ini, kebijakan
ini telah memberikan kepuasan terhadap beberapa pihak (seperti tenaga kesehatan) namun
tetap memerlukan evaluasi lebih lanjut. Untuk mencapai tujuan, suatu kebijakan harus
melibatkan semua pihak dan bertujuan mengutamakan kepentingan bersama (orang banyak
dan semua pihak), bukan kepentingan sekelompok “elite” tertentu.
BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan
Pasal 28-29 menjelaskan tentang sumber daya tenaga kesehatan sedangkan
pasal 30-34 menjelaskan tentang fasilitas pelayanan kesehatan. Fasilitas pelayanan
kesehatan baik pelayanannya yang diberikan maupun peralatan yang digunakan
(medis/ non medis) harus memenuhi standar pelayanan. Tujuan dari dimasukkannya
ke-7 pasal yaitu untuk meningkatkan sumber daya tenaga kesehatan dan memberikan
fasilitas pelayanan kesehatan yang baik yang dapat menunjang kesehatan masyarakat
sehingga kesehatan dapat meningkat.

Anda mungkin juga menyukai