PENDAHULUAN
Farmasi berasal dari bahasa Yunani dari kata “PHARMACON” yang berarti obat
atau racun. Farmasi adalah ilmu terapan dibidang kesehatan yang mempelajari cara
membuat, mencampur, meracik, menyediakan, menganalisis, mengembangkan dan
penggunaan obat – obatan. Ilmu farmasi awalnya berkembang dari para tabib dan
pengobatan tradisional yang berkembang di Yunani, Timur-Tengah, Asia kecil, Cina, dan
Wilayah Asia lainnya. Mulanya “ilmu pengobatan” dimiliki oleh orang tertentu secara turun-
temurun dari keluarganya.
Tokoh yang berjasa atas terbentuknya ilmu farmasi :
a. Paracelsus (1541 – 1493 SM), berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat perlu
pengetahuan kandungan zat aktifnya dan dia membuat obat dari bahan yang sudah
diketahui zat aktifnya
b. Hippocrates (459 – 370 SM), yang dikenal dengan “Bapak Kedokteran” dalam praktek
pengobatannya telah menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan
c. Claudius Galem (200 – 129 SM), menghubungkan penyembuhan penyakit dengan teori
kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi.
d. Ibnu Sina (980 – 1037), telah menulis beberapa buku tentang metode pengumpulan dan
penyimbapanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan obat, seperti : Pil,
suppositoria, irup dan menggabungkan pengobatan dari berbagai Negara yaitu Yunani,
India, Persia dan Arab. Untuk menghasilkan pengobatan yang lebih baik
e. Johann Jabok Wepfer (1620 – 1695), berhasil melakukan verifikasi efek farmakologi
dan toksikologi obat pada hewan percobaan. Orang yang pertama melakukan penelitian
farmakologi dan toksikologi pada hewan percobaan.
f. Institute Farmakologi pertama didirikan pada tahun 1847 oleh Rudolf Buchheim di
Universitas Dorpan. Selanjutnya Oswald Schiedeberg (1838 – 1921) bersama dengan
pakar disiplin ilmu lain menghasilkan konsep fundamental dalam kerja obat, meliputi
reseptor obat, hubungan struktur dengan aktivitas dan toksisistas selektif.
Obat adalah sediaan atau paduan – paduan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi (PerMenKes 917/Menkes/Per/X/1993)
Macam Bentuk Sediaan Obat :
a. Sediaan Padat
Ex : Pulvis, Tablet, Kapsul, Granul, Suppositoria
b. Sediaan Setengah Padat
Ex : Unguentum, Gel, Cream, Pastae
c. Sediaan Cair
Ex : Larutan, Suspensi, Emulsi, Guttae, Injeksi
d. Sediaan Gas/Khusus
Ex : Inhaler
BAB II
ISI
Guttae / Obat tetes mata adalah sediaan cair berupa larutan, suspensi atau emulsi
yang dimaksudkan untuk penggunaan obat luar atau obat dalam yang penggunaan dilakukan
dengan cara di teteskan dengan penetes yang menghasilkan tetesan yang setara dengan
tetesan baku yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia.
Persyaratan untuk pembuatan, penyimpanan dan penyerahan obat tetes harus
diperhatikan yang tertetra pada “Larutan”, “emulsi” atau “ Suspensi” atau sediaan lain yang
sesuai.
Sediaan tetes terbagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Tetes hidung biasa juga disebut spray atau collunaria merupakan larutan berair atau
berminyak yang dimaksudkan untuk penggunaan topikal atau daerah nasofaring
digunakan dengan cara meneteskan obat ke dalam rongga hidung, dapat mengandung
zat pensuspensi, pengawet, pendapar, obat-obat vasokonstriksi dan antiseptik
(Farmakope Indonesia Edisi III).
Obat tetes hidung (OTH) adalah obat tetes yang digunakan untuk hidung dengan cara
meneteskan obat kedalam rongga hidung, dapat mengandung zat pensuspensi, pendapat
dan pengawet (Farmakope Indonesia Edisi IV.
Tetes hidung dan larutan spray hidung adalah larutan, suspense, atau emulsi yang
digunakan untuk disemprotkan atau diteteskan ke dalam rongga hidung (Britsh
Pharmakope 2001)
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 2380/A/SK/VI/1983 dan Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 925/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Perubahan Golongan
Obat Nomor 1, memuat ketetapan mengenai obat – obat yang masuk ke dalam daftar
obat “W” dan pengertiang tentang obat bebas terbatas, dimana obat tetes hidung (OTH)
termasuk ke dalamnya.
Hidung mempunyai tugas menyaring udara dari segala macam debu yang masuk ke
dalam melalui hidung. Tanpa penyaring ini mungkin debu dapat mencapai paru – paru.
Bagian depan dari rongga hidung terdapat rambut hidung yang berfungsi menahan
butiran debu kasar, sedangkan debu halus dan bakteri menempel pada mukosa hidung.
Fungsi Guttae Nasales / Obat Tetes Hidung (OTH)
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, Guttae Opthalmik adalah larutan steril, bebas
partikel asing, merupakan sediaan yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga
sesuai digunakan pada mata .
