YATI HARDIYANTI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam berbagai pustaka, karakter manusia dibagi atas banyak jenis (ada yang empat,
ada yang sepuluh, ada yang seratus, dan lain-lain), sebagaimana kecerdasan manusia (ada yang
membagi dengan satu, dua, empat, delapan, dan lain-lain). Hal itu bisa dimaklumi, karena
(selalu) di antara dua perbedaan yang nyata, terdapat sekian banyak perbedaan yang dapat
mendekati keduanya. Karenanya, di antara dua karakter manusia, yaitu baik dan buruk, terdapat
banyak karakter lain yang mendekati keduanya. Di antara sekian banyak jenis karakter manusia,
ada banyak pula yang mempengaruhi terbentuknya karakter seseorang yang dapat dibagi menjadi
dua hal utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi
antara lain, kondisi fisik, tingkat pendidikan, tingkat pergaulan, dan tingkat keimanan.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi, antara lain, lingkungan keluarga, lingkungan
pergaulan, lingkungan kerja, dan sosok panutan.
Tuhan sendiri telah memperingatkan sifat-sifat dasar yang buruk yang dimiliki manusia,
antara lain: zalim dan tidak pandai bersyukur, ingkar akan kebesaran Tuhan, sombong dan
sewenang-wenang, condong mengikuti hawa nafsunya, boros dan berlebih-lebihan, aniaya diri,
tergesa-gesa, dan taklid buta (berbuat sesuatu tanpa pengetahuan). Memang, sifat atau karakter
manusia bisa ditinjau dari banyak segi. Di internet, banyak sekali literatur yang meninjau sifat
manusia dari berbagai segi, misalkan dari tanggal lahir, dari shio, dari golongan darah, dari cara
berbicara, dari nama, bahkan dari cara dia mengupil atau (maaf), dari kentutnya.
Berbicara tentang sifat-sifat manusia, ini tidak terlepas dari manusia sebagai makhluk
individu maupun sebagai makhluk sosial. Dimana di dalamnya terdapat pergaulan dan interaksi
serta komunikasi dalam kehidupan setiap manusia. Dalam pergaulan manusia terdapat
kewibawaan, ketakutan dan kewibawaan dalam pendidikan.
2
membangun peradaban, membangun masa depan bangsa. Karena itu, untuk meningkatkan harkat
dan martabat sebuah bangsa pada era global ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan
meningkatkan kualitas pendidikan.
Dengan meningkatkan kualitas pendidikan maka akan tercipta kesatuan utuh dalam
rencana dan gerak langkah pembangunan bangsa di masa depan. Sebab, kualitas pendidikan
sangat menentukan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Kualitas pendidikan mesti
bersandar pada segenap aspek yang terdapat dalam diri manusia atau warga negara. Dan yang
penting disadari ialah bahwa pendidikan merupakan sebuah proses, sesuatu yang terus
diperjuangkan perbaikan dan kemajuannya. Meminjam ungkapan Mendiknas, pendidikan
Indonesia adalah sebuah proses pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Berbicara tentang
pendidikan, kita tidak bisa lepas daripada tenaga pendidik itu sendiri. Agar bisa menjadi tenaga
pendidik yang baik dan profesional. Di samping mempunyai atau memiliki ilmu dan seni dalam
mendidik, seorang pendidik itu harus memiliki wibawa (gezag). Di dalam makalah ini penulis
akan membahas tentang pergaulan dan wibawa (gezag) di dalam pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas lebih jauh, antara
lain:
1. Apa-apa saja sifat-sifat manusia dan pergaulan manusia sebagai makhluk sosial?
3
C. Tujuan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sifat-sifat manusia dan pergaulan manusia sebagai makhluk sosial
2. Untuk mengetahui bagaimana kewibawaan (Gezag) dalam pendidikan
D. Manfaat
Makalah ini ditulis dengan tujuan agar dapat memberikan gambaran umum kepada masyarakat
luas pada umumnya dan masayarakat dalam lingkungan pendidikan pada khususnya tentang
pergaulan dan pendidikan sehingga pendidikan dapat terlaksana dengan baik dan tepat sasaran.
