Referat Kejang
Referat Kejang
PENDAHULUAN
1.2.Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui tatalaksana kejang pada anak
1.2.2. Tujuan Khusus
Mengetahui definisi dan klasifikasi kejang
Mengetahui etiologi kejang
Mengetahui pendekatan diagnosis kejang pada anak
Mengetahui diagnosis banding kejang pada anak
Mengetahui tatalaksana kejang pada anak
1.3.Manfaat Penulisan
1.3.1. Manfaat akademik
Mengetahui tatalaksana yang sesuai untuk kasus kejang pada anak
1.3.2. Manfaat bagi masyarakat
Memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat mengenai
pentingnya mengetahui tanda – tanda kejang dan tatalaksana yang tepat
untuk kejang pada anak
1.3.3. Manfaat bagi pengembangan penelitian
Menambah data dan referensi untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi
Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau disertai
dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan akibat
perubahan aktivitas elektrik di otak5. Epilepsi adalah kondisi dimana terjadi kejang
berulang karena ada proses yang mendasari6. Sedangkan intractable seizure adalah
kejang dimana penggunaan obat - obatan tidak cukup kuat untuk menangani
kejang7.
2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua
hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang
umum dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering
terjadi pada anak. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba,
namun pada beberapa anak kejang ini didahului oleh aura (motorik atau
sensorik). Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi kedua
pupil, dan kontraksi otot – otot yang disertai dengan rigiditas otot yang
progresif. Sering juga disertai dengan inkontinensia urin atau inkontinensia
tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi gerakan menghentak secara ritmik
dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada ekstremitas. Terjadi perubahan
kesadaran pada anak selama episode kejang berlangsung dan bisa berlanjut
hingga beberapa saat setelah kejang berhenti.
2. Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik. Anak
tiba – tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas otot
yang progresif.
3. Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh secara
tiba – tiba dan disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini dapat terjadi
hingga ratusan kali per hari.
4. Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba – tiba.
5. Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau
disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens
tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik anak secara tiba – tiba,
kehilangan kesadaran sementara secara singkat, yang disertai dengan tatapan
kosong. Sering tampak kedipan mata berulang saat episode kejang terjadi.
Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik. Kejang ini jarang dijumpai pada
anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang absens atipikal ditandai dengan
gerakan seperti hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan
ekstremitas, dan disertai dengan perubahan kesadaran7.
3. Kejang tak terklasifikasi
Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang
tidak dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial.
Kejang ini termasuk kejang yang terjadi pada neonatus dan anak hingga usia 1
tahun6.
2.3. Etiologi
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan
ekstrakranial.
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan
sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan
sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan kongenital
seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan ensefalitis, dan trauma
kepala.
2. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan metabolisme
seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati, uremia,
hiperproteinemia, hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia. Penyebab
ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis keganasan ke otak9.
2.4. Diagnosis
2.4.1. Anamnesa
1. Kejadian Pre-Iktal
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian sebelum episode kejang terjadi :
Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti
keadaan stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya?
Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau
– bauan, melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara –
suara, mual, merasa ketakutan dan sebagainya?
Apa yang dilakukan anak sesaat sebelum kejang terjadi?
Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang anak
mengkonsumsi obat – obatan tertentu?
Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anak
sedang demam sebelum kejang terjadi?
Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang
terdahulu sama seperti bentuk kejang yang baru saja terjadi?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin dan
mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur?
Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala,
beberapa jam atau hari sebelum kejang?
2. Kejadian saat kejang
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian saat episode kejang terjadi :
Berapa lama kejang berlangsung?
Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?
Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode
kejang terjadi?
Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadar
atau tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi?
3. Kejadian post – iktal
Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti?
Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti
atau anak tampak seperti tidak terjadi apa – apa?
Apakah anak mengingat kejadian saat kejang berlangsung?
2.4.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda –
tanda vital meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu
tubuh harus diperiksa, karena demam merupakan penyebab utama
kejang pada anak – anak. Periksa kepala apakah ada kelainan bentuk,
tanda – tanda trauma kepala, serta tanda – tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Periksa leher apakah terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan
neurologis secara menyeluruh juga penting dilakukan.