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, Guttae Opthalmik adalah sediaan steril yang
berupa larutan atau suspensi yang digunakan dengan cara meneteskan obat pada selaput
lendir mata disekitar kelopak mata dari bola mata.
Faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan guttae opthalmik / obat tetes
mata, antara lain :
Steril
Kejernihan
Pengawetan
Tonisitas
Pendaparan
Viskositas dan aktivitas permukaan
Cara Penggunaan Guttae Opthalmic / Obat Tetes Mata
1) Cucilah tangan terlebih dahulu
2) Kocok perlahan obat tetes mata lalu buka. Posisi bisa tidur maupun duduk
dengan kepala menghadap ke atas
3) Dengan satu tangan, tarik perlahan – lahan kelopak mata bagian bawah
4) Hadapkan penetes obat tetes mata dekat dengan kelopak mata lalu teteskan ke
dalam kelopak mata bagian bawah (posisi mata sambil melihat ke atas).
Usahakan jgn sampai ujung penetes tersentuh jari atau bagian mata
5) Lepas kelopak mata dan tutup mata 2 – 3 menit
6) Tutup obat tetes mata dan simpan pada wadah yang tertutup serta terhindar
dari sinar matahari langsung
7) Cucilah tangan setelah selesai menggunakan obat tetes mata
c. Guttae Auricurales / Obat Tetes Hidung
Guttae auricurales / Obat tetes telinga adalah Obat tetes yang digunakan untuk telinga
dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga (Farmakope Indonesia Ed. III).
Guttae auricurales / Obat tetes telingan merupakan bentuk dari obat yang digunakan
untuk mengobati dan mencegah infeksi telinga, khususnya infeksi pada telinga bagian
luar dan saluran telinga (otitis eksterna) (Farmakope Indonesia Ed. IV).
Tetes telinga umumnya berbentuk larutan, emulsi atau suspense dari satu atau lebih zat
aktif dalam cairan yang cocok untuk penggunaan pada meatus auditori (rongga telinga)
tanpa tekanan berbahaya pada gendang telinga namun pada pembuatan guttae
auriculares / obat tetes hidung biasanya bentuk yang paling sering digunakan adalah
bentuk larutan. Tetes telingan mengandung cairan pembawam bila tidak dinyatakan
lain cairan pembawa yang digunakan bukan air. Cairan pembawa yang digunakan harus
memiliki kekentalan yang sesuai agar obat mudah menempel.
Sifat fisiko – kimia yang perlu diperhatikan dalam pembuatan guttae auricurales /
obat tetes telinga, antara lain :
Kelarutan
Kebanyakan senyawa obat larut dalam cairan pembawa yang umum digunakan
pada sediaan tetes telinga, jika senyawa obat tidak larut dalam cairan pembawa
maka bisa dibuat sediaan suspensi. Bila sediaan berupa suspense maka sebagai
zat pensuspensinya digunakan sorbitan (span) atau polisorbat (tween)
Viskositas
Viskositas sediaan tetes telinga penting untuk diperhatikan karena dapat
menjamin sediaan bisa lama berada di dalam saluran telinga
Sifat surfaktan
Dengan adanya surfaktan akan membantu proses penyebaran sediaan dan
melepaskan kotoran pada telinga.
Pengawet
Beberapa obat tetes telinga memerlukan bahan pengawet karena pemakaian
yang berulang kali atau penyimpanan sediaan yang tidak baik dan tepat guna
mencegah pertumbuhan mikroba dan mikroorganisme lainnya. Biasanya bahan
pengawet yang digunakan adalah klorobutanol 0,5%, timerosal 0,01% dan
kombinasi paraben.
Untuk obat tetes telinga yang menggunakan gliserin, propilen glikol sebagai zat
pembawanya biasanya tidak perlu penambahan zat pengawet.
Sterilisasi
Sediaan tetes telinga tidak perlu dibuat secara steril, yang penting bersih dan
bebas dari mikroba atau mikroorganisme lain yang dapat memperburuk
keadaan apabila digunakan pada telinga
pH Optimum
Keefektifan obat tetes telinga juga biasanya dipengaruhi oleh nilai pH yang
dimiliki oleh obat tetes telinga tersebut. Umumnya pH obat tetes telingan
berada dalam keadaan asam berkisa 5.0 – 6.0.
Pada penentuan pH optimum juga harus meminimalisir terjadi nya perubahan
dari pH asam menjadi alkali, hal ini akan membuat bakteri dan fungi akan
tumbuh lebih cepat dan dapat memperburuk keadaan.
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta : DEPKES RI, Ditjen POM
Anonim, 2014. Farmakope Indonesia Edisi Kelima, Jakarta : DEPKES RI, Ditjem POM
Anonim, 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat Jakarta : DEPKES RI, Ditjem POM
https://www.academia.edu/29199976/OBAT_TETES_MATA
Howard, C. Ansel.(1989), Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi IV, UI Press, Jakarta.