Selain itu juga diharapkan dapat menambah kepustakaan tentang pendidikan.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sifat-Sifat Manusia
Syekh Al Kholil ibn Ahmad membagi karakter manusia menjadi empat macam. Pertama,
rojulun yadri wa yadri annahu yadri fabidzalika ‘alimun tattabi’uhu, yaitu manusia yang
mengerti dan dirinya mengerti kalau ia mengerti. Ia adalah manusia yang memiliki ilmu dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ciri manusia seperti ini adalah selalu bekerja
dengan landasan istiqomah dan ikhlas. Kedua, rojulun yadri wa la yadri annahu yadri,
fabidzalika naimun fa aiqidzuhu, manusia yang mengerti namun tidak mengerti kalau dirinya
mengerti, seperti orang yang sedang tidur. Manusia yang berkarakter seperti ini adalah manusia
yang tidak konsisten dengan apa yang diucapkan atau yang dipahaminya. Kata-katanya (yang
baik) tidak sama dengan perilakunya (yang buruk). Umar ibn al Khottob pernah berkata ” aqwa
ma akhofu ‘inda hadzihi ummati minal dajjal al munafiq al ‘alim“ yang artinya: ”yang paling
saya takuti pada ummat ini daripada dajjal adalah orang munafik yang pintar atau alim, ” atau
secara mudah dapat dikatakan sebagai ”orang yang berbuat jahat dengan memelintir dalil
agama.”
Karakter ketiga adalah rojulun la yadri wa yadri annahu la yadri, fa bidzalika mustarsyidun
fa arsyiduhu. Manusia yang tidak mengerti namun ia tahu kalau dirinya tidak mengerti. Manusia
model ini relatif baik, karena orang-orang yang selalu ingin belajar untuk lebih mengerti adalah
manusia yang memiliki sifat selalu ingin memperbaiki diri. Inilah orang-orang yang cerdas-al
kayyis- yaitu orang-orang yang tidak melakukan sesuatu perbuatan kecuali telah jelas halal atau
haramnya. Manusia model ini adalah manusia yang selalu terikat dengan syara’. Apa yang
dimakan, dipakai dan yang dijkerjakan selalu terukur dan berlandaskan pada hukum Tuhan.
Karakter keempat, adalah rojulun la yadri wa la yadri annahu la yadri, fabidzalika jahilun
fatrukuhu, manusia yang tidak mengerti kalau dirinya tidak mengerti, inilah manusia bodoh.
Karena orang-orang seperti ini biasanya tidak mau belajar dan tidak mau peduli dengan hukum-
hukum. Mereka termasuk manusia-manusia yang selalu mengedepankan syahwat (nafsu) dunia
semata.
5
Sedangkan menurut Florence Littauer, empat sifat manusia adalah kolerik, sanguinis,
melankolik, dan plegmatis. Manusia yang memiliki sifat kolerik adalah manusia yang memiliki
motivasi diri yang kuat, kreatif, pekerja keras, dan semua yang dilakukannya dilandasi oleh
keyakinan dirinya yang kuat. Ia akan bertekad menyelesaikan pekerjaannya dengan caranya
sendiri (my way), namun ia tidak ingin diatur orang lain. Sedangkan sifat sanguinis adalah orang
yang ingin batinnya selalu bahagia sampai-sampai segala tugas yang harus dikerjakannya, akan
dikerjakan jika ia bisa bahagia dengan pekerjaan itu (fun away). Jangan coba-coba memberinya
pekerjaan yang dia tidak sukai, karena ia sulit sekali menerima tantangan baru, dan biasa kerja
tanpa rencana dan tanpa target penyelesaian. Ia biasa ingin tampil lebih menonjol dari yang
lainnya, baik dari suaranya, pakaiannya, atau apapun yang bisa menarik perhatian orang lain.
Adapun sifat melankolik adalah orang suka kerja dengan teratur, rapi, tekun, serius, dan
sistematis dengan prinsip kerja best way. Sayangnya, orang seperti ini menginginkan anak
buahnya juga memiliki sifat yang sama, dan ia akan mudah tersinggung bila ada orang lain yang
menyalahi prinsip hidupnya ini. Sedangkan sifat plegmatis adalah orang yang memiliki sifat
yang murah senyum, tulus, dan nyaris tidak pernah marah. Orang seperti ini tidak suka
menonjolkan diri, dan tidak ambisius. Orang ini bersifat terbuka atas saran maupun kritik orang
lain, meskipun kadang saran dan kritik itu tidak serta-merta dijalankannya. Prinsip kerja orang
seperti ini adalah mendapatkan cara mudah (easy way) untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Sifat seseorang tidaklah bersifat mutlak, paten, atau pasti. Banyak kondisi yang dapat
mempengaruhi sifat dasar manusia, seperti tekanan mental atau batin (misalkan karena dikejar
deadline, musibah keluarga, dan sebagainya), kondisi sosial-ekonomi (seperti kemapanan,
penerimaan dari lingkungan, dan sebagainya), dan yang tak kalah pentingnya adalah hubungan
dengan Tuhannya (habluminallah), semakin dekat hubungan seseorang dengan Tuhannya, maka
orang itu pasti selalu ingin berbuat yang terbaik, selalu berusaha menjadi orang yang (memiliki
sifat) yang terbaik, dan memiliki satu keinginan utama, yaitu Tuhan selalu tersenyum untuknya.
