Oleh :
K012181097
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 25
(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan
atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarZkan pada kompetensi dan
kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
1. Kajian
Berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa
kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian kesehatan selain
sebagai hak asasi manusia, kesehatan juga merupakan suatu investasi.
Dalam rencana pembangunan jangka panjang Nasional (RPJP-N) 2005-2025,
dinyatakan bahwa dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan
daya saing, maka kesehatan bersama-sama dengan pendidikan dan peningkatan daya beli
keluarga/masyarakat adalah tiga pilar utama untuk meningkatkan kualitas SDM dan Indeks
Pembangunan Manusia (ipm) Indonesia.
Dalam RPJN-N, dinyatakan pula pembangunan nasional di bidang kesehatan diarahkan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan, hidup sehat bagi setiap orang
agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan
kesehatan diselenggarakan dengan didasarkan kepada perikemanusiaan, pemberdayaan dan
kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusu
kepada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut dan keluarga
miskin. Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, juga diperhatikan dinamikan
kependudukan, epidemiologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan
IPTEK, serta globalisasi dan demokratisasi dengan semagat kemitraan dan kerjasama lintas
sektoral.
3. Substansi Kebijakan
Membahas tentang sumber daya di bidang kesehatan
4. Ciri Kebijakan
a. Kriteria
Kriteria dari kebijakan pada pasal 28-29 harus sederhana & jelas (clear) sehingga
dapat membahas secara jelas tentang sumber daya di bidang kesehatan dan bagaimana
peran serta mereka dalam meningkatkan status pelayanan kesehatan.
b. Tipe Kebijakan
1) Distributif policy, yaitu kebijakan yang berkaitan dengan pemberian pelayanan
dan kemudahan kepada masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat, badan-badan ataupun golongan.
2) Redistributif policy, kebijakan yang merupakan pembagian atau pemberian
pelayanan ulang kepada masyarakat.
Pasal 30
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas :
a. Pelayanan kesehatan perseorangan
b. Pelayanan kesehatan masyarakat
(2) Fasilitas Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
pihak pemerintah, pemerintah daerah dan swasta.
(4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 31
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib :
a. Memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang
kesehatan, dan
b. Mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah daerah
atau Menteri.
Pasal 32
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka.
Pasal 33
(1) Setiap pimpinan penyelenggaran fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus
memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.
(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Setiap Pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan harus
memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan.
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang memperkerjakan tenaga
kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
1. Kajian Kebijakan
Hasil analisis kebijakan pasal 30 – pasal 34 diperoleh masalah sebagai berikut :
a. Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk memberikan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat masih tergolong rendah diakibatkan karena minimnya pengetahuan
dari tenaga kesehatan.
b. Kurangnya akses yang luas pada masyarakat dalam menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan.
c. Kurangnya rasa bertanggungjawab akan sumpah yang telah diucapkan dan kepedulian
dari tenaga kesehatan terhadap masyarakat yang membutuhkan fasilitas pelayanan
kesehatan dalam keadaan darurat (meskipun berada dalam keadaan darurat masyarakat
tetap diharuskan menyelesaikan administrasi sebelum diambil tindakan).
d. Kompetensi yang dimiliki dalam menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan masih
belum maksimal.
e. Sebagian tenaga kesehatan memiliki kualifikasi tetapi kurang bertanggungjawab
f. Yang bertanggung terhadap jaminan fasilitas pelayanan kesehatan adalah pemerintah
6. Tujuan Kebijakan
Tujuan yang ingin dicapai dari dimasukkannya pembahasan tentang ke-7 pasal dan
akibatnya bagi rumah sakit (instansi kesehatan) adalah menambah sumber daya tenaga
kesehatan sehingga setiap masyarakat (pasien) dapat menerima pelayanan kesehatan lebih
baik lagi, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata
dengan tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan yang dibutuhkan dan
meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan di rumah sakit.
7. Tipe Pendekatan
a. Pendekatan Empiris, memusatkan perhatian pada masalah pokok, yaitu apakah sesuatu
itu ada (menyangkut fakta). Pendekatan ini lebih menekankan penjelasan sebab akibat
dari kebijakan. Contoh, Analisis dapat menjelaskan atau meramalkan masalah yang
terjadi dalam kesehatan. Jenis informasi yang dihasilkan adalah Penandaan.
b. Pendekatan evaluatif, memusatkan perhatian pada masalah pokok, yaitu berkaitan
dengan penentuan harga atau nilai (beberapa nilai sesuatu) dari beberapa kebijakan.