2.6. Tatalaksana
2.6.1. Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang
adalah untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan
sirkulasi. Ini akan memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokan
darah beroksigen ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap
hipoksia dan atau iskemia.2,4 Penilaian awal terdiri dari :
1. Airway
Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan
penilaian patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika
jalan napas tidak bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya
dengan cara head tilt- chin lift atau jaw thrust manuver dan
memberikan ventilasi dengan bag-valve-mask jika perlu. Jika jalan
napas terganggu karena kejang, mengendalikan kejang dengan
antikonvulsan umumnya akan mengontrol jalan napas. Bahkan jika
jalan napas telah bebas, orofaring mungkin perlu dibersihkan dari sekret
oleh suction. 2,4
2. Breathing
Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan,
suara napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna
kulit. Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan
pulse oksimetry. Jika anak menderita hipoventilasi, respirasi harus
didukung dengan oksigen melalui perangkat bag-valve - mask. 2,4
3. Circulation
Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut
nadi. Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis
serta akral yang dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak
adekuat. Jika perlu, lakukan pemberian cairan intravena. Jika akses
pembuluh darah tidak dapat diperoleh, pemberian antikonvulsan harus
diberikan melalui rektal, intramuskular atau rute bukal. Intraosseous
acces (IO) dipergunakan pada anak-anak dengan tanda-tanda syok jika
akses intravena tidak dapat diperoleh. Akses IO mungkin dibutuhkan
untuk administrasi long acting antikonvulsan jika tidak ada akses
intravena setelah dua dosis benzodiazepin. Berikan 20 mL/kg BB bolus
cepat normal saline untuk setiap pasien dengan tanda-tanda syok, lalu
periksa tekanan darah segera setelah pemberian normal saline atau
setelah kejang selesai. Pengambilan tes glukosa darah dan uji
laboratorium tetap diperlukan. Jika terdapat hipoglikemi berikan
dextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk pasien yang hipoglikemi
tersebut. 2,4
4. Disability
Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice, Pain,
Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang
disertai dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harus
diperhatikan. Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang tetapi
mungkin juga hasil dari keracunan opiat, amfetamin, atropin dan
trisiklik atau peningkatan tekanan intrakranial.2,4 Perhatikan tanda-
tanda defisit neurologis fokal, baik selama atau setelah kejang dan
perhatikan postur anak, apakah terdapat dekortikasi atau deserebrasi
sikap dimana sebelumnya postur anak normal. Hal ini menunjukan
bahwa terdapat peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur ini
kadang dapat keliru untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk pada
anak dan fontanelle yang membubung pada bayi, yang dapat
menunjukkan tanda – tanda meningitis. Perlu diingat bahwa
penggunaan berkepanjangan atau berulang-ulang dari obat anti
konvulsan dapat menyebabkan depresi kesadaran. 2,4
5. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera. 2,4
2.6.2. Menilai kembali ABC
Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang
berlangsung atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat kesadaran
kembali ke normal atau setelah setiap pemberian dosis obat anti – epilepsi.
Jika memungkinkan beri pula pemantauan dengan ECG dan pulse-
oksimetri. 2,4
2.6.3. Medikasi pada kejadian akut (first dan second line anticonvulsant)
Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi.
Dahulu di tahun 1960an obat antiepilepsiyang digunakan dalam pengelolaan
kejang telah berkembang karena ketersediaan obat diazepam intravena.