Sifat-sifat manusia juga selain sebagai makhluk yang berdiri sendiri juga sebagai makhluk
yang bergantung pada Tuhan. Manusia tidak hanya sebagai makhluk badani tetapi juga makhluk
rohani serta manusia bukan hanya makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Dari sifat-sifat
manusia di atas, tidak terlepas dari pergaulan manusia sebagai makhluk sosial. Jika dipandang
6
dari segi umurnya, pergaulan dapat di bedakan menjadi tiga macam, yaitu; antara orang tua
dengan orang tua, antara orang tua dengan anak, serta antara anak dengan anak. Dalam setiap
pergaulan itu disengaja maupun tiddak disengaja terjadilah pengaruh mempengaruhi antara orang
tua yang satu mempengaruhi orang tua yang lain, orang tua mempengaruhi anak tetapi
sebaliknya juga anak mempengaruhi orang tua serta anak mempengaruhi anak yang lain.
7
Tetapi anak itu bukan semakin patuh atau menurut kepadanya, bahkan sebaliknya. Anak-anak
mau mengerjakan apa yang diperintahkannya karena mereka takut; jadi bukan karena insaf atau
percaya kepadanya.
Dari contoh di atas dapat kita mengatakan, bahwa Bapak Budi lebih berwibawa, lebih
mempunyai kewibawaan atau gezag daripada Bapak Salim. Anak-anak lebih patuh dan lebih
segan terhadap Bapak Budi. Segala sesuatu yang diperintahkan atau dinasihatkan ataupun
diperingatkan oleh Bapak Budi, lebih meresap dan lebih mudah serta dengan senang
menjalankan daripada Bapak Salim. Atau dengan kata lain: pengaruh yang ditimbulkan oleh
Bapak Budi lebih dipatuhi oleh anak-anak.
a. Orang tua (ayah dan ibu) adalah pendidik yang terutama dan yang sudah semestinya.
Merekalah pendidik asli, yang menerima tugasnya dari kodrat, dari Tuhan untuk mendidik
anak-anaknya. Karena itu sudah semestinya mereka mempunyai kewibawaan terhadap
anak-anaknya.
Adapun kewibawaan orang tua itu terdiri dari 2 sifat :
1) Kewibawaan Pendidikan
Ini berarti bahwa dengan kewibawaannya itu orang tua bertujuan memelihara keselamatan
anak-anaknya, agar mereka dapat hidup terus, dan selanjutnya berkembang jasmani dan
rohaninya menjadi manusia dewasa. Adapun nasihat-nasihat yang dimintanya atau
diterimanya dari orang tua meskipun orang yang meminta atau menerima nasihat itu sudah
dewasa, dan banyak juga yang dituruti. Tetapi hal itu hendaknya timbul dari hati yang
tulus ikhlas, tidak karena keharusan.
8
2) Kewibawaan Keluarga
Orang tua merupakan kepala dari suatu keluarga. Tiap-tiap keluarga merupakan
“masyarakat kecil”, yang sudah tentu dalam “masyarakat” itu harus ada peraturan-
peraturan yang harus dipatuhi dan dijalankan. Tiap-tiap anggota keluarga harus patuh
kepada peraturan-peraturan yang berlaku dalam keluarga itu. Dengan demikian orang tua
sebagai kepala keluarga dan dalam hubungan kekeluargaannya mempunyai wibawa
terhadap anggota-anggota keluarganya. Kewibawaan keluarga itu bertujuan untuk
pemeliharaan dan keselamatan keluarga. Tiap anggota keluarga harus tunduk kepada
kewibawaan keluarga, selama ia menjadi anggota keluarga itu. Soal sudah dewasa atau
belum, itu bukan soal yang penting lagi.
b. Kewibawaan guru atau pendidik (yang bukan orang tua) menerima jabatannya sebagai
pendidik bukan dari kodrat (dari Tuhan), melainkan ia menerima jabatan itu dari
pemerintah. Ia ditunjuk, ditetapkan, dan diberi kekuasaan sebagai pendidik oleh negara
atau masyarakat. Maka dari itu kewibawaan yang ada padanya pun berlainan dengan
kewibawaan orang tua.