Jenis informasi yang dihasilkan bersifat Evaluatif. Contoh: setelah menerima informasi
berbagai macam kebijakan, analis dapat mengevaluasi bermacam cara untuk
mendistribusikan biaya, alat, atau obat-obatan menurut etika dan konsekuensinya.
c. Pendekatan normatif, memusatkan perhatian pada masalah pokok, yaitu Tindakan apa
yang semestinya di lakukan. Pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan
masalah problem kebijakan, merupakan inti pendekatan normatif. Jenis informasi
bersifat anjuran atau rekomendasi. Contoh: peningkatan pembayaran pasien puskesmas
(dari Rp.300 menjadi Rp.1000) merupakan jawaban untuk mengatasi rendahnya
kualitas pelayanan di puskesmas. Peningkatan ini cenderung tidak memberatkan
masyarakat.
8. Substansi Kebijakan
Untuk pasal 28 – pasal 29 membahas tentang sumber daya di bidang kesehatan,
sedangkan pasal 30 – pasal 34 membahas tentang fasilitas pelayanan kesehatan.
9. Masalah yang timbul akibat masalah tersebut
a. Munculnya penyakit baru sedangkan penyakit lama belum tertangani
b. Terjadi penurunan dalam pembangunan kesehatan
c. Menurunnya kepercayaan masyarakat pada instansi kesehatan karena minimnya
fasilitas pelayanan kesehatan yang diberikan.
d. Menurunnya kredeabilitas dari instansi kesehatan
e. Instansi kesehatan menggunakan tenaga kesehatan yang kurang berkompeten dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
f. Minimnya tanggungjawab baik dari instansi kesehatan maupun tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
g. Terbatasnya jumlah tenaga kesehatan dengan komptensi yang baik.
BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI
b. Perilaku Negatif
Perilaku negatif yang biasanya muncul ialah berbagai bentuk resistensi dari
pihak-pihak yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pembuatan undang-undang
ini atau pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan diberlakukannya undang-undang
tersebut.
2. Prediksi Keberhasilan
Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi
Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan atau program dapat ditunjukan dari tiga faktor, yaitu kepatuhan,
kelancaran rutinitas, dan memberikan manfaat sesuai dengan yang diharapkan. Prespektif
kepatuhan (compliance) mengukur implementasi dari kepatuhan strect level bereau crats.
Keberhasilan implementasi diukur dari kelancancaran rutinitas dan tiadanya persoalan
persoalan. Kelancaran peristiwa dan tiadanya persoalan, sejauh ini Undang-Undang RS ini
sudah berjalan lancar selama kurang lebih 3 tahun namun masih ada persoalan yang timbul
mengenai pelanggaran hak pasien dan pelanggaran pemenuhan kewajiban rumah sakit,
seperti penggunaan peralatan medis maupun nonmedis yang tidak sesuai dengan indikasi
dan SDM yang tidak kompeten dalam menyelenggarakan fasilitas pelayanan kesehatan.
Implementasi yang berhasil tentunya mengarah kepada kinerja yang memuaskan
semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan. Sejauh ini, kebijakan
ini telah memberikan kepuasan terhadap beberapa pihak (seperti tenaga kesehatan) namun
tetap memerlukan evaluasi lebih lanjut. Untuk mencapai tujuan, suatu kebijakan harus
melibatkan semua pihak dan bertujuan mengutamakan kepentingan bersama (orang banyak
dan semua pihak), bukan kepentingan sekelompok “elite” tertentu.
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pasal 28-29 menjelaskan tentang sumber daya tenaga kesehatan sedangkan
pasal 30-34 menjelaskan tentang fasilitas pelayanan kesehatan. Fasilitas pelayanan
kesehatan baik pelayanannya yang diberikan maupun peralatan yang digunakan
(medis/ non medis) harus memenuhi standar pelayanan. Tujuan dari dimasukkannya
ke-7 pasal yaitu untuk meningkatkan sumber daya tenaga kesehatan dan memberikan
fasilitas pelayanan kesehatan yang baik yang dapat menunjang kesehatan masyarakat
sehingga kesehatan dapat meningkat.