Sekarang obat anti kejang yang menjadi pilihan pertama adalah
benzodiazepin. Hal ini dikarenakan benzodiazepin dapat dengan cepat
mengkontrol kejang dengan efek samping yang minimal. Selain itu
benzodiazepin dapat diberikan dari beberapa rute dan dapat diberikan
kembali dalam waktu singkat.2
Obat anti kejang yang menjadi pilihan kedua, untuk kejang refrakter
harus kompatibel dengan obat pilihan pertama. Idealnya bekerja secara
sinergis tanpa efek samping dan menjadi lebih efektif dalam mencegah
berkelanjutan kejang. Pilihan obat lini kedua tersebut adalah fenitoin dan
fenobarbital.2
Dalam pemilihan obat anti konvulsan, hasil yang diinginkan adalah
yang paling cepat menghentikan kejang akut dengan efek samping terkecil
dan biaya yang minimal. Persyaratan obat tersebut belumlah cukup karena
harus pula meliputi kemudahan pemberian dan tersedianya obat tersebut di
pasaran. Pengobatan dini sangat penting,karena setelah kejangditetapkan
selama lebih dari 15 menit, penangannanya akan lebih sulit. Protokol
penanganan kejang berbasis lini ini digunakan di tiga rumah sakit anak-
anakdi New South Wales. Protokol inipun telah di akui oleh Advance
Paediatric Life Support (APLS) di Inggris pada tahun 2000.2
2.6.3.1. Terapi lini pertama:
1. Diazepam
Digunakan secara intravena dan rectal sejak 1965. Pemberian
intravena menghasilkan kontrol kejang yang cepat pada sekitar 80%
pasien. Setelah pemberian rektal, kadar serum terapeutik terlihat
dalam lima menit dan kontrol kejang yang cepat terjadi pada hingga
80%. Sementara mungkin ada manfaat dari diazepam intravena
berikutnya di pasien yang tidak responsif terhadap terapi, kejang
menetap terhadapdosis rektal tunggal (kejang resisten) maka pasien
tersebut membutuhkan pengobatan lini kedua 2
2. Midazolam
Midazolam sekarang telah menggantikan diazepam sebagai obat
pilihan pertama sebelum akses vena dapat diperoleh, karena rute
pemberian yang lebih disukai yaitu melalui bukal tidak seperti
diazepam yang melalui rektal. Midazolam sangat efektif sebagai
lini pertama antikonvulsan karena menghentikan sebagian besar
kejang dalam satu menit setelah injeksi intravena dari 0,1-0,3
mg/kg dan secara intramuskular dalam waktu 5-10 menit. Dosis
tunggal midazolam bukal 0,5mg /kg telah terbukti meminimalisir
risiko depresi pernapasan.2
3. Paraldehyde
Paraldehyde telah digunakan sebagai supposituria untuk
pengobatan kejang sejak awal 1930. Paraldehyde sekarang
diberikan secara rektal Administrasi dubur dapat ditoleransi dengan
baik dan menghasilkan onset kontrol kejang yang cepat dan efek
depresi pernafasan yang kurang minimal.2
2.6.3.2. Terapi lini kedua (epilepsi status refraktori) :
1. Fenitoin
Fenitoin dikenal sebagai non sedating anti - convulsant pertama.
Dalam dosis intravena 20 mg/kg untuk anak-anak, kejang
terkontrol dengan baik di 60-80% pasien dalam 20 menit. Fenitoin
memiliki efek depresi pernapasan yang lebih kecil daripada
fenobarbital. Fenitoin telah diakui sebagai pilihan pertama anti
konvulsan lini kedua oleh British Working Party.2
2. Fenobarbital
Fenobarbital telah digunakan dalam kontrol kejang sejak tahun
1912 dan digunakan di seluruh dunia. Jika dibandingkan dengan
anti konvulsan yang lainnya, fenobarbital dianggap lebih murah
dan sangat efektif. Setelah pemberian intravena terdapat distribusi
bifasik dan sangat menyebar melalui seluruh pembuluh darah
termasuk pembuluih darah otak. Meskipun penetrasi ke otak telah
dilaporkan terjadi 12-60 menit setelah pemberian, penetrasi ini
terjadi lebih cepat dalam status epileptikus karenapeningkatan
aliran darah otak. Fenibarbital digunakan sebagai anti konvulsan
lini kedua pada periode neonatal. Dosis pemberian adalah 5-10
mg/kg.2
2.6.7. Rekurensi
Risiko untuk terjadinya kekambuhan setelah kejang pertama adalah
sekitar 33%. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan
kekambuhan meliputi kejang demam pertama pada usia muda, riwayat
keluarga kejang demam, durasi pendek demam sebelum kejang atau demam
yang relatif rendah pada saat kejang awal. Terdapat faktor genetik yang
mempengaruhi terjadinya kejang. Hal ini terlihat dari risiko saudara
kandung untuk menderita kejang adalah sekitar 10-20% dan dapat lebih
tinggi jika orang tua juga memiliki riwayat kejang. Profilaksis terus menerus
dengan obat antiepilepsi tidak dianjurkan.1