9
di sanalah anak-anak telah diserahkan kepadanya. Bagi kepala sekolah kewibawaan
ini lebih luas, meliputi pimpinan sekolahnya.
Demikian pula pergaulan antara anak-anak dengan anak-anak biarpun sering kali seorang
anak menguasai dan dituruti oleh anak-anak lainnya tetapi kekuasaan atau gezag yang terdapat
pada anak itu tidak bersifat gezag pendidikan, karena kekuasaan itu tidak tertuju kepada
tujuan pendidikan.
Dalam pergaulan baru terdapat pendidikan jika di dalamnya telah terdapat kepatuhan dari
si anak, yaitu bersikap menuruti atau mengikuti wibawa yang ada pada orang lain; mau
menjalankan suruhannya dengan sadar. Tetapi tidak semua pergaulan antara orang dewasa
dengan anak-anak merupakan pendidikan; ada pula pergaulan semacam itu yang mempunyai
pengaruh-pengaruh jahat atau pergaulan yang netral saja.
Satu-satunya pengaruh yang dapat dinamakan pendidikan ialah pengaruh yang menuju ke
kedewasaan si anak: untuk menolong si anak menjadi orang yang kelak dapat atau sanggup
memenuhi tugas hidupnya dengan berdiri sendiri. Tidak setiap macam tunduk menurut
terhadap orang lain (seperti menurut perintah-perintah anak lain) dapat dikatakan “tunduk
terhadap wibawa pendidikan”. Bagaimana sikap anak terhadap kewibawaan pendidik? Dalam
hal ini Langeveld menjelaskan dengan dua buah kata: a) Sikap menurut atau mengikut
(volagen), yaitu mengakui kekuasaan orang lain yang lebih besar karena paksaan, takut, jadi
bukan tunduk atau menuruti yang sebenarnya. b) Sikap tunduk atau patuh (), yaitu dengan
sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui hak pada orang lain untuk memerintah
dirinya, dan dirinya merasa sendiri terikat akan memenuhi perintah itu.
Dalam hal yang terakhir inilah tampak fungsi wibawa pendidikan, yaitu membawa si anak ke
arah pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan
mau menjalankannya.
10
4. Kewibawaan dalam Masyarakat dan Kewibawaan dalam Pendidikan
Agar lebih jelas mengenai apa yang dimaksud dengan kewibawaan pendidikan dan
bagaimana melaksanakan kewibawaan itu didalam praktek mendidik anak-anak, perlu kiranya
penulis adakan perbandingan antara kewibawaan yang berlaku di dalam masyarakat dengan
kewibawaan yang berlaku bagi pendidikan.
11
di bawah kewibawaannya dan negara tetap akan melaksanakan kewibawaannya di
atas kita.
2) Dalam pendidikan, pertama-tama yang kita tuju ialah bahwa si anak dengan sepenuh
kepercayaannya menyerahkan dirinya kepada pendidiknya (orang tuanya), dan
dengan demikian mencapai peryesuaian batin. Bila tidak, kita tidak akan dapat
mencapai tingkatan di atas dresur, yang berarti si anak hanya mengerjakan apa yang
diperintahkan saja, dan kita tidak dapat mencapai: si anak itu mengenal nilai-nilai,
dan dengan keyakinan hidup menyesuaikan diri dengan nilai-nilai itu.
3) Wibawa dan pelaksanaan wibawa dalam masyarakat tetap, akan tetapi dalam
pendidikan akan selalu menjadi berkurang, dan akhirnya selesai bila telah tercapai
tingkat kedewasaan. Ini tidak berarti bahwa si anak (yang telah dewasa itu) tidak
lagiperlu mengakui adanya kewibawaan; sebaliknya dengan kesukarelaan dan
keikhlasan sendirilah si anak mengakui adanya wibawa negara, Tuhan, dan berusaha
hidup sesuai dengan kewibawaan itu. Itulah arti “kedewasaan” yang tepat.
Di atas telah dikatakan bahwa tujuan dari wibawa dalam pendidikan itu ialah, dengan
wibawa itu di pendidik hendak berusaha membawa anak itu ke arah kedewasaannya. Ini
berarti, secara berangsur-angsur anak dapat mengenal nilai-nilai hidup atau norma-norma
12
(seperti norma-norma kesusilaan, keindahan, ketuhanan dan sebagainya) dan menyesuaikan
diri dengan norma-norma itu dalam hidupnya.
Syarat mutlak dalam pendidikan ialah adanya kewibawaan pada si pendidik. Tanpa
kewibawaan itu, pendidikan tidak akan berhasil baik. Dalam setiap macam kewibawaan
terdapatlah suatu identifikasi sebagai dasar. Artinya, dalam melakukan kewibawaan itu si
pendidik mempersatukan dirinya dengan didik, juga yang dididik mempersatukan dirinya
terhadap pendidiknya. Jadi dalam hal ini identifikasi mengandung dua arti :
a. Si pendidik mengindentifikasi dirinya dengan kepentingan dan kebahagiaan si anak. Ia
berbuat untuk anak karena anak belum dapat berbuat sendiri; ia memilih untuknya; jadi untuk
anaknya itulah ia mengambil tanggung jawab, yang semestinya menjadi tanggung jawab anak
itu sendiri. Jadi si pendidik seakan-akan mewakili kata hati didiknya untuk sementara.
Si pendidik memilih, mempertimbangkan, dan memutuskan untuk anak didiknya. Hal
sedemikian dapat dipertanggung jawabkan dan memang perlu, selama si anak itu sendiri
belum dapat memilih, mempertimbangkan dan mengambil keputusan untuk dirinya.
Tetapi lambat-laun camput tangan orang tua atau pendidik itu harus makin berkurang. Itulah
syarat untuk membuat si anak berdiri sendiri.
1) Ia menurut dengan sempurna, tidak menentang; perintah dan larangan dilakukan secara
pasif saja. Bahanyanya ialah, di dlam diri anak itu tidak tumbuh kesadaran akan norma-norma
sehingga karena itu ia tidak akan mungkin sampai pada tingkatan “penentuan sendiri”
(mandiri).
2) Karena ikatan dengan sang pemegang-wibawa (pendidik) terlalu kuat-erat sehingga
merintangi perkembangan “Aku” anak itu. Tetapi ikatan yang sangat erat itu dapat juga
menimbulkan usaha yang sangat aktif untuk mencapai persamaan dengan pendidiknya:
“berbuat seperti apa yang diharapkan dari pendidiknya” atau “si anak ingin menjadi sang
pemegang-wibawa” itu. Di sini pun masih ada pula bahayanya, yaitu menututnya itu tidak
13
seperti yang kita kehendaki, yakni memperoleh norma-norma bagi diri pribadinya.
Anak yang menurut dapat memberikan gambaran seakan-akan kita mencapai hasil baik dalam
pendidikan kita. Tetapi kita harus ingat, bahwa si anak harus kita didik tidak saja dengan hak,
melainkan dengan kwajiban membawa dirinya ke suatu tingkatan untuk makin dapat berdiri
sendiri. Jadi hal itu berarti, identifikasi si anak terhadap orang tua atau pendidiknya lambat-
laun harus dilepaskan dari sifat perseorangan, dan harus ditujukan kepada norma-normanya.
Artinya: si anak harus menunjukkan sifat menurut bukan karena diri si pendidik itu,
melainkan karena norma-norma dan nilai-niali dalam pribadi pendidiknya itu; si anak harus
ditujukan kepada norma-norma itu
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sifat-sifat manusia sebagai makhluk individu, sosial, makhluk yang tidak berdiri sendiri tetapi
juga bergantung pada Tuhan, badani n rohani serta pergaulan antara orang tua dengan orang
tua, antara orang tua dengan anak serta antara anak dengan anak.
2. a.Wibawa adalah gezag, yang terdapat pada seseorang, wibawa itu tidak di miliki oleh semua
orang tetapi hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Wibawa atau gezag bisa saja ada pada
seseorang mungkin melalui tutur katanya, perbuatannya tingkah laku dan ilmu
pengetahuannya.
b.Orang tua adalah pendidik yang utama mereka adalah pendidikan asli, yang menerima tugas
dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mendidik anak-anaknya oleh karena itu orang tua harus
mempunyai wibawa terhadap seluruh keluarganya.
c.Fungsi kewibawaan dalam pendidikan ialah membuat si anak mendapat nilai-nilai dan
norma-norma hidup.
d.Indentifikasi pada diri pribadi pendidiknya, dengan demikian kemudian ternyata nilai-nilai
dan norma-normanya, kelak dia lebih melepaskan diri dari di sipendidiknya dan lebih lagi
mewujudkan dirinya kepada nilai-nilai dan norma itu.
B. Saran
Dengan mengetahui pergaulan da kewibawaan pendidikan diharapkan seorang calon guru dapat
memberikan pengajaran yang sesuai dengan landasan dan arah, sehingga tujuan untuk
menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik dapat dilakukan dengan tepat
dan benar dalam pelaksanaan pendidikan
15
DAFTAR PUSTAKA
16